BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Imunisasi

imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak. Dalam imunisasi aktif, terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu: 1...

13 downloads 578 Views 274KB Size
9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi 1. Pengertian imunisasi Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. (Ranuh, 2008, p10) Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio). (Hidayat, 2008, p54) Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak di berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu penyakit tapi belum kebal terhadap penyakit yang lain. (Notoatmodjo, 2003) Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit. (Atikah, 2010, p1)

9

10

2. Tujuan imunisasi Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia. (Ranuh, 2008, p10) Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tuberkulosis. (Notoatmodjo, 2003) Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umun tujuan imunisasi antara lain: (Atikah, 2010, p5) 1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular 2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular 3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita 3. Manfaat imunisasi a. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian. b. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

11

c. Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. 4. Jenis-jenis imunisasi Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu: a.

Imunisai aktif Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak. Dalam imunisasi aktif, terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu: 1. Vaksin dapat berupa organisme

yang secara keseluruhan

dimatikan, eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan vaksin. 2. Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba. Bahanbahan yang digunakan seperti air raksa dan antibiotik yang biasa digunakan.

12

3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya antigen telur, protein serum, dan bahan kultur sel. 4. Adjuvan,

terdiri

dari

garam

alumunium

yang

berfungsi

meningkatkan sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi peningkatan antibodi tubuh. b. Imunisasi pasif Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

13

5. Macam-macam imunisasi dasar 1. Imunisasi Bacillus Celmette-Guerin (BCG) a. Fungsi Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan Tuberkulosis (TBC) tuberkulosis disebabkan oleh sekelompok bakteria bernama Mycobacterium tuberculosis complex. Pada manusia, TBC terutama menyerang sistem pernafasan (TB paru), meskipun organ tubuh lainnya juga dapat terserang (penyebaran atau ekstraparu TBC). Mycobacterium tuberculosis biasanya ditularkan melalui batuk seseorang. Seseorang biasanya terinfeksi jika mereka menderita sakit paru-paru dan terdapat bakteria didahaknya. Kondisi lingkungan yang gelap dan lembab juga mendukung terjadinya penularan. Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang mengandung bakteri tuberkulosis. Bakteri ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput selaput otak (yang terberat). Infeksi primer terjadi saat seseorang terjangkit bakteri TB untuk pertama kalinya. Bakteri ini sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati

sistem

berkembang.

pertahanan mukosilier bronkus,

dan terus

14

Komplikasi pada penderitaan TBC, sering terjadi pada penderita stadium lanjut. Berikut, beberapa komplikasi yang bisa dialami: 1. Hemomtasis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipofolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2. Lobus yang tidak berfungsi akibat retraksi bronchial. 3. Bronkiektasis

(pelebaran

bronkus

setempat)

dan

fibrosis

(pembentukan jaringan ikat) pada proses pemulihan atau retraksi pada paru. 4. Pneumotorak spontan (adanya udara di dalam rongga pleura): kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. 5. Penyebaran infeksi ke organ lainnya seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6. Insufiensi kardio pulmoner. Menurut Nufareni (2003), Imunisasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi risiko TB berat seperti meningitis TB atau TB miliar. Faktor-faktor yang mempangaruhi efektifitas BCG terhadap TB adalah perbedaan vaksin BCG, lingkungan, faktor genetik, status gizi dan faktor lain seperti paparan sinar ultraviolet terhadap vaksin.

15

b. Cara pemberian dan dosis Vaksin BCG merupakan bakteri tuberculosis bacillus yang telah dilemahkan. Cara pemberiannya melalui suntikan. Sebelum disuntikan, vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu. Dosis 0,05 cc untuk bayi dan 0,1 cc untuk anak dan orang dewasa. Imunisasi BCG dilakukan pada bayi usia 0-2 bulan, akan tetapi biasanya diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan. Dapat diberikan pada anak dan orang dewasa jika sudah melalui tes tuberkulin dengan hasil negatif. Imunisasi BCG disuntikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas. Disuntikan ke dalam lapisan kulit dengan penyerapan pelan-pelan. Dalam memberikan suntikan intrakutan, agar dapat dilakukan dengan tepat, harus menggunakan jarum pendek yang sangat halus (10 mm, ukuran 26). Kerjasama antara ibu dengan petugas imunisasi sangat diharapkan, agar pemberian vaksin berjalan dengan tepat. c. Kontra indikasi Imunisasi BCG tidak boleh diberikan pada kondisi: 1. Seorang anak menderita penyakit kulit yang berat atau menahun, seperti eksim, furunkulosis, dan sebagainya. 2. Imunisasi tidak boleh diberikan pada orang atau anak yang sedang menderita TBC

