BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERAN USAHA MIKRO, KECIL

Download manajemen rendah, (e) SDM terbatas dan kualitasnya rendah, (f) kebanyakan tidak ... Bagaimana keberlanjutan kelompok usaha mikro yang telah...

0 downloads 382 Views 221KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dipandang cukup memberikan kontribusi yang signifikan kepada perekonomian nasional. UMKM mampu menyerap tenaga kerja dan efektif mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. UMKM merupakan jalan efektif penyerapan tenaga kerja mengingat penambahan tenaga kerja di bidang industri dan jasa masih sangat terbatas. Peranan sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan diperkirakan cukup tinggi karena pendapatan dari rumah tangga diperkirakan separuhnya diperoleh dari kegiatan non pertanian. Fungsi usaha kecil sejatinya antara lain; Pertama, usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang berdaya beli lebih tinggi. Selain itu usaha kecil juga menyediakan bahan baku atau jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk pemerintah lokal. Kedua, usaha kecil hingga saat ini mampu menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 30 juta orang dari 189 juta orang penduduk Indonesia (16%). Selain itu, dari 80 juta orang angkatan kerja yang ada, baru sekitar 11 juta orang (14%) yang terdaftar sebagai tenaga kerja formal di sektor industri, jasa dan pemerintah (Latief dalam Sadoko, 1995). Ketiga, usaha kecil memberikan kontribusi yang tinggi (sekitar 55%) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor-sektor perdagangan, transportasi dan industri

1

(Indoconsult dalam Sadoko, 1995). Keempat, sektor ini mempunyai peran cukup penting dalam penghasilan devisa negara melalui usaha pakaian jadi (garments), barang-barang kerajinan termasuk meubel dan pelayanan bagi turis. Kelima, sektor ini mempunyai peran strategis yang mengantarai kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sektor industri berdasarkan teknologi canggih dan kebijakan pengentasan kemiskinan (Sadoko, 1995) Sejak Februari 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanakan

kebijakan

program

aksi

penanggulangan

kemiskinan

dan

pengangguran melalui pemberdayaan UMKM. Berdasarkan dengan kebijakan program tersebut, tahun 2005 dicanangkan sebagai Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), tekad tersebut telah dijadikan sebagai tema sentral pembangunan nasional Indonesia. Tujuan mendasar dari program kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan angka penganguran dari 9-10 persen jumlah penduduk menjadi kurang dari 6 persen serta mengurangi jumlah orang miskin dari 15,97 persen menjadi 8,2 persen dalam waktu lima tahun pemerintahannya (Prasetyo, 2008). Meskipun secara ekonomi UMKM mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun dalam pengembangannya menghadapi berbagai permasalahan. Menurut penelitian Winarni tahun 2006 dan Situmorang tahun 2008 (dalam Rahmana, 2012). Permasalahan yang dihadapi UKM, disarikan sebagai berikut: (a) kurang permodalan, (b) kesulitan dalam pemasaran, (c) struktur organisasi sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (d) kualitas manajemen rendah, (e) SDM terbatas dan kualitasnya rendah, (f) kebanyakan tidak

2

mempunyai laporan keuangan, (g) aspek legalitas lemah, dan (h) rendahnya kualitas teknologi. Permasalahan ini mengakibatkan lemahnya jaringan usaha, keterbatasan kemampuan penetrasi pasar dan diversifikasi pasar, skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya, margin keuntungan sangat kecil, dan lebih jauh lagi UKM tidak memiliki keunggulan kompetitif. Sukidjo (2004) menjelaskan bahwa pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) sebenarnya cukup besar yang telah dimulai sejak Pelita III pada dekade 1970-1980 maupun gerakan nasional program kemitraan melalui program bapak angkat pada tahun 1990-an. Keberhasilan pembangunan ekonomi yang dilakukan Pemerintah Orde Baru ternyata semu dan rapuh, karena keberhasilan yang dicapai selama 32 tahun tidak mampu menghadapi krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997, di mana para konglomerat dan sektor perbankan mengalami kebangkrutan, pengangguran membengkak, pendapatan per kapita merosot tajam, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat mencapai 40% sekitar 80 juta jiwa bahkan ada yang memperkirakan 113 juta jiwa (Gunawan, 2000, dalam Sukidjo, 2004). Menyadari adanya kekeliruan dalam menerapkan strategi pembangunan ekonomi, maka Pemerintah Indonesia kini lebih mengedepankan keberpihakan pada usaha kecil

