BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG FENOMENA

Download Dalam hal ini, pada konteks global, sastra Indonesia tidak pernah tertutup dari interaksi dan perkembangan sastra dunia. Proses interaksi t...

0 downloads 500 Views 310KB Size
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kembali kepada nilai tradisional dalam masyarakat modern merupakan fenomena global, terjadi secara luas termasuk dalam dunia sastra. Salah satu bentuk fenomena tersebut dalam dunia sastra adalah munculnya karya-karya realisme magis dengan gaya kepenulisan yang menggabungkan unsur realis dan magis yang awalnya muncul di negara Amerika Latin pada pertengahan abad ke-20 sebagai respon terhadap pemikiran modern Barat, realisme magis dipandang sebagai perspektif baru dalam memandang sebuah realitas pada masa itu. Kemunculan karya sastra realisme magis, kemudian dianggap sebagai revolusi karya sastra non Eropa yang menonjolkan sudut pandang lain di dalam kehidupan yang selama ini tergeser oleh pola pikir realis Barat. Dalam sastra Indonesia, pengaruh realisme magis juga dapat dirasakan setidaknya pada karya-karya sastra modern. Pengaruh realisme magis dalam karya sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari adanya saling keterkaitan antara sastra Indonesia dengan sastra Barat. Dalam hal ini, pada konteks global, sastra Indonesia tidak pernah tertutup dari interaksi dan perkembangan sastra dunia. Proses interaksi tersebut membawa berpengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia modern baik nasional maupun lokal. Demikian halnya dalam dunia percerpenan Indonesia sebagai salah satu genre sastra juga tidak dapat lepas dari pengaruh tersebut. Seperti dikatakan oleh Jakob Sumardjo dalam

Cerpen Indonesia Mutakhir bahwa seluruh perkembangan cerita pendek Barat, baik yang kuno dan mutakhir, dapat berpengaruh di Indonesia (Eneste, 1983: 28). Sebagaimana karakter karya realisme magis, yaitu kembali memunculkan segala hal yang berkaitan dengan magis dan mistik yang bertolak belakang dengan ciri empirisme Barat, baik dalam bentuk dongeng, hal yang bersifat mistis, magis, mitos dan legenda yang ada dalam masyarakat. Maka ciri-ciri ini dapat dijadikan titik tolak dalam melihat cerpen-cerpen Indonesia mutakhir yang bercorak realisme magis. Ciri-ciri yang demikian dapat dijumpai salah satunya dalam karya-karya Seno Gumira Ajidarma seperti kumpulan cerpennya Saksi mata (1994), cerpen yang memotret realitas di Timor-Timur melalui gaya penceritaan realis namun menambahkan hal-hal magis kedalam ceritanya. Kecenderungan yang sama juga dapat ditemukan dalam karya-karya sastra yang berlatar belakang kebudayaan Bugis-Makassar. Salah satunya dalam karyakarya Khrisna Pabichara seperti terlihat dalam kumpulan cerpennya Gadis Pakarena yang diterbitkan tahun 2012. Khrisna mengangkat kembali citraan realisme magis yang dipandang irrasional seperti mitos-mitos, legenda hidup, dan dongeng tertentu, bahkan terkadang hal yang bersifat mistik sebagai bentuk-bentuk tradisional dari kebudayaan Bugis Makassar. Karya Khrisna menarik untuk diteliti dengan melihat kecenderungan kumpulan cerpennya ini secara total berlatar belakang tradisional Bugis Makassar. Secara garis besar, tradisional Bugis Makassar terlihat dalam beberapa cerpennya seperti: Haji Baso mengangkat mitos tentang batu mustika

sebagai sumber kekuatan dan pencak silat tradisional Makassar sebagai identitas masyarakatnya; Arajang mengangkat mitos serta kehidupan bissu1; Hati Perempuan Sunyi mengangkat mitos tentang “dunia lain”; Ulu badik Ulu Hati mengangkat mitos tentang badik atau keris bertuah; Silariang, mengangkat cerita tentang kawin lari sebagai penentangan terhadap norma adat dengan adat itu sendiri; Selasar, mengangkat tradisi atau perlakuan terhadap lelaki ksatria; dan, terakhir cerpennya yang berjudul Dilarang Mengarang Cerita Di Hari Minggu, mengangkat cerita tentang siriq atau harga diri orang Bugis Makassar. Totalitas Khrisna dalam mengangkat tradisional Bugis Makassar di awal dekade 2010-an terasa lebih kental jika dibandingkan dengan beberapa penulis di Sulawesi Selatan seperti, Dee Dee Sabrina (Antologi Fiksi, 2013), Aan Mansyur (Kukila, 2012), Anis K. Alsyari (Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum, 2003), Rahmat Hidayat (Perempuan yang Mencintai Still Got the Blues, 2005), Chali Mustang (Buku Hitam Ayah, 2010), Penulis muda Sulawesi Selatan (Kupu-kupu dalam Kotak Kaca, 2005). Selain kecenderungan tersebut, karya Khrisna dipilih karena fenomena Khrisna sendiri di awal dekade 2010-an. Khrisna tiba-tiba muncul dengan sejumlah karya-karyanya yang dikenal luas seperti novelnya Sepatu dahlan, 2012 dan Surat Dahlan, 2012. Dari kumpulan cerpen Gadis Pakarena, dipilih cerpen Arajang sebagai objek dalam penelitian ini dengan melihat muatan tradisional yang diangkat Khrisna di 1

