BANK INDONESIA - bi.go.id

Bank Indonesia – Indust ri Telur Asin (Konvensional) 2 1. Pendahuluan Pengasinan telur merupakan salah satu cara penam bahan umur simpan telur...

91 downloads 555 Views 2MB Size
POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

INDUSTRI TELUR ASIN (Pola Pembiayaan Konvensional)

BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : [email protected]

DAFTAR ISI 1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2 2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan................................ ............... 4

a. Profil Usaha ......................................................................................................... 4 b. Pola Pembiayaan ............................................................................................... 4 3. Aspek Pemasaran................................ ................................ ........ 6

a. Permintaan & Penawaran............................................................................... 6 b. Persaingan dan Peluang ................................................................................. 8 c. Harga...................................................................................................................... 8 d. Jalur Pemasaran ................................................................................................ 9 e. Kendala Pemasaran.......................................................................................... 9 4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 11

a. Lokasi Usaha ..................................................................................................... 11 b. Fasilitas Produksi dan Peralatan ............................................................... 11 c. Bahan Baku........................................................................................................ 11 d. Tenaga Kerja .................................................................................................... 11 e. Teknologi ............................................................................................................ 12 f. Proses Produksi................................................................................................. 12 g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi ............................................................. 19 h. Produksi Optimum .......................................................................................... 20 i. Kendala Produksi .............................................................................................. 20 5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 21

a. Pemilihan Pola Usaha .................................................................................... 21 b. Asumsi ................................................................................................................. 21 c. Biaya Investasi dan Biaya Operasional .................................................. 22 d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja .................................................... 23 e. Produksi dan Pendapatan ............................................................................ 24 f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point.............................................. 24 g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ............................................. 25 h. Analisis Sensitivitas........................................................................................ 26 6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 29

a. Aspek Sosial Ekonomi ................................................................................... 29 b. Dampak Lingkungan ...................................................................................... 29 7. Penutup ................................ ................................ ..................... 30

a. Kesimpulan ........................................................................................................ 30 b. Saran ................................................................................................................... 30 LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 31

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

1

1. Pendahuluan Pengasinan telur merupakan salah satu cara penambahan umur simpan telur yang umum dilakukan oleh masyarakat. Telur asin merupakan salah satu sumber protein yang mudah didapat dan berharga relatif murah. Telur asin sebagai bahan makanan yang telah diawetkan mempunyai daya tahan terhadap kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan telur mentah. Telur umumnya mengandung protein 13%, lemak 12%, mineral dan vitamin. Selain lebih awet telur asin juga digemari karena rasanya yang relatif lebih lezat dibandingkan telur tawar biasa.

Photo 1.1. Telur Asin

Konsumen terbesar produk telur asin adalah masyarakat menengah ke bawah, karena telur asin dapat dijadikan sumber protein hewani yang murah. Sebagian besar konsumen telur asin adalah penduduk di kota-kota besar. Disamping untuk konsumen rumah tangga, konsumen lainnya yang sangat potensial adalah restoran, rumah makan, kapal-kapal laut, rumah sakit, asrama-asrama, perusahaan jasa boga dan sebagainya. Perkembangan industri telur asin akan mendorong perkembangan peternakan itik akan berdampak kepada peningkatan pendapatan para peternak itik yang umumnya merupakan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, industri telur asin dapat dijadikan salah satu usaha yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menengah dan bawah serta dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumber protein mahal seperti daging.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

2

Pusat-pusat produksi telur asin umumnya berlokasi sama dengan sentrasentra penghasil telur itik. Pada tahun 2004 produsen telur itik terbesar di Indonesiia adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah produksi 37.447 ton diikuti dengan Provinsi Sulawesi Selatan 22.153 ton dan Provinsi Kalimantan Selatan 20.105 ton. Di Provinsi Jawa Barat, sentra-sentra telur itik antara lain terdapat di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Di Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon yang menjadi daerah survey studi ini terdapat 95 unit usaha telur asin skala kecil dan menengah. Sedangkan di Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon terdapat 10 unit usaha telur asin skala kecil dan menengah. Disamping itu juga terdapat pengusaha-pengusaha telur asin yang tersebar di daerah Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Gambaran tentang industri telur asin yang disajikan dalam buku lending model ini yang meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek produksi, aspek keuangan, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dalam rangka menyebarluaskan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat luas, maka buku pola pembiayaan telur asin ini akan ditransformasi dalam Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil (SI-PUK) yang dapat diakses melalui website Bank Indonesia.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

3

2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan a. Profil Usaha Usaha pembuatan telur asin adalah salah satu jenis industri makanan yang umumnya berskala mikro dan kecil. Bahan baku utama yang akan dijadikan telur asin adalah telur itik, sedangkan jenis telur lainnya tidak lazim dilakukan karena kebiasaan dari masyarakat kita yang menganggap telur asin berasal dari telur itik. Lokasi industri telur asin umumnya cukup dekat dengan daerah peternakan itik dan merupakan daerah pesawahan yang luas seperti di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Di Kabupaten Cirebon terdapat tiga buah sentra peternakan bebek, yaitu Kecamatan Kapetakan, Kecamatan Gebang dan Kecamatan Losari dimana di daerah tersebut juga terdapat pengusaha pengolahan telur asin yaitu (95 unit di Kecamatan Kapetakan, 2 unit di Kecamatan Gebang dan 10 unit di Kecamatan Losari). Industri telur asin di wilayah Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon umumnya berbentuk usaha perorangan dan usaha dagang dengan skala usaha mikro dan kecil. Pengelola usaha ini umumnya adalah keluarga dengan pelaksana usaha dilakukan sendiri dengan sebagian besar tenaga kerja tetap merupakan anggota keluarganya. Secara formal izin-izin yang diperlukan meliputi HO, NPWP, SIUP, dan TDP. Teknologi yang diperlukan untuk memproduksi telur asin secara umum merupakan teknologi yang sederhana. Oleh karena itu perbedaan proses produksi dan kualitas produk telur asin ditentukan berdasarkan cara pengolahannya. Pada umumnya budidaya ternak itik dilakukan dengan pengembalaan bebas, dimana mereka mendapatkan pakan dari sisa panen hasil pertanian, sehingga ketersediaan telur itik sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan kegiatan pertanian yang ada. Kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen, akan mengancam pasokan telur itik ke produsen telur asin dimana akan terjadi penurunan pasokan telur asin akibatnya terjadi peningkatan harga telur asin di pasar. Resiko jangka panjang adalah beralihnya pembeli ke produk-produk makanan yang lain. b. Pola Pembiayaan Pola pembiayaan usaha produksi telur asin dapat berasal dari pengusaha sendiri maupun dari kredit bank dengan proporsi yang sangat beragam antar pengusaha. Sumber dana lain berasal dari lembaga Pemerintahan seperti

