EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB)

Download Teknik pemeliharaan ternak yang diterapkan sebagian besar peternak adalah secara semi intensif dan sebagian kecil masih menerapkan secara e...

0 downloads 529 Views 451KB Size
EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG DI KOTA SAWAHLUNTO

JENI FEBRIANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Jeni Febrianto B04080166

ABSTRAK JENI FEBRIANTO. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto. Dibimbing oleh IMAN SUPRIATNA. Kajian untuk melihat kondisi teknis maupun sosial ekonomi yang mungkin berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan program inseminasi buatan (IB) telah dilakukan di Kota Sawahlunto pada Juli 2011 sampai September 2012. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei melalui wawancara berupa kuisioner terhadap 44 peternak dan 16 inseminator. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar peternak memiliki tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman yang rendah. Berternak sapi potong hanya sebagai usaha sampingan, dengan mayoritas pekerjaan utama sebagai petani dan kepemilikan ternak dibawah 5 ekor. Teknik pemeliharaan ternak yang diterapkan sebagian besar peternak adalah secara semi intensif dan sebagian kecil masih menerapkan secara ekstensif. Pengalaman bertugas inseminator masih rendah dan setengah dari inseminator ini tidak memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI). Sistem kerja inseminator sudah dilakukan dengan baik, namun kapasitas kerjanya masih kurang. Tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB yang dinilai dari angka service per conception (S/C) dan conception rate (CR) sudah baik, namun nilai calving interval (CI) masih buruk. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pelaksanaan program IB ini adalah pengalaman berternak dan sistem pemeliharaan ternak yang digunakan, sedangkan tingkat pendidikan dan partisipasi peternak tidak berpengaruh. Kata kunci: angka konsepsi, inseminasi buatan, inseminasi per kebuntingan, Sawahlunto, sapi potong

ABSTRACT JENI FEBRIANTO. Evaluation of Implementation of Artificial Insemination (AI) Program on Beef Cattle in Sawahlunto City. Supervised by IMAN SUPRIATNA. Study in investigating the technical and socio-economic conditions that may affect the successful implementation of Artificial Insemination (AI) program were done in Sawahlunto July 2011 to September 2012. This study was conducted through interviews with survey methods in the form of questionnaires to 44 farmers and 16 inseminators. This study aimed to determine the factors that could affect the successful implementation of the AI program. The results of the study showed that most farmers had low level of education and experience. Raising beef cattle only as a side job, with the majority of main jobs as farmers and cattle ownership below 5 heads. Animal husbandry technique applied by most breeders was a semiintensive and a small portion was applied extensively. Experience of inseminator on duty was low and half of inseminator did not have a License in Performing

Artificial Insemination (SIMI). Working system of inseminator has been performed well, but the working capability still less. The success rate of implementation of the AI program were assessed from the number of services per conception (S/C) and conception rate (CR) had been good, but the value of calving interval (CI) still low. Factors that influence the success rate of implementation of the AI program was raising experience and farming system which in use, while the level of education and participation of farmers had no effect. Keywords: artificial insemination, beef cattle, conception rate, Sawahlunto, services per conception

EVALUASI KEBERHASILAN PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG DI KOTA SAWAHLUNTO

JENI FEBRIANTO

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Judul Skripsi : Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto Nama : Jeni Febrianto NIM : B04080166

Disetujui oleh

Prof Dr drh Iman Supriatna Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2011 ini ialah Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan pada Sapi Potong di Kota Sawahlunto. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr drh Iman Supriatna selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Heri Sutrisno SPKP dan drh Ferry Aulia Oktafiantris dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta keluarga besar IPMM Bogor, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013 Jeni Febrianto

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Manfaat Penelitian



Hipotesis Penelitian



TINJAUAN PUSTAKA



Inseminasi Buatan



Pola Peternakan Sapi Potong



Karakteristik



Partisipasi



METODE



Kerangka Konsep Penelitian



Waktu dan Lokasi Penelitian



Disain Penelitian



Sampel



Pengumpulan Data



Analisis Data



HASIL DAN PEMBAHASAN



Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan



Karakteristik Peternak



Partisipasi Peternak

10 

Sistem Pemeliharaan Ternak

11 

Karakteristik Inseminator

12 

Sistem dan Kapasitas Kerja Inseminator

13 

Tingkat Keberhasilan Program Inseminasi Buatan

14 

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program Inseminasi Buatan 15  SIMPULAN DAN SARAN

16 

Simpulan

16 

Saran

16 

DAFTAR PUSTAKA

17 

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi 2 Karakteristik peternak 3 Partisipasi peternak dalam program IB 4 Teknik pemeliharaan ternak 5 Karakteristik inseminator 6 Sistem dan kapasitas kerja inseminator 7 Hubungan karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan pelaksanaan IB

8 10 11 12 12 14 15

DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka konsep penelitian 2 Struktur organisasi pelaksana IB di Kota Sawahlunto

