ANALISIS PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA BERAS PADA TAHUN 2017 DI INDONESIA
RAHAYU
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pencapaian Program Swasembada Beras pada Tahun 2017 di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Rahayu NIM H44120031
ABSTRAK RAHAYU. Analisis Pencapaian Program Swasembada Beras Pada Tahun 2017 di Indonesia. Dibimbing oleh ADI HADIANTO dan FITRIA DEWI RASWATIE. Tanaman pangan khususnya beras menjadi fokus utama dalam target swasembada pangan pada tahun 2017. Meningkatnya konsumsi beras domestik menyebabkan permintaan terhadap impor tetap dilakukan untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor melaui swasembada beras. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Menganalisis faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi beras di Indonesia, kemudian memproyeksikan produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2017 untuk melihat target pencapaian swasembada beras di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut. Hasil analisis menyatakan bahwa produksi dan konsumsi beras domestik pada tahun 1985-2014 meningkat sebesar 2,13% dan 1,4% per tahun, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah luas areal panen dan harga riil pupuk urea, sedangkan faktor yang mempengaruhi konsumsi beras domestik yaitu populasi, dan PDB riil Indonesia. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras pada tahun 2015-2017 mengalami peningkatan sebesar 1,72% dan 0,55% pertahun. Proyeksi produksi beras domestik tahun 2017 sebesar 46.790,7 ribu ton sedangkan konsumsinya sebesar 39.006,1 ribu ton, maka swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah melalui RPJMN tahun 2015-2019 dapat tercapai pada tahun 2017. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan produksi padi sebaiknya melanjutkan kebijakan yang sudah diterapkan oleh pemerintah. Kata kunci: beras, konsumsi, produksi, swasembada
ABSTRACT RAHAYU. Achievement Analysis of Rice Self Sufficiency Program in 2017 in Indonesia. Supervised by ADI HADIANTO and FITRIA DEWI RASWATIE. Food crops especially rice became the main focus on food self-sufficiency target in 2017. Domestic rice consumption increasing means that demand for imports still occur, in order to achieve food security conditions, Indonesia should be able to reduce its dependency on imports through rice self-sufficiency. The purpose of research are to analyze the development of rice production and consumption in Indonesia. Analyze the factors that influence rice production and consumption in Indonesia, and then projecting domestic rice production and consumption in 2017 to see a target of achieving self-sufficiency in rice in Indonesia, and to compile strategies and policy implications in efforts to achieve self-sufficiency. The results of this research are domestic rice production and consumption in 1985-2014 increased by 2.13% and 1.4% per annum, which factors influence the production of rice is harvest area and the real price of urea fertilizer, while the factors which affect domestic rice consumption is population and real GDP in Indonesia. The projection result of production and consumption of rice in 2015-2017 increased by 1,71% and 0,55% per year. Projected domestic rice production in 2017 amounted to 46.790,7 thousand tons, while consumption amounted to 39.006,1 thousand tons, so the self-sufficiency proclaimed by the government through RPJMN for 2015-2019 can be achieved in 2017. Therefore, policy recommendations that has been implemented to increase rice production should be continue by the government. Key words: consumption, production, rice, self-sufficiency
ANALISIS PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA BERAS PADA TAHUN 2017 DI INDONESIA
RAHAYU
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan banyak pihak. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua (Iman dan Lilis Diana), Kakak (Lukman Hakim dan Agung Surya Permana), Adik (Muhammad Billal) atas segala dukungan, doa, dan kasih sayang yang diberikan. 2. Adi Hadianto, SP, MSi selaku doesn pembimbing I dan Fitria Dewi Raswatie, SP, MSi selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, bantuan, dan waktu yang telah diberikan. 3. Rizal Bahtiar, SP, MSi sebagai dosen penguji I dan Ibu Arini Hardjanto, SE, MSi sebagai dosen penguji II atas masukan dan sarannya. 4. Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA selaku wali akademik selama penulis menjalani perkuliahan. 5. Staf Pegawai di Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, dan Badan Pusat Statistik yang telah membantu dan mendukung selama pengumpulan data. 6. Direktorat Kemahasiswaan yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani perkuliahan di IPB. 7. Sahabat (Hidayati, Ratih, Menthia, Tania, Wiwit, Gope, 28’SHS, Boomers, Asbunawa, dan Klaces). 8. Prihatin Abimanyu atas motivasi yang diberikan 9. Keluarga besar ESL 49 IPB 10. REESA IPB Kabinet Biru Muda 11. Rekan satu bimbingan skripsi (Linda, Desi, Tiwi, Astrid, Bunga, dan Dita). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Rahayu NIM H44120031
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9 2.1 Beras ....................................................................................................... 9 2.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia .................. 10 2.3 Kebijakan Swasembada Beras di Indonesia ........................................... 12 2.4 Metode Penelitian ................................................................................... 14 2.5 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 15 III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... 25 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................. 25 3.1.1 Produksi dan Konsumsi Beras ...................................................... 25 3.1.2 Teori Penawaran dan Permintaan ................................................. 28 3.1.3 Metode Analisis Statistik Deskriptif Kuantitatif .......................... 29 3.1.4 Model Regresi Linear Berganda ................................................... 30 3.1.5 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressiv Integrated Moving Average) ......................................................... 30 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 32 IV. METODE PENELITIAN........................................................................... 35 4.1 Jenis dan Sumber data ............................................................................ 35 4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data ................................................... 35 4.2.1 Metode Analisis Deskriptif Kuantitatif ........................................ 36 4.2.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik ........................................................... 37 4.2.3 Model Persamaan Regresi Linear Berganda ................................ 38 4.2.4 Metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) ... 43 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 49 5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia .................. 49 5.1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1985-1994 ....................................................................... 51 5.1.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1995-2004 ....................................................................... 52 5.1.3 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Periode 2005-2014 ....................................................................... 5.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dan Konsumsi Beras Domestik ..................................................................... 5.2.1 Model Produksi Padi Domestik.................................................... 5.2.2 Model Konsumsi Beras Domestik................................................ 5.3 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik ....................... 5.3.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik ...................................................................................... VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 6.2 Saran........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................................ RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
54 56 56 60 64 65 67 67 68 71 77 95
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Halaman
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2013-2014 (Triliun Rupiah) ........................ Rata-rata konsumsi beras lima negara terbesar di dunia, Tahun 2013/2014-2014/2015.................................................................................... Luas areal panen di Jawa dan luar Jawa (Ha) serta produktivitas padi (Kw/Ha) pada tahun 2010-2014 .................................................................... Matriks penelitian terdahulu ......................................................................... Matriks analisis data...................................................................................... Aturan keputusan uji d Durbin-Watson ........................................................ Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 1985-1994 ..................................................................................................... Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 1995-2004 ..................................................................................................... Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 2005-2014 ..................................................................................................... Hasil analisis model regresi produksi padi domestik dengan Minitab 16 ..................................................................................................... Hasil analisis model regresi konsumsi beras domestik dengan Minitab 16 .................................................................................................... Kesenjangan hasil proyeksi antara produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2015-2017 ...........................................................................
1 2 6 17 35 41 52 53 55 57 61 65
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Halaman
Pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2005-2014 .................................... Konsumsi beras domestik tahun 2005-2014 .................................................. Jumlah volume impor beras di Indonesia pada tahun 2005-2014 ................. Fungsi Produksi Fisik Total (TPP), Produk Fisik Marginal (MPP) dan Produk Fisik Rata-rata (APP) ....................................................................... Diagram metodologi Box-Jenkins ................................................................ Kerangka pemikiran operasional .................................................................. Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1985-1994 ................... Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1995-2004 ................... Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 2005-2014 ...................
3 3 4 26 32 34 52 53 55
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Halaman
Data yang digunakan dalam model ekonometrika ....................................... Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi domestik dengan Minitab 16 ......................................................................... Hasil analisis regresi produksi padi domestik .............................................. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras domestik dengan Minitab 16 ......................................................................... Hasil regresi konsumsi beras domestik ....................................................... Hasil uji time series plot untuk melihat tren dalam menentukan kestasioneran data produksi beras dengan Minitab 16.................................. Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data produksi beras dengan first difference dengan Minitab 16.................................................... Hasil uji time series untukmelihat kestasioneran data produksi beras dengan second difference dengan Minitab 16 ............................................... Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik dengan Minitab 16......................................................................................... Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada first difference dengan Minitab 16 ................................................................ Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada second difference dengan Minitab 16 ........................................................... Hasil analisis estimasi model ARIMA untuk data produksi beras domestik dari tahun 1985-2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton)................... Hasil times series plot untuk melihat trend dalam menentukan kestasioneran data konsumsi beras dengan Minitab 16 ................................
77 81 83 84 86 87 87 87 87 88 88 89 91
14. Hasil uji times series untuk melihat trend kestasioneran data konsumsi beras dengan first difference dengan Minitab 16 .......................... 15. Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik dengan Minitab 16 ......................................................................................... 16. Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik pada first difference dengan Minitab 16 ........................................................ 17. Hasil estimasi model ARIMA untuk data konsumsi beras domestik dari tahun 1985-2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton)................................... 18. Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada seccond difference dengan Minitab 16.................................................. 19. Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik pada first difference dengan Minitab 16 ........................................................
91 91 91 92 94 94
I 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian memegang
peranan penting bagi perekonomian secara menyeluruh. Sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu 30,2% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya (Kementerian Pertanian, 2015). Pembangunan sektor pertanian memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) Meningkatkan hasil dan mutu produksi; (2) Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak dan nelayan; (3) Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (4) Menunjang pembangunan industri; dan (5) Meningkatkan eskpor, sehingga perlu adanya usaha diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi (Wardojo, 1988). Tujuan tersebut dapat dilakukan secara merata disesuaikan dengan kondisi tanah, air, dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat. Berikut ini tabel 1 produk domestik bruto menurut lapangan usaha tahun 20122014. Tabel 1 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2013-2014 (Triliun Rupiah) Tahun No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
2012
2013*
2014**
328,3
339,6
350,7
193,1 670,2 20,1 170,9 473,2 265,4
195,9 707,5 21,3 182,1 501,0 291,4
195,4 741,8 22,4 194,1 524,0 318,5
253,0
272,1
288,4
244,8 2.619,0
258,2 2.769,1
273,5 2.909,2
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016a Keterangan: * Angka sementara ** Angka sangat sementara
Berdasarkan data pada tabel 1, sektor pertanian memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan nasional. Menurut data BPS (2016), sektor pertanian menyumbang sebesar 339,6 triliun rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2013 dan meningkat menjadi 350,7 triliun rupiah pada tahun
2014. Kontribusi ini menempatkan sektor pertanian pada posisi kedua setelah industri pengolahan yang menyumbang sebesar 707,5 triliun rupiah pada tahun 2013 dan meningkat sebesar 741,8 triliun rupiah pada tahun 2014. Keberhasilan dalam sektor pertanian tidak akan berkembang tanpa adanya dukungan dari sektor non-pertaniann sehingga perlu adanya dukungan dari sektor lain untuk memajukan sektor pertanian. Sektor pertanian terbagi menjadi tiga sub sektor yaitu tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Sub sektor tanaman pangan memiliki peranan yang penting selain memiliki kontribusi yang paling besar diantara sub sektor lainnya, sub sektor ini juga berperan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional seperti kontribusi dari tanaman padi, jagung dan kedelai dalam rangka memenuhi
kebutuhan
makanan pokok masyarakat
Indonesia.
Indonesia
merupakan negara dengan konsumsi beras terbesar ketiga setelah China dan India, hal didukung dengan lebih dari 90% masyarakat Indonesia mengonsumsi beras setiap harinya sehingga ketidakstabilan dalam masalah penanganan pangan khususnya beras akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan seperti kondisi sosial, stabilitas ekonomi, lapangan pekerjaan, dll (Kementerian Pertanian, 2015). Rata-rata konsumsi beras lima negara terbesar di dunia dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Rata-rata konsumsi beras lima negara terbesar di dunia, tahun 2013/20142014/2015 (Ribu Ton) No 1. 2. 3. 4. 5.
Negara China India Indonesia Bangladesh Vietnam Lainnya Dunia
Tahun 2013/2014 146.300 99.180 38.500 34.900 22.000 86.898 478.138
2014/2015 148.400 99.351 38.600 35.300 21.900 87.233 482.447
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015a
Besarnya konsumsi beras di Indonesia disebabkan juga oleh tingginya jumlah penduduk Indonesia (gambar 1), dimana peningkatan penduduk di Indonesia menyebabkan konsumsi beras di Indonesia terus meningkat (gambar 2). Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan impor beras tidak bisa dihentikan sehingga sampai saat ini Indonesia masih mengimpor beras dari negara luar. Dampak negatif dari hal ini adalah beras merupakan barang thin market
sehingga ketika ketersediaan beras dunia menipis maka akan mengganggu ketahanan pangan Indonesia. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan konsumsi beras domestik dapat dilihat pada gambar 1 dan 2. 260000 255000 250000 245000 240000 235000 230000 225000 220000 215000 210000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah Penduduk (Ribu Jiwa) Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012b
Gambar 1 Pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2005-2014 39000 38000 37000 36000 35000 34000 33000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Konsumsi Beras (Ribu Ton) Sumber: Kementerian Pertanian, 2015b
Gambar 2 Konsumsi beras domestik tahun 2005-2014 Terlihat jelas pada gambar 3 bahwa Indonesia masih menggantungkan pangannya dari negara luar, untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor melalui pencapaian swasembada pangan khususnya beras yang merupakan bahan pokok yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan yaitu “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat aktif dan produktif secara berkelanjutan” (DJPP, 2012) 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Impor Beras (Ton) Sumber: Kementerian Pertanian, 2015c
Gambar 3 Jumlah volume impor beras di Indonesia pada tahun 2005-2014 Beras merupakan bahan pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Kasryono dan Pasandaran (2004) terdapat tiga pesan untuk menghadapi masalah dan tantangan ekonomi padi dan perberasan di masa yang akan datang, yaitu: (1) Pendekatan bersprektum luas serta terpadu dalam pendekatan wilayah, pengetahuan, teknologi, dan komunitas, meliputi prespektif kebijakan, pola pendekatan produksi dan usaha tani, pengelolaan sumberdaya, inovasi teknologi, serta berbagai faktor yang mempengaruhi konsumsi dan perdagangan beras; (2) Pendekatan yang memperhatikan kelestrarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem; dan (3) Pendekatan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Beras merupakan komoditi yang strategis dan politis, selain bernilai strategis dari sisi ekonomi, beras juga penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan rakyat Indonesia. Beras juga sangat berpengaruh bagi golongan menengah kebawah (Amang dan Sawit, 1999). Sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras telah memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kriminal pada periode awal reformasi, sehingga peran dan campur tangan pemerintah dalam hal ini menjadi perlu dalam hal mencukupi kebutuhan beras dalam negeri dan menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun dengan distribusi yang merata dan harga beras yang stabil.
Swasembada beras merupakan salah satu program yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, dimana selama lima tahun kedepan Kementerian Pertanian tetap menempatkan padi, jagung, dan kedelai sebagai komoditas utama. Sehubungan dengan itu, target Kementerian Pertanian selama lima tahun tersebut adalah pencapaian swasembada dan
swasembada
berkelanjutan.
Target
pemerintah
untuk
swasembada
berkelanjutan untuk beras akan mampu dicapai pada tahun 2017 sebesar 79.370.274 Ton untuk produksi padi. Tahun 1984 Indonesia mampu mencapai swasembada beras. Menurut Hafsah dan Sudaryanto (2004), keberhasilan swasembada beras pada tahun 1984 disebabkan oleh dukungan politik pemerintah yang memprioritaskan pembangunan pertanian disertai kebijakan ekonomi makro yang mendukung, terobosan teknologi baru (Revolusi Hijau) budidaya padi sawah dan kebijakan intensifikasi pertanian (Bimas) yang mengatur penerapan paket teknologi secara sentralistik. Kurangnya dukungan politik pada pembangunan pertanian menyebabkan swasembada beras ini gagal dipertahankan. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat meramalkan pencapaian target swasembada berkelanjutan untuk beras pada tahun 2017 yang akhirya dapat memberikan gambaran mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan produksi padi domestik sehingga dapat memberikan alternatif strategi kebijakan guna mendukung tercapainya swasembada beras pada tahun 2017.
1.2
Rumusan Masalah Padi merupakan tanaman pangan utama bagi Indonesia selain jagung dan
kedelai. Ketersediaan padi dalam hal ini menjadi perlu guna memenuhi kebutuhan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan secara berkelanjutan. Indonesia merupakan negara konsumsi beras ketiga terbesar di dunia, sehingga ketersediaan beras merupakan aspek penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Menurut Lantarsih, et al (2011) sebagian provinsi di Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras wilayahnya sendiri. Terdapat 11 provinsi yang mengalami defisit beras dan sebanyak 22 provinsi mengalami surplus beras dengan memperhitungkan besarnya cadangan pangan ideal dan sisa
stok bulog tahun 2008. Oleh karena itu, untuk memenuhi defisit beras sebesar 2,09 juta ton diperlukan biaya distribusi sebesar Rp 1,016 milyar sehingga distribusi dari daerah surplus ke daerah defisit perlu didukung dengan sarana dan prasarana distribusi yang memadai untuk mendukung kelancaran distribusi beras. Luas arel panen di Jawa dan luar Jawa serta produktivitas padi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Luas areal panen di Jawa dan luar Jawa (Ha) serta produktivitas padi (ku/ha) pada tahun 2010-2014 No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
2010 2011 2012 2013 2014
Luas Panen ( 000 Ha) Jawa Luar Jawa 6.358,5 6.894,9 6.165,1 7.038,6 6.467,5 7.260,0 6.467,1 7.368,2 6.400,0 7.397,3
Produktivitas padi (Ku/Ha) 50,15 49,80 51,36 51,52 51,35
Sunber: Kementerian Pertanian, 2015d
Berdasarkan tabel 3, Produksi padi di Indonesia antara tahun 2010-2014 meningkat rata-rata sebesar 1,63%/tahun. Peningkatan produksi padi dipicu oleh peningkatan luas areal panen seluas 540 ribu ha dan produktivitas sebesar 1,20 ku/ha. Pertumbuhan padi di Jawa sekitar 0,20 %/tahun sedangkan diluar Jawa sekitar 1,76 %/tahun (Kementerian Pertanian, 2015). Berdasarkan gambar 1, peningkatan pertumbuhan penduduk menyebabkan konsumsi beras domestik terus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak pada impor beras masih dilakukan (gambar 3). Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah melakukan upaya melalui program swasembada pangan untuk dapat memenuhi kebutuhan beras domestik. Swasembada pangan di Indonesia khususnya padi telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengenai swasembada berkelanjutan. Swasembada beras ini dicanangkan harus tercapai pada tahun 2017 sebesar 79.370.274 ton untuk produksi padi. Hal yang telah disiapkan pemerintah dalam mewujudkan swasembada padi tersebut tertuang dalam Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP), yaitu: (1) Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan; (2) Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian; (3) Pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit; (4) Penguatan kelembagaan petani; (5) Pengembangan dan penguatan pembiayaan pertanian; (6) Pengembangan dan penguatan bioindustri
dan bioenergi; dan (7) Penguatan jaringan pasar produk pertanian. Berdasarkan hal tersebut yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah swasembada beras seperti yang diinginkan akan tercapai sedangkan masih banyak faktor-faktor yang kurang mendukung dalam pencapaian swasembada beras. Sehingga penelitian ini menjadi perlu untuk dikaji guna mendukung program swasembada beras tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik?
2.
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi beras domestik?
3.
Berapakah besarnya produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2017 untuk melihat target pencapaian swasembada beras di Indonesia, serta bagaimana strategi kebijakan dan implikasi dalam upaya pencapaian swasembada tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menganalisis target pencapaian program swasembada beras di Indonesia tahun 2017. Secara spesifik tujuan dilaksanakaanya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi beras domestik.
3.
Memproyeksikan produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2017 untuk melihat target pencapaian swasembada beras di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap
perkembangan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi
pada komoditas beras dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen beras di Indonesia. Manfaat lain dari penelitian ini diantaranya: 1.
Penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam suatu pengambilan keputusan atau kebijakan yang mampu melindungi kesejahteraan masyarakat, khususnya petani padi serta mengurangi ketergantungan impor beras di Indonesia.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi akademisi dan peneliti lain untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap permasalahan yang sedang
dihadapi di bidang pertanian khususnya komoditas beras. Penelitian ini dimulai dengan menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik di Indonesia hingga tahun 2014, lalu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras domestik, kemudian melakukan proyeksi terhadap produksi dan konsumsi beras sehingga didapatkan ramalan target produksi yang harus dipenuhi agar swasembada beras tahun 2017 dapat tercapai. Keterbatasan penelitian ini adalah data yang digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi bulanan ataupun musiman.
II 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Beras Beras berperan peting bagi Indonesia karena sebagian besar masyarakat
Indonesia mengkonsumsi beras setiap harinya. Terdapat berbagai macam jenis komoditas beras di Indonesia yaitu Blang Bintang, Jongkong IR 64, IR-42 Solok, Sokan, Dolog, IR 64, IR II, IR Kw II, Irri-I, Hanyar, IR-II/64, dan R-64/II (Kementerian Pertanian, 2015). Menurut Dawe (1997) dan Tsujii (1998) dalam Sawit (1999) karakteristik beras sebagai berikut: (1) 90% produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia; (2) Beras yang diperdagangkan di pasar dunia tipis (thin market) yaitu antara 4-5% dari total produksi, beda sekali dengan sejumlah komoditas lainnya seperti gandum (20%), jagung (15%), dan kedelai (30%). Pada umumnya volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa dari konsumsi di suatu negara. Semakin tidak stabilnya harga beras dunia maka semakin besar tingkat self-sufficiency beras yang dianut oleh suatu negara, demikian juga rumah tangga tani di Asia, mereka menyimpan lebih banyak bila harga beras tidak stabil guna mengurangi resiko ketahanan pangan rumah tangga; (3) Harga beras amat tidak stabil dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya misalnya gandum; (4) 80% perdagangan beras dikuasai oleh 6 negara yaitu Thailand, AS, Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar. Oleh karena itu, harga beras di pasar internasional adalah tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan oligopoli tersebut; (5) Indonesia merupakan negara net importer terbesar beras, karena pada tahun 1998 Indonesia mengimpor berasnya hingga 31% dari total beras yang ada diperdagangkan di pasar dunia sehingga apabila Indonesia masuk dalam pasar beras internasional maka harga beras naik dan dapat memikul negara miskin yang net importer beras; (6) Hampir banyak negara di Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods. Padi dihasilkan oleh 18 juta petani pangan, 49% diataranya adalah petani sempit yaitu menguasai lahan kurang dari 0,24 ha/keluarga (Wardojo, 1993). Padi mampu menyumbang pendapatan antara 40% sampai 60% terhadap pendapatan negara sehingga pembangunan sub sektor pangan khususnya padi mampu mengurangi jumlah orang miskin
yang signifikan di pedesaan Jawa,
meningkatknya pendapatan di komoditas ini telah menarik sektor lain untuk berkembang di desa baik yang terkait dengan padi misalnya penggilingan padi dan perdagangannya, tetapi juga dapat meningkatnya daya beli masyarakat sehingga mendorong sektor lain berkembang seperti perdagangan, warung, transportasi dan sebagainya di pedesaan. Sawit (2005) menyatakan bahwa sumbangan industri beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8% pada tahun 2005 dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 28,79% dari total penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian (agriculture employment) atau setara dengan 12,05 juta orang. Oleh karena itu untuk mendukung komoditas padi salah satunya adalah instrumen kebijakan untuk peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional melalui: (1) Pengembangan infrastruktur untuk mendukung usaha padi; (2) Peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan; (3) Peningkatan mutu intensifikasi usaha padi dengan menggunakan teknologi maju; (4) Ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak, dan daerah bukaan baru; dan (5) Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran (Wardojo, 1998).
2.2
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Sejak zaman penjajahan Belanda, Pulau Jawa adalah penghasil berbagai
komoditas pangan dan tebu, Sumatera dan Kalimantan penghasil tanaman perkebunan, Sulawesi dan Maluku penghasil tanaman rempah, dan Nusa Tenggara sebagai sentra peternakan (Kasryno, et al, 2004). Berdasarkan data BPS mengenai perkembangan pangsa sentra produksi maka produksi padi Indonesia tahun 19702003 menunjukkan adanya perubahan sumber pertumbuhan. Secara agregat pangsa areal panen dan produksi terus naik dari 1970 sampai 2002. Kenaikan produksi yang spektakuler terjadi karena kenaikan produktivitas padi akibat Revolusi Hijau. Laju kenaikan produksi padi nasional terutama berasal dari kenaikan produksi padi di luar Jawa. Tahun 1970 pulau Jawa menyumbang 60% dari produksi padi nasional, namun akhir-akhir ini hanya menyumbang sebesar 55,3%. Lambatnya perluasan areal pertanaman padi di Jawa antara lain disebabkan laju perluasan sawah irigasi lebih lambat dibandingkan dengan penyusutan luas lahan sawah karena dikonversi untuk penggunaan non pertanian.
Tahun 1970 sampai tahun 2002 luas areal padi di Jawa turun dari 53,2% menjadi 48,4%, penurunan ini selain disebabkan oleh konservasi juga diversifikasi. Luar Jawa, khususnya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mengalami kenaikan areal panen. Hal tersebut disebabkan oleh perluasan areal tanam dan peningkatan intensitas tanam sehingga sentra produksi padi masa depan adalah Sumatera dan Kalimantan dengan tantangan untuk pengembangan padi adalah ketersediaan teknologi sistem komoditas padi untuk ekosistem lahan rawa dan lahan kering, selain itu adalah kualitas sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi yang memadai dengan pengembangan sarana irigasi dan pembukaan areal tanam baru. Strategi yang harus dilakukan untuk jangka pendek dan menengah adalah mengupayakan sistem irigasi yang lebih fleksibel dengan rehabilitasi sarana dan prasarana tata air persawahan pasang surut untuk persawahan lahan rawa di Sumatera dan Kalimantan, rehabilitasi mencapai areal 610.000 ha. Strategi jangka menengah dan panjang diperlukan investasi bagi perluasan areal pertanian dan pengembangan sarana dan prasarana irigasi baru yang fleksibel di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Potensi pengembangan persawahan pasang surut di Sumatera dan Kalimantan mencapai 2,7 juta ha. Hal ini perlu dilakukan mengingat permintaan beras yang diperkirakan masih akan terus meningkat dengan laju diatas 1,0%-1,3% per tahun karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya sebesar 1,3% sedangkan konsumsi per kapita diperkirakan sudah menurun antara 0,2%-0,35%. Apabila tidak ada terobosan kebijakan maka Indonesia akan tetap menjadi importir beras terbesar di dunia. Konsumsi beras di Indonesia dihitung melaui berbagai pendekatan, antara lain melaui pendekatan konsumsi beras per kapita per tahun. Perhitungan ini hasil survei Susenas oleh BPS setiap tahun. Besaran hasil konsumsi beras hasil survei Susenas tersebut merupakan konsumsi beras di tingkat rumah tangga atau konsumsi langsung, sementara konsumsi beras di luar rumah tangga tidak dicakup dalam survei tersebut. Konsumsi beras di tingkat rumah tangga atau konsumsi langsung tersedia antara langsung tersedia antara tahun 1981 hingga tahun 2015, rata-rata konsumsi beras di tingkat rumah tangga per penduduk Indonesia cenderung mengalami penurunan sebesar 1,13% per tahun atau rata-rata konsumsi beras per penduduk sebesar 101,62 kg/kapita pertahun yaitu di tahun 1981
konsumsi beras per orang sebesar 116,75 kg/kapita dan turun hingga sebesar 85,19 kg/kapita pada tahun 2015. Sementara perkembangan konsumsi beras di tingkat rumah tangga untuk lima tahun kedepan diperkirakan masih mengalami penurunan sebesar 1,12% per tahun yaitu perkiraan konsumsi beras di tingkat rumah tangga per penduduk Indonesia mencapai rata-rata 86,59 kg/kapita atau mencapai 89,48 kg/kapita di tahun 2011, dan sebesar 85,19 kg/kapita di tahun 2015 (Kementerian Pertanian, 2015). Tren konsumsi beras secara umum antara tahun 1981 hingga 2013 di tingkat rumah tangga cenderung mengalami penurunan kecuali tahun 1987, 1990, 1994, 1995, 2003, dan 2008 yang mengalami peningkatan cukup signifikan antara 0,31% hingga 9,41%. Penurunan konsumsi perkapita beras tingkat rumah tangga paling tinggi terjadi tahun 1996 yaitu sebesar 11,45% atau sebesar 111,06 kg/kapita dari tahun sebelumnya mencapai 125,42 kg/kapita. Peningkatan pertumbuhan konsumsi beras tingkat rumah tangga tertinggi di tahun 1987 yaitu sebesar 9,41%, sedangkan secara absolut konsumsi beras tingkat rumah tangga tertinggi tahun 1995 yaitu sebesar 125,42 kg/kapita. Adanya tren penurunan konsumsi beras secara langsung ini diduga adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran tentang kesehatan sehingga mengalihkan konsumsi karbohidrat yang berasal dari beras dengan makanan pengganti beras yang lebih sehat.
2.3
Kebijakan Swasembada Beras di Indonesia Swasembada beras adalah suatu keadaan tercukupinya kebutuhan
konsumsi beras dalam negeri oleh produksi beras nasional. Swasembada beras yang dicapai sejak tahun 1984 dalam berbagai kesempatan telah dijadikan analisa, terutama untuk mempertajam keabsahannya. Menurut Amang dan Sawit (1999) terdapat makna swasembada dari berbagai sudut pandang, antara lain: (1) Swasembada absolut yaitu selisih penawaran dan permintaan akan beras sama dengan nol; dan (2) Swasembada sub sektoral pangan yaitu ekspor bahan pangan dapat membiayai impor pangan. Swasembada sektoral sebelum tahun 1984 sebenarnya sudah tergolong swasembada sebab nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia sangat mampu, bahkan surplus untuk mengimpor pangan sejak 1983.
Tahun 1984 produksi beras mengikuti garis kecenderungan konsumsi jadi adakalanya Indonesia harus mengimpor bila kekurangan dan mengekspor ketika cadangan beras melimpah sehingga lebih mudah untuk mengkategorikan “swasembada relatif” yang ditandai dengan “surplus” atau “defisit” pada waktu yang berbeda. Menurut Nainggolan (2008) Peningkatan produktivitas usaha tani padi dapat ditempuh melalui dua cara yaitu: (1) Peningkatan hasil potensial dan aktual varietas padi; (2) Percepatan dan perluasan diseminasi serta adopsi inovasi teknologi. Peningkatan ini mungkin terjadi dengan dukungan pengembangan varietas unggul dan kesiapan teknologi padi di Badan Litbang Pertanian. Kebijakan beras adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai instansi atau lembaga pemerintah untuk mempengaruhi keputusan tiga pelaku utama dalam sektor perberasan yaitu produsen padi atau beras, pelaku distribusi atau pemasaran padi atau beras dan konsumen beras (Sawit, 1999). Kebijakan tersebut dilakukan untuk mempertahankan ketahanan pangan suatu negara. Kebijakan mengenai perberasan nasional pada dasarnya mencakup lima instrumen kebijakan yaitu: (1) Peningkatan produksi; (2) Diversifikasi; (3) Kebijakan harga, dimana dapat dipandang sebagai instrumen kebijakan dalam promosi agribisnis; (4) Kebijakan impor; dan (5) Distribusi beras untuk keluarga miskin (Raskin) yang merupakan kebijakan untuk melindungi petani dan konsumen dari dampak negatif perdagangan beras internasional. Oleh karena itu pemerintah sebenarnya telah menerapkan kebijakan untuk mengembangkan ekonomi perberasan nasional (Suryana, 2004). Kebijakan perberasan nasional tertuang dalam Inpres No.9 Tahun 2002 tentang penetapan kebijakan perberasan yaitu sebagai berikut: 1.
Memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional.
2.
Memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani.
3.
Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah.
4.
Menetapkan
kebijakan
impor
beras
perlindungan kepada petani dan konsumen.
dalam
rangka
memberikan
5.
Memberikan jaminan bagi persediaan dan penyaluran beras dan atau bahan pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan atau rawan pangan. Menurut Rencana Strategi Kementerian Pertanian (2015), sasaran
pembangunan pertanian ke depan perlu disesuaikan terkait dengan cangkupan pembangunan pertanian yang lebih luas dan skala yang lebih besar guna meningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani yang tertuang dalam SIPP 2015-2045, maka sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019 adalah (1) Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi gula dan daging; (2) Peningkatan diversifikasi pangan; (3) Peningkatan komoditas bernilai tambah dan berdaya saing dalam memenuhi pasar ekspor dan substitusi impor; (4) Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi; (5) Peningkatan pendapatan keluarga petani; serta (6) Akuntibilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik. Oleh karena itu Kementerian Pertanian menyusun dan melaksanakan 7 Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP) meliputi (1) Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan; (2) Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian; (3) Pembangunan dan perluasan logistik benih atau bibit; (4) Penguatan kelembagaan petani; (5) Pengembangan dan penguatan pembiayaan; (6) Pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi; serta (7) Penguatan jaringan pasar produk pertanian.
2.4
Metode Peramalan Peramalan merupakan metode yang dapat memperkirakan secara
sistematis dan pragmatis atas data relevan pada masa lalu, dengan demikian metode peramalan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar. Peramalan yang baik menekankan pada peramalan kuantitatif. Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam menentukan peramalan yaitu: 1.
Menganalisa data yang lalu, tahap ini dilakukan untuk melihat pola data masa lalu. Dilakukan dengan cara membuat tabulasi dari data yang lalu, dengan tabulasi data maka terlihat pola data tersebut.
2.
Menentukan metode yang dipergunakan. Masing-masing metode akan memberikan hasil peramalan yang berbeda. Metode yang baik akan
menghasilkan penyimpangan antara hasil peramalan dengan nilai kenyataan yang sekecil mungkin. 3.
Memproyeksikan data masa lalu dengan metode yang digunakan, dengan mempertimbangkan adanya beberapa faktor perubahan. Faktor tersebut dapat berupa faktor kebijakan yang mungkin terjadi seperti penemuan baru dll. Metode peramalan kuantitatif dapat dibedakan menjadi: (1) Metode
peramalan yang didasarkan atas pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu (time series); dan (2) Metode peramalan yang didasarkan atas pola hubungan antara variabel yang diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhinya atau sebab akibat (causal methods). Metode peramalan dengan menggunakan pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu, yaitu: (1) Metode smoothing; (2) Metode Autoregressive Integrated Average (ARIMA); dan (3) Metode dengan proyeksi trend dengan regresi. Metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan antara variabel yang diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhi, yang bukan waktu (sebab akibat), terdiri dari: (1) Metode regresi dan korelasi; (2) Metode ekonometrik yang didasarkan atas peramalan sistem persamaan regresi; dan (3) Metode input-output (Assauri, 1984).
2.5
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, diantaranya: (1) Nainggolan (2008) meneliti mengenai Ketahanan dan stabilitas pasokan, permintaan, dan harga komoditas pangan; (2) Rachman dan Arini (2008) meneliti mengenai Penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia: permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program; (3) Azhari (2008) meneliti mengenai Membangun kemandirian pangan dalam rangka meningkatkan ketahanan nasional; (4) Hadi (2013) meneliti mengenai Analisis produksi dan konsumsi kedelai domestik dalam rangka mencapai swasembada kedelai di Indonesia; (5) Saptana et al. (2013) meneliti mengenai Evaluasi kebijakan tujuh gema revitalisasi dalam pembangunan pertanian; (6) Hardono (2014) meneliti mengenai Strategi pengembangan diversifikasi pangan lokal; dan
(7) Adillah (2014) meneliti mengenai Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia. Penelitian mengenai komoditas beras telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya: (1) Agustin dan Syafaat (2003) meneliti mengenai Pengamanan produksi padi pada tahun 2003; (2) Ambarinanti (2007) meneliti mengenai Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras di Indonesia; (3) Pratiwi (2008) meneliti mengenai Efektivitas dan perumusan strategi kebijakan beras nasional; (4) Hessie (2009) meneliti mengenai Analisis produksi dan konsumsi beras dalam negeri serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia; (5) Lantarsih et al. (2011) meneliti mengenai Sistem ketahanan pangan nasional: kontribusi ketersediaan dan konsumsi energi serta optimalisasi distribusi beras; (6) Maulana (2012) meneliti mengenai Prospek implementasi kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) multikualitas gabah dan beras di Indonesia; dan (7) Zakaria dan Nurasa (2013) meneliti mengenai Strategi penggalangan petani untuk mendukung program peningkatan produksi padi berkelanjutan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah data yang digunakan dalam penelitian ini lebih terbaru, yaitu data tahun 1985 hingga tahun 2014. Tujuan dalam penelitian ini didasarkan pada rencana strategis Kementerian Pertanian untuk swasembada beras berkelanjutan yang akan dicapai pada tahun 2017. Analisis perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik, tidak hanya dideskripsikan namun juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi beras domestik. Peramalan swasembada beras tahun 2017 tidak hanya sebatas meramalkan, namun juga menganalisis implikasi kebijakan yang digunakan untuk pencapaian swasembada beras. Rekomendasi yang diberikan berupa rekomendasi teknis dalam menjalankan peranan pemerintah daerah. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 4
33
Tabel 4 Matriks penelitian terdahulu No 1.
Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Nama : Kaman Nainggolan 1. Menganalisis pembangunan 1. Analisis Tahun : 2008 ketahanan pangan nasional Deskriptif Judul : Ketahanan dan stabilitas pasokan, permintaan, dan harga komoditas pangan
2.
Nama : Handewi P.S, Rachman dan 1. Menganalisis pencapaian 1. Analisis Mewa Ariani tingkat penganekaragaman Deskriptif Tahun : 2008 (diversifikasi) konsumsi Judul : Penganekaragaman pangan di Indonesia dan konsumsi pangan di Indonesia : permasalahannya serta permasalahan dan implikasi untuk implikasi kebijakan kebijakan dan program Nama : Delima Hasri Azhari 1. Menganalisis pencapaian 1. Analisis Tahun : 2008 ketahanan pangan di Deskriptif Judul : Membagun kemandirian Indonesia pangan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional
3.
17
Hasil 1. Kemandirian pangan di tingkat rumah tangga merupakan pilar dan dasar dari kemandirian pangan wilayah dan nasional 2. Pembangunan ketahanan pangan yang berbasis dari sumberdaya dan kearifan lokal perlu digali dan ditingkatkan mengingat penduduk yang terus bertambah dan aktifitas ekonomi pangan terus berkembang 3. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan kerjasama yang efektif antara berbagai pemangku kepentingan yang meliputi pemerintah, lembaga non pemerintah, lembaga masyarakat bahkan masyarakat sebagai individu 1. Upaya penganekaragaan konsumsi pangan sampai saat ini masih belum berjalan sesuai harapan. Pola pangan lokal cenderung ditinggalkan dari berubah ke pola beras dan mie 2. Implikasinya adalah diperlukan penjabaran strategi khusus seperti upaya dalam penganekaragaman konsumsi pangan 1. Supaya dapat mencapai kemandirian pangan pemerintah harus mengambil langkah keberpihakan dan kebijakan yang kondusif serta intervensi melalui optimalisasi peran Bulog sebagai BUMN yang melakukan fungsi operasi pasar, penyangga stok, distribusi, impor, dan ekspor
5.
Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Nama : Abida Hadi 1. Menganalisis perkembangan 1. Analisis Tahun : 2013 produksi dan konsumsi Deskriptif Judul : Analisis produksi dan kedelai domestik 2. Metode konsumsi kedelai domestik dalam 2. Memproyeksikan produksi ARIMA rangka mencapai dan konsumsi kedelai swasembada kedelai di Indonesia domestik untuk melihat target pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut
Nama : Saptana, Muhammad Iqbal, 1. Menganalisis kebijakan tujuh 1. Analisis dan Ahmad Makky Ar-Rozi gema revitalisasi dalam Deskriptif Tahun : 2013 pembangunan pertanian Judul : Evaluasi kebijakan tujuh gema revitalisasi dalam pembangunan pertanian
1.