Pendeta Bugis kuno yang masih ada dan hidup di tengah masyarakat saat ini

dalamnya. Arajang diangkat dari tradisional Bugis yaitu mitos seputar kehidupan bissu, kemudian Khrisna mempertemukannya dengan tradisional Makassar dalam konteks wacana modernisme, sehingga cerpen ini patut dicurigai sebagai reaksi dari arus postmodernisme di Sulawesi Selatan. Sejarah tentang bissu kembali diangkat setelah kanon Bugis La Galigo di terbitkan pada tahun 1995. Menyusul pada tahun 2003 diterbitkan La Galigo dalam konteks Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia yang kemudian memicu lahirnya pementasan La Galigo yang mendunia dengan menempatkan bissu sebagai isu utama dalam pementasan tersebut. Bissu digambarkan sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia dewa-dewa. Mitos tentang bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewa-dewa juga disebutkan oleh Hamonic dalam makalahnya yang dimuat dalam La Galigo (2003) “Kepercayaan dan Upacara dari Budaya Bugis Kuno (Pujaan Pendeta Bissu alam Mitos La Galigo)”. Disebutkan bahwa yang paling penting dalam pemahaman dunia menurut bissu adalah paham tentang jiwa. Dalam lagu-lagu bissu, ditemukan kata-kata untuk pengertian itu (sumangeq, tinio, wempang, gumawa, bannapati, tinaju, wajo-wajo, dan lain-lain). Dan semangat itu bisa terlepas dari badan, bisa masuk dalam patung, bisa keliling dunia, bisa meninggal dan bisa lahir lagi, bisa menjadi tipis atau luas sekali, bisa ikut asap yang keluar dari dupa-dupa sampai dunia dewata, dan lain-lain. Karena itu, seperti orang syaman atau dukun, bissu bisa bepergian ke dunia dewa (perjalanan itu biasa dibantu

oleh kemasukan dan mimpi khusus), dan bisa juga berkomunikasi dengan dewa-dewa (La Galigo, 2003: 490). Munculnya cerpen Arajang pada tahun 2012 menjadi satu-satunya cerpen yang mengangkat wacana tentang bissu yang terbit setelah di terbitakannya La Galigo. Juga merupakan satu-satunya karya sastra yang secara “ekstrem” menggabungkan kebudayaan tradisional Bugis dan Makassar. Sangat berbeda dengan penulis-penulis lainnya yang selama ini melihat kebudayaan Bugis hanya milik Bugis saja, atau sebaliknya kebudayaan Makassar sebagai milik Makassar saja. Tradisi kepenulisan selama ini ketika berbicara soal isu-isu tradisional Bugis Makassar, mereka cenderung memisahkan kedua isu tersebut. Misalnya dalam gaya kepenulisan Idwar Anwar (salah satu editor La Galigo) dalam karya-karyanya seperti Tana Toa, Toraja, dan Setangkai senja cenderung terpokus pada satu isu tradisional saja berdasarkan suku dari latar belakang karyanya. Akhrinya, cerpen Arajang menjadi penting untuk diteliti berdasarkan fenomena-fenomena di dalamnya.

Dengan demikian, karakter teks Arajang tersebut menjadi titik tolak untuk meneliti kadar realisme magis di dalamnya. Kehadiran elemen-elemen magis dan real akan diteliti berdasarkan lima karakter yang dirumuskan oleh Wendi B Faris. Hasil atau temuan tersebut akan menentukan sejauh mana penarasian kembali atas yang magis dan real dalam Arajang mencirikan cerpen ini sebagai karya realisme magis.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, terlihat dua persoalan esensial dalam karya sastra realisme magis sebagai media untuk menyuarakan kembali nilai-nilai tradisional sebuah kebudayaan, yaitu bahwa kemungkinan karya-karya realisme magis memiliki ciri tersendiri dalam teknik penarasiannya. Realisme magis berangkat dari latar belakang kebudayaan tertentu sehingga memiliki edeologi tertentu. Berdasarkan hal itu maka masalah dirumuskan kedalam dua rumusan masalah secara garis besar. 1. a.) Bagaimana yang magis dan yang real dinarasikan dalam cerpen Arajang berdasarkan elemen-elemen karakteristik karya realisme magis? b.) Bagaimana hubungan antar elemen tersebut dan bagaimana kadar realisme magis cerpen Arajang? 2. Bagaimana konteks sosial dan ideologis cerpen Arajang berdasarkan wilayah kemunculannya? 1.3 Tujuan Penelitian Secara garis besar, penelitian ini diharapkan untuk dapat mencapai dua tujuan pokok yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. 1. Tujuan teoretis

Berdasarkan lima konsep karakteristik realisme magis oleh Wendy B. Faris, maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar realisme magis dalam cerpen Arajang Karya Khrisna Pabichara dengan memanfaatkan konsep tersebut. 2. Tujuan praktis Tujuan praktis yang ingin dicapai adalah membantu pembaca sastra untuk memperoleh pengetahuan mengenai: Pertama, kadar realisme magis dalam cerpen Arajang karya Khrisna Pabhicara. Kedua, konteks wacana cerpen Arajang dibandingkan dengan konteks sosial dan budaya serta ideologis di daerah asalnya.

1.4 Tinjauan Pustaka Sepanjang penelusuran peneliti, Belum ditemukan kajian spesifik terhadap cerpen Arajang, namun kajian terhadap cerpen lain dalam kumpulan cerpen Gadis Pakarena ini telah ada, seperti cerpen mengawini Ibu, cerpen Lebang dan Hatinya, dan cerpen Hati Perempuan Sunyi . Ketiga cerpen ini di teliti oleh Raden Sayidatun Fajarrosi pada tahun 2013 sebagai skripsi di Universitas Pendidikan Indonesia, dengan judul penelitian “Mekanisme Pertahanan Ego (Das Ich) Pada Tokoh Dalam Cerpen “Mengawini Ibu”, “Lebang Dan Hatinya”, Dan “Hati Perempuan Sunyi” Kajian Psikosastra Dan Teori Psikoanalisis”. Fajarrosi mengungkapkan bahwa cerpen-cerpen tersebut mengangkat konflik-konflik kejiwaan melalui tokoh-tokohnya. Selain itu, cerpen tersebut tidak

dapat lepas dari kultur Bugis Makassar dengan mengangkat wacana tentang patriarkis, poligami, kawin paksa, dan balas dendam. Hasil penelitian Fajarrosi menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan ego (das ich) yang dilakukan oleh tokoh merupakan perasaan beralih untuk mencari objek pengganti ketika seorang berada dalam kondisi tertekan. Mekanisme pertahanan yang terjadi dalam karya sastra merupakan representasi dari kehidupan manusia yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain dari kumpulan cerpen Gadis pakarena, karya-karya Khrisna beberapa diantaranya telah diteliti. Misalnya Adrian Riadi, dalam Artikel E_journal yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara, 2013. Menilai bahwa karya novel ini dapat memberikan inspirasi, gagasan, dan nilai-nilai baru bagi pembaca. Riadi menemukan empat nilai dasar yaitu nilai religius seperti bagaimana rasa bersyukur, nilai moral seperti sikap sabar dan jujur, dan nilai sosial seperti kepedulian terhadap sesama dan sikap saling sayang menyanyangi, serta nilai budaya seperti keberagaman budaya dan tradisi yang diangkat Khrisna. Bersamaan dengan itu, muncul tulisan Mazliyana, dalam Artikel E_journal yang berjudul Analasisi Penokohan dalam Novel Surat Dahlan karya Khrisna Pabichara. Tujuan penelitiannya untuk mendeskripsikan tokoh-tokoh dan penokohan dengan asumsi bahwa penokohan merupakan cara pandang pengarang dalam menggambarkan watak tokoh dan tokoh-tokohnya. Mazliyana