6 9

PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan pangan asal ternak dalam beberapa dasawarsa terakhir ini terus meningkat, walaupun terdapat fluktuasi yang cukup besar antar waktu maupun wilayah. Sementara itu, elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk peternakan relatif cukup tinggi (Soedjana et al. 1994). Laju permintaan pangan asal ternak khususnya daging yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi dalam negeri. Sehingga saat ini ketersediaan daging sapi nasional masih mengalami kekurangan, yang ditutup melalui impor sekitar 35% dari total kebutuhan daging sapi nasional (Ditjennak 2010a). Kondisi ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan industri peternakan, seirama dengan antisipasi kemungkinan terjadinya revolusi peternakan tahun 2020, seperti yang diramalkan Delgado et al. (1999). Pemulihan kinerja sektor industri pangan asal ternak sudah saatnya diprioritaskan pada pengoptimalisasian dan pemberdayaan sumber daya lokal melalui pengembangan inovasi teknologi yang tepat. Agribisnis sapi potong untuk menghasilkan bakalan ternyata memiliki peluang yang sangat besar dalam menjawab tantangan peluang tersebut di atas. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa (1) lebih dari 99% penghasil sapi bakalan di dalam negeri adalah peternakan rakyat, (2) permintaan akan daging cenderung terus meningkat, dan (3) ketersediaan sumber daya lokal cukup memadai (Dwiyanto 2008). Mengatasi tantangan tersebut pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging, yaitu tersedianya secara cukup pangan hewani asal ternak khususnya daging sapi. Untuk mencapai sasaran tersebut berbagai program dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi lokal sebagai sumber utama daging sapi. Program yang dimaksud adalah pengurangan pemotongan sapi lokal betina produktif dan memperluas jangkauan program kawin silang sapi betina lokal dengan inseminasi buatan (IB) (Ditjennak 2010b). Selain itu, Dwiyanto dan Inounu (2009) juga berpendapat bahwa penyempurnaan kegiatan IB di Indonesia yang saat ini sedang dan akan terus dilakukan harus dikerjakan guna meningkatkan populasi, mutu, dan produksi ternak. Kota Sawahlunto dipilih sebagai lokasi penelitian karena saat ini Pemerintahan Daerah Kota Sawahlunto memiliki program besar dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dengan peningkatan produksi peternakan sapi potong yang dikembangkan masyarakat. Sawahlunto yang sejak lama dikenal sebagai Kota Tambang, dimana sumber perkonomian masyarakatnya berasal dari usaha tambang batu bara. Batu bara merupakan sumber daya alam yang akan habis apabila dieksploitasi secara terus menerus. Deposit batu bara di Kota Sawahlunto sudah berkurang sehingga sumber penghasilan utama masyarakat ini menjadi berkurang. Menyikapi kondisi di atas Pemerintah Kota Sawahlunto secara arif menyikapi masalah ini dengan mencari jalan ke arah pertanian dan peternakan. Salah satu program andalan pembangunan peternakan yang telah dikembangkan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto adalah program inseminasi

2 buatan (IB). Melalui program IB ini diharapkan para peternak yang tersebar diseluruh daerah Kota Sawahlunto dapat memanfaatkannya, sehingga jumlah dan kualitas sapi mereka dapat meningkat. Keterlibatan atau partisipasi aktif dari petugas dan peternak dipandang akan menunjang keberhasilan dari program tersebut. Keberhasilan IB secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alami. Keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporan yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB praktis belum banyak dievaluasi (Soeharsono et al. 2010). Untuk melihat kinerja reproduksi hasil IB di Kota Sawahlunto, telah dilakukan suatu kajian terhadap para peternak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi teknis maupun sosial ekonomi yang mungkin berpengaruh terhadap kinerja reproduksi sapi potong. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kekuatan dan kelemahan dalam pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto.

Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran umum pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto. 2. Mengetahui karakteristik dan partisipasi peternak dalam program IB di Kota Sawahlunto. 3. Mengetahui karakteristik dan kapasitas kerja inseminator dalam program IB di Kota Sawahlunto. 4. Mengetahui pola peternakan yang diterapkan peternak di Kota Sawahlunto. 5. Mengetahui tingkat keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto. 6. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto.

Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto. 2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto.

Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak yang diterapkan peternak terhadap keberhasilan program IB di Kota Sawahlunto.

3

TINJAUAN PUSTAKA Inseminasi Buatan Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknologi yang diaplikasikan secara luas untuk mendorong swasembada daging sapi. Teknologi IB yang digunakan untuk program peningkatan mutu genetik terutama pada ruminansia besar (sapi dan kerbau) merupakan teknologi unggulan yang masih akan digunakan dalam upaya peningkatan produktivitasnya (Sayuti et al. 2011). Menurut Hafez (1993), IB adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa adanya proses perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah seekor pejantan yang secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, hanya digunakan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina yang seharusnya diperlukan hanya satu sel spermatozoa. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan unggul sebagai sumber informasi genetik, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina. Dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya mencakup pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, serta bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Dengan demikian, pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi perkawinan buatan atau artificial breeding. Tujuan dari IB itu sendiri adalah sebagai satu alat yang ampuh yang diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere 1979). Pelayanan Petugas Inseminasi Buatan Pelayanan IB dilakukan oleh seorang inseminator (tenaga teknis menengah yang telah dididik dan mendapat sertifikat sebagai inseminator dari pemerintah dalam hal ini dinas peternakan) yang telah memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi (SIMI) dengan sistem aktif, pasif, dan semi aktif. Bila inseminator belum memiliki SIMI maka tanggung jawab hasil kerjanya jatuh pada dinas peternakan provinsi tempatnya bekerja (Feradis 2010). Faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi rendahnya kinerja IB diantaranya: kualitas semen pejantan, kesuburan betina, keterampilan inseminator, pengetahuan zooteknis peternak, serta ketepatan waktu inseminasi. Keberhasilan menjalankan tugas sebagai inseminator dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keterampilan dan pengalaman petugas, keterampilan peternak dalam mendeteksi birahi ternaknya, dan komunikasi yang harmonis antara inseminator dengan peternak sapi potong (Sutrisno et al. 2010).

