BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG KAWASAN TEPIAN SUNGAI

Download Gambar 1.6 Sungai-Sungai Besar di Kota Banjarmasin. (Observasi, 2013). Menurut Prayitno (2004) bahwa daerah tepian sungai merupakan salah s...

1 downloads 437 Views 2MB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kawasan tepian sungai adalah termasuk kawasan tepian air yang memiliki

beberapa kelebihan, terutama berkaitan dengan fungsi dan aksessibilitas yang lebih strategis. Dengan memanfaatkan sungai manusia dapat berpindah-pindah, mendapatkan

permukiman

baru

mereka

untuk

selanjutnya

menetap

dan

berkembang menjadi permukiman yang lebih ramai, menjadi desa, lalu berkembang menjadi kota. Kondisi geografis negara Indonesia yang memiliki banyak sungai sebagai orientasi kehidupan menjadikan tepian sungai sebagai tempat bermukim dan mendapatkan mata pencaharian. Hal ini terjadi pada kawasan perkotaan maupun perdesaan yang mulai terbentuk sejak manusia mulai dapat memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi dan sumber daya alam yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 1.1 Kota-Kota Tepian Air di Indonesia Sumber: Heldiyansyah, 2010

1.1.1

Kota Banjarmasin Kota Tepian Sungai Banjarmasin merupakan salah satu ibukota provinsi di Pulau Kalimantan

yang memiliki banyak sungai sebagai salah satu sumber daya alamnya. Kota Banjarmasin merupakan sebuah kota delta atau kota kepulauan yang terdiri dari sedikitnya 25 buah pulau kecil dan merupakan bagian-bagian kota yang dipisahkan oleh sungai-sungai. Dilihat secara makro, Kota Banjarmasin merupakan suatu wilayah dengan batas geografi yang menurut keadaan fisiknya banyak memiliki sungai. Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter kota Banjarmasin secara fisik karena 40% dari wilayahnya terdiri dari sungai-sungai besar maupun kecil yang saling berpotongan.

1

Gambar 1.2 Peta Kota Banjarmasin Sumber: Pemda Kota Banjarmasin, 2006

Banjarmasin merupakan kota yang berbasis budaya perairan (water culture), hal ini bisa ditelusuri dari catatan sejarah perkembangan Kota Banjarmasin. Sungai dan kehidupan budaya disekililingnya merupakan saksi sejarah terbentuknya Kota Banjarmasin (Gambar 1.3). Diperkirakan muncul pada perempat kedua abad ke 16, Kota Banjarmasin awalnya dibangun di daerah muara tepian Sungai Kuin dan Alalak (Subiyakto, 2005). Banyaknya sungai yang mengaliri kota ini telah ada secara alami, ditambah juga adanya kanal-kanal (saluran air/kali) dan anak sungai yang banyak dibuat oleh pemerintah Belanda pada jaman penjajahan.

Gambar 1.3 Tepi Sungai Kota Banjarmasin Masa Lampau Sumber: bumibanjar.blogspot.com

2

Sungai juga menjadi lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di beberapa titik di sepanjang tepian sungai. Besarnya fungsi sungai dan kayanya sejarah yang tersimpan disana sehingga bisa dikatakan pertumbuhan dan perkembangan

Kota

Banjarmasin

dapat

ditelusuri

dari

pertumbuhan

dan

perkembangan permukiman tepi sungainya (Gambar 1.4).

Gambar 1.4 Tepi Sungai Kota Banjarmasin Masa Sekarang Sumber: infomasjidkita.com

Perkembangan kota Banjarmasin sebagai ibukota propinsi Kalimantan Selatan semakin pesat. Fungsinya sebagai kota perdagangan (industri) dan kota pelabuhan yang dikenal dengan “Kota Seribu Sungai” tidak didukung dengan tatanan kota yang baik. Kini tidak kurang 30 sungai kehilangan fungsi karena banyak

yang

tersumbat

akibat

rapatnya

bangunan,

pengurukan

tanah,

pendangkalan, menjadi buangan sampah, pencemaran limbah rumah tangga dan kegiatan

berbagai

usaha masyarakat

(Dinas

Sungai

dan

Drainase

Kota

Banjarmasin, 2009 (Gambar 1.5)). Sedangkan sekitar 80-an tahun lalu, Saat itu sungai menjadi jalan utama di Banjarmasin sebagai jalur transportasi. Orang-orang bepergian menggunakan berbagai jenis jukung. Hingga akhir 70-an, kehidupan masyarakat Banjarmasin masih sangat bergantung pada sungai.