16

d. Efek samping Setelah diberikan imunisasi BCG, reaksi yang timbul tidak seperti pada imunisasi dengan vaksin lain. Imunisasi BCG tidak menyebabkan demam. Setelah 1-2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pastula, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan khusus, karena luka ini akan sembuh dengen sendirinya secara spontan. Kadang terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak atau leher. Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namun tidak menimbulkan demam. 2. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus) a. Fungsi Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, tetanus. Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Difteri bersifat ganas, mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas. Penularannya bisa karena kontak langsung dengan penderita melalui bersin atau batuk atau kontak tidak langsung karena adanya makanan yang terkontaminasi bakteri difteri. Penderita akan mengalami beberapa gejala seperti demam lebih kurang 380 C, mual, muntah, sakit waktu menelan dan terdapat pseudomembran putih keabu-abuan di faring, laring dan tonsil, tidak mudah lepas dan mudah berdarah, leher membengkak seperti leher

17

sapi disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak napas disertai bunyi (stridor). Pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri. Pada proses infeksi selanjutnya, bakteri difteri akan menyebarkan racun kedalam tubuh, sehingga penderita dapat menglami tekanan darah rendah, sehingga efek jangka panjangnya akan terjadi kardiomiopati dan miopati perifer. Cutaneus dari bakteri difteri menimbulkan infeksi sekunder pada kulit penderita. Difteri disebabkan oleh bakteri yang ditemukan di mulut, tenggorokan dan hidung. Difteri menyebabkan selaput tumbuh disekitar bagian dalam tenggorokan. Selaput tersebut dapat menyebabkan kesusahan menelan, bernapas, dan bahkan bisa mengakibatkan mati lemas. Bakteri menghasilkan racun yang dapat menyebar keseluruh tubuh dan menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti kelumpuhan dan gagal jantung. Sekitar 10 persen penderita difteri akan meninggal akibat penyakit ini. Difteri dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang terkena penyakit ini. Pertusis, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Bordetella Perussis. Kuman ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang rangsang batuk menjadi rendah sehingga bila terjadi sedikit saja rangsangan akan terjadi batuk yang hebat dan lama, batuk terjadi beruntun dan pada akhir batuk menarik napas panjang terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai

18

muntah. Batuk bisa mencapai 1-3 bulan, oleh karena itu pertusis disebut juga “batuk seratus hari”. Penularan penyakit ini dapat melalui droplet penderita. Pada stadium permulaan yang disebut stadium kataralis yang berlangsung 1-2 minggu, gejala belum jelas. Penderita menunjukkan gejala demam, pilek, batuk yang makin lama makin keras. Pada stadium selanjutnya disebut stadium paroksismal, baru timbul gejala khas berupa batuk lama atau hebat, didahului dengan menarik napas panjang disertai bunyi “whoops”. Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu. Pada bayi batuk tidak khas, “whoops” tidak ada tetapi sering disertai penghentian napas sehingga bayi menjadi biru (Muamalah, 2006). Akibat batuk yang berat dapat terjadi perdarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan pemeriksaan

disekitar laboratorium

mata

(oedema

asupan

lendir

periorbital).

Pada

tenggorokan

dapat

ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis). Batuk rejan adalah penyakit yang menyerang saluran udara dan pernapasan

dan

sangat

mudah menular. Penyakit

ini

menyebabkan serangan batuk parah yang berkepanjangan. Diantara serangan batuk ini, anak akan megap-megap untuk bernapas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah-muntah dan serangan batuk dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Dampak batuk rejan paling berat bagi bayi berusia 12 bulan ke bawah dan seringkali memerlukan rawat inap dirumah sakit. Batuk rejan dapat

19

mengakibatkan komplikasi seperti pendarahan, kejang-kejang, radang paru-paru, koma, pembengkakan otak, kerusakan otak permanen, dan kerusakan paru-paru jangka panjang. Sekitar satu diantara 200 anak di bawah usia enam bulan yang terkena batuk rejan akan meninggal. Batuk rejan dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang berkena penyakit ini. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Clostridium tetani. Kuman ini bersifat anaerob, sehingga dapat hidup pada lingkungan yang tidak terdapat zat asam (oksigen). Tetanus dapat menyerang bayi, anak-anak bahkan orang dewasa. Pada bayi penularan disebabkan karena pemotongan tali puat tanpa alat yang steril atau dengan cara tradisional dimana alat pemotong dibubuhi ramuan tradisional yang terkontaminasi spora kuman tetanus. Pada anak-anak atau orang dewasa bisa terinfeksi karena luka yang kotor atau luka terkontaminasi spora kuman tetanus, kuman ini paling banyak terdapat pada usus kuda berbentuk spora yang tersebar luas di tanah. Penderita akan mengalami kejang-kejang baik pada tubuh maupun otot mulut sehingga mulut tidak bisa dibuka, pada bayi air susu ibu tidak bisa masuk, selanjutnya penderita mengalami kesulitan menelan dan kekakuan pada leher dan tubuh. Kejang terjadi karena spora kuman Clostridium tetani berada pada lingkungan anaerob, kuman akan aktif dan mengeluarkan toksin