menemukan 32 tokoh dengan penggambaran watak tokoh secara umum sebagai tokoh idealis dan memiliki sikap pantang menyerah. Reyza Fathur Rahmi, dalam skripsinya tahun 2013 yang berjudul Pesan Moral dan Motivasi dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara: Tinjauan Sosiologi Sastra. Melihat latar belakang sosiologis dari kemunculan novel tersebut dengan mencoba membongkar pesan moral dan motivasi sebagai tujuan dari penelitiannya. Secara garis besar, Rahmi menemukan empat pesan moral dari novel tersebut yaitu kejujuran, ketaatan beribadah, dan ketaatan terhadap orang tua, serta loyalitas dalam hubungan pertemanan. Sementara nilai motivasi meliputi pepatah yang mengandung motivasi tertentu, motivasi muncul dari teman, dan motivasi muncul dari keluarga. Iznaini Mutmainah pada tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul NilaiNilai Pendidikan Karakter Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrsina Pabhicara Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Akhlak Di Madrasah Ibtidaiyah. Mengungkapkan bahwa karya Khrisna pada dasarnya menampilkan gambaran kehidupan yang merupakan fakta sosial kultural. Iznaini beranggapan bahwa latar belakang novel ini yang diangkat dari kisah nyata kehidupan Dahlan Iskan sangat potensial untuk diteliti dalam kaitannya dengan pendidikan karakter. Terdapat 18 poin pendidikan karakter dalam novel tersebut diantaranya nilai religius, kejujuran, dan toleransi, serta sikap peduli lingkungan. Terdapat keterkaitan antara nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel tersebut dengan

nilai-nilai pendidikan karakter madrasah ibtidaiyah. Selain itu, juga terdapat nilainilai pendidikan karakter yang tidak relevan dengan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah yaitu semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Desi Diyah Intan, tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul Nilai Pendidikan Moral Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia Di Smp dengan tujuan penelitian Untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan moral dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, serta mendeskripsikan implikasi pembelajaran nilai-nilai pendidikan moral novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara dalam pembelajaran Sastra Indonesia di SMP. Intan menemukan nilai pendidikan moral dalam novel Sepatu Dahlan meliputi tingkah laku tokoh sebagai representasi kehidupan nyata, nilai ketaatan kepada orang tua, nilai kasih sayang dan kesabaran yang dimiliki toko-tokohnya, serta jiwa sosial. Kemudian implikasi terhadap pembelajaran sastra di SMP disimpulkan oleh Intan bahwa nilai pendidikan moral terdapat 33 kutipan, nilai pendidikan religius terdapat 11 kutipan, nilai pendidikan kesabaran terdapat 13 kutipan, nilai kasih sayang terdapat 9 kutipan, serta nilai pendidikan sosial terdapat 12 kutipan. Q. A. Imas pada tahun 2013 menulis sebuah makalah tentang novel Khrisna Pabhicara dengan judul makalah Analisa Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik Novel Sepatu Dahlan. Imas melakukan pengkajian terhadap novel tersebut dengan menganalisis struktur untuk mengetahui struktur pembangun novel Sepatu

Dahlan,

serta

mencari

nilai-nilai

pendidikan

untuk mengetahui

nilai

pendidikan dalam novel tersebut. Dengan asumsi bahwa novel Sepatu Dahlan menggambarkan

fenomena

kehidupan

kaum

bawah.

Novel

ini

menggambarkan gejala-gejala alam termasuk segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya khususnya kehidupan rakyat kalangan bawah. Tidak hanya menampilkan fenomena alam dan gejala masyarakat baik berupa tingkat sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, tetapi novel ini memiliki nilai-nilai historis. Khrisna Pabichara menuangkan nilai-nilaih istoris dalam Sepatu Dahlan secara halus, bagaimana kehidupan kaum bawah yang berada dibawah tekanan para tokoh politik yang haus akan kekuasaan. Dari hasil penelitiannya, Imas menemukan tujuah poin yang berkaitan dengan bangunan struktur dan nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut, yaitu: (1) Struktur novel Sepatu Dahlan bertema sentral yaitu masalah mimpi dan citacita anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem. Diikuti tema sampingan seputar masalah keluarga dan persahabatan anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem; (2) Khrisna menggunakan alur mundur dalam novel Sepatu Dahlan; (3) Tokoh protagonis dalam Penokohan dan perwatakan digambarkan oleh Khrisna sebagai pekerja keras dan berbakti kepada orang tua. Hal ini membedakan dengan tokoh Dahlan sebagai tokoh utama memiliki watak nakal seperti anak-anak pada umumnya; (4) Khrisna mendesain latar novelnya ini dengan menggunakan penunjuk waktu tahun dan jam. Selain itu juga menggunakan penujuk waktu yang

menunjukkan keadaan seperti keadaan pagi, siang, sore dan malam. Secara keseluruhan, Khrisna menggunakan latar pedesaan dan kehidupan tokoh Dahlan sebagai seorang pemimpi; (5) Khrisna menggunakan sudut pandang “aku” dalam penceritaannya; (6) Dari segi kepengarangannya, Khrisna memiliki pemikiran bahwa Dahlan merupakan seorang anak yang suka bekerja untuk membantu orang tua. Namun tetap mengacu pada tema yaitu mimpi dan cita-cita anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem; serta (7) dapat diketahui bahwa novel Sepatu Dahlan memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel lain. Novel Khrisna ini merupakan hipogram novel lainnya karena memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel lain. Hanya saja Imas tidak menyebutkan secara spesifik novelnovel yang dimaksudkan dalam pengaruh novel Sepatu Dahlan. Siti Munozirah pada tahun 2013 meneliti novel Sepatu Dahlan sebagai skripsi di IKIP PGRI Semarang dengan judul Pembelajaran Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Dengan Metode Student Teams –Achievement Divisions Pada Siswa Kelas XI SMA Gita Bahri Semarang Tahun Ajaran 2012/2003. Penelitian Monozirah ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai pendidikan danal novel Sepatu Dahlan serta mendeskripsikan pembelajaran nilai pendidikan tersebut pada siswa kelas XI di SMA Gita Bahari Semarang melalui metode

student

teams-achievement

divisions.

