BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Download III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian. Berdasarkan peta geomorfologi Dam (1994 ), daerah penelitian berada pada satuan pusat vulkanik (volcan...

0 downloads 628 Views 2MB Size
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan peta geomorfologi Dam (1994), daerah penelitian berada pada satuan pusat vulkanik (volcanic centre/volcanic cone) dan satuan vulkanik ekstrusif (volcanic extrusives). Satuan pusat vulkanik memiliki bentang alam berbentuk kerucut yang dapat dibedakan dari bentukan di sekitarnya. Satuan ini memiliki pola lereng yang radial. Pada daerah penelitian, satuan pusat vulkanik meliputi Gunung Palasari, Gunung Manglayang dan Gunung Bukit Tunggul. Satuan vulkanik ekstrusif merupakan bentang alam vulkanik yang berada di sekeliling kerucut gunungapi. Satuan ini terbentuk sebagai proses vulkanik yang bersifat eksogen dan tersusun dari berbagai variasi material vulkanik (breksi, konglomerat, pumice dan debu). Berdasarkan kondisi topografi, satuan vulkanik ekstrusif pada daerah penelitian kemungkinan berasal dari material Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, dan dibatasi secara tegas oleh Sesar Lembang yang berarah barat – timur (Gambar III.1).

Gambar III.1 : Peta geomorfologi dataran Bandung (Dam, 1994) III-1

Daerah penelitian terletak diantara beberapa kerucut gunungapi, yaitu: Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Pangparang disebelah utara, serta Gunung Manglayang disebelah tenggara. Gunung Palasari berada di bagian tengah daerah penelitian (Gambar III.2).

Keterangan : PL : Gunung Palasari, BT : Gunung Bukit Tunggul, ML: Gunung Manglayang, PP : Gunung Pangparang Daerah Penelitian

Gambar III.2 : Lokasi daerah penelitian

Secara umum daerah penelitian terdiri dari perbukitan terjal (75 %) dan lembah (25%). Pembagian satuan geomorfologi didasarkan pada pola kerapatan kontur, kemiringan lereng dan bentuk morfologi di lapangan. Berdasarkan klasifikasi van Zuidam (1983), daerah penelitian dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi, yaitu Satuan Lereng Gunungapi Bagian Bawah Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Pangparang (V7), Satuan Lereng Gunungapi Bagian Bawah Gunung Manglayang (V6), dan Satuan Kerucut Bagian Atas dan Tengah Gunung Palasari (V4) (Lampiran I).

III-2

III.1.1 Satuan Lereng Gunungapi Bagian Bawah Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Pangparang (V7) Satuan ini berada di bagian utara daerah penelitian, menempati sekitar 35% luas daerah penelitian. Satuan ini merupakan bagian bawah (foot slopes) dari Gunung Bukit Tunggul (2206 m) dan Gunung Pangparang (1957 m) yang berada disebelah utara (Foto III.1). Satuan ini memiliki pola kerapatan kontur yang sedang – rapat. Pola kerapatan kontur sedang berada di bagian barat, sedangkan pola kontur rapat berada di bagian timur (Lampiran I). Berdasarkan kenampakan morfologi di lapangan, pola kerapatan kontur sedang merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng sedikit miring dan lembah menyerupai bentuk huruf ”U” (Foto III.2). Sedangkan pola kerapatan kontur rapat merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng miring – sedikit curam (Foto III.3). Klasifikasi kemiringan lereng oleh van Zuidam (1983) menyebutkan kemiringan lereng sedikit miring adalah 20 – 40 (2% - 7%), kemiringan lereng miring adalah 40 – 80 (7% - 15%), dan kemiringan lereng sedikit curam adalah 80 – 160 (15% - 30 %).

Foto III.2 : Lembah sungai menyerupai bentuk huruf ”U”

Foto III.1 : Lokasi daerah penelitian (latar depan) berada pada kaki gunungapi Bukit Tunggul dan Gunung Pangparang (latar belakang). (Foto diambil dari sebelah selatan Gunung Bukit Tunggul).

