AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS DALAM KONTEKS

Download 1 Jan 2011 ... Keywords : Agency Theory, Culture, Management Control Systems ... Teori ini memiliki pengaruh paling besar yang mendasari pe...

0 downloads 452 Views 146KB Size
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Managements Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA

Yusnaini Universitas IBA Palembang

Abstract This paper explains the conection among agency theory, culture and management control system in asia. Based on few study, Agency theory, in fact cannot generalize implementation in asia cultures. Its because limitation research when explore culture dimension or metodology development. This paper show point of view that eventhogh agency theory can be use to build MCS design but so many cultures factor can effect the agent and pricipal relation in an organization. Keywords : Agency Theory, Culture, Management Control Systems

PENDAHULUAN Dalam mencapai tujuan umum organisasi, seringkali terdapat berbagai hambatan. Hambatan tersebut kadangkala diakibatkan oleh tidak sesuainya antara tujuan agent dan principal, baik antara shareholder dengan manajemen maupun antara superior dengan subordinate dalam suatu organisasi (Jensen dan Meckling 1976). Hal ini dapat dijelaskan melalui agency theory. Agency theory memberikan dasar-dasar teoretis dalam banyak penelitian di bidang ekonomi, manajemen, marketing, finance, accounting dan sistem informasi. Teori ini memiliki pengaruh paling besar yang mendasari penelitian di bidang corporate governance dan management control systems di dunia barat (Ekanayake 2004). Dalam budaya barat, agency theory telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memandang masalah goal congruence (Jensen dan Meckling 1976; Eisenhardt 1989). Sayangnya, beberapa penelitian pada budaya Asia masih belum dapat dibuktikan secara konsisten mengeni perspektif agency theory (O’Connor 1997; Salter and Sharp 1997; Taylor 1995). Hal ini dikarenakan sifat dasar agent di antara berbagai budaya berbeda, baik dalam nilai dan norma (Hofstede 1980). Sampai saat ini masih belum terdapat kesimpulan umum di antara para peneliti mengenai perspektif agency theory jika melibatkan unsur budaya dalam memahami hubungan antara agent dan principal. Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara agent dan principal tersebut, diperlukan management control systems (MCS) yang merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan desain management control system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan (agent dan principal) ini dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di capai (Ekanayake 2004). Paper ini berusaha untuk mengangkat fenomena yang telah diuraikan diatas dengan memandang pentingnya desain management control systems dalam mengatasi agency problem. Namun, dengan juga memperhatikan unsur budaya yang sangat mempengaruhi

37

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

agency theory, yang pada akhirnya akan menentukan desain MCS yang tepat dalam mencapai tujuan organisasi. AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS) Agency theory memfokuskan perhatian pada agency problem yang terjadi ketika terdapat hubungan keagenan antara principal dengan agent. Dalam hal ini principal mendelegasikan wewenangnya kepada agent untuk mengambil keputusan (Anthony dan Govindarajan 2003). Agency problem ini terjadi karena agent memiliki tujuan yang berbeda dengan principal (Jensen dan Meckling, 1976). Premis dari agency theory adalah bahwa agent berprilaku self-interested, risk averse, rational actors yang selalu berusaha less effort (moral hazard) dan adverse selection. Agency theory ini berusaha untuk menyelesaikan dua problem yang berkaitan dengan agency problem, yaitu (1) masalah pengawasan (monitoring) yang timbul karena principal tidak dapat membuktikan apakah agent telah berprilaku secara tepat; (2) masalah pembagian risiko (risk sharing) khususnya dalam kasus pengendalian outcome yang timbul ketika principal dan agent bersikap berbeda mengenai risiko (Eisenhardt 1989). Terdapat dua tipe hubungan antara agent dan principal, yaitu (1) pertama, hubungan antara pemilik perusahaan atau shareholder (the principal) dengan top management (the agent) (Jensen dan Meckling 1976), (2) kedua, hubungan antara top management yang bertindak sebagai principal dengan manager unit sebagai agents (Govindarajan dan Fisher 1990). Beberapa studi yang memperluas konsep hubungan principal-agent pada tipe kedua adalah hubungan antara superior-subordinate, employer-employee, manager-worker (Eisenhardt 1988; Gomez-Mejia dan Balkin 1992). Management control systems (MCS) memiliki tugas penting me-manage hubungan tersebut secara optimal dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Perspektif agency dapat memberikan penjelasan langsung mengenai aspek-aspek MCS suatu organisasi (Ekanayake 2004). Aspek tersebut antara lain sistem informasi dan proses informasi, internal control dan audits, pengukuran kinerja dan evaluasi, kompensasi dan insentif. Terdapat implikasi agency theory pada management control, yaitu, pertama, prilaku selfinterest agen dapat di monitor melalu sistem informasi. Kedua, kompensasi dan insentif dapat menjadi alat untuk menyelaraskan motivasi agen dengan tujuan organisasi. Ketiga, kondisi ketidakpastian dan pertimbangan risiko yang dijelaskan agency theory memerlukan perhatian mengenai sistem pengendalian. Samson Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif agency adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan penghargaan. Terdapat empat pertanyaan mendasar yang dihadapi oleh desainer MCS dan untuk mengidentifikasi bagaimana agency theory memberikan kontribusi yang tinggi dalam memahami dan memberikan jalan keluar dari beberapa pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:  Behaviour Control or Output Control? Terdapat kelebihan dan kekurangan dalam mengendalikan agen. Ketika principal lebih menekankan pada control output, baik principal maupun agent dapat mengamati outcomes yang dihasilkan namun effort yang digunakan oleh agen hanya dapat diketahui oleh agen saja sedangkan principal tidak dapat mengetahuinya. Sedangkan ketika mengendalikan prilaku dalam memonitor effort agen, hal ini tidak memuaskan bagi agen dan dapat menimbulkan masalah moral hazard dan adverse selection. Masalah moral