20

yang akan menghancurkan sel darah merah, toksin yang merusak sel darah putih dari suatu toksin yang akan terikat pada syaraf menyebabkan penurunan ambang rangsang sehingga terjadi kejang otot dan kejang-kejang, biasanya terjadi pada hari ke 3 atau ke 4 dan berlangsung 7-10 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan lengkung) pada umur diatas 1 bulan. Tetanus disebabkan oleh bakteri yang berada di tanah, debu dan kotoran hewan. Bakteri ini dapat dimasuki tubuh melalui luka sekecil tusukan jarum. Tetanus tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. Tetanus adalah penyakit yang menyerang sistem syaraf dan seringkali menyebabkan kematian. Tetanus menyebabkan kekejangan otot yang mula-mula terasa pada otot leher dan rahang. Tetanus dapat mengakibatkan kesusahan bernafas, kejang-kejang yang terasa sakit, dan detak jantung yang tidak normal. Karena imunisasi yang efektif, penyakit tetanus kini jarang ditemukan di Australia, namun penyakit ini masih terjadi pada orang dewasa yang belum diimunisasi terhadap penyakit ini atau belum pernah disuntik ulang (disuntik vaksin dosis booster).

21

b. Cara pemberian dan dosis Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi intramuskular. Suntikan diberika pada paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc. Cara memberiakn vaksin ini, sebagai berikut: 1. Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan seluruh kaki telanjang 2. Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi 3. Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk 4. Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat 5. Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk ke dalam otot. Untuk mengurangi rasa sakit, suntikkan secara pelan-pelan. Pemberian vaksin DPT dilakukan tiga kali mulai bayi umur 2 bulan sampai 11 bulan dengan interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali karena pemberian pertama antibodi dalam tubuh masih sangat rendah, pemberian kedua mulai meningkat dan pemberian ketiga diperoleh cukupan antibodi. Daya proteksi vaksin difteri cukup baik yiatu sebesar 80-90%, daya proteksi vaksin tetanus 90-95% akan tetapi daya proteksi vaksin pertusis masih rendah

yaitu

50-60%,

oleh

karena

itu,

anak-anak

masih

berkemungkinan untuk terinfeksi batuk seratus hari atau pertusis, tetapi lebih ringan.

22

c. Efek samping Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek ringan seperti terjadi pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat bayi menangis hebat kerana kesakitan selama kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok. 3. Imunisasi campak a. Fungsi Imunisai campak ditujukan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Campak, measles atau rubelal adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini sangat infeksius, menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Infeksi disebarkan lewat udara (airborne). Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet melalui udara, menempel dan berkembang biak pada epitel nasifaring. Tiga hari setelah infasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi vitemia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses peradangan

merupakan

dasar

patologik

ruam

dan

infiltrat

peribronchial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan

23

kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C = coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan. Virus juga dapat berbiak pada susunan syaraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa konvalesen menurun, hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi semakin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disababkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit. b. Gejala klinis 1. Panas meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke 4-5, pada saat ruam keluar 2. Coryza yang terjadi sukar dibedakan dengan common cold yang berat. Membaik dengan cepat pada saat panas menurun. 3. Conjunctivitis ditandai dengan mata merah pada conjunctiva disertai dengan keradangan disertai dengan keluhan fotofobia. 4. Cough merupakan akibat keradangan pada epitel saluran nafas, mencapai puncak pada saat erupsi dan menghilang setelah beberapa minggu.

24

5. Munculnya bercak koplik (koplik’s spot) umumnya pada sekitar 2 hari sebelum munculnya ruam (hari ke 3-4) dan cepat menghilang setelah beberapa jam atau hari. Koplik’s spot adalah sekumpulan noktah putih pada daerah epitel bukal yang merah, merupakan tanda klinik yang patognomonik untuk campak. 6. Ruam makulopapular semula berwarna kemerahan. Ruam ini muncul pertama pada daerah batas rambut dan dahi, serta belakang telinga, menyebar ke arah perifer sampai pada kaki. Ruam umumnya saling rengkuh sehingga pada muka dan dada menjadi confluent. Ruam ini membedakan dengan rubella yang ruamnya diskreta dan tidak mengalami desquamasi. Telapak tangan dan kaki tidak mengalami desquamasi. Diagnosis

ditetapkan

berdasarkan

anamnesis

dan

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan serologik atau virologik yang positif yaitu bila terdapat demam tinggi terus menerus 38,50 o C atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare bertambah parah sehingga anak mengalami sesak napas atau dehidrasi. Gejala klinik terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium:

25

a. Stadium prodromal, berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti dengan batuk, pilek, farings merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak koplik. b. Stadium erupsi, ditandai dengan timbulnya ruam mukulo-papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut kebelakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstremitas. c. Stadium penyembuhan (konvalesens), setelah tiga hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang setelah 1-2 minggu. d. Sangat penting untuk menentukan status gizi penderita, untuk mewaspadai timbulnya komplikasi. Gizi buruk merupakan risiko komplikasi berat. 3. Cara pemberian dan dosis Pemberian vaksin campak hanya diberikan satu kali, dapat dilakukan pada umur 9-11 bulan, dengan dosis 0,5 CC. Sebelum disuntikan, vaksin campak terlebih dahulu dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia yang derisi 5 ml cairan pelarut. Kemudian suntikan diberikan pada lengan kiri atas secara subkutan. Cara pemberian:

26

a.