III-3

Foto III.3 : Perbukitan di satuan V7 dengan kemiringan lereng miring – sedikit curam (7% - 30%).

III.1.2 Satuan Lereng Gunungapi Bagian Bawah Gunung Manglayang (V6). Satuan ini berada di bagian tenggara daerah penelitian, menempati sekitar 15% luas daerah penelitian. Satuan ini merupakan bagian bawah (foot slopes) dari Gunung Manglayang (Foto III.4). Satuan ini memiliki pola kerapatan kontur yang sedang – rapat. Berdasarkan kenampakan morfologi di lapangan dan klasifikasi kemiringan lereng oleh van Zuidam (1983), satuan ini merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng miring.

Foto III.4 : Lokasi daerah penelitian (latar depan) berada pada kaki Gunung Manglayang. (Foto diambil dari sebelah barat laut Gunung Manglayang).

III.1.3 Satuan Kerucut Gunungapi Bagian Atas dan Tengah Gunung Palasari (V4). Satuan ini berada di bagian selatan daerah penelitian, menempati sekitar 50% luas daerah penelitian. Satuan ini merupakan bagian atas dan tengah Gunung Palasari (1859 m) (Foto III.5). Satuan ini memiliki pola kerapatan kontur yang rapat. Berdasarkan kenampakan morfologi di lapangan, satuan ini merupakan perbukitan dengan kemiringan curam – sangat curam (30% 140%), dengan lembah sungai yang menyerupai bentuk huruf ”V” (Foto III.6). Kemiringan lereng curam adalah 160 – 350 (30% - 70%) dan kemiringan lereng sangat curam adalah 350 – 550 (70% - 140%) (van Zuidam, 1983). Pada satuan ini terdapat gawir sesar (fault scarp), tebing III-4

terjal yang terbentuk akibat pergerakan sesar dan merupakan bagian dari sesar yang tersingkap di permukaan sebelum terubah akibat erosi dan pelapukan (Bates dan Jackson, 1987). Gawir sesar daerah penelitian berarah barat – timur, dimana topografi bagian selatan relatif lebih tinggi daripada bagian utara.

G.Palasari

Foto III.6 : Lembah sungai menyerupai bentuk huruf ”V”

Foto III.5 : Lokasi daerah penelitian pada Bagian Atas dan Tengah Gunung Palasari (Foto dari arah selatan).

III.1.4 Pola Aliran Sungai Berdasarkan klasifikasi pola aliran sungai (Howard, 1967 dalam van Zuidam, 1983), pola aliran sungai di daerah penelitian adalah dendritik dan paralel (Gambar III.3). Pola aliran tipe dendritik berbentuk menyerupai cabang pohon, dengan ketahanan batuan relatif seragam. Tipe dendritik berkembang pada lereng dengan kemiringan sedikit miring (van Zuidam, 1983). Pada daerah penelitian, pola ini berkembang pada Ci Sarua yang mengalir kearah barat dan sungai – sungai di daerah Palintang yang mengalir kearah selatan. Arah aliran Ci Sarua relatif sejajar dengan arah gawir sesar, ada kemungkinan pola aliran Ci Sarua dipengaruhi aktifitas gawir tersebut. Pola paralel berada di bagian tengah dan selatan daerah penelitian. Pada umumnya, pola paralel berkembang pada lereng dengan kemiringan sedikit curam hingga curam (van Zuidam, 1983). Pada daerah penelitian, pola ini berkembang pada sungai – sungai di sebelah selatan Sesar Lembang. III-5

b

a

Keterangan : a : Pola aliran sungai dan genesa di daerah penelitian b : Pola aliran sungai (Howard, 1967 dalam Zuidam, 1983) c : Genesa sungai

c

Gambar III.3 : Pola dan genesa sungai pada satuan daerah penelitian.