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

4

Kementrian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang disalurkan melalui bank. Skim kredit yang tersedia pada lokasi usaha antara lain skim Kredit Usaha Kecil (KUK) dari BRI Unit dan skim Kredit Program Dana Penjaminan (KPDP) dari Bank Bukopin di Cirebon. Skim KUK yang diberikan adalah kredit modal kerja dan atau modal investasi dengan plafond maksimum dapat diputuskan sendiri oleh BRI Unit dengan kisaran Rp 50 juta, sementara KPDP yang dapat diputuskan oleh kantor cabang dengan plafond antara Rp 400 – 500 juta. Dalam rangka pemberian kredit perorangan, bank melakukan analisis terhadap karakter calon nasabah, kemampuan manajemen, kemampuan keuangan meliputi modal dan laba usaha, aspek teknis, kondisi dan prospek usaha, serta agunan. Suku bunga untuk skim kredit KUK yang diberikan oleh BRI untuk usaha ini berkisar antara 21-24% per tahun dengan jangka waktu kredit satu hingga dua tahun, sedangkan suku bunga KPDP dari Bank Bukopin adalah 13% per tahun dengan jangka waktu tiga tahun. Adapun beberapa prosedur yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit dari bank adalah : 1. 2. 3. 4.

Surat pengajuan kredit dari debitur Pengumpulan data (data keuangan, jaminan) Pembuatan proposal Pengajuan ke komite kredit

Beberapa persyaratan lain adalah semua transaksi keuangan dilakukan melalui rekening di bank yang bersangkutan. Biaya administrasi yang ditanggung oleh calon debitur adalah provisi sebesar 1%, biaya administrasi sebesar 1O/oo (permil), biaya pengikatan jaminan, biaya notaris dan biaya resiko. Kriteria yang menjadi pertimbangan bank dalam melakukan analisis kredit kepada nasabah adalah 5C, yaitu character (watak), capacity (kemampuan), capital (permodalan), collateral (jaminan) dan condition (kondisi).

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

5

3. Aspek Pemasaran a. Permintaan & Penawaran 1. Permintaan Industri telur asin mempunyai peranan yang cukup penting bagi industri pangan nasional terutama dalam memenuhi kebutuhan protein dan lemak masyarakat. Persentase telur sebagai sumber protein adalah sebesar 2,08% dari seluruh bahan pangan yang umum dikonsumsi. Menurut data dari BPS Cirebon, produksi telur itik di Kabupaten Cirebon tahun 2003 adalah sebanyak 24.000.000 butir dengan lebih dari 30% diolah menjadi telur asin. Sedangkan konsumsi per kapita beberapa jenis telur dan susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia per kapita disajikan pada Tabel 3.1. Jumlah total telur asin yang dikonsumsi akan didapatkan dari hasil perkalian nilai di Tabel 3.1 ini dengan jumlah penduduk Indonesia. Tabel 3.1. Konsumsi per Kapita Telur dan Susu di Indonesia Komoditi

1990 Telur Itik (butir) 6,6 Telur Asin (butir) 1,51 Telur Ayam (kg) 2,55 Susu (liter) 0,31 1 kg telur ayam = 16 butir Sumber : BPS (Data Susenas)

1993 6,6 1,56 3,28 0,31

Tahun 1996 1999 2002 4,52 3,22 4,47 1,98 0,99 1,92 4,71 7,88 4,58 0,21 0,21 0,21

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa konsumsi telur tertinggi berasal dari telur ayam diikuti dengan telur itik tawar kemudian telur asin. Konsumsi telur asin umumnya hanya sekitar 25 – 30% dibandingkan jumlah konsumsi telur itik tawar. Persentase ini umumnya tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Dari tahun ke tahun konsumsi telur asin per kapita umumnya tidak mengalami perubahan yaitu sekitar 2 butir per orang per tahun. Pada tahun 1999 terjadi penurunan permintaan telur asin yang cukup besar dimana pada tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi telur ayam, dengan pertimbangan bahwa penurunan konsumsi telur asin diakibatkan beralihnya konsumen ke telur ayam. Meski demikian pada tahun-tahun berikutnya perbandingan konsumsi telur per kapita sudah kembali pada nilai –nilai yang hampir sama dengan tahun sebelumnya.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

6

Dalam melakukan perhitungan umumnya BPS akan menghitung jumlah konsumsi telur dan susu sebagai satu kesatuan. Perbandingan pengeluaran per kapita di daerah Kabupaten Cirebon untuk membeli susu dan telur dibandingkan keperluan konsumsi lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Pengeluaran per Kapita untuk Bahan Pangan Masyarakat Kabupaten Cirebon Pengeluaran pada tahun (Rp/bulan) Bahan 1999 2000 2001 2002 2003 Konsumsi Telur + 10.182 13.362 14.341 16.536 16.854 Susu Total Konsumsi 256.891 276.732 284.881 333.714 386.766 Sumber : BPS Cirebon Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.2. pengeluaran per kapita untuk konsumsi telur dan susu tidak mengalami perubahan yang cukup drastis, dimana perubahan pengeluaran tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan harga dan bukan oleh peningkatan jumlah pembelian. Meskipun dari sisi statistik tidak terjadi perubahan jumlah konsumsi per kapita yang drastis, berdasarkan informasi dari pengusaha industri telur asin di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, diperoleh gambaran bahwa prospek pasar produk telur asin masih baik, karena ketersediaan bahan baku, jaminan pasar serta dinilai sebagai usaha yang menguntungkan. Selain itu perluasan pasar dari daerah sentra telur asin ke daerah-daerah baru semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sarana dan prasarana transportasi. 2. Penawaran Analisa pasar terhadap penawaran produk telur asin secara langsung masih belum dilakukan secara nasional. Perhitungan tidak langsung dapat dilakukan dengan memperkirakan persentase jumlah telur itik yang diasinkan dibandingkan produksi telur itik nasional. Data produksi total telur itik di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Produksi Telur Itik Indonesia Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%) 2000 144.306 2001 157.578 9,2 2002 169.651 7,66 2003 185.037 9,07 2004 194.004 4,85 Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