4 Penilaian Hasil Inseminasi Buatan Feradis (2010) menyebutkan, untuk memperoleh informasi secepat mungkin, perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB sebagai dasar penentuan kebijaksanaan selanjutnya. Di Indonesia sistem penilaian keberhasilan IB pada umumnya berdasarkan pada nilai angka konsepsi atau conception rate (CR) dan nilai inseminasi per konsepsi atau service per conception (S/C). Menurut Soeharsono et al. (2010), performans reproduksi yang sangat penting antara lain: umur beranak pertama, nilai S/C, dan nilai CI. a). Angka konsepsi atau Conception Rate (CR) Angka konsepsi atau conception rate merupakan suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil inseminasi yaitu persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan melalui pemeriksaan rektal (eksplorasi rektal) oleh dokter hewan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi (Feradis 2010). CR %

Jumlah betina bunting pada IB pertama x 100% Jumlah seluruh betina yang di IB

b). Pelayanan IB per kebuntingan atau service per conception (S/C) Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individuindividu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai ini barulah berarti apabila dipergunakan semen dari pejantan yang berbeda-beda dan apabila betina-betina yang steril turut diperhitungkan dalam membandingkan kesuburan populasi ternak (Feradis 2010). S/C

Jumlah dosis IB Jumlah betina yang bunting

c). Jarak beranak atau calving interval (CI) Jarak beranak atau calving interval adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya atau days open (Sutan 1988). Selain itu, Nurhyadi dan Wahjuningsih (2011) juga menyatakan bahwa calving interval ditentukan oleh lama kebuntingan dan lama waktu kosong. Evaluasi hasil IB dengan cara pemeriksaan kebuntingan berkaitan erat dengan upaya memperpendek jarak beranak. Jarak beranak merupakan salah satu faktor yang menentukan efisiensi usaha. Selang beranak yang berkepanjangan di Indonesia adalah salah satu masalah utama dalam upaya meningkatkan populasi ternak. Diagnosis kebuntingan dan upaya mengetahui status reproduksi sapi setelah perkawinan merupakan hal yang sangat tepat dilakukan untuk memperpendek jarak beranak (Sayuti et al. 2011).

5 Pola Peternakan Sapi Potong Menurut Sugeng (2006), sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu: intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara terusmenerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petani peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari kedua cara pemeliharaan tersebut, sebagian besar merupakan usaha rakyat dengan ciri skala usaha rumah tangga dan kepemilikan ternak sedikit, menggunakan teknologi sederhana, bersifat padat karya, dan berbasis azas organisasi kekeluargaan (Azis dalam Yusdja dan Ilham 2004). Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004).

Karakteristik Karakteristik adalah suatu keadaan yang mempengaruhi cara dan kemampuan yang berbeda dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan, bagaimana menginterpretasi informasi tersebut (Simamora 2002) Karakteristik peternak adalah keadaan peternak yang berhubungan dengan keterlibatannya dalam mengelola usahaternak dan bisa mempengaruhi dalam hal mengadopsi suatu inovasi (Yanti 1997). Sumarwan (2004) juga mengatakan bahwa karakteristik peternak sebagai individu perlu diperhatikan untuk melihat apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap inovasi yang diperkenalkan.

Partisipasi Partisipasi merupakan pelibatan diri secara penuh pada suatu tekad yang telah menjadi kesepakatan bersama antar anggota dalam satu kelompok/antar kelompok sampai dengan skala nasional dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Landasan Konstitusional Negara Republik Indonesia, maka partisipasi dapat disebut sebagai Falsafah Pembangunan Indonesia (Mulyono 2008) Marbun (2009) juga berpendapat bahwa, partisipasi adalah suatu gejala demokratis dimana orang diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Unsur-unsur partisipasi adalah: (1) keterlibatan anggota dalam segala kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi, (2) kemauan anggota untuk

6 berinisiatif dan berkreasi dalam kegiatan yang dilancarkan oleh organisasi, (3) adanya kesadaran anggota, (4) tidak ada unsur paksaan, dan (5) anggota merasa ikut memiliki.

METODE Kerangka Konsep Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto (Gambar 1). • • • •



Karakteristik Peternak Pengalaman Pendidikan terakhir Pekerjaan utama Jumlah ternak

• • •

Partisipasi Peternak Keikutsertaan IB Lama ikut serta IB Jumlah ternak yang di IB

Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) • Nilai CR (%) • Nilai S/C • Nilai CI rata-rata

Teknik Pemeliharaan Teknik pemeliharaan ternak

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian

Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2011 sampai dengan bulan September 2012 dengan lokasi di empat kecamatan yang ada di Kota Sawahlunto, yaitu Kecamatan Talawi, Barangin, Lembah Segar, dan Silungkang. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data secara acak sederhana pada 44 peternak dan 16 inseminator yang ada di Kota Sawahlunto. Perencanaan dan analisis data dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor.

Disain Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survei melalui wawancara peternak dan inseminator yang berhubungan dengan pelaksanaan IB yang telah dilakukan di Kota Sawahlunto. Wawancara dilakukan menggunakan kuisioner secara terstruktur. Pertanyaan pada kuisioner berisi mengenai karakteristik, pengetahuan, partisipasi, jumlah ternak, serta pertanyaan mengenai pelaksanaan IB yang telah dilakukan. Kuisioner ini dibedakan untuk setiap karakter responden.

