AGRIPLUS, VOLUME 20 NOMOR : 02 MEI 2010, ISSN 0854-0128

Download 2 Mei 2010 ... tumbuhan dalam suatu ekosistem adalah dengan melakukan ... menganalisis hutan alam yang luas dan untuk ...... Jurnal Penelit...

0 downloads 406 Views 148KB Size
114

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Oleh: La Ode Alimuddin 1) ABSTRACT The composition and vegetation structure in a forest ecosystem is describing of its abundances and possibilities of resiliency on environmental stress. Therefore, its exploitation and management method should be based on how strong of its resiliencies. This research were aimed: (1) to investigate the ecosystem condition of limited production forest at Kolaka’s Regency South-East Sulawesi based on vegetation aspects, and (2) to fine out of the restrictive of ecosystem for determining the best exploitation and management method. This research was conducted at Limited Production Forest area in January 2008. A survey method was used in this research, while a transect line method for measurement of vegetation parameters. The vegetation variables observed were density, frequency, dominancy, importance value index, summed dominance ratio, and heterogeneity. Results of this research showed that both of the composition and structure vegetation was composed by a number of original species in good enough of ecosystem performance. The composition of vegetation consist of 19 species in tree level, 18 species in pole level, 15 species in sapling level and 23 species in seedling level of growth. Four species as a primary composers in this forest ecosystem were Nyatoh (Palaquium bataannense Merr.), Damar (Agathis philipinensis M.Dr.), Koreppe (unidentified), and Bitau (Calophyllum soulattri Burn.f). The distribution of species in ecosystem ranged from 10% to 100%.ha-1, dominancy value ranged from 0.07 to 141.97 m2.ha-1, importance value index ranged from 2.39 to 92.95, summed dominance ratio ranged from 0.80 to 30.98, and heterogeneity value ranged from 2.05 to 2.76. This vegetation performance indicated that a high enough of resiliency in ecosystem. While the main restrictive in habitat was a steep in topography, so the best method for felling trees was a selection system on >50 cm stem in diameter. Key words: forest, vegetation, composition and structure

PENDAHULUAN Indonesia termasuk salah satu kawasan Hutan Hujan Tropis terluas di dunia dan terkenal dengan keanekaragaman spesies flora dan faunanya, namun secara komposisi dan struktur, hutan di Indonesia umumnya relatif sama dan sebagian besar didominasi oleh suku Dipterocarpaceae. Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10oLU dan 10oLS, yang terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25oC dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80% (Vickery, 1984 dalam Indriyanto, 2006). Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Undang-Undang RI No 41 Tahun 1999), yaitu berupa hasil kayu dan hasil hutan nir 1

kayu berupa rotan, bambu, tumbuhan obat, rumput, kulit kayu, buah, biji, lateks/getah, resin (dammar, kopal, gom, gondorukem, jernang) dan zat ekstraktif berupa minyak (Direktorat Bina Program Kehutanan, 1981). Dengan demikian, Hutan Produksi merupakan areal hutan yang dipertahankan sebagai kawasan untuk menghasilkan hasil hutan untuk kepentingan konsumsi masyarakat, industri, dan ekspor. Sedangkan Hutan Produksi Terbatas (HPT) adalah hutan produksi yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. Sistem tebang pilih (selection system) adalah sistem penebangan pohon dengan menggunakan pendekatan sistem limit diameter atau keliling batang yaitu minimal atau sama dengan 50 cm. Hal ini dimaksudkan agar pohon yang ditebang telah masak panen, sehingga keberlanjutan sumberdaya hutan tetap terjaga. Sulawesi Tenggara sebagai bagian dari Pulau Sulawesi terletak di wilayah Wallacea (Wal1acea region), yakni daerah di antara garis

) Staf Pengajar PadaAGRIPLUS, Jurusan Kehutanan Fakultas Haluoleo, Volume 20Pertanian NomorUniversitas : 02 Mei 2010, Kendari. ISSN 0854-0128

114

115

Wallacea dan garis Weber yang memisahkan daerah biogeografi Indomalaya di sebelah Barat dan Australasia di sebelah Timur dengan identitas keanekaragaman hayati flora dan fauna yang khas yaitu Anggrek Serat (Diplocaulobium utile Krzl.), flora endemik kayu kuku (Pericopsis dan Kasumeeto (Dyospyros moniana) malabarica) (BKSD Sultra, 1997). Menurut hasil paduserasi antara Peta Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan maka luas kawasan hutan adalah ± 2.493.293 hektar atau 62% dari luas daratan provinsi (SK Menhutbun No. 454/Kpts-II/1999 Tanggal 17 Juni 1999). Sedangkan Hutan Produksi Terbatas di Kabupaten Kolaka seluas 22.439,75 ha. Kelestarian sumberdaya hutan harus tetap menjadi pemrioritas di dalam setiap aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan. Kelimpahan spesies flora merupakan anugerah dari Allah SWT yang harus dimanfaatkan secara bijaksana, sebab bila tidak maka akan menyebabkan ketimpangan pada keseimbangan ekosistem yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan organisme lain yang hidup di dalamnya dan bahkan mengancam kehidupan manusia. Salah satu cara untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman spesies tumbuhan dalam suatu ekosistem adalah dengan melakukan analisis secara kuantitatif berdasarkan komposisi floristiknya (Arief, 1994; Soerianegara dan Indrawan, 2002). Komposisi floristik suatu ekosistem merupakan variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas (Melati, 2007), sehingga menggambarkan kekayaan jenis yang menyusun ekosistemnya. Tatanan ruang yang dibentuk oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup (life-form), stratifikasi (statification) dan penutupan vegetasi (covering) yang tergambar dalam keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman tajuk serta kesinambungan jenis menggambarkan struktur ekosistem (Melati, 2007). Pada kenyataannya bahwa dalam lingkup NILAI PRODUKTIF, ada perbedaan persepsi dan pengetahuan mengenai nilai keanekaragaman hayati di tingkat lokal dan global. Pada umumnya, nilai keanekaragaman