dan menengah dengan mengutamakan

pemberdayaan ekonomi rakyat melalui strategi ekonomi kerakyatan. Berbagai pihak terlibat dalam pengembangan UMKM baik dari unsur pemerintah maupun non pemerintah melalui aktivitasnya masing-masing. Pemerintah Indonesia menempatkan urusan UMKM ini dalam posisi yang cukup penting. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kebijakan yang diambil dan diterapkan

3

untuk mengembangkan UMKM. Keberadaan Kementrian Negara Koperasi dan UKM (Mennegkop UKM) juga menunjukkan pentingnya UKM. Banyak lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengembangan UKM. SMERU telah memetakan lembaga-lembaga yang terlibat tersebut. Lembaga-lembaga itu antara lain BKKBN (Badan Koordinasi Keluar Berencana Nasional), BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi), Departemen dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan,Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat.Selain unsur pemerintah, berbagai pihak di luar pemerintahan juga terlibat dalam upaya pengembangan UKM, yang dapat dikategorikan dalam: sektor usaha, masyarakat, dan lembaga donor. Programprogram kemitraan antara pelaku usaha besar dan UKM juga saat ini telah dikembangkan oleh sejumlah perusahaan besar untuk membantu UKM dalam memperluas jangkauan penjualan produk-produknya. Program-program tersebut pada dasarnya dikelola dengan pendekatan bisnis yangmemberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bukan merupakan program yang bersifat karitatif (Organisasi Internasional Perburuhan, 2005). UMKM berbasis pangan lokal telah banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Pangan lokal dianggap sebagai makanan popular yang digemari oleh konsumen beberapa waktu terakhir. Banyak dari produsen di beberapa daerah mengembangkan kembali tren pangan lokal sebagai ikon baru untuk kuliner lokal. Inovasi pangan lokal ini popular karena dikembangkan oleh beberapa UMKM yang dikelola oleh kelompok rumah tangga di desa desa.

4

B. Rumusan Masalah Inisiatif dari pelaku usaha melalui kerja sama kelompok serta keterlibatan stakeholder dalam membina pengembangan usaha mikro diharapkan menjadi jalan keluar permasalahan yang selama ini dihadapi oleh usaha mikro tersebut. Dari permasalahan tersebut, pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah: 1. Apa inisiatif yang dilakukan oleh pelaku usaha skala mikro dalam mengembangkan kelompok usaha? 2. Apa keterlibatan stakeholder dalam membantu pengembangan kelompok usaha mikro tersebut? 3. Bagaimana keberlanjutan kelompok usaha mikro yang telah dibantu oleh stakeholder tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan memahami mengenai munculnya kelompok usaha di kalangan masyarakat yang mengusung bahan makanan lokal di pedesaan. Penelitian ini melihat inisiatif yang dilakukan oleh pelaku usaha serta stakeholder dalam pengembangan usaha kecil berbasis makanan lokal di Desa Mertelu. Selain itu, penelitian ini melihat peran stakeholder dalam mengawal para pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya serta keberlanjutan usaha pengembangan makanan lokal tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi studi Antropologi terapan yaitu mengungkapkan

5

berbagai kekuatan sosial budaya yang bisa memperkuat dan memperlemah pelaksanaan program pembangunan, khususnya di bidang kedaulatan pangan.

