BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tidur a. Definisi Tidur adalah kondisi tidak sadar parsial di mana individu masih dapat bangun karena rangsangan (Marieb dan Hoehn, 2013). Rangsangan tersebut dapat berupa rangsang sensorik atau rangsang lainnya (Guyton dan Hall, 2007). b. Stadium Tidur Saat tertidur, terjadi perubahan gelombang otak yang terekam elektroensefalogram (EEG). Gelombang otak berubah dari gelombang alfa dengan frekuensi 8 – 12 siklus perdetik saat terjaga, menjadi lebih lambat (Kaplan dan Saddock, 1997). Pada NREM stadium 1, frekuensi gelombang alfa menjadi 3 sampai 7 siklus perdetik (Kaplan dan Saddock, 1997). Dalam periode ini, individu masih dapat dibangunkan (Marieb dan Hoehn, 2013). Pada NREM satdium 2, EEG menjadi iregular dan memiliki sleep spindles, yaitu pencatatan berbentuk pilin dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik (Kaplan dan Saddock, 1997). Durasi stadium 2 ini terlama di antara stadium tidur lainnya (Bloom et al, 2009).
5
6
Pada NREM stadium 3 mulai terlihat gelombang theta dan delta dalam perekaman EEG (Marieb dan Hoehn, 2013). Gelombang delta adalah aktivitas dengan frekuensi 0,5 sampai 2,5 siklus perdetik (Kaplan dan Saddock, 1997). Gelombang delta tampak dominan di NREM stadium 4 (Marieb dan Hoehn, 2013). Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur delta atau tidur gelombang lambat karena penampakan dan karakteristik pada rekaman EEG (Kaplan dan Saddock, 1997). c. Tipe Tidur Berdasarkan pola EEG, tidur dibagi menjadi dua tipe: NREM (non rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement) (Marieb dan Hoehn, 2013). Terdapat empat stadium tidur NREM (Kaplan dan Saddock, 1997). Stadium 1 dan 2 tidur NREM dilewati dalam 30 sampai 45 menit pertama siklus tidur. Setelah itu masuk ke tidur NREM stadium 3 dan 4, yang disebut juga tidur gelombang lambat (Marieb dan Hoehn, 2013). Sebagian besar fungsi fisiologis menurun pada tidur NREM (Kaplan dan Saddock, 1997). Selama tidur NREM, frekuensi gelombang EEG menurun tetapi amplitudonya meningkat. Tekanan darah dan kecepatan denyut jantung juga menurun (Marieb dan Hoehn, 2013). Laju respirasi juga mengalami perlambatan. Aliran darah ke sebagian besar jaringan menurun, termasuk aliran darah otak (Kaplan dan Saddock, 1997).
7
Setelah 90 menit tertidur, pola EEG mengalami perubahan mendadak hingga gelombang alfa muncul kembali (Marieb dan Hoehn, 2013). Pada pencatatan EEG terlihat aktivitas cepat bertegangan rendah dengan gelombang gigi gergaji (Kaplan dan Saddock, 1997). Hal ini menunjukkan onset tidur REM (Marieb dan Hoehn, 2013). Perubahan gelombang otak ini disertai peningkatan denyut jantung, frekuensi napas, dan tekanan darah, dan penurunan motilitas gastrointestinal (Marieb dan Hoehn, 2013). Latensi REM dalam waktu 90 menit tersebut konsisten pada orang dewasa normal (Kaplan dan Saddock, 1997). Pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan tertentu seperti gangguan depresif dan narkolepsi (Kaplan dan Saddock, 1997). Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif, dan metabolisme di seluruh otak meningkat sebanyak 20 persen. Pada EEG terlihat pola gelombang otak yang serupa dengan yang terjadi selama keadaan siaga. Tidur seperti ini disebut tidur paradoksikal karena hal ini bersifat paradoks, yaitu seseorang dapat tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya meningkat (Guyton dan Hall, 2007). Kecepatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah pada manusia meningkat selama tidur REM (Kaplan dan Saddock, 1997). Frekuensi denyut jantung dan pernapasan biasanya menjadi iregular, yang merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi (Hall, 2007). Respons pernapasan terhadap peningkatan kadar karbon dioksida tertekan selama tidur REM sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal saat tekanan parsial karbon