hayati lokal belum terdokumentasikan dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan maupun perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati di tingkat global (Vermeulen dan Koziell, 2002). Kawasan HPT ini juga merupakan kawasan Izin Pengusahaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) oleh PT. Mija Raya Sembada maka keanekaragaman flora di hutan produksi di Kabupaten Kolaka haruslah terinventarisasi dengan baik untuk mengetahui potensi kekayaan sumberdaya jenis pohon lokal, serta pendekatan pemanfaatan dan pengelolaan yang mungkin dapat digunakan. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka penelitian ini bertujuan untuk:(1) menyelidiki kondisi ekosistem berdasarkan aspek vegetasi pada Hutan Produksi di Kabupaten Kolaka untuk mendapatkan gambaran kekayaan flora dan kendala habitatnya, dan (2) mengidentifikasi kendala habitat dalam ekosistem guna menentukan pendekatan pola pemanfaatan dan pengelolaannya yang tepat. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) memberikan informasi tentang potensi sumberdaya jenis tumbuhan di kawasan Hutan Produksi Terbatas bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka, (2) memberikan tambahan pengetahuan tentang koleksi namanama spesies-spesies tumbuhan di Sulawesi Tenggara. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian survei ini dilaksanakan pada Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka. Penelitian berlangsung selama satu bulan yaitu pada bulan Juni 2008. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Sumber data ada dua yaitu data primer berasal dari hasil inventarisasi vegetasi pada setiap petak ukur yang diamati, sedangkan data sekunder berasal dari institusi/lembaga terkait yang relevan dengan penelitian ini. Populasi penelitian mencakup seluruh vegetasi yang tumbuh di Hutan Produksi di Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka. Sedangkan sampel penelitian ini adalah seluruh

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

116

vegetasi yang terdapat dalam setiap petak ukur yang diamati. Variabel komposisi floristik yang diamati dalam penelitian ini meliputi : 1. Kerapatan (K) (individu/ha) = Jumlah Individu Suatu Jenis 2.

3.

4.

5.

Luas Plot Kerapatan Relatif (KR) (%) Kerapatan Suatu Jenis x 100% Kerapatan Seluruh Jenis Frekuensi (F) (m2/ha) Jumlah Plot DitemukanSuatu Jenis Jumlah Seluruh Plot Frekuensi Relatif (FR) (%) = FrekuensiSuatu Jenis x 100% Frekuensi Seluruh Jenis Dominansi (D) (m2/ha) Luas Bidang Dasar Suatu Jenis

=

=

=

7.

Luas Plot Dominansi Relatif (DR) (%) = Dominansi Suatu Jenis x 100% Dominansi Seluruh Jenis Indeks Nilai Penting (INP) = KR+FR+DR

8.

Summed Dominance Ratio (SDR) =

9.

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (1963) dalam Melati (2007) H’ = -∑(ni/N) ln ni/N)

6.

INP 3

Dengan : H’ = Indeks keanekaragamn ShannonWienner; ni = Jumlah individu yang termasuk jenis ke-i; N = Jumlah individu semua jenis

Analisis vegetasi yang digunakan adalah berdasarkan komposisi floristik, yaitu mempelajari komposisi (susunan) dan struktur vegetasi yang disajikan secara kuantitatif dengan parameter kerapatan, pola sebaran, penutupan lahan, dan keanekaragaman. Metode garis berpetak (transect line) yaitu sebanyak 2 garis transek dengan 10 petak ukur pada setiap transek digunakan sebagai teknik pengambilan sampel. Teknik ini digunakan karena cocok untuk menganalisis hutan alam yang luas dan untuk

mengetahui perubahan stratifikasi vegetasi menurut topografi dan elevasi (Melati, 2007). Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tumbuhan, meteran roll 100 m dan 150 cm, patok kayu, peta Rupa Bumi Indonesia (skala 1:50.000), Peta Kesesuaian Lahan Sulawesi Tenggara (skala 1:250.000), Peta Ikhtisar Geologi dan Potensi Bahan Galian Provinsi Sulawesi Tenggara (skala 1:500.000), Global Positioning System (GPS), dan alat tulis. Prosedur pengumpulan data sebagai berikut : Berdasarkan peta kawasan maka ditentukan titik awal pembuatan garis transek yang ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterwakilan vegetasi menurut kondisi habitat, yaitu dari yang bertopografi datar ke arah bukit yaitu memanjang dan memotong bukit (Gambar 1 tanda panah). Dengan menggunakan GPS, maka transek 1 berada pada titik koordinat S = 03o13’52,4”; E = 121o17’54,3”; Alt = 900 m dpl, kemudian transek 2 hingga pada titik koordinat S = 03o23’19,8”; E = 121o05’54,3”; Alt = 1600 m dpl. Dengan menggunakan meteran roll, dibuat petak ukur sebanyak 10 buah yang berukuran 20 m x 20 m, sehingga seluruh petak ukur berjumlah 20 buah, dan jarak setiap petak ukur adalah 100 m. Selanjutnya petak ukur dibagi dalam empat bagian dalam ukuran berbeda untuk dilakukan pengukuran pada empat tingkatan pertumbuhan sebagai berikut: (a) Petak contoh berukuran 20 m x 20 m (D) digunakan untuk tingkat pohon yaitu berdiameter batang > 20 cm, liana, parasit, serta pohon inang, (b) Petak contoh berukuran 10 m x 10 m (C) digunakan untuk tingkat tiang yaitu berdiameter batang 10 - 20 cm, (c) Petak contoh berukuran 5 m x 5 m (B) digunakan untuk tingkat pancang yaitu berdiameter batang < 10 cm,tinggi >1,5 m, dan (d) Petak contoh berukuran 2 m x 2 m (A) digunakan untuk tingkat semai yaitu tumbuhan < 1,5 cm, dan tumbuhan bawah.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