7 Sampel Besaran sampel peternak ditentukan dengan rumus Slovin (Umar dalam Nataatmaja dan Arifin 2008), yaitu: n Keterangan:

N 1 Ne

n = jumlah sampel N = populasi e = % kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan contoh yang bisa ditolerir

dengan besar populasi 2343 peternak dan tingkat kesalahan 15%. Besaran sampel yang dihasilkan yaitu 44 responden. Metode penarikan untuk pemilihan responden dilakukan dengan Metode Penarikan Contoh Acak Sederhana berdasarkan persentase banyaknya peternak tiap kecamatan dengan populasi Kecamatan Talawi 1214 peternak, Kecamatan Barangin 657 peternak, Kecamatan Lembah Segar 242 peternak, dan Kecamatan Silungkang 230 peternak yang masingmasing sebesar 23, 15, 5, dan 4 responden. Sedangkan besaran sampel untuk inseminator diambil secara sensus sebesar 16 responden.

Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan wawancara langsung dan kuisioner kepada responden peternak dan inseminator berdasarkan pertanyaan yang telah disiapkan dalam bentuk kuisioner. Sedangkan, data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dari laporan-laporan, catatan, dan dokumen dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto, serta kumpulan informasi dari para dokter hewan, para medis, dan pegawai yang ada di kantor dinas setempat. Data yang terkumpul dari hasill wawancara ini ditabulasikan berdasarkan jenis variabel dan kategori variabel.

Analisis Data Analilis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif hasil frekuensi dengan menggunakan program SPSS 18.0 dan Microsoft Excel 2007. Data yang telah dikumpulkan dimasukkan ke dalam tabel beserta variabelnya. Uji korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan IB. Jenis variabel X dan variable Y setiap kategori adalah dengan hipotesis ordinal yang menggunakan uji Spearman. Hasil uji korelasi diinterpretasikan berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Tabel 1).

8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No.

Parameter

1.

Kekuatan Korelasi (r)

2.

Nilai p

Nilai 0.00-0.199 0.20-0.399 0.40-0.599 0.60-0.799 0.80-1.000 P < 0.05 P > 0.05 + (positif)

3.

Arah korelasi - (negatif)

Interpretasi Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji Searah: semakin besar nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya Berlawanan arah: semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya

HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Kegiatan Inseminasi Buatan Salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi lokal serta produksi peternakan di Kota Sawahlunto khususnya ternak sapi potong, Pemerintah Kota Sawahlunto dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto melaksanakan program inseminasi buatan (IB). Pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto telah mencapai usia kurang lebih 10 tahun. Program IB di Kota Sawahlunto terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh dinas setempat. Pengelolaan ini ditunjang oleh beberapa aktivitas saling berkaitan yaitu penyuluhan IB, distribusi semen beku, deteksi birahi, sistem pelaksanaan IB, pelayanan pemeriksaan kebuntingan, pemeriksaan gangguan kebuntingan, dan pencatatan (recording) IB. Organisasi pelaksana IB yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program IB di Kota Sawahlunto adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto. Pelaksanaan program ini dikelola oleh Bidang Peternakan dan Perikanan dengan membuat satuan pelayanan khusus yaitu Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SPIB). Gambar 1 memperlihatkan struktur organisasi pelaksanaan program inseminasi di Kota Sawahlunto. Lokasi pelaksanaan IB di Sawahlunto mencakup 4 kecamatan di wilayah Kota Sawahlunto. Untuk memudahkan pelaksanaan IB maka dibentuk SPIB yang terbagi pada 4 kecamatan tersebut. Keberadaan SPIB per kecamatan ini dapat memecahkan masalah klasik pelaksanaan IB yaitu tak terjangkaunya lokasi IB. Lokasi SPIB ini terletak di di kantor UPTD Pertanian setiap kecamatan.

9

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto

Bidang Peternakan dan Perikanan

Bagian Produksi

Satuan Pelayanan IB (SPIB)

SPIB Kecamatan

Inseminator

Peternak Gambar 2 Struktur organisasi pelaksana IB di Kota Sawahlunto . Karakteristik Peternak Responden terdiri dari 44 peternak yang ada di Kota Sawahlunto. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi lama berternak, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan jumlah ternak sapi potong yang dimiliki oleh peternak (Tabel 2). Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa lama berternak responden adalah antara 1 sampai 5 tahun (43.2%), 6 sampai 10 tahun (20.5%), 11 sampai 15 tahun (13.6%), dan yang lebih dari 15 tahun (22.7%). Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang berpengalaman rendah lebih mendominasi. Kondisi ini memungkinkan mereka sulit belajar dari pengalaman lapangan, sehingga akan sulit juga dalam menerima inovasi teknologi usahatani menuju perubahan baik secara individu maupun kelompok. Pengalaman yang masih rendah akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang (Nee dan Sani 2011). Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya menjalani pendidikan sampai SD dan hanya sedikit yang mencapai jenjang sekolah lanjutan bahkan sampai perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata berpendidikan terbatas, yaitu tamat SD (36.4%), SLTP (29.5%), SLTA (31.8%), dan perguruan tinggi (2.3%) dapat mengindikasikan bahwa berternak merupakan pilihan pekerjaan bagi responden yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi.

