BAB II SYIRKAH DALAM ISLAM
Dalam bab ini penulis akan menguraikan pengertian syirkah, landasan hukum syirkah, syarat dan rukun syirkah, jenis-jenis syirkah, pembagian keuntungan dalam syirkah dan berakhirnya syirkah. A. Pengertian Syirkah Dalam kamus hukum, musyarakahh berarti serikat dagang, kongsi, perseroan, persekutuan.1 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, syirkah, musyawarah dan syarikah, dalam bahasa Arab berarti persekutuan, perkongsian dan perkumpulan. Sedangkan dalam istilah fiqh, syirkah berarti persekutuan atau perkongsian antara dua orang atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan tujuan memperoleh keuntungan.2 Dalam
kamus
istilah
fiqih,
syirkah
menurut
bahasa
ialah
perseroan/persekutuan. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau ekonomi, bekerjasama dalam usaha perdagangan atau pada harta, untuk memperoleh keuntungan bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu yang telah disepakati bersama.3 Dalam Suplemen Ensiklopedi Islam, syirkah secara etimologi berarti percampuran antara satu harta dengan harta lainnya sehingga sulit dibedakan.
1
Drs. Sudarsono, SII, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 285 Prof. Dr. H. Harun Nasution, (eds), Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 907 3 M. Abdul Mujieb, et al., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 344 2
14
15
Dalam buku ini juga terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ahli fiqih tentang syirkah. Ulama mazhab maliki berpendapat, syirkah adalah suatu izin untuk bertindak hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta mereka. Bagi ulama mazhab syafi’i, syirkah adalah adanya hak bertindak hukum bagi dua orang/lebih pada sesuatu yang disepakatinya. Menurut mazhab hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan. Sekalipun definisi yang dikemukakan para ulama itu secara redaksional berbeda, pada dasarnya definisi mereka mempunyai esensi yang sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang/lebih dalam perdagangan. Apabila akad syirkah telah disepakati, maka semua pihak berhak bertindak hukum dan mendapat keuntungan terhadap harta serikat itu.4 Menurut Heri Sudarsono, syirkah berarti kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana yang telah ditetapkan dengan keuntungan dan risiko yang akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.5 Beberapa pengertian al-syirkah secara terminologis yang disampaikan oleh fuqaha madzhab empat adalah sebagai berikut: menurut fuqaha Malikiyah, al-syirkah adalah kebolehan (atau izin) bertasharruf bagi masingmasing pihak yang berserikat. Maksudnya masing-masing pihak saling memberikan izin kepada pihak lain dalam mentasharrufkan harta (obyek)
4
Abdul Aziz Dahlan (ads), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 1996, hlm. 193 5 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 52
16
perserikatan. Menurut fuqaha Hanabilah, al-syirkah adalah persekutuan dalam hak dan tasharruf. Menurut fuqaha syafi’iyyah, al-syirkah adalah berlakunya hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan. Sedang menurut fuqaha Hanafiyah, al-syirkah adalah akad antara pihak-pihak yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.6 B. Landasan Hukum Syirkah Islam telah membenarkan seorang muslim untuk menggunakan hartanya, baik itu dilakukan sendiri atau dilakukan dalam bentuk kerjasama. Oleh karena itu Islam membenarkan kepada mereka yang memiliki modal untuk mengadakan usaha dalam bentuk syirkah, apakah itu berupa perusahaan ataupun perdagangan dengan rekannya.7 Adapun landasan hukum yang diperbolehkannya syirkah yaitu : 1. Al-Qur’an
(12:ﺚ )اﻟﻨﺴﺎء ِ ﺷ َﺮآَﺎ ُء ﻓِﻲ اﻟ ﱡﺜُﻠ ُ َﻓ ُﻬ ْﻢ “Maka mereka bersyarikat pada sepertiga” (Q.S. An Nisa: 12) Ayat ini menurut para ahli fikih berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian waris.8
6
Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 192 7 M. Yusuf Al Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih bahasa oleh H. Mu’alam Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1993, hlm. 375 8 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, hlm. 1711
17
Menurut Imam ‘Ala Aldin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al Baqdadiy, para ulama sepakat bahwa berserikat dalam masalah waris itu diperbolehkan. Hal ini tergambarkan pada penafsiran ayat di atas.9