Berdasarkan genesa, lembah sungai di daerah penelitian adalah konsekuan, subsekuen, obsekuen, dan resekuen. Konsekuen adalah lembah sungai yang mengalir mengikuti kemiringan lereng awal (initial slope). Subsekuen adalah lembah sungai yang berkembang pada batuan yang mudah tererosi. Bentuk lembah subsekuen dipengaruhi struktur yang ada. Obsekuen adalah lembah yang arah aliran air berlawanan dengan konsekuen. Resekuen adalah lembah yang arah aliran air searah dengan konsekuen, tetapi resekuen terbentuk pada level topografi yang lebih rendah (Davis, 1902 dalam Thornbury, 1989). III.2 Stratigrafi Daerah Penelitian Daerah penelitian didominasi oleh hasil endapan vulkanik Kuarter yang berasal dari kompleks gunungapi disekitarnya. Material hasil endapan vulkanik tersebut berupa Satuan Breksi Piroklastik, Satuan Lava Andesit I, Satuan Tuf, dan Satuan Lava Andesit II (Lampiran II). III-6

Dalam penelitian ini, penulis membagi satuan berdasarkan pengamatan secara megaskopis dan penamaan yang mengacu pada klasifikasi Schmidt (1981) (Tabel III.1). Penentuan satuan batuan mengacu pada konsep litostratigrafi. Pada satuan litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri batuan yang dapat diamati di lapangan (Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI), 1973). Tabel III.1: Klasifikasi batuan piroklastik (Schmidt, 1981). Ukuran Butir (mm)

Piroklast

Endapan piroklastik Non Konsolidasi : tefra Konsolidasi : Batuan piroklastik

>64 2 - 64

Blok, Bom Lapili

Aglomerat, lapisan blok/ bom atau Blok/bom tefra Aglomerat, Breksi Piroklastik Tefra Lapili Batuan Lapili

⅟16 - 2

Butiran debu kasar butiran debu halus

Debu kasar Debu halus

< ⅟16

Tuf kasar Tuf halus

Lokasi daerah penelitian terletak di komplek gunungapi, oleh karena itu dalam analisis mekanisme pengendapan batuan, penulis mengacu pada model Fuego. Model Fuego adalah model fasies gunungapi strato darat di Guatemala, Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) dalam Cas dan Wright (1987) (Gambar III.4). Model ini terdiri dari empat fasies, yaitu : Fasies Vulkanik Inti (Volcanic Core Facies), Fasies Vulkanoklastik Proksimal (Proximal Volcaniclastic Facies), Fasies Vulkanoklastik Medial (Medial Volcaniclastic Facies), dan Fasies Vulkanoklastik Distal (Distal Volcaniclastic Facies). 1. Fasies vulkanik inti (Volcanic Core Facies) terdiri dari lava, endapan piroklastik jatuhan, dan breksi koluvium. 2. Fasies vulkanoklastik proksimal (Proximal Volcanoclastic Facies) terdiri dari breksi vulkanik (blok dan endapan aliran debu, breksi koluvium) dan endapan piroklastik jatuhan. 3. Fasies vulkanoklastik medial (Medial Volcanoclastic Facies) terdiri dari endapan debris-flow (lahar) dan konglomerat fluvial serta endapan piroklastik jatuhan. 4. Fasies vulkanoklastik distal (Distal Volcanoclastic Facies) didominasi oleh pasir fluvial, breksi dan konglomerat.

III-7

Gambar III.4 : Fasies gunungapi Stratovolcano daerah Fuego, Guatemala (Vassel dan Davis, 1981 dalam Cas dan Wright, 1987).