10 Pekerjaan utama responden relatif bervariasi, yaitu pegawai (4.5%), peternak (9.1%), petani (63.6%), dan wiraswasta (22.8%). Hal ini merupakan gambaran umum penduduk di pedesaan, dimana sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Kepemilikan ternak sapi potong responden antara lain 1 sampai 5 ekor (61.4%), 6 sampai 10 ekor (27.3%), 11 sampai 15 ekor (6.8%), dan yang lebih dari 15 ekor (4.2%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan sapi potong peternak sangat terbatas. Dari data ini terlihat sangat jelas bahwa petani hanya sekedar sebagai keeper atau user. Oleh karena itu, di Kota Sawahlunto hampir tidak ada petani yang berperan sebagai producer maupun breeder, sehingga sapi potong belum menjadi usaha pokok bagi petani, tetapi masih sebagai usaha sambilan. Tabel 2 Karakteristik peternak (n=44) Karakter Responden Lama berternak 1 - 5 tahun 6 - 10 tahun 11 - 15 tahun > 15 tahun Pendidikan terakhir SD SLTP SLTA PT Pekerjaan utama Pegawai (PNS/swasta/honorer) Peternak Petani Wiraswasta Jumlah ternak 1 - 5 ekor 6 - 10 ekor 11 - 15 ekor > 15 ekor

Jumlah Responden

% dari Total Responden

19 9 6 10

43.2 20.5 13.6 22.7

16 13 14 1

36.4 29.5 31.8 2.3

2 4 28 10

4.5 9.1 63.6 22.8

27 12 3 2

61.4 27.3 6.8 4.2

Partisipasi Peternak Partisipasi peternak dalam penelitian ini dinilai dari teknik perkawinan yang diterapkan peternak, kurun waktu lamanya peternak mengikuti program IB, dan pemanfaatan IB oleh peternak untuk mengawinkan keseluruhan ternaknya. Partisipasi peternak dalam program IB dapat dilihat dalam Table 3. Partisipasi peternak dalam program IB memperlihatkan sebagian besar peternak sudah memanfaatkan teknik perkawinan secara IB (86.4%). Hal ini

11 mengindikasikan bahwa program IB yang dicanangkan Pemerintah Kota Sawahlunto sebagian besar sudah dimanfaatkan oleh peternak. Tabel 3 Partisipasi peternak dalam program IB (n=44) Kategori Teknik perkawinan IB Alami Keikutsertaan IB Tidak ikut < 1 tahun 1 - 5 tahun 6 - 10 tahun Kekontinuan mengawinkan ternak dengan IB Tidak ikut Sebagian induk Seluruh induk

Jumlah Responden

% dari Total Responden

38 6

86.4 13.6

6 10 24 4

13.6 22.7 54.5 9.1

6 8 30

13.6 18.4 68.0

Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa sebanyak 22.7% responden memanfaatkan program IB kurang dari 1 tahun, 54.5% responden memanfaatkan program IB antara 1 sampai 5 tahun, 9.1% responden memanfaatkan program IB antara 6 sampai 10 tahun, dan tidak ada responden yang memanfaatkan program IB lebih dari 10 tahun. Sebagian besar responden memanfaatkan IB dengan kurun waktu antara 1 sampai 5 tahun dan tidak ada responden yang memanfaatkan IB lebih dari 10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat baru mengetahui program IB tidak lebih dari 5 tahun dan program IB di Kota Sawahlunto diterapkan tidak lebih dari 10 tahun karena tidak ada satupun responden yang memanfaatkan IB dalam kurun waktu tersebut. Lebih dari dua per tiga responden mengawinkan seluruh ternak dengan cara IB (68.0%) dan sebanyak kurang dari satu per tiga responden yang mengawinkan sebagian ternak dengan cara IB (18.4%). Hal ini menunjukkan bahwa peternak cukup nyaman dengan penggunaan program IB dalam mengawinkan ternaknya.

Sistem Pemeliharaan Ternak Teknik pemeliharaan ternak dalam penelitian ini dibedakan atas teknik pemeliharaan secara intensif, semi intensif, dan ekstensif. Teknik pemeliharaan intensif diartikan bahwa sapi selalu dikandangkan dan diberikan pakan secara teratur di dalam kandang. Teknik pemeliharaan semi intensif diartikan bahwa sapi dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada siang hari. Sedangkan, teknik pemeliharaan secara ekstensif diartikan bahwa ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan (Tabel 4). Teknik pemeliharaan ternak di Kota sawahlunto sebagian besar dilakukan dengan cara semi intensif (70.5%), sebagian lagi intensif (20.5%), dan hanya

12 sedikit dengan cara ekstensif (9.1%). Teknik pemeliharaan yang sebagian besar dilakukan dengan cara semi-intensif ini mengindikasikan bahwa peternak harus memiliki padang penggembalaan untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak setiap hari. Tabel 4 Teknik pemeliharaan ternak Teknik Pemeliharaan Intensif Semi intensif Ekstensif Total

Total Jumlah Responden % dari Total Responden 9 20.5 31 70.5 4 9.1 44 100.0

Karakteristik Inseminator Responden terdiri dari 16 inseminator yang ada di Kota Sawahlunto. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi lama bertugas sebagai inseminator, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan kepemilikan Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI). Tabel 5 memperlihatkan karakteristik inseminator yang ada di Kota Sawahlunto. Tabel 5 Karakteristik inseminator (n=16) Karakter Responden Lama bertugas 1 - 5 tahun 6 - 10 tahun Pendidikan terakhir SMA D3 S1 Pekerjaan utama PNS/honorer Swadana Peternak SIMI Memiliki Tidak memiliki

