BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Laporan American Psychiatric ... skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi ... Untuk mengetahui berapa besar proporsi kasus relaps skiz...

17 downloads 597 Views 468KB Size
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi, gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, menunjukkan afek yang datar serta terganggunya relasi personal. Skizofrenia merupakan suatu penyakit di bagian otak yang persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006). Laporan American Psychiatric Association (1995) menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia adalah 1% dari populasi penduduk dunia menderita gangguan jiwa, sedangkan menurut hasil penelitian di Indonesia, terdapat sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia yang berarti 2-4 juta jiwa dan dari jumlah tersebut diperkirakan penderita skizofrenia yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Oleh karena itu, siapa saja bisa terkena skizofrenia tanpa melihat jenis kelamin, status sosial maupun tingkat pendidikan.(Siswanto, 2009). beberapa faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan dalam proses persalinan dan

Universitas Sumatera Utara

stressor psikologis. Penting untuk memelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia. Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan. (Kaplan & Sadock, 2010) Berdasarkan statistik usia terbanyak penderita Skizofrenia adalah 15-30 tahun, namun pada imunologi dikenal juga penyakit skizofrenia yang dialami oleh anakanak sekitar usia 8 tahun dan pada usia lanjut lebih dari 45 tahun. Kondisi yang ada lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani dengan optimal baik oleh keluarga maupun tim medis yang ada. Pasien – pasien yang menderita skizofrenia dibiarkan berada di jalan – jalan, bahkan ada pula yang dipasung oleh keluarga. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan terjadi peningkatan jumlah penderita skizofrenia yang memerlukan rawat inap di rumah sakit dari waktu ke waktu. Perawatan kembali pasien dengan skizofrenia lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien gangguan mental berat lainnya.(Linden, 2005) Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% klien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat, 50-80% klien skizofrenia yang pernah dirawat di RS akan kambuh.(Carson & Ross, 2000)

Universitas Sumatera Utara

Proses penyembuhan pada pasien gangguan jiwa harus dilakukan secara holistik dan melibatkan anggota keluarga. Tanpa itu, sama halnya dengan penyakit umum, gangguan jiwa pun bisa kambuh. Koping keluarga sangat penting untuk ikut berpartisipasi dalam proses penyembuhan karena keluarga merupakan pendukung utama dalam merawat pasien. Oleh karena itu, asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan pasien tetapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dalam keluarga. (Syaifullah, 2005) Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan “perawat utama” bagi penderita. Keluarga harus memiliki koping yang adaftif dalam mengatasi/menghadapi penderita skizofrenia untuk menentukan cara atau perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita dirumah. Keluarga jarang mengikuti proses keperawatan penderita karena jarang mengunjungi penderita di rumah sakit, dan tim kesehatan di rumah sakit juga jarang melibatkan keluarga (Keliat, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Koping keluarga merupakan cara keluarga menghadapi/menangani penderita skizoprenia remisi sempurna sehingga tidak terjadi relaps. Keluarga pasien perlu mempunyai sikap yang positif untuk mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia. Keluarga perlu memberikan dukungan (support) kepada pasien untuk meningkatkan motivasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan perawatan secara mandiri. Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien, memberikan respons positif kepada pasien, menghargai pasien sebagai anggota keluarga dan menumbuhkan sikap tanggung jawab pada pasien. Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga terhadap pasien akan berpengaruh terhadap kekambuhan pasien. (Keliat, 1996) Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik. Koping keluarga sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara pribadi dan membantu pemecahan masalah pasien. (Rubbyana, 2012) Dinamika keluarga yang penuh konflik akan sangat mengganggu ruang hidup yang ada pada keluarga dan akibatnya lebih beresiko pada kekambuhan pasien skizofrenia. Pencegahan kekambuhan pasien di lingkungan keluarga dapat terlaksana dengan persiapan pulang yang baik dan mobilisasi fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat khususnya koping keluarga yang adaptif terhadap pasien (Arif, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Menurut Torrey sebagaimana yang dikutip oleh Gunarsa (2004), keluarga perlu memiliki sikap yang tepat tentang skizofrenia, disingkatnya dengan SAFE (Sense of humor, Accepting the illness, Familliy balance, and Expectations are realistic). Sedangkan menurut Freidmen(2005), strategi koping keluarga yang baik merupakan kunci pertama proses penyembuhan atau pencegahan kekambuhan skizofrenia. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi, tidak mengasingkan penderita dan memuji tindakan yang dilakukan pasien. Demikian juga menurut para ahli psikiatri, mengatakan banyak hal yang dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu yang paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat. Menurut Sasanto, kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu peran keluarga juga dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan relaps (Vijay 2005). Penyebab kekambuhan pada penderita gangguan skizofrenia pasca dari RSJ adalah keluarga yang kurang harmonis atau kurang kondusif. Hubungan dengan saudara yang kurang akrab, penderita yang memang malas serta merasa bosan kontrol secara rutin sehingga minum obat menjadi tidak teratur. Kurang adanya dukungan dalam pengontrolan minum obat penderita dari keluarga sehingga rawat jalan menjadi tidak stabil kemudian faktor di luar keluarga yaitu stressor lingkungan yang berlebihan salah satunya pekerjaan yang menumpuk.(Abidin, 2007) Ketidakpatuhan minum obat menunjukkan bahwa sebagian besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sejumlah faktor tampaknya