D. Studi Pustaka Penelitian mengenai program terhadap usaha kecil pernah dilakukan dan ditulis dalam Laporan Lapangan Lembaga Penelitian SMERU (Buku II: Upaya Penguatan Usaha Mikro dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Perempuan (Sukabumi, Bantul, Kebumen, Padang, Surabaya, Makassar) tahun 2003. Dalam penelitian tersebut SMERU menyajikan hasil penelitian lapangan tentang verifikasi keberadaan upaya dan keberadaan usaha mikro, termasuk usaha mikro perempuan, di tingkat lapangan. Dalam buku tersebut juga digambarkan secara umum tentang keberadaan dan pelaksanaan upaya penguatan usaha mikro/kecil tertentu serta dampaknya terhadap perkembangan usaha mikro di wilayah sampel, dan akses usaha mikro/ kecil, termasuk usaha mikro/kecil perempuan, terhadap upaya penguatan. Dalam buku tersebut, yang menjadi fokus penelitiannya adalah “upaya penguatan” yang berarti program-program yang dilakukan berbagai pihak terhadap lembaga mikro/ kecil. Dari penelitian tersebut bisa dilihat bagaimana upaya-upaya tersebut berjalan di masyarakat. Adapun perbedaan dengan penelitian penulis adalah fokus pada satu usaha kecil sebagai studi kasus untuk melihat perkembangan dan keberlanjutan usaha dari usaha tersebut. Penelitian lain yang terkait juga pernah ditulis oleh Sadoko dalam “Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati” (1995). Dalam tulisannya Sadoko menguraikan tentang tinjauan terhadap proses kebijakan pengembangan

6

usaha kecil selama ini dan apa cakupannya dewasa ini. Sadoko juga menjelaskan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh usaha kecil yang ditelaah dari segi struktur ekonomi, perkembangan kelembagaan, dan akses. Fokus penelitian Sadoko tersebut lebih ditonjolkan pada analisis kebijakan berdasarkan sejumlah pengalaman dari berbagai program pengembangan pada masa lampau, serta melihat dampak kebijakan nasional secara umum dan kebijakan pada tingkat perkotaan bagi usaha kecil. Penelitian penulis ini sangat berbeda karena fokus peneliti lebih kepada usaha kecil yang menjadi objek penelitian. Perkembangan mengenai usaha kecil yang sudah ‘dikenai’ program juga dibahas dalam penelitian penulis ini. Penelitian tentang pengaruh kebijakan terhadap pengembangan usaha kecil menengah juga ditulis dalam Tinjauan Aspek Perdagangan dan Ketenagakerjaan pada Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah dalam Program Penanggulangan Kemiskinan (2005) tulisan dari Organisasi Perburuhan Internasional yang menguraikan mengenai siapa saja yang berperan dalam pengembangan UKM, kajian perundang-undangan dan peraturan yang mempengaruhi perkembangan UKM. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan adanya peraturan dan program terhadap UKM, secara umum pemerintah telah menunjukkan keberpihakannya pada kebutuhan UKM dan telah mendukung iklim kondusif dalam berkembangnya UKM. Penelitian ini berfokus pada peraturan dan kebijakan pemerintah yang dibuat untuk UKM. Penelitian ini berbeda dengan penelitian penulis yang lebih fokus kepada bantuan program yang diberikan untuk usaha kecil serta bagaimana usaha kecil ‘menerima’ bantuan tersebut.

7

Penelitian lain yang membahas mengenai pengembangan usaha kecil ditulis oleh Sriyana (2010) dalam Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM): Studi Kasus di Kabupaten Bantul. Penelitian tersebut berhasil memaparkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh usaha kecil menengah di Kabupaten Bantul, seperti pemasaran, modal, dan peralatan. Penelitian ini juga menunjukan bahwa dalam pengembangannya, usaha kecil membutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder yang terkait. Di samping itu diperlukan kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan UMKM. Penelitian tersebut tentunya berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Penelitian tersebut melihat secara keseluruhan bagaimana usaha kecil yang ada di Kabupaten Bantul, sedangkan penelitian yang penulis lakukan fokus kepada satu usaha kecil yang diteliti. Selain itu, penulis juga melihat bagaimana pengaruh keterlibatan stakeholder terhadap pengembangan usaha kecil tersebut. Penelitian mengenai respon terhadap program pemerintah juga pernah ditulis dalam skripsi yang berjudul Respon Wanita Tani terhadap Program Desa Mandiri Pangan di Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul tulisan dari Gigin Anisolikhah. Dalam tulisan tersebut, Anisholikhah menemukan bahwa respon berupa sikap wanita tani terhadap Program Desa Mandiri Pangan adalah mendukung dengan persentase sebesar 80,92%. Faktor yang mempengaruhi respon sikap wanita tani terhadap Program Desa Mandiri Pangan adalah peran ketua kelompok. Respon sikap wanita tani berpengaruh nyata terhadap respon perilaku wanita tani, semakin tinggi respon sikap wanita tani maka semakin tinggi perilaku wanita tani. Pengambilan data dalam tulisan tersebut menggunakan metode

8

kuantitatif. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Penulis melihat dampak yang terjadi dalam masyarakat setelah kelompok menerima bantuan dari stakeholder sehingga memunculkan masalah yang menjadi kendala keberlanjutan usaha dari kelompok tersebut.