8
dioksida meningkat (Kaplan dan Saddock, 1997). Termoregulasi terganggu selama tidur REM. Berbeda dengan kondisi homeotermik dari pengaturan temperatur yang ditemukan selama terjaga atau tidur NREM, kondisi poikilotermik ditemukan selama tidur REM (Kaplan dan Saddock, 1997). Pada remaja dan dewasa, saat periode REM sering terjadi ereksi penis atau pembesaran klitoris (Marieb dan Hoehn, 2013). Elektromiografi (EMG) saat REM menunjukkan penurunan nyata pada tonus otot (Kaplan dan Saddock, 1997). Sebagian besar otot rangka secara aktif diinhibisi dan menjadi lumpuh. Paralisis sementara ini mencegah seseorang dari bergerak karena mimpi. Kebanyakan mimpi muncul saat REM. Walaupun mimpi sering muncul saat REM, mimpi buruk dan teror tidur lebih sering muncul selama NREM stadium 3 dan 4 (Marieb dan Hoehn, 2013). Hal ini disebabkan pada NREM stadium 3 dan 4 kadang-kadang disertai dengan karakteristik terbangun yang tidak lazim. Jika orang dibangunkan setengah sampai satu jam setelah onset tidur – biasanya dalam tidur gelombang lambat – mereka terdisorientasi, pikiran mereka terdisorganisasi, dan mengalami amnesia terhadap peristiwa yang terjadi selama terjaga. Disorganisasi selama terbangun dari stadium 3 atau 4 mungkin menyebabkan masalah tertentu seperti enuresis, somnambulisme, dan mimpi menakutkan atau night terror (Kaplan dan Saddock, 1997). Periode REM terjadi kira-kira tiap 90 sampai 100 menit selama semalam (Kaplan dan Saddock, 1997). Dalam periode tidur 8 jam, REM
9
muncul sebanyak 4 sampai 5 kali (Stevens, 2013). Periode REM pertama cenderung merupakan periode yang paling singkat, biasanya berlangsung kurang dari 10 menit ; periode REM selanjutnya masing-masing biasanya berlangsung selama 15 sampai 40 menit (Kaplan dan Saddock, 1997). Periode REM terakhir bahkan bisa lebih dari 60 menit (Stevens, 2013). Sebagian besar periode REM terjadi pada sepertiga malam terakhir sedangkan sebagian besar tidur stadium 4 terjadi pada sepertiga malam awal. Setelah satu periode REM, tidur kembali ke stadium 4 (Marieb dan Hoehn, 2013). Pola tidur berubah sepanjang kehidupan seseorang. Pada periode neonatal, tidur REM mewakili lebih dari 50 persen waktu tidur total (Kaplan dan Saddock, 1997). Bayi baru lahir tidur beberapa kali dalam sehari total durasi tidur 14 sampai 16 jam (Stevens, 2013). Pada periode neonatal, pola EEG berubah dari keadaan sadar langsung masuk ke keadaan REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4 (Kaplan dan Saddock, 1997). Pada usia 4 bulan, pola berubah sehingga presentasi total tidur REM turun sampai kurang dari 40 persen, dan masuk ke tidur terjadi dengan periode awal tidur NREM (Kaplan dan Saddock, 1997). Pada dewasa muda, distribusi stadium tidur sebagai berikut: NREM (75 persen) Stadium 1: 5 persen Stadium 2: 45 persen Stadium 3: 12 persen
10
Stadium 4: 13 persen REM (25 persen) Distribusi tersebut relatif tetap sampai lanjut usia, walaupun terjadi penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM pada lanjut usia (Kaplan dan Saddock, 1997). Pada lanjut usia, waktu untuk NREM stadium 3 menurun dan stadium 2 meningkat. Latensi untuk tertidur meningkat, begitu juga dengan durasi dan seringnya terbangun pada malam hari (Stevens, 2013). d. Irama Tidur-Bangun Tanpa petunjuk eksternal, jam tubuh alami mengikuti siklus 25 jam. Pengaruh faktor eksternal – seperti siklus terang-gelap, rutinitas harian, periode makan, dan penyelaras eksternal lainnya – membentuk orang menjadi siklus 24 jam (Kaplan dan Saddock, 1997). Siklus tidur bangun menunjukkan irama sirkadian atau ritme 24 jam (Marieb dan Hoehn, 2013). Irama tersebut tidak terdapat saat lahir tetapi berkembang dalam dua tahun pertama kehidupan. Irama sirkadian tersinkronisasi menjadi 24 jam oleh irama internal (misal: sekresi hormon) dan zeitgeber (lit. pemberi waktu) eksternal seperti cahaya (Kaplan dan Saddock, 1997). Irama tidur bangun diatur oleh irama internal seperti suhu tubuh basal dan siklus melatonin endogen, dan irama gelap-terang yang mempengaruhi siklus tidur melalui jaras visual retinohipotalamus (Cohen-Zion dan Ancoli-Israel, 2009). Sebagai contoh, saat temperatur
