BAB II KAJIAN PUSTAKA - a-research.upi.edu

10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Pariwisata 1. Pengertian Pariwisata Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk...

35 downloads 754 Views 313KB Size
10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Pariwisata 1.

Pengertian Pariwisata Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktifitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang. Definisi pariwisata menurut Damanik dan Weber (2006: 1) sebagai berukut: Pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang, dan jasa, yang sangat kompleks. Ia terkait erat dengan organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan dan individu, kebutuhan layanan, penyediaan kebutuhan layanan, dan sebagainya. Sementara Marpaung (2002:13) mendefinisikan pariwisata sebagai: Pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktifitas dilakukan selama mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Definisi pariwisata menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan Pemerintah Daerah”. Jadi pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan manusia ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya dalam waktu paling tidak satu malam dengan tujuan perjalanannya bukan untuk mencari nafkah, pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan.

11

2.

Pengertian Wisatawan Segmentasi permintaan wisata, wisatawan memiliki beragam motif, minat,

ekspektasi, karakteristik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Orang yang melakukan perjalanan wisata disebut wisatawan (tourist). Batasan tentang wisatawan juga sangat bervariasi, mulai dari yang umum sampai dengan yang sangat teknis spesifik. Menurut United Nation Conference on Travel and Tourism dalam Pitana dan Gayatri (2005: 42) yaitu “setiap orang yang mengunjungi negara yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari negara yang dikunjungi”. Batasan ini hanya berlaku untuk wisatawan domestik dengan membagi negara atas daerah. WTO (World Tourism Organization) dalam Eridiana (2008: 25) mendefinisikan wisatawan sebagai berikut: Seseorang dikatakan sebagai tourist apabila dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24) jam di daerah yang dikunjungi. Sedangkan visitor itu sendiri diartikan orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya kurang dari 12 bulan dan tujuan perjalanan bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan. Jadi wisatawan mempunyai beberapa elemen yang dianut dalam beberapa batasan, yaitu tujuan perjalanan sebagai pesiar (leasure), jarak/batas, perjalanan dari tempat asal, durasi atau waktu lamanya perjalanan dan tempat tinggal orang yang melakukan perjalanan.

12

B. Komponen Pariwisata 1.

Atraksi Atraksi wisata dapat diartikan segala sesuatu yang terdapat di daerah wisata

yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke siatu daerah. Sesuatu yang dapat menarik wisatawan meliputi benda-benda tersdia di alam, hasil ciptaan manusia dan tata cara hidup masyarakat. Menurut Trihatmodjo dalam Yoeti (1996: 5), atraksi dapat dibedakan menjadi: a. Site attraction (tempat yang menarik, tempat dengan ikim yang nyaman, pemandangan yang indah dan tempat bersejarah) b. Event attraction (tempat yang berkaitan dengan pariwisata, misalnya konferensi, pameran peristiwa olahraga, festival dan lain-lain)

Menurut Marioti dalam Yoeti (1996: 172) atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang ingin berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata. Adapun jenis-jenis atraksi wisata diantaranya adalah: a. Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta, yang dalam istilah pariwisata disebut dengan Natural Amenities. Termasuk ke dalam kelompok ini ialah: 1) Iklim, misalnya cuaca cerah (clean air), banyak cahaya matahari (sunny day), sejuk (mild), kering (dry), panas (hot), hujan (wet), dan sebagainya. 2) Bentuk tanah dan pemandangan (land configurations and landscape). 3) Hutan belukar (the sylvan elemen), misalnya hutan yang luas, banyak pohonpohon. 4) Fauna dan flora, seperti tanaman-tanaman yang aneh (uncommon vegetation), burung-burung (birds), ikan (fish), binatang buas (wild life), cagar alam (national park), daerah perburuan (hunting and photographic) dan sebagainya. 5) Pusat-pusat kesehatan (health center) dan yang termasuk dalam kelompok ini, misalnya sumber air mineral (natural spring of mineral water), mandi lumpur (mud baths), sumber air panas (hot spring), dimana kesemuannya itu diharapkan dapat menyembuhkan macam-macam penyakit.