ﻋ ِﻤﻠُﻮا َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َو َ ﺾ ِإﻟﱠﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ٍ ﻋﻠَﻰ َﺑ ْﻌ َ ﻀ ُﻬ ْﻢ ُ ﺨَﻠﻄَﺎ ِء َﻟ َﻴ ْﺒﻐِﻲ َﺑ ْﻌ ُ ﻦ ا ْﻟ َ ن َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ َوِإ ﱠ (24:ص ّ ) ت ِ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih”. (QS. Shad: 24) Ayat di atas menyebutkan bahwa اﻟﺨﻠﻄﺎءdalam tafsir al khazin adalah berserikat yang biasanya (pada zaman Nabi Dawud) mendholimi satu sama lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan lafadz selanjutnya yaitu kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih.10 Kedua ayat di atas menunjukkan perkenaan dan pengakuan Allah SWT. akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam QS. An-Nisa: 12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sementara dalam QS. Shad: 24 terjadi atas dasar akad (Ikhtiyari).11 2. Al Hadits Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
اﻥَﺎﺙﺎﻟﺚ اﻟﺸﺮ ﻳﻜﻴﻦ ﻣﺎﻟﻢ ﻳﺨﺬ: ان اﷲ ﻳﻘﻮل: ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮﻳْﺮة رﻓﻌﻪ ﻗﺎل ( ﻓﺎذاﺥﺎ ﻥﻪ ﺥﺮﺟﺖ ﻣﻦ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ )رواﻩ أﺑﻮداود,اﺡﺪهﻤﺎﺹﺎﺡﺒﻪ Dari Abu Hurairah ia merafa’kannya- berkata: sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku (orang) ketiga dari dua orang yang berkongsi selama 9
Iman ‘Ala Aldin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al Bagdadiy, Tafsir Al Khazin, Beirut: Daru al Kutud Al Ilmiah, Libanon, Juz 2, 1995, hlm. 29 10 Ibid., Juz 5, hlm. 273 11 M. Syafii Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 130
18
salah seorang di antara keduanya tidak berkhianat kepada yang lainnya. Apabila ia berkhianat kepada yang lainnya maka aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud) 12 Maksud dari hadits di atas adalah bahwa Allah SWT akan menurunkan barakah pada harta mereka, memberi pengawasan dan pertolongan kepada mereka dan mengurus terpeliharanya atas harta mereka selama dalam perkongsian itu tidak ada pengkhianatan tetapi apabila ada pengkhianatan maka Allah SWT akan mencabut barakah dari harta tersebut.13 3. Ijma Ulama Sebagaimana yang dikutip oleh Syafi’i Antonio dalam bukunya Apa dan Bagaimana Bank Islam menerangkan bahwa Ibnu Qudamah telah berkata dalam bukunya Al Mughni 5/109: “Kaum muslimin telah berkonsensus akan legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya”.14 Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum syirkah adalah mubah dan boleh dilakukan antara sesama muslim atau antara orang Islam dan orang kafir dzimmi.15
12
Faishol bin Abdul Aziz Al Mubarok, Nailul Authar, Terj. A. Qadir Hassan, et al. “Terjemahan Nailul Authar; Himpunan Hadits-hadits Hukum”, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997, hlm. 1830 13 Ibid., hlm. 1833 14 H. Karnaen A.P., H. M. Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 29 15 M. Ismail Yusanto, M. Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 128
19
C. Syarat dan Rukun Syirkah Menurut Drs Muh Zuhri syirkah atau kerja sama yang dikemukakan dalam fiqh mu’amalah mempunyai syarat-syarat: 1. Adanya perkongsian dua pihak atau lebih 2. Adanya kegiatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi 3. Adanya pembagian laba atau rugi secara proporsional sesuai dengan perjanjian 4. Tidak menyimpang dari ajaran Islam 16 Dalam kitab Kifayatul Akhyar syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan syirkah yaitu: 1. Benda (harta) atau modal yang disyirkahkan dinilai dengan uang 2. Modal yang diberikan itu sama dalam hal jenis dan macamnya 3. Modal tersebut digabung sehingga tidak dapat dipisahkan antara modal yang satu dengan yang lainnya 4. Satu sama lainnya membolehkan untuk membelanjakan harta tersebut 5. Keuntungan dan kerugian diterima sesuai dengan ukuran harta atau modal masing-masing atau menurut kesepakatan antara pemilik modal.17 Syarat-syarat umum syirkah menurut Abdul Aziz Dahlan yaitu: 1. Perserikatan merupakan transaksi yang bisa diwakilkan 2. Pembagian keuntungan di antara yang berserikat jelas prosentasinya
16
Drs. Muh. Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan; Sebuah Tilikan Antisipatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 162 17 Imam Taqyudin Abi Bakrin bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Ter. Drs. Moh. Rifa’i, et al. “Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar”, Semarang: CV. Toha Putra, 1992, hlm. 210
20
