ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BERHUBUNGAN DENGAN GIZI KURANG PADA

Download 23 Okt 2017 ... Berhubungan dengan Status Gizi Balita di. Daerah Jayapura Utara Kota Jayapura. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. 2013;1(3...

0 downloads 366 Views 722KB Size
Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

124

RESEARCH STUDY

Open Access

Asupan Energi dan Protein Berhubungan dengan Gizi Kurang pada Anak Usia 6-24 Bulan Intake of Energy and Protein Related to Malnutrition in Children 6-24 Months Dewi Kencono Jati*1, Triska Susila Nindya1 ABSTRAK Latar belakang: Anak dengan usia di bawah dua tahun rentan mengalami masalah gizi. Asupan gizi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental. Asupan energi yang tidak mencukupi dalam waktu jangka panjang dapat menyebabkan gizi kurang yang berdampak pada kekurangan energi-protein. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan asupan energi dan protein dengan status gizi berdasarkan BB/U pada anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Klampis Ngasem, Surabaya. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Subyek dari penelitian ini adalah 62 bayi di bawah dua tahun (baduta) berusia 6-24 bulan yang didapatkan dari metode simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur, asupan gizi dengan recall 2x24hrs, dan pengukuran berat badan. Teknik analisis data dilakukan dengan uji statistik Chi-square. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar baduta memiliki asupan energi tidak adekuat, asupan protein adekuat, dan 24,2% mengalami underweight. Terdapat hubungan asupan energi (p=0,044) dan asupan protein (p=0,038) dengan status gizi BB/U. Kesimpulan: Energi dan protein berkontribusi terhadap kejadian underweight pada baduta. Oleh karena itu, disarankan selalu melakukan peningkatan konsumsi pangan dengan memberikan asupan makanan yang mengandung energi dan protein untuk pertumbuhan yang optimal. Kata Kunci: asupan energi, asupan protein, gizi kurang

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

125

ABSTRACT Background: Children under two years of age are susceptible to nutritional problems. Nutrient intake are needed for optimal growth and mental development. Inadequate energy intake in the long run can lead to protein energy malnutrition. Objectives: The purpose of this study was to analyze the association energy and protein intake with nutritional status of children aged 6 to 24 months. Methods: This research used cross sectional design aprroach. The subjects of this study were 62 children under two years (aged 6-24 months). Selection of sample was using simple random sampling Data was collected through interviews using a structured questionnaire, nutrient intake using 2x24hours recall, and weight measurement. Data was analyzed using Chi-square test. Results: The results showed that majority of the children had inadequate energy intake, adequate protein intake, 24.2% were underweight. There was a correlation between energy intake (p=0.044) and protein intake (p=0.038) with nutritional status WAZ. Conclusion: The conclusion of this study is energy and protein intake contribute to underweight incidences among children aged 6-24 months. Therefore, it could be advised to increase high energy and protein intake for optimum growth. Keywords: energy intake, protein intake, underweight *Koresponden: [email protected] 1 Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Airlangga

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

PENDAHULUAN Salah satu permasalahan gizi pada bayi dan anak yang masih menjadi tantangan yang harus diatasi dengan serius adalah gizi kurang. Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) yang memiliki z-score -3 SD sampai <-2 SD1. Secara keseluruhan gizi kurang dapat menimbulkan efek negatif seperti perkembangan kognitif yang buruk, lambatnya pertumbuhan, kekebalan tubuh yang rendah, dan morbiditas dan mortalitas yang tinggi2. Keadaan ini dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) di Jawa Timur tahun 2014 didapatkan angka prevalensi status gizi balita berdasarkan BB/U sebesar 12,3%3. Pada PSG tahun 2015, prevalensi tersebut meningkat menjadi 17,8% yang terdiri dari 15,6% berat badan kurang dan 2,2% berat badan sangat kurang4. Kota Surabaya adalah salah satu penyumbang angka tertinggi kasus gizi kurang di Jawa Timur. Pada tahun 2015, prevalensi gizi kurang di Kota Surabaya sebesar 20%. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015 di Kota Surabaya, Puskesmas Klampis Ngasem memiliki prevalensi gizi berat-kurang sebesar 15,66%. Prevalensi tersebut masih belum berhasil mencapai angka di bawah target MDGs (15%) dan Renstra Jawa Timur (15%). Hal ini menunjukkan bahwa kasus gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Klampis Ngasem masih menjadi permasalahan yang serius untuk mendapatkan perhatian dan penanganan. Anak dengan usia di bawah dua tahun atau biasa disebut baduta, merupakan kelompok usia yang paling rentan mengalami masalah gizi. Hal ini dikarenakan pada masa ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental secara cepat5. Proses pertumbuhan yang cepat disebut dengan masa golden age. Masa golden age ditandai dengan perkembangan otak yang cepat dan berhenti pada usia tiga tahun6. Asupan nutrisi menjadi hal penting yang dibutuhkan untuk mencapai perkembangan