7

Pada Tabel 3.3. dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan produksi telur itik setiap tahun dari tahun 2000 sampai 2004, meskipun dari tahun 2003 hingga tahun 2004 peningkatan produksi tidaklah setinggi tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah produksi telur itik menunjukkan penggunaan dan konsumsi telur itik dalam negeri oleh masyarakat maupun industri makanan (termasuk industri farmasi dan jamu) mengalami peningkatan. b. Persaingan dan Peluang Persaingan yang terjadi pada industri telur asin tidak tajam, karena para pengusaha umumnya telah mempunyai pelanggan tetap. Upaya yang harus dilakukan pengusaha adalah menjaga mutu sehingga pelanggan puas dan tidak pindah ke pengusaha lain. Persaingan yang mungkin akan terjadi adalah persaingan untuk mendapatkan bahan baku yang murah, dimana petani itik petelur dapat saja memilih untuk menetaskan telur dibandingkan menjual telur tawar kepada produsen telur asin. Permintaan telur itik di Kabupaten Cirebon sebanyak 96,4 juta butir pertahun dan 6,9 juta butir/tahun diantaranya akan ditetaskan. Penetasan telur menjadi salah satu usaha yang cukup menguntungkan karena harga anak itik muda hasil penetasan (DOD) lebih mahal (antara Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per ekor) dibandingkan harga telur itik tawar yang dapat mereka jual ke produsen telur asin (sekitar Rp 625 per butir). Padahal hanya diperlukan waktu kurang dari satu bulan untuk menetaskan itik dengan peralatan penetas yang sederhana dan harganya relatif murah (sekitar Rp 600.000 untuk kapasitas 700 butir). Perluasan pasar umumnya dilakukan dengan pencarian pelanggan baru. Untuk mencapai tujuan ini pengusaha akan memperkerjakan beberapa orang agen pemasaran. Telur asin yang memiliki rasa lezat umumnya memiliki keunggulan pemasaran yang jauh lebih baik dibandingkan dengan telur asin dengan rasa biasa. Faktor rasa bagi pembeli menjadi hal yang sangat penting, oleh karena itu produsen yang mampu memproduksi telur asin dengan rasa yang lezat sangat dimungkinkan untuk melakukan penjualan ke luar daerah. c. Harga

Harga bahan baku utama industri ini adalah telur itik tawar yang dibeli dengan harga Rp 550 - Rp 650 per butir. Harga bahan baku telur itik tidak mengalami perubahan yang signifikan selama tidak terjadi kegagalan panen pada suatu daerah yang akan mengakibatkan berkurangnya stok telur itik yang menyebabkan meningkatkan harga telur itik tawar. Harga telur asin yang dijual kepada konsumen berkisar antara Rp 750 – Rp 1.000 per butir. Perbedaan harga ditentukan berdasarkan ukuran telur asin, harga telur asin dengan ukuran lebih besar dapat mencapai Rp 100 lebih

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

8

mahal dibandingkan dengan telur yang berukuran lebih kecil. Daerah penjualan turut mempengaruhi perbedaan harga, sehingga harga telur asin di kota-kota besar relatif lebih mahal dibandingkan harga telur asin di kotakota kecil atau daerah pedesaan d. Jalur Pemasaran Penjualan produk industri telur asin ini dapat dilakukan sendiri oleh pengusaha maupun melalui jasa agen penjualan, dengan pembeli konsumen langsung, rumah-rumah makan dan perkantoran. Pola pemasaran produk telur asin ini secara umum terbagi tiga, yaitu : 1. Pengusaha menjual langsung produknya ke pasar-pasar setempat. Pada pola ini daerah pemasaran hanya berkisar pada pasar-pasar yang terdapat pada kabupaten yang sama dengan daerah produsen telur asin yang bersangkutan. Misalkan untuk Kabupaten Cirebon daerah pemasaran berlokasi dapat di Pasar Sumber, Pasar Drajat, Pasar Mundur dan Pasar Karang Sambung. 2. Pengusaha memperkerjakan tenaga-tenaga pemasaran di kota-kota besar untuk mendapatkan pesanan dalam jumlah yang besar dan harga yang cukup baik. Para tenaga pemasaran tersebut akan menjual telur asin ke rumah-rumah makan atau konsumen secara langsung. Kota yang menjadi daerah pemasaran utama untuk produksi telur asin dari wilayah ini adalah DKI Jakarta dan sekitarnya. 3. Pemesanan langsung dari agen-agen penjual telur asin yang berada dari luar daerah produsen telur asin, dimana para agen tersebut akan memasok telur asin ke restoran, kapal dan perkantoran. Dari ketiga jenis pemasaran di atas, untuk pemesanan yang hanya memerlukan angkutan darat semua produk diangkut dengan kendaraan yang dimiliki oleh produsen telur asin, sedangkan untuk pemesanan lintas pulau dapat pula menggunakan sarana angkutan udara.

Gambar 3.1. Skema Jalur Pemasaran Telur Asin e. Kendala Pemasaran Kendala pemasaran yang dihadapi oleh industri telur asin adalah harga bahan baku yang meningkat setiap saat manakala terjadi kegagalan panen padi. Lonjakan harga bahan baku memaksa produsen untuk menaikkan

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

9

harga, akan tetapi kenaikan harga dapat menyebabkan konsumen beralih ke produk pangan lain. Selain masalah harga kendala pemasaran yang lain adalah persepsi masyarakat akan bahaya dari konsumsi garam yang berlebihan. Telur asin yang memiliki kandungan garam yang cukup tinggi menjadi makanan yang cukup dijauhi oleh mereka yang ingin mengurangi konsumsi garamnya.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

10

4. Aspek Produksi a. Lokasi Usaha Lokasi usaha industri telur asin harus berorientasi pada daerah produksi telur itik sebagai sumber bahan baku utama, yaitu pada umumnya daerah persawahan. Wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon merupakan salah satu sentra industri telur asin terbesar di Jawa Barat, karena pada daerah persawahan yang besar ini terdapat cukup banyak usaha peternakan itik. b. Fasilitas Produksi dan Peralatan Ruangan proses produksi industri telur asin tidak harus memenuhi suatu standar tertentu, namun diperlukan beberapa ruangan dengan tingkat pencahayaan yang berbeda. Ruangan untuk melakukan penyortiran dan pencucian telur harus ruangan yang terang, sedangkan ruangan untuk pengasinan telur diharapkan cukup tertutup dan hangat. Peralatan yang banyak digunakan dalam proses produksi telur asin adalah ember atau baskom untuk tempat pencampuran adonan dengan telur serta tempat untuk mencuci telur. Adapun peralatan lainnya berupa panci tempat perebusan telur dan kompor minyak tanah. Disamping itu dibutuhkan tempat penyimpanan telur untuk menyimpan telur asin pada proses pengasinan. c. Bahan Baku Bahan baku utama industri telur asin adalah telur itik yang diperoleh dari peternak lokal dengan cara membeli di tempat peternakan itik. Untuk menjaga mutu dari telur asin yang dihasilkan, maka bahan baku telur itik umumnya berukuran besar, masih segar dan tidak retak d. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang terlibat dalam industri telur asin sebanyak 10 orang dengan upah Rp 250.000 – Rp 400.000 per bulan, 2 orang tenaga pemasaran dengan upah Rp 500.000 per bulan, seorang tenaga administrasi untuk mengawasi dan bertanggung jawab terhadap keuangan umum dan pemesanan dengan upah Rp 600.000 per bulan. Untuk membina dan menjalin hubungan dengan klien dan bank serta bertanggung jawab terhadap keseluruhan kegiatan usaha adalah seorang manajer dengan upah Rp 1.000.000 per bulan. Pada umumnya tenaga kerja tersebut berasal dari daerah sekitar lokasi usaha (ada ikatan keluarga atau tetangga). Kecuali untuk manajer, maka seluruh pekerja tidak diharuskan mempunyai spesialisasi keahlian atau tingkat pendidikan minimum tertentu selama mereka mampu mengerjakan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