117 10 m C

5m

A

B 2m

20 m

2m

10 m

5m 100 m m

22 20 m mm 2m

5m

D

Gambar 1. Desain jalur pengamatan vegetasi Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan cara mencatat jumlah spesies, jumlah individu pada setiap spesies, dan mengukur lingkar batang setinggi dada untuk menentukan diameternya yang berfungsi untuk menentukan Luas Bidang Basal (LBB) pada setiap individu pohon. LBB dihitung dengan rumus: ¼ π d2, dengan π = 3,14 dan d = diameter batang (d = keliling/π). Nama tumbuhan terlebih dahulu dicatat dalam bahasa daerah, kemudian disesuaikan dengan daftar nama pohon dalam bahasa daerah dan bahasa latin Selebes dan Jajahannya “Reeds verschenen boomnamenlijsten/Lists of tree names already issued” yang diterbitkan oleh Direktur Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor pada tahun 1942. Pada tumbuhan yang tidak tercantum dalam buku tersebut tetap digunakan bahasa daerah untuk penamaannya. Data hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu mendeskripsikan komunitas tumbuhan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasi yang disajikan secara kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Potensi hutan Kabupaten Kolaka mempunyai luas kawasan hutan terbesar kedua setelah Kabupaten Kendari yaitu seluas 764.765,16 ha. Berdasarkan fungsi hutan maka dari luas kawasan hutan tersebut dibagi menjadi Hutan Lindung 447.336 ha, Hutan produksi Biasa 78.548 ha, Hutan

Produksi Terbatas 171.336 ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi 48.885 ha, Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata 18.660,16 ha (Perda No.20 Tahun 1995). Hutan Lindung terbagi atas empat kelompok atau kompleks hutan yaitu terdapat di Mekongga 292.255 ha, Mala-mala 101.315 ha, Mendoke 28.255 ha, dan Pakue 25.511 ha. Di Kabupaten Kolaka juga terdapat Taman Nasional Rawa Aopa (sebagian masuk pada Kabuapten Kendari dan Bombana) seluas 105.194,00 ha, Hutan Suaka Alam yaitu Cagar Alam Lamedai seluas 635,16 ha untuk melindungi spesies kayu Kuku, kawasan Pelestarian Alam yaitu Taman Wisata Mangolo seluas 5.200,00 ha sebagai kawasan wisata air panas dan flora-fauna, dan Taman Buru Mata Osu seluas 5.000,00 ha. Gambaran di atas menunjukkan bahwa potensi hutan di Kabupaten Kolaka cukup besar yang harus dikelola secara bijaksana agar sumber daya ini mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, pendapatan daerah, dan keamanan lingkungan. Keadaan iklim Menurut data Stasiun Hujan Pomalaa bahwa curah hujan rata-rata tahunan di wilayah cakupan stasiun Klimatologi Wundulako yaitu 2.164,6 mm dalam 141 hari hujan. Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 286,6 mm dalam 13 hari hujan, dan curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 98,1 mm dalam 5 hari hujan.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

118

Berdasarkan sistem Klasifikasi Oldeman (BB = CH rata-rata >200 mm bulan–1 ;BK = CH rata-rata < 100 mm bulan–1), maka iklim di wilayah ini tergolong tipe agroklimat D1, memiliki 4 (empat) bulan basah (BB) berurutan, yaitu Februari-Maret-April-Mei dan hanya terdapat 1 bulan kering (BK) yaitu bulan Agustus. Sedangkan menurut sistem klasifikasi Schmidth-Fergusson (BB= CH >100 mm bulan– 1 ; BK = CH < 60 mm bulan–1) tergolong tipe iklim A, yaitu terdapat rata-rata 11 bulan basah dan tidak memiliki bulan kering dengan nilai Quotient (Q) = 0%. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah cakupan stasiun ini tergolong daerah iklim sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropik. Lama penyinaran rata-rata 4,4 jam, tertinggi pada bulan Oktober 5,6 jam, terendah bulan Juni dan Desember masing-masing 3,2 jam; suhu udara rata-rata 25,0oC, tertinggi pada bulan Oktober 25,9oC dan terendah pada bulan Februari 23,2oC; kelembaban udara rata-rata 90,1%, tertinggi pada bulan Oktober 92,3% dan terendah pada bulan Januari 88,5%; kecepatan angin rata-rata 24,4 km.hari-1, tertinggi pada bulan September 32,6 km.hari-1 dan terendah pada bulan Desember 17,6 km.hari-1; Evaporasi rata-rata 149,2 mm, tertinggi pada bulan April 169,0 mm dan terendah pada bulan Januari 129,7 mm. Keadaa iklim seperti ini akan mendukung pertumbuhan beragam spesies tumbuhan.

Pemanfaatan hutan harus secara hati-hati karena resiko erosi sangat besar apabila lahan terbuka. Berdasarkan hasil interpretasi Peta Ikhtisar Geologi dan Potensi Bahan Galian Provinsi Sulawesi Tenggara Skala 1:500.000, maka formasi geologi dan bahan induk didominasi oleh Kompleks Mekongga (Pcm) Formasi Pualam dan Batu Gamping (Pcml). Secara keseluruhan formasi geologi yang ada adalah (1) formasi Alangga (Qps) yaitu tersusun atas konglomerat dan batupasir, (2) formasi Meluhu (TRjs) yaitu penyusun utamanya adalah filit dan batu sabak, dan diselingi pula batu pasir terubah, kuarsit, dan batu gamping malih, (3) kompleks Mekongga (Pcm) yaitu tersusun atas sekis, genes dan kuarsit, dan (4) formasi Pualam, Batu Gamping (Pcml) yang merupakan batuan tersusun dari batu pualam dan batu gamping yang terdaunkan (Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara Tahun 1993). Berdasarkan informasi pada Peta Kesesuaian Lahan Sulawesi Tenggara (skala 1:250.000) yang dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah (1984) bahwa jenis-jenis tanah yang terdapat di areal kajian adalah: Aluvial, Gleysol, Organosol, Litosol, Renzina, Grumusol, Regosol, Kambisol, Podsolik dan Oxisol. Sifatsifat fisik-kimia solum tanah sangat beragam, mengikuti jumlah jenisnya yang banyak, keadaan penutupan tumbuhan dan penggunaannya.

Topografi, fisiografi dan tanah Berdasarkan hasil interpretasi Peta Rupa Bumi Indonesia (1992) skala 1:50.000 termasuk lembar 2112-34 Pegunungan Mekongga, lembar 2112-61 Lapai, lembar 2112-62 Osu Wiau, lembar 2112-63 Olo-Oloho, lembar 2112-64 Bulu Tembo, Bakosurtanal, dan ketinggian antara 900-1600 m dpl. Daerah studi berada pada daerah pegunungan dengan bentuk wilayah landai hingga bergunung, dan kondisi kelerengan lapangan bervariasi dari datar hingga curam.