Jumlah Responden

% dari Total Responden

11 5

68.8 31.3

9 2 5

56.3 12.5 31.3

9 6 1

56.3 37.5 6.3

8 8

50.0 50.0

Hasil survei dari seluruh responden menunjukkan bahwa lama bertugas responden sebagai inseminator adalah antara 1 sampai 5 tahun (68.8%), 6 sampai 10 tahun (31.3%), dan tidak ada satu pun responden yang bertugas lebih dari 10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang berpengalaman rendah lebih mendominasi, hanya sedikit yang cukup berpengalaman, bahkan tidak ada seorang pun inseminator yang berpengalaman lebih dari 10 tahun. Kondisi ini

13 memungkinkan hasil IB di Kota Sawahlunto kurang bagus karena pengalaman inseminator yang kurang. Tingkat pendidikan responden sebagian besar hanya menjalani pendidikan sampai SMA dan hanya sedikit yang mencapai jenjang pendidikan sampai perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden yang rata-rata terbatas ini, yaitu tamat SMA (56.3%), D3 (12.5%), dan sarjana (31.3%) dapat mengindikasikan bahwa inseminator yang ada di Kota Sawahlunto memiliki pengetahuan yang kurang. Pekerjaan utama responden relatif bervariasi, yaitu PNS dan honorer dinas peternakan (56.3%), swadana (37.5%), dan peternak (6.3%). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar inseminator yang ada adalah pegawai yang bekerja di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto, sehingga pelaksanaan program IB yang dilakukan lebih terstruktur. Petugas pelayanan IB (inseminator) di Kota Sawahlunto yang memiliki SIMI hanya setengah (50%), sedangkan sebagian lagi tidak memiliki. Hal ini mengindikasikan bahwa setengah dari inseminator ini belum layak untuk melakukan pelayanan inseminasi buatan kepada masyarakat. Ditjennak (2012) menegaskan bahwa untuk dapat melakukan inseminasi buatan di masyarakat, petugas teknik inseminasi buatan harus memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI) yang dikeluarkan oleh dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi setempat. Dengan demikian tidak dibenarkan apabila pelaksana IB di lapangan diserahkan kepada petugas yang belum atau tidak cukup mengikuti pelatihan inseminator.

Sistem dan Kapasitas Kerja Inseminator Sistem dan kapasitas kerja inseminator dalam penelitian ini terdiri dari sistem pelayanan dan melakukan pelaporan dalam pelaksanaan IB. Disamping itu, peubah lain yang digunakan untuk mengukur kapasitas kerja inseminator adalah lamanya persiapan sebelum melaksanakan IB dan jumlah akseptor yang dapat dilayani dalam sehari sebagaimana disajikan dalam Tabel 6. Sistem pelayanan IB dalam penelitian ini dibedakan atas sistem pelayanan aktif (inseminator mendatangi peternak), pasif (peternak mendatangi inseminator), dan semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat). Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa sistem pelayanan aktif lebih mendominasi (62.8%), semi aktif (37.2%), dan tidak ada sama sekali sistem pelayanan pasif. Hal ini mengindikasikan bahwa inseminator sangat peduli terhadap pelayanan IB kepada masyarakat peternak, sedangkan masyarakat peternak tidak terlalu peduli karena tidak ada satu pun peternak yang mendatangi inseminator untuk pelayanan IB ternaknya. Untuk mempermudah pelaporan/permintaan pelayanan IB maka harus dibuat suatu sistem pelaporan yang sederhana, cepat, mudah, dan murah. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa seluruh inseminator membuat laporan dan dilakukan secara teratur dalam menjalankan tugasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa program IB di Kota Sawahlunto terstruktur dengan baik dan kinerja inseminatornya sangat baik.

14 Lama persiapan IB yang dilakukan inseminator sebelum melakukan IB adalah kurang atau sama dengan 1 jam (100%). Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja inseminator sangat baik, sehingga pelaksanaan IB berjalan dengan baik. Tabel 6 Sistem dan kapasitas kerja inseminator (n=16) Kategori Sistem pelayanan Aktif Pasif Aktif dan pasif Melakukan pelaporan ya, secara teratur ya, tidak teratur tidak buat laporan Lama persiapan alat IB < 1 Jam ≥ 1 jam Jumlah akseptor per hari 1 - 2 ekor 3 - 4 ekor ≥ 5 ekor

Jumlah Responden

% dari Total Responden

10 0 6

62.8 0.0 37.2

16 0 0

100.0 0.0 0.0

16 0

100.0 0.0

10 6 0

62.8 37.2 0.0

Jumlah akseptor yang dapat dilayani seorang inseminator adalah 1 sampai 2 ekor (62.8%), 3 sampai 4 ekor (37.2%), dan lebih atau sama dengan 5 ekor tidak ada seorang inseminator pun yang dapat melayani IB. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar inseminator yang bertugas di wilayah kerja Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto hanya dapat melayani IB tidak lebih dari 2 ekor akseptor dan Kota Sawahlunto masih membutuhkan seorang inseminator untuk melayani akseptor.