11

e. Teknologi

Telur asin dapat dibuat melalui beberapa teknik penggaraman yang secara umum dibagi menjadi tiga macam proses, yaitu : 1. Cara penyuntikan, yaitu memasukkan larutan garam ke dalam telur dengan teknik penyuntikan, 2. Cara perendaman, yaitu telur direndam dalam larutan garam atau adonan lumpur garam, 3. Cara pemeraman, yaitu pembungkusan atau penyalutan telur yang dilumuri dengan adonan pengasin (garam dan tanah liat). Teknik penyuntikan merupakan teknik yang paling mudah dan cepat untuk menghasilkan telur asin, tetapi cara ini sangat beresiko dalam menghasilkan telur asin yang baik dan mulus, karena adanya proses pelubangan kulit telur guna memasukkan cairan garam. Jika pengusaha belum trampil dan belum menguasai cara ini, maka teknik ini dianjurkan untuk tidak dilakukan. Cara pengasinan dengan perendaman dalam larutan garam atau adonan adalah proses pembuatan telur asin yang paling sederhana. Pada proses ini dilakukan pembuatan larutan garam dengan cara mencampur air dan garam dapur sampai jenuh, dimana air tidak mampu lagi melarutkan garam atau pembuatan adonan tepung bata merah dengan garam. Perendaman telur yang sudah dicuci kedalam larutan tersebut selama 8 hari. Keunggulan pembuatan telur asin dengan cara ini adalah prosesnya lebih singkat, meski kualitas telur asin yang dihasilkan kurang bagus dibandingkan proses pemeraman. Untuk menghindari telur tidak mengapung jika menggunakan larutan jenuh garam maka diberi pemberat pada permukaannya, sedangkan untuk adonan bata merah dan garam tidak perlu diberi tutup pemberat. Cara pengasinan telur dengan metode pembungkusan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : 1. Pembungkusan dengan menggunakan adonan garam, yang akan menghasilkan telur asin yang jauh lebih bagus mutunya, warna lebih menarik, serta cita rasa yang lebih enak, tapi prosesnya lebih rumit, 2. Pembungkusan dengan menggunakan adonan garam dan tanah liat merupakan cara yang lazim digunakan pada industri telur asin.

f. Proses Produksi Proses produksi telur asin yang dilakukan dalam studi pola pembiayaan ini adalah proses pemeraman melalui pembungkusan dengan adonan garam dan tanah liat. Diagram alir proses pembuatan telur asin adalah sebagai berikut:

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

12

Grafik 4.1. Diagram Alir Proses Pengolahan Telur Asin Proses produksi dengan cara pembungkusan dengan adonan dan pemeraman yang digunakan pada industri telur asin adalah sebagai berikut: a. Penseleksian telur itik Penseleksian telur itik dilakukan pada saat pembelian telur di peternak itik dimana telur dengan kualitas jelek tidak akan diterima/dibeli. Sedangkan penyeleksian telur di lokasi pabrik dilakukan pada saat akan melakulan pencampuran dengan adonan. Tingkat kegagalan proses ini sangat rendah, dimana dari 1000 butir telur hanya terdapat 1 butir yang tidak layak untuk dijadikan telur asin (satu permil). Proses penseleksian telur itik pada saat akan melakukan pencampuran dengan adonan terbagi menjadi dua macam pengamatan, yaitu pengamatan kekuatan kulit telur (dites dengan membenturkan dua butir telur satu sama lain) serta pengamatan keutuhan kulit telur (diamati secara visual apabila terdapat keretakan) (Photo 4.1).

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

13

Photo. 4.1. Proses Seleksi Telur Itik b. Pembuatan adonan Adonan yang digunakan dalam proses pemeraman telur itik adalah campuran antara garam, tanah liat atau serbuk bata merah. Garam menjadi bahan pembantu utama karena berfungsi sebagai pencipta rasa asin dan sekaligus bahan pengawet serta dapat mengurangi kelarutan oksigen (oksigen diperlukan oleh bakteri), menghambat kerja enzim proteolitik (enzim perusak protein), dan menyerap air dari dalam telur. Perbandingan kebutuhan bahan adonan untuk garam dan tanah liat adalah 1 : 3 (Tabel 4.1), kemudian dilakukan pengadukan hingga rata dan berbentuk seperti bubur kental. Tabel 4.1. Komposisi Bahan Penyusun Adonan Pengasin (Kapasitas 150.000 butir) Bahan Adonan 1. Garam 2. Tanah Liat

Satuan kg kg

Jumlah 1.500 4.500

Sumber : Hasil Penelitian dan Pengamatan Lapang

c. Pemeraman Proses perendaman dalam adonan pengasin adalah salah satu faktor penentu derajat keasinan telur asin (Photo 4.2). Proses ini diawali dengan memasukkan telur itik yang telah diseleksi ke dalam wadah/ember yang telah berisi adonan. Setelah seluruh lapisan telur tertutup oleh adonan, maka telur tersebut dipindahkan kedalam kotak kayu yang telah disiapkan untuk proses pemeraman (Photo 4.3). Pemeraman yang baik adalah selama 10 hari. Namun demikian lamanya proses pemeraman dalam bungkus adonan akan disesuaikan dengan selera masyarakat yang akan mengkonsumsinya,

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

14

karena semakin lama dibungkus dengan adonan maka akan banyak garam yang merembes masuk ke dalam telur sehingga telur menjadi semakin awet dan asin.