2.
3.
1.
Hasil Berdasarkan perkembangan yang terjadi selama tahun 1981-2011, konsumsi kedelai di Indonesia lebih besar dibandingkan produksi kedelai dalam negeri. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai domestik menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan ARIMA bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014 Strategi kebijakan untuk mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan produksi kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan produktivitas Target pembangunan pertanian meliputi revitalisasi lahan, revitalisasi benih dan pembibitan, revitalisasi sumberdaya pertanian, revitalisasi pembiayaan, revitalisasi kelembagaan petani, dan revitalisasi di bidang teknologi dan industri hilir. Kebijakan ini harus ada konsistensi antara yang diformulasikan dalam rumusan kebijakannya dengan implementasinya di lapangan diiringi dengan kesadaran dan tanggung jawab bersama dari pihak masayarakat maupun pihak pemerintah
18
No 4.
No 6.
Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Nama : Gatoet S. Hardono 1. Menganalisis pencapaian 1. Analisis Tahun : 2014 diversifikasi konsumsi Deskriptif Judul : Strategi pembangan pangan 2. Analisis diversifikasi pangan lokal 2. Menyusun strategi SWOT pengembangan diversifikasi pangan berbasis lokal
Hasil 1. Telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal, termasuk di wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok berbasis pangan lokal seperti Maluku dan Papua. Sebaliknya, telah terjadi peningkatan konsumsi terigu dan turunannya. Pengembangan diversifikasi pangan sebagai bagian untuk mewujudkan kedaulatan pangan hendaknya dilakukan oleh semua kalangan 2. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menyusun dan implementasi strategi kebijakan terkait optimalisasi pemanfaatan potensi lahan dan kebiasaan mengkonsumsi pangan lokal, serta pengembangan produksi, industri, dan konsumsi pangan lokal. Selain itu, upaya dilakukan melalui pengembangan teknologi pengolahan pangan, menyelaraskan kebijakan produksi dan industri pangan dengan kebijakan konsumsi pangan; promosi pangan lokal yang sehat, komperhensif dan terus menerus. Penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional dan wilayah; serta diikuti penyediaan produk pangan lokal yang mampu bersaing dengan produk asing
19
Peneliti/Judul Penelitian Nama : Rizma Adillah 1. Tahun : 2014 Judul : Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia 2.
8.
Nama : Nur Khoiriyah Agustin dan 1. Memprediksi neraca 1. Analisis Zizwar Syafa’at ketersediaan beras nasional Deskriptif Tahun : 2003 tahun 2003 yang dipenaruhi Judul : Pengamanan produksi padi oleh sisi produksi dan tahun 2003 konsumsi beras Nama : Marissa Ambarinanti 1. Faktor-faktor apa saja yang 1. Analisis Tahun : 2007 mempengaruhi produksi Regresi Judul : Analisis faktor-faktor yang beras di Indonesia Linear mempengaruhi produksi dan ekspor 2. Faktor-faktor apa saja yang Berganda beras di Indonesia mempengaruhi ekspor beras (OLS) di Indonesia
9.
Tujuan Metode Menganalisis perkembangan 1. Analisis pola produksi dan konsumsi Persamaan kedelai nasional Simultan Menganalisis respon areal dan produktivitas kedelai
Hasil 1. Produksi hingga tahun 2020 meningkat rata-rata sebesar 6,8% per tahun, dan konsumsi meningkat rata-rata sebesar 2,1% per tahun, tetapi defisit menunjukkan penurunan rata-rata sebesar 0,98% per tahun. Hal itu dikarenakan terdapat perluasan areal tanaman kedelai di masa yang akan datang, dimana hal tersebut dutunjukkan dengan peningkatan tiga kali lipat dari pertumbuhan konsumsi rata-rata. Sehingga Indonesia berpeluang berswasembada kedelai dimasa yang akan datang, dengan mempertahankan pertumbuhan produksi lebih besar dari pada pertumbuhan konsumsi 1. Berdasarkan penelitian maka produksi padi pada tahun 2003 diproyeksikan sekitar 53,54 juta ton atau meningkat sebesar 3,76% bila dibandingkan tahun 2002 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas areal panen padi di Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran, dan konsumsi beras per kapita
20
No 7.
No 10.
Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Nama : Purdiyanti Pratiwi 1. Mendeskripsikan Tahun : 2008 perkembangan kebijakan Judul : Efektifitas dan perumusan beras nasional strategi kebijakan beras nasional 2. Mengevaluasi hasil kebijakan beras nasional yang sudah berjalan 3. Merumuskan strategi dan program kebijakan perberasan nasional
Metode Hasil 1. Analisis 1. Perkembangan mengenai Kebijakan Deskriptif peningkatan produksi diintervensi pemerintah 2. Analisis melalui berbagai program peningkatan produksi Kuantitatif padi (P4) seperti program Bimas (1965), Insus (Analisis (1798) dan Program P2BN (2007). Keempat lingkungan kebijakan tersebut dalam pelaksanaanya internal dan mengalami berbagai hambatan baik yang eksternal, berasal dari internal maupun eksternal sehingga SWOT, belum mencapai sasaran yang diharapkan. QSPM) Keempat kebijakan yang ada, kebijakan 3. Metode distribusi adalah kebijakan yang paling efektif AHP dibandingkan kebijakan lainnya 2. Prioritas strategi kebijakan pengembangan perberasan nasional adalah mengkombinasikan kebijakan protektif dengan kebijakan promotif untuk melindungi beras dalam negeri 3. Prioritas pertama program peningkatan produksi padi adalah dengan membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait
21
Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Nama : Rethna Hessie 1. Menganalisis perkembangan 1. Metode Tahun : 2009 dan konsumsi beras di Analisis Judul : Analisis produksi dan Indonesia Deskriptif konsumsi beras dalam negeri serta 2. Menganalisis faktor-faktor 2. Metode implikasinya terhadap swasembada yang mempengaruhi Simultan beras di Indonesia produksi dan konsumsi beras di Indonesia 3. Memperoyeksikan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dalam lima tahun mendatang (2009-2013), serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia
Hasil 1. Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Selama kurun waktu 37 tahun Indonesia masih belum dapat menutupi konsumsi beras total, sehingga pemerintah masih mengimpor beras 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi (yang direpresentasikan dari luas areal panen dan produktivitas) padi adalah rasio harga riil gabah di tingkat jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi dan trend waktu 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan populasi, sedangkan harga beras hanya dipengaruhi secara nyata oleh harga riil beras tahun sebelumnya. Hasil Proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras hingga tahun 2010 sehingga untuk menutupi kebutuhan akan beras pemerintah dapat mengimpor beras dalam jangka pendek atau meningkatkan luas areal panen pada tahun 2009 seluas 195,20 ribu Ha. dan pada tahun 2010 seluas 77,40 ribu Ha. Pada tahun 2011 Indonesia mencapai swasembada beras
22
No 11.
No 12.
Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Nama : Retno Lantarsih, et al 1. Meninjau ketahanan pangan 1. Analisis Tahun : 2011 wilayah dari ketersediaan Deskriptif Judul : Sistem ketahanan pangan energi, dan kontribusi beras nasional : kontribusi ketersediaan dalam ketersediaan energi dan konsumsi energi serta 2. Menganalisis ketahanan optimalisasi distribusi beras pangan tingkat rumah tangga dan kontribusi konsumsi energi yang bersumber dari beras terhadap konsumsi energi total 3. Menganalisis keragaan wilayah provinsi di Indonesia berdasarkan ketersediaan dan konsumsi beras 4. Menganalisis optimalisasi distribusi beras antar daerah di Indonesia
13.
Nama : Mohamad Maulana 1. Mendeskripsikan Kebijakan 1. Analisis Tahun : 2012 HPP gabah dan beras dan Deskriptif Judul : Prospek implementasi prospek alternatif kebijakan kebijakan harga pembelian HPP multikualitas gabah pemerintah (HPP) multikualitas dan beras gabah dan beras di Indonesia
Hasil 1. Dilihat dari ketersediaan energi, ketahanan pangan wilayah adalah tahan pangan terjamin, dengan kontribusi ketersediaan energi yang bersumber dari beras sebesar 46,24 persen untuk Indonesia 2. Meskipun dari aspek ketahanan pangan berdasarkan ketersediaan energi dalam kondisi tahan pangan terjamin, masih terdapat rumah tangga yang tergolong rawan pangan 3. Ketahanan pangan wilayah menjadi prasyarat terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, namun demikian ketahanan pangan wilayah belum menjamin terciptanya ketahanan pangan rumah tangga 4. Berdasarkan produksi dan konsumsi beras, tidak semua provinsi di Indonesia mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras. Terdapat 11 provinsi yang mengalami defisit beras dan sisanya sebanyak 22 provinsi mengalami surplus beras dengan memperhitungkan cadangan pangan ideal dan sisa stok bulog tahun 2008 1. Kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan mampu meningkatkan produksi gabah dengan kualitas lebih dan adanya intensif petani meningkatkan kualitas gabahnya dari kualitas medium ke premium 2. Kebijakan HPP diyakini mampu mendorong pedagang atau penggiling untuk meningkatkan produksi beras
23
Peneliti/Judul Penelitian Nama : Amar K. Zakaria dan Tjetjep Nurasa Tahun : 2013 Judul : Strategi penggalangan petani untuk mendukung program peningkatan produksi padi berkelanjutan
Judul Metode 1. Mengevaluasi kinerja 1. Analisis penggalangan petani dan Deskriptif untuk mengetahui partsipasi petani dalam mendukung program peningkatan produksi padi
Hasil 1. Strategi penggalangan petani menjadi faktor kunci untuk meningkatkan partisipasi petani dalam penerapan inovasi teknologi budidaya padi
24
No 14.
25
III 3.1
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai
acuan alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain konsep analisis statistika deskriptif, analisis regresi linear berganda, dan metode Box-Jenkins (ARIMA).
3.1.1
Produksi dan Konsumsi Beras Produksi didefinisikan sebagai proses menciptakan barang atau jasa
ekonomi dengan menggunakan dua macam barang atau jasa lainnya dimana untuk menghasilkan produk-produk pertanian biasanya dibutuhkan faktor produksi. Faktor produksi tersebut biasanya disebut input untuk menghasilkan sebuah output dimana dalam hal ini berupa output pertanian. Hubungan input dengan output secara teknis menurut ahli ekonomi disebut fungsi produksi (Halcrow, 1992). Fungsi produksi secara umum dituliskan dalam model matematis berupa: Y
= f (X1, X2, …, Xn)
Dimana: Y
= Produk atau variabel yang dipengaruhi oleh faktor produksi, X, dan
X1,.,Xn = Faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y. Fungsi produksi dalam pertanian menurut Soekartawi (1990), Y dapat berupa Produksi pertanian dan X berupa faktor produksi seperti input-input produksi yaitu lahan pertanian, tenaga kerja, modal, dan manajemen, namun dalam hal ini faktor produksi belum mampu menjelaskan Y, sehingga perlu pemahaman mengenai proses produksi. Menurut Daniel (2002) faktor produksi misalnya untuk tanaman padi seluas satu hektar, supaya produksi maksimum bisa dicapai melalui masukan yang diberikan (modal) seperti jumlah bibit, pupuk, dan obat-obatan harus sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman padi. Cara pemberian, waktu pemberian, dan dosis atau takaran tiap pemberian juga harus tepat ditambah dengan pemilihan bibit, penyemaian, pengolahan tanah, penyiangan, pemupukan, dan lain-lainnya yang lebih lazim disebut dengan teknologi. Teknologi berperan dalam menentukan saling keterkaitan antar faktor produksi seperti luas tanah yang
digunakan satu hektar, maka berapa jumlah modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan menetapkan teknologi yang diterapkan. begitu juga dengan modal yang tersedia terbatas atau ditentukan maka luas usaha tani juga harus mengikuti. Fungsi produksi digambarkan oleh kurva total produksi. Fungsi produksi tersebut dapat diihat pada Gambar 4. Y c b a
PT X 0 Y
PR X
0 PM
Gambar 4 Fungsi Produksi Fisik Total (TPP), Produk Fisik Marginal (MPP) dan Produk Fisik Rata-rata (APP) Keterangan: a
: PM maksimum
X
: Faktor Produksi
b
: e = 1, PR maksimum
Y
: Produksi
c
:e=0
PT
: Produk Total
0-b
: Daerah I (EP > 1)
PR
: Produk Rata-Rata
b-c
: Daerah II (0 < EP < 1)
PM
: Produk Marginal.
c >>
: Daerah III (EP < 1)
Sumber: Soekartawi, 1990 Berdasarkan gambar 4, terlihat bahwa fungsi produksi digambarkan oleh kurva total produksi dimana akan maksimum saat produk marginal sama dengan
nol. Hubungan fungsi produksi dengan daerah produksi menurut Halcrow (1992) dijelaskan sebegai berikut : 1.
Daerah I, (EP > 1) merupakan daerah irrasional dimana bagi seorang produsen yang membatasi penggunaan faktor produksi merupakan tindakan yang tidak menguntungkan. Produksi rata-rata dapat dinaikkan dengan menambah jumlah input variabel.
2.
Daerah II, (0 < EP < 1) merupakan daerah rasional dimana penggunaan input tetap dan input variabel akan dapat mencapai keuntungan maksimal, tetapi kita tidak dapat menentukan pada tingkat produksi mana akan diperoleh keuntungan yang maksimal tanpa mengetahui informasi harga input dan harga output.
3.
Daerah III, (EP < 1) merupakan daerah irrasional dimana pengurangan input dapat meningkatkan output total. Hal ini untuk menggambarkan perbedaan antara input tetap dan input variabel. Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau
menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung (Nicholson, 1995). Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan sempurna dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan. Keynes menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan sekarang. Oleh karena itu, ekonom menyatakan bahwa konsumen memahami kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu. Konsumen menatap sumber daya dan kebutuhan masa depan mereka, yang dinyatakan dalam fungsi konsumsi yang lebih kompleks dibanding fungsi konsumsi yang Keynes berikan. Keynes menyatakan bentuk fungsi konsumsi: Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang), Sedangkan studi terbaru menyatakan: Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan yang diduga, tingkat bunga, dan harga barang) dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan dari konsumsi agregat (Mankiw, 2007).
Fungsi konsumsi berasal dari teori permintaan. Menurut Wardojo (2014) untuk memproyeksikan konsumsi beras maka diperlukan beberapa hal, yaitu: (1) Informasi mengenai elastisitas pendapatan untuk konsumsi beras; (2) Elastisitas harga sendiri; (3) Jumlah penduduk tahun dasar dan laju pertumbuhan penduduk; (4) Perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakat; dan (5) Perkiraan perubahan harga pada tahun mendatang. Terdapat dua pendekatan dalam melakukan proyeksi konsumsi beras per kapita. Pertama, mengingat tingkat konsumsi beras pada tahun 1999 dipandang tidak mencerminkan kondisi normal, maka dalam melakukan proyeksi konsumsi ke depan (2002-2004) tingkat konsumsi tahun 1996 digunakan sebagai tahun dasar tahun 1999. Alternatif kedua adalah, tetap menggunakan tingkat konsumsi per kapita tahun 1999 sebagai tahun dasar, tetapi menggunakan asumsi peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dan kenaikan harga beras yang lebih rendah. Asumsi ini sejalan dengan tekat pemerintah dalam mengontrol harga beras sehingga dapat terjangkau oleh rumah tangga miskin, misalnya dengan melakukan pembatasan impor beras.
3.1.2 Teori Penawaran dan Permintaan Permintaan dan penawaran atas barang-barang atau komoditas produk pertanian berkaitan erat dengan perkembangan harga, ketika harga naik maka permintaan akan turun dan apabila harga turun maka permintaan akan naik. Sebaliknya, jika penawaran naik maka harga akan turun dan bila penawaran turun maka harga akan naik. Keadaan ini akan selalu berputar sedemikian rupa sehingga menjadikan sebuah mekanisme yang disebut sebagai mekanisme pasar. Harga akan diatur oleh ketersediaan barang namun hukum ini bisa tidak berlaku saat terjadi kebijakan penetapan harga atas suatu komoditas yang berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan (Daniel, 2002). Menurut Halcrow (1992), penawaran didefinisikan sebagai daftar yang menunjukkan variasi jumlah yang dapat diproduksi dan dijual di pasar pada masing-masing tingkat harga, pada kondisi dan periode waktu tertentu. Konsep penawaran selain dapat diterapkan pada penawaran produksi juga dapat diterapkan pada penawaran faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Kurva penawaran harus menunjukkan kondisi tertentu pada pasar
tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran adalah: (1) Teknologi produksi; (2) Harga input yag digunakan dalam proses produksi; (3) Harga barang-barang substitusi; (4) Harga yang diharapkan; (5) Jumlah penjual dalam pasar; (6) Pajak dan subsidi yang dikaitkan dengan jumlah produksi. Perubahan salah satu faktor di atas dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran ke kiri atau ke kanan. Permintaan didefinisikan sebagai jadwal yang menunjukan berbagai jumlah produk yang akan dibeli dengan berbagai tingkat pada kondisi dan periode waktu tertentu. Hukum permintaan menyatakan bahwa terdapat hubungan terbalik antara harga dan jumlah yang diminta. Menurut Halcrow (1992) faktor-faktor non harga yang mempengaruhi permintaan dapat berupa: (1) Selera dan prefensi konsumen; (2) Jumlah konsumen dalam pasar; (3) Pendapatan atau kesejahteraan konsumen; (4) Harga barang-barang lainnya; (5) Ekspektasi konsumen terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang.
3.1.3
Metode Analisis Statistika Deskriptif Kuantitatif Analisis statistik deskriptif adalah teknik statistik yang memberikan
informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji hipotesis dan kemudian menarik kesimpulan yang digeneralisasikan untuk data yang lebih besar atau populasi. Statistik deskriptif hanya dipergunakan untuk menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif dan disertai perhitungan-perhitungan sederhana yang bersifat lebih memperjelas keadaan dan atau karakteristik data yang bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009). Analisis
deskriptif
dalam
penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
perkembangan produksi dan konsumsi beras nasional dalam upaya pencapaian program swasembada beras pemerintah tahun 2017. Analisis ini meliputi deskripsi dari hasil kuantitatif data BPS mengenai jumlah produksi padi (ribu ton/tahun) dan konsumsi beras (ribu ton/tahun). Hasil analisis ini diperoleh berdasarkan ketersediaan data series yang mencangkup indikator produksi dan konsumsi beras domestik.
3.1.4 Model Regresi Linear Berganda Model regresi linear berganda adalah model untuk memeriksa hubungan antar satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel yang dijelaskan dengan satu atau lebih variabel lain yang disebut dengan variabel bebas atau variabel penjelas (Gujarati, 2006). Model ini memungkinkan penggunaan lebih dari satu variabel bebas yang mungkin mempengaruhi variabel tak bebas. Model ini sering disebut juga metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least squere/OLS). Model ini bukan hanya mudah digunakan namun memiliki beberapa sifat teoritis yang kokoh yang dijelaskan dalam teorema Gauss-Markov. Teorema ini menyatakan bahwa berdasarkan asumsi-asumsi dari model regresi linear klasik, penaksiran OLS memiliki variansi yang terendah diantara penaksirpenaksir lainnya. Penaksir OLS dalam hal ini disebut sebagai penaksir tak bias linear terbaik (Best Linear Usbiased Estimatory/ BLUE). Asumsi dalam model ini adalah: 1.
Memiliki parameter yang bersifat linear dan model ini ditentukan secara tepat.
2.
Faktor kesalahan mempunyai nilai rata-rata sebesar nol.
3.
Tidak adanya autokorelasi dalam setiap variabel dalam model.
4.
Asumsi homoskedastisitas atau penyebaran yang sama.
5.
Tidak terdapat multikolinearitas yang berarti tidak terdapat hubungan linear yang pasti antara variabel bebas, serta
6.