38

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

hazard dapat dihubungkan dengan monitoring (sistem informasi), outcome control (kontrak berdasar outcome), insentif (compensation schemes). Dalam hal masalah adverse selection, principal dapat memilih agen dengan level of skill yang tepat selain level of effort yang tepat juga.  In Designing Compensation and Incentives Schemes Dalam memonitor kinerja, ketika tugas sangat terprogram, agency theory menduga bahwa hal itu akan berhubungan positif dengan penggunaan kompensasi berdasarkan prilaku (fixed salary) dan berhubungan negatif dengan penggunaan kontrak berbasis outcome (variable pay). Namun ketika tugas sangat tidak terprogram, tidak ada cara lain selain mengawasi perilaku agen melalui penilaian outcomes. Sejalan dengan agency theory, perspektif ekonomi pada pengendalian organisasi umumnya mendukung penggunaan performance-contingency pay. Agency theory menentukan penggunaan insentif kinerja ketika principal tidak dapat mengamati tindakan agent.  Management Information Systems Pertanyaan penting mengenai management information systems adalah: bagaimana sistem yang komprehensif seharusnya memberikan informasi bisa menjadi sangat mahal? Bagaimana seharusnya informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi dan prosedur akuntansi (budgeting systems, monitoring systems, variance investigation systems, cost allocation systems, responsibility accounting systems dan transfer pricing systems) dapat dimasukkan ke dalam kontrak kerja untuk membatasi agency problem (Baiman 1990)? Haruskan pilihan sistem monitoring (seperti metode pelaporan) dapat didelegasikan kepada agent (Baiman 1990)? Agency theory (transaction cost economic’s) mengimplikasikan bahwa ketidakmampuan untuk memiliki kontrak yang lengkap dapat meningkatkan prosedur pengelolaan (management control systems) sebagai suatu mekanisme untuk membatasi prilaku opportunistik agent. Dengan demikian, aturan sistem informasi manajemen menjadi bagian dari prosedur pengelolaan yaitu untuk memonitor prilaku self-interested agent.  Performance evaluation Jika agen berprilaku risk averse, evaluasi kinerja berdasar tanggung jawab akuntansi dan kompensasi mungkin tidak menjadi optimal sebagaimana meninggalkan risiko (mengutamakan pencapaian outcome) bagi agen. Meskipun tanggungjawab akuntansi secara luas di terima dalam literatur akuntansi, agency theory berpendapat bahwa agen seharusnya hanya bertanggungjawab untuk berusaha menggunakan skill yang ada. Satu pesan penting dari agency theory mengenai MCS adalah bahwa evaluasi saja tidak cukup untuk memperoleh perilaku yang diinginkan dari agen, tetapi evaluasi yang dilakukan bersamaan dengan reward dapat lebih berarti.