Keadaan Vegetasi Penyusun Hutan Hasil analisis komposisi floristik vegetasi di kawasan Hutan Produksi terbatas Kabupaten Kolaka seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 19 jenis vegetasi dalam kategori ukuran pohon, dengan total 1.585 pohon/ha dan terdistribusi pada kisaran kerapatan antara 10-460 individu/ha. Fenomena ini menunjukkan bahwa vegetasi pada ukuran pohon sangat berlimpah jumlahnya, dan merupakan potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

119

Tabel 1. Hasil analisis komposisi floristik pada ukuran pohon di kawasan hutan produksi terbatas Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka. No.

Jenis (Nama Daerah dan Latin) Nyatoh (Palaquium bataannense Merr.) Damar (Agathis philipinensis M.Dr.) Koreppe Bitau (Calophyllum soulattri Burn.f) Campaga Kumea (Manilkara calophylloidae) Jambu-jambu (Kjellbergiodendron sp.) Lilata Enau (Arenga pinnata L.) Bakata (Haplolobus celebicus H.J.L) Kondongio (Dysoxylum densiflora Miq.) Jeruk-jeruk Pece-pece Pao-pao (Magifera sp.) Bilalang (Urandra celebica Howard,) Bello (Pandanus bidur) Bolongita (Tetramales nudiflora R.Br.) Rese-rese Cemara Angin (Casuarina junghuhniana)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Total Keterangan

:

K KR DR FR D INP SDR H’ F (ind/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 460 29,11 0,90 13,85 141,97 30,42 73,38 24.46 0.36 265 16,77 0,80 12,31 103,04 22,08 51,16 17.05 0.30 200 12,66 0,60 9,23 97,46 20,89 42,77 14.26 0.26 140 8,86 0,60 9,23 46,71 10,01 28,10 9.37 0.21 85 5,38 0,40 6,15 14,08 3,02 14,55 4.85 0.16 70 4,43 0,40 6,15 9,60 2,06 12,64 4.21 0.14 55 3,48 0,30 4,62 4,41 0,94 9,04 3.01 0.12 50 3,16 0,20 3,08 17,58 3,77 10,01 3.34 0.11 45 2,85 0,40 6,15 5,10 1,09 10,10 3.37 0.10 40 2,53 0,30 4,62 4,49 0,96 8,11 2.70 0.09 25 1,58 0,30 4,62 4,81 1,03 7,23 2.41 0.05 25 1,58 0,30 4,62 2,47 0,53 6,73 2.24 0.05 25 1,58 0,20 3,08 5,05 1,08 5,74 1.91 0.05 20 1,27 0,10 1,54 3,63 0,78 3,58 1.19 0.06 20 1,27 0,10 1,54 1,79 0,38 3,19 1.06 0.06 20 1,27 0,20 3,08 2,02 0,43 4,78 1.59 0.06 15 0,95 0,20 3,08 0,58 0,12 4,15 1.38 0.04 15 0,95 0,10 1,54 0,84 0,18 2,67 0.89 0.04 10 0,63 0,10 1,54 1,03 0,22 2,39 0.80 0.03 1585 100 6,50 100 466,64 100 300 100 2,28 K = kerapatan, KR = kerapatan relatif, F = frekuensi, FR = frekuensi relatif, D = dominansi, DR = dominansi relatif, INP = indeks nilai penting, SDR = Summed Dominance Ratio, H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wieneer

Terdapat 2 spesies yang memiliki kerapatan sangat tinggi yaitu Nyatoh dan Damar, 2 spesies memiliki tingkat kerapatan tinggi yaitu Koreppe dan Bitau (Meranti), 3 spesies memiliki kerapatan sedang yaitu Campaga, Kumea, dan Jambu-jambu, 6 spesies memiliki kerapatan rendah yaitu Lilata, Enau, Bakata, Kondongio, Jeruk-jeruk, dan Pece-pece, serta 6 spesies sisanya memiliki kerapatan sangat rendah. Pembagian tingkat kerapatan ini didasarkan atas nilai baku mutu lingkungan untuk kerapatan vegetasi bahwa tingkat kerapatan ≤ 20 pohon/ha termasuk sangat rendah, 21-50 pohon/ha tergolong rendah, 51-100 tergolong sedang, 101200 tergolong tinggi dan kerapatan >201 tergolong sangat tinggi (Kepmen KLH No. 02/1988). Ditunjukkan pula dari perbandingan nilai kerapatan relatifnya terhadap spesies lainnya yang lebih tinggi. Kerapatan relatif (KR) menunjukkan perbandingan kerapatan suatu spesies terhadap seluruh spesies yang ada di

suatu kawasan hutan yang dianalisis. Tingkat kerapatan yang tinggi menggambarkan pola penyesuaian yang besar terhadap kondisi habitatnya, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator daya dukung habitat. Pada parameter frekuensi, maka terdapat 1 spesies tergolong sangat tinggi, 1 spesies tergolong tinggi, 2 spesies tergolong sedang, 7 spesies tergolong rendah, dan 8 spesies tergolong terdistribusi sangat rendah. Dengan demikian, Nyatoh dan Damar merupakan spesies yang mampu menyebar dari ketinggian 600-1600 m dpl. Menurut Raunkiaer (dalam Misra, 1973) bahwa penggolongan tumbuhan berdasarkan frekuensinya dibagi atas 5 kelas, yaitu Kelas A dengan frekuensi 0-20% tergolong sangat rendah, Kelas B dengan frekuensi 21-40% tergolong rendah, Kelas C dengan frekuensi 4160% tergolong sedang, Kelas D dengan frekuensi 61-80% tergolong tinggi dan Kelas E dengan frekuensi 81-100% tergolong sangat