E. Kerangka Teori Menurut Wibowo (2009), sistem perencanaan pembangunan Indonesia ada dua pendekataan, yakni top down dan bottom up. Sistem tersebut bertujuan untuk menjamin keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi prioritas lokal, walaupun pada kenyataanya sebagian besar daerah belum mengakomodasi aspirasi lokal. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat kordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Dilihat dari namanya, pembangunan yang bersifat top down berasal dari pihak ‘atas’ yang ditujukan kepada pihak ‘bawah’. Kunarjo (1992) menjelaskan bahwa top down planning adalah perencanaan dari atas ke bawah, yaitu perencanaan dimana sasaran-sasarannya ditetapkan dari tingkat atas (nasional atau pusat). Kelemahan sistem ini menurut Chambers (1995) tidak dapat mengangkat keberdayaan masyarakat. Program atau kebijakan yang dibuat oleh pihak atas hanya menyentuh lapisan permukaan dari masalah pokok atau hanya menghasilkan

9

konsepsi, tidak banyak mengungkapan pandangan hidup, masalah dan strategi yang dilakukan oleh masyarakat. Sistem top down juga menjadikan masyarakat tidak berperan aktif dalam pelaksanaan program dikarenakan peran masyarakat hanya sebagai penerima program yang sudah diberikan oleh pemerintah. Ide masyarakat untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang mereka alami juga terbatas karena pemerintah tidak memiliki wadah untuk penyampaian aspirasi tersebut. Sistem bottom up kemudian muncul dan ‘menawarkan’ pembangunan yang bersifat partisipatif. Hamzens (2005) menjelaskan bahwa perencanaan dari bawah (bottom upward planning) muncul sebagai kritikan terhadap perencanaan dari atas. Melihat terjadinya dampak negatif perencanaan dari atas ke bawah maka lahirlah sistem perencanaan dari bawah ke atas. Metode perencanaan dari bawah ke atas ini memperlihatkan besarnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, masyarakat yang merencanakan dan membuat pilihan untuk kehidupan mereka. Pendekatan perencanaan dari bawah lazim juga disebut sebagai perencanaan partisipatif. Gagasan dasar dan perencanaan partisipatif menurut Korten (1988, dalam Laola, 2014) adalah usaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan kreatif dari semua partisipan. Arnstein, Panudju (1999, dalam Laola 2014) mengemukakan bahwa perencanaan partisipatif menunjukkan kekuasaan masyarakat. Masyarakat diminta untuk turut serta dalam perencanaan pembangunan mendatang yang benar-benar mereka butuhkan daripada hanya sebagai penerima program dari pemerintah. Melalui pemberdayaaan masyarakat, mereka bisa secara optimal menyampaikan pendapat atau ide dalam menjalankan program. Tujuan dari program juga tidak jauh-jauh dari apa yang benar-benar mereka butuhkan dan yang

10

mereka inginkan. Menurut Sumarjono (2005) salah satu komponen penting dalam proses pembangunan masyarakat adalah adanya inisiatif dan kreatifitas serta swadaya masyarakat atau partisipasi masyarakat untuk merumuskan dan menentukan masa depannya. Pemberdayaan masyarakat adalah proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat. Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu (Kartasasmita, 1997). Inti dari pemberdayaan meliputi tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), terciptanya kemandirian (Winarni, 1998), sedangkan menurut Chambers (1995) pemberdayaan masyarakat bersifat "peoplecentered, participatory, empowering, and sustainable". Pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumbersumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dam memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005).