11
basal menurun, sekresi melatonin meningkat, dan individu mulai mengantuk; saat temperatur basal meningkat dan sekresi melatonin menurun, individu terbangun (Cohen-Zion dan Ancoli-Israel, 2009) Bila pusat tidur tidak diaktifkan, nuklei pengaktivasi retikular di mesencephalon dan pons bagian atas akan terbebas dari inhibisi, yang memungkinkan nuklei pengaktivasi retikular menjadi aktif secara spontan (Guyton dan Hall, 2007). Kondisi ini merangsang cortex cerebri dan sistem saraf perifer, yang keduanya kemudian mengirimkan umpan balik positif kembali ke nuklei retikular agar sistem ini tetap aktif (Guyton dan Hall, 2007). Setelah otak aktif selama beberapa jam, neuron-neuron dalam sistem aktivasi mungkin menjadi letih. Akibatnya, siklus umpan balik positif di antara nuklei retikular mesencephalon dan cortex akan memudar dan pengaruh perangsang tidur akan mengambil alih (Guyton dan Hall, 2007). Hipotalamus berfungsi mengatur waktu dalam siklus tidur. Nucleus suprachiasmaopticus hipothalamus (jam biologis) mengatur nucleus preopticus (pusat induksi tidur) (Marieb dan Hoehn, 2013). Dengan menghambat sistem pengaktivasi retikular batang otak, nucleus preopticus “menidurkan” cortex cerebri. Pusat sistem aktivasi retikular tidak hanya membantu mengatur kondisi terjaga tetapi juga berperan dalam beberapa stadium tidur, khususnya saat bermimpi (Marieb dan Hoehn, 2013).
12
Tepat sebelum bangun, neuron hipothalamus melepas peptida yang dinamakan orexin. Akibatnya, neuron tertentu di batang otak tereksitasi dalam kecepatan maksimal dan membangunkan cortex (Marieb dan Hoehn, 2013). Jika orexin tidak dihasilkan akan terjadi narkolepsi (Stevens, 2013). Gelombang theta dan delta saat tidur merupakan kerja dari neuron thalamus yang saat kondisi terjaga diinhibisi oleh RAS pons. Beberapa neuron pons mengontrol transisi NREM ke REM, beberapa lainnya menghambat aktivitas otot (Marieb dan Hoehn, 2013). Pada beberapa wanita, pola tidur berubah selama fase siklus menstruasi. Pada penidur malam hari yang normal, tidur sejenak yang dilakukan pada pagi hari atau pada siang hari mengandung sejumlah besar tidur REM sedangkan tidur sejenak yang dilakukan pada petang hari atau menjelang malam mengandung tidur REM yang jauh lebih sedikit (Kaplan dan Saddock, 1997). Kendatipun seseorang tidak bekerja pada malam hari, gangguan dari berbagai irama dapat menghasilkan masalah. Contoh yang paling dikenal yaitu jet lag di mana seseorang mencoba untuk meyakinkan tubuhnya untuk tidur pada saat yang di luar fase siklus tubuh orang tersebut. Sebagian besar orang dapat beradaptasi dalam beberapa hari tetapi yang lainnya perlu waktu lebih lama (Kaplan dan Saddock, 1997). Aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi irama sirkadian. Aktivitas fisik yang dilakukan pada malam hari dapat menunda onset
13