39

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

AGENCY THEORY DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA Faktor budaya dapat mempengaruhi perilaku organisasional secara mendalam meskipun individu seringkali kurang menyadari dampaknya. Kebanyakan peneliti tidak memperhitungkan dampak nilai-nilai yang telah sangat tertanam ini, sehingga banyak aspek dari teori-teori organisasi yang dihasilkan pada budaya yang satu tidak sesuai jika diterapkan dalam budaya lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai teori-teori dari Amerika yang didasarkan atas budaya Barat apakah dapat dijadikan teori yang universal. Oleh karenanya, banyak peneliti yang memandang perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengintegrasikan teori yang bersifat lintas budaya dalam usaha untuk membentuk rerangka yang integratif (Boyacigiler dan Adler 1991). Meskipun agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat, namun dalam budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar budaya Barat (Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat agen memiliki kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting diperhatikan dalam upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980) meneliti keterkaitan norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang berbeda di antara berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar agen-agen berbeda sesuai dengan budayanya masing-masing. Dalam konteks Asia, terdapat beberapa penelitian yang secara tidak langsung memberikan dukungan yang besar bahwa terdapat jarak yang jauh antara sifat agen-agen pada budaya Barat dengan budaya Asia. Terdapat juga sejumlah penelitian yang secara langsung menguji agency theory dalam konteks budaya yang berbeda. Taylor (1995) dalam Ekanayake (2004) menggunakan multi-paradigm (contingency, agency dan cultural) sebagai kerangka konseptual yang menguji prilaku yang berkaitan dengan Anggaran dalam setting multi budaya. Variabel agency yang digunakan adalah information asymmetry dan outcome-based compensation schemes. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan diantara lintas budaya mengenai asumsi yang mendasari agency theory dalam prilaku berkaitan dengan anggaran. Taylor mengemukakan bahwa keefektifan sub sistem pengendalian tradisional seperti partisipasi anggaran, penekanan pada budget dan pola kompensasi, hanya sesuai untuk kelompok Barat dan tidak tepat untuk kelompok China. Sharp dan Salter (1997), menguji universalitas agency theory dan prospect theory dalam menjelaskan keputusan eskalasi komitment untuk proyek yang rugi. Studi ini menggunakan dimensi individualism/collectivism dan loyal versus utilitarian. Hasilnya menunjukkan bahwa manajer Asia lebih berani mengambil risiko dibanding manajer Amerika Utara bila membuat keputusan yang bersifat keuntungan jangka panjang bagi perusahaan, tetapi manajer Asia kurang berani mengambil risiko pada keputusan yang melibatkan keuntungan finansial jangka pendek. Manajer Asia mungkin mempunyai orientasi jangka panjang dari manajer Amerika Utara dalam membuat keputusan. Teori agensi mempunyai explanatory power yang kuat di Amerika Utara, tetapi tidak mempunyai explanatory power pada sampel Asia. Efek pembingkaian signifikan pada kedua kelompok sampel dan tidak signifikan berbeda O’Connor dan Ekanayake (1997, 1998) menguji perbedaan dalam penggunaan Anggaran (sebagai pengendali output) dalam mengevaluasi kinerja manager subordinat di Australia, Singapore, South Korea dan Sri Lanka. Hofstede (1980) mengemukakan dimensi budaya seperti power distance, individualism dan uncertainty avoidance telah digunakan untuk mengukur budaya dan mengembangkan hipotesis. Hasilnya secara