Tingkat Keberhasilan Program Inseminasi Buatan Tingkat keberhasilan IB pada penelitian ini diukur dari nilai angka konsepsi atau conception rate (CR), inseminasi per konsepsi atau service per conception (S/C), dan jarak kelahiran atau calving interval (CI) yang yang dihitung dari hasil wawancara 44 orang peternak. Sistem penilaian keberhasilan IB di Indonesia pada umumnya berdasarkan pada nilai CR dan S/C (Feradis 2010). Soeharsono et al. (2010) juga berpendapat bahwa performans reproduksi yang sangat penting adalah umur beranak pertama, service per conception (S/C), dan jarak beranak atau calving interval (CI). Nilai CR pembibitan ternak sapi potong di Kota Sawahlunto dari hasil penelitian ini dapat diketahui sebesar 50.0%. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan IB di Kota Sawahlunto sudah baik, namun hampir mendekati kurang baik. Toelihere (1979) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate

15 sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Penghitungan terhadap nilai S/C di Kota Sawahlunto pada penelitian ini didapatkan nilai S/C sebesar 1.80. Dari data ini dapat dikatakan bahwa tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto sudah baik, karena menurut Toelihere (1979) nilai S/C yang normal adalah 1.60 sampai 2.00. Nilai CI rata-rata di Kota Sawahlunto dari hasil penelitian ini adalah selama 16.34 bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa di Kota Sawahlunto efisiensi reproduksinya buruk. Hadi dan Ilham (2002) menyatakan bahwa jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang (Nurhyadi dan Wahjuningsih 2011).

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program Inseminasi Buatan Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan IB dapat ditinjau dari karakteristik peternak, partisipasi peternak, serta teknik pemeliharaan ternak. Tabel 7 memperlihatkan hubungan beberapa faktor terhadap keberhasilan program IB. Tabel 7

Hubungan karakteristik peternak, partisipasi peternak, dan teknik pemeliharaan ternak terhadap keberhasilan pelaksanaan IB

Karakteristik Lama berternak Tiingkat pendidikan Pekerjaan utama Jumlah ternak Keikutsertaan IB Lama keikutsertaan IB Jumlah ternak yang di IB Teknik pemeliharaan ternak

CR p-value r 0.037 0.340* 0.773 -0.048 0.355 0.154 0.789 0.045 0.712 -0.062 0.642 0.078 0.017

0.385*

S/C p-value r 0.022 0.372* 0.752 -0.053 0.286 -0.178 0.656 0.075 0.568 -0.096 0.963 -0.008 0.037

0.339*

CI p-value 0.290 0.999 0.945 0.970 0.587 0.083 0.358 0.014

r 0.163 0.000 0.011 -0.060 0.084 0.264 0.142 0.367*

Keterangan: *Menunjukkan hubungan yang nyata pada nilai p<0.05 (hubungan dua arah) Karakteristik lama berternak memperlihatkan hubungan yang nyata terhadap nilai CR dan S/C (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang lemah (0.200 ≤ r < 0,399), namun tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai CI. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman dari peternak berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan IB. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Soeharsono et al. (2010), pengalaman memungkinkan peternak dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi usaha tani menuju perubahan yang lebih baik. Tingkat pendidikan, pekerjaan utama, dan jumlah ternak yang dimiliki peternak, tidak memperlihatkan adanya hubungan yang nyata terhadap tingkat keberhasilan IB. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan, pekerjaan

16 utama, dan jumlah ternak yang dimiliki peternak tidak mempengaruhi tingkat keberhasilan IB. Hal ini berkemungkinan sesuai dengan apa yang dikatakan Baba et al. (2011), karakteristik peternak berpengaruh negatif terhadap persepsi mereka terhadap apa yang diprogramkan pemerintah. Semakin tinggi tingkat pendidikan, tingkat kosmopolit, dan besarnya usaha menyebabkan persepsi mereka terhadap berbagai program pemerintah menurun. Partisipasi peternak yang dinilai dari keikutsertaan IB, lama keikutsertaan IB, dan jumlah ternak yang di IB, tidak memperlihatkan hubungan yang nyata dengan tingkat keberhasilan IB (p>0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi peternak tidak berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan IB. Seharusnya, partisipasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program IB, karena menurut Baba et al. (2011), keikutsertaan peternak dalam progam membuat mereka lebih sering berkomunikasi dengan penyuluh dan akan membuat hasil yang lebih baik. Teknik pemeliharaan ternak pada penelitian ini menunjukkan hubungan yang nyata terhadap seluruh indikator tingkat keberhasilan IB (p<0.05) dengan tingkat hubungan yang lemah (0.200 ≤ r < 0,399). Hal ini mengindikasikan bahwa teknik pemeliharaan ternak di Kota Sawahlunto yang hanya 20.5% secara intensif, ternyata cukup berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan IB yang ada. Dwiyanto (2008) menyebutkan, salah satu kunci keberhasilan IB adalah sapi dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sebagian besar tingkat pendidikan dan pengalaman peternak di Kota Sawahlunto masuk dalam kategori rendah . 2. Sebagian besar peternak di Kota Sawahlunto sudah menerapkan sistem perkawinan ternak dengan teknologi IB. 3. Sistem kerja dan pelaporan pelaksanaan IB oleh inseminator di Kota Sawahlunto mayoritas sudah dilakukan dengan baik. 4. Sistem pemeliharaan ternak di Kota Sawahlunto mayoritas dilakukan secara semi intensif, namun masih ada yang dilakukan secara ekstensif. 5. Pengalaman dan daya kerja inseminator di Kota Sawahlunto masih kurang. 6. Tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto dilihat dari nilai CR dan S/C memperlihatkan hasil yang sudah baik, namun nilai CI belum ideal. 7. Pengalaman berternak dan sistem pemeliharaan ternak berhubungan dengan tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto. 8. Tingkat pendidikan, pekerjaan utama, jumlah ternak, dan partisipasi peternak terhadap program IB tidak memperlihatkan hubungan yang nyata terhadap tingkat keberhasilan IB di Kota Sawahlunto.