ritme melatonin. Sementara itu, latihan fisik yang dilakukan 18-21 jam setelah onset melatonin, yaitu pada pukul 12 siang sampai sore, dapat mempercepat ritme melatonin. Selain mempengaruhi fase melatonin, aktivitas fisik juga meningkatkan kadar melatonin selama beberapa saat (Escames et al, 2011) e. Fisiologi Tidur Pencetus tidur yaitu nucleus preopticus ventrolateralis (VLPO) di hipothalamus anterior. Area menggunakan neurotransmiter GABA dan galanin untuk menginisiasi tidur dengan menginhibisi regio siaga otak (Stevens, 2013). VLPO menginervasi dan dapat menghambat regio seperti nucleus tuberomamilaris, hipothalamus lateralis, locus coeruleus, raphe dorsalis, nucleus tegmental laterodorsal, dan nucleus tegmental pedunculopontin (Stevens, 2013). Nuclei raphe yang terletak di separuh bagian bawah pons dan medula merupakan daerah perangsangan yang dapat menimbulkan keadaan tidur alami (Guyton dan Hall, 2007). Neuron serotonergik merupakan komponen utama nuclei ini (Hornung, 2003). Banyak penelitian mendukung peranan serotonin dalam pengaturan tidur. Pencegahan sintesis serotonin atau destruksi nucleus raphe dorsalis menurunkan tidur untuk waktu yang lama (Kaplan dan Saddock, 1997). Perangsangan beberapa area di nucleus tractus solitarius juga dapat menimbulkan tidur. nucleus ini merupakan daerah terminal di medula dan pons yang dilewati oleh sinyal sensorik viseral yang masuk
14
melalui nervus vagus dan nervus glossofaringeus (Guyton dan Hall, 2007). Nucleus ini mendeaktivasi formatio reticularis di atasnya, juga terlibat langsung dalam thalamocortical slow wave dan induksi spindel (Gottesmann, 1999). Perangsangan pada beberapa regio pada diensefalon juga dapat membantu menimbulkan keadaan tidur, daerah itu meliputi bagian rostral hipotalamus, terutama area suprakiasma, dan suatu area yang terkadan dijumpai di nukleus difus talamus (Guyton dan Hall, 2007). Neuron yang mengandung norepinefrin dengan badan sel yang terletak di nukleus sereleus memainkan peranan penting dalam mengendalikan pola tidur normal (Kaplan dan Saddock, 1997). Neuron locus sereleus sangat aktif saat terjaga, bekerja lambat saat tidur NREM, dan tidak aktif ketika REM (Mitchell dan Weinshenker, 2009). Pada percobaan, tikus yang kekurangan norepinefrin menunjukkan penurunan latensi tidur pasca stres, perlu stimuli lebih untuk dibangunkan setelah tidur yang kurang, dan peningkatan keseluruhan waktu tidur dengan REM lebih sedikit dalam 24 jam (Mitchell dan Weinshenker, 2009). Asetilkolin otak juga terlibat dalam tidur, khususnya dalam menghasilkan tidur REM. Pada penelitian binatang, penyuntikan agonis kolinergik-muskarinik ke dalam neuron pontin formasi retikularis (REMon neuron) menyebabkan pergeseran dari terjaga penuh ke tidur REM (Kaplan dan Saddock, 1997). Karena itu muncul postulat bahwa neuronneuron besar pada formasio retikular batang otak bagian atas yang
15
menyekresi asetilkolin mungkin, melalui serabut eferennya yang panjang, mengaktifkan sebagian besar daerah otak (Guyton dan Hall, 2007). Gangguan pada aktivitas kolinergik sentral berhubungan dengan perubahan tidur yang terlihat pada gangguan depresif berat. Jika dibandingkan dengan orang yang sehat dan kontrol psikiatrik yang tidak mengalami depresi, pasien terdepresi memiliki gangguan yang jelas pada pola tidur REM. Gangguan tersebut adalah pemendekan latensi tidur REM (60 menit atau kurang) dan peningkatan persentase tidur REM, dan pergeseran distribusi REM dari setengah bagian terakhir ke setengah bagian awal malam. Pemberian agonis muskarinik seperti arecoline kepada pasien depresi selama periode NREM pertama atau kedua menyebabkan onset tidur REM yang cepat (Kaplan dan Saddock, 1997). f. Biologi Molekular Tidur Beberapa sitokin, termasuk sitokin proinflamasi IL1α, IL1β, IL6, IFNα, IFNγ, TNFα, dan TNFβ mampu meningkatkan tidur NREM (Jewett dan Krueger, 2012). Produksi endogen
IL1β dan TNFα dan kondisi
yang
meningkatkan produksinya seperti konsumsi makanan berlebih atau infeksi dapat meningkatkan NREM (Jewett dan Krueger, 2012). Interleukin
6
merupakan
sitokin
inflamasi
yang
dapat
menyebabkan manifestasi sakit, termasuk somnolens dan fatigue (Vgontzas et al, 1999).
