FAKTOR FAKTOR KESULITAN DALAM PENERAPAN KURIKULUM

Download JURNAL ... Kesulitan Dalam Penerapan Kurikulum 2013 (Suatu Penelitian Di SMA ... kurangnya pelatihan guru terhadap kurikulum 2013, buku-buk...

0 downloads 394 Views 339KB Size
JURNAL

Faktor Kesulitan Dalam Penerapan Kurikulum 2013 (Suatu Penelitian Di SMA Negeri 1 Gorontalo)

Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK Mutmainah Madi, Nim 231410058. Judul Skripsi Faktor-Faktor Kesulitan Dalam Penerapan Kurikulum 2013 (Suatu Penelitian Di SMA Negeri 1 Gorontalo).. Jurusan S1 Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo 2014.pembimbing 1.Dra.Hj.trisnowati tuahunse.M.pd Pembimbing 2. Drs. H. Darwin Une, M.Pd. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang lebih mengutamakan data-data sebagai sumber untuk menyusun skripsi. Tetapi selain data-data narasumber juga sangat dibutuhkan dalam penelitian kualitatif, karena mengingat dalam penelitian ini membehas sebuah permasalahan yang bersifat kontemporer atau kekinian oleh sebab itu narasumber juga sangat berperan penting dalam pne;itian ini. Tujuan utama dalam penelitian ini yaitu penulis akan mengungkapkan kesulita-kesuliatan yang di hadapi sekolah dalam penerapan kurikulum 2013 yang masih banyak terdapat perdebatan yang hangta saat ini. oleh karena itu penulis meneliti di sebuah sekolah yang merupakan sekolah percontohan di Provinsi Gorontalo yaitu SMA Negeri 1 Gorontalo. SMA Negeri 1 Gorontalo merupakan SMA yang telah 2 tahun menjalankan kurikulum 2013 karena itu bagi penulis sekolah ini telah merasakan seperti apa kesulitan yang di hadapi guru sebagai pengajar dan siswa sebagai objek pembelajaran dalam melakukan kegiatan pembelajaran dengan penerapan kurikulum baru. Berlandasakan hal tersebut didapatkan bahwa ternyata banyak sekali hambatan maupun tantangan yang dihadapi oelh sekolah ini. antara lain adalah kurangnya pelatihan guru terhadap kurikulum 2013, buku-buku yang dibutuhkan sebagai penunjang pembelajaran lambat dating disekolah. Hal-hal tersebut setelah diidentifikasai bahwa tidak ada kesiapan yang matang dari pemerintah pusat maupun daerah terhadap kurikulum 2013 ini sebelum di publikasikan secara kolektif. Kata Kunci : “Faktor Kesulitan dalam penerapan kurikulum 2013”

Nama : Mutmainah Madi Nim : 231 410 058 Judul : Faktor-Faktor Kesulitan Dalam Penerapan Kurikulum 2013 (Suatu Penelitian Di SMA Negeri 1 Gorontalo)

Pembimbing : 1. Dra.Hj.trisnowati tuahunse.M.pd 2. Drs. H. Darwin Une, M.Pd.