Photo 4.2. Proses Pengolesan Adonan Pengasin Pada Telur

Photo. 4.3. Proses Pemeraman Telur d. Pencucian Pencucian telur dilakukan dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa adonan pengasin yang masih melekat pada telur. Pencucian ini dilakukan dengan cara menggosok kulit telur dengan sikat yang telah dibasahi cairan sabun (Photo 4.4).

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

15

Photo 4.4. Proses Pencucian Telur Asin Setelah dicuci diakukan perendaman untuk menjamin hilangnya sisa-sisa adonan dan sabun yang masih menempel pada kulit telur (Photo 4.5).

Photo 4.5. Proses Perendaman Telur Asin e. Perebusan Proses perebusan bertujuan untuk mematangkan telur asin mentah. Proses ini dilakukan pada panci perebus dengan ukuran yang bervariasi dengan kapasitas panci berkisar antara 500 - 1.500 butir untuk sekali rebus (Photo 4.6). Proses perebusan sendiri dilakukan selama kurang lebih 3-5 jam. Setelah direbus telur asin dapat dikonsumsi hingga 21 hari.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

16

Photo. 4.6. Proses Perebusan Telur Asin f. Penirisan dan Pemberian Cap Setelah dilakukan perebusan, telur asin dikeluarkan dari panci perebus dan dilakukan proses penirisan. Proses ini dilakukan di atas wadah dimana telur diangin-anginkan hingga kering dan tidak terlalu panas. Proses selanjutnya adalah pemberian cap merek dagang dan kode produksi.

Photo 4.7. Penirisan Telur Asin

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

17

Photo 4.8. Pemberian Cap Merek dan Kode Produksi g. Penyimpanan Pada tahapan akhir proses produksi, telur asin yang telah diberi cap merek akan dikemas dalam berbagai macam bentuk pengemas, seperti pengemas plastik (Photo 4.9). Namun hanya sekitar 25% dari total produksi telur asin dikemas dalam pengemas plastik tersebut. Selanjutnya untuk keperluan pengiriman ke konsumen, sebelum dibawa menggunakan mobil pengangkut, dilakukan pengepakan dan penyimpanan dalam kotak-kotak kayu (Photo 4.10) .

Photo 4.9. Pengemasan

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

18

Photo 4.10. Pengepakan Telur Asin Sebelum Diangkut g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi Jumlah telur asin yang diproduksi oleh pengusaha tergantung permintaan dan pasokan bahan baku dari peternak itik. Berdasarkan peneltian dan pengamatan di lapang, produsen kelas menengah dapat memproduksi sebanyak 2.000 – 5.000 butir telur asin per hari sedangkan produsen kecil memproduksi 100 - 300 butir telur perhari. Tidak ada klasifikasi yang jelas untuk membedakan jenis telur asin yang dijual. Perbedaan harga jual telur asin sangat ditentukan oleh besar kecilnya telur asin, dimana. perbedaan harga telur asin untuk ukuran besar dan kecil berkisar antara Rp 100 - Rp 200. Konsep jaminan mutu diterapkan untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Pada umumnya, kualitas telur ditentukan oleh : 1. Kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur), dan 2. Kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur). Persyaratan mutu telur asin berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI01-4277-1996) adalah sebagai berikut :

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

19

Tabel 4.2. Tabel Standar Mutu Telur Asin (SNI-01-4277-1996) No Jenis uji Satuan 1 Keadaan 1.1 Bau 1.2 Warna 1.3 Penampakan 2 Garam b/b % 3 Cemaran mikroba - Salmonella koloni/25 g - Staphyloccocus aurous koloni/g Sumber : Badan Standarisasi Nasional

Persyaratan normal normal normal min. 2,0 negatif < 10

h. Produksi Optimum Tingkat produksi ditentukan oleh ketersedian bahan baku. Secara teknis berdasarkan skala usaha yang ada maka produksi telur asin sebanyak 150.000 butir per bulan menjadi produksi optimum usaha ini. Namun demikian, sebagai suatu usaha yang banyak menggunakan tenaga manusia maka skala optimum dari industri telur asin ini belum dapat ditentukan secara pasti. Pabrik berproduksi selama 8 jam per hari dan 7 hari dalam seminggu. i. Kendala Produksi

Faktor kritis industri telur asin ini adalah ketersediaan dan kontinuitas bahan baku, dimana bila terjadi kegagalan panen pasokan bahan telur itik tidak akan cukup. Oleh karena itu pengusaha harus mendatangkan telur itik dari daerah lain. Pada proses produksi, faktor kritis lain terdapat pada waktu penseleksian telur, karena mutu telur yang akan diolah merupakan hal dominan dalam penentuan mutu produk telur asin.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

20

5. Aspek Keuangan a. Pemilihan Pola Usaha Analisa aspek keuangan diperlukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari sisi keuangan, terutama kemampuan pengusaha untuk mengembalikan kredit yang diperoleh dari bank. Analisa keuangan ini juga dapat dimanfaatkan pengusaha dalam perencanaan dan pengelolaan usaha industri telur asin. Pola usaha yang dipilih adalah industri pengolahan telur asin yang mendapatkan bahan baku dengan cara membeli telur itik ke peternak secara langsung. Pembelian bahan baku secara langsung dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang baik serta menjamin kesinambungan ketersediaan pasokan telur itik. Biaya investasi sebagian besar diperlukan untuk pembelian sarana transportasi, yang terdiri dari satu unit mobil pick up untuk pembelian telur itik, tanah liat dan garam, satu unit mobil boks untuk pengangkutan produk telur asin ke konsumen dan satu unit sepeda motor untuk keperluan operasional lain. Adapun produk yang dipilih untuk usaha ini adalah telur asin yang telah direbus. b. Asumsi Untuk analisa kelayakan usaha diperlukan adanya beberapa asumsi mengenai parameter teknologi proses maupun biaya, sebagaimana terangkum dalam Tabel 5.1. Asumsi ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap industri telur asin di Kabupaten Cirebon serta informasi yang diperoleh dari pengusaha dan pustaka. Tabel 5.1. Asumsi untuk Analisis Keuangan No 1 2 3 4 5 6 7

Asumsi Periode proyek Bulan kerja per tahun Produksi telur asin per bulan Harga jual telur asin Suku bunga Proporsi kredit Jangka waktu kredit

Satuan tahun bulan butir Rp/butir % % tahun

Nilai/Jumlah 3 12 150.000 800 14 70 3

Penentuan usia proyek selama 3 tahun didasarkan atas pertimbangan investasi peralatan yang digunakan dalam proses produksi telur asin, selain bangunan dan kendaraan, memiliki umur ekonomis selama 3 tahun, sehingga pada saat proyek selesai maka peralatan tersebut perlu dilakukan