Atur bayi dengan posisi miring di atas pangkuan ibu dengan seluruh lengan telanjang.

b.

Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi, dan gunakan jari-jari tangan untuk menekan ke atas lengan bayi.

c.

Cepat tekan jarum ke dalam kulit yang menonjol ke atas dengan sudut 45 derajat.

d.

Usahakan kestabilan posisi jarum.

4. Efek samping Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi. 5. Kontraindikasi Pemberian imunisasi tidak boleh dilakukan pada orang yang mengalami immunodefisiensi atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukimia, dan limfoma. 4. Imunisasi polio a. Fungsi Merupakan imunisasi yang bertujuan mencegah penyakit poliomyelitis. Pemberian vaksin polio dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT. Terdapat 2 macam vaksin polio: 1. Inactivated Polio Vaccine (IPV = Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.

27

2. Oral Polio Vaccine (OPV = Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (Trivalen Oral Polio Vaccine; TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, sedangkan bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan satu jenis polio. Poliomielitis adalah penyakit pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio tipe 1, 2, atau 3. Struktur virus ini sangat sederhana, hanya terdiri dari RNA genom dalam sebuah caspid tanpa pembungkus. Ada 3 macam serotipe pada virus ini, tipe 1 (PV1), tipe 2 (PV2), dan tipe 3 (PV3), ketiganya sama-sama bisa menginfeksi tubuh dengan gejala yang sama. Penyakit ini ditularkan orang ke orang melalui fekal-oral-route. Ketika virus masuk kedalam tubuh, partikel virus akan dikeluarkan dalam feses selama beberapa minggu.

Gaya

hidup

dengan

sanitasi

yang

kurang

akan

meningkatkan kemungkinan terserang poliomyelitis. Kebanyakan poliomyelitis tidak menunjukan gejala apapun. Infeksi semakin parah jika virus masuk dalam sistem aliran darah. Kurang dari 1% virus masuk dalam sistem syaraf pusat, akan tetapi virus lebih menyerang dan menghancurkan sistem syaraf motorik, hal ini menimbulkan kelemahan otot dan kelumpuhan (lumpuh layu akut = acute flaccid paralysis/ AFP). Kelumpuhan dimulai dengan gejala

28

demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani. Polio dapat menyebabkan gejala yang ringan atau penyakit yang sangat parah. Penyakit ini dapat menyerang sistem pencernaan dan sistem syaraf. Polio menyebabkan demam, muntah-muntah, dan kakuatan otot dan dapat menyerang syaraf-syaraf, mengakibatkan kelumpuhan permanen. Penyakit ini dapat melumpuhkan otot pernapasan

dan

otot

yang

mendukung

proses

penelanan,

menyebabkan kematian. Diantara dua sampai lima persen penderita polio akan meninggal akibat penyakit ini dan sekitar 50% pasien yang masih bertahan hidup menderita kelumpuhan seumur hidup. Polio dapat ditularkan jika tinja penderita mencemari makanan, air atau tangan. Faktor-faktor

yang

dapat

meningkatkan

terserang

poliomyelitis antara lain dikarenakan malnutrisi, tonsilektomi, kurangnya sanitasi lingkungan, karena suntikan dan juga virus bisa ditularkan melalui plasenta ibu, sedangkan antibodi yang diberikan pasif melalui plasenta tidak dapat melidungi bayi secara adekuat. b. Cara pemberian dan dosis Imunisasi dasar polio diberiakn 4 kali (polio I, II, III dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat

29

masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung kemulut anak atau dengan atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru. Cara pemakaian: 1. Orang tua memegang bayi dengan lengan kepala di sangga dan dimiringkan ke belakang. 2. Mulut bayi dibuka hati-hati menggunakan ibu jari atau dengan menekan pipi bayi dengan jari-jari. 3. Teteskan dengan 2 tetes vaksin dari alat tetes ke dalam lidah. Jangan biarkan alat tetes menyentuh bayi. c. Efek samping Pada umunya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralisis yang disebabkan oleh vaksin jarang terjadi. d. Kontra indikasi Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada orang yang menderita defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulang dapat diberikan setelah sembuh.

30

5. Imunisasi hepatitis B a. Fungsi Imunisasi hepatitis B, ditujukan untuk memberi tubuh berkenalan terhadap penyakit hepatitis B, disebakan oleh virus yang telah mempengaruhi organ liver (hati). Virus ini akan tinggal selamanya dalam tubuh. Bayi-bayi yang terjangkit virus hepatitis berisiko terkena kanker hati atau kerusakan pada hati. Virus hepatitis B ditemukan didalam cairan tubuh orang yang terjangkit termasuk darah, ludah dan air mani. b. Penularan Virus hepatitis B biasanya disebarkan melalui kontak dengan cairan tubuh (darah, air liur, air mani) penderita penyakit ini, atau dari ibu ke anak pada saat melahirkan. Kebanyakan anak kecil yang terkena virus hepatitis B akan menjadi ”pembawa virus”. Ini berarti mereka dapat memberikan penyakit tersebut pada orang lain walaupun mereka

tidak menunjukan gejala apapun. Jika anak

terkena hepetitis B dan menjadi ”pembawa virus”, mereka akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena penyakit hati dan kanker nantinya dalam hidup. Ibu yang terjangkit Hepatitis B dapat menularkan virus pada bayinya. Hepatitis B dapat menular melalui kontak antara darah dengan darah, sebagai contoh apabila luka pada tubuh kita telah terkontaminasi cairan yang dikeluarkan oleh penderita hepatitis B,

31

seperti jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, tranfusi darah dan gigitan manusia, hal ini termasuk hubungan seksual. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatitis, kenker hati dan menimbulkan kematian. Secara umum orang yang dapat atau berisiko tertular hapatitis B, dapat diidentifikasi dari perilakunya. Individu yang dimaksud, termasuk dalam beberapa kriteria, seperti para pengguna narkoba suntik, pasangan seks orang yang terinfeksi hepatitis, bayi yang dilahirkan dari ibu yang terifeksi hepatitis, orang yang suka berganti-ganti pasangan seks. Laki-laki homoseksual, atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki juga berisiko tertular penyakit ini, jika seorang petugas kesehatan tidak menggunakan standar perlindungan diri dengan tepat. Petugas kesehatan yang sedang merawat pasien dalam kondisi terinfeksi hepatitis, harus menggunakan standar perlindungan diri, seperti sarung tangan, dan jangan pernah menyentuh cairan tubuh dari pasien secara langsung. c. Gejala Gejala mirip flu, yaitu hilangnya nafsu makan, mual, muntah, rasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam, urine menjadi kuning dan sakit perut.

32

d. Cara pemberian dan dosis Imunisasi diberikan tiga kali pada umur 0-11 bulan melalui injeksi intramuskular. Kandungan vaksin adalah HbsAg dalam bentuk cair. Terdapat vaksin Prefill Injection Device (B-PID) yang diberikan sesaat setelah lahir, dapat diberikan pada usia 0-7 hari. Vaksin B-PID disuntikan dengan 1 buah HB PID. Vaksin ini, menggunakan Profilled Injection Device (PID), merupakan jenis alat suntik yang hanya diberikan pada bayi. Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang dimasa kecilnya belum diberi vaksin hepatitis B. Selain itu orang –orang yang berada dalam rentan risiko hepatitis B sebaiknya juga diberi vaksin ini. Cara pemakaian: a. Buka kantong alumunium atau plastik dan keluarkan alat plastik PID b. Pegang alat suntik PID pada leher dan tutup jarum dengan memegang keduanya diantara jari telunjuk dan jempol, dan dengan gerakan cepat dorong tutup jarum ke arah leher. Teruskan mendorong sampai tidak ada jarak antara tutup jarum dan leher. c. Buka tutup jarum, tetap pegang alat suntik pada bagian leher dan tusukan jarum pada anterolateral paha secara intremuskular, tidak perlu dilakukan aspirasi.

33

d. Pijat reservior dengan kuat untuk menyuntik, setelah reservior kempis cabut alat suntik. e. Efek samping Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari. f. Kontra indikasi Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksinvaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang 6. KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi) a. Definisi KIPI Kejadian ikutan paska imunisasi adalah sebagai reaksi simpangan yang dikenal sebagai kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) atau events following

immunization

(AEFI)

adalah

kejadian

medik

yang

berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik paska vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi paska vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio

34

vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi paska vaksinasi polio) Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effect), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan sesorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gendong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpangan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Persepsi

awam

dan

juga

kalangan

petugas

kesehatan,

menganggap semua kalainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadp vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan

35

saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah

akibat

kesalahan

prosedur

dan

teknik

pelaksanaan

(programmatic erros). b. Epidemiologi KIPI Kejadian ikutan paska imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin. Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai Post Marketing Surveilance (PMS). Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setalah pemakaian yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI (terutama KIPI barat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan segala akibatnya.

36

Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committe of the Institute of Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena: 1. Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami 2. Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan kurang akurat 3. Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh 4. Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya. Kejadian ikutan paska imunisai dapat ringan sampai berat, terutama pada imunisai masal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis. c. Klasifikasi KIPI Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI) Mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi, 1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas kesehatan dilapangan. Sesuai dengan manfaatnya dilapangan maka Komnas PP KIPI memakai kriteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu: a. Kesalahan program/ teknik pelaksanaan (programmatic errors) Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, penggelolaan, dan tata laksana

37

pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya: 1.

Dosis antigen (terlalu banyak)

2.

Lokasi dan cara menyuntik

3.

Sterilisasi semprit dan jarum suntik

4.

Jarum bekas pakai

5.

Tindakan aseptik dan antiseptik

6.

Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik

7.

Penyimpanan vaksin

8.

Pemakaian sisa vaksin

9.

Jenis dan jumlah pelarut vaksin

10. Tidak

memperhatikan

petunjuk

produsen

(petunjuk

pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain) Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana parlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. Mencegah program error (VSQ 1996) 1.

Alat suntik steril untuk setiap suntikan

2.

Pelarut

vaksin

yang sudah disediakan oleh produsen vaksin 3.

Vaksin sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

yang

38

4.

Lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin

5.

Pelatihan vaksinasi dan supervisi yang baik

6.

Program

error

dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama b. Reaksi suntikan Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal. a. Syncope/ fainting 1. Seringkali pada anak > 5 tahun 2. Terjadi beberapa menit post imunisasi 3. Tidak perlu penanganan khusus 4. Hindari stres saat anak menunggu 5. Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk b. Hiperventilasi akibat ketakutan

39

1. Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan 2. Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut perlu diperiksa) c. Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeris d. Penting penjelasan dan penanganan Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan dengan: a. Teknik penyuntikan yang benar b. Suasana tempat penyuntikan yang tenang c. Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar c. Induksi vaksin (reaksi vaksin) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat ataupun vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanaggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. 1. Reaksi lokal

40

a. Rasa nyeri ditempat suntikan b. Bengkak kemerahan di tempat suntikan sekitar 10% c. Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50% d. BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan sembuh setelah beberapa bulan 2. Reaksi sistemik a. Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik. b. MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis

pada

5%-15%

dan

lebih

ringan

dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada kasus imunodefisiensi. c. Pada mumps terjadi reaksi vaksin pambengkakan kelenjar parotis, rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. d. OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot. 3. Reaksi vaksin berat a.

Kejang

b.

Trombositopenia

c.

Hypotemic hyperesponsive episode/ HHE

d.

Persistent inconsolable csreaning bersifat self-imiting dan tidak merupakan masalah jangka panjang

41

e.

Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhkan tanpa dampak jangka panjang

f.

Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DPT

d. Faktor kebetulan (koinsiden) Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan katakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi. e. Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI. World Healt Organization pada tahun 1991 melalui expanded programme on imunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan.

42

Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan. 2. Klasifikasi kausalitas manurur IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI. Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan laporan Committee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu: a. Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated) b. Buktu tidak cukup untuk memerima atau menolak hubungan kausal (unlikely) c. Bikti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible) d. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable) e. Bukti memastikan hubungan kausal (very like/ certain) d. Gejala klinis KIPI Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya. Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produksi farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek semping vaksin harus lebih

43

kecil daripada obat-obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 manit. e. Angka kejadian KIPI KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anafilaktoid. Angka kejadian reaksi anafilaktoid pada DPT diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis. f. Imunisasi pada kelompok berisiko

44

Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah: 1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu. 2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi

bayi

kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan. a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi cukup bulan. b. Apabila berat badan bayi yang sangat kecil (>1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan, kecuali untuk imunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HbsAg positif. c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja. 3. Pasien imunokompromais Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang), jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunikompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada

45

pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/ kg berat badan/ hari atau prednison 20 mg/ hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai. 4. Pada resipien yang mendapatkan humman imunoglobin imunisasi virus hidup

diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk

menghindarkan hambatan pembentukan respons imun. 5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi kasus HIV memerlukan imunisasi. Ada pertimbangan bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisai tidak ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistem imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat virus HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati sesuai jadwal anak sehat.

46

7. Jadwal imunisasi Tabel 2.1 Jadwal imunisasi Jenis

Umur pemberian imunisasi

vaksin

Bulan Lahi 1

Tahun

2

3 4

5 6

9

12 15 18 2 3

5 6

1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

10 12

r BCG POLIO

0

Hepatitis B

1

DPT

2

Campak

1

6 2

Tabel 2.2 Keterangan Jadwal Imunisasi Vaksinasi

Jadwal Pemberian

Ulangan/ Booster

Usia BCG Hepatitis B

Waktu Lahir

Imunisasi untuk melawan

-

Tuberkulosis

Waktu Lahir:

1 tahun - pada bayi

Hepatitis B

dosis 1

yang lahirdari ibu

1 bulan - dosis 2

dengan hepetitis B

6 bulan - dosis 3 DPT dan Polio

Campak

3 bulan - dosis 1

18 bulan - booster 1

Difteria, pertusis,

4 bulan - dosis 2

6 tahun - booster 2

tetanus dan polio

5 bulan - dosis 3

12 tahun- booster 3

9 bulan

-

Sumber: Atikah (2010,p34)

Campak

47

B. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

mengadakan

penginderaan

terhadap

suatu

objak

tertentu.