13

6) Hasil ciptaan manusia (man made suplay). Kelompok ini dapat dibagi ke dalam empat bagian penting yaitu: benda-benda yang bersejarah dan kebudayaan dan keagamaan (historical, cultural, dan religious). 7) Tata cara hidup masyarakat (The way life) tata cara hidup tradisional dari suatu masyarakat merupakan salah satu sumber yang amat penting untuk ditawarkan kepada para wisatawan. Bagaimana kebiasaan hidupnya, adat istiadatnya, semuanya merupakan daya tarik bagi wisatawan daerah ini.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahi bahwa ada tiga jenis atraksi wisata, yaitu benda yang sudah tersedia di alam, hasil ciptaan manusia (kebudayaan) dan tata cara hidup dalam masyarakat. 2.

Aksesibilitas Aksesibilitas dalam pariwisata berkenaan dengan tingkat kemudahan

seorang wisatawan mencapai suatu objek wisata. Asksesibilitas penting diperhatikan, mengingat aspek tersebut bisa memberikan pengaruh yang besar bagi para wisatawan. Fasilitas transportasi dalam bidang kepariwisataan sangat erat hubungannya dengan aksesibilitas. Maksudnya frekwensi penggunaan kendaraan yang dimiliki dapat mengakibatkan jarak yang jauh seolah-olah menjadi lebih dekat. Hal ini dapat mempersingkat waktu dan tenaga serta lebih meringankan biaya perjalanan. Menurut Trihatmodjo dalam Yoeti (1997: 5) bahwa aksesibilitas adalah kemudahan dalam mencapai daerah tujuan wisata baik secara jarak geografis atau kecepatan teknis, serta tersedianya saran transportasi ke tempat tujuan tersebut. Beberapa hal yang mempengaruhi aksesibilitas suatu tempat adalah kondisi jalan, tarif angkutan jenis kendaraan, jaringan transportasi, jarak tempuh dan waktu tempuh. Semakin baik aksesibilitas suatu objek wisata, wisatawan yang berkunjung dapat semakin banyak jumlahnya. Sebaliknya, jika aksesibilitasnya

14

kurang baik, wisatawan akan merasakan hambatan dalam kunjungan yang dilakukannya dalam berwisata. 3.

Fasilitas Fasilitas wisata dapat diartikan suatu sarana dan prasarana yang harus

disediakan oleh pengelola untuk kebutuhan wisatawan. Kebutuhan wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam atau keunika objek wisata melainkan memerlukan sarana dan prasarana wisata seperti akomodasi (sarana kebersihan, kesahatan, kemanan, komunikasi, tempat hiburan, hotel/penginapan, restoran, dan toko cindera mata), transportasi (jalan alternatif, aspal, hotmik dan jalan setapak), kendaraan (angkutan umum, becak, ojeg dan sepeda) dan lain-lain (mushola, tempat parkir, MCK dan shetler). Soekadijo (2000: 196), mendefinisikan sarana prasarana pariwisata sebagai berikut: Prasarana (infratructure) adalah semua hasil kontruksi fisik, baik yang ada di atas maupun di bawah tanah, diperlukan sebagai prasyarat untuk pembangunan, diantaranya dapat berupa pembangkit tenaga listrik, fasilitas kesehatan, dan pelabuhan. Sarana (suprastucture) adalah segala sesuatu yang dibangun dengan memanfaatkan prasarana.

Sarana tersebut merupakan kebutuhan penting bagi para wisatawan. Apabila tersedia dengan baik, para wisatawan akan merasa nyaman dalam melakukan berbagai aktifitas lainnya. Sementara Yoeti (1990: 81), mengemukakan definisi sarana prasarana sebagai berikut: a.