Gambar 1.5 Pergerakan Kawasan Tepian Sungai di Kota Banjarmasin Sumber: Dinas Sungai dan Drainase, 2007

3

Sungai besar yang ada di Kota Banjarmasin (lebar lebih dari 500 meter), yaitu Sungai Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak (Gambar 1.6). Sungai Barito terletak di sebelah barat Kota Banjarmasin merupakan sungai terbesar (utama). Sungai Barito mempunyai banyak anak sungai, dan wilayah di sepanjang aliran sungai ini sejak jaman dulu telah menjadi tempat pemukiman penduduk dan lokasi kota-kota banyak yang berada di sekitar muara sungai. Disamping itu ada berpuluh-puluh sungai lain yang berpotongan satu sama lain, semuanya bermuara ke Sungai Martapura dan ke Sungai Barito. SUNGAI ALALAK

SUNGAI BARITO

SUNGAI MARTAPURA

Gambar 1.6 Sungai-Sungai Besar di Kota Banjarmasin (Observasi, 2013)

Menurut Prayitno (2004) bahwa daerah tepian sungai merupakan salah satu bentuk pilihan lokasi permukiman yang pada awal pertumbuhannya ditandai dengan terbentuknya suatu konsentrasi penduduk dengan membentuk kelompokkelompok

bermukiman

disekitar

daerah

aliran

sungai.

Namun

dalam

perkembangannya, kota-kota air tersebut mengalami kemunduran baik fungsi maupun citra perkotaannya akibat perkembangan transportasi darat dan pusatpusat kegiatan baru di luar kawasan tepian air. Hal ini berdampak jelas pada kondisi ruang publik perkotaan yang berkesan kumuh dan statis.

4

1.1.2

Permukiman Tepi Sungai di Banjarmasin Pada awal perkembangan pola permukiman di Kota Banjarmasin

berbentuk linier mengikuti alur sungai-sungainya. Hal ini dapat dilihat dari rumahrumah tradisional yang masih bertahan hingga sekarang. Ketergantungan masyarakat yang bermukim di sepanjang jalur sungai terhadap sungai ini sangat besar, karena para pemukim mendekati sumber air untuk kegiatan mereka seharihari serta berkaitan dengan mata pencaharian mereka sebagai pedagang yang menggunakan sungai sebagai jalur transportasi perdagangan (Gambar 1.7). Pada kiri kanan sungai yang sejajar dengan jalan didirikan atau dibangun permukiman dan berbagai bangunan yang diperlukan bagi kelengkapan permukiman penduduk seperti pabrik, pelabuhan dan kegiatan ekonomi lainnya.

Gambar 1.7 Sejarah Kota Banjarmasin Berbasis Budaya Perairan Sumber: unicborneobali.blogsot.com

Fenomena saat ini permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin semakin tidak terkendali, sungai yang semakin menyempit, berkurang, dan bahkan mati, permukiman cenderung kumuh dan tidak tertata, budaya berhuni ditepian sungai yang semakin pudar, bahkan fungsi sungai sebagai sumber air sudah berada pada ambang membahayakan (Gambar 1.8).

Gambar 1.8 Permukiman Tepi Anak Sungai Alalak Selatan dan Alalak Tengah (Dokumentasi Pribadi, 2013)

5

1.1.3

Ragam Keruangan Permukiman Produktif Kota Banjarmasin sebagai kota tepian sungai menunjukkan adanya

perkembangan kota dengan kegiatan industrinya yang meningkat cukup pesat, hal ini mengakibatkan kawasan-kawasan di kota Banjarmasin mengalami perubahan suatu fungsi lahan dari pertanian atau tambak menjadi permukiman dan industri sehigga terjadi urbanisasi secara cepat seiring dengan perkembangan industrinya. Keberadaan industri-industri ini membutuhkan banyak tenaga kerja, dimana tenaga kerja tersebut tidak hanya berasal dari lingkungan permukiman sekitarnya melainkan banyak yang berasal dari luar kawasan tersebut.