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

120

tinggi. Frekuensi adalah menggambarkan keberadaan spesies pada ruang secara horizontal. Berdasarkan tingkat dominansinya, tampak pula bahwa Nyatoh lebih menguasai ruang tumbuh per satuan luas (D) dan mendominasi jenis lainnya (DR) berdasarkan luas bidang dasarnya. Akan tetapi, 2 spesies lainnya yaitu Damar dan Koreppe juga merupakan spesies-spesies yang berukuran besar karena mampu memanfaatkan semua sumberdaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya dalam suatu kompetisi meliputi kompetisi terhadap unsur hara dan air, cahaya, dan ruang tumbuh. Hal ini dikemukakan oleh Smith (1977) bahwa jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien daripada jenis lainnya dalam tempat yang sama. Selanjutnya, semakin kecil Indeks Dominansi maka pola dominansi jenisnya semakin menyebar pada beberapa jenis yang dominan (Heriyanto, 2004). Pernyataan ini tampak pula dari nilai SDR, dimana nilai gabungan dari ketiga spesies tersebut adalah 55,77, yang berarti bahwa 16 spesies lainnya tercakup dalam nilai SDR 44,23. Pada parameter INP, hanya 4 spesies yang memiliki peran sangat penting di dalam ekosistem. Keempat spesies tersebut adalah Nyatoh, Damar, Koreppe, dan Bitau yang ditunjukkan oleh nilai INP >15. Menurut Sutisno (1981) dalam (Heriyanto (2004) bahwa pada tingkat pohon dan tiang, suatu jenis dapat dikatakan perperan jika nilai INP sebesar >15%. Dengan demikian ke empat jenis tersebut di atas merupakan jenis yang paling mempengaruhi komunitas. Hilangnya spesies-spesies ini akan berdampak besar terhadap kestabilan ekosistem karena memiliki kerapatan yang sangat tinggi, penyebaran yang luas dan ukuran pohon yang besar. Penebangan pohon secara besar-besaran pada ke empat spesies ini akan menciptakan ruang yang luas di antara tajuk, sehingga memungkinkan munculnya spesies lain yang dominan. Keadaan pohon yang ditinggalkan setelah pemanenan sangat menentukan komposisi jenis pohon dan struktur hutan selanjutnya (Hadjib dan Haeruman, 1981). Faktor yang mempengaruhinya adalah kerapatan tegakan sebelum pemanenan, perebahan pohon

tebangan dan kedudukan pohon dalam tegakan (Yanuar, 1992), pemanenan kayu pada umumnya akan menurunkan struktur dan massa tegakan (Parisy et all., 1987 dalam Santosa, 1992). Indeks keanekaragaman spesies (H’) secara total adalah 2,28 atau dalam kategori melimpah sedang. Hal ini dikemukakan oleh Melati (2007), bahwa nilai H’=>3 menunjukkan keanekaragaman spesies melimpah tinggi, H’=1≤H’≤3 menunjukkan keanekaragaman melimpah sedang, dan H’=<1 menunjukkan keanekaragaman melimpah rendah. Apabila ditinjau dari ada tidaknya kendala habitat, maka dapat dikatakan bahwa habitat tidak berkendala, sebagaimana dikemukakan oleh Samingan (1977) dalam Wanda dan Sugiarti (2005) bahwa indeks keanekaragaman pada selang 2,5≤ H’≤3,5 termasuk dalam golongan kondisi habitat tak terkendala. Sedangkan penilaian keanekaragaman flora berdasarkan nilai baku mutu lingkungan ditunjukkan bahwa keanekaragaman 0-0,07 termasuk sangat rendah, 0,08-0,15 tergolong rendah, 0,16-0,20 tergolong sedang, 0,24-0,31 tergolong tinggi, dan >0,32 tergolong sangat tinggi (Kep Men KLH No.02/1988). Dengan demikian, terdapat 1 spesies yaitu Nyatoh dikategorikan melimpah sangat tinggi, 2 spesies melimpah tinggi yaitu Damar dan Koreppe, 2 spesies melimpah sedang yaitu Bitau dan Campaga, 5 spesies melimpah rendah yaitu Kumea, Jambu-jambu, Lilata, Enau dan Bakata, dan 9 spesies lainnya dalam kategori melimpah sangat rendah. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 18 spesies yang tumbuh dengan total 2090 individu/ha, yang terdistribusi dalam kerapatan antara 10-810 individu/ha. Tampaknya, vegetasi pada ukuran tiang menunjukkan pola yang sama dengan ukuran pohon, baik pada variabel kerapatan, frekuensi, dominansi, INP, SDR maupun keanekaragamannya. Spesies Nyatoh tetap merupakan spesies paling banyak ditemukan, kemudian diikuti oleh spesies Damar dan Bitau serta Koreppe. Bahkan pada variabel frekuensi, Nyatoh dan Dammar mampu menyebar ke seluruh kawasan (F=1,00) dan termasuk menyebar sangat tinggi, sedangkan 3 spesies menyebar sedang, dan 13 spesies penyebarannya sangat rendah.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

121

Tabel 2. Hasil analisis komposisi floristik pada ukuran tiang di kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Kolaka. Jenis K KR DR FR D F INP SDR (Nama daerah dan latin) (ind ha-1) (%) (%) (m2ha-1) (%) 1. Nyatoh (Palaquium bataannense Merr.) 810 38,76 1,00 18,18 14,78 36,02 92,95 30.98 2. Damar (Agathis philipinensis M.Dr.) 470 22,49 1,00 18,18 11,11 27,08 67,75 22.58 3. Bitau (Calophyllum soulattri Burn.f) 160 7,66 0,50 9,09 3,06 7,45 24,20 8.07 4. Koreppe 110 5,26 0,50 9,09 3,12 7,60 21,96 7.32 5. Enau (Arenga pinnata L.) 80 3,83 0,40 7,27 1,74 4,25 15,35 5.12 Campaga 80 3,83 0,20 3,64 1,24 3,03 10,49 3.50 6. 7. Lilata 60 2,87 0,20 3,64 0,95 2,33 8,83 2.94 8. Pao-pao (Magifera spp.) 40 1,91 0,20 3,64 0,71 1,74 7,29 2.43 9. Bakata (Haplolobus celebicus H.J.L) 40 1,91 0,20 3,64 0,77 1,88 7,44 2.48 40 1,91 0,20 3,64 0,75 1,82 7,37 2.46 10. Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) 11. Kumea (Manilkara calophylloidae) 40 1,91 0,20 3,64 0,72 1,74 7,29 2.43 12. Jeruk-jeruk 40 1,91 0,10 1,82 0,49 1,19 4,92 1.64 13. Kondongio (Dysoxylum densiflora Miq.) 30 1,44 0,20 3,64 0,42 1,03 6,10 2.03 30 1,44 0,20 3,64 0,35 0,84 5,91 1.97 14. Rese-rese 15. Bello (Pandanus bidur) 20 0,96 0,10 1,82 0,22 0,53 3,31 1.10 16. Bolongita (Tetramales nudiflora R.Br.) 20 0,96 0,10 1,82 0,24 0,59 3,37 1.12 17. Bilalang (Urandra celebica Howard,) 10 0,48 0,10 1,82 0,27 0,65 2,95 0.98 10 0,48 0,10 1,82 0,10 0,24 2,54 0.85 18. Pece-pece 2090 100 5,50 100 41,03 100 300 100 Jumlah Keterangan : K = kerapatan, KR = kerapatan relatif, F = frekuensi, FR = frekuensi relatif, D = dominansi, dominansi relatif, INP = indeks nilai penting, SDR = Summed Dominance Ratio, H’ = keanekaragaman Shannon-Wieneer No.