III.2.1 Satuan Breksi Piroklastik III.2.1.1 Penyebaran Satuan Breksi Piroklastik memiliki penyebaran di permukaan sekitar 55% dari luas daerah penelitian, tersebar di bagian barat dan timur, ditandai warna coklat pada peta geologi (Lampiran II). Satuan ini tersingkap di sungai, lembah dan punggungan. Pola penyebaran pada bagian barat mengikuti punggungan dan lembah dari Gunung Palasari. Sedangkan pola penyebaran pada bagian timur mengikuti punggungan dan lembah dari Gunung Pangparang. Kenampakan di lapangan memperlihatkan sebagian besar singkapan sudah mengalami pelapukan, meskipun pada beberapa lokasi masih terlihat segar. III.2.1.2 Ciri Litologi Berdasarkan pengamatan di lapangan (Lampiran III), satuan ini terdiri dari breksi piroklastik, konglomerat dan tuf. Secara megaskopis, breksi piroklastik memiliki ciri-ciri, coklat terang (kondisi lapuk) sampai abu-abu hitam (kondisi segar), kerikil – bongkah, menyudut – III-8

menyudut tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, lunak (kondisi lapuk) dan kompak (kondisi segar), andesit, dan masa dasar tufa. Fragmen andesit (monomik), kerikil – bongkah, abu – abu, fanerik, subhedral – anhedral, mineral : plagioklas, biotit, hornblende. Pada beberapa lokasi, diameter ukuran fragmen (bongkah) andesit bisa mencapai hingga 2 m (pengamatan mikroskopis, lihat Lampiran V-1). Konglomerat, coklat terang (kondisi lapuk) sampai abu – abu kehitaman (segar), kerikil – bongkah, membulat – membulat tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, kompak, fragmen andesit, dan masa dasar tufa. Fragmen andesit (monomik), abu – abu, fanerik, subhedral – anhedral, mineral : plagioklas, biotit, hornblende. Pengamatan batuan ini dapat dilakukan pada lokasi singkapan LG 22. (Foto III.7). Tuf, coklat muda, butir halus – kasar, membulat – membulat tanggung, terpilah sedang – baik, kemas terbuka, mudah diremas. Pengamatan batuan ini dapat dilakukan pada lokasi singkapan Pa86. (Foto III.8).

Foto III.7 : Singkapan konglomerat (LG22)

Foto III.8 : Singkapan tuf (Pa86).

III.2.1.3 Mekanisme Pengendapan Endapan piroklastik jatuhan terbentuk setelah material vulkanik keluar secara eksplosif dari lubang kepundan. Fragmen-fragmen berukuran besar keluar secara eksplosif, sedangkan endapan berukuran lebih halus berpindah melalui mekanisme aliran piroklastik membentuk ashcloud derived fall deposits (Cas dan Wright, 1987). Hasil pengamatan di lapangan, dijumpai fragmen andesit berukuran besar (>2m) yang bercampur dengan material yang halus (tuf). Berdasarkan hal tersebut, Satuan Breksi Piroklastik ini diendapkan melalui mekanisme piroklastik jatuhan (pyroclastic fall). III-9