Penginderaan terhadap objek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo, 2003) Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetepi perlu ditekankan, bukan

berarti

seseorang

yang

berpendidikan

rendah

mutlak

berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan forman saja, akan tetapi dapat di peroleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap obyek tertentu. Menurut teori World Health Organization (WHO) yang di kutip oleh Notoatmodjo

48

(2007), salah satu bentuk obyek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. 2. Tingkat pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang cukup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu: (Notoadmodjo, 2003) a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari yaitu menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (Comprehention) Memahami

artinya

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dimana dapat menginterprestasikan secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi terus dapat menjelaskan, menyebutkan

49

contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap suatu obyek yang dipelajari. c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (Analisys) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (Syntesis) Sintesis yang dimaksud menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini barkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

50

3. Cara memperoleh pengetahuan Cara memperoleh pengetahuan yang di kutip dari Notoatmodjo, 2003:11 adalah sebagai berikut: 1. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan a. Cara coba salah (Trial and Error) Cara ini telah dipakai orang sebalum kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan

dengan

menggunakan

kemungkinan

dalam

memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba. Kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan. b. Cara kekuasaan atau otoritas Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang menerima mempunyai yang di kemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri. c. Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalamn pribadipun dapat digunkan sebagai upaya memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman ynag

51

pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan

yang

dihadapi masa lalu. 2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disabut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Devan. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah. 4. Proses perilaku “TAHU” Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmojo (2003), perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang dapat diamati langsung dari maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Sedangkan sebelum mengadopsi perilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b. Interest (merasa tertarik) dimana individu mulai menaruh perhatian dan tertarik pada stimulus. c. Evaluation (menimbang-nimbang) individu akan mempertimbangakan baik buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, dimana individu mulai mencoba perilaku baru. e. Adaption, dan sikapnya terhadap stimulus

52

Pada penelitian selanjutnya, Rogars (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo, menyimpulkan bahwa pengadopsian perilaku yang melalui proses seperti diatas dan didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat sementara atau tidak akan berlangsung lama. Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan soisai yang secara rinci merupakan refleksi dari berbagai gajolak kajiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan a. Faktor internal 1. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mandapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta

53

dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi. 2. Pekerjaan Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kahidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya kegiatan yang manyita waktu. Bekerja bagi ibuibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. 3. Umur Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercayai dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa. b. Faktor eksternal 1. Faktor lingkungan Menurutr Ann.Mariner yang dikutip dari Mursalam (3 lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan

54

pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok). 2. Sosial budaya Sistem

sosial

budaya

yang

ada

pada

masyarakat

dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi. 6. Kriteria tingkat pengetahuan Menutur Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu: a. Baik

: Hasil persentase 76%-100%

b. Cukup

: Hasil persentase 56%-75%

c. Kurang

: Hasil persentase > 56%

C. Manajemen keluarga 1. Manajemen ekonomi keluarga Manajemen ekonomi keluarga merupakan tindakan merencanakan, melaksanakan, memonitor, mengevaluasi dan mengendalikan pendapatan yang diperoleh kaluarga serta penggunaan sumber-sumber keluarga khususnya sumber keuangan. Tindakan demikian dimaksudkan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan keluarga secara optimum, disamping itu memastikan kondisi keuangan keluarga agar tetap stabil, serta berusaha terus dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam keluarga.

55

Manfaat pengelolaan ekonomi keluarga, untuk mendayagunakan kesadaran, sikap, perilaku dan kemampuan anggota keluarga serta memotifasi potensi yang ada dalam keluarga yang bertujuan untuk: a.

Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga secara optimum

b.

Stabilitas ekonomi dalam keluarga

c.

Peningkatan ekonomi keluarga Manajemen ekonomi keluarga pada prinsipnya adalah adanya upaya

pengendalian tingkat pengeluaran dalam memenuhi kebutuhan keluarga agar terdapat surplus secara tetap. Selanjutnya dimasa mendatang akan menjadikan tabungan yang dapat menjanjikan untuk mencukupi fasilitas maupun rencana keluarga yang lebih baik, dengan demikian pertumbuhan ekonomi keluarga akan terjaga. Beberapa hal yang perlu diketahui tentang sikap dasar berkaitan dengan manajemen ekonomi keluarga antara lain adalah: a.

Adanya motivasi yang kuat dari semua anggota keluarga dalam mencapai peningkatan ekonomi yang lebih baik dalam kehidupannya.

b.

Saling menyadari, terbuka, jujur, disiplin, kerjasama semua anggota keluarga serta masing-masing akan melakukan kewajibannya dengan penuh kesadaran.

c.

Keluarga memiliki kataatan dan kedisiplinan dalam pengendalian diri yang berupa, perencanaan ekonomi keluarga dan pelaksanaannya setiap hari.

56

d.

Keluarga memiliki susunan prioritas kebutuhan dan alokasi sumber ekonomi keluarga berdasarkan tingkat kebutuhan bukan sekedar keinginan. Disamping sikap dasar yang perlu dimiliki anggota keluarga dalam

mengelola keuangan keluarga, ada beberapa unsur penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengelolaan keuangan keluarga yang antara lain adalah: 1.

Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga artinya jumlah keseluruhan penghasilan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga dari berbagai sumber. Menghitung pendapatan keluarga bukan hal yang mudah, apalagi bagi keluarga yang tidak memiliki pendapatan yang tetap misal: petani, pedagang, buruh dan sebagainya. Pendapatan pada pekerja tersebut akan terhitung pada satuan saat panen, atau jumlah penjualan dimana sering terjadi tidak stabilnya harga hasil panen. Untuk hal tersebut maka perhitungan penghasilan diperkirakan rata-rata hasil panen atau hasil dagangan disesuaikan dengan nilai rupiah secara bulanan. Kesulitan akan timbul, jika dalam sebuah keluarga hanya ada satu yang mendapatkan penghasilan sementara anggota yang lainnya (istri dan anak-anak) sebagai tanggungan penuh, apalagi jika keluarga masih dalam posisi kurun keluarga masuk Perguruan Tinggi.

57

2.

Rencana pengeluaran Rencana pengeluaran atau rencana anggaran belanja keluarga merupakan penyusunan berbagai jenis kebutuhan keluarga dalam urutan prioritas keluarga

yang diharapkan dapat

menjadi

pengendali

pengeluaran keluarga dalam upaya penataan ekonomi keluarga, beberapa hal yang perlu diketahui barkaitan dengan rencana pengeluaran keluarga dapat dikatagorikan menjadi: Pertama, Kebutuhan yang sifatnya mutlak a.

Makanan

b.

Pakaian

c.

Perumahan

d.

Kesehatan

e.

Pendidikan

f.

Transport

Kedua, Kebutuhan yang sifatnya penting a.

Angsuran/ kredit

b.

Olahraga, hiburan, rekreasi keluarga

c.

Hajat, sumbangan, pajak, gotong royong, arisan

d.

Zakat, fitrah, sodakoh, amal

Ketiga, Kebutuhan yang sifatnya perlu a.

Peningkatan kualitas dari berbagai kebutuhan yang sifatnya mutlak dan penting

58

Keempat, Kebutuhan yang sifatnya kurang perlu a. Pengeluaran untuk kesenangan semata, misalnya morokok, hobi, makan dan minim diluar rumah, pembelian barang dan jasa yang sesungguhnya tidak diperlukan.

D. Perilaku kesehatan Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat (Blum:1974). Oleh sebab itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Intervensi terhadap faktor perilaku ini secara garis besar dapat dilakukan melalui dua upaya yang saling bertentangan. Masing-masing upaya tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kedua upaya tersebut dilakukan melalui: 1. Tekanan (Enforcement) Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mangadopsi perilaku kesehatan dengan cara-cara tekanan, paksaan atau koersi (coertion). Upaya enforcement ini bisa dalam bentuk undang-undang atau peraturan-peraturan

(law’enforcement),

instruksi-instruksi,

tekanan-

tekanan (fisik atau non fisik), sanksi-sanksi, dan sebagainya. Pendekatan atau cara ini biasanya menimbulkan dampak yang lebih cepat terhadap perubahan perilaku. Tetapi pada umumnya perubahan atau perilaku baru ini tidak langgeng (sutainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan

59

dengan cara ini tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan. 2. Edukasi (Education) Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himpunan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya. Memang dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat akan memakan waktu lama, dibandingkan dengan cara koersi. Namun demikian bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, maka akan langgeng, bahkan selama hidup dilakukan. Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan masyarakat, tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingkan dengan pendekatan koersi. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif

untuk

kesehatan. Dengan perkataan lain pendidikan kesahatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut. Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green (1980). Menurut Green, perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni:

60

a. Faktor-faktor pemudah (predisposing factor) Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap halhal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat,

tingkat

pendidikan,

tingkat

sosial

ekonomi,

dan

sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya: pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil. Misalnya, orang hamil tidak boleh disuntik (periksa hamil termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah. b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan

61

sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya: perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil, misalnya: puskesmas, polindes, bidan praktek, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin, c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini udang-undang, peraturanperaturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, malainkan diperlukan perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Disamping itu juga undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti perilaku periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas periksa hamil, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan periksa hamil.

62

E. Kerangka teori Bagan 2.1 Kerangka teori

Faktor pemudah (predisposing factor): - Pengetahuan - Pendidikan - Nilai - Sosial ekonomi (Pendapatan)

Faktor pemungkin (enabling factor): - Ketersediaan sarana dan prasarana

Faktor penguat (reinforcing factor): - Petugas kesehatan - Tokoh masyarakat - Tokoh agama - Undang-undang dan peraturan

Sumber: Laurens Green (Notoatmodjo, 2003, p13-14)

Perilaku kesehatan

63

F. Kerangka Konsep Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan tingkat pendapatan, dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kelengkapan imunisasi. Bagan 2.2 Kerangka konsep Variabel bebas:

Variabel terikat:

Pengetahuan

Kelengkapan imunisasi

Tingkat Pendapatan

G. Hipotesis: 1. Ha1: Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada balita usia 12-14 bulan di wilayah Puskesmas Kedungmundu Semarang. 2. Ha2: Ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kelengkapan imunisasi dasar pada balita usia 12-14 bulan di wilayah Puskesmas Kedungmundu Semarang.