Nilai keanekaragaman menunjukkan pula bahwa meskipun mengalami penurunan dibanding pada ukuran pohon, tetapi masih dalam rentang yang sama yaitu kategori melimpah sedang. Berdasarkan nilai baku mutu lingkungan, maka keanekaragaman menurut spesies memperlihatkan bahwa 2 spesies tergolong melimpah sangat tinggi, 1 spesies tergolong melimpah sedang, 9 spesies melimpah rendah, dan 6 spesies melimpah sangat rendah. Keanekaragaman spesies merupakan karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas tersebut. Konsep ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai gangguan yang timbul (Soegianto, 1994) dalam Antoko dan Sukmana (2005). Sebab, kemantapan habitat merupakan faktor yang mengatur keanekaragaman spesies (Heriyanto, 2004).

H’ 0.37 0.34 0.20 0.15 0.12 0.12 0.10 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.06 0.06 0.04 0.04 0.03 0.03 2.05 DR = indeks

Besar kecilnya kerusakan tegakan tinggal setelah dipanen antara lain dipengaruhi oleh kemiringan lahan, jenis alat yang digunakan, kerapatan pohon, dan keahlian operator penebang di lapang (Priasukmanan dan Sjahibar, 1986 dalam Santosa, 1992). Dengan demikian, penebangan pohon harus hanya pada kemiringan lahan yang diperbolehkan secara ekologis dan penggunaan alat tangkap pohon akan sangat membantu menekan besarnya kerusakan vegetasi yang ada. Berdasarkan kondisi topografi di kawasan ini, yaitu dari bertopografi rata hingga curam, maka seharusnya penebangan pohon tidak dilakukan pada lahan bertopografi sangat landai sampai curam. Pada lapisan ke tiga dalam stratifikasi hutan memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan yang berarti terhadap macam spesies penyusun ekosistem. Bahkan terjadi peningkatan jumlah populasi yang sangat besar, yaitu terdapat 3.700 individu/ha dengan kisaran antara 20-1360 individu/ha. Pada tingkatan pertumbuhan ini,

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

122

Nyatoh tetap merupakan spesies terbanyak, kemudian diikuti oleh Damar, Bitau dan Koreppe yaitu tergolong berkerapatan sangat tinggi. Tiga

spesies memiliki kerapatan dalam kategori sedang, dan sisanya tergolong rendah.

Tabel 3. Hasil analisis komposisi floristik pada ukuran pancang di kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Kolaka. K KR FR D DR F INP SDR H’ (ind ha-1) (%) (%) (m2 ha-1) (%) 1. 1360 36,76 0,90 17,31 5,26 38,59 92,65 30.88 0.37 2. 700 18,92 1,00 19,23 2,50 18,37 56,52 18.84 0.32 3. 440 11,89 0,60 11,54 1,66 12,17 35,60 11.87 0.25 4. Koreppe 220 5,95 0,40 7,69 0,61 4,48 18,11 6.04 0.17 5. Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) 160 4,32 0,30 5,77 0,41 3,00 13,09 4.36 0.14 6. Enau (Arenga pinnata L.) 160 4,32 0,30 5,77 0,71 5,24 15,34 5.11 0.14 7. Soa 140 3,78 0,30 5,77 0,48 3,54 13,09 4.36 0.12 8. Bakata (Haplolobus celebicus H.J.L) 100 2,70 0,20 3,85 0,53 3,89 10,43 3.48 0.10 9. Kumea (Manilkara calophylloidae) 80 2,16 0,20 3,85 0,15 1,13 7,14 2.38 0.08 10. Donge (Parinarium corymbosum Miq.) 80 2,16 0,20 3,85 0,23 1,71 7,71 2.57 0.08 11. Campaga 80 2,16 0,30 5,77 0,33 2,41 10,34 3.45 0.08 12. Lilata 80 2,16 0,20 3,85 0,28 2,03 8,04 2.68 0.08 13. Jeruk-jeruk 40 1,08 0,10 1,92 0,13 0,94 3,94 1.31 0.05 14. Rese-rese 40 1,08 0,10 1,92 0,22 1,59 4,59 1.53 0.05 15. Kondongio (Dysoxylum densiflora Miq.) 20 0,54 0,10 1,92 0,12 0,91 3,37 1.12 0.03 3700 100 5,20 100 13,62 100 300 100 2.05 Jumlah Keterangan : K = kerapatan, KR = kerapatan relatif, F = frekuensi, FR = frekuensi relatif, D = dominansi, DR = dominansi relatif, INP = indeks nilai penting, SDR = Summed Dominance Ratio, H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wieneer No.