16
Sementara itu, IL10 yang merupakan sitokin anti inflamasi juga dapat memicu onset tidur NREM (Kushikata, 1999). g. Gangguan Tidur 1) Insomnia Insomnia adalah berulangnya kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk, yang timbul walaupun seseorang memiliki waktu dan kesempatan tidur cukup. Kondisi ini mengakibatkan gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Chawla, 2015). 2) Gangguan Rasa Kantuk Berlebih di Siang Hari (Excessive Daytime Sleepiness Disorder) a) Hipersomnia idiopatik Rasa kantuk berlebihan pada siang hari walaupun tidur cukup, dengan setidaknya satu dari gejala berikut: 1) berulangnya periode tidur dalam satu hari; 2) durasi tidur malam memanjang hingga lebih dari 9 jam dan tidak merasa segar kembali setelah bangun; 3) kesulitan untuk sadar penuh setelah terbangun tiba-tiba (Preda, 2015). Kondisi ini terjadi tanpa katapleksi, paralisis tidur, atau REM onset tidur (Preda, 2015). b) Narkolepsi
17
Narkolepsi dicirikan oleh rasa kantuk berlebihan siang hari, katapleksi, halusinasi hipnagogik, dan paralisis tidur (Bozorg et al, 2015). 3) Gangguan Perilaku Tidur Abnormal a) Mimpi buruk Mimpi buruk didefinisikan sebagai episode berulang terbangun dari tidur dengan ingatan akan mimpi yang mengganggu, biasanya melibatkan rasa takut atau cemas, dapat juga merasa marah, sedih, jijik, dan emosi disforik lainnya (Neuspiel, 2015). b) Gangguan perilaku tidur REM Gangguan perilaku tidur REM ditandai dengan hilangnya atonia otot volunter selama tidur REM, yang berhubungan dengan perilaku motorik kompleks selama bermimpi (Ahmed, 2014). c) Tidur berjalan (somnambulisme) Termasuk gangguan rangsangan tidur NREM. Terdapat episode terjaga yang tidak sempurna, disertai episode bangun dari tempat tidur dan berjalan-jalan (Ahmed et al, 2015). 4) Gangguan Ritme Sirkadian a) Advanced phase sleep disorder Onset tidur malam lebih awal yang persisten (antara pukul 18.00 - 21.00) dengan waktu bangun di awal pagi (antara pukul 03.00–05.00). Jadwal tidur stabil dengan durasi tidur normal.