Gambar 1.9 Industri Pengolahan Kayu Tepi Sungai Kawasan Alalak Tengah dan Alalak Selatan (Dokumentasi Pribadi, 2013)

Seperti tampak pada kawasan Alalak Tengah dan Alalak Selatan dimana perkembangan industri dan prasarana yang ada dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan memanfaatkan hunian sebagai tempat produksi atau usaha lainnya yang mendukung tanpa memperhatikan kelayakan hunian yang dapat mengakibatkan merosotnya mutu lingkungan permukiman dan memunculkan suatu ragam keruangan pada kawasan tersebut. Industri pengolahan kayu di kawasan Alalak Tengah dan Alalak Selatan merupakan generator bagi pertumbuhan permukiman baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, juga memberi dampak lain yang tidak kalah penting yaitu terjadi pertumbuhan permukiman yang cepat dan tidak terkendali sehingga mengakibatkan ketidakteraturan dalam pengembangan permukiman, yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya sarana yang mendukung keberadaan industri yaitu hunian bagi buruh atau pekerja.

6

Secara terminologis, Mulyati

dalam Hamzah F. Rachman (2010)

menjelaskan bahwa “keruangan” adalah bagian dari ruang (space) fisik yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal, pola dan bentuk bangunan yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat. Keruangan dalam hal ini merupakan bentuk fisik daerah atau kawasan dalam konteks suatu kota. Menurut Catanesse dan Snyder dalam Hamzah F. Rachman (2010) bahwa terdapat dua dasar kunci dalam pembentukan elemen-elemen keruangan kawasan yakni dasar fisik suatu kawasan yaitu perwujudan dari kenampakan berupa bangunan-bangunan, jalur jalan, dan benda-benda lain yang mempengaruhi bentuk kawasan tersebut dan dasar ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa dasar fisik dan dasar ekonomi merupakan elemen keruangan yang ikut berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu kawasan dimana terjadinya interaksi antar kawasan sebagai bagian dari suatu proses pembentukan karakter kawasan tersebut. Sama halnya dengan Kawasan Alalak Tengah dan Alalak Selatan yang menggabungkan fungsi kawasan sebagai kawasan permukiman dengan kegiatan lain yaitu perdagangan dan jasa (ekonomi) sehingga memunculkan berbagai macam tipe keruangan yang terbentuk dari elemen fisik dan non fisik (sosial, budaya dan ekonomi) dalam kawasan penelitian (ragam keruangan). Pertumbuhan industri yang memanfaatkan hunian tumbuh pesat di berbagai kawasan permukiman. Hampir setiap permukiman tumbuh kegiatankegiatan yang berbasis pada sektor ekonomi yang berupa kegiatan perdagangan dan jasa serta kegiatan industri. Namun perlu disadari bahwa pengembangan ekonomi lokal sering berbenturan selain masalah pembiayaan juga pemanfaatan permukiman untuk tempat kerja. Hunian sering digunakan masyarakat untuk usaha industri akibat dari ketiadaan modal untuk menggunakan bangunan atau kawasan industri, seperti industri pengolahan kayu di kawasan permukiman tepi sungai Alalak Tengah dan Alalak Selatan. Hunian merupakan merupakan satu-satunya tempat untuk pengembangan usaha yang paling murah.

7

Dengan demikian dapat dipahami bahwa saat ini kawasan permukiman berkembang menjadi kawasan hunian campuran. Hal ini yang menjadi konflik dalam penataan ruang permukiman yang berdampak pada kawasan tersebut. Menurut Wiwik Widyo W. (2003) bahwa kemampuan berkembangnya komponen ekonomi permukiman didasarkan atas preservasi dan pengembangan dari: a.

Lingkungan atau sumberdaya alam

b.

Masyarakat atau sumberdaya manusia

c.

Keuangan atau sumberdaya finansial

d

Infrastruktur, fasilitas produktif atau sumberdaya buatan

e.