Pengujian hipotesis, faktor kesalahan mengikuti distribusi normal dengan rata-rata sebesar nol dan homoskedatisitas.
3.1.5 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) merupakan metode yang secara intensif dikembangkan oleh George Box dan Gwilym Jenkins. Metode ARIMA sebenarnya adalah teknik untuk mencari pola yang paling cocok dari sekelompok data (curve-fitting). Dengan demikian metode ARIMA memanfaatkan sepenuhnya data masa lalu dan data sekarang untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. Metode ARIMA berbeda
dengan metode peramalan lainnya karena metode ini tidak mensyaratkan suatu pola data tertentu supaya model dapat bekerja dengan baik. Metode ARIMA juga tidak memerlukan penjelasan mengenai mana variabel dependen atau mana variabel independen (Santoso, 2009). Dengan begitu metode ARIMA dapat digunakan untuk semua tipe pola data. Metode ini merupakan gabungan dari metode penghalusan, metode regresi, dan metode dekomposisi (Aritongan, 2009). Langkah-langkah yang harus diambil dalam menganalisis data dengan menggunakan teknik Box-Jenkins secara detil dapat dijelaskan sebagai berikut: Langkah 1.
Identifikasi model. Langkah pertama kita mencari nilai p, d, dan q dengan menggunakan correlogram.
Langkah 2.
Estimasi Parameter. Setelah mendapatkan nilai p dan q, maka selanjutnya kita mengestimasi parameter model ARIMA yang kita pilih pada langkah pertama, estimasi parameter dapat dilakukan melalui metode kuadrat terkecil atau metode estimasi yang lain seperti maximum likelihood namun kini sudah banyak cara cepat dalam mengestimasi model ARIMA ini.
Langkah 3.
Uji Diagnosis. Setelah mendapatkan estimasi model ARIMA selanjutnya memilih model yang mampu menjelaskan data dengan baik. Caranya adalah memilih apa residual bersifat random sehingga merupakan residual yang relatif kecil. Jika tidak kita harus kembali kelangkah pertama untuk memilih model yang lain. Pada langkah ini diperlukan keahlian khusus untuk memilih model ARIMA yang tepat.
Langkah 4.
Prediksi. Setelah model sudah didapatkan maka tahap selanjutnya adalah kita bisa menggunakan model tersebut untuk memprediksi. Beberapa kasus meramalkan prediksi jangka pendek model ini lebih baik dari pada model ekonometrika tradisional.
Identifikasi Model Pemilihan p, d, q secara tentatif
Estimasi parameter model
Uji Diagnosis Tidak
Ya Prediksi
Gambar 5 Diagram metodologi Box-Jenkin
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Indonesia merupakan pengonsumsi beras terbesar ke-3 setelah China dan
India yaitu sebesar 38.650.000 Ton (Kementerian Pertanian, 2015) hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pangan utama masyarakat Indonesia. Konsumsi beras nasional yang terus meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk menyebabkan pemerintah harus melakukan berbagai strategi guna mengatasi ketimpangan beras yang terjadi. Melihat permasalahan ini, pemerintah sudah memiliki rencana mengenai program perberasan nasional yang tertuang dalam RPJPN tahun 2005-2025 tentang swasembada beras berkelanjutan. Program swasembada beras ini perlu didukung guna tercapainya ketahanan pangan di Indonesia. Berdasarkan rencana tersebut tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia menggunakan analisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada pemerintah atau khalayak umum dalam mendapatkan informasi mengenai kondisi komoditas beras di Indonesia, apabila produksi lebih besar dari pada konsumsi beras maka swasembada yang diharapkan pemerintah dapat tercapai namun jika produksi lebih kecil dari pada konsumsi beras maka swasembada yang diharapkan oleh pemerintah belum dapat tercapai sehingga kita masih perlu melakukan impor beras guna mencukupi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Kemudian yang kedua adalah
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras domestik menggunakan model persamaan regresi linear berganda, variabel yang diidentifikasi diharapkan dapat memberikan alternatif kebijakan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan apa yang harus dilakukan guna meningkatkan produksi beras domestik dan menurunkan konsumsi beras domestik supaya dalam program
ini
swasembada
dapat
tercapai.
Tahap
selanjutnya
adalah
memproyeksikan peramalan produksi beras domestik guna melihat target pencapaian swasembada beras berkelanjutan pada tahun 2017. Peramalan ini dilakukan untuk menjawab apakah pada tahun tersebut Indonesia dapat mencapai swasembada beras berkelanjutan seperti yang telah ditargetkan oleh pemerintah. Jika hasil ramalan menunjukkan konsumsi lebih besar dibandingkan produksi, maka swasembada beras tersebut belum dapat tercapai. Namun, apabila hasil ramalan menunjukkan produksi sama dengan atau lebih besar dari pada konsumsi, maka swasembada beras dapat tercapai. Tahap yang terakhir adalah mengimplementasikan hasil ramalan untuk pengupayaan swasembada beras sampai tahun 2017. Jika hasil peramalan berhasil maka pemerintah melanjutkan kebijakan yang sudah ada secara berkelanjutan, dan apabila hasil ramalan belum tercapai maka dilakukan perumusan strategi kebijakan dan mengidentifikasi implikasinya. Sehubungan dengan hal ini untuk mempermudah penelitian maka dibuat alur pemikiran yang akan menerangkan apa saja yang menjadi ruang lingkup pada penelitian ini. Berikut alur penelitian lebih jelas disajikan dalam bentuk diagram alur kerangka berfikir yang dapat dilihat pada gambar 6.
Indonesia merupakan pengonsumsi beras terbesar ke-3 setelah China dan India
Masalah dalam ketahanan pangan
Perlu upaya Pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan
Program swasembada pangan untuk menjaga kestabilan pangan di Indonesia
Peningkatan hasil produksi padi domestik (beras yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia)
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia (Analisis Deskriptif)
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia (Analisis Regresi Linear Berganda )
Proyeksi peramalan produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2015-2017 “peramalan target pencapaian program swasembada (metode peramalan ARIMA)“
Hasil dan rekomendasi kebijakan terhadap pencapaian swasembada beras di Indonesia
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional
IV 4.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mengkaji mengenai kondisi produksi dan konsumsi beras
domestik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan terdapat pada tabel 5. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, World Bank, buku ataupun artikel yang terkait dengan penelitian ini dan media lain seperti internet. Data berupa data time series yaitu tahun 1985 – 2014.
4.2
Metode Analisis dan Pengolahan Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode dan analisis yang
sesuai. Tabel 5 Matriks analisis data No 1.
2.
3.
Metode Analisis Data Menganalisis Data time series tahunan produksi Analisis perkembangan produksi dan kosumsi beras di Indonesia tahun Deskriptif dan konsumsi beras 1985-2014 domestik Menganalisis faktor- Data time series tahunan data luas Analisis faktor yang areal panen padi, produktivitas padi, Regresi Linear mempengaruhi produksi padi, produksi beras, Berganda produksi padi dan konsumsi beras, jumlah impor-ekspor menggunakan konsumsi beras beras, PDB riil Indonesia, harga riil software domestik jagung, harga riil gabah, harga riil Minitab 16 pupuk urea, tingkat riil upah TK, varietas unggul benih padi, curah hujan, dan jumlah penduduk Indonesia tahun 1985-2014 Memproyeksikan Data time series tahunan produksi Metode produksi dan konsumsi dan kosumsi beras di Indonesia tahun ARIMA beras domestik untuk 1985-2014 menggunakan melihat target software dan pencapaian Minitab 16 swasembada beras tahun 2017 Tujuan Penelitian
Sumber: Penulis 2016
Data yang Dibutuhkan
4.2.1 Metode Analisis Deskriptif Kuantitatif Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia pada 30 tahun terakhir yaitu dari tahun 1985-2014. Analisis deskriptif pada penelitian ini dijelaskan berdasarkan tabulasi data dengan bantuan tabel dan gambar untuk mempermudah dalam penjelasan. Gambar yang ditampilkan merupakan plot data terhadap waktu pada periode penelitian. Gambar tersebut akan ditambah dengan keterangan lain sesuai kondisi serta hal yang terjadi pada data yang dianalisis. Produksi dan konsumsi padi domestik yang digunakan berdasarkan perhitungan yang telah diolah oleh Kementerian Pertanian. Berikut ini merupakan perhitungan dalam melakukan proyeksi produksi dan konsumsi beras domestik. Produksi padi pada tahun ke-t (PPt) merupakan perkalian antara luas areal panen (LAPt) dengan produktivitas padi pada tahun tersebut (PVt). Persamaan produksi padi dirumuskan sebagai berikut: PPt
= LAPt x PVt
Dimana: PPt
= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
LAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t (Ribu Ha) PVt
= Produktivitas padi tahun ke-t (Ton/Ha) Produksi beras (PBt) merupakan perkalian antara konversi atau tingkat
rendemen pengolahan dari padi menjadi beras (Kt) dan produksi padi pada tahun tersebut (PPt). Secara empiris persamaan produksi beras dirumuskan sebagai berikut: PBt
= Kt x PPt
Dimana: PBt
= Produksi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
Kt
= Angka konversi padi ke beras sebesar 0,627
PPt
= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton) Konsumsi beras total Indonesia pada tahun ke-t (KBt) merupakan
perkalian antara kebutuhan beras per kapita per tahun dikali dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun tersebut ditambah dengan kebutuhan benih/bibit
ditambah dengan kebutuhan untuk pakan, bahan baku industri bukan makanan dan tercecer. Sedangkan, nilai laju yang digunakan dalam menganalisa data produksi dan konsumsi beras di Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Laju produksi atau konsumsi =
x 100%
Keterangan: Laju produksi atau konsumsi
= Persen (%)
Nilai selisih produksi atau konsumsi = (Pt – Pt-1) atau (Kt – Kt-1) Nilai lag produksi atau konsumsi
= (Pt-1) atau (Kt-1)
P dan K
= Produksi dan Konsumsi
t
= Produksi atau konsumsi pada tahun ke-t
t-1
= Lag (Produksi atau konsumsi pada satu tahun sebelumnya)
4.2.2
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik Analisis ini dilakukan dengan menggunakan model regresi linear
berganda. Persamaan yang diestimasi dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan persamaan tunggal. Persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini dirumuskan dari beberapa penelitian terdahulu yang terdapat dalam kerangka pemikiran teoritis, persamaan yang diduga yaitu: (1) Produksi padi domestik; dan (2) Konsumsi beras domestik. Proses analisis model ekonometrika terdiri dari: 1.
Produksi Padi Domestik Produksi padi di Indonesia diduga dipengaruhi oleh luas areal panen padi,
harga riil gabah, harga riil pupuk urea, tingkat riil upah tenaga kerja, jumlah varietas unggul padi, dan curah hujan. Persamaan produksi beras di Indonesia dapat dituliskan sebagai berikut: PPt
= c0 + c1LAPt + c2HGt + c3HPUt + c4UBTt + c5JVUPt + c6CCt + et
Dimana: PPt
= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
LAPt = Luas areal panen padi pada tahun ke-t (Ribu Ha)
HGt
= Harga riil gabah pada tahun ke-t (Rp/Kg)
HPUt = Harga riil pupuk urea pada tahun ke-t (Kg/Ha) UBTt = Tingkat riil upah TK pada tahun ke-t (Rp/HOK) JVUPt = Jumlah varietas Unggul Padi pada tahun ke-t (Jenis) CHt
= Curah Hujan pada tahun ke-t (Mm)
c0
= Intersep
c1
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,..,8)
et
= Error
Nilai dugaan yang diharapkan: c3<0; c1,c2, c4, c5, c6>0 2.
Konsumsi Beras Domestik Konsumsi beras di Indonesia diduga dapat dipengaruhi oleh harga riil
beras, jumlah penduduk Indonesia, PDB rill Indonesia dan harga riil jagung sebagai salah satu subsitusi pangan pengganti beras. Persamaan konsumsi beras di Indonesia dapat dituliskan sebagai berikut: KBt
= c0 + c1HBt + c2POPt + c3PDBt + c4HJt + et
Dimana: KBt
= Konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
HBt
= Harga riil beras pada tahun ke-t (Rp/Kg)
POPt = Jumlah penduduk pada tahun ke-t (Ribu Jiwa) PDBt = PDB riil Indonesia tahun ke-t (RP.T) HJt
= Harga riil jagung pada tahun ke-t (Rp/Kg)
c0
= Intersep
c1
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,4)
et
= Error
Nilai dugaan yang diharapkan: c1, c3<0; c2,c4>0
4.2.3 Model Persamaan Regresi Linear Berganda Model dapat dikatakan baik apabila hasil estimasi model regresi yang telah didapatkan kemudian di uji. Pengujian tersebut dilakukan melalui uji statistik, uji ekonometrika, dan uji ekonomi.
1.
Uji statistik Uji statistik digunakan pada model pendugaan melalui uji-F dan uji
koefisien determinasi, sedangkan parameter-parameter regresi dapat diuji melalui uji-t. a.
Uji-F Uji F dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas
terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan probabilitas nilai F statistik (p-value) dengan probabilitas taraf ntara (α) yang digunakan. Analisa pengujian Uji-F adalah sebagai berikut: 1.
Pengujian Hipotesis H0
: b1 = b2 = … = bi = 0
H1
: Miminal ada satu bi > 0
Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang linear antara variabel terikat dengan variabel bebas. 2.
Penentuan penerimaan atau penolakan H0, Apabila: P-value > α, maka H0 diterima, artinya minimal ada salah satu dari
variabel independen yang dapat mempengaruhi secara nyata terhadap variabel dependennya. P-value < α, maka H0 ditolak, artinya variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. b.
Uji-t Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara
individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. 1
2
Pengujian Hipotesis H0
: bi > 0
H1
: bi < 0
i
: 1,2,3…..
Penetuan penerimaan atau penolakan H0, Apabila: Probabilistik t-statistik (p-value) < α, maka implikasinya tolak H0, artinya variabel indipenden berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Probabilistik t-statistik (p-value) > α, maka implikasinya terima H0, artinya variabel indipenden tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
3
Uji Koefisien Determinasi Apabila nilai koefisien determinasi mendekati 1, maka model yang digunakan semakin baik. Hal ini mengidentifikasikan semakin banyak keragaman variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Rumus menghitung koefisien determinasi (Juanda 2009) adalah: R2
=
JKR
=∑
JKT
=∑
̂
2 2
Keterangan: R2
= Koefisien determinasi
̂
= Nilai Variabel Terkait Dugaan
JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
Yi
= Nilai Variabel Terkait Aktual
JKT
= Jumlah Kuadrat Total
̅
= Nilai Rata-rata Variabel Terkait
2.
Uji ekonometrika Uji
ekonometrika
ini
diantaranya
adalah
uji
autokorelasi,
uji
multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. a.
Uji Autokorelasi Penelitian ini akan menggunakan uji Durbin-Watson untuk mendeteksi
adanya autokorelasi. Berikut ini langkah-langkah uji hipotesis Durbin-Watson (Firdaus, 2004): 1.
Tentukan hipotesis nol dan alternatifnya. Hipotesis nol adalah variabel gangguan tidak mengandung autokorelasi dan hipotesis alternatifnya adalah variabel gangguan mengandung autokorelasi
2.
Hitung besarnya nilai statistik DW dengan rumus: ∑ d=
∑
Keterangan: et 3.
= Residu/error pada selang waktu t
Bandingkan nilai statistik DW dengan nilai teoritik DW sebagai berikut: ρ > 0 (autokorelasi positif):
1) Bila DW ≥ du (dengan df n – K – 1); K adalah banyaknya variabel bebas yang digunakan; H0 diterima jadi ρ = 0 berarti tidak ada autokorelasi pada model itu 2) Bila DW ≤ dL (dengan df n – K – 1), H0 ditolak, jadi ρ ≠ 0 berarti ada autokorelasi positif pada model itu 3) Bila dL < DW < du; Uji itu hasilnya tidak konklusif, sehingga tidak dapat ditentukan apakah terdapat autokorelasi atau tidak pada model itu ρ < 0 (autokorelasi negatif): 1) Bila (4 – DW) ≥ du; H0 diterima jadi ρ = 0 berarti tidak ada autokorelasi pada model itu 2) Bila (4 – DW) ≤ dL; H0 ditolak, jadi ρ ≠ 0 berarti ada autokorelasi negatif pada model itu 3) Bila dL < (4 – DW); Uji itu hasilnya tidak konklusif, sehingga tidak dapat ditentukan apakah terdapat autokorelasi atau tidak pada model itu distribusi DW terletak di antara dua distribusi, dL dan du, dL adalah batas bawah nilai DW sedangkan du adalah batas atas nilai DW. Nilai-nilai tersebut telah disusun dalam tabel Durbin Watson dan dikenal sebagai tabel Durbin Watson untuk derajat keyakinan 95% dan 99%. Berikut ini merupakan tabel yang dapat digunakan sebagai ketentuan berikut: Tabel 6. Aturan keputusan Uji d Durbin-Watson DW Kurang dari 1,10 1,10 dan 1,54 1,55 dan 2,46 2,46 dan 2,90 Lebih dari 2,91
Kesimpulan Ada autokorelasi Tanpa Kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa Kesimpulan Ada autokorelasi
Sumber: Gujarati, 2006
b.
Uji Multikolinearitas Uji untuk menemukan ada tidaknya multikolinearitas melalui nilai faktor
varians (Variance Inflation Factor, VIF), apabila nilai ini lebih dari 10 maka tidak akan ada masalah dalam multikolinearitas yang kuat. Rumus VIF (Gujarati, 2006) yaitu:
VIF = Keterangan: = Koefisien determinasi dari regresi variabel bebas ke-j dengan variabel bebas lainnya. c.
Uji Heteroskedastisitas Penelitian menggunakan uji Glejser sebagai deteksi terhadap masalah
heteroskedastisitas dengan meregresikan nilai absolut residual terhadap variabel bebas. Rumus uji-Glejser (Gujarati 2006) yaitu: | ei | = B1 + B2 Xi + vi Keterangan: | ei |
= Nilai absolut residual
Xi
= Variabel independen
vi
= Faktor residu
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian heteroskedastisitas adalah: H0
: Tidak terdapat heteroskedastisitas (homoskedastisitas)
H1
: Terdapat heteroskedastisitas
Kriteria Pengujian: p-value uji Glejser < taraf nyata (α), maka tolak H0, sehingga terdapat heteroskedastisitas; p-value uji Glejser > taraf nyata (α), maka terima H0, sehingga tidak terdapat heteroskedastisitas. Taraf nyata (α) yang digunakan dalam pengujian ini ada sebesar 0.05 (5%) Kesimpulan dalam uji ini jika variabel independen dalam persamaan signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen (nilai absolute residual), maka ada indikasi heteroskedastisitas. d.
Uji Normalitas Penelitian ini akan menggunakan uji Jarque-Bera untuk menguji
kenormalitasan data. Rumusnya sebagai berikut (Gujarati 2006): JB =
[s2 +
]
Keterangan: n
= Jumlah pengamatan
S
= Koefisien Skewness
K
= Koefisien Kurtosis
Hipotesis pada uji normalitas adalah sebagai berikut: H0
= Error term terdistribusi normal
H1
= Error term tidak terdistribusi normal
Kriteria pengujian: p-value uji JB > α maka terima H0, artinya error term terdistribusi normal; p-value uji JB < α maka tolak H0, artinya error term tidak terdistribusi normal. Taraf nyata (α) yang digunakan dalam pengujian ini sebesar 0.05 (5%) 3.
Uji ekonomi Uji secara ekonomi dilakukan berdasarkan tanda yang ada pada setiap
variabel bebas dalam model yang diduga. Terdapat variabel yang diduga memiliki tanda positif dan negatif. Tanda positif dalam pendugaan ini artinya penambahan satu variabel independent akan meningkatkan produksi padi dan konsumsi beras di Indonesia. Sedangkan tanda negatif artinya ketika adanya penambahan satu variabel indipendent maka akan mengurangi produksi padi atau konsumsi beras di Indonesia. Variabel yang diduga memiliki tanda positif yaitu luas areal panen padi, harga riil gabah, tingkat riil upah TK, jumlah varietas unggul padi, curah hujan, jumlah penduduk, dan harga riil jagung, sedangkan tanda yang diduga memiliki tanda negatif yaitu harga riil pupuk urea, harga riil beras, dan PDB riil Indonesia.