126

otak dan perkembangan tubuhnya secara optimal. Asupan energi yang tidak mencukupi dalam waktu jangka panjang dapat menyebabkan gizi kurang7. Apabila berlanjut, maka akan menyebabkan kekurangan energiprotein. Asupan energi diperoleh dari konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein dan lemak. Anak yang mengalami underweight memiliki asupan energi dan protein yang rendah7. Pada usia 624 bulan, asupan energi dan protein didapatkan dari Air Susu Ibu (ASI) maupun Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Pada usia tersebut, kebutuhan gizi tidak dapat terpenuhi dari ASI saja. Pemberian MP-ASI harus lebih bervariatif dan macam makanan yang disesuaikan dengan kebutuhan agar anak dapat memperoleh cukup energi, protein, dan zat gizi lain. Dalam hal ini, peran ibu atau pengasuh sangat diperlukan untuk pemberian asupan energi dan protein yang tepat. Dengan demikian, diharapkan anak mampu tumbuh dan berkembang dengan baik hingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas8. Berdasarkan hal tersebut, penelitian tentang asupan energi dan protein pada baduta perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan asupan energi dan protein dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U pada anak usia 6-24 bulan. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah semua anak yang memiliki usia 6-24 bulan yang berada di wilayah kerja Puskesmas Klampis Ngasem, Surabaya. Besar sampel penelitian ini adalah sebanyak 62 baduta yang didapatkan dengan metode simple random sampling. Variabel dependent (terikat) dalam penelitian ini adalah status gizi berdasarkan BB/U, sedangkan variabel independent (bebas) adalah asupan energi dan protein. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui proses wawancara menggunakan kuesioner

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

terstruktur meliputi data karakteristik baduta dan kaluarga. Data asupan energi dan protein diperoleh dari konsumsi ASI dan MP-ASI melalui proses wawancara menggunakan form food recall 2x24 hours tidak berurutan dengan jarak 2-3 hari. Penilaian konsumsi ASI dengan cara mengukur frekuensi dan lama pemberian ASI yang diberikan pada 24 jam yang lalu. Apabila lama menyusui < 15 menit, maka volume ASI sebesar 20 mL, dan apabila lama menyusui ≥ 15 menit, maka volume AS sebesar 60 mL. Setelah diketahui volume ASI dalam satu hari (mL), kemudian dikalikan dengan kandungan gizi dalam ASI9. Hasil recall kemudiaan dikonversikan menggunakan Nutrisurvey 2007. Hasil asupan energi dan protein selama dua hari dikategorikan tidak adekuat jika < 77% Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan adekuat jika ≥ 77% AKG. Pengukuran berat badan dilakukan untuk mengetahui status gizi baduta menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg. Status gizi ditentukan dengan indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) yang dikategorikan menjadi underweight (gabungan status gizi buruk dan gizi kurang) dan tidak underweight (gabungan status gizi normal dan gizi lebih). Analisis hubungan asupan gizi dengan status gizi (BB/U) dianalisis menggunakan uji statistik Chi-square dengan signifikansi diterima jika p < 0,05. Penilitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dengan nomor: 220-KEPK. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik baduta dan keluarga yang diteliti pada penelitian yakni terdiri dari usia baduta, jenis kelamin, berat badan lahir, dan pendapatan keluarga. Berdasarkan Tabel 1, sebagian besar baduta memiliki usia 12-24 bulan sebesar 66,1%. Prevalensi underweight akan meningkat pada usia 12-23 bulan dan akan meningkat lagi pada usia lebih dari dua tahun10. Hal ini dikarenakan pada kelompok usia yang lebih tua lebih mudah terpapar infeksi dan penyakit karena adanya pengenalan jenis makanan baru untuk MPASI11. Persentase baduta yang berjenis