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

21

re-investasi. Melalui asumsi produksi sebanyak 5.000 butir per hari dan selama 30 hari kerja perbulan, maka total produksi telur asin diproyeksikan sebanyak 150.000 butir dengan tingkat kerusakan bahan baku/produksi sebesar 1 O/oo (satu per mil). Perincian lengkap asumsi dapat dilihat pada Lampiran 1. c. Biaya Investasi dan Biaya Operasional Komponen biaya dalam analisis kelayakan industri telur asin dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal pendirian usaha yang meliputi lahan/areal usaha, peralatan dan sarana pengangkutan. Biaya operasional adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi. Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal industri telur asin ini meliputi tanah dan bangunan serta prasarana angkutan dan peralatan, dengan total biaya sebesar Rp 173.525.000. Komponen terbesar adalah kendaraan (64,83%) yang terdiri dari mobil pick up untuk sarana angkutan bahan baku telur itik dari peternak, mobil boks untuk sarana angkutan pemasaran telur asin dan sepeda motor untuk operasional harian, bangunan industri seluas 150 m2 (21,61%) serta peralatan produksi dan pengemas (9,23%) (Tabel 5.2). Selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 2. Tabel 5.2. Kompisisi Biaya Investasi (Rp) No 1 2 3 4 5 6

Komponen Biaya Perizinan Tanah Bangunan Kendaraan Alat produksi dan pengemas Peralatan lainnya Jumlah

Jumlah Persen 2.500.000 1,44 4.000.000 2,31 37.500.000 21,61 112.500.000 64,83 16.025.000 9,23 1.000.000 0,58 173.525.000 100

Biaya operasional dalam industri telur asin meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Total biaya operasional pertahun sebesar Rp 1.343.385.000 dengan asumsi bahwa pada tahun pertama hingga tahun ke tiga usaha ini sudah dapat beroperasi dengan kapasitas 100%. Biaya operasional tersebut terdiri dari biaya tetap Rp 49.920.000 dan biaya variabel Rp 1.293.465.000. Selengkapnya rincian kebutuhan biaya tetap dan biaya variabel ditampilkan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

22

Tabel 5.3. Komponen Biaya Operasional (Rp) No Komponen Biaya 1 Biaya Variabel 2 Biaya Tetap 3 Jumlah biaya operasi

Perbulan 107.788.750 4.160.000 111.948.750

Pertahun 1.293.465.000 49.920.000 1.343.385.000

Total kebutuhan biaya proyek (untuk investasi dan modal kerja) adalah sebesar Rp 341.448.125. Diproyeksikan 70% biaya tersebut diperoleh dari bank dan sisanya dari modal sendiri. Biaya investasi yang diperlukan dalam industri telur asin sebesar Rp 173.525.000 dan Rp 121.467.500 diantaranya (70%) berasal dari kredit bank. Kredit investasi ini seluruhnya diterima pada masa konstruksi dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku bunga 14% pertahun (Tabel 5.4). d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja Modal kerja yang dibutuhkan untuk produksi dan penjualan telur asin adalah sebesar Rp 167.923.125. Sebesar Rp 117.546.188 (70%) diperoleh dari kredit bank dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku bunga 14% pertahun. Kebutuhan modal kerja tersebut dihitung dari kebutuhan biaya variabel dan biaya tetap selama 1,5 bulan. Penetapan jangka waktu tersebut didasarkan atas perhitungan bahwa pendapatan dari penjualan telur asin diperoleh paling cepat pada hari ke 41 sejak proses produksi dilakukan.

Tabel 5.4. Komponen dan Struktur Biaya Proyek No Komponen Biaya Proyek 1

2

3

Persentase

Biaya Investasi a. Kredit b. Modal Sendiri Biaya Modal kerja a. Kredit b. Modal Sendiri Total Biaya Proyek a. Kredit b. Modal Sendiri

70 30 70 30 70 30

Total Biaya (Rp) >173.525.000 121.467.500 52.057.500 167.923.125 117.546.188 50.376.938 341.448.125 239.013.688 102.434.438

Kewajiban pengusaha dalam melakukan angsuran pokok dan angsuran bunga dilakukan setiap bulan selama jangka waktu kredit. Rekapitulasi jumlah angsuran kredit pertahun dapat dilihat pada Tabel 5.5, sedangkan

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

23

perhitungan jumlah angsuran kredit perbulan selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Tabel 5.5. Perhitungan Angsuran Kredit Tahun 1 2 3

Angsuran Angsuran Total Saldo Awal Saldo Akhir pokok bunga Angsuran 239.013.688 239.013.688 79.671.229 28.349.679 108.020.908 239.013.688 159.342.458 79.671.229 17.195.707 96.866.936 159.342.458 79.671.229 79.671.229 6.041.735 85.712.964 79.671.229 0

e. Produksi dan Pendapatan Berdasarkan kapasitas yang ada, produksi telur asin per bulan sebanyak 150.000 butir dengan asumsi kerusakan produk sebesar 1O/oo (satu permil). Usaha ini diproyeksikan untuk dapat berproduksi secara optimal mulai tahun pertama hingga akhir tahun ketiga (sesuai umur proyek). Dengan harga jual telur sebesar Rp 800 per butir, maka untuk satu tahun produksi diproyeksikan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.440.000.000, namun dengan asumsi kerusakan yang ada, maka setiap tahun diperoleh pendapatan sebesar Rp 1.438.560.000. Proyeksi produksi dan pendapatan usaha serta harga penjualan ditampilkan pada Tabel 5.6 dan Lampiran 5. Tabel 5.6. Proyeksi Produksi dan Pendapatan

No Produk 1

Telur Asin Total

Volume 149.850

Harga Penjualan Penjualan 1 Jual 1 bulan tahun (Rp) butir 800 119.880.000 1.438.560.000 119.880.000 1.438.560.000

Unit

f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point Hasil proyeksi laba rugi usaha menunjukkan usaha telur asin telah menghasilkan laba (setelah pajak) pada tahun pertama (kapasitas 100%) sebesar Rp 22.804.559 dengan nilai profit on sales 1,59%, dan mengalami peningkatan laba hingga tahun ke-3 yang berjumlah Rp 41.766.311 dengan profit on sales 2,90% (Tabel 5.7).