Jenis (Nama daerah dan latin) Nyatoh (Palaquium bataannense Merr.) Damar (Agathis philipinensis M.Dr.) Bitau (Calophyllum soulattri Burn.f)

Distribusi atau penyebaran spesiesspesies yang ada juga memperlihatkan rentang yang relatif sama dengan ukuran pohon dan tiang, yaitu umumnya tersebar dalam luasan sempit, kecuali Dammar dan Nyatoh. Demikian halnya dengan parameter Dominansi, dimana cenderung tersebar merata kecuali kedua spesies tersebut lebih besar. Namun apabila dilihat dari nilai INP, tampak bahwa terdapat 9 spesies yang paling berperan menciptakan kestabilan ekosistem, yaitu spesies-spesies yang memiliki nilai INP >10%. Hal ini dikemukakan oleh Sutisno (1981) dalam Heriyanto (2004) bahwa pada ukuran pancang dan semai dikatakan berperan apabila nilainya INP >10%. Dengan demikian, terdapat 6 jenis yang kurang berperan yaitu Jeruk-jeruk, Soa, Rese-rese, Kumea, Denge-denge, Lilata dan Kondonio. Sedangkan hasil analisis keanekaragaman jenis menunjukkan pula bahwa keanekaragaman total 2,05, yang berarti melimpah sedang, dan

termasuk habitat tak terkendala apabila ditinjau dari faktor kendala habitat. Namun secara individu spesies terdapat 3 spesies yang melimpah sangat tinggi yaitu Nyatoh, Damar, dan Bitau, sedangkan spesies lainnya tergolong rendah. Hasil analisis komposisi floristik vegetasi tumbuhan bawah (understorey) seperti disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat 23 jenis semai yang tumbuh di bawah tegakan pohon, dengan jumlah total 11.550 individu/ha dalam kisaran antara 50-1700 individu/ha. Berdasarkan penggolongan kisaran individu, maka terdapat 13 spesies tergolong berkerapatan sangat tinggi yaitu spesies-spesies dengan jumlah >201 individu/ha, 2 spesies berkerapatan tinggi yaitu jambu-jambu dan Bello, serta 5 spesies sisanya tergolong berkerapatan sedang. Jumlah tersebut termasuk sangat berlimpah dan penting bagi kestabilan ekosistem hutan. Semai merupakan cadangan

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

123

utama untuk kelestarian ekosistem dimasa yang akan datang. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis yang ada (15 jenis) memiliki nilai INP yang kurang dari 10, tetapi nilai indeks keanekaragamannya secara keseluruhan vegetasi bawah juga dalam kategori melimpah sedang yaitu 2,76, meskipun keanekaragaman secara individu umumnya berada pada kategori melimpah rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat penaungan yang tinggi akibat penutupan kanopi, sehingga hanya spesies yang toleran naungan yang mampu melangsungkan hidupnya. Selanjutnya, adanya kondisi lingkungan baik yaitu curah hujan dan kesuburan tanah yang tinggi menyebabkan komposisi dan struktur

ekosistem Hutan Produksi Terbatas Di Kabupaten Kolaka cukup baik, yang ditunjukkan oleh ke empat kategori ukuran pertumbuhan yang tersusun dari jumlah spesies yang banyak, dan umumnya tersusun dari individu yang melimpah, penyebaran sedang, dan tingkat keanekaragaman pada kategori melimpah sedang. Kekayaan dalam komposisi jenis pada suatu kawasan dapat dipengaruhi oleh lokasi tersebut yang berkaitan dengan kondisi tanah, iklim, dan atmosfer wilayah. Kondisi tanah akan mempengaruhi kedalaman perakaran, kelembaban, struktur, hara, dan kualitas humus yang akan mendukung pertumbuhan beragam jenis tumbuhan (Bruening, 1996) dalam (Meijaard et all., 2001 dalam Hadjib dan Haeruman, 1981).

Tabel 4. Hasil Analisis Komposisi Floristik Pada Ukuran Semai di Kawasan Hutan Produksi Terbatas di Kabupaten Kolaka. KR DR Jenis K FR D F INP SDR H’ (Nama Daerah dan Latin) (ind/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1. Nyatoh (Palaquium bataannense Merr.) 1700 14,72 0,30 5,66 4,33 6,20 26,58 8.86 0.28 2. Pakis (Cycas rumphii Miq.) 1200 10,39 0,50 9,43 1,73 2,47 22,30 7.43 0.24 3. Damar (Agathis philipinensis M.Dr.) 1100 9,52 0,70 13,21 12,91 18,50 41,23 13.74 0.22 4. Lowa (Calamus zollingeri) 950 8,23 0,15 2,83 2,93 4,20 15,26 5.09 0.21 5. Bitau (Calophyllum soulattri Burn.f) 900 7,79 0,50 9,43 9,85 14,11 31,34 10.45 0.20 6. Enau (Arenga pinnata L.) 900 7,79 0,40 7,55 28,79 41,26 56,60 18.87 0.20 7. Paku tanah (Lindsaea orbiculata ) 800 6,93 0,10 1,89 0,66 0,95 9,76 3.25 0.18 8. Bambu (Bambusa sp.) 800 6,93 0,40 7,55 1,20 1,72 16,19 5.40 0.18 9. Rotan Daramasih (Calamus leiocaulis) 500 4,33 0,15 2,83 0,91 1,30 8,46 2.82 0.14 10. Koreppe 500 4,33 0,30 5,66 1,50 2,14 12,13 4.04 0.14 11. Jeruk-jeruk 350 3,03 0,15 2,83 0,30 0,42 6,29 2.10 0.11 12. Pece-pece 350 3,03 0,20 3,77 1,04 1,48 8,29 2.76 0.11 13. Campaga 250 2,17 0,20 3,77 0,81 1,16 7,10 2.37 0.08 14. Kumea (Manilkara calophylloidae) 200 1,73 0,10 1,89 0,14 0,20 3,82 1.27 0.07 15. Bakata (Haplolobus celebicus H.J.L) 200 1,73 0,10 1,89 0,28 0,39 4,01 1.34 0.07 16. Soa 200 1,73 0,20 3,77 0,57 0,82 6,32 2.11 0.07 17. Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) 150 1,30 0,05 0,94 0,21 0,30 2,55 0.85 0.06 18. Bello (Pandanus bidur) 150 1,30 0,20 3,77 1,02 1,46 6,53 2.18 0.06 19. Pao-pao 100 0,87 0,20 3,77 0,18 0,25 4,89 1.63 0.04 20. Sri Hutan 100 0,87 0,10 1,89 0,12 0,17 2,93 0.98 0.04 21. Waru (Hibiscus tiliaceus L) 50 0,43 0,10 1,89 0,19 0,28 2,60 0.87 0.02 22. Bello (Pandanus bidur) 50 0,43 0,10 1,89 0,05 0,07 2,39 0.80 0.02 23. Rese-rese 50 0,43 0,10 1,89 0,07 0,10 2,42 0.81 0.02 Jumlah 11550 100 5,30 100 69,78 100 300 100 2.76 Keterangan : K = kerapatan, KR = kerapatan relatif, F = frekuensi, FR = frekuensi relatif, D = dominansi, DR = dominansi relatif, INP = indeks nilai penting, SDR = Summed Dominance Ratio, H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wieneer No.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