Munozirah

kemudian

menyimpulkan bahwa nilai pendidikan dalam novel Septau Dahlan meliputi nilai pendidikan religiositas, yaitu keyakinan manusia terhadap terhadap agama dan

kepercayaan yang dianutnya, terlihat dalam diri tokoh Dahlan, zain, dan Bapak. Kemudian nilai pendidikan sosialitas, yaitu sikap solidaritas dan sikap saling tolong-menolong antar sesama, terlihat dalam sikap Mandor Komar, Arif, Komariyah, dan Kadir. Kemudian nilai pendidikan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab manusia dalam menghadapi permasalahan atau kesalahan yang telah diperbuat, terlihat pada tokoh Dahlan dan kadir yang bersedia menjalani hukuman berdasarkan pelanggarannya. Terakhir, nilai pendidikan daya juang yaitu perjuangan manusia untuk bertahan hidup, selalu menjaga tradisi, dan meraih cita-cita yang diinginkan terlihat dalam karakter warga Kebon Dalem yang pantang menyerah serta selalu menjaga tradisi. Kecenderungan penelitian-penelitian di atas terhadap karya-karya Khrisna lebih banyak melihat nilai-nilai pendidikan moral di dalamnya. Hanya Fajjrosi yang sedikit berbeda dengan menemukan adanya hubungan yang kuat antara ketiga cerpen Khrisna yang ia teliti dengan kebudayaan Bugis Makassar. Meskipun demikian, informasi-informasi dari beberapa penelitian tersebut sangat berguna dalam penelitian ini yang fokus pada keterkitan cerpen Khrisna dengan wacana karya realisme magis secara global.

1.5 Landasan Teori Landasan teori dilihat dalam dua garis besar sesuai dengan kepentingan penelitian ini yang menggunakan teori realisme magis yang dirumuskan oleh Faris. Pertama, melihat secara umum realisme magis dalam pandangan ahli, dan yang kedua melihat secara khusus konsep realisme magis dalam pandangan Faris.

1.5.1

Realisme Magis Pada penelitian kali ini, penulis akan menggunakan teori realisme magis

untuk mengidentifikasi kadar realisme magis yang terdapat di dalam cerpen Arajang. Realisme magis merupakan sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh Franzh Roh pada tahun 1925 untuk mengategorikan kecenderungan lukisan yang dibuat oleh pelukis-pelukis Jerman di awal abad ke-20. Seperti yang di katakan Nadeem di dalam sebuah essai berjudul Magic-Realism and Marquez, bahwa dalam seni melukis, istilah realisme magis digunakan untuk merujuk kepada bentuk lukisan dengan tema fantasi, sosok asing, karakter nyata seperti yang ada di dunia mimpi, sebagai subjek lukisan (1). Pengertian realisme magis di dalam lukisan menurut Nadeem, merujuk kepada tema lukisan yang menggambarkan karakter fantasi atau bisa disebut yang tidak real sebagai karakter lukisan.

Di era sekarang, istilah realisme magis banyak digunakan di dalam karya sastra kemudian juga digunakan pada kritik sastra. Pada tahun 1980, Nadeem menyebutkan bahwa istilah realisme magis menjadi label yang digunakan untuk menamai bentuk kepenulisan di dalam karya sastra. Bentuk kepenulisan yang dimaksud adalah kepenulisan yang di dalamnya terdapat karakteristik seperti, “the mingling and juxtaposition of the realistic and fantastic or strange, skillful time shifts, convoluted and even labyrinthine narratives and plots, miscellaneous use of dreams, myths and fairy stories expressionistic and even surrealistic descriptions, arcane, the element of surprise or abrupt shock, the horrific and the inexplicable”. (1). Percampuran dan pensejajaran unsur realis dan unsur fantasi atau ganjil, kemampuan merubah waktu, cerita yang berbelit-belit bahkan membingungkan, menggunakan berbagai macam khayalan, mitos dan ceritacerita misteri dimunculkan bahkan juga memunculkan unsur surrealis, banyak terdapat hal yang mengagetkan atau goncangan yang datang tiba-tiba, juga hal yang mengerikan dan tidak dapat dijelaskan. Karakteristik yang disebutkan oleh Nadeem tersebut, merupakan karakteristik yang biasanya dimunculkan di dalam karya sastra yang digolongkan kepada karya sastra realisme magis. Menurut bahasa, defenisi realisme magis di dalam karya sastra bersandar pada pemahaman atas apa yang dimaksud dengan ‘realisme’ dan yang dimaksud dengan ‘magis’. Di dalam buku berjudul Magic(al) Realism, Ann Bowers menjelaskan bahwa “realism is......allows the writer to present many details that

contribute to a realistic impression (20). Realisme di dalam karya sastra, yang digunakan penulis untuk menghadirkan unsur-unsur yang merujuk kepada hal yang realistis. Sedangkan magis, menurut Ann Bowers adalah “refers to any extraordinary

occurrence

and

particularly

to

anything

spiritual

or

unaccountable by rational science” (19), merujuk kepada peristiwa yang luar biasa dan terutama merujuk kepada sesuatu yang bersifat spiritual atau tidak dapat dilacak oleh pengetahuan rasional. Pengertian realisme magis yang disimpulkan oleh Ann Browers, “characterized by two conflicting perpectives, one based on a rational view of reality and the other on the acceptance of the supernatural as prosaic reality (20) dikarakteristikkan ke dalam dua sudut pandang, yang satu berdasarkan sudut pandang yang rasional dan yang satu lagi menerima hal supernatural (luar biasa) untuk menggantikan kenyataan yang membosankan. Kenyataan yang membosankan yang dimaksud oleh Browers disini adalah batasan realis yang selama ini dibuat berdasarkan pola pikir realis. Di dalam buku Magic(al) Realism, Ann Bowers kembali menambahkan bahwa “Magical realism or magic realism are terms which many people have heard and yet very few readers have a clear idea of what they may include and imply (2) realisme magis ataupun magical realisme merupakan istilah yang sudah banyak didengar oleh beberapa pembaca namun sedikit dari