127

kelamin laki-laki lebih banyak dibanding dengan baduta yang berjenis kelamin perempuan. Anak laki-laki lebih berisiko mengalami gizi kurang daripada perempuan10,12,13. Selain itu, anak laki-laki lebih rentan mengalami permasalahan kesehatan dibandingkan dengan anak perempuan pada kelompok usia yang sama14. Mayoritas baduta ketika lahir memiliki berat badan lahir normal yakni > 2.500 gram (85,5%). Salah satu faktor yang memiliki hubungan dengan kejadian underweight adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)15,16. Anak yang terlahir BBLR dan besar di lingkungan keluarga miskin yang ditandai dengan rendahnya status sosial ekonomi, status gizi ibu kurang, dan morbiditas yang tinggi dapat menghambat kenaikan berat badan anak di kemudian hari17. Sebagian besar orang tua baduta memiliki pendapatan dalam sebulan sebesar Rp 0 – Rp 2.000.000 atau tergolong rendah (48,4%). Balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan yang rendah berisiko 4 kali lebih besar untuk mengalami status gizi kurang dibanding dengan tingkat pendapatan yang cukup18. Pendapatan berkaitan dengan pemilihan dan pembelian bahan makanan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh memperkecil peluang dalam membeli makanan yang berkualitas dan berkuantitas baik sehingga pilihan gizi bagi anaknya akan terbatas dan anak lebih mudah terserang penyakit yang akan menghambat tumbuh kembangnya. Baduta yang memiliki status gizi underweight sebesar 24,2%. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi gizi kurang di Kota Surabaya tahun 2015 yaitu sebesar 20%. Menurut WHO, masalah gizi kurang dikatakan tinggi apabila berada prevalensinya pada rentang 20-29%19, sehingga permasalahan gizi kurang pada penelitian ini berada pada tingkat tinggi. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar asupan energi baduta berada dalam kategori tidak adekuat (< 77% AKG). Asupan energi yang tidak adekuat ini dapat dikaitkan dengan faktor daya beli terhadap makanan. Sebagian besar pendapatan yang diperoleh orang tua baduta tergolong rendah.

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

Pendapatan yang rendah memperkecil peluang untuk membeli makanan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Rendahnya asupan energi dikarenakan adanya faktor sosial dan ekonomi yang mempengaruhi makanan yang dibeli dan pengetahuan pengasuh terhadap gizi20. Selain itu, asupan energi yang rendah dapat

128

disebabkan karena rendahnya nafsu makan pada anak. Setelah 12 bulan pertama, anakanak pada usia tersebut lebih tertarik untuk mengeksplorasi dunia mereka dan memungkinkan kehilangan minat terhadap makanan21. Penelitian lain terkait dengan asupan energi

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Baduta dan Keluarga Baduta di Wilayah Kerja Puskesmas Klampis Ngasem, Surabaya, Tahun 2017. Karakteristik Baduta dan Keluarga n % Usia Baduta 6-8 bulan 15 24,2 9-11 bulan 6 9,7 12-24 bulan 41 66,1 Total 62 100,0 Jenis Kelamin Laki-laki 32 51,6 Perempuan 30 48,4 Total 62 100,0 Berat Badan Lahir BBLR 9 14,5 Non-BBLR 53 85,5 Total 62 100,0 Pendapatan Rendah (Rp 0-2.000.000) 30 48,4 Sedang (Rp 2.000.001-3.300.000) 16 25,8 Tinggi (≥ Rp 3.300.000) 16 25,8 Total 62 100,0 Tabel 2. Distribusi Status Gizi (BB/U) Baduta di Wilayah Kerja Puskesmas Klampis Ngasem, Surabaya, Tahun 2017. Status Gizi (BB/U) n % Underweight 15 24,2 Tidak underweight 47 75,8 Total 62 100,0 Tabel 3. Distribusi Asupan Energi dan Protein Baduta di Wilayah Kerja Puskesmas Klampis Ngasem, Surabaya, Tahun 2017. Asupan Gizi n % Energi Tidak adekuat (< 77% AKG) 38 61,3 Adekuat (≥ 77% AKG) 24 38,7 Total 62 100,0 Protein Tidak adekuat (< 77% AKG) 29 46,8 Adekuat (≥ 77% AKG) 33 53,2 Total 62 100,0