4.2.4
Metode ARIMA (Autoregressive Intergrated Moving Average) Peramalan dalam penelitian ini menggunakan metode ARIMA, metode
ARIMA ini dilakukan melalui lima tahap, yaitu (1) Tahap pemeriksaan kestasioneran data; (2) Pengidentifikasian model; (3) Pengestimasian parameter model; (4) Pengujian model; (5) dan Penggunaan model untuk peramalan. Kestasioneran data pada tahap satu harus dipersiksa data runtut waktunya (apakah rata-rata dan variasinya konstan, homogenitas dari waktu ke waktu) karena data yang dianalisis pada ARIMA adalah data yang stasioner. Pemeriksaan itu
dilakukan berdasarkan analisis otokorelasi dan otokorelasi parsial (dibicarakan kemudian) atas datanya. Jika data sudah stasioner, kemudian dilanjutkan ke tahap dua namun bila data belum stasioner maka datanya harus ditransformasi dengan metode tertentu hingga menjadi stasioner. Data yang tebukti tidak stasioner maka dapat diatasi melalui proses tertentu. Cara pertama ketika data itu tidak stasioner adalah melakukan differencing. Kemudian cara kedua adalah melakukan transformasi data ke bentuk tertentu, misalnya logaritma. Pada ARIMA, proses dilakukan dengan differencing, yakni selisih antara data tertentu dengan data sebelumnya. Jika differencing berorder satu, persamaan adalah: Y’t = Yt – Yt-1 Dimana: Y’t
= Selisih data order Satu
Yt
= Data pada waktu t
Yt-1
= Data pada waktu t-1
Beberapa kasus, differencing order satu masih belum menghasilkan data yang stasioner, untuk itu dapat dilakukan differencing order kedua: Y’’t = Y’t – Y’t-1 Dimana: Y’’t
= Selisih order ke dua
Y’t-1
= Selisih data order satu pada waktu t-1
Walaupun dimungkinkan untuk melakukan differencing order ketiga, keempat dan seterusnya, namun untuk ilmu sosial proses differencing (jika ada) hanya dilakukan sampai dua kali saja. Model umum dari ARIMA adalah ARIMA (p,d,q), ketika model sudah stasioner maka tahap selanjutnya mengidentifikasi bentuk model yang akan digunakan. Tahap ini disebut identifikasi model tentatif; disebut tentatif karena model masih dapat diubah-ubah lagi, misal dari ARIMA (1,0,0) menjadi (0,0,1) atau lainnya. Proses identifikasi atau memilih model tentatif dapat pula dilakukan dengan meilhat pola bar yang ada pada ACF serta PACF; kemudian pola tersebut dibandingkan dengan pola data yang ada pada model-model rujukan, untuk memilih pola rujukan mana yang cocok dengan pola ACF dan PACF dari cara
demikian kemudian dari satu model tentatif yang dipilih, dilakukan proses pembuatan persamaan untuk mulai melakukan forecasting. Proses ini disebut dengan estimasi. Model ARIMA untuk p adalah order untuk bagian persamaan AR, d untuk order differencing, dan q adalah order untuk bagian persamaan MA. Model ARIMA (p,d,q) dapat dinyatakan sebagai berikut jika model yang dianggap tepat untuk melakukan prediksi: 1.
Hanya memuat Autoregressive (AR) saja, maka model disebut ARIMA (p,0,0). Misal model yang tepat adalah AR(1), maka disebut ARIMA (1,0,0).
2.
Hanya memuat Moving Average (MA) saja, maka model disebut ARIMA (0,0,q), misal model yang tepat adalah MA(1), maka disebut ARIMA (0,0,1)
3.
Memuat gabungan MA dan AR, namun data telah stasioner, sehingga tidak memerlukan proses differencing. Pada kondisi tersebut, model disebut ARIMA (p,0,q) atau dapat juga disebut ARMA (p,q). missal model yang tepat adalah AR(1) digabung dengan MA(2), maka disebut ARIMA (1,0,2) atau ARMA (1,2).
4.
Memuat gabungan MA, AR, dan proses differencing. Pada kondisi tersebut, model disebut ARIMA (p,d,q). Misal model yang tepat adalah AR(2) digabung dengan MA(1) pada kondisi differencing order satu, maka disebut ARIMA (2,1,1) Pada tahap dua, model untuk data yang stasioner diidentifikasi
berdasarkan hasil analisis otokorelasi dan otokorelasi parsial atas dasar data yang stasioner atau data yang sudah di stasionerkan. Hasil identifikasi tersebut akan dihasilkan model data berupa model AR (Autoregressive), I (Integrated), MA (Moving Average) atau kombinasi dari dua (ARI, IMA, ARMA) atau tiga (ARIMA) komponen model itu. Setelah model data diidentifikasi, kemudian dilakukan pengestimasian parameter modelnya. Parameter model AR diestimasi dengan analisis regresi melalui pendekatan kuadrat terkecil yang linier. Bila model mencakup MA, walaupun modelnya ditulis dalam bentuk linier, namun cara menghitungnya dilakukan dengan cara tertentu yang berbeda dari analisis regresi linier dengan kuadrat terkecil tersebut. Caranya bermacam-macam, tetapi
yang lazim melalui metode nonlinier dan biasanya melalui dua tahapan, yaitu estimasi awal dan estimasi lanjutan sehingga dihasilkan estimasi akhir, namun dalam parameter akhir biasanya hasilnya tergolong sulit dan biasanya dilakukan dengan bantuan komputer. Model Moving Average (MA) adalah model untuk memprediksi Yt sebagai fungsi dari kesalahan prediksi di masa lalu (past forecast error) dalam memprediksi Yt, dimana model ditentukan oleh suatu konstanta e ditambah pergerakan rata-rata nilai sekarang dan periode sebelumnya dari e disebut firstorder Moving Average atau MA (1) (Santoso, 2009), yaitu: Yt = e - W1 et-1 – w2 et-2 - … - wq et-q Dimana: Yt
= Nilai MA yang diprediksi
et
= Error yang menjelaskan efek dari variabel yang tidak dijelaskan oleh model
W1,2,…,q
= Koefisien atau bobot (weight)
et-1, t-2, ..,t-q
= Nilai tahun sebelumnya
Model Autoregressive (AR) adalah model untuk memprediksi Yt sebagai fungsi dari data di masa yang lalu, yakni t-1, t-2, .., t-n. Persamaan AR: Yt = A1Yt-1 + A2Yt-2 + …. + ApYt-p + et Dimana: Yt
= Nilai AR yang diprediksi
Ap
= Koefisien
Yt-1,Yt-2,..,Yt-p = Nilai lag dari time series et
= Error yang menjelaskan efek dari variabel yang tidak dijelaskan oleh model
Model Campuran (ARMA) berisi gabungan persamaan AR dan MA: Yt = AtYt-1 + A2Yt-2 + ... + ApYt-p + et + (-W1et-1 ) – W2et-q Model tentatif tersebut ketika sudah didapatkan model terbaik kemudian dievaluasi apakah telah memenuhi syarat untuk digunakan. Proses ini dinamakan diagnosik. Menurut Firdaus (2011) Pengujian diagnosik dilakukan melalui enam kriteria yaitu: (1) Residual atau error bersifat random; (2) Model bersifat parsimonius; (3) Parameter yang dietimasi berbeda nyata dengan nol; (4)
Koefisien invertibilitas ataupun stasioneritas terpenuhi; (5) Proses iterasi harus convergence; (6) Model harus memliki MSE yang kecil. Jika model tidak lolos saat diagnosa, model akan diperbaiki, yang dapat berpeluang pada proses estimasi. Namun jika model telah dianggap layak, proses dapat dilanjutkan dengan malakukan kegiatan prediksi menggunakan model yang telah dipilih tersebut. Proses ini dinamakan forecasting (prediksi). Tahap selanjutnya adalah penggunaan model untuk peramalan. Peramalan dalam penelitian ini yaitu tentang produksi dan konsumsi beras domestik. Setalah model yang sesuai diperolah maka dapat membuat peramalan untuk satu atau beberapa periode mendatang. Namun semakin jauh peramalan maka interval keyakinan semakin besar dan dalam penelitian ini dilakukan peramalan mengenai produksi dan konsumsi beras domestik hingga tiga tahun kedepan yaitu hingga tahun 2017. Peramalan dan interval dihitung dengan program Box-Jenkins. Kemudian semakin banyak data yang tersedia, model yang sama dapat digunakan untuk mengubah peramalan dengan cara memilih waktu awal yang lain. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir yaitu 1985-2014 dimana dalam kurun waktu ini telah menjawab peralaman yang akan dilakukan.
V 5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia menunjukkan
kondisi yang berfluktuasi setiap tahunnya (lampiran 1). Pertumbuhan produksi dan konsumsi pada tahun 1985-2014 rata-rata sebesar 2,1% dan 1,4% dengan rata-rata produksi sebesar 33.083,45 ribu ton dan 32.483,98 ribu ton. Peningkatan produksi beras yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh peningkatan produktivitas dan luas areal panen padi setiap tahunnya, sedangkan peningkatan konsumsi beras diakibatkan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Komoditas beras masih dipandang sebagai produk kunci dalam perekonomian Indonesia sehingga kekurangan persediaan merupakan ancaman bagi kestabilan ekonomi dan politik. Perkembangan kebijakan padi dan perberasan nasional sebenarnya telah dimulai pada abad ke-20 saat pemerintah kolonial Belanda mendeklarasikan kebijakan mengenai “politik etika” dengan trilogi instrumen kebijakan yaitu irigasi, edukasi, dan migrasi dengan tujuan meningkatkan produksi tanaman pangan terutama beras. Menurut Hafsah dan Sudaryanto (2004) sejarah telah mencatat Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan swasembada beras ini disebabkan oleh dukungan politik pemerintah yang memprioritaskan pembangunan pertanian disertai kebijakan ekonomi makro yang mendukung, terobosan teknologi baru (Revolusi Hijau) budi daya padi sawah, dan kebijakan intensifikasi pertanian (Bimas) yang mengatur penerapan paket teknologi secara sentralistik. Swasembada beras pada tahun 1984 telah diakui oleh dunia dan mendapat penghargaan besar dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dimana Indonesia ditunjuk sebagai contoh negara berkembang yang berhasil memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Tahun 1968-1984 laju produktivitas padi meningkat sebesar 5% per tahun dan saat itu tertinggi di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Sejarah intensifikasi padi telah dimulai pada masa kemerdekaan dimana upaya untuk meningkatkan produksi pertanian dimulai dengan adanya Rencana Kasimo yang merupakan rencana 3 tahunan (1948-1950) dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). Selanjutnya pada bulan Desember
1949, pemerintah memulai usaha pembangunan pertanian yang lebih sistematis yaitu menggabungkan Rencana Kasimo dengan Rencana Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI). Rencana ini diwujudkan dengan perbanyak benih unggul, perbaikan dan perluasan pengairan, penggunaan pupuk fosfat dan nitrogen pada padi, pemberantasan hama tanaman, pengendalian bahaya erosi, intensifikasi tanah kering, serta pendidikan masyarakat desa. Strategi intensifikasi yang digelar sejak awal adalah strategi pembelajaran dengan tujuan supaya petani menjadi mandiri. Program intensifikasi ini menerapkan teknologi panca usaha tani yang sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan teknologi yang diterapkan dalam RKI. Setahun kemudian yaitu tahun 1959 mulai dilakukannya gerakan peningkatan produksi pangan dengan membentuk Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BPMT) dengan tujuan mencapai swasembada beras selama tiga tahun, namun program ini gagal karena tidak mencapai swasembada pada tahun yang ditentukan. Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963 juga berperan dalam membantu meningkatkan produksi beras melalui pilot proyek (action research) yang dilaksanakan di Karawang dan mampu meningkatkan hasil panen dua kali lipat dari sebelumnya. Teknologi yang digunakan pada proyek tersebut meliputi penggunaan bibit unggul bermutu, pemupukan sesuai rekomendasi, pengendalian hama penyakit, pembibingan dan penyuluhan intensif kepada petani. Keberhasilan program ini kemudian ditindaklanjuti dengan Program Demonstrasi Massal (Demas) yang dilaksanakan di beberapa kabupaten di Indonesia. Tahun 1967, Bimas dikembangkan melalui Keputusan Menteri Pertanian untuk lebih meningkatkan kinerja pelaksanaan intensifikasi pada beberapa sentra produksi padi. Bersamaan dengan itu ditemukannya teknologi terobosan baru berupa benih unggul padi sawah yang sangat responsif terhadap pemupukan dan teknik budi daya, yaitu IR5 dan IR8 (PB5 dan PB8) oleh International Rice research Institute (IRRI). Program Bimas ternyata memerlukan biaya yang besar dan sebagian besar sarana produksi berupa pupuk kimia dan pestisida harus diimpor sehingga untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan kerjasama dengan perusahaan asing penghasil pestisida atau pupuk kimia. Kerjasama ini dinamakan program Bimbingan Massal Gotong Royong (Bimas GR) namun konsumsi
pestisida dan pupuk kimia dalam program ini menjadi meningkat pesat dan berdampak negatif pada kerusakan lingkungan. Menyadari dampak buruk tersebut maka dikeluarkannya keputusan pelanggaran 52 jenis pestisida pada tanaman padi, dan mulai mengendalikan program pengendalian hama terpadu (HPT). Program ini berhasil mengurangi jumlah penggunaan pestisida. Tanggal 1 Desember 1969, program Bimas disempurnakan menjadi program Bimas Nasional dengan dibentuknya Badan Pengendali Bimas melalui Keppres nomor 95 tahun 1969 dengan menyediakan kredit bunga rendah serta pupuk kimia, bibit unggul, dan pestisida melalui harga yang disubsidi oleh pemerintah. Program Bimas kemudian dikembangkan menjadi Intensifikasi Khusus (Insus) dimana program dilaksanakan oleh petani sehamparan secara berkelompok guna memanfaatkan sumber daya secara optimal. Kelompok tani ini juga dibentuk untuk mempermudah penyaluran kredit dan sarana produksi serta penyuluhan yang terorganisir. Upaya selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah investasi prasarana irigasi, perluasan areal persawahan, dan investasi penelitian dan pengembangan
pertanian
dengan
membentuk
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian (BPPP) pada tahun 1974, berbagai program intensifikasi tersebut akhirnya memberikan hasil dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984.
5.1.1
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1985-1994 Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia pada periode
1985-1994 menunjukkan kondisi yang berfluktuasi. Peningkatan produksi pada tahun 1985-1988 dikarenakan tersedianya cukup banyak varietas baru pada pelita III, program intesifikasi berjalan lancar, disamping Insus (Intensifikasi Khusus) untuk daerah berpengairan baik, dan Opsus (Operasi Khusus) untuk daerah yang memiliki hambatan dalam program intensifikasi. Peningkatan produksi padi sebesar 2,5% pada tahun 1985-1988 ternyata belum mampu menutupi konsumsi beras pada tahun tersebut. Hal ini dikarenakan peningkatan konsumsi beras domestik lebih besar dari pada produksinya sehingga tahun 1985-1988 Indonesia masih mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar dengan rata-rata pertahun sebesar 392 ribu ton. Tahun 1989-1990 konsumsi beras domestik lebih kecil
dibanding produksinya. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan produktivitas sebesar 1,41%. Produksi kembali menurun pada tahun 1991 sebesar 1,1% sehingga pada tahun ini Indonesia kembali mengalami defisit beras sebesar 628 ribu ton.
Peningkatan produksi terbesar terjadi pada tahun 1992. Hal ini
dikarenakan terjadi peningkatan luas areal panen padi sebesar 8,07% dari tahun sebelumnya, sehingga produksi padi dapat ditingkatkan sebesar 8% pada tahun tersebut. Tahun 1994 terjadi penurunan produksi yang sangat pesat sebesar 3,18%. Hal ini disebabkan penurunan luas areal panen sebesar 2,51% akibat El Nino. Tabel 7 Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 19851994 Areal panen Pert. Produktivitas Pert. (000 Ha) (%) (Ton/Ha) (%) 1985 9.902,29 3,94 1986 9.988,45 0,87 3,98 0,89 1987 9.902,86 -0,86 4,04 1,66 1988 10.120,88 2,20 4,11 1,76 1989 10.505,57 3,80 4,25 3,38 1990 10.464,65 -0,39 4,31 1,41 1991 10.256,02 -1,99 4,35 0,88 1992 11.083,94 8,07 4,35 -0,05 1993 10.993,92 -0,81 4,38 0,67 1994 10.717,73 -2,51 4,35 -0,69 Rata-rata 10.393,63 0,93 4,21 1,10 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2015
Produksi padi (000 Ton) 39.032,95 39.727,12 40.036,14 41.638,92 44.685,13 45.132,64 44.621,36 48.205,35 48.129,35 46.598,38 43.780,74
Tahun
Pert. (%) 1,78 0,78 4,00 7,32 1,00 -1,13 8,03 -0,16 -3,18 2,05
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1985
1986
1987
1988
1989
Produksi Beras (Ribu Ton)
1990
1991
1992
1993
1994
Konsumsi Beras (Ribu Ton)
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015 (diolah)
Gambar 7 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1985-1994 5.1.2
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 1995-2004 Perkembangan produksi beras pada tahun 1995-1996 kembali meningkat
dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan luas areal
panen padi sebesar 6,56%. Tahun 1997 Indonesia mengalami kembali mengalami defisit beras hal ini dikarenakan terjadinya El-Nino yang berkepanjangan sehingga produksi beras mengalami penurunan yang cukup tajam dan terparah sepanjang perkembangan beras di Indonesia setelah kemerdekaan yaitu sebesar 3,3%. Dampak dari hal ini adalah terjadinya peningkatan volume impor dalam jumlah yang cukup besar yaitu sebesar 1,3 juta ton pada tahun 1998. Tabel 8 Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 19952004 Areal panen Pert. Produktivitas Pert. (000 Ha) (%) (Ton/Ha) (%) 1995 11.420,68 6,56 4,35 0,09 1996 11.550,05 1,13 4,42 1,56 1997 11.126,39 -3,67 4,43 0,32 1998 11.716,45 5,30 4,19 -5,30 1999 11.963,20 2,11 4,25 1,26 2000 11.793,58 -1,42 4,40 3,50 2001 11.489,99 -2,57 4,39 -0,20 2002 11.521,17 0,27 4,47 1,75 2003 11.488,03 -0,29 4,54 1,54 2004 11.922,97 3,79 4,54 -0,04 Rata-rata 11.599,25 1,12 4,39 0,45 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kemeterian Petanian (2015) Tahun
Produksi padi (000 Ton) 49.697,44 51.048,89 49.339,09 49.199,84 50.866,39 51.898,85 50.460,78 51.489,69 52.137,60 54.088,38 51.022,69
Pert. (%) 6,65 2,72 -3,35 -0,28 3,39 2,03 -2,77 2,04 1,26 3,74 1,54
35000 34000 33000 32000 31000 30000 29000 28000 1995
1996
1997
1998
1999
Produksi Beras (Ribu Ton)
2000
2001
2002
2003
2004
Konsumsi Beras (Ribu Ton)
Sumber: Kementerian Pertanian (2015) diolah
Gambar 8 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1995-2004 Semenjak terjadinya kemarau panjang El-Nino produksi beras di Indonesia terus mengalami defisit beras hingga tahun 2004. Hal yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan produktivitas padi sehingga pada tahun 1999 produktivitas mampu meningkat hingga mencapai 3,5% dan produksi padi berhasil meningkat sebesar
3,4% pada tahun 1999 namun produksi beras belum mampu menutupi konsumsi beras domestik hingga tahun 2004. Dampak dari hal ini adalah impor beras masih dilakukan hingga tahun 2004 dengan rata-rata pertahun sebesar 581 ribu ton. 5.1.3 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode 2005-2014 Perkembangan produksi padi pada tahun 2005-2009 terus mengalami peningkatan. Luas areal panen padi yang menurun pada tahun 2005-2006 sebesar 0,26% ternyata tidak berdampak pada produktivitas padi dimana produktivitas padi tetap meningkat di tahun ini. Peningkatan produksi beras berimplikasi pada tercapainya swasembada beras relatif pada tahun 2008 karena pada tahun ini produksi beras melebihi konsumsi beras. Tahun 2011 akibat kemarau panjang El Nino produksi beras kembali menurun sebesar 1,1% dari tahun sebelumnya. Penurunan yang terjadi pada konsumsi beras di tahun ini juga diakibatkan oleh penurunan pola konsumsi langsung untuk pangan sebesar 2,59% per kapita. Hal ini dikarenakan terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke non beras, meningkatnya kesejahteraan masyarakat menyebabkan pola konsumsi berubah ke pola makanan alternatif seperti gandum, kentang, jagung, umbi-umbian dan lainnya. Penurunan konsumsi beras menunjukkan keberhasilan diversifikasi pangan di Indonesia sehingga diharapakan akan berimplikasi pada penurunan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras. Penurunan produksi beras yang terjadi tidak berimplikasi pada krisis beras karena konsumsi beras juga mengalami penurunan sehingga produksi beras masih mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Impor yang masih terjadi diakibatkan distribusi beras yang masih sulit dilakukan untuk daerah terpencil, stok beras (cadangan beras pemerintah) yang harus tersedia di akhir tahun minimal sebesar 1,25 juta ton mengakibatkan beras harus tersedia di dalam negeri kapanpun dimanapun (Bulog, 2010). Oleh karena itu, impor tetap boleh dilakukan dengan tujuan mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve, AERR).