Institusi atau sumberdaya kelembagaan

Adanya aktivitas bermukim di kawasan Alalak Tengah dan Alalak Selatan memunculkan ragam keruangan (berbagai macam tipe keruangan) tersendiri dan mengakibatkan

kondisi

ruang

sepanjang

tepi

sungai

di

kawasan

dalam

perkembangannya terus mengalami perubahan secara fisik berupa: a.

Degradasi Lingkungan Pendangkalan alur, penyempitan sungai dan penyumbatan aliran air akibat semakin banyaknya permukiman liar yang di bangun sepanjang bantaran sungai dan sampah permukiman yang dibuang ke sungai.

b.

Permukiman Kumuh Pertumbuhan massa bangunan yang terus berkembang dan terkonsentrasi di sepanjang tepian sungai yang menyebabkan padatnya permukiman penduduk, dimana hampir tidak ada jarak yang memisahkan antar bangunan dan keberadaan fungsi lain yang berbaur menjadi satu (industri saw mill/pengolahan kayu).

Gambar 1.10 Permukiman Padat Tepian Sungai Sumber: 500px.com

8

c.

Peralihan Oriantasi Akibat Dinamisme Pambangunan Sungai tidak lagi menjadi „muka depan‟ aktivitas namun justru menjadi „muka belakang‟, permukiman menghadap ke jalan darat sebagai akses utama aktivitas (dari menghadap sungai menjadi membelakangi sungai).

d.

Modernisasi Dan Perubahan Budaya Serta Pola Hidup Masyarakat Nilai-nilai budaya lokal yang akrab dengan sungai, kini kian memudar karena pembangunan permukiman kota lebih berorientasi pada model pembangunan berbasis lahan (daratan) sehingga rumah panggung tidak diminati lagi karena dianggap kuno bahkan keberadaan rumah lanting sudah mulai hilang.

e.

Pergeseran Fungsi Dan Paradigma Perlakuan Terhadap Sungai Perubahan orientasi fungsi secara tidak langsung memberikan andil besar terhadap perubahan „perlakuan‟ terhadap sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta aktivitas „belakang‟ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat.

Gambar 1.11 Sungai sebagai Area Belakang Permukiman Sumber: hasanzainuddin.wordpress.com

f.

Hilangnya Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Publik Hilangnya ruang untuk bersosialisasi di sepanjang tepian sungai seperti lapangan olahraga, taman bermain ataupun area parkir semakin terbatas, akibat peran sungai yang cukup penting bagi aspek kehidupan masyarakat menyebabkan permukiman penduduk yang ada di sepanjang tepian sungai tersebut menjadi sangat padat dengan aksesibilitas antar bangunan yang minim.

9

Gambar 1.12 Permukiman Padat Tanpa Adanya Ruang Terbuka Hijau/Publik Sumber: 500px.com

1.1.4

Permukiman Produktif (Industri Pengolahan Kayu) Sepanjang Tepi Sungai di Banjarmasin Seperti halnya di darat, kota yang berlokasi di tepi sungai berupaya untuk

memanfaatkan potensi letaknya, yaitu dalam hal menyediakan ruang dan akses untuk kegiatan industri dan komersial untuk mendukung keberadaan permukiman di sekitarnya tepi sungai. Disamping jalur darat, sampai saat ini penggunaan jalur sungai merupakan jalur penting bagi aktivitas perekonomian untuk transportasi guna memperlancar perhubungan dan pengangkutan komoditas antar tempat atau daerah lain, seperti halnya di tepi sungai Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan. Kawasan permukiman tersebut memanfaatkan tepi sungai untuk melakukan aktivitas ekonomi berupa industi pengolahan kayu.

BANSAW (WORKSHOP AREA)

BANSAW (WORKSHOP AREA)

GALANGAN (DISPLAY AREA)

GALANGAN (DISPLAY AREA)

Gambar 1.13 Permukiman Produktif Industri Pengolahan Kayu Kawasan Tepi Sungai Alalak Tengah dan Alalak Selatan (Dokumentasi Pribadi, 2013)

10

1.2

Permasalahan Pergeseran fungsi dan perlakuan terhadap sungai, serta pendangkalan

dan penyempitan sungai yang menghilangkan karakteristik kota Banjarmasin yang merupakan kota berbasis sebagai kota seribu sungai. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi di Kelurahan Alalak Selatan dengan 12.206 jiwa dan Alalak Tengah dengan yaitu 8.397 jiwa di tahun 2012, menyebabkan permukiman di kawasan sepanjang tepian sungai Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan semakin padat serta memunculkan suatu ragam keruangan di kawasan permukiman produktif itu sendiri (Gambar 1.14).