Prasarana kepariwisataan (tourism infrastructures) adalah semua fasilitas yang memungkinkan agar sarana kepariwisataan dapat hidup dan berkembang

15

serta dapat memberikan pelayanan pada wisatawan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang beranekaragam. Prasarana wisata dapat berupa: 1) Prasarana umum: jalan, air bersih, terminal, lapangan udara, komunikasi dan listrik. 2) Prasarana yang menyangkut ketertiban dan keamanan agar kebutuhan terpenuhi dengan baik seperti apotik, kantor pos, bank, rumah sakit, polisi, dan lain-lain. b. Sarana kepariwisataan (tourism superstructure) adalah perusahaanperusahaan yang memberikan pelayanan kepada wisatawan, baik secara langsung atau tidak langsung dan hidup serta kehidupannya banyak tergantung pada kedatangan wisatawan, baik secara langsung atau tidak langsung dan hidup serta kehidupannya banyak tergantung pada kedatangannya wisatawan. Sarana kepariwisataan dapat berupa : 1) Sarana pokok Sarana pokok kepariwisataan adalah perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung kepada arus kedatangan wisatawan. Termasuk didalamnya travel agen, transportasi, akomodasi, dan restoran. 2) Sarana pelangkap Sarana pelengkap kepariwisataan adalah perusahaan-perusahaan atau tempattempat yang menyedihkan fasilitas untuk rekreasi yang fungsinya tidak hanya melengkapi sarana pokok kepariwisataan, tetapi yang terpenting adalah untuk membuat agar wisatawan dapat lebih lama tinggal pada suatu daerah tujuan wisata. 3) Sarana penunjang Sarana penunjang kepariwisataan adalah perusahaan adalah perusahaan yang menunjang sarana pelengkap dan sarana pokok serta berfungsi tidak hanya membuat wisatawan lebih lama tinggal pada suatu daerah tujuan wisata, tetapi fungsi lebih penting adalah agar wisatawan lebih banyak mengeluarkan atau membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjunginya.

Sementara itu menurut Lothar dalam Yoeti (1996: 186), membagi prasarana atas dua bagian yang penting, yaitu: 1) a) b) c) d)

Prasarana Perekonomian (Economic Infrastrusture), yang dapat dibagi atas: Pengangkutan (transparation) Prasarana komunikasi Kelompok yang termasuk dalam “UTILITIES” Sistem perbankan

2) a) b) c) d)

Prasarana Sosial Sistem pendidikan Pelayanan kesehatan Faktor keamanan Petugas yang langsung melayani wisatawan (government apparatur).

16

Berdasarkan pembagian sarana dan prasarana tersebut dapat disimpulkan bahwa prasarana dibagi atas dua yaitu prasarana perekonomian dan prasarana sosial. Prasarana sosial menyangkit didalamnya alat transportasi yang digunakan untuk mencapai kawasan objek wisata, prasarana komunikasi untuk mengetahui keberadaan kawasan objek wisata. Sedangkan prasarana sosial diantaranya mencakup sistem pendidikan yang dapat menentukan kualitas sumber daya manusia, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada wisatawan, faktor keamanan yang dapat membuat wisatawan merasa aman berada di objek wisata dan pelayanan yang diberikan oleh petugas secara langsung. Ditambahkan pula oleh Wahab dalam Yoeti (1996: 192) membagi prasarana atas tiga bagian yang penting dan satu diantaranya disebut sebagai prasarana pariwisata, yaitu: 1) Prasarana Umum (General Infrastruktur) yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan orang banyak yang pegadaiannya bertujuan untuk membantu kelancaran roda perekonomian. a) Pembangkit tenaga listrik dan sumber energi lainnya b) Sistem penyediaan air bersih c) Sistem jaringan jalan raya dan kereta api d) Sistem irigasi e) Perhubungan dan telekomunikasi 2) Kebutuhan masyarakat (Basic needs of Civilized Live) yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan orang banyak, diantaranya adalah rumah sakit, apotek, bank, kantor pos, pompa bensin, administrasi pemerintah. 3) Prasarana kepariwisataan (Tourist Infrastructures). a) Receptive Tourist Plant yaitu segala bentuk badan usahan atau organisasi yang kegiatannya khusus untuk mempersiapkan kedatangan wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata. b) Recidental Tourist Plant yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan untuk tujuan rekreasi dan olahraga. Jadi prasarana dibagi atas tiga bagian yaitu prasarana umum, prasarana kebutuhan

masyarakat,

dan

prasarana

keperiwisataan.

