BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASA REMAJA

Download aturan jam pulang ke pondok. Lebih khusus lagi untuk pondok penghafal Al-. Qur 'an yang santrinya juga menjalani aktifitas sebagai siswa...

1 downloads 331 Views 198KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah usia saat individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Ketika anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkat yang sama. Remaja putri mempunyai permasalahan sangat kompleks, salah satu diantaranya yaitu masalah reproduksi. Masalah ini perlu mendapat penanganan serius, karena masih kurang tersedianya akses pada remaja untuk mendapat informasi mengenai kesehatan reproduksi (Pudiastuti, 2012). Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi atau keadaan sehat secara menyeluruh baik kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja (Nugroho, 2012). Pada masa ovulasi, yaitu masa subur ketika sel telur siap di buahi, leher rahim di bagian atas vagina memproduksi lebih banyak cairan. Hal ini disebut keputihan. Apabila cairan yang keluar berlebihan dan berubah sifatnya maka disebut keputihan yang tidak semestinya (patologis) (Mursito 2002). Dalam keadaan normal, vagina akan menghasilkan cairan yang berwarna putih, tidak berbau dan dalam jumlah yang tidak berlebihan, cairan ini tidak berperan sebagai sesuatu sistem perlindungan bahwa keputihan dapat mengurangkan gesekan antara dinding vagina ketika berjalan maupun ketika melakukan hubungan seksual. Keputihan yang normal berlaku beberapa hari sebelum

1

2

datang haid, peningkatan libido ketika hamil atau selepas menopause (Boyke, 2008). Penelitian tentang kesehatan reproduksi menunjukkan bahwa 75% wanita di dunia pasti mengalami keputihan paling tidak sekali seumur hidup dan 45% diantaranya dapat mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih (Syed, 2004). Di Indonesia sekitar 70% remaja putri mengalami masalah keputihan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi cuaca yang lembab sehingga menyebabkan wanita di Indonesia mudah terkena keputihan karena pada kondisi inilah akan mudah terkena infeksi jamur (Balitbangkes Kemenkes, 2010). Leukorea atau keputihan (white discharge/fluor albus) adalah cairan (bukan darah) yang keluar dari alat genital wanita. Gejala ini adalah salah satu gejala yang paling sering dialami oleh para wanita pada usia produktif khususnya (Aghe, 2009). Berhubungan seks, minum antibiotika spektrum luas untuk waktu yang lama, kondisi stress dan penggunaan sabun yang keras bisa menyebabkan infeksi vagina dan menimbulkan keputihan (Kinasih, 2012). Keputihan tidak menyebabkan kanker, namun keputihan menjadi salah satu gejala kanker leher rahim. Keputihan juga dapat terjadi pada wanita yang sering merokok meskipun wanita tersebut belum pernah melakukan hubungan seksual. (Fauziyah, 2012 dan Andrew, 2009). Jika tidak ditangani dengan benar, keputihan dapat mengakibatkan kemandulan, hamil di luar kandungan, dan kanker leher rahim (Iskandar, 2011).

3

Banyak faktor yang dapat menyebabkan keputihan pada remaja. Faktor pendukung terjadinya keputihan pada remaja adalah anemia, gizi rendah, kelelahan dan obesitas. Faktor patologis yang sering mengakibatkan keputihan adalah infeksi bakteri, parasit, jamur, dan virus (Cici, 2014). Faktor resiko lainnya yang menyebabkan keputihan adalah stres psikososial. Stress psikososial yang meningkat berhubungan dengan meningkatnya prevalensi bakteri pada vagina. Kejadian stres kronis mengganggu fungsi imun sampai ke bagian terkecil, terutama pada kelenjar hipotalamus-pituitari-adrenal dan kelenjar sympathetic-adrenal-medularry, yang mengakibatkan produksi kronis

hormon

glucocorticoid

dan

catecholamine.