Secara morfologi, Satuan Breksi Piroklastik bagian barat terletak pada puncak dan tubuh Gunung Palasari, sedangkan bagian timur terletak pada tubuh Gunung Pangparang dimana kedua bagian tersebut berasosiasi dengan breksi dan tuf. Mengacu pada model Fuego, Satuan Breksi Piroklastik bagian barat terletak pada fasies vulkanik inti dan fasies vulkanoklastik proksimal dari Gunung Palasari, dan pada fasies ini juga dijumpai Lava Andesit I. Sedangkan Satuan Breksi Piroklastik bagian timur berada pada fasies vulkanoklastik proksimal dari Gunung Pangparang. III.2.2 Satuan Lava Andesit I III.2.2.1 Penyebaran Satuan Lava Andesit I memiliki penyebaran di permukaan sekitar 4% dari luas daerah penelitian, ditandai warna merah pada peta geologi (Lampiran II). Satuan ini tersingkap di sungai - sungai di daerah Palintang, dan sungai di daerah Legoknyenang. Lava – lava tersebut kemungkinan merupakan produk dari Gunung Palasari, kecuali pada lava bagian paling timur (daerah Ciangkeb), dimana tidak diketahui sumbernya. III.2.2.2 Ciri Litologi Lava Andesit I, abu – abu kehitaman, afanitik, kompak, dan tekstur vesikular (pengamatan mikroskopis, lihat Lampiran V-2). Pada Lava Andesit I dijumpai kekar gerus (shear fracture), diantaranya dapat diamati pada lokasi singkapan LG5 (Foto III.9). Analisa mengenai kekar gerus akan dibahas pada bab III.3 mengenai analisa struktur. III.2.2.3 Mekanisme Pengendapan Lava adalah aliran magma yang keluar ke permukaan bumi ketika terjadi aktivitas vulkanik efusif. Pada umumnya, lava berasosiasi dengan aliran piroklastik (Cas dan Wright, 1987). Menurut Yuwono (2004), endapan lava mengikuti sepanjang lembah purba dan diendapkan di daerah dekat sumber. Berdasarkan uraian sebelumnya (sub-bab III.2.1.3), satuan Lava Andesit I bagian barat berada pada fasies inti dan fasies proksimal Gunung Palasari.

III-10

Foto III.9 : Singkapan lava andesit I(LG5) dengan struktur kekar gerus.

III.2.3 Satuan Tuf III.2.3.1 Penyebaran Satuan Tuf memiliki penyebaran di permukaan sekitar 40% dari luas daerah penelitian, ditandai warna kuning pada peta geologi (Lampiran III). Satuan ini tersingkap di bagian utara, tengah dan tenggara daerah penelitian, di sungai, lembah, dan punggungan. III.2.3.2 Ciri Litologi Berdasarkan pengamatan di lapangan, satuan ini terdiri dari batuan tuf. Ciri litologi berwarna coklat kemerahan (kondisi lapuk), ukuran butir debu kasar – halus, terpilah buruk – sedang , menyudut – membulat tanggung, mudah diremas, terdapat fragmen berukuran lapili, seperti litik, kristal, dan gelas (pengamatan mikroskopis, lihat Lampiran V-3). Pengamatan batuan ini dapat dilakukan diantaranya pada lokasi singkapan Pa58 (Foto III.10). III.2.3.3 Mekanisme Pengendapan Berdasarkan ciri litologi, terpilah buruk – sedang, satuan ini memiliki karakteristik endapan dengan mekanisme piroklastik aliran. Menurut McPhie dkk (1993),

karakteristik

piroklastik aliran dicirikan pemilahan buruk, dimana batuan piroklastik berukuran lapili dan blok tertanam pada material yang lebih halus. Secara morfologi, Satuan Tuf terletak pada kaki Gunung Bukit Tunggul, Gunung Pangparang, dan Gunung Manglayang. Mengacu pada model Fuego, Satuan Tuf berada pada III-11

fasies medial dari Gunung Bukit Tunggul dan/atau Gunung Pangparang dan/atau Gunung Manglayang.

Foto III.10 : Singkapan tuf di Pa58. Inset : Fragmen-fragmen pada batuan tuf

III.2.4 Satuan Lava Andesit II III.2.4.1 Penyebaran Satuan Lava Andesit II memiliki penyebaran di permukaan sekitar 1% dari luas daerah penelitian, ditandai warna merah muda pada peta geologi (Lampiran II). Satuan ini tersingkap di Ci Sarua, III.2.4.2 Ciri Litologi Secara megaskopis, Lava Andesit I dan Lava Andesit II memiliki ciri yang sama, yaitu abu – abu kehitaman, afanitik, kompak, dan tekstur vesikular (pengamatan mikroskopis, lihat Lampiran V-4). Perbedaan terdapat pada kondisi struktur, Jika pada Lava Andesit I (LG5) dijumpai kekar gerus (shear fracture), pada Lava Andesit II (LC3) dijumpai struktur kekar berlembar (sheeting joint). Pengamatan Satuan ini dapat dilakukan di lokasi singkapan LC3 (Foto III.11). III.2.4.3 Mekanisme Pengendapan Secara morfologi, Lava Andesit II berada pada bagian kaki gunungapi Bukit Tunggul. Mengacu pada model Fuego, Satuan ini berada pada fasies medial dari Gunung Bukit Tunggul

III-12

Foto III.11 : Singkapan lava andesit II (LC3) dengan struktur kekar berlembar.