Prasarana

umum

17

menyangkut sumber energi listrik yang digunakan di kawasan objek wisata, sumber penyediaan air bersih untuk kebutuhan wisatawan, sistem jaringan jalan yang berhubungan dengan aksesibilitas. Prasarana kebutuhan masyarakat mencakup kebutuhan orang banyak (sarana sosial). Sedangkan prasarana keperiwisataan mencakup organisasi yang mengantarkan wisatawan dari suatu tempat ke daerah tujuan wisata seperti jasa travel, dan semua fasilitas untuk rekreasi olahraga. Dalam melakukan aktifiras kepariwisataan, sarana dan prasarana seyogianya tersedia di suatu objek wisata yang merupakan kebutuhan penting bagi wisatawan. Apabila tersedia dengan baik, maka wisatawan akan merasa nyaman dalam melakukan berbagai aktivitas wisata.

C. Pariwisata Berkelanjutan Pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism Development) berlandaskan pada upaya pemberdayaan (Empowerment), baik dalam arti ekonomi, sosial, maupun kultural merupakan suatu model pariwisata yang mampu merangsang tumbuhnya kualitas sosio-kultural dan ekonomi masyarakat serta manjamin kelestaian lingkungan. Menurut

Yoeti

(2008:

242),

pariwisata

berkelanjutan

merupakan

“mempertemukan kebutuhan wisatawan dan daerah tujuan wisata dalam usaha menyelamatkan dan memberi peluang untuk menjadi lebih menarik lagi di waktu yang akan datang”.

18

Hal ini merupakan suatu pertimbangan sebagai ajakan pemerintah agar semua sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan di waktu yang akan datang untuk tujuan ekonomi, sosial, keindahan yang dapat dijadikan daya tarik dengan memelihara integritas keanekaragaman budaya yang ditunjang sistem kehidupan. Ide dasar pembangunan berkelanjutan adalah kelestarian sumberdaya alam dan budaya. Sumberdaya tersebut merupakan kebutuhan setiap orang saat sekarang supaya dapat hidup dengan sejahtera, tetapi harus dipelihara dan dilestarikan agar dapat juga digunakan di masa yang akan datang. Pemanfaatan sumberdaya tersebut harus melibatkan masyarakat lokal dan memberikan manfaat optimal bagi mereka. Menurut Damanik dan Weber (2006: 26), mengertikan pembangunan berkelanjutan sebagai berikut: Pembangunan sumber daya (atraksi, aksesibilitas, amenitas) pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang.

Bentuk pembangunan pariwisata seperti ini didasarkan pada keberhasilan mengembangkan aspek ekonomi dengan wawasan pemeliharaan lingkungan. Berdasarkan definisi yang diberikan oleh World Tourism Organization (WTO) mengenai pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan menunjukan adanya keserasian antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika di satu pihak dan mempertahankan integritas budaya, proses ekologi essensial, keanekaragaman hayati, dan sistem penunjang kehidupan pada lain pihak. Prinsip kepariwisataan

19

berkelanjutan menurut WTO dalam Koesnadi (2002: 82) dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Sumber daya alam, historis, budaya, dan lain-lain untuk kepariwisataan dikonversasi untuk pemanfaatan berkesinambungan di masa depan, dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekarang. b. Pengembangan kepariwisataan direncanakan dan dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan masalah lingkungan dan sosio kultural yang serius di wilayah wisata. c. Kulitas lingkungan yang menyeluruh di wilayah wisata dipelihara dan ditingkatkan dimana diperlukan. d. Kepuasan wisatawan yang tinggi dipertahankan sehingga daerah tujuan wisata akan tetap memiliki daya jual dan popularitasnya. e. Manfaat dari kepariwisataan tersebar luas di seluruh masyarakat. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlanjutan pariwisata menurut Damanik dan Weber (2006: 29), yaitu: a.

