BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA
A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon 40
1. Sistem Civil Law Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode: 41
40
Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.
41
Ibid., hal. 84-85
80.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Periode sebelum tahun 1838 Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda baru dikodifikasikan pada tahun 1838, secara otomatis ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia bahkan belum ada di Belanda.
b. Periode antara tahun 1838-1919 Setelah BW Belanda dikodifikasi, mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah ditafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu (aktif berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.
c. Periode setelah tahun 1919 Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Munir Fuady menyebut rumusan dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai “rumusan ajaib” yang diharapkan dapat mencakupi setiap macam perbuatan melawan hukum, seperti satu jenis obat yang dapat mengobati segala macam penyakit.
Di Belanda sendiri, saat ini terdapat perumusan yang memiliki inti yang sama, namun dengan susunan kata yang berbeda yaitu dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai 42:
“Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”.
(Terjemahannya bebasnya yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum.) Adalah hal yang sangat masuk akal bahwa perumusan baru ini lebih jelas, oleh karena mengenai unsur perbuatan melawan hukum, tidak hanya mencakup 42
M. Erza Pahlevi, Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Menurut Hukum, http://semuatentanghukum.blogspot.com/2009/12/perbedaan-perbuatan-melawan-hukumdan.html, diakses 4 maret 2013, pukul 16.12.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melanggar hak orang lain atau melanggar kewajiban, namun juga mencakup kesusilaan dan sikap baik bermasyarakat, dimana dua unsur yang terakhir ini timbul pada tahun 1919 yang berasal dari suatu putusan Hoge Raad dan bukan dari peraturan perundang-undangan, sementara Belanda sebagai negara Civil Law membutuhkan perumusan yang baku melalui kodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan (dan bukan yurisprudensi) demi terpenuhinya kepastian hukum.
2. Sistem Common Law Sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain. 43 Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian 44:
1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan) 2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan) 3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak)
43 44
Munir Fuady, Op,Cit., hal. 81 Munir Fuady, Op,Cit., hal. 3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.
b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis. d. Van hamel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263). f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti ”hukum” dan dapat
berarti
“hak.”
Ia mengatakan,
dalam
bahasa
Indonesia
kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”. 45 Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat, antara lain sebagai berikut: “onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa 45
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 31-32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.” 46 Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur: 1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian. 47 Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak 46
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal
44
47
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, 2009, hal. 73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. B. Jenis – Jenis Sifat atau Perbuatan Melawan Hukum Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materil. a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undangundang. b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis. 48 Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat
48
Teguh Prasetyo,Op.cit., hal. 34-35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu: 1) Sifat melawan hukum secara umum 2) Sifat melawan hukum secara khusus 3) Sifat melawan hukum secara materil 4) Sifat melawan hukum secara formil 49 Ad. 1. Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan. Ad. 2. Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas. Ad. 3. Sifat melawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
49
D. Schaffmeister, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Liberty, Yogyakarta, 2003, Cet. Kedua, hal. 39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ad. 4. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum. Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materil, maka perbedannya yaitu : 1. Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan 2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyatanyata, barulah menjadi unsur delik. 50 Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materil atau materieele
wederrechttelijkheidsbegrip.
Melawan
hukum
formil
apabila
perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam
50
Moeljatno , Op.Cit., hal. 134
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan. 51 C. Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni: Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut: 52 1. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik. 51
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal.
115
52
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/03/25/perbuatan-melawan-hukum-materil(Bagian III) diakses tanggal 4 maret 2013, pukul 17. 30 WIB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materl dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. 53 Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana
itu
menimbulkan
penderitaan,
setidak-tidaknya
Roeslan
Saleh
mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum ( wederrechtelijk) baik yang secara eksplisit maupun yang ada secara implisit yang ada dalam suatu pasal.
53
Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2005 hal. 102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adanya sifat melawan hukum secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan. Jika meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum (wederrechlijk) untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud. Penggunaan kata wederrechlijk untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat (1), 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 – 257, 333 ayat (1), 334 ayat (1), 335 ayat (1) angka 1, 372, 429 ayat (1), 431, 433 angka 1, 448, 453 – 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat (1), 369 ayat (1), 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP. 54 Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua Pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit; 2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan
54
Lamitang, Op.Cit., hal. 332
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan. 55 Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan
merupakan alasan
pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil (formele wederrechtelijkheid) maupun sifat melawan hukum yang materil (materiele wederretelijkheid). Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 55
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), Alumni, Bandung, 1987, hal. 269-270
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil (materiele wederrechtlikheid) sebagai alasan pembenar. 56 Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut: 57 ”Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor : a. negara tidak dirugikan; b. kepentingan umum dilayani;dan c. terdakwa tidak mendapat untung. Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain. 58
56
Verdianto I. Bitticaca, Op,Cit., hal. 52 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5329/6/Chapter%20II.pdf, diakses tanggal 4 Maret 2013, pukul 17.45 WIB 58 Lihat juga putusan MARI No. 30 /K/Kr/1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 K/Kr/1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 K/Kr/1973, dalam kasus Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 K/Kr/1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 K/Kr /1973 dalam kasus Reboisasi Hutan. 57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA