BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eliminasi Urin 1. Defenisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eliminasi Urin 1. Defenisi Eliminasi Urin Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi...

140 downloads 792 Views 531KB Size
   

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Eliminasi Urin 1. Defenisi Eliminasi Urin Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk difiltrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin. Sebagian besar hasil filtrasi akan diserap kembali di tubulus ginjal untuk dimanfaatkan oleh tubuh (Tarwoto & Wartonah, 2010).

2. Organ Tubuh yang Berperan Dalam Eliminasi Urin a) Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis, berwarna coklat agak kemerahan, yang terdapat di kedua sisi kolumna vertebral posterior terhadap peritoneum dan terletak pada otot punggung bagian dalam. Ginjal terbentang dari vertebra lumbalis ketiga. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena posisi hati yang berada diatasnya (Potter & Perry, 2005). Ginjal menyaring zat sisa metabolisme yang terkumpul dalam darah. Darah mencapai ginjal melalui arteri renalis yang merupakan cabang aorta abdominalis. Sekitar 20% sampai 25% curah jantung bersirkulasi setiap hari melalui ginjal. Setiap ginjal berisi 1 juta nefron. Nefron, yang merupakan unit fungsional ginjal, membentuk urin (Potter & Perry, 2010).

 

Universitas Sumatera Utara

   

Darah masuk ke nefron melalui arteriola aferen. Sekelompok pembuluh darah ini membentuk jaringan kapiler glomerulus, yang merupakan tempat pertama filtrasi darah dan tempat awal pembentukan urin. Tidak semua filtrat glomerulus akan dibuang sebagai urin. Sekitar 90% filtrat diabsorpsi kembali kedalam plasma, dan 1% sisanya dieksresikan sebagai urin (Potter & Perry, 2005). b) Ureter Ureter meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan mentranspor urin ke pelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis renalis sebagai rute keluar pertama pembuangan urin. Ureter merupakan struktur tubular yang memiliki panjang 25-30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa. Ureter membentang pada posisi retroperitoneum untuk memasuki kandung kemih di dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan ureterovesikalis. Urin keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya steril (Potter & Perry, 2005). Gerakan peristaltik menyebabkan urin masuk ke dalam kandung kemih dalam bentuk semburan, bukan dalam bentuk aliran yang tetap. Ureter masuk ke dalam dinding posterior kandung kemih dengan posisi miring. Pengaturan ini dalam kondisi normal mencegah refluks urin dari kandung kemih ke dalam ureter selama mikturisi (proses berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan ureterovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih) (Potter & Perry, 2005). c) Kandung Kemih

 

Universitas Sumatera Utara

   

Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi, tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urin dan merupakan organ eksresi. Apabila kosong, kandung kemih berada di dalam rongga panggul di belakang simfisis pubis (Potter & Perry, 2005). Bentuk kandung kemih berubah saat ia terisi dengan urin. Tekanan di dalam kandung kemih biasanya rendah walaupun sedang terisi sebagian, sehingga hal ini melindungi dari bahaya infeksi (Potter & Perry, 2005). Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan membentang sampai ke atas simfisis pubis. Kandung kemih yang mengalami distensi maksimal dapat mencapai umbilikus. Pada waktu hamil, janin mendorong kandung kemih sehingga menimbulkan perasaan penuh dan mengurangi daya tampung kandung kemih. Hal ini dapat terjadi baik pada trimester pertama maupun trimester ketiga (Potter & Perry, 2005). d) Uretra Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urin yang mengalami turbulansi membuat urin bebas dari bakteri. Membran mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir ke dalam saluran uretra. Lendir dianggap bersifat bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk mencegah masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi uretra (Potter & Perry, 2005). Uretra pada wanita memiliki panjang sekitar 4-6,5 cm. Sfingter uretra eksterna yang terletak di sekitar setengah bagian bawah uretra, memungkinkan aliran volunter urin. Panjang uretra yang pendek pada

 

Universitas Sumatera Utara

   

wanita menjadi faktor predisposisi untuk mengalami infeksi. Bakteri dapat dengan mudah masuk ke dalam uretra dari daerah perineum. Pada wanita meatus uretra urinarius (lubang) terletak di antara labia minora, diatas vagina dan dibawah klitoris (Potter & Perry, 2005).

3. Miksi (Berkemih) Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Proses ini terdiri dari dua langkah utama: 1. Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat di atas nilai ambang batas. 2. Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidaktidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih (Guyton & Hall, 1997).

4. Anatomi Fisiologi Dan Hubungan Saraf Pada Kandung Kemih Kandung kemih adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri dari dua bagian besar; (1) badan (korpus), merupakan bagian utama kandung kemih dimana urin terkumpul, dan (2) leher (kollum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya dengan uretra (Guyton & Hall, 1997). Otot polos kandung kemih disebut otot destrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi dapat meningkatkan tekanan dalam

 

Universitas Sumatera Utara

   

kandung kemih. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot destrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot destrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera (Guyton & Hall, 1997). Pada dinding posterior kandung kemih, tepat di atas bagian leher dari kandung kemih terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Bagian terendah dari apeks trigonum adalah bagian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua ureter memasuki kandung kemih dengan sudut tertinggi di trigonum. Trigonum dapat dikenali dengan melihat mukosanya (lapisan dalam dari kandung kemih) yang berlipalipat membentuk rugae. Masing-masing ureter pada saat memasuki kandung kemih, melewati 1-2 cm di bawah mukosa kandung kemih berjalan secara oblik melalui otot destrusor sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung kemih (Guyton & Hall, 1997). Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2-3 cm, dan dindingnya terdiri dari otot destrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut sfingter internal. Sifat tonusnya secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar kosong dari urin dan, oleh karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih sampai tekanan pada daerah utama kandung kemih meningkat diambang kritis (Guyton & Hall, 1997).

 

Universitas Sumatera Utara

   

Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini merupakan otot lurik yang berbeda dengan otot pada badan dan leher kandung kemih, yang hanya terdiri dari otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja dibawah sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk menahan miksi bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih (Guyton & Hall, 1997). 5. Persyarafan Kandung Kemih Persyarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan S-3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan saraf motorik. Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra posterior sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan refleks yang menyebabkan pengosongan kandung kemih (Guyton & Hall, 1997). Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel gangglion yang terletak dalam dinding kandung kemih. Saraf post ganglion pendek kemudian mempersarafi otot detrusor (Guyton & Hall, 1997). Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi kandung kemih yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus pupendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfingter. Juga, kandung kemih menerima saraf simpatis dari rangkaian

 

Universitas Sumatera Utara

   

simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen L-2 media spinlais. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh

darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan pada beberapa keadaan rasa nyeri (Guyton & Hall, 1997).

6. Transpor Urin Dari Ginjal Melalui Ureter Dan Masuk Ke Dalam Kandung Kemih Urin yang keluar dari kandung kemih mempunyai komposisi utama yang sama dengan cairan yang keluar dari duktus kolingentes; tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung kemih (Guyton & Hall, 1997). Urin mengalir dari duktus kolingentes masuk ke kaliks renalis, meregangkan kaliks renalis dan meningkatkan aktivitas pacemakernya, yang kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis renalis dan kemudian turun sepanjang ureter, dengan demikian mendorong urin dari pelvis renalis ke arah kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis seperti juga neuronneuron pada pleksus intramural dan serat saraf yang meluas di seluruh panjang ureter. Seperti halnya otot polos pada organ viscera yang lain, kontraksi peristaltik pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan dihambat oleh perangsangan simpatis (Guyton & Hall, 1997).

 

Universitas Sumatera Utara

   

Ureter memasuki kandung kemih menembus otot destrusor di daerah trigonum kandung kemih. Normalnya, ureter berjalan secara oblik sepanjang beberapa sentimeter menembus dinding kandung kemih. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung kemih meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi di sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus dinding kandung kemih membuka dan memberi kesempatan urin mengalir ke dalam kandung kemih (Guyton & Hall, 1997). 7. Refleks Berkemih Selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksi berkemih mulai tampak. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini (Clevo, 2013). Ketika kandung kemih hanya terisi sebagain, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi dan tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot destrusor lebih kuat (Clevo, 2013).

 

Universitas Sumatera Utara

   

Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan menghilang sendiri. Artinya kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra

posterior

yang

menimbulkan

peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut. Jadi siklus ini terus berulang sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti sehingga menyebabkan kandung kemih berelaksasi (Clevo, 2013).

8. Volume Urin Normal Pada orang dewasa, volume urin normal per hari adalah 1500-6000 ml (minimum 30 ml per jam). Proses penyakit dapat mempengaruhinya, misalnya penyakit ginjal-oliguria, diabetes melitus/ insipidus-poliuria (Johnson & Taylor, 2004). Pada ibu yang selesai melahirkan harus berkemih dengan spontan dalam 6 sampai 8 jam post partum. Dengan urin yang dikeluarkan dari beberapa perkemihan pertama harus diukur untuk mengetahui apakah pengosongan kandung kemih adekuat. Diharapkan setiap kali berkemih, urin yang keluar adalah 150 ml (Ganong, 2000)

B. Retensi Urin 1. Pengertian Retensi urin adalah kesulitan miksi (berkemih) karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).  

Universitas Sumatera Utara

   

Retensi urin adalah disfungsi pengosongan kandung kemih termasuk untuk memulai buang air kecil, pancaran lemah, pelan atau aliran terputusputus, perasaan tidak tuntas berkemih dan perlu usaha keras atau dengan penekanan pada suprapubik untuk mengosongkannya (Purnomo, 2011).

2. Etiologi Retensi urin dapat dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf: a) Supravesikal Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–S4 setinggi

Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan

parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya. b) Vesikal Berupa

kelemahan otot

destrusor

karena lama teregang,

berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan (trauma obstetrik). c) Infravesikal (distal kandung kemih) Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis) (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

3. Klasifikasi a) Retensi urin akut Pada retensi urin akut penderita seakan-seakan tidak dapat berkemih (miksi). Kandung kemih perut disertai rasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Sering  

Universitas Sumatera Utara

   

kali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Pada kasus akut, bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka kerusakan lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena otot

detrusor atau ganglia parasimpatik pada dinding kandung kemih menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011). b) Retensi urin kronis Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat berkemih (miksi), merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit atau tidak sama sekali walaupun kandung kemih penuh (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Pada retensi urin kronik, terdapat masalah khusus akibat peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan

refluks uretra,

infeksi saluran kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011). Retensi urin juga dapat terjadi sebagian atau total a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin tetapi terdapat sisa urin yang cukup banyak di dalam kandung kemih. b) Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan urin.

4. Gambaran klinis a) Ketidaknyamanan daerah pubis b) Distensi vesika urinaria c) Ketidaksanggupan berkemih d) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)  

Universitas Sumatera Utara

   

e) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya f) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih g) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih. (Uliyah & Hidayat, 2006).

5. Pemeriksaan retensi urin a) Pemeriksaan subjektif Pemeriksaan subjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien dan yang digali melalui anamnesis yang sistematik. b) Pemeriksaan objektif Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadapa pasien untuk mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien. c) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging). Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang yang lebih bersifat spesialistik,

yakni

urolometri

atau

urodinamika,

elektromiografi,

endourologi, dan laparoskopi (Purnomo, 2011).

6. Penatalaksanaan a) Retensi urin akut Pada pasien dengan retensi akut, terapi segera perlu dilakukan adalah mendrainase kandung kemih. Karena resiko pendarahan kandung  

Universitas Sumatera Utara

   

kemih, hipotensi, atau drainase pasca obstruktif, dekompresi kandung kemih secara cepat biasanya dihindari. Pada banyak kasus, drainase terusmenerus dengan kateter folley atau kateter intermitten, perlu dilakukan sampai fungsi kandung kemih kembali normal, biasanya 48-72 jam. Pemberian antibiotik juga perlu dipertimbangkan dalam penanganan retensi urin ini (Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronik Pada kasus ini perlu adanya intervensi medis jangka panjang secara langsung mencegah kerusakan ginjal dan mengkoreksi penyebab yang mendasari terjadinya retensi urin. Beberapa intervensi terapi spesifik yang dapat

dilakukan

diantaranya

terapi

farmakologik,

katerisasi,

neuromodulasi radiks saraf, dan bahkan intervensi bedah (Pribakti, 2011).

C. Retensi Urin Post Partum 1. Jenis retensi urin post partum a) Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis) Merupakan retensi urin post partum yang tampak secara klinis, terjadi ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. b) Retensi urin covert (retensi urin post partum tanpa gejala klinis) Merupakan retensi urin post partum yang tidak terdeteksi oleh pemeriksa setelah 6 jam post partum (AUCKLAND, 2013).

2. Penyebab retensi urin post partum

 

Universitas Sumatera Utara

   

a) Trauma saat persalinan Retensi urin terjadi akibat penekanan pada pleksus sakrum yang menyebabkan terjadinya inhibisi impuls oleh bagian terendah janin saat memasuki rongga panggul dan dapat dipengaruhi pula oleh posisi oksipito posterior kepala janin. Kandung kemih penuh tetapi tingkat timbul keinginan untuk berkemih tidak ada. Hal ini disertai dengan distensi yang menghambat saraf reseptor pada dinding kandung kemih . Tekanan dari bagian terendah janin terjadi pada kandung kemih dan uretra, terutama pada daerah pertemuan keduanya. Tekanan ini mencegah keluarnya urin meskipun ada keinginan untuk berkemih (Johnson & Taylor, 2004). b)Refleks kejang (cramp) sfingter uretra Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu berkemih. Gangguan ini bersifat sementara. c) Hipotonia selama masa kehamilan dan masa nifas Tonus otot-otot (otot detrusor) detrusor vesika urinaria sejak hamil dan post partum terjadi penurunan karena pengaruh hormonal progesteron dan efek relaksan pada serabut-serabut otot polos menyebabkan terjadinya dilatasi, pemanjangan dan penekukan ureter. Penumpukan urin terjadi dalam ureter bagian bawah dan penurunan tonus kandung kemih dapat menimbulkan pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas dan meningkatkan terjadinya infeksi salurah kemih.

 

Universitas Sumatera Utara

   

Penggunaan anastesia regional, seperti anestesia epidural, blok pudendal karena obat-obatan tersebut sering menimbulkan paralisis temporer pada saraf-saraf yang mempersarafi kandung kemih. d) Posisi tidur telentang pada masa intrapartum Kebanyakan penelitian dilakukan selama kehamilan tua dengan subjek

dalam

posisi

telentang

dapat

menimbulkan

perubahan

hemodinamik sistemik yang menyolok, yang menimbulkan perubahan pada beberapa aspek fungsi ginjal. Misalnya aliran urin dan eksresi natrium sangat dipengaruhi oleh postur tubuh. Kecepatan eksresi pada posisi telentang rata-rata kurang dari separuh dibandingkan dengan posisi telentang. 3. Penanganan retensi urin post partum Selama periode post partum awal, diuresis nyata akan terjadi pada satu atau dua hari pertama setelah melahirkan. Menurut Blackburn & Loper (1992), ibu post partum diharapkan agar dapat segera berkemih 6-8 jam setelah persalinan, namun pada kebanyakan wanita terjadi keterlambatan sensasi berkemih, resiko ketidakmampuan berkemih baik parsial maupun komplet yang dapat terjadi akibat trauma persalinan (Johnson & Taylor, 2004). Tindakan yang paling sering dilakukan oleh tenaga kesehatan termasuk bidan dalam menangani masalah kemih ini adalah dengan penggunaan kateter, yaitu suatu tindakan memasukkan selang lateks atau plastik mellaui uretra ke dalam kandung kemih. Yang sebenarnya menurut Getliffe (2003), tindakan ini yang menyebabkan resiko infeksi, sumbatan, dan trauma uretra dan sebaiknya dilakukan penanganan lain dalam hal ini (Potter & Perry, 2010).

 

Universitas Sumatera Utara

   

Dalam hal inilah menurut United Kingdom Central Council (1998), pentingnya peran dan tanggung jawab bidan melakukan pencatatan. Khususnya bila ibu mengalami kesulitan berkemih (disuria). Dan perlunya tindakan non invasif sehingga penggunaan kateter dapat diminimalisir sebagai upaya pencegahan infeksi (Johnson & Taylor, 2004). Ada tiga area utama yang harus diperhatikan bidan saat berupaya meningkatkan urinasi normal:

a. Menstimulasi refleks urinasi 1. Posisi Posisi tegak, condong ke depan dapat memfasilitasi kontraksi otot panggul dan intra abdomen, mengejan, kontraksi kandung kemih, dan kontrol sfingter. Hal ini sulit dilakukan di tempat tidur, dianjurkan untuk menggunakan pispot atau commode di samping tempat tidur atau untuk pergi ke toilet (Johnson & Taylor, 2004). 2. Kurangi ansietas Ansietas dapat menyebabkan urgensi dan frekuensi, menyebabkan keluarnya sedikit urin dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna karena otot abdomen dan perineum serta sfingter uretra eksternal tidak rileks. Ansietas dapat terjadi akibat privasi yang kurang, rasa malu, ketakutan untuk berkemih dan penggunaan pispot yang dingin. Berada di dekat ibu saat ibu akan berkemih dapat menghambat urinasi.

 

Universitas Sumatera Utara

   

Bila ibu merasa tidak tenang, ia mungkin memerlukan seseorang berada di dekatnya; kebutuhan ibu harus dipenuhi. Penggunana toilet akan meningkatkan privasi. Memberikan cukup waktu untuk rileks dan berkemih juga merupakan hal yang penting. Menggunakan cukup waktu untuk rileks dan berkemih juga merupakan hal yang penting. Mengguyurkan air hangat ke daerah perineum juga dapat membantu relaksasi (Johnson & Taylor, 2004). 3. Gunakan stimulus sensorik a) Posisi Dengan

menggunakan

kekuatan

sugesti,

Kilpatrick

(1997)

menganjurkan digunakannya bunyi air mengalir. Bila ibu merasa malu dengan bunyi yang terjadi ketika berkemih, terutama bila ada orang lain di dekatnya, maka suara air yang mengalir dapat menyamarkan bunyi tersebut. Usapan di bagian dalam paha, menyelupkan tangan ibu ke air hangat atau memberikan banyak minum akan menstimulasi saraf sensorik yang akhirnya akan menstimulasi refleks urinasi (Johnson & Taylor, 2004).

b) Kurangi kekuatan terhadap nyeri Nyeri atau ketakutan terhadap nyeri, sering menimbulkan efek inhibisi urinasi. Hal ini biasanya terjadi setelah perslianan dengan trauma perineum. Urin yang pekat dapat meningkatkan nyeri, dianjurkan untuk memberikan asupan cairan tambahan. Strategi untuk mengurangi nyeri aktual harus dilakukan, misalnya dengan memberikan analgesia (Johnson & Taylor, 2004).

 

Universitas Sumatera Utara

   

c) Anjurkan pengosongan kandung kemih secara teratur Hal ini penting terutama pada kondisi tidak adanya keinginan berkemih (akibat penggunaan kateter menetap yang terlalu lama, kerusakan persarafan, setelah pembedahan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya) (Johnson & Taylor, 2004). d) Stimulasi tonus otot Lemahnya otot-otot dasar panggul, misalnya setelah persalinan per vaginam, pemasangan kateter menetap atau konstipasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi urinasi. Dolman (1997) merekomendasikan dilakukannya latihan otot dasar panggul secara teratur agar volume otot meningkat. Hal ini meningkatkan tekanan maksimal penutupan uretra, meningkatkan kontraksi refleks yang lebih kuat yang diikuti dengan peningkatan

tekanan

maksimal

penutupan

uretra,

meningkatkan

kontraksi refleks yang lebih kuat yang diikuti dengan peningkatan tekanan intra abdomen (Johnson & Taylor, 2004). e) Cegah konstipasi berat yang dapat menghambat pengeluaran urin.