Stres

ditemukan

berhubungan dengan indikator-indikator lain yang menyebabkan penurunan fungsi imun, termasuk menurunkan respon vaksin (Tonja, 2006). Hasil penelitian Shopia (2005) menunjukkan bahwa stres kronis berperan dalam patogenesis vulvovaginitis. Vulvovaginitis yaitu infeksi pada vulva dan vagina yang disebabkan oleh bakteri parasit atau jamur (Bahari, 2012). Kejadian infeksi pada vagina/ keputihan patologis yang tinggi pada wanita disebabkan oleh imun yang lemah yang mengarah kepada stres kronis. Stres kronis dikarenakan perubahan hormon steroid dan HbA1c (Sophia, 2005). Stres dapat menurunkan imunitas yang mengakibatkan individu menjadi rentan terhadap infeksi. Dari hasil penelitian Sumarni (2006) menunjukkan bahwa 92,1 % guru SD perempuan yang tinggal di tepian kota mengalami stres psikososial dan 84,9 % guru SD perempuan yang tinggal di kota mengalami stres psikososial. Hal ini dihubungkan dengan keseluruhan responden yang

4

mengeluh mengalami gangguan keputihan (70,2%). Sumarni menyimpulkan bahwa stress psikososial mempunyai pengaruh yang signifikan bagi timbulnya gangguan kesehatan reproduksi (Sumarni, 2006). Dalam penelitian ini, lingkungan pondok pesantren menjadi menarik untuk diteliti karena pondok pesantren mempunyai kultur tersendiri yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Kehidupan di lingkungan pondok pesantren lebih mengutamakan keterbatasan dan kesederhanaan. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat santri yang kurang baik, sehingga mengakibatkan kualitas kesehatan remaja dalam hal ini santri kurang terjamin (Ikhwanudin, 2013). Pondok pesantren yang khusus bagi santri yang belajar menghafalkan Al-Qur’an memiliki suasana tersendiri, karena pondok khusus menghafal ini mempunyai aturan-aturan tertentu yang menyebabkan para santrinya terikat dengan aturan tersebut. Misalnya aturan untuk jadwal setoran hafalan Al-Qur’an sampai aturan jam pulang ke pondok. Lebih khusus lagi untuk pondok penghafal AlQur’an yang santrinya juga menjalani aktifitas sebagai siswa/mahasiswa. Hal ini menambah tekanan psikososial yang bervariasi pada santri apabila jadwal setoran hafalan bersamaan dengan aktifitas kuliah dan sekolah yang padat, misalkan saat ujian tengah semester atau ujian semester. Jadwal ulangan atau tugas yang berbeda pada tingkat pendidikan memberikan dampak pada variasi tingkat stress santri saat masa setoran hafalan. Kualitas tidur yang kurang, tekanan target dari pondok dan dari luar pondok membuat kesehatan

5

fisik semakin tertekan. Kegiatan yang padat dan tekanan yang cukup berat memicu stres psikososial. Penelitian yang dilakukan oleh Setiani (2015) menunjukan sebanyak 59,6 % santri putri di pondok pesantren Al Munawwir Yogyakarta mengalami keputihan patologis. Penelitian dilakukan oleh Nikmah (2016) di pondok pesantren Al Munawwir Yogyakarta memberikan angka 75,5 % santri putri di komplek Q menderita keputihan patologis. Dari penelitian-penelitian tersebut, hal menarik yang perlu diteliti lebih lanjut adalah terkait ada atau tidaknya faktor lain yang menimbulkan kejadian keputihan patologis pada santri karena selain kurangnya menjaga kebersihan diri yang menyebabkan keputihan, kehidupan di pondok pesantren juga rentan akan stres psikososial. Dari data yang telah diuraikan di atas menjadi hal yang menarik untuk diadakan penelitian tentang hubungan tingkat stres dengan kejadian fluor albus patologis pada santri putri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara tingkat stres psikososial dengan kejadian fluor albus patologis?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara stres psikososial dengan kejadian fluor albus patologis pada santri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman. 2. Tujuan Khusus

6

a. Mengetahui karakteristik santri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran meliputi umur dan tingkat pendidikan. b. Mengetahui tingkat stres psikososial pada santri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman Yogyakarta. c. Mengetahui kejadian fluor albus patologis pada santri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar terhadap mata ajaran yang berhubungan dengan stres maupun fluor albus patologis. b. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa maupun tenaga kesehatan tentang pencegahan fluor albus patologis. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan informasi tentang pencegahan terjadinya fluor albus patologis melalui upaya pengelolaan stres. b. Menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran remaja untuk berupaya mengelola stres yang dialami. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Keputihan Patologis di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman sepengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya, rata-rata penelitian menggunakan variabel personal hygiene dan kebersihan organ kewanitaan. Penulis menemukan penelitian lain yang serupa, yaitu :