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan, termasuk hubungan dokter atau tim medis lainnya dengan pasien yang negatif, ongkos pengobatan, efek samping obat yang dirasakan oleh pasien, lamanya pengobatan, dan dukungan sosial yang buruk dari keluarga terdekat pasien skizofrenia. (Rubbyana, 2012) Menurut Umbricht dan Kane (1996), tidak mengejutkan bila efek-efek samping negatif obat juga merupakan faktor penting bagi penolakan pasien. Antipsikotik dapat menghasilkan sejumlah gejala fisik yang tidak dikehendaki, seperti grogginess (pusing), pandangan kabur, dan mulut kering (Durand, 2007). Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya (Tambayong, 2002). Ketidakpatuhan pemakaian obat akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk (Siregar, 2006). Penelitian yang dilakukan Ayuso Guitereez (1997) menjelaskan bahwa 73% penderita skizofrenia memerlukan perawatan kembali karena ketidakpatuhan terhadap

Universitas Sumatera Utara

pengobatan. Keluarga dapat membantu kepatuhan pasien minum obat dengan memperhatikan jadwal pasien minum obat dan mengamati efek samping yang terjadi pada pasien. Tingkat perawatan kembali biasanya digunakan sebagai indikator dalam bidang pelayanan kesehatan dan digunakan untuk

menentukan efektifitas

penatalaksanaan selama rawat inap (Tattan, 2001). Menurut data yang ditemukan berdasarkan penelitian Slamet, dibeberapa rumah sakit lain menunjukkan bahwa di RSJ Jakarta, Prevalensi rawat ulang penderita gangguan jiwa adalah 46% di RSJ Semarang, rawat ulang sebesar 56,4% dan pada Instalasi Rawat Inap IV Perawatan Jiwa RSU dr Sardjito adalah 61% (Indrati, 1990). Penelitian terakhir pada tahun 2003 oleh Slamet, di RS yang sama menunjukkan peningkatan perawatan kembali pasien skizofrenia menjadi 69,9% (Andriza, 2007). Tabel 1.1. Jumlah Pasien Gangguan Jiwa yang Dirawat dan Jumlah Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 Jumlah Pasien Jumlah Pasien Jumlah Pasien No Tahun Gangguan Jiwa Skizofrenia Skizofrenia Paranoid yang Dirawat Paranoid yang Dirawat Berulang 1 2010 1.949 1.728 (88,6%) 884 (51,1%) 2 2011 2.216 1.814 (81,8%) 925 (50,9%) 3 2012 2.138 1.671 (78,1%) 1.174 (70,2%) 4 2013 2.234 1.862 (83,3%) 1.226 (65,8%) Sumber : Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2010- 2013 Berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat bahwa adanya peningkatan jumlah pasien gangguan jiwa dari tahun 2010 s.d 2013 di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Dan dari angka tersebut sebanyak 80% gangguan jiwa tersebut

Universitas Sumatera Utara

didiagnosa skizofrenia paranoid. Dari jumlah penderita skizofrenia paranoid tersebut yang mengalami kekambuhan atau dirawat ulang kembali dari tahun 2010 s.d 2013 menurnjukkan peningkatan. Dari data pada tahun 2013 sebanyak 1.862 orang pasien skizofrenia paranoid yang dirawat terdapat 1.226 orang ( 65,8%) adalah pasien yang dirawat ulang kembali. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien skizofrenia paranoid yang mengalami kekambuhan angkanya meningkat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga Terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014”. Hal ini juga didukung bahwa belum ada data tentang pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga

Terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014?

Universitas Sumatera Utara

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014. 1.3.2. Tujuan Khusus a.

Untuk mengetahui pengaruh kepatuhan pengobatan (penyakit, regimen terapi dan interaksi pasien dengan professional kesehatan) terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

b.

Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga internal terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

c.

Untuk

mengetahui

pengaruh

koping

keluarga

eksternal

terhadap

pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. d.

Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi kekambuhan dan ketidakkambuhan berdasarkan karakteristik keluarga dan karakteristik penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

e.

Untuk mengetahui probabilitas pencegahan kekambuhan skizofrenia yang diperankan oleh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga

f.

Untuk mengetahui berapa besar proporsi kasus relaps skizofrenia paranoid dalam populasi total dapat dicegah bila faktor resiko dihilangkan.

1.4. Hipotesa Hipotesis penelitian adalah adanya pengaruh antara kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis a. Pengembangan ilmu kedokteran jiwa terhadap penatalaksanaan pasien skizofrenia paranoid. b. Verifikasi tentang teori ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan koping keluarga dengan perawatan kembali (Rehospitalisasi) pasien skizofrenia paranoid. 1.5.2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di dalam perencanaan kebijakan pelayanan khususnya sebagai pertimbangan dalam perencanaan farmakoterapi.

Universitas Sumatera Utara

b. Bagi keluarga Menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia paranoid koping keluarga untuk mencegah kekambuhan pasien skizofrenia paranoid. c. Bagi Masyarakat Masyarakat mengerti tentang skizoprenia paranoid dan dapat memberi dukungan sosial mencegah kekambuhan sehingga dapat mengurangi frekwensi perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid. d. Bagi Rumah Sakit Jiwa Dapat melakukan program pelatihan dan edukasi bagi keluarga serta melakukan program integrasi puskesmas agar kasus kasus gangguan jiwa dapat terdeteksi secara dini dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dijangkau oleh masyarakat luas.

Universitas Sumatera Utara