11

Gajanayake

(dalam

Sumarjono,

2005)

mengungkapkan

bahwa

pemberdayaan adalah konsep yang di atas partisipasi yang berimplikasi pada kegiatan memampukan masyarakat untuk memahami realitas pada lingkungannya, melakukan refleksi pada faktor-faktor yang menentukan lingkungannya dan meletakkan langkah-langkah untuk mengubah efek dengan mengubah situasi. Pemberdayaan mengusahakan masyarakat untuk berlaku mandiri dengan segala sumber daya yang sudah mereka miliki. Sejalan dengan hal tersebut, Chambers (1932) menjelaskan bahwa sesungguhnya masyarakat -yang disebut Chambers sebagai masyarakat desa- mempunyai pengetahuan mereka sendiri yang tentunya berbeda dengan pengetahuan pihak ‘luar’. Kolaborasi dari pengetahuan modern yang dimiliki oleh pihak ‘luar’ dan pengetahuan masyarakat desa mengenai kondisi kehidupan mereka sendiri seharusnya menjadi jalan keluar untuk membuat kebijakan atau program untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat. Bentuk partisipasi masyarakat bisa berjalan melalui inisiatif masyarakat dalam mencapai kemandirian. Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasilhasil pembangunan (Sumaryadi, 2010). Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-

12

institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Sungguh penting di sini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya (Kartasasmita, 1997). Sistem pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara tepat akan berpengaruh pada keberlanjutan program yang dilakukan oleh pemerintah. Walaupun sistem pemberdayaan masyarakat dirasa langkah yang paling tepat dalam menjawab permasalahan masyarakat, program yang dilakukan pemerintah tidak lantas menjadi ‘cocok’ terhadap kebutuhan masyarakat itu sendiri. Banyak dari program yang kemudian berhenti ketika tak lagi ada pengawasan dari pihak penyelenggara. Masyarakat yang diberdayakan kemudian akan ‘kembali’ lagi menjadi masyarakat tak berdaya. Pengawasan pelaksaan program, yang dalam hal ini adalah pemberdayaan masyarakat, sangat penting dilakukan mengingat masyarakat membutuhkan ‘bimbingan’ lebih lanjut atas apa yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Bentuk partisipasi masyarakat tidak akan ada selama pemerintah tidak membuat ‘program’ yang masuk dalam lingkup masyarakat tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan keberdayaan masyarakat akan ditindaklanjuti oleh masyarakat dengan memberdayakan diri mereka sendiri melalui partisipasi. Kesinambungan dua hal tersebut akan melahirkan pemberdayaan masyarakat yang sustainable development, secara berkelanjutan. Kebijakan atau program yang sudah masuk dalam lingkup suatu masyarakat tertentu akan direspon oleh masyarakat tersebut. Respon masyarakat terhadap

13

program yang dilakukan oleh pemerintah dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti latar belakang pendidikan, tingkatan usia, dan tingkat sosial masyarakat. Respon terhadap program ditunjukkan dengan sikap berpengaruh atau tidaknya program, penilaian mengenai program, suka atau tidak suka dengan program tersebut, dan kepositifan dan kenegatifan yang dikenai atas program tersebut. Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita-citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat (Djojonegoro, 1996). Tindak lanjut dari respon atas masyarakat bisa dilihat dari dampak berupa keberlanjutan dan perubahan. Program yang berlanjut bisa jadi merupakan program yang memang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat, atau bisa saja program tersebut dilakukan demi tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat. Dampak dari program kemudian dialami masyarakat sebab masyarakat mempunyai respon tertentu atas segala sesuatu yang ‘masuk’ ke dalam lingkungan masyarakat tersebut.

F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Mertelu, Kabupaten Gunungkidul, DI. Yogyakarta. Desa Mertelu dipilih sebagai lokasi penelitian karena usaha mikro

14

KWT Melati terletak di Dusun Mertelu Kulon, Desa Mertelu. KWT Melati adalah usaha pengolahan pangan lokal yang menjadi objek dari penelitian ini. Usaha tersebut dinilai menarik karena produk-produk yang dihasilkan adalah inovasi berbasis pangan lokal berupa umbi-umbian, buah pisang, dan sukun dari petani lokal di daerah tersebut. Keterlibatan stakeholder dalam usaha ini juga menarik karena usaha ini mendapat perhatian dari pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