Saran 1. Pemerintah Kota Sawahlunto dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto disarankan untuk mengadakan penyuluhan dan pembinaan

17 lebih lanjut mengenai sistem pemeliharaan ternak dan cara pembibitan ternak terutama dengan program IB kepada seluruh peternak dikarenakan mayoritas pekerjaan sebagai peternak merupakan kerja sampingan, masih ada peternak yang belum menggunakan IB sebagai teknik perkawinan ternak, serta masih buruknya nilai CI. 2. Pemerintah Kota Sawahlunto disarankan untuk memberikan pelatihan lebih lanjut kepada inseminator karena masih terdapat kekurangan dari segi kapasitas kerja dan sebagian dari inseminator yang ada belum memiliki SIMI.

DAFTAR PUSTAKA Baba S, Isbandi, Mardikanto T, Waridin. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi peternak sapi perah dalam penyuluhan di Kabupaten Enrekang. JITP. 1(3): 193-208. Dahlan SM. 2001. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta (ID): Salemba Medika. Delgado C, Rosegrant M, Steinfeld H, Ehui S, Courbois C. 1999. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute. [Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010a. Pedoman umum program swasembada daging sapi 2014. Jakarta (ID): Ditjennak. [Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010b. Pedoman teknis kegiatan operasional PSDS 2014. Jakarta (ID): Ditjennak. [Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman optimalisasi inseminasi buatan (IB) tahun 2012. Jakarta (ID): Ditjennak. Dwiyanto K. 2008. Pemanfaatan sumber daya lokal dan inovasi teknologi dalam mendukung pengembangan sapi potong di Indonesia. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 1(2): 173 – 188. Dwiyanto K, Inounu I. 2009. Dampak crossbreeding dalam program inseminasi buatan terhadap kerja reproduksi dan budidaya sapi potong. Wartazoa. 19(2): 93 – 102. Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Alfabeta. Hadi U, Ilham N. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21(4): 148 – 157. Hafez ESE. 1993. Artificial insemination. Di dalam: HAFEZ ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Philadelphia(US). pp. hlm 424-439. Marbun JA. 2009. Persepsi dan partisipasi anggota keluarga peternak terhadap usahatani peternakan kambing. Habonaron do Bona 2(0): 73 – 82. Mulyono A. 2008. Studi partisipasi masyarakat pada program desa mandiri pangan di Desa Muntuk, Kabupaten Bantul [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Nataatmaja DM, Arifin J. 2008. Karakteristi ukuran tubuh dan reproduksi jantan pada kelompok populasi domba di Kabupaten Pandeglang dan Garut. Animal Production. 10(3): 140 – 146.

18 Nurhyadi, Wahjuningsih S. 2011. Penampilan reproduksi sapi peranakan ongole dan peranakan limousine di Kabupaten Malang. Jurnal Ternak Tropika. 12(1): 76 – 81. Nee SO, Sani NA. 2011. Assessment of knowledge, attitudes, and practices (KAP) among food handlers at residential colleges and canteen regarding food safety. Sains Malay. 40(0): 403-410. Sayuti A, Herrialfian, Armansyah T, Syafruddin, Siregar TN. 2011. Penentuan Waktu Terbaik Pada Pemeriksaan Kimia Urin Untuk Diagnosis Kebuntingan Dini Pada Sapi Lokal. Jurnal Kedokteran Hewan. 5(1): 23 – 26. Simamora B. 2002. Panduan Riset Prilaku Konsumen. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Siregar B. 2003. Penggemukan Sapi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Soeharsono, Saptati RA, Diwyanto K. 2010. Kinerja reproduksi sapi potong lokal dan sapi persilangan hasil inseminasi buatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner hlm: 89 – 99. Soedjana TD, Sudaryanto T, Sayuti R. 1994. Estimasi parameter permintaan beberapa komoditas peternakan di Jawa. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia 1(0): 13-23. Sugeng YB. 2006. Sapi Potong. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sumarwan U. 2004. Prilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Sutan SM. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Peranakan Onggole, dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutrisno, Suroso, Wahyu J, Aeni N. 2010. Pemberdayaan perbibitan sapi potong melalui inseminasi buatan dalam menopang ketahanan pangan di Kabupaten Pati. Laporan Hasil Penelitian (Laporan Ringkasan Hasil Litbang Sesuai PP No.Tahun 2005). Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Dalam Negeri. Toelihere MR. 1979. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung (ID): Angkasa. Yanti M. 1997. Peranan metode penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Yusdja Y, Ilham N. 2004. Tinjauan kebijakan pengembangan agribisnis sapi potong. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 2(2): 167−182.

19

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Sibusuk, Sumatera Barat, tanggal 31 Januari 1989 dari pasangan Heri Sutrisno SPKP dan Syafrida. Penulis adalah putra kedua dari lima bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 6 Padang Sibusuk pada tahun 1995 sampai 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 5 Sawahlunto tahun 2001 sampai 2004. Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 2 Sawahlunto dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Padang selama satu tahun. Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi daerah Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan aktif dalam Himpunan Profesi Satwaliar FKH IPB. Tahun 2009/2010 penulis terpilih sebagai wakil Sekjen BPA IPMM Bogor dan tahun 2010/2011 penulis terpilih sebagai Sekjen BPA IPMM Bogor.