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

24

Tabel 5.7. Proyeksi Pendapatan dan Laba Rugi Usaha No

Uraian

1 Total Penerimaan 2 Total Pengeluaran Laba/rugi Sebelum 3 Pajak 4 Pajak (15%) 5 Laba Setelah Pajak 6 Profit on Sales 7 BEP : Rupiah Butir

Tahun 1 2 3 1.438.560.000 1.438.560.000 1.438.560.000 1.411.731.108 1.400.577.136 1.389.423 26.828.892

37.982.864

49.136.837

4.024.334 22.804.559 1,59% 1.053.586.766 1.316.983

5.697.430 32.285.435 2,24% 942.999.509 1.178.749

7.370.525 41.766.311 2,90% 832.412.251 1.040.515

Seperti terlihat pada Tabel 5.8, selama kurun waktu 3 tahun proyek industri telur asin secara rata-rata akan menghasilkan keuntungan bersih per tahun sebesar Rp 32.285.435 dan profit margin rata-rata 2,24%. Dengan membandingkan pengeluaran untuk biaya tetap terhadap biaya variabel dan total penerimaan, maka BEP usaha ini terjadi pada penjualan senilai Rp 1.053.586.766 pada tahun ke-1 hingga Rp 832.412.251 pada tahun ke-3, dengan BEP rata-rata sebesar Rp. 942.999.509 untuk 1.178.749 butir telur asin. Selengkapnya proyeksi rugi laba usaha ditampilkan pada Lampiran 8. Tabel.5.8. Rata-rata Laba Rugi dan BEP Usaha Uraian Laba per tahun Profit margin BEP : Rupiah Butir

Nilai 32.285.435 2,24% 942.999.509 1.178.749

g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan telur asin selama satu tahun. Untuk arus keluar meliputi biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran pokok, angsuran bunga.dan pajak penghasilan. Evaluasi profitabilitas rencana investasi dilakukan dengan menilai kriteria investasi untuk mengukur kelayakan pendirian industri yaitu meliputi NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C Ratio (Net

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

25

Benefit-Cost Ratio). Industri telur asin dengan menggunakan asumsi yang ada menghasilkan NPV Rp 65.535.618 pada tingkat bunga 14% dengan nilai IRR adalah 32,65% dan Net B/C Ratio 1,38. Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha telur asin ini layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 28,9 bulan atau 2,4 tahun. Proyeksi arus kas untuk kelayakan industri telur asin selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 9. Tabel 5.9. Kelayakan Industri Telur Asin No 1 2 3 4

Kriteria NVP (Rp) IRR Net B/C ratio PBP (bulan)

Nilai 65.535.618 32,65% 1,38 28,9

Justifikasi kelayakan >0 > 14% >1 < 36 bulan

h. Analisis Sensitivitas

Dalam suatu analisis kelayakan suatu proyek, biaya produksi dan pendapatan biasanya akan dijadikan patokan dalam mengukur kelayakan usaha karena kedua hal tersebut merupakan komponen inti dalam suatu kegiatan usaha, terlebih lagi bahwa komponen biaya produksi dan pendapatan juga didasarkan pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Untuk mengurangi resiko ini maka diperlukan analisis sensitivitas yang digunakan untuk menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan harga input maupun output. Dalam pola pembiayaan ini digunakan tiga skenario sensitivitas, yaitu: (1). Skenario I Sensitivitas kenaikan biaya variabel dimungkinkan dengan melihat perkembangan ekonomi saat ini dan kenaikan harga BBM sehingga memunculkan asumsi peningkatan biaya produksi/variabel, sedangkan pendapatan dianggap tetap/konstan. Kenaikan biaya operasional terjadi antara lain karena bahan baku dan bahan pembantu maupun upah tenaga kerja mengalami kenaikan. Hasil analisis sensitivitas akibat kenaikan biaya variabel ditampilkan pada Tabel 5.10 serta perhitungan arus kas untuk sensitivitas ini selengkapnya pada Lampiran 10 dan Lampiran 11.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

26

Tabel 5.10. Analisis Sensitivitas Biaya Variabel Naik No Kriteria 1 NPV (Rp) 2 IRR 3 Net B/C ratio 4 PBP (bulan)

Naik 2% 5.476.623 15.58% 1,03 35,3

Naik 3% - 24.552.875 6,83% 0,86 39,5

Analisis sensitivitas berdasarkan Skenario I, biaya variabel mengalami kenaikan 2% dengan asumsi pendapatan tetap. Pada kenaikan biaya variabel sebesar 2%, Net B/C Ratio masih lebih dari satu, NPV positif dan IRR mencapai 15,58% serta PBP 35,3 bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada suku bunga 14% dengan kenaikan biaya variabel sebesar 2% maka proyek ini layak dilaksanakan. Namun pada kenaikan biaya variabel mencapai 3% ternyata proyek ini tidak layak dilaksanakan karena IRR kurang dari tingkat suku bunga, yaitu 6,83%, Net B/C Ratio kurang dari satu, NPV negatif dan PBP melebihi umur proyek. (2). Skenario II Sensitivitas penurunan pendapatan dimungkinkan karena penurunan produk telur asin yang dapat terjual atau penurunan harga jual per butirnya, sedangkan biaya pengeluaran dianggap tetap/konstan. Hasil analisis sensitivitas akibat penurunan pendapatan ditampilkan pada Tabel 5.11 serta perhitungan arus kas untuk sensitivitas ini selengkapnya pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Tabel 5.11. Analisis Sensitivitas Pendapatan Turun No 1 2 3 4

Kriteria NPV (Rp) IRR Net B/C ratio PBP (bulan)

Naik 1% 32.137.549 23,23% 1,19 32,2

Naik 2% - 1.260.521 13,63% 0,99 36,2

Analisis sensitivitas berdasarkan Skenario II, pada saat pendapatan turun sebesar 1% diperoleh NPV positif, Net B/C Ratio lebih dari satu dengan IRR mencapai 23,23%. Dapat disimpulkan bahwa pada penurunan pendapatan sebesar 1% proyek tersebut layak dilaksanakan. Penurunan pendapatan sebesar 2% menyebabkan Net B/C Ratio kurang dari satu, NPV negatif, IRR 13,63% atau dibawah suku bunga, sehingga PBP yang diperoleh juga melebihi 3 tahun umur proyek. Kondisi ini menyebabkan usaha tidak layak dilaksanakan.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