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

129

Tabel 4. Tabulasi Silang Asupan Energi dan Protein dengan Status Gizi (BB/U) Baduta di Wilayah Kerja Puskesmas Klampis Ngasem, Surabaya, Tahun 2017. Status Gizi (BB/U) Tidak Asupan Gizi Underweight Total % p-value Underweight n % n % Energi Tidak adekuat 13 34,2 25 65,8 38 100,0 0,044 Adekuat 2 8,3 22 91,7 24 100,0 Protein Tidak adekuat 11 37,9 18 62,1 29 100,0 0,038 Adekuat 4 12,1 29 87,9 33 100,0

rendah dikarenakan kebiasaan anak sering mengonsumsi makanan atau jajanan ringan yang rendah gizi22. Makanan diubah menjadi energi yang digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan, fungsi metabolik seperti pernapasan, kontraksi jantung, dan pencernaan23. Asupan energi dapat dilihat dan diperoleh dari konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Ketika seorang anak memiliki energi yang dikeluarkan lebih tinggi dari yang dikonsumsi, maka dapat menyebabkan penurunan berat badan23. Selain itu, apabila seorang anak mengalami kekurangan energi, maka akan berdampak pada gagalnya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, serta daya tahan tubuh mengalami penurunan sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada anak. Berbeda dengan asupan energi, baduta yang memiliki asupan protein adekuat lebih banyak dibandingkan dengan asupan protein yang tidak adekuat. Asupan protein adekuat disebabkan sebagian besar responden memberikan susu pertumbuhan atau susu formula yang tinggi kandungan protein. Hasil tersebut diperoleh dari analisis food recall 24hrs. Penelitian yang dilakukan di Negara Eropa, tingginya asupan protein dikarenakan penggunaan susu sapi yang mengandung 3,23,3 gram protein per 100 mL24. Susu formula yang mengandung tinggi protein memiliki hubungan dengan berat badan pada dua tahun pertama kehidupan, namun tidak memiliki hubungan dengan panjang badan25.

Secara kimia, protein memiliki atom yang sama dengan karbohidrat dan lemak, yang membedakan adalah protein mengandung unsur nitrogen (N). Protein memiliki fungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur tubuh yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan otot. Selain itu, apabila seseorang mengalami kekurangan energi, maka protein dapat menggantikan sebagai sumber energi23. Hasil uji statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan status gizi (BB/U) dengan nilai p = 0,044. Tabel 4 menunjukkan bahwa baduta yang mengalami status gizi underweight memiliki asupan energi tidak adekuat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada anak usia 6-24 bulan di Surabaya, menyebutkan bahwa kecukupan energi dengan status gizi (BB/U) memiliki hubungan yang bermakna26. Penelitian lain menyebutkan bahwa anak yang memiliki asupan energi tidak adekuat berisiko untuk mengalami underweight 2,9 kali lebih besar daripada dengan anak yang memiliki asupan energi adekuat 27. Apabila asupan energi kurang dari kebutuhan individu dan aktivitas fisik, maka laju pertumbuhan akan mengalami penurunan. Asupan energi yang rendah mengakibatkan lemak dan protein digunakan untuk menghasilkan energi28. Keadaan ini menyebabkan lemak dan protein tidak dapat melakukan fungsi utamanya. Dampak dari keadaan ini adalah terjadinya gangguan pertumbuhan. Sebaliknya, asupan energi yang

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

berlebihan dapat meningkatkan jaringan adiposa atau deposisi lemak dan berat badan23. Menurut uji statistik pada penelitian ini, menunjukkan hasil adanya hubungan asupan protein dengan status gizi berdasarkan BB/U pada baduta dengan nilai p=0,038. Baduta yang mengalami status gizi underweight memiliki asupan protein tidak adekuat. Penelitian lain menyebutkan bahwa risiko anak yang mengalami underweight 3,1 kali lebih besar apabila memiliki asupan protein tidak adekuat daripada anak yang mendapatkan asupan protein adekuat27. Sama halnya dengan penelitian mengenai asupan protein yang menyatakan kecukupan protein memiliki hubungan dan korelasi positif dengan status gizi BB/U pada anak yang berusia 1-2 tahun29. Semakin tinggi asupan protein, maka status gizi anak semakin baik. Asupan protein tinggi pada masa anak-anak, dapat meningkatkan risiko obesitas di kemudian hari30. Penelitian tersebut menyarankan asupan protein diperoleh 15% dari kebutuhan energi total sebagai batas atas yang direkomendasikan untuk anak usia 12 bulan, karena apabila asupan terlalu tinggi dari batas atas tersebut dapat menyebabkan adanya risiko obesitas. Kualitas protein di dalam pangan ditentukan oleh daya cerna dan komposisi asam amino. Protein hewani memiliki daya cerna yang tinggi sebesar 90-99%, sedangkan protein nabati memiliki daya cerna yang lebih rendah (70-90%). Selain memiliki daya cerna yang tinggi, protein hewani memiliki asam amino esensial yang lebih lengkap[23]. Sumber protein hewani banyak terdapat pada daging, unggas, ikan, keju, telur, yoghurt, dan susu. Protein nabati paling banyak bersumber pada kacang-kacangan, biji-bijian, dan sayursayuran31. Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan yang ada dalam penelitian ini. Penelitian ini memiliki kelebihan yakni asupan energi dan protein yang diteliti tidak hanya dari asupan makanan saja, namun juga dari konsumsi ASI. Sama halnya dengan penelitian yang lain, kekurangan penelitian ini adalah ketepatan konsumsi ASI dan MP-ASI tergantung dengan daya ingat responden