124

Melimpahnya jumlah spesies maupun populasi pada setiap lapisan dalam struktur hutan maka memberikan gambaran bahwa potensi cadangan pohon sangat banyak apabila ukuran pohon dieksploitasi. Kondisi ini sekaligus menggambarkan daya lenting ekosistem terhadap gangguan yang bersifat sementara, karena akan pulih kembali setelah beberapa waktu tergantung pada besar tekanan, agresivitas, dan daya reproduksi spesies-spesies yang ada. Komposisi dan struktur vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor antara lain flora daerah, habitat, waktu dan kesempatan. Menurut Indriyanto (2006), daya lenting (resilience) adalah kemampuan ekosistem untuk pulih setelah ada gangguan, dan semakin cepat ekosistem itu pulih berarti makin pendek masa pulih, makin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi, sehingga juga makin besar daya lentingnya. Selanjutnya, berdasarkan kisaran frekuensi pada setiap tingkatan umur pertumbuhan maka pola distribusi atau penyebaran spesies pada komunitas hutan di kawasan Hutan Produksi Kabupaten Kolaka termasuk berdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah spesies yang berdistribusi (frekuensi) pada kategori sangat rendah (A) lebih banyak dibanding kategori rendah (B), spesies yang berdistribusi rendah kurang lebih sama besar atau kecil dengan spesies yang berdistribusi sedang (C), serta jumlah spesies yang berdistribusi sedang lebih sedikit dibanding spesies yang berdistribusi tinggi (D) dan sangat tinggi (E) atau A>B>C>=D, sedangkan A, B, dan C rendah, kondisi komunitas tumbuhan homogen, apabila kelas E
di atas 50 cm dengan metode Tebang Pilih, maka meskipun akan terjadi penurunan keanekaragaman tumbuhan tetapi ekosistem masih mampu memulihkan diri secara cepat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) komposisi dan struktur vegetasi penyusun ekosistem Hutan Produksi Terbatas Di Kabupaten Kolaka cukup baik yaitu tersusun dari jumlah spesies dan populasi yang banyak pada setiap tingkatan umur pertumbuhan, (2) Terdapat 4 (empat) spesies yang memiliki kerapatan populasi, penyebaran yang luas, dominansi yang tinggi, dan berpengaruh besar terhadap ekosistem yaitu Nyatoh, Damar, Bitau, dan Koreppe, (3) Tingkat keanekaragaman total pada setiap tingkatan pertumbuhan pohon termasuk dalam kategori kelimpahan sedang, dan (4) Daya lenting atau kemampuan pulih ekosistem cukup tinggi apabila ada gangguan, dan habitat tergolong tidak berkendala berdasarkan aspek vegetasi penyusun ekosistem. Saran Kendala habitat terdapat pada aspek topografi yang umumnya sangat landai sampai curam, sehingga penerapan Sistem Tebang Pilih merupakan alternatif terbaik di dalam pemanfaatannya. Pengelolaan harus melalui revegatasi dengan spesies-spesies asli setempat dengan mengutamakan spesies yang memiliki pola sebaran (frekuensi) rendah apabila ukuran pohon dipanen. DAFTAR PUSTAKA Antoko, BS dan A. Sukmana. 2005. Keragaman Jenis Tumbuhan Dan Tingkat Kesuburan Tanah Pada Beberapa Sistem Pengelolaan Perladangan Berpindah Di Zona Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. II No. 2 tahun 2005. Dephut. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Indonesia.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128

125

Arief, A., 1994. Hutan : Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Badan Konservasi Sumberdaya Sulawesi Tenggara. 1997. Keadaan Umum Propvinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Bismark, M., R. Garsetiasih, S. Iskandar, E. Subiandono, R. Sawity, N.M. Heryanto. 2004. Daya dukung habitat sebagai parameter dominant dalam pengelolaan populasi satwaliar di alam. Paket Teknologi. Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan konservasi Alam. Bogor. Direktur Balai Kehutanan Bogor. 1942. Daftar NamaNama Pohon Dalam Bahasa Daerah dan Bahasa Latin Di Sulawesi dan Jajahannya. Bogor. Direktorat Bina Program Kehutanan. 1981. Kumpulan Surat Keputusan. Fandeli, C. 2000. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Prinsip Dasar dan Pemaparannya Dalam Pembangunan. Edisi Kedua. Liberti Offset. Yogyakarta. Hadjib dan Haeruman, H. 1981. Struktur Dan Komposisi Tegakan Hutan Tropika Basah Di P. Laut Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Peningkatan Pengelolaan Hutan Tropika Basah Secara Maksimal dan Lestari. Dept. Manajemen Hutan. Fahutan IPBBogor. Heriyanto, NM. 2004. Suksesi Hutan Bekas Tambahan Di Kelompok Hutan Sungai Lekawai-Sungai Jengonoi, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 1 No. 2. ISSN : 0216-0439. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Indonesia.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. 1993. Peta Ikhtisar Geologi dan Potensi Bahan Galian Provinsi Sulawesi Tenggara Skala 1:500.000. Melati, SF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Odum, EP. 1971. Fundamental Ecology. W.B. Sounders Company. Philadelphia. Samingan, T. 1977. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi. Fakultas MIPA-IPB Bogor. Santosa, Y. 1995. Pelatihan teknik pengukuran dan monitoring biodiversity di hutan Tropika Indonesia. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fahutan-IPB. Bogor. Smith, RL. 1977. Element of Ecology. Harper and Row. Publisher, New York. Soerianegara, I dan Indrawan, A., 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. 1999. Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Wanda Kuswanda dan Sugiarti. 2005. Potensi habitat dan pendugaan populasi orang utan (Pongo abelii Lesson 1827) di Cagar Alam Dolok Sibual-Buali, Sumatra Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. II. No. 6. ISSN : 0216-0439. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Indonesia.

AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 02 Mei 2010, ISSN 0854-0128