Wisatawan mempunyai kemauan untuk mengonsumsi produk jasa dan jasa wisata secara selektif, dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengeksploitasi secara eksesif sumberdaya pariwisata setempat. b. Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan (green product). c. Kegiatan wisata diarahkan untuk melestarikan lingkungan dan peka terhadap budaya lokal. d. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan pariwisata. e. Masyarakat juga harus memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan pariwisata. f. Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pariwisata semakin meningkat. Untuk mencapai tujuan pariwisata yang berkelanjutan, baik secara

ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan, pengelola wajib melakukan manajemen sumber daya yang efektif. Selai itu kita semua hendaknya dapat mengubah sikap dan berkemauan keras, agar apa yang kita miliki sekarang ini tidak menghabiskan semua sumber daya pariwisata yang ada tanpa mempertimbangkan kehidupan pariwisata di waktu yang akan datang.

20

1.

Prinsip Dasar Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan Pengelolaan pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan

yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan alam. Menurut Ricardon dan Fluker (2004: 178), yang harus dicakup dalam manajemen pariwisata paling tidak terfokus dalam manajemen pariwisata yang paling tidak terfokus pada konsep values tourism yang diluncurkan pada tahun 1995 oleh The Pasific Asia Travel Asosiation (PATA), yaitu: a. Memenuhi kebutuhan konsumen (wisatawan), b. Meningkatkan kontribusi ekonomi bagi ekonimi nasional Negara bersangkutan, c. Meminimalisi dampak pariwisata terhadap lingkungan, d. Mengakomodasi kebituhan dan keinginan negara tuan rumamh yang menjadi tujuan wisata, e. Menyediakan pengembalian finansial yang cukup bagi orang-orang yang berusaha di pariwisata. Values atau nilai-nilai yang harus dipertimbangkan menyangkut konsumen, budaya, dan warisan budaya, ekonomi, ekologi, finansial, sumberdaya manusia, peluang masa depan, dan sosial. Menurut Pitan dan Diarta (2009: 86), tujuan dari pengelolaan atau manajemen pariwisata adalah untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan pendapatan ekonomi dengan pelayanan kepada wisatawan serta perlindungan terhadap lingkungan dan pelestarian keberagaman budaya. Indikator untuk monitoring dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 2. 1.

21

Tabel 2.1 Indikator untuk Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan No Indikator Ukuran Spesifik 1 Perlindungan lokasi Daya dukung, tekanan terhadap area dan kemenarikan 2 Tekanan Jumlah wisatawan yang berkunjung pertahun/bulan/masa puncak 3 Intensitas pemanfaatan Intensitas pemanfaatan pada waktu puncak (wisatawan/ha) 4 Dampak sosial Rasio antara wisatawan dan penduduk lokal (pada waktu puncak/rata-rata) 5 Pengawasan Adanya prosedur secara formal terhadap pembangunan pembangunan di lokasi dan kepadatan pemanfaatan 6 Pengelolaan limbah Persentase limbah terhadap kemampuan pengelolaan. Demikian pula terhadap rasio kebutuhan dan suplai air bersih 7 Proses perencanaan Mempertimbangkan perencanaan regional termasuk perencanaan wisata (regional) 8 Ekosistem kritis Jumlah spesies yang masih jarang dan dilindungi 9 Kepuasan pengunjung Tingkat kepuasan pengunjung berdasarkan pada kuisioner 10 Kepuasan penduduk Tingkat kepuasan penduduk lokal lokal berdasarkan kuisioner 11 Kontribusi pariwisata Proporsi antara pendapatan total dengan terhadap ekonomi lokal pariwisata Sumber: WTO (1996) dalam Fandeli (2005) Dari uraian diatas, maka

dalam pengelolaan pariwisata diperlukan

keterlibatan semua pemangku kepentingan di bidang pariwisata untuk mengintegrasikan kerangka pengelolaan pariwisata. Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah staf dari industri pariwisata, Konsumen, Investor dan developer, pemerhati dan penggiat warisan dan pelestari budaya, pemerintah, dan pelaku ekonomi lokal dan nasional.