III.2.4 Kesebandingan Stratigrafi dan Umur Satuan Batuan Penelitian tentang stratigrafi di daerah penelitian telah di lakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya adalah Silitonga (1973) dalam “Peta Geologi Lembar Bandung” dan Koesoemadinata dan Hartono (1981) dalam makalah berjudul “Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung”. Oleh karena itu, penulis menyebandingkan umur dan stratigrafi daerah penelitian dengan penelitian sebelumnya (Tabel III.2). Tabel III.2 : Kesebandingan Stratigrafi Daerah Penelitian

Satuan Breksi Piroklastik termasuk dalam endapan Hasil Gunung Api Tua Tak Teruraikan (Qvu) yang diendapkan pada masa Kuarter (Silitonga, 1973). Satuan ini penulis III-13

sebandingkan dengan Formasi Cikapundung yang diendapkan pada kala Plistosen Bawah – Tengah (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Penulis tidak menemukan kontak yang tegas antara satuan ini dengan satuan yang lain di lapangan. Penarikan batas satuan di peta geologi, berdasarkan sentuhan antara dua satuan dengan ciri litologi yang berbeda di peta lintasan (Lampiran III) serta sebaran yang mengikuti lembah. Satuan Lava Andesit I termasuk dalam Satuan Hasil Gunung Api Tua Tak Teruraikan (Qvu) (Silitonga, 1973). Satuan ini penulis sebandingkan dengan Formasi Cikapundung yang diendapkan pada Kala Plistosen Bawah – Tengah (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Lava Andesit I melensa dalam Satuan Breksi Piroklastik, hal tersebut didasarkan pada umur pengendapan yang sebanding. Penarikan batas satuan di peta geologi, berdasarkan sentuhan antara dua satuan dengan ciri litologi yang berbeda di peta lintasan (Lampiran III) serta sebaran yang mengikuti lembah. Satuan Tuf di daerah penelitian termasuk Satuan Hasil Gunung Api Muda Tak Teruraikan (Qyu) dan Satuan Koluvium (Qc). Berdasarkan kemiripan litologi, Hutasoit (2009) memasukkan Satuan Hasil Gunung Api Muda Tak Teruraikan (Qyu) ke dalam Formasi Cibeureum. Formasi Cibeureum diendapkan pada Kala Plistosen Atas (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Penarikan batas satuan di peta geologi, berdasarkan sentuhan antara dua satuan dengan ciri litologi yang berbeda di peta lintasan (Lampiran III) serta sebaran yang mengikuti lembah. Satuan Lava Andesit II termasuk dalam Satuan Hasil Gunung Api Muda Tak Teruraikan (Qyu) (Silitonga, 1973). Satuan ini penulis sebandingkan dengan Formasi Cibeureum yang diendapkan pada kala Plistosen Atas (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Lava Andesit II melensa dalam Satuan Tuf, hal tersebut didasarkan pada umur pengendapan yang sebanding. Penarikan batas satuan di peta geologi, berdasarkan sentuhan antara dua satuan dengan ciri litologi yang berbeda di peta lintasan (Lampiran III) serta sebaran yang mengikuti lembah.