7

1. Penelitian yang dilakukan oleh Agustyani (2011) yang berjudul “Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri Kelas X dan XI di SMA Taman Jetis Yogyakarta” menggunakan metode penelitian cross sectional. Responden penelitian ini adalah siswi SMA dengan jumlah 32 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan keputihan. 53,1 % responden mengalami keputihan. Sebanyak 62,5 % responden mengalami stres ringan. Persamaan penelitian Agustyani (2011) dengan peneliti terletak pada variabel terikat yaitu stres dan variabel bebas yaitu keputihan/fluor albus. Perbedaan penelitian ini terletak pada subyek dan instrumen penelitian. Subyek dari penelitian yang dilakukan oleh Agustyani (2011) adalah remaja putri kelas X dan XI, sedangkan subyek peneliti adalah remaja putri usia 12-24 tahun yang tinggal di pondok pesantren dan belum menikah. Dalam penelitian Agustyani (2011) tidak dijelaskan detail bagaimana peneliti mengukur tingkat stres kepada responden. Agustyani (2011) tidak menjelaskan metode yang digunakan untuk mengukur tingkat stres. Hanya terdapat dua tingkatan stres yang di jadikan pedoman oleh Agustyani (2011) untuk mengukur tingkat stres yaitu responden yang mengalami stres ringan dan responden yang mengalami stres sedang. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti akan menggunakan 5 tingkatan mengukur stres yaitu kategori stres ringan, kategori stres sedang dan kategori stres berat dengan menggunakan kuesioner tingkat stres Depression Anxiety Stress Scale (DASS) 42 dengan 14 item pengukuran stres.

8

2. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarni (2011) yang berjudul “Pengaruh Stressor Pasca Erupsi Merapi terhadap Depresi dan Gangguan Kesehatan Reproduksi serta Penangananya pada Wanita di Hunian Sementara Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman” dengan menggunakan metode cross sectional. Responden dalam penelitian ini adalah 78 orang. Instrument yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tes IVA. Hasil penelitian Sumarni (2011) menyatakan bahwa stressor pasca erupsi merapi mempengaruhi timbulnya gangguan keputihan. Persamaan penelitian Sumarni (2011) dengan peneliti terletak pada variabel terikat yaitu stress dan variabel bebas yaitu keputihan/flour albus. Perbedaan penelitian ini terletak pada subyek penelitian. Subyek dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarni (2011) adalah wanita yang telah menikah yang terkena dampak erupsi merapi, sedangkan subyek peneliti adalah remaja yang belum menikah yang tinggal di pondok pesantren. Selain itu, penelitian Sumarni (2011) menggunakan tes IVA sebagai instrument penelitianya sedangkan peneliti menggunakan instrumen kuesioner terstruktur untuk mengetahui kejadian fluor albus. Sampel yang digunakan peneliti adalah remaja yang belum menikah maka pengambilan data fluor albus tidak dapat menggunakan tes IVA sebagai instrumen penelitian. Dan metode yang paling sesuai untuk pengambilan data dalam kasus ini adalah dengan menggunakan pemeriksaan anamnesa sebagai gambaran klinis kejadian fluor albus pada remaja yang belum menikah.

9

3. Penelitian lain oleh Setiani (2015) berjudul “Kebersihan Organ Kewanitaan dan Kejadian Keputihan Patologis pada Santriwati di Pondok Pesantren AlMunawwir Yogyakarta” menunjukan sebanyak 59,6 % santri mengalami keputihan patologis. Persamaan penelitian Setiyani (2015) dengan peneliti terletak pada variabel terikat yaitu kejadian keputihan/fluor albus. Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas. Penelitian Setiyani (2015) menggunakan variabel bebas berupa kebersihan organ kewanitaan dan pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti variabel bebas yang digunakan adalah tingkat stres. 4. Penelitian dari Nikmah (2016) yang berjudul ”Korelasi antara personal hygiene habbits dengan kejadian fluor albus patologis di pondok pesantren Al Munawwir Yogyakarta” menunjukkan terdapat 75,5 % (80) santri yang mengalami keputihan patologis. Menurut penelitian tersebut keputihan patologis yang dialami santri dikarenakan santri memiliki personal hygiene habbits yang buruk. Persamaan penelitian Nikmah (2016) dengan peneliti terletak pada variabel terikat yaitu kejadian keputihan/fluor albus dan pada populasi sampel yaitu remaja yang tinggal pada pondok pesantren. Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas. Peneliti menggunakan variabel bebas berupa tingkat stres sedangkan pada penelitian Nikmah (2015) menggunakan variabel bebas berupa personal hygiene habbits.