22

Pemangku kepentingan diatas memiliki harapan dan nilai yang berbeda yang perlu dikelola sedemikian rupa agar diadopsi dan terwakili dalam perencanaan, pengembangan, dan operasionalisasinya. Menurut Cox dalam Dowling dan Fannel (2003: 2), pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: a. Pembangunan dan pengembangan pariwisata haruslah didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan. b. Preservasi, proteksi dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata. c. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal. d. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal. e. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas menghentikan pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (carrying capacity) lingkungan alam atau akseptabilitas sosial walaupun di sisi lain mampu meningkatkan kepadatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pariwisata yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial-budaya maupun lingkungan yang efektif, pengelola wajib melakukan manajemen sumber daya yang efektif. Manajemen sumber daya ditujukan untuk menjamin perlindungan terhadap ekosistem dan mencegah degradasi kualitas lingkungan. 2. Model Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan Untuk mencapai tujuan pariwisata yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan, maka pengelola wajib melakukan manajemen sumber daya yang efektif. Menjadikan lingkungan sedemikian rupa sehingga tidak teganggu keseimbangannya.

23

Menurut Pitana dan Diarta (2009: 90), pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: a. b. c. d.

Menggunakan sumber daya yang terbarukan (renewable resources). Pemanfaatan untuk berbagai kepentingan (multiple uses). Daerah zona (designated/zonasi). Konservasi dan preservasi sumber daya (conservation and preservation of resources). Dengan mengacu prinsip-prinsip di atas maka manajemen sumber daya

pariwisata harus memperlihatkan flora dan fauna, sumber daya air, sanitasi, limbah, kualitas udara, kawasan pesisir, pantai, zoning dan kepedulian lingkungan. Untuk mensinergikan pengelolaan pariwisata yang memenuhi prinsipprinsip pengelolaan, diperlukan suatu metode pengelolaan yang menjamin keterlibatan semua aspek dan komponen pariwisata. Menurut WTO dalam Richardson dan Fluker (2004: 183), ada beberapa metode dalam pengelolaan pariwisata, yaitu: a. b. c. d. e. f.

Pengonsultasian dengan semua pemangku kepentingan, Pengidentifikasi isu, Penyusunan kebijakan, Pembentukan dan pendanaan agen dengan tugas khusus, Penyediaan fasilitas dan operasi, Penyediaan kebijakan fiskal, regulasi, dan lingkungan sosial yang kondusif, g. Penyelesaian konflik kepentingan dalam masyarakat.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melelui pertemuan formal dengan dewan pariwisata. Dalam hal penyusunan kebijakan akan menjadi tuntutan bagi pelaku pariwisata dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan pariwisata. Dalam pembentukan agen, bertujuan menghasilkan rencana strategi sebagai

24

panduan dalam pemasaran dan pengembangan fisik di daerah tujuan wisata. Dalam hal penyediaan fasilitas dan operasi, pemerintah berperan dalam memberi modal usaha, pemberian subsidi kepada fasilitas, dan pelayanan yang vital. Penyelesaian konflik merupakan peran yang sulit tetapi akan menjadi salah satu peran yang sangat penting dalam era dimana isu lingkungan dan konservasi sumber daya menjadi isu penting.

D. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kulitas produk wisata. Tidak jarang masyarakat lokal ini sudah lebih dulu terlibat dalam pengelolaan aktivitas pariwisata sebelum ada kegiatan pengembangan dan perencanaan. Oleh sebab itu peran mereka terutama tampak dalam bentuk penyediaan akomodasi dan jasa guiding dan penyediaan tenaga kerja, selain itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumberdaya pariwisata yang tidak dimiliki oleh pelaku pariwisata lain. a. Pengertian partisipasi Ditinjau dari segi etimologis kata partisipasi merupakan pinjaman dari bahasa bahasa Belanda “participate” dari bahasa Inggris “participation”.