Gambar 1.14 Permukiman Produktif Industri Pengolahan Kayu Tepi Sungai KAwasan Alalak Tengah dan Alalak Selatan (Dokumentasi Pribadi, 2013)

1.3

Pertanyaan Penelitian Sebagai kawasan yang awalnya tumbuh secara alami tanpa adanya

perencanaan hingga kondisi saat ini, dimana kawasan tepian sungai yang ada telah menjadi sangat padat oleh adanya permukiman yang tidak teratur maka menarik untuk dilakukan penelitian terhadap kawasan ini. Dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka dapat ditarik beberapa pertanyaan yang terkait dengan penelitian yaitu: 1.

Seperti apa ragam keruangan (tipologi) tepi sungai di kawasan permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan?

2.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ragam keruangan (tipologi) tepi sungai di kawasan permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan?

3.

Bagaimana konsep (guidelines) penataan keruangan kawasan permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan sesuai dengan ragam keruangan tepi sungai yang ada?

11

1.4

Tujuan Penelitian Mengkaji ragam keruangan tepi sungai di kawasan permukiman produktif

sepanjang tepian sungai di Kelurahan Alalak berdasarkan pola massa kawasan dan tata ruang perkotaan serta aktivitas masyarakat yang ada bertujuan: 1.

Mengatahui

ragam

keruangan

(tipologi)

tepi

sungai

di

kawasan

permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan. 2.

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ragam keruangan (tipologi) tepi sungai di kawasan permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan.

3.

Menggambarkan konsep (guidelines atau arahan desain) penataan keruangan kawasan permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan sesuai dengan ragam keruangan tepi sungai yang ada.

1.5

Sasaran Penelitian Berdasarkan hasil guidelines dari penelitian mengenai ragam keruangan

tepi sungai kawasan permukiman produktif Alalak Tengah dan Alalak Selatan ini sasaran yang ingin dicapai adalah: 1.

Meningkatkan karakter fisik

kawasan

sebagai

bagian

dari

upaya

mewujudkan 
 kota berbasis tepian sungai melalui penataan kembali kawasan permukiman produktif (industri olah kayu) di Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan. 2.

Menciptakan penataan ruang yang sesuai dengan fungsi kawasan sebagai permukiman produktif serta mengembalikan peran dan fungsi sungai di kawasan tepian sungai Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan yang tetap mempertimbangkan perkembangan kawasan di tinjau dari aspek urban design dan sosial ekonomi masyarakat bantaran sungai guna pengembangan dan pelestarian kawasan tepian sungai yang tidak mengganggu/merusak fungsi dan peran sungai.

3.

Meningkatkan perkembangan kawasan dengan memperhatikan ragam keruangan sungai, nilai sosial dan ekonomi, identitas kawasan sebagai daerah tepian sungai, serta mendukung pembentukkan citra kota dengan menghidupkan kembali budaya sungai yang pernah ada di kawasan tersebut.

12

1.6

Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1.

Sebagai

bahan

pertimbangan

bagi

pemerintah

daerah

khususnya

Pemerintah Kota Banjarmasin dalam upaya penyempurnaan kebijakan pengendalian

tata

guna

lahan

dan

peraturan

pembangunan

dan

pengembangan permukiman tepian air (tepian sungai). 2.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pihakpihak lain dalam meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya pola pengembangan permukiman tepian air dalam mendukung struktur tata ruang kawasan kota, khususnya kawasan tepian sungai.

13

1.7

Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

NO.

PENELITI

JUDUL

LOKUS

FOKUS

TEMUAN

1.

Wijanarka, 2001

Dasar-Dasar Konsep Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Tepi Sungai di Palangkaraya

Kawasan Tepian Sungai Palangkaraya

Mencari dasar-dasar konsep untuk pelestarian dan pengembangan kawasan-kawasan di Palangkaraya

Pengembangan kawasan tepi air dipengaruhi oleh pola perairan, fungsi perairan, kondisi awal dan prospek dan fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia

2.