18
Kewaspadaan paling tinggi di pagi hari. Kondisi ini sering muncul pada lansia dan penderita depresi (Cataletto et al, 2015). b) Delayed phase sleep disorder Ketidakmampuan persisten (lebih dari 6 bulan) untuk tidur dan bangun pada waktu yang sama dengan kebanyakan orang (Cataletto et al, 2015). Orang dengan kondisi ini biasanya tidur di awal pagi ( antara pukul 01.00 – 04.00) dan bangun di pagi hari antara pukul 8 sampai 11 (American Sleep Association). Kewaspadaan paling tinggi di malam hari. Kondisi ini banyak ditemukan pada remaja, dewasa muda, dan pekerja malam (Cataletto et al, 2015). c) Non-24 hour sleep wake disorder Non-24 hour sleep wake disorder muncul bila ritme sirkadian tidak selaras dengan siklus tidur bangun 24 jam. Kondisi ini paling sering dialami orang buta total karena ketidakmampuan menerima cahaya (Daly, 2015). d) Shift work sleep disorder Shift work sleep disorder merupakan masalah tidur yang disebabkan pola aktivitas harian yang tidak sesuai irama sirkadian, misal: bekerja di malam hari dan tidur di siang hari (Schwartz dan Roth, 2006). h. Kualitas Tidur 1) Definisi
19
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif tidur seperti durasi, latensi, atau seberapa sering terbangun, dan aspek subjektif seperti ketenangan atau perasaan tidur lelap (Buysse et al, 1988). 2) Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur a) Usia Jika dibandingkan dengan subjek usia muda, lansia perlu waktu lebih lama untuk mulai tertidur. Pada lansia, efisiensi tidur berkurang, frekuensi terbangun di malam hari lebih sering, bangun di pagi hari lebih awal dari yang diinginkan, dan tidur siang lebih banyak diperlukan (Cohen-Zion dan Ancoli-Israel, 2009). Seiring bertambahnya usia, beberapa faktor membuat irama sirkadian menjadi kurang teratur. Perubahan yang terjadi antara lain degenerasi nucleus suprachiasmaopticus, berkurangnya sekresi melatonin di malam hari, dan berkurangnya sensitivitas pada stimuli eksternal atau kurangnya stimuli eksternal seperti cahaya terang. Individu berusia lanjut lebih jarang terpapar cahaya terang dibandingkan yang berusia muda (Cohen-Zion dan AncoliIsrael, 2009). Lansia juga sering mengalami insomnia. Insomnia adalah keluhan rendahnya kuantitas dan/atau buruknya kualitas tidur. Insomnia umumnya komorbid dengan kondisi medik, psikiatrik, atau psikososial dan/atau sebagai akibat sekunder dari tatalaksana kondisi tersebut. Perubahan dalam hidup seperti pensiun atau
20
meninggalnya pasangan juga dapat menyebabkan insomnia (Cohen-Zion dan Ancoli-Israel, 2009). b) Aktivitas fisik Aktivitas fisik memproduksi endorfin yang berguna sebagai pereda nyeri alami dan dapat meningkatkan kemampuan untuk tidur (ADAA, 2015). Reid (2010) menyebutkan tatalaksana non medikamentosa untuk pasien insomnia seperti edukasi tentang aktivitas fisik dan sleep hygiene merupakan pilihan bagus karena menghindari potensi interaksi obat tidur dengan obat lain yang dikonsumsi pasien. c) Pekerjaan Profesi yang mengharuskan bekerja di luar jam kerja umum (09.00 – 17.00) berpotensi menimbulkan gangguan tidur dan rasa kantuk di siang hari (NSF, 2015). d) Jenis kelamin Kualitas tidur wanita lebih baik dibandingkan pria. Pada wanita, durasi tidur lebih panjang, latensi onset tidur lebih pendek, dan efisiensi tidur lebih tinggi. Meskipun begitu, wanita lebih sering mengeluhkan gangguan tidur. Kondisi fisiologis seperti pubertas, menstruasi, kehamilan, dan menopause berhubungan dengan perubahan pola tidur (Krishnan, 2006). e) Kepribadian
21
Studi yang dilakukan Martikainen (2010) menghubungkan lima faktor kepribadian dengan kualitas tidur. Tingkat neurotis yang tinggi berhubungan dengan latensi tidur lebih lama. Kesungguhan atau conscientiousness tinggi berhubungan dengan latensi tidur yang lebih singkat. Latensi tidur singkat dan tidur yang lebih efisien dihubungkan dengan tingkat kemufakatan atau agreableness. Ekskstraversi berhubungan dengan durasi tidur singkat tetapi kualitas tidur tidak lebih buruk. Sedangkan keterbukaan atau openness tidak mempengaruhi kualitas tidur. f) Diagnosis medis yang menyertai Penyakit seperti artritis, penyakit kardiovaskular, penyakit paru, gangguan nyeri kronis, dan penyakit lain yang menyebabkan rasa tidak nyaman secara fisik sering berhubungan dengan insomnia (Cohen-Zion dan Ancoli-Israel, 2009). 3) Indeks Kualitas Tidur Pittsburgh Pittsburgh Sleep Quality Index (indeks kualitas tidur Pittsburgh) atau disingkat PSQI merupakan kuesioner untuk mengetahui kualitas tidur. Kuesioner ini terdiri dari 7 komponen yang dibagi ke dalam 19 pertanyaan. 2. Tari Gambyong Pareanom a. Sejarah Kebudayaan jawa terdiri dari tradisi besar yang berkembang di istana dan kota, dan tradisi kecil yang berkembang di pedesaan.