130

sehingga memungkin responden untuk melaporkan konsumsi yang lebih banyak atau lebih sedikit. KESIMPULAN Energi dan protein berkontribusi terhadap kejadian underweight pada baduta. Oleh karena itu, orang tua disarankan selalu melakukan peningkatan konsumsi pangan terutama energi dan protein dengan memberikan asupan makanan yang bergizi baik dari segi kualitas dan kuantitas. ACKNOWLEDGEMENT Penghargaan diberikan penulis kepada seluruh staf pengajar program studi sarjana ilmu gizi Universitas Airlangga atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan. REFERENSI 1. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi. 2011. Available from http://gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2011/11/buku-skantropometri-2010.pdf. Diakses pada 23 April 2016. 2. Hovhannisyan L, Demirchyan A, Petrosyan V. Estimated Prevalence and Predictors of Undernutrition among Children Aged 5-17 Months in Yerevan, Armenia. Public Health Nutrition 2013;17(5):1046-1053. 3. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Profil Kesehatan Kota Surabaya 2015. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya; 2015. 4. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Profil Kesehatan Kota Surabaya 2016. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya; 2016. 5. Lohia N, and Udipi SA. Infant and Child Feeding Index Reflect Feeding Practices, Nutritional Status of Urban Slum Children. BMC Pediatrics 2014:14:209. 6. Adriani M, Kartika V. Pola Asuh Makan pada Balita dengan Status Gizi Kurang di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah, tahun 2011 (Feeding Pattern for

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Under Five Children with Malnutrition Status in East Java, West Java, and Central Kalimantan, Year 2011). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 2013;16(2):185-193. Ahmadi A, Moazen M, Mosallaei Z , Mohammadbeigi A, Amin-lari F. Nutrient Intake and Growth Indices for Children at Kindergartens in Shiraz, Iran. Journal Pakistan Medicine Association 2014;64(3):316-321. Khomsan A, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Oktarina. Tumbuh Kembang dan Pola Asuh Anak. Bogor: PT. Penerbit IPB Press; 2013. p. 2. Aritonang, E. Pengaruh Pemberian Mie Instan Fortifikasi pada Ibu Menyusui terhadap Kadar Zink dan Besi serta Pertumbuhan Linier Bayi. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2007. p. 70. Demissie S, Worku A. Magnitude and Factors Associated with Malnutrition in Children 6-59 Months of Age in Pastoral Community of Dollo Ado District, Somali Region, Ethiopia. Sci J Public Heal [Internet]. 2013;1(4):175. Available from: http://www.sciencepublishinggroup.com/ journal/paperinfo.aspx?journalid=251&do i=10.11648/j.sjph.20130104.12 Alemayehu M, Tinsae F, Haileslassie K, Seid O, Gebregziabher G, Yebyo H. Undernutrition status and associated factors in under-5 children, in Tigray, Northern Ethiopia. Nutrition [Internet]. Elsevier Inc.; 2015;31(7–8):964–70. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.nut.2015.01.0 13 Mukabutera A, Thomson DR, HedtGauthier BL, Basinga P, Nyirazinyoye L, Murray M. Risk factors associated with underweight status in children under five: an analysis of the 2010 Rwanda Demographic Health Survey (RDHS). BMC Nutr [Internet]. BMC Nutrition; 2016;2(1):40. Available from: http://bmcnutr.biomedcentral.com/articl es/10.1186/s40795-016-0078-2 Aries M, Herdinsyah, Tuhiman H. Determinan Gizi Kurang Dan Stunting Anak Umur 0 – 36 Bulan Berdasarkan Data