Tabel 9 Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 20052014 Areal panen (000 Ha)
Tahun
Pert. (%)
Produktivitas (Ton/Ha)
Pert. (%)
Produksi padi (000 Ton)
Pert. (%)
54.151,09 54.454,94 57.157,44 60.325,93 64.398,89 66.469,39 65.756,90 69.056,13 71.279,71 70.846,47 63.389,69
0,12 0,56 4,96 5,54 6,75 3,22 -1,07 5,02 3,22 -0,61 2,77
2005 11.839,06 -0,70 4,57 0,84 2006 11.786,43 -0,44 4,62 1,01 2007 12.147,64 3,06 4,71 1,84 2008 12.327,43 1,48 4,89 4,02 2009 12.883,58 4,51 4,99 2,15 2010 13.253,45 2,87 5,02 0,32 2011 13.203,64 -0,38 4,98 -0,70 2012 13.445,52 1,83 5,14 3,13 2013 13.835,25 2,90 5,15 0,31 2014 13.797,31 -0,27 5,14 -0,33 Rata-rata 12.851,93 1,49 4,92 1,26 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian (2015) 50000 40000 30000 20000 10000 0 2005
2006
2007
2008
2009
Produksi Beras (Ribu Ton)
2010
2011
2012
2013
2014
Konsumsi Beras (Ribu Ton)
Sumber: Kementerian Pertanian (2015) diolah
Gambar 9 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 2005-2014 Konsumsi beras jika dihitung per musim tanam produksi padi yaitu per 4 bulan asumsi tahun 2014 yaitu sebesar 12 juta ton dimana impor dilakukan untuk menjaga stok tersedia pada awal tahun, jika pada awal tahun terjadi kegagalan panen maka ketersediaan beras dari sisaan padi pada tahun 2014 ditambah impor beras akan mampu menutupi kekurangan beras selama 4 bulan sehingga harga beras tetap stabil namun kondisi volume impor yang dilakukan hingga akhir tahun 2014 menyebabkan pemerintah menetapkan program swasembada beras pada tahun 2017 dengan tujuan menjaga produksi beras dalam negeri dan ketergantungan Indonesia terhadap impor. Program ini diharapkan dapat terealisasikan melalui berbagai kebijakan penunjang lainnya yang mendukung program ini. Berikut ini perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia.
5.2
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dan Konsumsi Beras Domestik Pendugaan model menggunakan metode regresi berganda dengan fungsi
linear dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi beras domestik. Hal ini dilakukan untuk mendukung program swasembada beras yang ada di Indonesia. Alat yang digunakan dalam pembentukan model ini yaitu software Minitab versi 16. Data yang digunakan merupakan data 30 tahun terakhir yaitu dari tahun 1985 hingga 2014 dengan periode tahunan. Pembentukan model produksi padi dilakukan dengan menggunakan satu variabel dependen dan enam variabel independen sedangkan pembentukan model konsumsi beras dilakukan dengan menggunakan satu variabel dependen dan empat variabel independen. Model terbaik yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria pengujian yang telah ditentukan sebelumnya (lampiran 2 dan 4).
5.2.1 Model Produksi Padi Domestik Fungsi produksi padi domestik didapatkan dengan memasukkan variabelvariabel independen yang diestimasi mempengaruhi produksi padi domestik dalam persamaan regresi linear berganda. Hasil estimasi parameter pada produksi padi dapat dilihat pada tabel 10. Berdasarkan tabel 10, fungsi produksi padi domestik memiliki R-sq (adj) sebesar 0,972. Artinya keragaman produksi padi domestik dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen sebesar 97%, sedangkan sisanya 3% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan. Hasil estimasi fungsi produksi padi domestik diketahui bahwa Pvalue untuk uji statistik-F yaitu 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel indipenden bersama-sama mampu menjelaskan produksi padi domestik pada selang kepercayaan 95%. Uji-t dilakukan dengan melihat nilai probabilitas pada variabel independen. Jika nilai probabilitas variabel independen lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.
Tabel 10 Hasil analisis model regresi produksi padi domestik Variabel Constant LAP HG HPU UBT JVUP CH R-Sq = 97,8%
Koefisien -40953 7,6720 0,1719 -0,8605 0,1354 -17,69 0,8149
Standar Error 4870 0,4498 0,7482 0,5515 0,1077 28,400 0,6733
T-Hitung -8,41 17,05 0,23 -1,56 1,26 -0,62 1,21
P-Value 0,000 *0,000 0,820 *0,132 0,221 0,539 0,238
VIF NA 3,190 3,644 1,380 1,614 1,249 1,280
R-Sq(adj) = 97,2% P-Value, Uji DW = 1,31 , P-Value, Uji Run Test = 0,265 F = 167,49 P-Value model = 0,000 Sumber : Data Sekunder Diolah (2016) Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05 **Nyata pada taraf α = 0,15
Berdasarkan tabel 10, maka fungsi produksi padi domestik adalah sebagai berikut: PP
= - 40953 + 7,67 LAP + 0,172 HG – 0,681 HPU + 0,0,135 UBT – 17,7 JVUP + 0,815 CH + et
Keterangan: PP
= Produksi beras (Ribu Ton)
LAP
= Luas areal panen (Ribu Ha)
HG
= Harga riil gabah (Rp/Kg)
HPU
= Harga riil pupuk urea (Rp/Kg)
UBT
= Tingkat riil upah TK (Rp/HOK)
JVUP = Jumlah varietas unggul padi (Jenis) CH
= Curah hujan (Mm) Berdasarkan tabel 10, fungsi produksi padi domestik menunjukkan bahwa
probabilitas variabel luas areal panen memiliki nilai lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa variabel tersebut positif berpengaruh signifikan terhadap produksi padi domestik pada taraf nyata 5% sedangkan harga pupuk urea memiliki nilai lebih kecil dari taraf nyata α = 0,15 yang berarti bahwa variabel tersebut positif berpengaruh signifikan terhadap produksi padi domestik pada taraf nyata 15%. Variabel harga riil gabah, tingkat riil upah tenaga kerja, jumlah varietas unggul benih padi, dan curah hujan memiliki nilai lebih besar dari taraf nyata α = 0,15, artinya variabel tersebut positif berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap produksi padi domestik.
Suatu fungsi harus memenuhi uji ekonomi klasik dan uji ekonomi. Uji ekonomi klasik meliputi pengujian asumsi-asumsi dasar dengan melihat masalah autokorelasi, multikolinieritas, heteroskedastisitas dan normalitas. Uji ekonomi klasik yang digunakan untuk melihat pelanggaran asumsi dalam persamaan adalah sebagai berikut: 1.
Uji Autokorelasi Uji autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson. Aturan dalam
mengambil keptusan Uji DW terlihat pada tabel 6 dimana fungsi produksi padi domestik memiliki nilai DW sebesar 1,31 atau berada diantara 1,10 dan 1,54 yang berarti tidak dapat diketahui apakah terjadi autokorelasi atau tidak (tanpa kesimpulan) sehingga diperlukan uji Run-Test untuk melihat apakah fungsi produksi padi terjadi autokorelasi atau tidak. Jika Pvalue pada uji ini lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 maka fungsi produksi padi tidak terjadi autokorelasi. Pvalue pada Uji Run-Test sebesar 0,265, artinya lebih besar dari taraf nyata 5% sehingga tidak terjadi masalah autokorelasi pada fungsi produksi padi. 2.
Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas untuk memastikan tidak adanya hubungan linear
antara variabel independen. Uji multikolinearitas dalam fungsi produksi beras domestik dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel independen. Apabila nilai VIF kurang dari sepuluh, maka variabel independen tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas yang serius, sedangkan jika nilai VIF lebih dari sepuluh maka variabel independen pada fungsi produksi
mengalami
masalah
multikolinearitas
yang
serius.
Tabel
10
menunjukkan bahwa nilai VIF semua variabel independen pada fungsi konsumsi beras domestik lebih kecil dari 10 yaitu antara 1,249 sampai dengan 3,644. Hal ini menunjukkan bahwa antara variabel independen satu dengan variabel lainnya yang berada di dalam fungsi produksi beras domestik tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius. 3.
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas menggunakan uji Glejser, jika nilai Pvalue lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan, maka tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Jika nilai Pvalue lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan,
maka terdapat masalah heteroskedastisitas pada model produksi padi domestik. Berdasarkan lampiran 2, nilai Pvalue sebesar 0,127 atau nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata α = 0,05, artinya tidak terdapat masalah heteroskedastisitas pada fungsi produksi padi domestik. 4.
Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan metode Jarque-Bera. Jika probabilitas lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan, maka residual tersebar normal. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka residual tidak tersebar normal. Fungsi produksi padi domestik memiliki probabilitas sebesar 0,097 atau lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 (lampiran 2), artinya residual tersebar normal atau tidak terjadi masalah normalitas pada fungsi produksi padi. Sedangkan uji ekonomi dilihat melalui hipotesis awal penelitian pada persamaan produksi padi domestik dengan melihat tanda pada koefisien variabel independen dalam fungsi produksi. Variabel yang diduga tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan adalah varietas unggul benih padi. Hal ini menunjukkan bahwa variabel varietas unggul benih padi pada fungsi produksi padi domestik tidak memenuhi kriteria ekonomi. Hal ini dikarenakan varietas unggul padi memiliki harga yang relatif tinggi dibandingkan varietas lokal sehingga tidak semua petani menggunakan varietas unggul dalam proses produksinya. Menurut Wardojo (1993) Padi dihasilkan oleh 18 juta petani pangan, 49% diataranya adalah petani sempit yang menguasai lahan kurang dari 0,24 ha/keluarga, dimana rata-rata petani ini hanya menggunakan varietas lokal dalam proses produksinya. 1.
Luas Areal panen padi Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa luas areal panen padi
berpengaruh nyata terhadap produksi padi domestik. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai Pvalue sebesar 0,000 atau kurang dari taraf nyata 0,05. Adapun koefisien luas areal panen padi adalah 7,67 (bernilai positif) yang artinya peningkatan luas areal panen akan meningkatkan produksi padi domestik. Setiap penambahan rata-rata luas areal panen sebesar 1 ribu ha maka akan meningkatkan produksi padi domestik sebesar 7,67 ribu ton dengan faktor lain dianggap tetap (cateris paribus). Hal ini dikarenakan ketika petani menambah luas lahan panen padi
maka otomatis produksi padi akan bertambah diakibatkan 1 ha produksi padi akan menghasilkan rata-rata 6-7 ton padi gabah kering (Kementerian Pertanian). 2.
Harga Riil Pupuk Urea Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa harga riil pupuk urea
berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi domestik. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai Pvalue sebesar 0,132 lebih besar dari taraf nyata 0,15. Adapun koefisien harga riil pupuk urea adalah -0,861 (bernilai negatif) yang artinya ketika terjadi peningkatan harga riil pupuk urea maka akan menurunkan produksi padi domestik. Setiap peningkatan rata-rata harga riil pupuk urea sebesar 1 Rp/kg maka akan menurunkan produksi padi sebesar 0,861 ribu ton dengan faktor lain dianggap tetap (cateris paribus). Hal ini dikarenakan ketika harga riil pupuk urea naik maka petani akan mengurangi jumlah penggunaan pupuk urea dimana akan berdampak pada penurunan produksi padi.
5.2.2 Model Konsumsi Beras Domestik Berdasarkan hipotesis penelitian fungsi konsumsi beras domestik didapatkan dengan mamasukkan variabel-variabel independen yang diestimasi mempengaruhi konsumsi beras domestik ke dalam persamaan regresi linear berganda. Hasil estimasi fungsi konsumsi beras dapat dilihat pada tabel 11. Berdasarkan tabel 11, maka fungsi konsumsi beras domestik adalah sebagai berikut: Ln (KB) = 3,70 – 0,000004 HB + 0,000006 POP – 0,000015 PDB + 0,000005 HJ Keterangan: KB
= Konsumsi beras (Ton)
HB
= Harga riil beras (Rp/Kg)
POP
= Jumlah penduduk Indonesia (Ribu Jiwa)
PDB
= PDB riil Indonesia (Rp.T)
HJ
= Harga riil jagung (Rp/Kg) Berdasarkan tabel 11, fungsi konsumsi beras domestik memiliki R-sq (adj)
sebesar 0,968. Artinya keragaman konsumsi beras domestik dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen sebesar 97%, sedangkan sisanya 3% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan. Hasil estimasi fungsi
konsumsi beras domestik diketahui bahwa nilai Pvalue untuk uji statistik-F yaitu 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05 (tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel independen secara bersama-sama mampu menjelaskan konsumsi beras domestik pada selang kepercayaan 95%. Tabel 11 Hasil analisis model regresi konsumsi beras domestik Variabel Constant HB POP PDB HJ R-Sq = 97,3%
Koefisien 3,70406 -0,000005 0,000006 -0,000015 0,000005
Standar Error 0,02804 0,000005 0,0000004 0,000005 0,0000067
T-Hitung 132,11 -0,93 12,79 -2,79 0,73
P-Value 0,000 0,361 *0,000 *0,010 0,471
VIF 2,658 8,117 8,267 3,687
R-Sq(adj) = 96,8% P-Value, Uji DW = 1,815 F = 212,29 P-Value model = 0,000 Sumber : Data Primer Diolah (2016) Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05
Uji-t dilakukan dengan melihat nilai probabilitas pada variabel independen. Jika nilai probabilitas variabel independen lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Berdasarkan tabel 11, fungsi konsumsi beras domestik menunjukkan bahwa probabilitas variabel jumlah penduduk dan PDB riil Indonesia lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa variabel tersebut positif berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras domestik, sedangkan variabel harga riil beras dan harga riil jagung menunjukkan probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata α = 0,05, artinya variabel tersebut positif berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap konsumsi beras domestik. Suatu fungsi harus memenuhi kriteria uji ekonomi klasik dan uji ekonomi. Uji ekonomi klasik meliputi pengujian asumsi-asumsi dasar dengan melihat masalah autokorelasi, multikolinieritas, heteroskedastisitas dan normalitas. Uji ekonomi klasik yang digunakan untuk melihat pelanggaran asumsi dalam persamaan adalah sebagai berikut: 1.
Uji Autokorelasi Uji autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson. Jika nilai DW lebih
dari 1,55 sampai dengan 2,46 maka kesimpulannya tidak terjadi autokorelasi. Fungsi konsumsi beras domestik memiliki nilai DW sebesar 1,815 atau berada
diantara 1,55 sampai 2,46, artinya tidak terjadi masalah autokorelasi pada fungsi konsumsi beras. 2.
Uji Multikolinieritas Uji multikolinearitas untuk memastikan tidak adanya hubungan linear
antara variabel independen. Uji multikolinearitas dalam fungsi konsumsi beras domestik dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel independen. Apabila nilai VIF kurang dari sepuluh, maka variabel independen tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas yang serius, sedangkan jika nilai VIF lebih dari sepuluh maka variabel independen pada fungsi konsumsi mengalami
masalah multikolinearitas yang serius. Tabel 11
menunjukkan bahwa nilai VIF semua variabel independen pada fungsi konsumsi beras domestik lebih kecil dari 10 yaitu antara 2,658 sampai dengan 8,267. Hal ini menunjukkan bahwa antara variabel independen satu dengan variabel lainnya yang berada di dalam fungsi konsumsi beras domestik tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius. 3.
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas menggunakan uji Glejser, jika nilai Pvalue lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan, maka tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Apabila nilai Pvalue lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka terdapat masalah heteroskedastisitas pada model konsumsi beras domestik. Berdasarkan lampiran 4, nilai Pvalue sebesar 0,124 atau nilai Pvalue lebih besar dari taraf nyata α = 0,05, artinya tidak terdapat masalah heteroskedastisitas pada fungsi produksi padi domestik. 4.
Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan metode Jarque-Bera. Apabila nilai
probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka residual tersebar normal, jika nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka residual tidak tersebar normal. Fungsi konsumsi beras domestik memiliki nilai probailitas sebesar 0,102 atau lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 (lampiran 4), artinya residual tersebar normal atau tidak terjadi masalah normlalitas pada fungsi konsumsi beras domestik.
Sedangkan uji ekonomi dilihat melalui hipotesis awal penelitian pada persamaan konsumsi beras domestik dengan melihat tanda pada koefisien variabel independen dalam fungsi konsumsi beras domestik. Tanda pada koefisien variabel indipenden dalam fungsi konsumsi beras domestik sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi konsumsi beras domestik memenuhi kriteria ekonomi. 1.
Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia
berpengaruh secara nyata terhadap konsumsi beras domestik. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai Pvalue sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Adapun koefisien jumlah penduduk Indonesia adalah 0,0000055 (bernilai positif) yang artinya ketika terjadi peningkatan jumlah penduduk Indonesia maka akan meningkatkan konsumsi beras domestik. Setiap peningkatan rata-rata jumlah penduduk Indonesia sebesar 1 jiwa maka akan meningkatkan konsumsi beras sebesar 0,55 persen dengan faktor lain dianggap tetap (cateris paribus). Hal ini karena ketika jumlah penduduk Indonesia meningkat maka dapat dipastikan jumlah konsumsi beras total juga akan meningkat karena akan semakin banyak orang mengkonsumsi beras. 2.
PDB Riil Indonesia Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa PDB riil Indonesia
berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi domestik. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai Pvalue sebesar 0,010 lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Adapun koefisien PDB riil Indonesia adalah -0,000015 (bernilai negatif) yang artinya ketika terjadi peningkatan PBR riil Indonesia maka akan menurunkan konsumsi beras domestik. Setiap peningkatan rata-rata PDB riil Indonesia sebesar 1 Rp.Milyar maka akan menurunkan konsumsi beras sebesar 1,5 persen dengan faktor lain dianggap tetap (cateris paribus). Hal ini karena ketika PDB riil Indonesia meningkat maka otomatis disebabkan karena peningkatan pendapatan masyarakat Indonesia, ketika pendapatan masyarakat Indonesia meningkat maka masyarakat Indonesia akan lebih memperhatikan pola pangan harapan dengan mengurangi jumlah karbohidrat dan menggantikaannya dengan protein atau sesuai dengan kebutuhan gizi sehari
hari sehingga ketika PDB riil Indonesia meningkat maka akan menurunkan konsumsi beras total.