22
Perbedaan tradisi ini juga tampak dalam tarian. Tarian tradisi besar misalnya bedhaya dan srimpi, yang berwatak alus, anteng, jatmika, dan regu (pendiam). Tarian tradisi kecil besifat kasar, rongeh, dan brangasan (Widyastutieningrum, 2004). Terjadi interaksi tradisi besar dan tradisi kecil. Dahulu raja sering mengundang seniman dari desa ke istana kemudian kesenian desa diperhalus oleh seniman istana. Orang desa yang menjadi abdi dalem menyerap nilai-nilai istana untuk dikembangkan di desa. Dalam hal tarian, interaksi antar tradisi ini terlihat pada tari gambyong, sebagai tradisi kecil yang berkembang menjadi bagian dari tradisi besar (Widyastutieningrum, 2004). Tari Gambyong merupakan bentuk tari putri gaya Surakarta. Awalnya tarian ini termasuk tari teledek atau tarian rakyat. Tari gambyong disebut dalam Serat Centhini, yang ditulis pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IV dan Susuhunan Paku Buwana V. Pada zaman Susuhunan Paku Buwana IX (1861-1893), K.R.M.T Wreksadiningrat berhasil menggarap tari Gambyong menjadi tarian tunggal yang pantas dipertunjukkan di kalangan para bangsawan atau priyayi (Widyastutieningrum, 2004). Nyi
Bei
Mardusari
mengatakan
tari
gambyong
sering
ditampilkan di Mangkunegaran pada masa K.G.P.A.A Mangkunegara VII (1916-1944). Tarian ini juga sering ditampilkan di Mangkunegaran
23
pada zaman penjajahan Jepang untuk menjamu tentara Jepang yang datang ke Mangkunegaran (1942-1945) (Widyastutieningrum, 2004). Pada masa pemerinyahan K.G.P.A.A. Mangkunegara VIII, Nyi Bei Mintoraras terdorong untuk menyusun gambyong pareanom pada tahun 1950. Tari tersebut dipentaskan pertama kali pada tahun 1951 dalam acara pernikahan G.R.A. Siti Nurul Kamaril Ngarasati (adik K.G.P.A.A. Mangkunegara VIII). Bentuk sajiannya berbeda dengan bentuk sajian tari gambyong pada umumnya. Susunan geraknya diambil dari unsur gerak tari srimpi, golek, dan gambyong; iringannya mendapat pengaruh bentuk karawitan gaya Yogyakarta yaitu Sumedhang Kebar; busananya menggunakan busana tari yang biasa digunakan untuk tari wireng yaitu mekakan dengan jamangan; demikian juga rias mendapat pengaruh rias pada tari wireng. Ciri pareanom tampak pada warna busana yaitu warna hijau pada mekak dan warna kuning pada sampur atau selendang (Widyastutieningrum, 2004). Nora Kustantina Dewi dan Rusini menyusun kembali tari gambyong pareanom pada tahun 1979 yang kemudian dipadatkan pada 1980 oleh ASKI/PKJT (Widyastutieningrum, 2004). b. Gerakan Gerakan tari Gambyong Pareanom merupakan perpaduan tari rakyat yang spontan dan komunikatif dan tari istana yang halus, luwes, dan lembut (Widyastutieningrum, 2004).