40

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

empiris mendukung ekspektasi teoretis bahwa penekanan pada anggaran dalam mengevaluasi kinerja cukup rendah pada sampel Asia, hal ini mengindikasikan rendahnya pengaruh agency dalam budaya Asia. Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya, dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal. Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi. PERAN BUDAYA TERHADAP DESAIN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS Dalam pengembangan body of reasearch pada tahun-tahun terakhir ini telah diarahkan pada pemahaman mengenai hubungan antara budaya dan desain managemenet control systems (MCS) di negara-negara yang berbeda (Harrison dan McKinnon 1999). Dengan adanya peningkatan globalisasi, telah memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengembangkan operasi secara internasional. Hal ini membawa pada pertanyaan apakah desain MCS yang ada pada perusahaan saat ini sudah cukup baik dan sesuai dengan lingkungan global tersebut atau apakah seharusnya mendesain kembali MCS agar sesuai dengan budaya negara-negara tujuan operasi perusahaan. Desain MCS merupakan issu utama dalam riset-riset akuntansi selama beberapa tahun. Namun sayangnya mayoritas penelitian-penelitian ini hanya ditekankan pada satu negara saja, meskipun telah di akui bahwa unsur budaya sangat penting. Harrison dan McKinnon (1999) mereview penelitian-penelitian mengenai management control system (MCS) dalam lintas budaya mulai dari tahun 1980, dalam upaya untuk memberikan pemahaman mengenai pengaruh budaya terhadap desain MCS, dan untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan metodologikal riset-riset tersebut untuk memberi arahan pada riset-riset mendatang. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitianpenelitian lintas budaya ini terlalu menyederhanakan konsep budaya dan perbedaan mereka dalam hal metodologis dalam penelitian memberikan hasil yang berbeda pula. Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat memberikan pengaruh terhadap desain MCS. Berbagai perbedaaan hasil penelitian ini di duga tergantung pada originalitas dari peneliti. Analisis yang dilakukan Harrison dan McKinnon (1999) menunjukkan perbedaan hasil penelitian ini karena beberapa hal berikut, yaitu, pertama, tingginya variasi karakteristik MCS dan organisasi yang telah di uji. Meskipun karakteristik MCS beberapa studi sama, namun definisi operasional dari karakterisitiknya seringkali bervariasi atau ketidakcukupan definisi secara umum. Seperti contoh karakteristik MCS mengenai formalization/rules dengan prosedur, yang dioperasionalisasikan secara berbeda dalam berbagai penelitian. Kedua, perbedaan dimensi budaya yang digunakan memberikan perbedaan studi dalam mendukung hubungan antara budaya-MCS. Meskipun dimensi budaya yang digunakan sama, kadangkala perbedaan teori dapat memberikan arti yang berbeda pula. Ketiga, meskipun metode survey kuesioner mendominasi studi-studi tersebut, perbedaan ukuran sampel, managerial level dan lokasi responden serta variabel control yang digunakan membuat sulit dalam menilai convergen dan perbedaan hasil penelitian.