5.3
Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik Berdasarkan hasil pengolahaan data menggunakan ARIMA, didapatkan
model terbaik untuk produksi dan konsumsi beras domestik berturut-turut adalah ARIMA (0,2,1) tanpa kosntanta dan ARIMA (1,1,0) tanpa konstanta (lampiran 12 dan 17). Hasil menunjukkan bahwa dari kedua model tersebut sudah memenuhi syarat kriteria model terbaik, yaitu model relatif sudah merupakan model yang memiliki bentuk yang paling sederhana, nilai Pvalue kurang dari 0,05 (taraf nyata), jumlah koefisien AR atau MA kurang dari 1, kemudian pernyataan relative change in each estimate less than 0,001, model memiliki MSE terkecil. PACF dari residual menunjukkan pola damped exponential pada produksi beras dan ACF dari residual menunjukkan pola exponential pada konsumsi beras (lampiran 11 dan 16). Persamaan fungsi ARIMA (0,2,1) tanpa konstanta untuk proyeksi produksi beras domestik adalah: (Yt – Yt-1 – Yt-2) = 0,9488(Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt Yt = 1,9488Yt-1 + 0,0512Yt-2 + 0,9488Yt-3 + εt sedangkan persamaan fungsi ARIMA (1,1,0) tanpa konstanta untuk proyeksi konsumsi beras domestik adalah: (Yt – Yt-1) = 0,6329 (Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt Yt = 1,6329Yt-1 – 0,6329Yt-2 – 0,6329Yt-3+ εt Berdasarkan persamaan fungsi ARIMA (0,2,1) tanpa konstanta untuk proyeksi produksi beras domestik, hasil menunjukkan bahwa produksi beras nasional selama tahun 2015 hingga 2017 akan mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan produksi rata-rata mencapai 1,72% dan hasil proyeksi konsumsi melalui ARIMA (1,1,0) tanpa konstanta menunjukan hasil yang juga positif selama periode 2015 hingga 2017 yaitu sebesar 0,55%. Berikut tabel kesenjangan hasil produksi dan konsumsi beras domestik dengan Minitab 16.
Tabel 12 Kesenjangan hasil proyeksi antara produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2015-2017 Hasil Proyeksi Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) 45.229,6 38.747,5 46.010,1 38.905,8 46.790,7 39.006,1
Tahun 2015 2016 2017
5.3.1
Senjang (Ton) 6.482,1 7.104,3 7.784,6
Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras domestik Analisis pada hasil proyeksi dengan ARIMA, peningkatan produksi
diduga akibat adanya peningkatan pada luas areal panen padi dan produktivitas yang secara umum memiliki kecenderungan terus meningkat. Jika dilihat secara rinci pada tabel 9 luas areal panen padi selama kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu 2010 hingga 2014 masih mengalami peningkatan. Selama periode waktu tersebut, peningkatan luas panen cukup signifikan hanya terjadi dua kali yaitu 2012 dan 2013, masing-masing sebesar 1,83% dan 2,90%. Peningkatan luas panen selama kurun waktu tersebut diakibatkan oleh peningkatan luas areal panen di luar Jawa yaitu rata-rata sebesar 2,68% sementara peningkatan luas areal panen di Jawa hanya sebesar 0,31% (tabel 3). Komponen pendukung lainnya adalah produktivitas. Tahun 2010 hingga 2014 produktivitas juga mengalami peningkatan sebesar 0,54%. Peningkatan yang cukup signifikan hanya terjadi pada tahun 2012 saja yaitu 3,13%. Analisis hasil proyeksi ARIMA menyatakan bahwa peningkatan konsumsi diduga akibat terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi untuk bibit, sektor industri, tercecer, pakan, restoran, rumah makan, rumah sakit, dll. Kebutuhan untuk rumah tangga dan non rumah tangga selama kurun waktu lima tahun terakhir yaitu 2010 hingga 2014 mengalami penurunan hal ini diakibatkan oleh berhasilnya program diversifikasi pangan, beralihnya makanan pokok dari beras ke non beras yang juga diakibatkan oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penurunan konsumsi
untuk
kebutuhan
rumah
tangga
sebesar
0,79%
atau
98,11
kg/kapita/tahun pada tahun 2014 dan 100,75 kg/kapita/tahun pada tahun 2010. Penurunan konsumsi juga terjadi di luar rumah tangga sebesar 38,4 kg/kapita/tahun dan turun menjadi 34,87 kg/kapita/tahun pada tahun 2014. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras domestik menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk swasembada beras pada tahun 2017. Hal ini
ditujukkan oleh produksi beras domestik melebihi konsumsi beras domestik terlihat pada tabel 12. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan produksi padi sebaiknya melanjutkan kebijakan yang sudah diterapkan oleh pemerintah melalui: 1) Perluasan areal tanam, seperti: (a) Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan; (b) Percetakan lahan sawah baru terutama diluar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang menjadi sentra produksi beras, karena diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di daerah-daerah sentra yang mempunyai kondisi lahan yang sesuai dengan lahan pertanaman padi dapat dilihat pada tabel 3; (c) Optimalisasi lahan dan peningkatan indeks pertanaman; (d) Memperbaiki sistem pemberian Insentif pada petani agar tepat sasaran; 2) Jumlah penduduk dan PDB riil Indonesia, peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat menyebabkan kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk makanan juga semakin meningkat dan beragam. Pengendalian konsumsi dari jumlah penduduk ini dapat didekati dengan pengaturan konsumsi per kapita. Oleh karena itu salah satu target kementerian pertanian konsumsi dapat turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbiumbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran; 3) Menambah dan memperbaiki infrastruktur irigasi; dan 4) Meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi.
VI
6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 30 tahun (1985-2014) pertumbuhan produksi beras di Indonesia sebesar 2,1% per tahun. Angka ini lebih besar dari pada pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia sebesar 1,4% per tahun. Pertumbuhan produksi beras dan konsumsi beras rata-rata sebesar 33.083,45 ribu ton dan 32.483,98 ribu ton. Oleh karena itu secara umum produksi beras tahun 1985-2014 mampu menutupi konsumsi beras di Indonesia, sedangkan kebijakan impor beras yang saat ini masih dilakukan dikarenakan
untuk
memastikan
stok
beras
(cadangan
beras
pemerintah) dalam negeri di akhir tahun tersedia minimal sebesar 1,25 juta ton untuk mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve, AERR) sehingga pemerintah melalui Perum Bulog membiarkan Indonesia tetap mengimpor beras dari negara luar sepereti Vietnam. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi (yang diinterpresentasikan dari luas areal panen dan produktivitas) padi adalah luas areal panen padi, dan harga riil pupuk urea. Sementara itu, faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah populasi, dan PDB riil Indonesia. 3. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras dalam waktu tiga tahun kedepan
(2015-2017)
mengalami
peningkatan
dengan
laju
pertumubuhan sebesar 1,71% dan 0,55%. Peningkatan produksi dikarenakan terjadinya peningkatan produktivitas padi sebesar 1,26% pada tahun 2005-2014 sehingga produksi padi meningkat sebesar 2,8%, sedangkan peningkatan konsumsi beras terjadi karena meningkatnya laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2005-2014
sebesar
1,1%.
Peningkatan
jumlah
penduduk
mengakibatkan
meningkatnya total konsumsi langsung beras, disisi lain meningkatnya kebutuhan untuk pakan, bibit, industri non makanan, dll menyebabkan total konsumsi beras juga mengalami peningkatan, namun peningkatan konsumsi masih lebih kecil dibandingkan peningkatan produksi beras sehingga pada tahun 2017 diproyeksikan produksi beras masih lebih besar dari pada konsumsi beras sehingga swasembada beras pada tahun 2017 dapat tercapai, namun produksi beras yang diproyeksikan tahun 2017 ternyata belum mampu mencapai target Kementerian Pertanian sehingga perlu adanya kebijakan dari pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi padi domestik. 4. Kebijakan mengenai peningkatan produksi dapat melalui: (1) Peningkatan luas areal panen berupa peningkatan luas areal tanam dan peningkatan intensitas tanam di Luar Jawa khususnya Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan tantangan peningkatan ketersediaan teknologi untuk komoditas padi untuk sistem lahan rawa dan lahan kering; dan (2) Pemberian insentif bagi petani misalnya, melalui subsidi pupuk dan benih sehingga biaya input di tingkat petani dapat ditekan serendah mungkin guna menghindari tingginya biaya produksi bagi petani, namun pada kasus ini perlu adanya penataan ulang dalam sistem pemberian insentif sehingga kebijakan yang ditetapkan dapat tepat sasaran.
6.2
Saran 1. Kebijakan
mengenai
penurunan
konsumsi
dapat
melalui:
(1)
Memperbaiki pola pangan harapan yang ideal di Indonesia dengan komposisi pangan yang seimbang, sehingga konsumsi beras/kapita dapat ditekan. 2. Mengembangkan penelitian dibidang pertanian terus-menerus seperti teknologi baru yang dapat meningkatkan hasil produksi padi, sehingga pelandaian produktivitas pertanian akibat terobosan teknologi yang stagnan tidak terus terjadi.
3. Penulis menyarankan untuk pihak yang ingin melanjutkan penelitian ini sebaiknya meneliti mengenai kebijakan impor beras di Indonesia dan dampaknya terhadap swasembada beras di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Agustin NK, Syafaat N. 2003. Pengamanan Produksi Padi Tahun 2003. Jurnal Pertanian. 2003 Feb 14; Bogor Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Hlm 1-13. Amang B, Sawit MH. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Bogor (ID): IPB Press. Aldillah R. 2014. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia. Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 8(1): 9-23. Ambarinanti M. 2007. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras di Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Fakutlas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Aritongan LR. 2009. Peramalan Bisnis. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Assauri S. 1984. Teknik dan Metode Peramalan. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Azahari DH. 2008. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2):174-195. Badan Litbang Pertanian. 2016. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. [Internet]. [Diunduh 2016 Mei 04]; Tersedia pada: http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/ekonomi-padi-beras/. Badan Litbang Pertanian. 2016. Hasil Riset Varietas Unggu Padi. [Internet]. [Diunduh 2016 Mei 19]; Tersedia pada: http://www.litbang.pertanian.go.id/varietas/?l=300&k=305&n=&t=2012& sv=&d= . Badan Pusat Statistik. 2015a. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Lapangan Usaha. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2015b. Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1990 – 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Baharsjah S, Kasryno F, dan Darmawan DH. 1988. Kedudukan Padi dalam Perekonomian Indonesia. Di dalam: Ismunadji M, Partohardjono S, Syam M, Widjono A. 1988. Maret: Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Hlm 1. Bulog. 2010. Cadangan Beras Pemerintah. BUMN. [Internet]. [Diunduh 2016 Juli 22]; Tersedia pada: www.bulog.co.id/sekilas_cbp.php. Daniel M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Direktorat Jendral Perundang-undangan. 2012. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012. Kementerian Hukum dan HAM. [Internet]. [Diunduh 2016 Mei 19]; Tersedia pada: www.peraturan.go.id/uu/nomor-18-2012.html . Farida Y. 2014. Produksi dan Konsumsi Komoditas Pangan Strategis Serta Implikasinya terhadap Swasembada Nasional. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Firdaus M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam, Arima, Sarima, Arch-Garch. Bogor: IPB Press. Gujarati DN. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Ed ke-3. Mulyadi JA, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Essentials of Econometrics. Hadi A. 2013. Analisis produksi dan konsumsi kedelai domestik dalam rangka mencapai swasembada kedelai di Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID). Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Hafsah MJ, Sudaryanto T. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembagannya. Di dalam: Kasryono F, Pasandaran E, dan Fadi AM. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. 2004 Nov; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 17. Halcrow HG. 1992. Ekonomi Pertanian. Penerjemah; Sudiyono A, editor. Malang: Aditya Media. Terjemahan dari: Economic of Agriculture. Internasional Student Edition. Hardono GS. 2014. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Lokal. Analisis Kebijakan Pertanian. 12(1):1-17. Hessie R. 2009. Analisis produksi dan konsumsi beras dalam negeri serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID). Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Kasryno F, Pasandaran E. 2004. Reposisi Padi dan Beras dalam Perekonomian Nasional. Di dalam: Kasryono F, Pasandaran E, dan Fadi AM. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. 2004 Nov; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 3. Kementerian Pertanian. 2015a. OUTLOOK Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Padi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Hlm 85. Kementerian Pertanian. 2015b. Rancangan Strategis Kemeterian Pertanian 20152019. Jakarta: Kemeterian Pertanian. Kementerian Pertanian. 2015c. OUTLOOK Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Padi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Hlm 87.
Kementerian Pertanian. 2015d. OUTLOOK Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Padi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Hlm 77 Lains, A. 2003. Ekonometrika Teori dan Aplikasi Jilid 1. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI. Lantarsih R, Widodo S, Darwanto DH, Lestari SB, dan Paramita S. 2011. Sistem Ketahanan Pangan Nasional : Kontribusi Ketersediaan dan Konsumsi Energi serta Optimalisasi Distribusi Beras. Analisis Kebijakan Pertanian. 9(1):33-49. Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics 6th edition. New York: Worth Publiser. Maulana M. 2012. Prospek Implemetasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multikualitas Gabah dan Beras Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 10(3): 211-223. Nainggolan K. 2008. Ketahanan dan Stabilitas Pasokan, Permintaan, dan Harga Komoditas Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2):114-139. Nicholson, Walter. 1995. Teori Mikroekonomi; Prinsip Dasar dan Perluasan, Jilid I. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Nurgiantoro et al. 2009. Statistik Terapan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Pratiwi P. 2008. Efektivitas dan perumusan strategi kebijakan beras nasional. [Skripsi]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rachman HPS dan Ariani M. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan Di Indonesia: Permasalahan dan Impilkasi Untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2):140-154. Santoso S. 2009. Bisnis Forecasting: Metode Peramalan Bisnis Masa Kini dengan Minitab dan SPSS. Jakarta (ID): PT Elex Media Komputindo. Saptana, Iqbal M, dan Ar-Rozi AM. 2013. Evaluasi Kebijakan Tujuh Gema Revitalisai Dalam Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian. 11(2):107-127. Soekartawi. 2002. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta (ID): CV. Rajawali. Suryana A dan Hermanto. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian. Timmer CP. 1996. Does Bulog Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should it Try? Bulletin of Indonesian Rconomic Studies. 32(2).
Wardojo. 1988. Kedudukan Sektor Pertanian untuk Memantapkan Swasembada Pangan dan Meningkatkan Produksi Hasil Pertanian Lainnya. Di dalam: Moerdiono. Peranan Pembangunan Pertanian dalam Perluasan Kesempatan Kerja dan Meningkatkan Pendapatan Petani; 1988 Jun 18. Bogor (ID): Yayasan Pembangunan Pertanian dan Teknologi Indonesia Bogor. Hlm 27. World Bank. 2016. Indeks Harga Konsumen. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 02]; Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/FP.CPI.TOTL. World Bank. 2016. Indeks Harga Produsen. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 02]; Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/FP.WPI.TOTL. World Bank. 2016. Indeks Harga Produsen. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 02]; Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL. Zakaria AK dan Nurasa T. 2013. Strategi Penggalangan Petani Untuk Mendukung Program Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan. Analisis Kebijakan Pertanian. 11(2):75-87.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data yang digunakan dalam model ekonometrik.