mereka yang

mengetahui apa yang disembunyikan di dalam cerita tersebut, apa yang menjadi tema besar sehingga karya tersebut dapat dikategorikan sebagai karya sastra

realisme magis. Tema besar yang biasanya terdapat didalam karya sastra realisme magis menurut pendapat Ann Bowers adalah: “the idea of terror overwhelms the possibility of rejuvenation in magical realism. Time is another conspicuous theme, which is frequently displayed as a cyclical instead of linear. What happens once is destined to happen again. Irony and paradox stay rooted in recurring social and political aspiration. (2) terror sering muncul dan menjadi tema utama di dalam realisme magis. Waktu merupakan tema berikutnya, dimana waktu biasanya dimunculkan secara berputar daripada linear. Apa yang telah terjadi di masa lampau ditakdirkan untuk terulang kembali dimasa yang akan datang. Ironi dan paradoks banyak digunakan sebagai bentuk aspirasi terhadap dunia sosial dan politik. Berdasarkan kutipan diatas, tema yang biasanya di hadirkan di dalam karya sastra realisme magis adalah dimana “teror” menjadi ide yang muncul di dalam cerita. Selain itu waktu yang biasanya disajikan dalam bentuk yang berulang dimana satu kejadian yang muncul di masa lalu, akan muncul kembali di masa yang akan datang. Selain itu gaya bahasa dengan majas seperti ironi dan paradoks, banyak digunakan sebagai bentuk aspirasi terhadap dunia politik dan sosial.

1.5.2

Realisme Magis dalam perspektif Faris Penelitian

ini

akan

menggunakan

teori

realisme

magis

yang

diperkenalkan oleh Wendy B Faris. Di dalam bukunya yang berjudul Ordinary Enchantments Magical Realism and the Remystification of Narrative, Faris mendefinisikan realisme magis sebagai “the term magical realism, coined in the early twentieth century to describe a fiction, now designates perhaps the most important contemporary trend in international fiction. (2004: 1) Istilah yang muncul di awal abad ke-20 yang digunakan untuk menggambarkan sebuah karya sastra, yang saat ini mungkin menjadi salah satu trend di dalam karya sastra internasional. Di dalam buku ini, Faris mengimplikasikan bahwa istilah realisme magis yang muncul diawal abad ke-20 untuk menggambarkan karya sastra yang mengandung unsur magis dan realis. Faris juga menambahkan bahwa jenis karya sastra realisme magis ini, telah menjadi tren yang sangat penting di dalam karya sastra internasional. “magical realism has become so important as a mode of expressiom worldwide, because it has provided the literary ground for significant cultural work; within its texts, marginal voices, submerged traditions, and emergent literatures have developed and created masterpieces.(2004: 1)

Realisme magis menjadi penting sebagai ungkapan yang mendunia, karena realisme magis menampilkan bentuk dasar dari kesusasteraan dimana menampilkan ide-ide kebudayaan; yang terdapat di dalam teks, suara-suara marginal, tradisi yang hilang, dan kemunculan karya-karya sastra yang telah berkembang dan menghasilkan masterpiece. Ide-ide kebudayaan yang muncul di dalam teks, menurut Faris menjadi menarik karena di dalam teknik penceritaan realisme magis ini, suara-suara yang selama ini di marginalkan ataupun di hilangkan, kembali dimunculkan di dalam penceritaan realisme magis. Karya sastra yang selama ini didominasi oleh perspektive realisme barat, di dalam realisme magis menjadi sama dengan hadirnya unsur magis yang diwakili oleh kebudayaan timur yang selama ini tenggelam oleh dominasi realis budaya barat. Faris juga menambahkan di dalam bukunya bahwa teknik penceritaan realisme magis ini, selain digunakan untuk memunculkan kembali suara-suara marginal yang selama ini hilang oleh dominasi kebudayaan barat, juga digunakan untuk “magical realism radically modifies and replenishes the dominant mode of realism in the west, challenging its basis of representation from within (2004: 1) memodifikasi dan memelengkapi pola dominasi realisme barat, menantang kembali dominasi tersebut. Tekhnik penceritaan yang dipakai di dalam realisme magis ini, menurut Faris adalah dengan memodifikasi pola dominan barat dan menantang dominasi tersebut. dengan kata lain, tekhnik ini digunakan untuk mempertanyakan kembali struktur realisme yang selama ini telah disusun oleh

perspektive barat, dan memunculkan perlawanan/tantangan terhadap struktur realis tersebut yang juga hadir/muncul dari dalam struktur realis tersebut. Pemahaman yang dibangun oleh Faris disini adalah bagaimana suara-suara marginal yang selama ini tenggelam, kemudian muncul dari dalam unsur-unsur dominan yang selama ini memenuhi ruang yang dianggap realis. lebih rinci ditambahkan oleh Faris bahwa “magical realism combines realism and the fantastic so that the marvelous seems to grow organically within the ordinary, blurring the distinction between them (2004: 1), realisme magis mengkombinasikan realisme dan fantasi sehingga hal-hal yang luar biasa tampak hadir secara wajar dan tampak biasa, mengaburkan perbedaan diantara keduanya. Pada kutipan sebelumnya Faris mengimplikasikan bahwa suara-suara yang selama ini hilang, kemudian muncul kembali melalui suara yang selama ini memenuhi ruang. Kemudian pada kutipan diatas, dijelaskan kembali bahwa realisme magis merupakan penggabungan antara realisme dan fantasi, dimana di dalam penggabungan ini perbedaan diantara kedua unsur tersebut terlihat pudar sehingga hal-hal yang selama ini dianggap luar biasa terlihat wajar dan biasa karena teknik penceritaannya menggunakan teknik penceritaan realis yang di dalamnya mengandung unsur magis. Karena di dalam karya sastra realisme magis menunjukkan kontradiksi antara satu unsur dengan unsur yang lain; dimana unsur magis muncul di dalam unsur realis, maka Faris mendefinisikan bahwa “magical realism has also