b. Mempertahankan pola eliminasi Memberikan dukungan kepada ibu untuk mengadapatsi posisi dan rutinitas (termasuk di dalamnya kebiasaan, seperti membaca) yang ia gunakan untuk membantu urinasi. c. Mempertahankan asupan cairan yang adekuat Untuk dapat berfungsi normal, ginjal memerlukan 2000-2500 ml per hari, meskipun Kilpatrick (1997) menyatakan bahwa 1200-1500 ml

 

Universitas Sumatera Utara

   

saja sudah memadai dan bidan harus mendorong asupan cairan secara teratur (Johnson & Taylor, 2004). D. Bladder training 1. Pengertian Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal (Suharyanto & Madjid, 2009). Menurut African Charter on Human adn People’s Rights (1992), Bladder

training

mengembalikan

adalah

pola

kegiatan

normal

melatih

berkemih

kandung

dengan

kemih

menghambat

untuk atau

menstimulasi pengeluaran urin (Potter & Perry, 2005).

2. Metode Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu: a) Kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul) b) Delay urination (menunda berkemih) c) Scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). 3. Cara kerja a) Memperpanjang waktu untuk berkemih. b) Meningkatkan jumlah urin yang ditampung dalam kandung kemih. c) Memperbaiki kontrol terhadap pengeluaran urin. 4. Tujuan

 

Universitas Sumatera Utara

   

Secara umum bladder training bertujuan untuk mengembalikan pola normal berkemih dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih. Tujuan khusus: a) Mengembangkan tonus otot kandung kemih sehingga dapat mencegah inkotinensia yang dapat juga menyebabkan retensi urin. b) Mencegah proses terjadinya batu urin. c) Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodik. d) Membantu pasien/klien untuk mendapatkan pola berkemih rutin. e) Mengontrol faktor-faktor yang mungkin meningkatkan jumlah episode inkontinensia dan retensi.(Suharyanto & Madjid, 2009).

5. Prosedur Dalam Ermiati, dkk (2008), prosedur intervensi yang diberikan adalah sebagai berikut: a) Memberikan edukasi pada klien tentang pentingnya eliminasi buang air kecil spontan setelah persalinan. Lalu menjelaskan pada klien bahwa keberhasilan bladder training didukung oleh kemauan dan kesadaran klien dalam pelaksanaannya b) Memberikan minum air sebanyak 200 ml.

 

Universitas Sumatera Utara

   

c) Mengukur tanda vital untuk mengetahui kondisi klien, apakah kondisi klien memungkinkan untuk dilakukan bladder training. Bladder training dimulai pertama kali pada 2 jam postpartum. d) Bladder training dilakukan dengan membawa klien ke toilet untuk buang air kecil dengan posisi duduk pada kloset duduk. Klien diminta untuk menyiram perineum dengan air hangat sebanyak 500 ml yang disediakan untuk merangsang pengeluaran urin. e) Kran air dibuka maksimal 15 menit dimulai semenjak klien berada di toilet. f) Mengobservasi apakah klien buang air kecil. g) Bila belum buang air kecil, bladder training diulang setiap 2 jam. h) Melakukan evaluasi setelah dilakukan intervensi, dari 2 jam postpartum sampai 6 jam post-partum, yang dievaluasi adalah kemampuan responden buang air kecil secara spontan baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol.

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah gambaran sederhana (ringkas dan jelas yang menunjukkan jenis serta hubungan antar variabel yang diteliti dari variabel yang terkait (Sudigdo, 2013). Variabel independen dalam penelitian ini adalah bladder

 

Universitas Sumatera Utara