24
Gerak-gerak khas pada tari Gambyong antara lain nacah (kaki diangkat bergantian dengan berjalan ke samping), ogek lambung (gerak lambung ke kanan dan ke kiri), ukel asta (gerak memutar pergelangan tangan), dan pacak gulu (gerak leher dan kepala). Di samping itu susunan tari gambyong tampak mengalir sehingga sulit untuk mengenali sambungan
serta
penggalan
pola
gerak
satu
dengan
lainnya
(Widyastutieningrum, 2004). Gerak tangan pada tari Gambyong Pareanom memiliki sentuhan dinamika pada gerak. Arah pandangan mata yang mengikuti gerak tangan menjadikan faktor dominan gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Hal ini dapat diamati pada gerak ukel asta (memutar pergelangan tangan), ngruji (jari-jari rapat, ibu jari menempel pada telapak tangan), ngithing (jari tengah ditekuk dan ujungnya menempel pada ujung ibu jari, sedangkan jari yang lain ditekuk seperti jari tengah), dan nyempurit (jari tengah ditekuk, ujung ibu jari di tengah jari tengah, jari yang lain ditekuk seperti jari tengah) (Widyastutieningrum, 2004). Gerak kaki mempunyai hubungan harmonis, misal gerak srisig (berlari dengan jinjit dan langkah-langkah kecil), nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan diletakkan di depan kaki kiri), kengser (gerak kaki ke samping dengan posisi telapak kaki tetap merapat ke lantai). Gerak kaki yang khas pada tari Gambyong yaitu gerak embat atau entrag yaitu posisi lutut yang membuka karena
25
mendhak
(demi
plie)
bergerak
ke
bawah
dan
ke
atas
(Widyastutieningrum, 2004). Variasi gerakan tubuh yang dilakukan gerakan hoyog atau leyek (tubuh diayun ke samping kiri dan kanan). Badan tidak memiliki berbagai variasi gerak karena posisi badan masih tetap mendhak bahkan ketika berjalan (Widyastutieningrum, 2004). Gerak kepala dalam tari Gambyong Pareanom lebih beragam daripada gerak kepala tari Bedaya atau Srimpi. Gerak kepala atau pacak gulu ganil dalam tari Gambyong sifatnya genit dan polanya berbeda yaitu memutar kepala secara horisontal, menekuk leher ke kanan dan kiri secara bergantian, dan menjulurkan leher ke depan dan menariknya kembali (pacak gulu lenggut) (Widyastutieningrum, 2004). c. Musik Instrumen pengatur ritme yang utama pada tarian ini yaitu kendang. Pada tari Gambyong digunakan kendang ciblon (kendang berukuran sedang). Selain kendang, tari Gambyong juga mengacu pada kempul,
kenong,
dan
gong
untuk
menentukan
seleh
gerak
(Widyastutieningrum, 2004). 3. Hubungan Tari Gambyong Pareanom dengan Kualitas Tidur Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Caldwell (2010) menyebutkan bahwa latihan seperti pilates, taiji quan, dan gyrokinesis dapat meningkatkan mindfulness, yang kemudian akan memperbaiki kualitas tidur. Serupa dengan itu, penelitian Pinniger (2013) menyebutkan bahwa
26
dansa tango dapat melatih atensi yang kemudian akan mengurangi insomnia. Dalam penelitian ini digunakan tari Gambyong Pareanom karena gerakannya tenang dan juga memerlukan cukup atensi untuk dapat menarikannya. Atensi yang cukup dapat melatih parasimpatis. Porges (2007) menyebutkan sistem parasimpatis dari sistem saraf otonom berfungsi untuk menjaga ketenangan dan homeostasis dan meregulasi respons terhadap stress. Hal-hal itu dapat meningkatkan kualitas tidur.
27
B. Kerangka Pemikiran Gambyong Pareanom
Gerakan (kontraksi otot) Konsentrasi pada gerakan
Sekresi IL-6
Melatih saraf parasimpatis
Pro inflamasi
Efek menenangkan dan mengurangi stres
Manifestasi sakit: fatigue dan somnolens
Sekresi IL-10
Anti inflamasi
Meningkatkan tidur NREM
Memperbaiki kualitas tidur Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran C. Hipotesis Ada pengaruh tari Gambyong Pareanom terhadap kualitas tidur.