27

(3). Skenario III Sensitivitas ini dengan melakukan kombinasi terhadap sensitivitas pada skenario I dan II, yaitu peningkatan biaya variabel dan penurunan pendapatan. Hasil analisis sensitivitas akibat kenaikan biaya variabel dan penurunan pendapatan secara bersamaan ditampilkan pada Tabel 5.12 serta perhitungan arus kas untuk sensitivitas ini selengkapnya pada Lampiran 14 dan Lampiran 15. Tabel 5.12. Analisis Sensitivitas Kombinasi Biaya variabel Biaya variabel naik 1% dan naik 2 % dan No Kriteria Pendapatan Pendapatan turun 1% turun 1% 1 NPV (Rp) 2.108.051 - 27.921.447 2 IRR 14,61% 5,83% 3 Net B/C ratio 1,01 0,84 4 PBP (bulan) 35,7 40 Analisis sensitivitas menurut Skenario III, diasumsikan terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan biaya variabel. Pada penurunan pendapatan dan kenaikan biaya variabel masing-masing sebesar 1%, proyek tersebut masih layak dilaksanakan tingkat suku bunga 14% menghasilkan Net B/C Ratio lebih dari satu dan NPV positif serta IRR 14,61%. Namun apabila biaya variabel naik menjadi 2% dengan pendapatan turun 1%, maka proyek ini menjadi tidak layak dilaksanakan karena NPV negatif, IRR lebih kecil dari suku bunga yaitu hanya 5,83%, Net B/C Ratio kurang dari satu dan PBP melebihi umur proyek. Hambatan dan Kendala Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengusaha telur asin adalah cukup lamanya rentang waktu penerimaan hasil penjualan telur asin akibat dari sistem pembayaran yang baru diterima 30 hari sejak proses produksi dilakukan, sedangkan pembelian bahan baku telur itik tawar dari peternak dilakukan secara tunai setiap dua kali seminggu. Kondisi ini mengharuskan pengusaha untuk mencadangkan dana pembelian telur itik tawar untuk jangka satu setengah bulan yang jumlahnya cukup besar.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

28

6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan a. Aspek Sosial Ekonomi Kabupaten Indramayu dan Cirebon dikenal sebagai daerah sentra padi dan peternakan itik. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang ini, baik sebagai pengusaha ataupun menjadi buruh tani atau peternak. Keberadaan industri telur asin meningkatkan nilai tambah telur-telur itik yang dihasilkan di daerah yang bersangkutan. Adanya industri telur asin ini juga mendorong berkembangnya usaha peternakan itik petelur, sehingga peningkatan permintaan telur asin akan meningkatkan pula produk telur itik. Dari segi pemenuhan gizi masyarakat telur asin dapat menjadi salah satu sumber protein yang dapat dijadikan pengganti daging. Dengan harga yang murah dan rasa yang lezat, telur asin akan memiliki pasar yang luas yang tidak saja ditujukan bagi masyarakat menengah kebawah melainkan juga bagi masyarakat menengah ke atas. Secara umum keberadaan dan pengembangan industri telur asin memberi dampak yang positif bagi wilayah sekitarnya, karena semakin terbukanya peluang kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat dan sekaligus peningkatan pendapatan daerah. Satu unit usaha telur asin mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12 orang, dengan upah Rp 400.000 - Rp 800.000 per orang per bulan. Pendapatan daerah dari pajak industri telur asin ini mencapai Rp 12 juta per tahun. b. Dampak Lingkungan Proses produksi dalam industri telur asin akan menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat umumnya berupa sisa-sisa telur yang tidak ikut diproduksi atau sisa-sisa pecahan telur akibat proses produksi yang tidak ditangani dengan hati-hati. Selain itu ada pula limbah padat yang berasal dari sisa-sisa adonan pengasin yang dibuang setelah proses pengasinan. Limbah-limbah padat ini umumnya tidak berbahaya bagi lingkungan. Penanganan limbah ini cukup sederhana, yaitu dengan cara menguburkannya di dalam tanah dimana untuk bahan organik akan terurai menjadi bahanbahan anorganik unsur hara tanah. Limbah cair yang dihasilkan dari air sisa pencucian telur yang mengandung sabun pada umumnya langsung dibuang ke saluran air (sungai) tanpa pengolahan terlebih dahulu. Dalam jangka waktu yang lama limbah sabun ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan yang besar, karena itu tindakan pengolahan limbah secara sederhana sepertinya sudah menjadi keharusan. Pembuatan bak penampung limbah cair sederhana dapat menjadi salah satu alternatif penanganan limbah cair yang dihasilkan dari industri telur asin.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

29

7. Penutup a. Kesimpulan 1. Industri telur asin mempunyai peranan penting dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber protein dan lemak yang berharga murah bagi masyarakat. Perkembangan peternakan itik petelur merupakan faktor pendukung terbesar bagi industri telur asin agar dapat memasok telur asin dengan harga yang murah dan bermutu tinggi. 2. Dua faktor terpenting bagi keberhasilan industri telur asin selain faktor bahan baku adalah rasa telur asin dan kualitas pengangkutan produk. Rasa telur asin akan menjadi faktor pembeda suatu produsen dengan produsen lainnya, dimana akan timbul keterikatan antara konsumen dengan produsen telur asin tertentu. 3. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk industri telur asin adalahRp 173.525.000, yang dibiayai dari pinjaman kredit 70% (Rp 121.467.500) dan biaya sendiri 30% (Rp 52.057.500), dengan bunga pinjaman 14% dan masa pinjaman kredit investasi selama 3 tahun. Biaya modal kerja adalah sebesar Rp 167.923.125 yang dibiayai dari pinjaman kredit 70% (Rp 117.546.188) dan biaya sendiri 30%(Rp 50.376.938), dengan bunga pinjaman 14% dan masa pinjaman kredit selama 3 tahun. 4. Analisis keuangan dan kelayakan proyek industri telur asin sesuai asumsi yang digunakan adalah layak untuk dilaksanakan dengan nilai NPV Rp 65.535.618, IRR 32,65%, Net B/C 1,38dan PBP 28,9 bulan atau 2,4 tahun. Industri ini juga mampu melunasi kewajiban angsuran kredit kepada bank 5. Industri telur asin ini sangat sensitif terhadap kenaikan biaya variabel maupun penurunan pendapatan, karena usaha ini masih dianggap layak bila kenaikan biaya variabel atau penurunan pendapatan hanya sampai 1%. Kenaikan biaya variabel sebesar 3% atau penurunan pendapatan sebesar 2% menjadikan usaha tersebut tidak layak (NPV Negatif). 6. Pengembangan industri telur asin memberikan manfaat yang positif dari aspek sosial ekonomi wilayah dengan terbukanya peluang kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat, dan tidak menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. b. Saran 1. Berdasarkan potensi bahan baku, prospek pasar, tingkat teknologi proses, dan aspek finansial, industri telur asin ini, layak untuk dibiayai. 2. Untuk menjamin kelancaran pengembalian kredit, pihak perbankan seyogyanya juga turut berpartisipasi dalam pembinaan usaha ini, khususnya pada aspek keuangan, dan manajemen pembukuan.

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

30

LAMPIRAN

Bank Indonesia – Industri Telur Asin (Konvensional)

31