Luas Areal
Produktivitas
Produksi Padi
LAPt (000 Ha) 9.902,29 9.988,45 9.902,86 10.120,88 10.505,57 10.464,65 10.256,02 11.083,94 10.993,92 10.717,73 11.420,68 11.550,05 11.126,39 11.716,45 11.963,20 11.793,58 11.489,99 11.521,17 11.488,03 11.922,97 11.839,06 11.786,43 12.147,64 12.327,43 12.883,58 13.253,45 13.203,64 13.445,52 13.835,25 13.797,31 BPS Kementan
PVt (Ton/Ha) 3,94 3,98 4,04 4,11 4,25 4,31 4,35 4,35 4,38 4,35 4,35 4,42 4,43 4,19 4,25 4,40 4,39 4,47 4,54 4,54 4,57 4,62 4,71 4,89 4,99 5,02 4,98 5,14 5,15 5,14 BPS Kementan
PPt (000 Ton) 39.032,95 39.727,12 40.036,14 41.638,92 44.685,13 45.132,64 44.621,36 48.205,35 48.129,35 46.598,38 49.697,44 51.048,89 49.339,09 49.199,84 50.866,39 51.898,85 50.460,78 51.489,69 52.137,60 54.088,38 54.151,09 54.454,94 57.157,44 60.325,93 64.398,89 66.469,39 65.756,90 69.056,13 71.279,71 70.846,47 BPS Kementan
Tahun
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber
Jumlah Varietas Unggul Padi JVUPt (Jenis) 21 15 10 4 15 0 10 6 2 6 3 6 2 1 15 54 33 16 12 3 1 2 7 6 13 20 26 12 6 6 Kementan
Harga Riil Konsumen Beras (2010=100) HKBt (Rp/Kg) 3.601,36 3.672,38 3.751,22 4.224,84 4.199,32 4.102,77 4.031,79 4.056.41 3.625.23 3.724,60 4.002,06 4.226,36 4.784,17 5.959,68 6.281,81 6.281,81 5.506,59 5.169,11 5.146,60 4.759,95 5.065,52 5.402,24 6.085,64 5.827,00 5.997,69 6.755,68 7.003,61 6.551,98 7.192,71 7.172,60 BPS Diolah
Tahun
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber
Harga Riil Konsumen Jagung (2010=100) (HKJt) (Rp/Kg) 1.860,26 1.924,73 2.194,42 2.269,17 2.254,09 2.290,91 2.295,66 2.179,25 2.147,76 2.339,73 2.570,71 2.522,68 2.518,75 3.092,45 3.255,28 3.330,30 3.558,64 3.645,88 2.968,79 2.733,45 2.760,13 2.784,84 3.182,45 3.936,91 4.154,63 4.616,27 4.636,48 5.007,28 4.898,64 5.786,00 BPS Kementan Diolah
Indeks Harga Produsen (2010=100)
Harga Riil Pupuk Urea (2010=100)
Indeks Harga Konsumen (2010=100)
(HPUt) (Rp/Kg) 1.553,64 1.601,97 1.664,53 1.754,18 1.919,64 2.109,53 2.266,15 2.282,31 2.458,15 2.533,56 2.507,53 2.716,48 2.857,18 3.237,41 3.350,52 3.528,77 3.350,52 3.528,77 3.403,80 3.200,87 2.814,98 2.717,86 2.434,62 1.972,82 2.066,90 2.028,00 1.941,68 1.900,29 1.846,00 1.737,14
(IHKt)
(IHPBt)
8,83 9,34 10,21 11,03 11,74 12,65 13,84 14,89 16,33 17,72 19,39 20,94 22,24 35,22 42,44 44,02 49,08 54,91 58,53 62,18 68,68 77,69 82,67 90,75 95,12 99,99 105,36 109,86 116,91 124,39
6,45 6,59 7,81 8,38 8,96 9,86 10,37 10,91 11,35 11,92 13,28 14,32 15,61 31,54 34,75 39,09 44,62 45,88 46,83 50,83 59,29 66,67 76,48 97,12 95,36 100,00 107,43 112,93 119,91 124,39
BPS Diolah
World Bank Diolah
World Bank Diolah
PDB Riil Indonesia (2010=100) (PDBt) (Rp.T) 1.479,28 1.568,31 1.651,03 1.755,76 1.915,08 2.088,46 2.275,36 2.438,48 2.615,37 2.812,75 3.049,36 3.281,66 3.436,42 2.986,77 3.009,05 3.157,13 3.354,36 3.317,85 3.440,41 3.692,23 4.039,43 4.298,13 4.779,11 5.453,09 5.893,82 6.447,49 7.041,75 7.492,19 7.772,88 8.115,55 BPS Diolah
Tahun
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber
Harga Riil Upah TK (2010=100) (UBTt) (Rp/HOK) 28.912,80 29.518,20 30.342,80 31.196,74 32.427,60 31.723,32 31.026,01 33.807,92 34.047,76 34.627,54 36.761,22 39.641,83 44.060,25 31.415,67 29.460,01 32.379,55 33.982,89 31.826,33 34.147,00 34.558,76 33.882,18 32.149,85 32.328.09 31.446,83 38.716,36 38.044,80 37.161,16 36.684,87 35.835,26 35.804,33 BPS Kementan Diolah
Harga Riil Gabah (2010=100) (HGt) (Rp/Kg) 2.148,70 1.790,90 1.809,30 1.104,08 2.276,92 2.364,27 2.194,36 1.907,66 1.995,28 2.369,13 2.231,82 2.379,75 4.195,19 3.503,98 2.546,80 2.592,00 2.557,05 2.850,12 2.741,84 2.614,99 2.638,32 3.105,93 3.280,51 3.168,04 3.384,27 3.636,36 3.950,27 4.139,81 4.997,95 3.882,95 BPS Kementan Diolah
Populasi
Curah Hujan
(POPt) (Ribu Jiwa) 165.012 168.402 171.729 175.001 178.233 181.437 184.615 187.762 190.873 193.939 196.958 199.927 202.854 205.753 208.644 211.540 214.448 217.369 220.308 223.269 226.255 229.264 232.297 235.361 238.465 241.613 244.808 248.038 251.268 254.455
(CHt) (Mm) 2.227 2.461 2.266 2.752 2.904 2.411 2.169 1.938 2.178 1.512 1.698 1.846 1.551 1.875 1.536 1.821 3.095 2.750 1.470 2.359 1.266 1.296 2.391 2.206 2.392 2.206 2.283 2.278 2.542 2.804
BPS
BMKG
Volume Impor Beras (I) (Ton) 1.164.984 394.497 9.429 2.158 54.830 21.710 262.101 6.378 168.933 566.441 3.093 268.802 1.306.218 2.149.758 345.090 2.894.658 4.741.80 1.375.498 649.488 1.811.988 1.437.757 246.256 195.015 439.782 1.396.599 289.274 250.276 687.583 2.744.261 1.927.563 Kementan
Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1985-1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1995-2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2005-2014 Rata-rata Sumber
Produksi Beras (Ribu Ton) 24.489,27 24,924,80 25.118,67 26.124,26 28.035,45 28.316,22 27.995,44 30.244,04 30.196,35 29.235,82 27.468,03 31.180,18 32.028,08 30.955,34 30.867,98 31.913,57 32.561,34 31.659,09 32.304,63 32.711,13 33.935,05 32.011,64 33.974,40 34.165,03 35.860,57 37.848,49 40.403,86 41.702,90 41.255,88 43.325,81 44720,89 44.449,07 39.770,69 33.083,45 BPS Kementan
Pert. (%) 1,8 0,8 4,0 7,3 1,0 -1,1 8,0 -0,2 -3,2 2,0 6,7 2,7 -3,3 -0,3 3,4 2,0 -2,8 2,0 1,3 3,7 1,54 0,1 0,6 5,0 5,5 6,8 3,2 -1,1 5,0 3,2 -0,6 2,8 2,1 (Diolah)
Konsumsi Beras Total (Ribu Ton) 25.528,77 26.046,15 26.529,43 27.090,15 27.740,24 28.215,51 28.624,10 29.297,74 29.725,64 30.051,57 27.884,93 30.675,50 31.177,53 31.472,36 31.866,60 32.378,50 32.849,39 33.159,45 33.633,58 34.085,16 34.625,49 32.592,36 35.045,12 35.483,80 36.083,60 36.718,36 37.418,18 37.992,41 36.879,66 37.526,19 38.101,97 38.497,28 36.974,66 32.483,98 BPS Kementan (Diolah)
Pert. (%)
Selisih (Ribu Ton)
2,0 1,9 2,1 2,4 1,7 1,4 2,4 1,5 1,1 1,8 2,1 1,6 0,9 1,3 1,6 1,5 0,9 1,4 1,3 1,6 1,4 1,2 1,3 1,7 1,8 1,9 1,5 -2,9 1,8 1,5 1,0 1,1 1,4
-1.039 -1.121 -1.411 -965 295 101 -628 946 471 -816 -417 505 851 -517 -999 -465 -288 -1.500 -1.329 -1.374 -690 -581 -1.071 -1.319 -223 1.130 2.986 3.711 4.376 5.799 6.619 5.952 2.796 599 BPS Kementan (Diolah)
(Diolah)
Lampiran 2 Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi domestik dengan Minitab 16 Regression Analysis: Produksi Padi versus luas areal p, harga riil g, ... The regression equation is Produksi Padi (Ribu ton) = + + +
40953 + 7.67 luas areal panen (000 Ha) 0.172 harga riil gabah (Rp/kg) 0.861 Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) 0.135 Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) 17.7 Jumlah Varietas Unggul padi 0.815 Curah Hujan (mm)
Predictor Constant luas areal panen (000 Ha) harga riil gabah (Rp/kg) Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) Jumlah Varietas Unggul padi Curah Hujan (mm) S = 1551.08
R-Sq = 97.8%
Coef -40953 7.6720 0.1719 -0.8605 0.1354 -17.69 0.8149
SE Coef 4870 0.4498 0.7482 0.5515 0.1077 28.40 0.6733
T -8.41 17.05 0.23 -1.56 1.26 -0.62 1.21
P 0.000 0.000 0.820 0.132 0.221 0.539 0.238
VIF 3.190 3.644 1.380 1.614 1.249 1.280
R-Sq(adj) = 97.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 6 23 29
SS 2417721226 55334241 2473055467
Source luas areal panen (000 Ha) harga riil gabah (Rp/kg) Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) Jumlah Varietas Unggul padi Curah Hujan (mm)
MS 402953538 2405837 DF 1 1 1 1 1 1
F 167.49
P 0.000
Seq SS 2395991494 2670339 11614702 3737467 183567 3523657
Unusual Observations
Obs 13 14
luas areal panen (000 Ha) 11126 11716
Produksi Padi (Ribu ton) 49339 49200
Fit 49863 53747
SE Fit 1389 765
Residual -524 -4548
St Resid -0.76 X -3.37R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage. Durbin-Watson statistic = 1.30737
Residual Plots for Produksi Padi (Ribu ton)
Lampiran 2 lanjutan Regression Analysis: [RESI1] versus luas areal p, harga riil g, ... The regression equation is [RESI1] = 6840 - 0.110 luas areal panen (000 Ha) + 0.536 harga riil gabah (Rp/kg) + 0.149 Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) - 0.136 Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) - 22.8 Jumlah Varietas Unggul padi - 0.755 Curah Hujan (mm) Predictor Constant luas areal panen (000 Ha) harga riil gabah (Rp/kg) Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) Jumlah Varietas Unggul padi Curah Hujan (mm) S = 912.874
R-Sq = 33.0%
Coef 6840 -0.1099 0.5360 0.1491 -0.13576 -22.81 -0.7547
SE Coef 2866 0.2648 0.4403 0.3246 0.06337 16.71 0.3963
T 2.39 -0.41 1.22 0.46 -2.14 -1.36 -1.90
P 0.026 0.682 0.236 0.650 0.043 0.185 0.069
R-Sq(adj) = 15.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 6 23 29
SS 9425042 19166797 28591839
Source luas areal panen (000 Ha) harga riil gabah (Rp/kg) Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) Jumlah Varietas Unggul padi Curah Hujan (mm)
MS 1570840 833339 DF 1 1 1 1 1 1
F 1.88
P 0.127
Seq SS 114117 476644 183244 2223812 3404675 3022550
Unusual Observations
Obs 13 14
luas areal panen (000 Ha) 11126 11716
[RESI1] 524 4548
Fit 1095 1997
SE Fit 817 450
Residual -571 2550
St Resid -1.40 X 3.21R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Residual Plots for [RESI1] Runs Test: RESI1 Runs test for RESI1 Runs above and below K = -7.27596E-12 The observed number of runs = 13 The expected number of runs = 16 15 observations above K, 15 below P-value = 0.265
Lampiran 3 Hasil analisis regresi produksi padi domestik Residual Plots for Produksi Padi (Ribu ton) Normal Probability Plot
Probability Plot of RESI1
Versus Fits
Normal
99
Residual
50 10
0 -2000
90 80
-4000 -4000
-2000
0 Residual
2000
4000
40000
Histogram
Residual
Frequency
9 6 3 0
50000 60000 Fitted Value
70000
Versus Order
12
-2000 0 Residual
2000
70 60 50 40 30
2000
20
0
10 5
-2000
1
-4000 -4000
Mean StDev N KS P-Value
95
Percent
Percent
90
1
99
2000
-5000 -4000 -3000 -2000 -1000
2 4
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
0
RESI1
1000
2000
3000
4000
-7.27596E-12 1381 30 0.146 0.097
Lampiran 4 Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras domestik dengan Minitab 16 The regression equation is ln(Y)* = 3.70 - 0.000004 X1* + 0.000006 X2* - 0.000015 X3* + 0.000005 X4* 29 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant X1* X2* X3* X4*
Coef 3.70406 -0.00000407 0.00000552 -0.00001457 0.00000497
S = 0.00822537
SE Coef 0.02804 0.00000437 0.00000043 0.00000522 0.00000678
R-Sq = 97.3%
T 132.11 -0.93 12.79 -2.79 0.73
P 0.000 0.361 0.000 0.010 0.471
VIF 2.658 8.117 8.267 3.687
R-Sq(adj) = 96.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source X1* X2* X3* X4*
DF 1 1 1 1
DF 4 24 28
SS 0.057451 0.001624 0.059074
MS 0.014363 0.000068
F 212.29
P 0.000
Seq SS 0.029390 0.027530 0.000494 0.000036
Unusual Observations Obs 27
X1* 2943
ln(Y)* 4.17779
Fit 4.20541
SE Fit 0.00349
Residual -0.02763
St Resid -3.71R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.81457 Keterangan : Ln(Y) = Konsumsi beras domestik (Ribu Ton) X1* = Harga riil beras (Rp/Kg) X2* = Jumlah penduduk (Ribu Jiwa) X3* = PDB riil Indonesia (Rp.T) X4* = Harga riil jagung (Rp/Kg)
Lampiran 4 lanjutan Regression Analysis: abs(RESI4) versus X1*, X2*, X3*, X4* The regression equation is abs(RESI4) = 0.0230 + 0.000001 X1* - 0.000000 X2* + 0.000004 X3* + 0.000004 X4* 29 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant X1* X2* X3* X4*
Coef 0.02298 0.00000130 -0.00000040 0.00000446 0.00000445
S = 0.00527560
SE Coef 0.01798 0.00000280 0.00000028 0.00000335 0.00000435
R-Sq = 25.1%
T 1.28 0.47 -1.43 1.33 1.02
P 0.214 0.646 0.167 0.196 0.316
R-Sq(adj) = 12.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source X1* X2* X3* X4*
DF 1 1 1 1
DF 4 24 28
SS 0.00022444 0.00066797 0.00089240
MS 0.00005611 0.00002783
F 2.02
P 0.124
Seq SS 0.00010291 0.00000215 0.00009016 0.00002922
Unusual Observations Obs 27
X1* 2943
abs(RESI4) 0.027626
Fit 0.009858
SE Fit 0.002239
Residual 0.017768
St Resid 3.72R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 5 Hasil analisis regresi konsumsi beras domestik Residual Plots for ln(Y)* Normal Probability Plot
Probability Plot of RESI4
Versus Fits
Normal
99
50
0.00 -0.01
10
-0.02
1
-0.03
-0.02
0.00 Residual
0.02
90 80 4.08
Histogram
Residual
Frequency
9 6 3 0
4.12
4.16 Fitted Value
4.20
4.24
Versus Order
12
-0.02
-0.01 0.00 Residual
0.01
70 60 50 40 30
0.01
20
0.00
10
-0.01
5
-0.02 -0.03
-0.03
Mean StDev N KS P-Value
95
Percent
Residual
Percent
99
0.01
90
1 2 4
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
-0.03
-0.02
-0.01
0.00 RESI4
0.01
0.02
-4.16525E-15 0.007615 29 0.148 0,102
Lampiran 6 Hasil time series plot untuk melihat trend dalam menentukan kestasioneran data produksi beras dengan Minitab 16 Time Series Plot of Produksi beras (Ribu ton)
Produksi beras (Ribu ton)
45000
40000
35000
30000
25000 3
6
9
12
15 18 Index
21
24
27
30
Lampiran 7 Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data produksi beras dengan first difference dengan Minitab 16 Time Series Plot of Difference 1 3000
Difference 1
2000
1000
0
-1000 3
6
9
12
15 18 Index
21
24
27
30
Lampiran 8 Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data produksi beras dengan second difference dengan Minitab 16 Time Series Plot of Difference 2 3000
Difference 2
2000 1000 0 -1000 -2000 -3000 3
6
9
12
15 18 Index
21
24
27
30
Lampiran 9 Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik dengan Minitab 16 Partial Autocorrelation Function for Produksi beras (Ribu ton)
Autocorrelation Function for Produksi beras (Ribu ton)
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
Lampiran 10 Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada first difference dengan Minitab 16 Autocorrelation Function for Difference 1
Partial Autocorrelation Function for Difference 1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-1.0
-1.0
2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
Lampiran 11 Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada second difference dengan Minitab 16 Autocorrelation Function for Difference 2
Partial Autocorrelation Function for Difference 2 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-1.0
-1.0
2
4
6
8
10
12
14 Lag
16
18
20
22
24
26
2
4
6
8
10
12
14 Lag
16
18
20
22
24
26
Lampiran 12 Hasil estimasi model ARIMA untuk data produksi beras domestik dari tahun 19852014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton) ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SSE 53475099 48319362 43292772 38715788 34836807 31802500 30695695 30423205 30399467 30399310
Parameters 0.100 0.250 0.400 0.550 0.700 0.850 0.919 0.942 0.949 0.949
Relative change in each estimate less than 0.0010 Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef 0.9488
SE Coef 0.0917
T 10.34
P 0.000
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 30, after differencing 28 Residuals: SS = 30254744 (backforecasts excluded) MS = 1120546 DF = 27 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 14.4 11 0.214
24 32.8 23 0.085
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 30 Period 31 32 33 34 35 36 37 38
Forecast 45229.6 46010.1 46790.7 47571.2 48351.7 49132.2 49912.8 50693.3
95% Limits Lower Upper 43154.4 47304.8 42999.4 49020.9 43009.5 50571.9 43096.0 52046.4 43225.7 53477.8 43381.8 54882.7 43554.9 56270.7 43738.7 57647.9
Actual
Lampiran 12 Lanjutan ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,2) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
SSE 48432856 39858004 33600266 31122858 30949425 30939229 30936854 30935585 30934701 30934096 30933647 30933319 30933071 30932885 30932742 30932632 30932547 30932480 30932428 30932386 30932353 30932326
Parameters 0.100 0.100 0.219 0.250 0.349 0.400 0.418 0.475 0.435 0.486 0.438 0.478 0.443 0.475 0.447 0.471 0.450 0.468 0.452 0.465 0.455 0.463 0.457 0.461 0.458 0.460 0.460 0.458 0.461 0.457 0.462 0.456 0.463 0.455 0.464 0.454 0.464 0.454 0.465 0.453 0.466 0.452 0.466 0.452
Relative change in each estimate less than 0.0010 Final Estimates of Parameters Type MA 1 MA 2
Coef 0.4661 0.4520
SE Coef 0.1881 0.1884
T 2.48 2.40
P 0.020 0.024
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 30, after differencing 28 Residuals: SS = 30728799 (backforecasts excluded) MS = 1181877 DF = 26 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 14.1 10 0.169
24 35.9 22 0.031
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 30 Period 31 32 33 34 35 36 37 38
Forecast 44786.6 45566.6 46346.6 47126.6 47906.5 48686.5 49466.5 50246.5
95% Limits Lower Upper 42655.4 46917.8 41664.1 49469.1 41141.9 51551.3 40787.7 53465.4 40519.5 55293.5 40301.5 57071.5 40114.2 58818.8 39946.1 60546.9
Actual
Lampiran 13 Hasil time series plot untuk melihat trend dalam menentukan kestasioneran data konsumsi beras dengan Minitab 16 Time Series Plot of Konsumsi beras (Ribu ton)
Konsumsi beras (Ribu ton)
40000 37500 35000 32500 30000 27500 25000 3
6
9
12
15 18 Index
21
24
27
30
Lampiran 14 Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data konsumsi beras dengan first difference dengan Minitab 16 Time Series Plot of Difference 1
Difference 1
500
0
-500
-1000 3
6
9
12
15 18 Index
21
24
27
30
Lampiran 15 Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik dengan Minitab 16 Partial Autocorrelation Function for Konsumsi beras (Ribu ton)
Autocorrelation Function for Konsumsi beras (Ribu ton)
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
1.0
0.8 Partial Autocorrelation
0.8 Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-1.0
-1.0 2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
2
28
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
Lampiran 16 Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik pada first difference dengan Minitab 16 Partial Autocorrelation Function for Difference 1
Autocorrelation Function for Difference 1
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
1.0
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
2
4
6
8
10
12
14 16 Lag
18
20
22
24
26
28
Lampiran 17 Gambar hasil estimasi model ARIMA untuk data konsumsi beras domestik dari tahun 1985-2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton) ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (0,1,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSE 9894100 8174232 7157175 6639246 6569349 6548173 6546218 6545888 6545842 6545835 6545834
Parameters 0.100 -0.050 -0.200 -0.350 -0.489 -0.429 -0.450 -0.442 -0.445 -0.444 -0.444
Relative change in each estimate less than 0.0010 Final Estimates of Parameters Type MA 1
Coef -0.4441
SE Coef 0.1760
T -2.52
P 0.018
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 30, after differencing 29 Residuals: SS = 6518583 (backforecasts excluded) MS = 232807 DF = 28 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 8.2 11 0.698
24 12.2 23 0.968
36 * * *
48 * * *
Forecasts from period 30 Period 31 32 33 34 35 36 37 38
Forecast 38665.2 38665.2 38665.2 38665.2 38665.2 38665.2 38665.2 38665.2
95% Limits Lower Upper 37719.3 39611.1 37003.7 40326.6 36514.3 40816.0 36117.3 41213.1 35774.2 41556.1 35467.8 41862.6 35188.3 42142.1 34929.6 42400.8
Actual
Lampiran 17 Lanjutan ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration Iteration 0 1 2 3 4 5 6 7
SSE 7693715 6563139 5802877 5412930 5357276 5356324 5356305 5356304
Parameters 0.100 0.250 0.400 0.550 0.622 0.631 0.633 0.633
Relative change in each estimate less than 0.0010 Final Estimates of Parameters Type AR 1
Coef 0.6329
SE Coef 0.1482
T 4.27
P 0.000
Differencing: 1 regular difference Number of observations: Original series 30, after differencing 29 Residuals: SS = 5292029 (backforecasts excluded) MS = 189001 DF = 28 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 7.7 11 0.743
24 13.8 23 0.931
36 * * *
48 * * *
orecasts from period 30 Period 31 32 33 34 35 36 37 38
Forecast 38747.5 38905.8 39006.1 39069.5 39109.7 39135.1 39151.2 39161.4
95% Limits Lower Upper 37895.2 39599.8 37273.9 40537.8 36625.6 41386.6 35992.8 42146.2 35392.5 42826.9 34829.6 43440.6 34303.6 43998.7 33812.0 44510.7
Actual
Lampiran 18 Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada second difference dengan Minitab 16 PACF of Residuals for Produksi beras (Ribu ton)
ACF of Residuals for Produksi beras (Ribu ton)
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
2
3
4 Lag
5
6
1
7
2
3
4 Lag
5
6
7
Lampiran 19 Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik pada first difference dengan Minitab 16 PACF of Residuals for Konsumsi beras (Ribu ton)
ACF of Residuals for Konsumsi beras (Ribu ton)
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
Partial Autocorrelation
Autocorrelation
(with 5% significance limits for the autocorrelations)
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6
0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8
-0.8
-1.0
-1.0 1
2
3
4 Lag
5
6
7
1
2
3
4 Lag
5
6
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1994 di Jakarta. Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara, dari keluarga Bapak Iman dan Ibu Lilis Diana. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Cisauk pada tahun 2000 sampai tahun 2006. Pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Serpong. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 28 Kabupaten Tangerang dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan (SNMPTN). Kemudian diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan dan organisasi Resource and Environmental Economic Student Association (REESA) sebagai staf Campus Social Responsibility (CSR) periode 2015.