III-14

III.3 Geologi Struktur Daerah Penelitian. Berdasarkan peta geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973), terdapat gawir sesar berarah barat – timur dan utara – selatan di daerah penelitian. Gawir sesar tersebut merupakan bagian dari Sesar Lembang sebelah timur (Gambar III.5). Berdasarkan penelitian Tjia (1986) dalam Dam (1994), Sesar Lembang mengalami pergerakan vertikal (dip slip) dan pergerakan mendatar (strike – slip). Sedangkan Koesoemadinata dan Hartono (1981) menyebutkan Sesar Lembang memiliki pergerakan turun (sesar normal) dengan loncatan (throw) meningkat dari barat hingga timur. Pembentukan awal Sesar Lembang diperkirakan terjadi pada akhir Plistosen Tengah (Van Bemmelen, 1949 dalam Koesoemadinata dan Hartono, 1981).

Gambar III.5 : Peta geologi daerah Gunung Palasari dan sekitarnya. Pada daerah penelitian tampak adanya gawir sesar berarah barat – timur dan utara – selatan (Silitonga, 1973).

Sesar Lembang di daerah penelitian dicirikan oleh gawir sesar berarah barat – timur (Foto III.12). Berdasarkan bentuk morfologi dan intepretasi citra satelit, Sesar Lembang di daerah penelitian merupakan sesar turun, di mana bagian utara lebih rendah daripada bagian selatan. Sesar tersebut memotong Satuan Breksi Piroklastik. Oleh karena itu, Sesar Lembang di daerah penelitian berumur lebih muda dari Plistosen Tengah. III-15

Foto III.12 : Sesar Lembang dilihat dari sebelah utara.

Hasil pengamatan di lapangan, penulis juga menjumpai kekar gerus (shear fracture) dan cermin sesar (slickenside). Kekar gerus memotong satuan batuan Lava Andesit I, diantaranya pada lokasi pengamatan LG 5 (Foto III.13), sedangkan cermin sesar ditemui pada tiga lokasi pengamatan yaitu PA24, PA96 dan LG1(Foto III.14).

Foto III.13 : Singkapan kekar gerus (LG5).

Kekar gerus dan cermin sesar merupakan indikasi aktifitas terjadinya sesar. Berdasarkan lokasi singkapan, penulis mengelompokkan menjadi empat, yaitu Sesar Cipanjalu, Sesar Girimekar, Sesar Palintang 1, dan Sesar Palintang 2. Sesar – sesar tersebut kemungkinan merupakan sesar – sesar minor yang terbentuk akibat pergerakan Sesar Lembang. Pergerakan III-16

Sesar Lembang yang kemungkinan terjadi lebih dari sekali, mengakibatkan terbentuknya jenis sesar minor yang berbeda-beda. Pengambilan data struktur dilakukan pada beberapa lokasi singkapan (Lampiran VI). Kemudian data tersebut diolah menggunakan software Stereonet. Hasil pengolahan menunjukkan di daerah Cipanjalu, lokasi GK 52, terjadi sesar menganan turun. Di daerah Girimekar, lokasi LG5, terjadi sesar mendatar mengiri. Di daerah Palintang 1, lokasi Pa 96, terjadi sesar menganan naik. Didaerah Palintang 2, lokasi PA 94, terjadi sesar mendatar mengiri (Gambar III.6).

Lokasi : PA24 Strike/dip Trend Plunge Pitch

Lokasi : PA96 0

0

= N 230 E/53 = 2400 = 140 = 50

Strike/dip Trend Plunge Pitch

0

Lokasi : LG1 Strike/dip = N 800 E/660 Trend = 450 Plunge = 340 Pitch = 250

Foto III.14 : Singkapan cermin sesar di lokasi PA24, PA96, dan LG1

III-17

0

= N 20 E/80 = 1740 = 310 = 600

Gambar III.6 : Hasil analisa struktur di lapangan.