2. Pemilihan Informan Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menentukan informan kunci atau key informant. Informan kunci dalam penelitian ini yaitu ketua dari KWT Melati yang mencetuskan ide untuk membuat usaha dan mengetahui perkembangan usaha dari awal hingga akhir. Informan berikutnya adalah anggota kelompok yang masih terlibat dalam usaha penepungan KWT Melati berjumlah 2 orang dan yang sudah tidak terlibat dalam usaha penepungan KWT Melati yang berjumlah 2 orang. Informan selanjutnya dipilih 2 orang dari Desa Mandiri Pangan yakni ketua Tim Pangan Desa dan Lembaga Keuangan Desa yang dianggap mampu menjelaskan mengenai program Desa Mandiri Pangan yang ada di Desa Mertelu. Informan tambahan diperlukan dalam menjelaskan secara umum mengenai gambaran pangan lokal di Desa Mertelu. Informan tambahan yang digunakan oleh penulis berjumlah 15 orang petani skala menengah dan skala kecil yang tersebar di 5 dusun di Desa Mertelu. Petani yang dipilih untuk diwawancarai adalah petani dari beberapa dusun di Desa Mertelu yang banyak menanam umbi-umbian.

15

3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik observasi partisipasi atau participant observation dan wawancara mendalam atau in-depth interview. Observasi partisipasi dilakukan dengan cara ikut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh informan yakni dalam proses produksi, pengemasan, sampai aktivitas di lahan pertanian milik mereka. Pengamatan secara langsung dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan, tempat tinggal, dan kegiatan masyarakat sehariharinya. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan yang telah ditunjuk dengan melontarkan pertanyaan seputar kajian penelitian. Instrumen penelitian juga disiapkan untuk mengetahui informasi penting yang harus digali oleh peneliti. Penelitian dilakukan selama kurang lebih 2 bulan dari bulan Juli – September 2014.

4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara pengumpulan data lapangan dan studi literatur. Data lapangan digolongkan ke beberapa bagian yang akan dibahas di dalam tulisan. Studi literatur diperlukan untuk mengetahui penelitian terdahulu dan mengetahui teori yang akan digunakan sebagai dasar penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang saling berkaitan dan disusun secara kronoligis. Secara keseluruhan hasil penelitian ini dibagi dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan

16

kerangka teori, serta metode penelitian yang dijalankan dan juga sistematika pembahasan. Isi pokok ini merupakan gambaran seluruh penelitian secara garis besar, sedangkan untuk uraian lebih rinci akan diuraikan dalam bab-bab selanjutnya. Bab dua menjelaskan mengenai gambaran umum mengenai pangan lokal di Desa Mertelu dan Kelompok Wani Tani Melati secara keseluruhan. Pada bab ini terdiri dari sub-sub bab yang meliputi pangan lokal di Desa Mertelu, sejarah berkembangnya KWT Melati, pola dan skala produksi pangan lokal, permodalan dan pendanaan KWT Melati, teknologi dan proses produksi, pemasaran dan distribusi pangan Lokal, dan perkembangan usaha KWT Melati. Bab

tiga

menjelaskan

mengenai

keterlibatan

stakeholder

dalam

pengembangan usaha KWT Melati. Pada bab ini terdiri dari sub-sub bab yang meliputi Desa Mandiri Pangan Mertelu, latar belakang terbentuknya Desa Mandiri Pangan, yakni tahap persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan, dan tahap kemandirian, kemudian dilanjutkan dengan sub bab tata kelola kelompok mandiri pangan dalam pemerintah desa, keterlibatan stakeholder dalam pengembangan usaha yang dibagi dalam 3 bahasan, yakni Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, Pusat Kajian Makanan Tradisional – UGM, dan Tanaman Pangan Holtikultura (TPH). Selanjutnya adalah bahasan mengenai respon pelaku usaha terhadap keterlibatan stakeholder dan keberlanjutan usaha. Bab empat adalah analisis data yang dibagi dalam 3 bahasan. Yang pertama adalah analisis keterlibatan stakeholder terhadap pengembangan usaha, yang kedua adalah perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat, dan yang terakhir adalah

17

kontribusi dari KWT Melati terhadap program kedaulatan pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh masalah yang telah dikemukakan dalam skripsi ini.

18