contributed to the growth of a postmodern literary sensibility (2004: 1), realisme magis berkontribusi terhadap berkembangnya karya sastra postmodern. Dengan kata lain karya sastra realisme magis, digolongkan ke dalam karya sastra postmodern. Karena di dalam realisme magis, terdapat ketidak sambungan antara unsur realis dan magis yang muncul dalam satu ruang. Teori realisme yang diperkenalkan oleh Faris ini, ditujukan untuk mengupas karya sastra realisme magis. Dimana Faris menekankan bahwa penceritaan di dalam realisme magis, digunakan oleh pengarangnya untuk memunculkan unsur-unsur yang selama ini terpendam dan tidak berhasil muncul ke dalam karya sastra karena dominasi yang dihadirkan oleh perspektive realisme yang diwakili barat. Untuk itu teknik penceritaan realisme magis hadir untuk memodifikasi dominasi tersebut, bahwa ada unsur lain di dalam kehidupan yaitu unsur magis yang selama ini disangkal oleh dominasi realisme tersebut. “it also represents innovation and the re-emergence of submerged narrative traditions in metropolitan centers. (2004: 2). Realisme magis juga merepresentasikan inovasi dan menghadirkan kembali tradisi penceritaan yang selama ini dipendam ke dalam pusat metropolitan. Dengan kata lain, Faris mencoba menarik kesimpulan pada teori yang disusunnya bahwa teknik penceritaan realisme magis ini mencoba memunculkan tradisi yang dianggap tidak penting oleh dominasi realis, dan

unsur yang dianggap tidak penting tadi justru kemudian dihadirkan di dalam pusat metropolis. Hal yang selama ini fix dianggap real, kemudian digoncang dengan kehadiran unsur yang selama ini dimarginalkan (magis). Berdasarkan dengan pemaparan Faris tersebut, penggunaan teori khususnya konsep karakteristik karya realisme magis yang menurut Faris fiksi realisme magis memiliki lima ciri yang terkandung didalamnya yaitu The Irreducible Elements, The Phenomenal World, Merging Realms, The Unsettling Doubts, dan Disruptions of Time, Space and Identity. Sejalan dengan konsep tersebut, maka sangat penting untuk mengukur kadar realisme magis dalam cerpen Aajang. Tentang lima konsep tersebut, mula-mula Faris menjelaskan elemen yang berisikan tokoh dan peristiwa magis di dalamnya, yaitu the irreducible elements. Elemen yang tak tereduksi (the irreducible element) adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan menurut hukum alam sebagaimana diformulasikan dalam wacana empirisme Barat, yakni berdasarkan logika, pengetahuan umum, atau kepercayaan yang ada. Oleh karenanya, pembaca kesulitan menyusun bukti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang status peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam sebuah karya. The “irreducible element” is something we cannot explain according to the laws of the universe as they have been formulated in Western empirically based discourse, that is,

according to “logic, familiar knowledge, or received belief,” as David Young and Keith Hollaman describe it. (2004: 7) Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan tersebut disampaikan dengan cara yang biasa sehingga terasa menjadi sesuatu yang seperti (juga) nyata. Di sisi lain, yang magis tetap terlihat walaupun digiring melalui narasi sebagai sesuatu yang seolah-olah biasa, dengan cara penggambaran yang jelas, mendetail, dan konkret. Penggambaran yang demikian tampak seperti butiran pasir di dalam kerang realisme. In short, the magic in these texts refuses to be entirely assimilated into their realism; it does not brutally shock but neither does it melt away, so that it is like a grain of sand in the oyster of that realism. (2004: 9-10)

Sebagai imbas dari keganjilan yang tidak dapat dibantahkan tersebut, maka konsep-konsep logika empiris yang familiar dalam sudut pandang pembaca pada umumnya mengalami gangguan. Selama masa gangguan ini kemudian, maka pembaca kemudian mencoba mengisi kembali ruang logika yang terganggu tersebut dan mencoba menerjemahkan dan menyesuaikan bentuk logika yang baru tersebut dengan alam logika yang selama ini menghegemoninya. Dengan demikian maka pembaca memiliki peran yang aktif dalam penciptaan writerly text.

And because it disrupts reading habits, that irreducible grain increases the participation of readers, contributing to the postmodern proliferation of writerly texts, texts co-created by their readers. (2004: 9-10) Faris mengatakan bahwa elemen-elemen magis yang digunakan dalam fiksi realisme magis biasanya menyoroti isu sentral dalam teks. Isu sentral yang menjadi sorotan dapat terlihat dalam konteks-konteks fenomena yang terjadi di luar teks karya sastra itu sendiri. Ia berkaitan dengan semangat kritik dekonstruktif yang seringkali menjadi misi fiksi-fiksi realisme magis. In the course of highlighting such issues, irreducible magic frequently disrupts the ordinary logic of cause and effect. (2004: 10) Dalam menyoroti isu sentral, sering kali mengganggu logika sebabakibat. Untuk mengacaukan logika sebab akibat tersebut, maka unsur-unsur magis yang terkait tampak diabaikan sehingga hubungan sebab-akibat tersebut pun seolah-olah memiliki derajat yang sama dengan fenomena yang magis. Sebaliknya, fenomena nyata justru tampak menjadi menakjubkan dan konyol karena ketakjuban narator maupun tokoh-tokohnya atas fenomena tersebut. Menurut Faris salah satu sisi dalam realisme magis adalah sisi realismenya yang ia sebut sebagai The Phenomenal World. Dunia ini adalah bagian yang riil (aliran realisme) dari realisme magis yang mencegah fiksi tersebut agar tidak menjadi bentuk fiksi fantasi yang melambung meninggalkan

alam riil secara total. Hal inilah yang membedakan realisme magis dari karyakarya sastra prosa dalam bentuk fantasi dan alegori yang lain. Menurut Faris, dalam bagian phenomenal worlds ini, penggambaran terhadap dunia diegenesis diadopsi dengan cara meniru dunia real secara detail yang luas. Realistic descriptions create a fictional world that resembles the one we live in, often by extensive use of detail. (2004: 14) Selain itu, kehadiran dunia fenomenal adalah demi menjaga agar rasa yang magis tumbuh dari dalam yang real, bukan sebagai sesuatu yang betul-betul fantastis seperti halnya yang terjadi dalam karya-karya fiksi fantastis dan alegoris yang mengalihkan dunia pembaca dari tataran dunia riil menuju dunia yang dipenuhi dengan fantasi semata. Magis yang hadir dalam dunia riil bukanlah sesuatu yang fantastis yang muncul entah darimana, namun ia adalah unsur misterius yang bergetar dibalik dunia fenomenal. Dunia fenomenal yang menjadi latar bagi unsur-unsur magis tersebut terbagi kedalam dua jenis, yaitu: {1} kenyataan (yang real) didalam teks dan {2} kenyataan yang berlandaskan pada sejarah. Bila mengacu pada referensi, kenyataan (sejarah) menjadi unik, kadang menawarkan kenyataan alternatif. Kenyataan, baik jenis yang pertama maupun yang kedua, menjadi jangkar bagi yang magis agar tidak terbang menjadi cerita fantastis. Bagian selanjutnya adalah interaksi antar kedua unsur tersebut, yang menciptakan ruang liminal antar yang magis dan riil yang disebut oleh Faris sebagai Unsettling Doubts. Dunia liminal ini mengundang keraguan yang hadir