3. Pembagian keuntungan diambil dari laba perserikatan, bukan dari harta lain.18 Syarat Syirkah menurut kamus istilah fiqih yaitu: 1. Lafadz perjanjian harus jelas yaitu anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya 2. Anggota syirkah hendaklah orang yang sehat akal, baligh, dan merdeka (tidak dipaksa) 3. Modal pokok syirkah hendaknya jelas, artinya dapat dihitung dengan nilai uang. Apabila terdapat 2 jenis barang pokok hendaklah dicampurkan sebelum akad.19 Di samping adanya beberapa syarat dalam syirkah, juga dibutuhkan beberapa rukun untuk dapat melaksanakan syirkah. Adapun rukun syirkah menurut jumhur ulama yaitu: 1. Shighat/aqad (ijab dan qabul) 2. Pihak yang berakad, baik syariku al-mal maupun syariku al-badn 3. Usaha20 Kalimat akad hendaknya mengandung arti ijin untuk menjalankan modal syirkahnya. Misalkan salah seorang melakukan syirkah dengan mangungkapkan kata: “kita berserikat pada barang ini, dan saya ijinkan kamu
18
Abdul Aziz Dahlan (eds), Suplemen ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 128 M. Abdul Mujieb, et al., Op. Cit., hlm. 345 20 M. Ismail Yusanto, M. Karebet Widjayakusuma, Op. Cit., hlm. 128 19
21
menjalankannya dengan jalan jual beli atau lainnya”. kemudian yang lainnya saling menjawab: “saya terima seperti yang engkau katakan itu”.21 Rukun syirkah menurut Sayyid Sabiq yaitu adanya ijab dan qabul. Maka sah dan tidaknya syirkah tergantung pada ijab dan qabulnya. Misalnya: aku bersyarikah dengan kamu untuk urusan ini dan itu, dan yang lainnya berkata: aku telah terima.22 Maka dalam hal ini syirkah tersebut dapat dilaksanakan dengan catatan syarat-syarat syirkah telah terpenuhi. D. Jenis-jenis Syirkah Sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali Hasan dalam bukunya, menurut Sayyid Sabiq syirkah ada empat macam, yaitu:23 1. Syirkah ‘Inan ()اﻟﻌﻨﺎن Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam pemodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung rugi sesuai dengan jumlah modal masing-masing 2. Syirkah Mufawadhah ()اﻟﻤﺎ وﺿﺔ Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan syarat sebagai berikut: a. Modal harus sama banyak b. Mempunyai wewenang untuk bertindak yang ada kaitannya dengan hukum
21
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000, hlm. 297 22 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13, Bandung: Al Ma’arif, 1987, hlm. 195 23 Ibid, hlm. 198-199
22
c. Seagama d. Masing-masing anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama syirkah 3. Syirkah Wujuh ()اﻟﻮﺟﻮﻩ Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka. 4. Syirkah Abdan ()اﻷﺑﺪان Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau pekerjaan. Hasilnya dibagi antara sesama mereka berdasarkan perjanjian. Dalam khasanah ilmu fiqh, musyarakah terdiri atas empat jenis: syarikat keuangan (amwal), syirkah operasional (a’mal), syirkah good will (wujuh), dan syarikat mudharabah.24 Menurut ulama madzhab hanafi syirkah terbagi menjadi dua yaitu: 1. Syirkah milik, terdiri dari: a. Syirkah Jabr Yaitu perserikatan karena ketidaksengajaan b. Syirkah ikhtiyar Yaitu perserikatan karena kemauan sendiri 2. Syirkah uqud terdiri dari a. Syirkah dengan harta 24
Ir. H. Adiwarman Aswar Karim, SE, M.BA, MAEP, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 81
23
b. Syirkah dengan badan/’amal c. Syirkah dengan kemuliaan25 Dalam ensiklopedi hukum Islam, para ulama membagi syirkah dalam dua bentuk yaitu:26 1. Syirkah Al-Amlak (perserikatan dalam pemilikan) Adalah dua orang/lebih memiliki harta bersama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah dalam kategori ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu: a. Syirkah ikhtiyar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat) Yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat. b. Syirkah jabr (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat) Yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. 2. Syirkah al-ukud (perserikatan berdasarkan suatu akad) Adalah syirkah yang akadnya disepakati dua orang/lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan. Mazhab Hambali membaginya dalam 5 bentuk yaitu: a. Syirkah al-inan (penggabungan harta/modal dua orang/lebih yang tidak harus sama jumlahnya)
25 26
Drs. Ghufron A. Mas’adi, Op.Cit., hlm. 193 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 1711-1713
24