25

Menurut Alport dan Davis dalam Sastroperto (1998: 120), menyebutkan: Partisipasi adalah keterlibatan mental/pikiran, emosi/perasaan seseorang di dalam suatu kelompok yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.

Partisipasi masyarakat dalam penelitian ini adalah keikutsertaan warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengembangan kemenarikan objek wisata yang indikatornya diukur dari partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan dan partisipasi dalam pengelolaan. b. Sifat partisipasi Menurut sifatnya partisipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata dapat secara aktif dan pasif. Sebagaimana yang dikemukakan Suwantoro (2004: 85), yaitu sebagai berikut: Partisipasi aktif dapat dilaksanakan secara langsung, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama yang secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan reaksi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan atau malalui pembinaan rasa memiliki dari kalangan masyarakat. Partisipasi pasif adalah timbulnya kesadaran untuk tidak melakukan kegiatankegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam.

Dalam peran serta pasif itu masyatrakat cenderung hanya sekedar mendukung terpeliharanya konservasi sunber daya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumber daya alam disekitar kawasan objek wisata, seperti: jasa penginapan atau home stay,

26

penyediaan warung makanan, penyediaan toko souvenir/cinderamata, jasa pemandu

atau

penunjuk

arah,

photografi,

dan

menjadi

pegawai

perusahaan/pengusahaan pariwisata.

E. Peran pemerintah dalam pengembangan pariwisata Pemerintah mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata. Tidak hanya itu pemerintah bertanggungjawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan pariwisata. Kebijakan makro yang ditempuh pemerintah merupakan panduan bagi stakeholder yang lain di dalam memainkan peran masing-masing. Beberapa peran yang mutlak menjadi tanggungjawab pemerintah menurut Damanik dan Weber (2006: 21) adalah sebagai berikut: a. Penegasan dan konsistensi tentang tata guna lahan untuk pengembangan kawasan wisata, termasuk kepastian hak kepemilikan, sistem persewaan dan sebagainya. b. Perlindungan lingkungan alam dan cagar budaya untuk mempertanyakan daya tarik objek wisata, termasuk aturan pemanfaatan sumberdaya lingkungan tersebut. c. Penyediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan, bandara dan angkatan pariwisata). d. Fasilitas fiskal, pajak, kredit, dan ijin usaha yang tidak rumit agar masyarakat lebih terdorong untuk melakukan wisata dan usaha-usaha kepariwisataan semakin cepat berkembang. e. Keamanan dan kenyamanan berwisata melalui penugasan polisi khusus pariwisata dikawasan-kawasan wisata dan uji kelayakan fasilitas wisata (kendaraan, jalan dan lain-lain). f. Jaminan kesehatan di daerah tujuan wisata melalui sertifikasi kualitas lingkungan dan mutu barang yang digunakan wisatawan. g. Penguatan kelembagaan pariwisata dengan cara memfasilitasi perluasan jaringan kelompok dan organisasi kepariwisataan. h. Pendampingan dalam promosi wisata, yakni perluasan dan intensifikasi jejaring kegiatan promosi di dalam dan luar negeri.

27

i.

j.

Regulasi persaingan usaha yang memungkinkan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berusaha di sektor pariwisata, melindungi UKM wisata, mencegah perang tarif, dan sebagainya. Pengembangan sumberdaya manusia dengan menerapkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja pariwisata dan akreditasi lembaga pendidikan pariwisata.

Jadi tanggung jawab pemerintah dalam pengembangan pariwisata adalah penegasan tentang sistem persewaan, perlindungan lingkungan, penyediaan infrastruktur, fasilitas fiskal, penugasan keamanan di objek wisata, sertifikasi kualitas lingkungan, perluasan promosi, pencegahan perang tariff, dan pengembangan sumberdaya manusia.