Miftahul Chair, 2002

Karakteristik dan Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Permukiman di Kawasan Sekitar Aliran Sungai Martapura

Kawasan Aliran Sungai Martapura

Karakteristik permukiman dan faktor dominan yang mempengaruhi kondisi permukiman

Karakteristik permukiman tepian air terbagi atas karakteristik sosial ekonomi penghuni, fisik bangunan, fisik lingkungan dan perubahan bentuk bangunan.

3.

J.C. Heldiansyah, 2009

Kajian Pola Peningkatan Kualitas Lingkungan Tata Ruang Kota Sungai Kota Banjarmasin

Kawasan Tepian Sungai Kuin, Sungai Martapura (Sabilal Muhtadin dan Kel. Sungai Jingah) dan Kawasan Sungai Kelayan

Mengkaji pola peningkatan kualitas lingkungan tata ruang kawasan tepian air

Rendahnya kualitas lingkungan tepian sungai dipengaruhi oleh faktor sirkulasi dan jalur penghubung, tata guna lahan dan tata bangunan dihubungkan dengan pola kawasan.

4.

Betty Goenmiandari, 2010

Konsep Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Kota Banjarmasin Berdasarkan Budaya Setempat

Kawasan Sungai Jingah

Mengidentifikasi keterkaitan penghuni permukiman pinggir sungai dengan sungai dan penyebab pola perubahan kehidupan akibat berubahnya orientasi bermukim

Keterrkaitan penghuni permukiman pinggir sungai dengan sungai dipengaruhi oleh transportasi, faktor ekonomi, aktivitas sosial budaya dan pemenuhan akan air bersih dan air minum.

5.

Annisa Aini A., 2014

Ragam Keruangan Tepi Sungai di Kawasan Permukiman Produktif Alalak, Banjamasin

Kawasan Tepian Sungai Kel. Alalak Tengan dan Kel. Alalak Selatan

Mengkaji ragam (tipe-tipe) keruangan (konfigurasi) permukiman produktif (industri pengolahan kayu) di tepian sungai

Tipologi (tipe-tipe) keruangan dihubungkan dengan pola massa bangunan pembentuk kawasan permukiman produktif tepian sungai.

Sumber: Dirangkum dari berbagai tesis, 2013

14

1.8

Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman mengenai tulisan ini, disusunlah

sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Berisi Latar Belakang, Kota Banjarmasin Kota Seribu Sungai, Permukiman Tepi Sungai di Banjarmasin, Ragam Keruangan Permukiman Produktif, Permukiman Produktif (Industri Pengolahan Kayu) Sepanjang Tepi Sungai di Banjarmasin, Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Sasaran Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Membahas tinjauan teoritis mengenai Ragam Keruangan, Tipologi, Tipologi Permukiman Tepi Air, Tinjauan Kawasan Tepian Air, Elemen Perencanaan Kawasan Tepian Air, Karakteristik Kawasan Tepian Air, Tinjauan Permukiman, Pola Permukiman, Pola HUnian di Atas Air, Tinjauan Permukiman Kawasan Tepian Sungai, Pola Permukiman Kawasan Tepian Air, Ciri/Bentuk Fisik Permukiman Kawasan Tepian Sungai, KetentuanKetentuanTerkait Kawasan Tepi Sungai, Permukiman Produktif dan Landasan Teori. BAB III. METODE PENELITIAN Membahas Pendekatan Penelitian, Fokus Penelitian, Batasan Penelitian, Unit Amatan (Parameter, Variabel dan Indikator Penelitian), Lokus Penelitian, Tahap Persiapan, Tahap Penelitian dan Kerangka Penelitian. BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Membahas gambaran umum kota Banjarmasin dan wilayah penelitian yang berada di tepi sungai kawasan Kelurahan Alalak Tengah dan Alalak Selatan. BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Memaparkan hasil identifikasi dan temuan-temuan yang ada di lapangan sesuai dengan metode penelitian yang digunakan. Selanjutnya hasil penelitian tersebut dianalisa. BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Membahas hasil kesimpulan dari analisa penelitian. Dari kesimpulan tersebut dibuat rekomendasi berupa arahan desain (design guidelines).

15