b. Syirkah al-mufawadhah perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata) c. Syirkah al-abdan (perserikatan dalam bentuk kerjasama yang hasilnya dibagi bersama) d. Syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal) e. Syirkah al-mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal dan seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama) E. Pembagian Keuntungan dalam Syirkah Pembagian keuntungan syirkah ditentukan dalam perjanjian sesuai dengan proporsi masing-masing pihak, yakni antara BMT dan nasabah penerima modal. Proses aplikasi pembiayaan syirkah ini dapat digambarkan sebagai berikut.27 Nasabah
BMT
Proyek/Usaha
Keuntungan
Bagi hasil Keuntungan sesuai dengan Kontribusi Modal (nasabah) 27
Prof. H. A. Djazulli, Drs. Yadi Janwari, M.Ag., Lembaga-lembaga Perekonomian Umat; Sebuah Pengenalan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 75
25
Pembagian keuntungan bagi tiap partner harus dilakukan berdasarkan perbandingan persentase tertentu. Menurut pengikut madzhab Hanafi dan hambali, perbandingan keuntungan harus ditentukan dalam kontrak. Penentuan jumlah yang pasti bagi setiap partner tidak dibolehkan, sebab seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah tertentu, yang dapat menyebabkan partner lain tidak memperoleh bagian dari keuntungan tersebut. Menurut pengikut madzhab Syafi’i, pembagian keuntungan tidak perlu ditentukan dalam kontrak, karena setiap partner tidak boleh melakukan penyimpangan antara kontribusi modal yang diberikan dan tingkat rasio keuntungan. Menurut Nawawi, keuntungan harus sesuai dengan proporsi modal yang diberikan. Menurut Kashani (w. 578 H/1191 M), bahwa keuntungan dibagi dalam porsi sama di antara partner, karena hukum membolehkan pembagian keuntungan dalam porsi yang sama atau tidak sama.28 Dalam persentase pembagian laba, Jordan Islamic Bank tidak menyatakan adanya sekian persenpun untuk manajemen. Ia hanya menyatakan bahwa laba bersih akan dibagi antara Bank dan mitranya sesuai dengan kesepakatan atas rasio kontrak syirkah. Banque Misr (cabang-cabang syari’ah) dalam kontrak syirkahnya menyatakan bahwa laba bersih akan dibagikan dengan cara berikut: sekian persen untuk bank dan sekian persen untuk si mitra. Sekian persen dari laba akan dialokasikan untuk Bank dan mitranya. Menurut praktek Faisal Islamic Bank adalah sebagai berikut: laba 28
Abdullah Saeed, Islamic Banking and interest a study of the prohibition of riba and its contemporary. Terj. M. Ufuqul Mubin, et al. “Bank Islam dan Bunga; Studi Krisis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 110-111
26
didefinisikan sebagai laba bersih setelah dikurangi dengan seluruh biaya dan sekian porsi dari laba ini akan diberikan kepada mitra. Saldo dibagikan antara bank dan mitranya.29 Dari pembahasan tersebut tidak tampak adanya metode yang seragam dalam pembagian laba di kalangan lembaga-lembaga keuangan Islam, meski sebenarnya metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga tampak mirip. F. Berakhirnya Syirkah Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, ulama fiqih mengemukakan beberapa hal yang dapat membatalkan atau menunjukkan berakhirnya akad syirkah secara umum yaitu: 1. Salah satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para ahli fiqh, akad perserikatan itu tidak bersifat dalam arti boleh dibatalkan. 2. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia 3. Salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit disembuhkan 4. Salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim karena orang seperti ini dianggap sebagai sudah wafat. Kemudian ulama fiqh juga mengemukakan hal-hal yang membuat berakhirnya akad perserikatan secara khusus, jika dilihat dari bentuk perserikatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut: 29
Abdullah Saeed, Islamic banking and interest a study of riba and its contemporary interpretation, Terj. Arif Maftuhin “Menyoal Bank Syari’ah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis”, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 101-102
27
1. Dalam syirkah al-amwal, akad perserikatan dinyatakan batal apabila semua atau sebagaian modal perserikatan hilang, karena obyek dalam perserikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan, berarti perserikatan itu bubar. 2. Dalam syirkah al-mufawadah, modal masing-masing pihak tidak sama kualitasnya, karena al-mufawadah itu sendiri berarti persamaan, baik dalam modal, kerja maupun keuntungannya yang dibagi.30
30
Abdul Aziz Dahlan, (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 1715