131

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

Program Keluarga Harapan ( Pkh ) 2007. J Gizi dan Pangan. 2012;7(1):19–26. Wamani H, Astrøm AN, Peterson S, Tumwine JK, Tylleskär T. Boys are more stunted than girls in sub-Saharan Africa: a meta-analysis of 16 demographic and health surveys. BMC Pediatr. 2007;7:17. Nakamori M, Ninh NX, Khan NC, Huong CT, Tuan NA, Mai LB, et al. Nutritional status , feeding practice and incidence of infectious diseases among children aged 6 to 18 months in northern mountainous Vietnam. The Journal of Medical Investigation. 2010;57(2):45–53. Rachmi CN, Agho KE, Li M, Baur LA. Stunting, underweight and overweight in children aged 2.0-4.9 years in Indonesia: Prevalence trends and associated risk factors. PLoS One. 2016;11(5):1–18. Gewa CA, Yandell N. Undernutrition among Kenyan children: contribution of child, maternal and household factors. Public Health Nutr. 2011;15(6):1029–38. Persulessy V, Mursyid A, Wijanarka A. Tingkat Pendapatan dan Pola Makan Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Daerah Jayapura Utara Kota Jayapura. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia 2013;1(3):143-150. WHO. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators Interpretation Guide. 2010. Avalaible from http://www.who.int/nutrition/nlis_interpr etationguide_isbn9789241599955/en/. Diakses 15 Februari 2017. Regar E, Sekartini R. Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan Kampung Melayu , Jakarta Timur Tahun 2012. eJournal Kedokteran Indonesia 2013;1(3):184–189. Departemen of Health Goverment of South Australia. Guard Against Underweight. 2010. Available from http://www.wch.sa.gov.au/services/az/ot her/nutrition/documents/Guard_against_ underweight.pdf. Diakses 16 Juni 2017. Sulistya, H.K., and Sunarto. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein dengan Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun.

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132

Jati dan Nindya. Amerta Nutr (2017) 124-132 DOI : 10.2473/amnt.v1i2.2017.124-132

23.

24.

25.

26.

27.

Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang 2013;2(1). Whitney, E., and Rolfes, S.R. Understanding Nutrition. 12th edition. Kanada: Wadsworth; 2007. Nyankovskyy S, Dobryanskyy D, Ivakhnenko O, Iatsula M, Javorska M, Shadryn O, et al. Dietary habits and nutritional status of children from Ukraine during the first 3 years of life. Pediatr Pol [Internet]. 2014;89(6):395–405. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/ar ticle/pii/S0031393914002261 Koletzko B, von Kries R, Closa R, Escribano J, Scaglioni S, Giovannini M, et al. Lower protein in infant formula is associated with lower weight up to age 2 y: a randomized clinical trial. Am J Clin Nutr. 2009;89(6):1836–45. Pontoh AH. Tingkat Asupan Energi Dan Protein Dengan Status Gizi Bayi Usia. 2015;(110):116–26. Rahim FK. Faktor Risiko Underweight Balita Umur 7-59 Bulan. Kemas [Internet].

132

28.

29.

30.

31.

2014;9(2):115–21. Available from: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ kemas Baculu EP., Juffrie M, Helmyati S. Faktor Risiko Gizi Buruk pada Balita di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. J Gizi dan Diet Indones. 2015;3(1):51–9. Rarastiti, C.N., and Syauqy, A., Karakteristik Ibu, Frekuensi Kehadiran Anak ke Posyandu, Asupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Anak Usia 1-2 Tahun. Journal of Nutrition College,2014;3(1):98-105. Hörnell A, Lagström H, Lande B, Thorsdottir I. Protein intake from 0 to 18 years of age and its relation to health: a systematic literature review for the 5th Nordic Nutrition Recommendations. Food Nutr Res [Internet]. 2013;57:1–42. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articl erender.fcgi?artid=3664059&tool=pmcent rez&rendertype=abstract Muchtadi, D. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Penerbit Alfabeta; 2009.

©2017. Jati dan Nindya. Open access under CC BY – SA license. Received 17-7-2017, Accepted 3-8-2017, Published online:23-10-2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.124-132