F. Upaya Pelestarian Lingkungan Objek Wisata Dalam upaya melestarikan tempat wisata agar tetap terjaga maka perlu dilakukan usaha-usaha yang berkaitan dengan terciptanya daya dukung lingkungan objek wisata, yang akan selalu memberikan kenyamanan kepada wisatawan. Dalam hal ini, sebisa mungkin pengelola harus senantiasa bekerjasama dengan para pengunjung dan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap keberlangsungan objek wisata. Seowarno

(2002:

378)

mengemukakan

arti

pengelolaan

adalah

mengendalikan diri/menyelenggarakan berbagai sumber daya secara berhasil guna untuk mencapai sasaran. Objek dan daya tarik wisata umumnya terdiri atas hayati dan non hayati, dimana masing-masing memerlukan pengelolaan sesuai dengan kualitas dan

28

kuanitasnya. Pengelolaan objek wisata secara berdayaguna agar tercapainya sasaran yang diinginkan. Menurut Soewarno (2004: 52) pengelolaan kawasan wisata harus mengacu pada 5 prinsip utama pembangunan berkelanjutan, yaitu: a. Prinsip keadilan antar generasi, element kunci dari prinsip ini adalah masyarakat satu generasi dan generasi berikutnya adalah mitra. b. Prinsip keadilan dalam satu generasi. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan fenomena seperti: beban dari permasalahan lingkungan yang dipikul oleh masyarakat, kemiskinan yang dapat menimbulkan degradasi lingkungan. c. Prinsip pencegahan dini. Dalam penerapan prinsip ini pengambilan keputusan harus dilandasi oleh: evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan yang tidak dapat dipulihkan. d. Prinsip perlindungan keanekaragaman hayati. e. Prinsip internalitas biaya lingkungan dan mekanisme ensentif. Gagasan dari prinsip ini adalah biaya lingkungan dan sosial harus diintegrasikan kedalam proses pengambilan keutusan yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya alam, sedangkan mekanisme intensif berupa program peringkat kinerja yang ditunjukan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai yan ada dalam masyarakat melalui sublikasi kinerja secara periodik.

Dimanapun kawasan wisata dibina, tata lingkungan alam di sekitarnya selalu menjadi tumpuannya, tetapi sangat jarang menjadi perhatian yang memadai untuk pengelolaannya, padahal tata alam yang ada disekitar kawasan wisata baik yang masih murni alami maupun yang sudah dibudidayakan oleh manusia keadaannya masih tetap dinamik. Kedinamikan ini masih tetap rentan pada perilaku budaya manusia, dan oleh karenanya memerlukan tata alam sesuai dengan fisiografi kawasan wisata. Dengan adanya tata laksana lingkungan, akan diperoleh kinerja yang memberikan gambaran perihal kebijakan kerja, apakah sudah tepat guna atau belum. Adapun tata laksana pengelolaan menurut Prajitno (2002: 323) meliputi runtutan kegiatan kerja sebagai berikut:

29

a. Inventarisasi tata alam dan binaan, sekaligus mempelajari dampaknya. b. Pengembangan kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengelolaan lingkungan. c. Mengidentifikasi tanggung jawab masing-masing kelompok kerja pengelola. d. Pemaduan tata laksana pengelolaan lingkungan dengan tata laksana pengelolaan organisasi perusahaan. e. Tata laksana pengendalian, informasi, pelaporan, dan pelatihan pengelolaan lingkungan. Perenanaan dan pengelolaan objek dan daya tarik wisata alam maupun sosial budaya harus berdasarkan pada kebijakan rencana pembangunan nasional maupun regional. Jika kedua kebijakan rencana tersebut belum tersusun, tim perencana pengembangan objek dan daya tarik wisata harus mampu mengansumsikan rencana kebijakan yang sesuai dengan area yang bersangkutan.