41

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

Penelitian yang dilakukan Chow et al. (1991) menggunakan eksperimental studi, menekankan pada dimensi individualism (IDV) mengenai workflow dan pay interdependence di Singapore dan US. Hasilnya menunjukkan IDV merupakan dimensi yang paling relevan untuk karakteristik MCS. Frucot dan Winston (1991) melakukan penelitian pada partisipasi budget untuk menguji hasil Brownell’s (1982) mengenai partisipasi di antara manager US. Mereka menghipotesiskan bahwa hasil Brownell’s tidak bisa digeneralisir untuk Mexico, dengan alasan bahwa rangking power distance (PD) dan uncertainty avoidance (UA) di Mexico lebih tinggi dibandingkan US (menurut Hofstede 1980). Rangking ini juga dihubungkan dengan autokrasi, rule-based organization dan rendahnya partisipasi. Hasilnya bertentangan dengan yang mereka perkirakan. Meskipun hasil ini menduga bahwa beberapa pengaruh budaya terjadi pada level managerial dan firm ownership subsets pada sampel mereka, penemuan mereka menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh budaya, dan hasil Brownell’s tidak bisa digeneralisir untuk Mexico. Birnbaum dan Wong (1985) menggunakan dimensi Hofstede’s uncertainty avoidance (UA) untuk menghipotesiskan bahwa Hong Kong mengacu pada rendahnya level horizontal differentiation dibandingkan US. Hipotesis ini di dasari oleh Hofstede (1980) yang menemukan bahwa para pekerja di Hong Kong memiliki preferensi yang kuat pada level UA yang rendah, dimana hal berhubungan dengan rendahnya level horizontal differentiation. Hasilnya menunjukkan gagal dalam mendukung hipotesis mereka. Hal ini dikarenakan pilihan hipotesis mereka hanya didasarkan pada penemuan Hofstede saja tanpa berusaha mempertimbangkan atribut budaya lainnya. Lincoln et al. (1981), menemukan bahwa level horizontal differentiation di Jepang cukup rendah, dimana UA tinggi. Birnbaum dan Wong menghipotesiskan bahwa rendahnya level of horizontal differentiation di Hong Kong karena UA juga rendah. Kebanyakan penelitian difokuskan pada masyarakat di Anglo-American (khususnya US dan Australia) dan dibandingkan dengan Asia (Jepang, Singapore, Hong Kong). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan substansial pada power distance (PD), individualism (IDV) dan uncertainty avoidance (UA). Cluster pada Anglo_ameria memiliki tipe lebih tinggi pada IDV dan rendah pada PD dibandingkan Asia, studi-studi cenderung untuk mengasumsikan IDV dan PD memiliki nilai yang sama untuk masing-masing negara (Harrison 1992). Dampak nilai budaya ditentukan oleh centralitas mereka di dalam sistem nilai dari setting budaya. Mereka membedakan konsep nilai sebagai core dan peripheral yang dapat menjelaskan perbedaan penemuan dari penelitian-penelitian budaya pada MCS. Ucno dan Sekaran (1992) menggunakan enam budget control yang digunakan dalam perusahaan manufaktur di Jepang dan USA. Dihipotesiskan bahwa empat dari enam yang digunakan di USA, yaitu (1) komunikasi formal dan koordinasi dalam proses perencanaan budget, (2) adanya slack pada budget, (3) pengendalian pada budget secara luas, (4) menggunakan evaluasi jangka panjang sampai perluasan terkecil. Dua hipotesis yang diajukan bahwa perusahaan Jepang menyusun proses perencanaan budget mereka dan menggunakan waktu yang panjang dalam prosesnya sangat luas digunakan dibandingkan perusahaan-perusahaan di Amerika, tidak terdukung. Empat premis mengenai perbedaan IDV antara Jepang dan USA terdukung, sedangkan dua premis mengenai perbedaan dalam UA tidak terdukung. Nilai central dalam suatu budaya memiliki implikasi pada perusahaan multinasional, sehingga diperlukan modifikasi atas MCS domestik yang seharusnya disesuaikan dengan negara asing dimana perusahaan akan beroperasi. Penelitian Chow et al. (1996) memberikan bukti bahwa yang mendukung asumsi tersebut. Dalam studi mereka

42

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

digunakan delapan karakteristik MCS pada perusahaan Jepang dan USA yang beroperasi di Taiwan. Organisasi yang beroperasi di sana secara substansial memodifikasi MCS mereka untuk menyesuaikan dengan budaya Taiwan yang berbeda. Sedangkan O’Connor (1995) menemukan bukti dari perusahaan yang memodifikasi budaya mikrokosmik budaya organisasi melalui selection, sosialisasi dan pelatihan. Hal ini tidak konsisten dengan penemuan Chow et al. (1996), terlebih lagi hal itu menduga bahwa organisasi memiliki pilihan untuk memodifikasi, pilihan tersebut tergantung pada cost modifikasi budaya organisasi atau memodifikasi MCS pada budaya yang berbeda. Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi budaya yang terbatas. AGENCY THEORY, BUDAYA DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS) Dari uraian literatur yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat adanya hubungan yang kuat antara agency theory dan faktor budaya dengan desain management control systems (MCS). Agency theory dapat menjelaskan adanya masalah agency dalam hubungan agen dan principal. Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara agent dan principal tersebut, diperlukan management control systems (MCS) yang merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan desain management control system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan (agent dan principal) ini dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di capai (Ekanayake 2004). Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif agency adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan penghargaan. Agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat, namun dalam budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar budaya Barat (Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat agen memiliki kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting diperhatikan dalam upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980) meneliti keterkaitan norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang berbeda di antara berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar agen-agen berbeda sesuai dengan budayanya masing-masing. Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya, dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal. Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi (Taylor 1995; Sharp dan Salter 1997; O’Connor dan Ekanayake 1997, 1998).

43

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat memberikan pengaruh terhadap desain MCS (Chow et al. 1991; Harrison 1992). Berbagai perbedaaan hasil penelitian ini di duga tergantung pada originalitas dari peneliti. Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi budaya yang terbatas. PENUTUP Agency theory yang merupakan teori yang paling berpengaruh dalam memahami hubungan antara agent dan principal ternyata memang sangat tepat dan telah teruji di dunia barat. Namun ketika teori ini diterapkan pada budaya yang berbeda maka hasilnya juga tidak konsisten sebagaimana hasil yang di peroleh pada asal teori ini ditemukan. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa faktor budaya sangat berperan dalam menentukan suatu hubungan antara agent dan principal. Ketidakkonsistenan hasil pengujian agency theory pada budaya yang berbeda akan memberikan suatu tantangan tertentu bagi organisasi dalam mendesain sistem pengendalian manajemen yang dipercaya mampu mengatasi agency problem atas hubungan principal dan agent. Beberapa penelitian juga memberikan petunjuk bahwa faktor budaya juga sangat berpengaruh dalam penentuan desain MCS. Namun review penelitian yang dilakukan oleh Harrison dan McKinnon (1999) menjawab bahwa penelitian-penelitian yang memasukkan unsur pengaruh budaya terhadap desain MCS, memiliki 4 keterbatasan baik pada dimensi maupun metodologi seperti yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara budaya, agency theroy dan management control systems (MCS). Namun peran budaya dalam konteks Asia masih memerlukan penelitian-penelitian lebih jauh untuk menggeneralisir hasil-hasil penemuan di budaya Barat. DAFTAR PUSTAKA Anthony, Robert and Vijay Govindarajan. 2003. Management Control System. 11th Edition: Irwin McGraw Hill. Baiman, S. 1990. Agency Research in Managerial Accounting: A second look. Accounting Organizations and Society. Vol. 15. No. 4 Pp: 314-371. Boyacigiler, N.A., and Adler, N. 1991. The Parochial Dinosaur: Organization Science in A Global Context. Academy of Management Review. Pp: 262-290.

44

JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia

VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011

Brownell, P. 1982. A Field Study Examination of Budgetary Participation and Locus of Control. The Accounting Review. Vol. 56 (4). Pp: 844-860. Chow, C. and Y. Kato, K. Merchant. 1996. The Use of Organizational Controls and Their Effects on Data Manipulation and Management Myopia: A Japan vs. U.S. comparison. Accounting, Organizations and Society. Vol. 21. pp.175 - 192. Eisenhardt. 1989. Agency theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review. Vol. 14 No. 1. Pp: 57-74. Ekanayake, Samson. 2004. Agency Theory, National Culture and Management Control Systems. Journal of American Academy of Business. Vol. 4. Pp: 49-54. Frucot, Veronique and Shearon Winston T. 1991. Budgetary Participation, Locus of Control and Mexican Managerial Performance and Job Satisfaction. The Accounting Review. January. Pp: 80-89. Gomez-Mejia, L. and Balkin, D. 1992. The Determinants of Faculty Pay: An Agency Theory Perspective. Academy of Management Journal. Vol. 35. Pp: 921-955. Govindarajan, V and Fisher J. 1990. Strategy, Control Systems and Resource. Sharing: Effects on Bussiness Unit Performance. Academy of Management Journal. Vol. 33 Issue 3. Pp 259-285. Harrell, A. and P. Harrison. 1994. An Incentive To Shirk, Privately-Held Information, and Managers Project Evaluation Decisions. Accounting, Organizations and Society. Vol. 19 pp: 569 - 577. Harrison, G.L., and J. McKinnon. 1999. Cross-Cultural Research in Management Control Systems Design: A Review of The Current State. Accounting, Organizations and Society. Vol. 24 pp.483 - 506. Hofstede,

Geert. 1980. Culture’s Consequences: International Differences in Work Related Value . Newbury Park, CA: Sage.

Jensen dan Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics. Vol: 3. Pp: 305-360. O’Connor N.G. 1997. Patterns of Cultural and Budgetary Controls in International Joint Ventures in South Korea, Asian Review of Accounting. Pp. 1-20. Salter, Stephen B. dan David J. Sharp. 1997. Agency Effects and Escalation of Commitment: do Small National Culture Differences Matter?. The International Journal of Accounting. Vol. 36. Issue 1. Pp: 33-45.

45