ketika pembaca mengalami dua pemahaman yang kontradiktif (magis dan real) atas peristiwa. A third quality of magical realism is that before categorizing the irreducible element as irreducible, the reader may hesitate between two contradictory understandings of events, and hence experience some unsettling doubts. (2004: 17) Keraguan yang hadir ini terikat pada konteks budaya pembaca, apakah ia akrab dengan budaya logis yang empirik yang mengasingkannya dengan logika magis, atau sebaliknya, bila ia lebih dekat dengan budaya logika magis dan mitis, maka ia juga tidak akan merasa janggal dengan kehadiran magis yang hadir dalam fiksi tersebut. Terutama bagi para pembaca yang akrab dengan dunia empirik, maka keraguan hadir karena yang magis (tradisional) dinarasikan dengan perspektif (empirik) dan model realisme. Menurut Faris, keraguan yang terjadi sering kali dipicu oleh sistem kepercayaan yang berbeda yang dipertemukan dalam realisme magis. The question of belief is central here, this hesitation frequently stemming from the implicit clash of cultural systems within the narrative, which moves toward belief in extrasensory phenomena but narrates from the post-Enlightenment perspective and in the realistic mode that traditionally exclude them.(2004: 17)

Keraguan

dapat

mengaburkan

irreducible

element,

sehingga

menjadikannya tidak selalu mudah untuk dilihat sebagaimana demikian. Teks sering mengacaukan sifat magis atau riil suatu fenomena dengan cara memancing pembaca untuk mengkooptasinya sebagai sebuah ilusi dan kemudian mencegah kooptasi

tersebut

dengan

narasi-narasi

argumentatif

yang

seakan-akan

menyokong kemagisan tersebut. Hal ini dapat berlangsung secara silih berganti sehingga pembaca terlempar kesana-kemari antara mengkooptasi fenomena tersebut sebagai bagian dari dunia riil atau menerimanya sebagai elemen magis. Magical realist scenes may seem dreamlike, but they are not dreams, and the text may both tempt us to co-opt them by categorizing them as dreams and forbid that co-option. (2004: 17) Keraguan dapat mengaburkan the irreducible element, seperti halnya dalam adegan mimpi. Adegan realisme magis dapat tampak seperti sebuah adegan mimpi, namun juga meragukan sebagai sebuah mimpi karena properti mimpi-mimpi tersebut yang luar biasa. Seperti yang diketahui bahwa pada sistem budaya tertentu, mimpi sering dianggap sebagai bagian dari fenomena magis, entah itu pewahyuan, firasat atau sebuah peramalan terhadap suatu peristiwa yang akan terjadi. Kita sering digiring oleh teks untuk ragu, namun kita juga bisa ragu karena propertinya yang mengagumkan dan jenis even tersebut apakah suatu unsur yang magis atau fenomena riil. Dalam karakteristik realisme magis yang selanjutnya, pembaca dapat merasakan kedekatan dan nyaris bersatunya dua dunia. Dari sudut pandang

sejarah kultural, sering menyatukan dunia tradisional dan modern. Secara ontologi, Merging Realms dalam realisme magis menyatukan dunia magis dan material. Dan dilihat dari pemaduan kata realisme dan magis dalam genre ini, maka teknik naratif ini dapat dilihat sebagai teknik yang mempertemukan dunia sisi dunia yang berlawanan, yaitu menggabungkan elemen kenyataan dan fantastis. From a metafictional perspective, if fiction is exhausted in this world, then perhaps these texts create another contiguous one into which it spills over, so that it continues life beyond the grave, so to speak. (2004: 22) Dalam proses penyatuan ke dua dunia tersebut, maka visi realisme magis terlihat berada pada ruang antara dua dunia yang diperluas dan bukan lagi merupakan masalah mana yang real maupun imajiner namun lebih kepada sisi lain dari realitas yang tampak. Dari segi metafiksional, hal ini dapat dipahami sebagai wujud fiksi mengalir dari dunia ini menuju ke dunia yang lain dan berlanjut kemudian berlanjut disana. Dalam proses penyatuan atau pemindahan antar dunia tersebut, realisme magis memburamkan batas antara yang fakta dan fiksi dengan cara menghilangkan mediasi antara kenyataan yang berbeda. Bagian terakhir yang merupakan ciri realisme magis menurut Faris adalah Disruptions of Time, Space, and Identity. Dalam bahasa Indonesia konsep ini bisa diterjemahkan sebagai Gangguan terhadap Waktu, Ruang dan Identitas. Pada bagian ini, Faris membuka argumennya dengan mengutip Jameson yang

mengatakan bahwa bentuk-bentuk spasial dan temporal tradisional tererosi oleh homogenitas yang dibawa oleh realisme. As Fredric Jameson sets out the project of realism, one thing it achieves is “the emergence of a new space and a new temporality” because realism’s spatial homogeneity abolishes the older forms of sacred space. Likewise the newly measuring clock and measurable routine replace “older forms of ritual, sacred, or cyclical time.” Even as we read Jameson’s description, we sense the erosion of this program by magical realist texts—and by other modern and postmodern ones as well. (2004: 24) Dan bila hitungan-hitungan temporal modern yang menjadi sasaran bagi visi realisme magis untuk menghadirkan kembali bentuk-bentuk hitungan temporal yang magis yang dibuang oleh paham modern seperti tersebut diatas, maka bentuk-bentuk spasial yang juga diasingkan oleh konsep tata ruang modern juga kembali dihadirkan melalui teknik naratif ini. Dalam realisme magis, batasbatas spasial magis yang semestinya terbuang terpisah dari spasial riil, mengalami kebocoran ke seluruh bagian teks dan sebaliknya. Like their nineteenth-century Gothic predecessors, many magical realist fictions delineate near-sacred or ritual enclosures, but these sacred spaces are not watertight; they leak their magical narrative waters over the rest of the texts and the worlds they describe, just as that exterior reality permeates them. (2004: 24)