III-18

III.4 Sejarah Geologi III.4.1 Sejarah Regional Sejarah geologi regional daerah penelitian erat kaitannya dengan aktifitas gunungapi kompleks Gunung Sunda. Aktifitas vulkanik tersebut dibagi oleh van Bemmelen (1949) menjadi delapan tahapan, yaitu : 1. Pembentukan komplek Gunungapi Sunda 2. Pembumbungan (doming up). 3. Keruntuhan komplek Gunungapi Sunda yang pertama mengakibatkan terbentuknya Sesar Lembang 4. Fase erupsi periode A Gunung Tangkubanperahu. 5. Keruntuhan komplek Gunungapi Sunda yang kedua mengakibatkan terbentuknya retakan berbentuk bulan sabit (cresentic rifts) 6. Fase erupsi periode B Gunung Tangkubanperahu. 7. Fase ketiga Pensesaran yang mengakibatkan terjadinya penurunan sebesar 40 m di sepanjang Sesar Lembang. 8. Fase erupsi periode C Gunung Tangkubanperahu. Komplek Gunungapi Sunda terbentuk pada Plistosen Tengah. Pembentukan tersebut ditandai dengan munculnya beberapa gunungapi, diantaranya adalah Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Bukit Tunggul, dan Gunung Manglayang (Koesoemadinata dan Hartono (1981), memasukkan Gunung Palasari dan Gunung Cagak pada tahapan ini). Keruntuhan Gunungapi Sunda

yang pertama,

sebelumnya didahului

aktifitas pembumbungan (doming up),

mengakibatkan terbentuknya Sesar Lembang. Pada tahap keempat, erupsi fase A merupakan ledakan kataklismik dari Gunung Sunda yang mengakibatkan terbentuknya kaldera Sunda dan Gunung Tangkubanperahu. Dalimin (1988) dalam Dam (1994), melakukan uji radiokarbon pada beberapa kayu di endapan vulkaniklastik. Berdasarkan data tersebut, diketahui terjadi aliran piroklastik katastropik sekitar 40.000 tahun yang lalu. Dam (1994) memperkirakan aliran tersebut merupakan hasil erupsi besar yang menghancurkan kerucut Gunungapi Sunda. Material hasil fase erupsi ini sebanding dengan Formasi Cibeureum (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Keruntuhan komplek Gunungapi Sunda yang kedua mengakibatkan terbentuknya retakan berbentuk bulan sabit (cresentic rifts). III-19

Fase erupsi periode B Gunung Tangkubanperahu terjadi pada Holosen. Material hasil erupsi Gunung Tangkuban perahu fase B mengakibatkan terbendungnya Ci Tarum sehingga terbentuk Danau Bandung (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Pensesaran kembali Sesar Lembang mengakibatkan terjadinya penurunan sebesar 40 m di sepanjang Sesar Lembang. Fase erupsi periode C Gunung Tangkubanperahu ditandai endapan lapisan debu tebal (antara 30 – 40m). Akan tetapi Koesoemadinata dan Hartono (1981) memperkirakan pensesaran Sesar Lembang terjadi setelah erupsi fase C, dimana fase erupsi periode C menghasilkan aliran lava yang melalui Ci Kapundung dan aliran lava besar – besaran ke arah utara. Material hasil fase erupsi B dan C sebanding dengan Formasi Cikidang. III.4.1 Sejarah Geologi Daerah Penelitian. Pada Kala Plistosen Bawah diendapkan Satuan Breki Piroklastik (Formasi Cikapundung). Pengendapan Satuan Breksi Piroklastik bersamaan dengan pengendapan Satuan Lava Andesit I. Pada akhir Plistosen Tengah, terjadi keruntuhan komplek Gunungapi Sunda yang pertama mengakibatkan terbentuknya Sesar Lembang di daerah penelitian. Aktifitas Sesar Lembang memotong Satuan Breksi Piroklastik dan mengakibatkan terbentuknya sesar – sesar minor di daerah Cipanjalu, Girimekar, dan Palintang. Pada kala Plistosen Atas, diendapkan Satuan Tuf (Formasi Cibeureum) bersamaan dengan pengendapan Satuan Lava Andesit II.

III-20