Dalam penggambaran tentang identitas individu, sifat multivokal naratif dan hibriditas kultural merasuk kedalam identitas karakter-karakter. Sifat-sifat ini bahkan dapat mewujud kedalam karakter fisik tokoh-tokohnya. Identitas yang dipahami dalam dunia modern sebagai suatu entitas tunggal yang berada dalam diri seseorang dan membedakan dirinya dengan entitas lainnya, mengalami disrupsi sehingga tampak bentuk yang berlipat-lipat dalam diri seorang individu.Dengan demikian ciri akhir ini merusak tatanan yang dikenal dalam dunia modern dan menampilkan bentuk-bentuk lain yang termarjinalkan dalam modernisme, sesuai dengan yang dikatakan Faris: The multivocal nature of the narrative and the cultural hybridity that characterize magical realism extends to its characters, which tend toward a radical multiplicity. (2004: 25) Bertolak dari lima karakteristik tersebut yang mendefinisikan karya fiksi realisme magis sebagai sebuah teknik naratif yang mempertemukan unsur-unsur magis dan teknik naratif realisme di dalam dirinya. Maka akan terlihat ciri karya realisme magis secara garis besar yang meliputi hubungan relasional di antara keduanya seperti hubungan saling tumpang-tindih antar unsur, bentuk liminal dari pertemuan dua unsur-unsur tersebut, disraptions sebagai akibat interaksi unsur-unsur

magis

terhadap

konsep-konsep

realisme,

kemudian

dapat

disimpulkan hubungan hierarkis berupa gradasi antar unsur-unsur magis dan riil secara keseluruhan di dalam karya fiksi realisme magis tersebut.

1.6 Hipotesis Hipotesisi yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan pada latar belakang masalah, rumusan masalah, dan landasan teori bahwa teknik naratif karya realisme magis adalah mempertemukan unsur-unsur realisme dan unsurunsur magis. Magis hadir secara halus dalam realisme, diibaratkan balon udara yang terikat pada suatu benda di bumi sehingga tidak terbang kemana-mana, hal ini menjauhkan magis dari kesan alegori ataupun fantasi yang akan menjadikan magis terasing dalam dunia real, karena magis hadir tetap pada poros yang real. Dalam ranah kontekstual, karya realisme magis hadir untuk menyuarakan kembali persoalan-persoalan yang selama ini termarginalkan, menjadi media untuk menyampaikan kritik terhadap fenomena-fenomena sosial maupun tatanan diskursif yang hegemonik baik dalam ranah lokal maupun global. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Khrisna Pabichara dalam cerpennya yang berjudul Arajang, tidak dapat melepaskan diri dari ikatan ideologis dengan budaya Bugis Makassar. Secara kontekstual, cerpen Arajang memiliki keterkaitan yang kuat dengan konteks sosial dan budaya Bugis Makassar di Sulawesi Selatan.

1.7 Metode Penelitian Metode penelitian ini meliputi dua tahapan sebagai cara kerja yang diterapkan guna tercapainya tujuan penelitian ini, yaitu pengumpulan data dan analisis data.

1.7.1

Pengumpulan Data Pengumpulan data berasal dari dua sumber, yaitu data primer dan data

sekunder. Data Primer adalah satuan-satuan tekstual yang berasal dari cerpen Arajang karya Khrisna Pabichara berupa satuan-satuan kata, tanda baca, frase, baris, bait maupun rangkaian peristiwa yang terkait dengan tujuan penelitian dan teori Naratif Realisme Magis Wendy B. Faris dalam bukunya Ordinary Enchantments Magical Realism and Remystifiction of Narratives. Data sekunder berasal dari teks-teks yang berada di luar cerpen Arajang yang dianggap meiliki keterkaitan rumusan masalah dan asumsi yang diajukan tentang konteks sosial dan budaya serta ideologis dari cerpen Arajang. Teks-teks tersebut dapat berupa teks-teks tradisional seperti teks La Galigo, ataupun sumber-sumber penelitian ilmiah lainnya seperti jurnal, artikel serta buku yang dianggap mampu menjelaskan kondisi dan situasi sosial dan budaya serta ideologis yang menjadi konteks cerpen Arajang.

1.7.2

Analisis Data Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, maka

diperlukan analisis data yang meliputi tiga bagian. Pertama, Membuat klasifikasi data berdasarkan konsep Faris dalam dua konsep besar (realisme dan magis). Kedua, Mencari hubungan antara data-data realisme dengan data-data magis untuk melihat kemungkinan adanya irreducible element, the phenomenal world, unsettling doubts, merging realms, dan disruption. Hubungan itu ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah logika, apakah terdapat kontradiksi ketumpang tindihan antara yang real dan yang magis. Dalam rangka mengungkap gradasi, mengungkap hubungan hierarkis diantara keduanya. hubungan Logis, hubungan kontradiksi, overlapping, dan hubungan dominasi atau hubungan hierarkis, hubungan ideologis. Ketiga, Mencari hubungan antara teks dan konteks dengan melihat persoalan-persoalan yang muncul dalam teks dengan persoalan-persoalan sosial, ideologi, dan diskursif yang ada di masyarakat lokal atau nasional yang terkait.

1.8 Sistematika Penyajian Sistematika dari laporan penelitian ini akan disajikan dalam lima bab.

Bab I berupa pengantar yang berisi: 1.1. latar belakang, 1.2. rumusan masalah, 1.3. tujuan penelitian, 1.4. tinjauan pustaka, 1.5. landasan teori, 1.6. hipotesis, 1.7. metode penelitian, dan 1.8. sistematika penyajian.

Bab II berupa Karakteristik dan Kadar Realisme Magis dalam cerpen Arajang, berisi beberapa bagian yaitu: 2.1 Karakteristik realisme magis cerpen Arajang 2.2 Relasi Antar Elemen dan 2.3. Kadar Realisme Magis cerpen Arajang.

Bab III berupa konteks sosial cerpen Arajang yang berisi perbandingan konteks wacana dalam cerpen dengan konteks sosial dan budaya serta ideologis di Sulawesi Selatan.

Bab IV berisi kesimpulan.