PENDAHULUAN Kurikulum adalah suatu hal yang esensial dalam suatu penyelenggaraan pendidikan. Secara sederhana, kurikulum dapat dimengerti sebagai suatu kumpulan atau daftar pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik komplit dengan cara pemberian nilai pencapaian belajar di kurun waktu tertentu. Kurikulum harus mampu mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang berbeda secara individual, baik ditinjau dari segi waktu maupun kemampuan belajar. Oleh karena itu, merumuskan suatu kurikulum sudah barang tentu bukan perkara gampang. Banyak faktor yang menentukan dalam proses lahirnya sebuah kurikulum. Pada dasarnya kurikulum berisikan susunan bahan ajar dan pengalaman belajar, tujuan pembelajaran, metode, media dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum yang disusun di pusat berisikan beberapa mata pelajaran pokok dengan harapan agar peserta didik diseluruh Indonesia mempunyai standar kecakapan yang sama. Kurikulum tersebut evaluasinya dilaksanakan dengan UN (ujian nasional), kurikulum yang lain yang disusun di derah-daerah disebut kurikulum muatan lokal, evaluasinya dilaksanakan dengan ujian sekolah (Dakir, 2010: 1-2). Dalam hal ini kurikulum mempunyai suatu konsep yang dapat memberikan gambaran pembelajaran kepada siswa-siswa yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh pihak sekolah sebagai penyelenggara kegiatan belajar-mengajar. Dalam rangka pelaksanaan kurikulum di perlukan petunjuk atau pedoman, di antaranya pedoman khusus masing-masing bidang ajaran dan model satuan pelajaran. Pedoman khusus ini memberikan gambaran tentang garis-garis besar program pengajaran (GBPP), pengertian tentang pokok bahasan, alokasi waktu yang tersedia, pendekatan yang di gunakan, metode penyampaian, media pengajaran, sumber pokok kepustakaan dan penilaian (evaluasi). Selain itu juga kurikulum memiliki tujuan yang berguna untuk mengembangkan pemebelajaran. Di Indonesia, tujuan kurikulum tertera pada Undang-Undang Sistem Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bab I Pasal I yang disebutkan bahwa kerikulum adalalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedeoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar (Dakir, 2010 : 10). Kurikulum yang terdiri atas komponen satu dengan yang lain saling terkait adalah adalah merupakan suatu system, ini berarti

bahwa setiap komponen yabg saling terkait tersebut hanya memepunyai satu tujuan pendidikan yang juga menjadi tujuan kuri kulum. Setiap kegiatan yang dijalankan dengan baik dan sempurna pasti mempunyai hambatan-hamabatan, seperti penerapan kurikulum yang ada disekolah-sekolah. Tidak selalu kegiatan tersebut berjalan dengan harapan yang dinginkan bersama, selalau saja ada segelintir kendala yang dihadapai dilapangan ketika menjalankan program penerapan kurikulum ini, misalnya minimnya kemampuan seorang guru dalam mengikuti kegiatan pelatihan tentang pendidikan sehingganya guru tersebut tidak mempunyai skil untuk bagaimana mengembangkan pembelajaran pada siswa-siswa disekolah. Kedua guru tidak mempunyai kemampuan dalam metode, media dan model pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan pada siswa. Karenanya untuk meminimalisir hal ini harus ada sikap profesionalisme guru dan perangkat lainnya disekolah agar hambatanhambatan ini tidak berkelanjutan lagi Kurikulum KTSP digunakan dari tahun 2006, kurikulum ini merupakan penjelmaan penetaan kembali dari kurikulum berbasis kompetensi yang ddinyatakan batal dilaksanakan pada tahun 2004. Dalam KTSP lebih berdasar pada berbasis kompetensi dan hanya terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar sedangkan kemopetensi lain dikembangkan oleh guru-guru. Dalam KTSP, guru-guru dituntu lebih aktif dan kreatif dalam mengembangkan materi- materi dalam KD-KD. Hal ini mengakibatkan dalam pengembangan KTSP tidak terlalu banyak mengalami hambatan. Salah satunya jiga adalah kelengkapan sarana (adanya buku-buku panduan belajar, alat-alat lain yang mendukung proses belajar) yang digunakan dalam pembelajaran merupakan hal yang sangat utama dalam menciptakan kondisi belajar yang efektif. Kurikulum KTSP telah dijalankan selama tujuh tahun. Namun menurut pengelola kurikulum pusat (Informasi dari media Televisi, 2014) mengatakan bahwa: Harus ada perubahan dalam system pendidikan Indonesia saat ini. Karena mengingat dan melihat mutu pendidikan Indonesia masih sangat rendah dan harus diperbaiki secara intensif. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka system pendidikan di Indonesia di gantikan dengan system yang baru yaitu kurikulum 2013. Adanya kurikulum 2013 menuntut ke aktifan pada siswa dan guru hanya sebatas fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu berbagai metode dan pendekatan yang dilakukan oleh guru agar dalam metode pembelajaran menjadi efektif sesuai denga tujuan yang diharapkan. Tetapi kenyataannya kurikulum 2013 tidak berjalan sesuai yang di inginkan bersama. Banyak kekurangan-kekurangan yang dihadapai sekolah-

sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013, salah satunya yaitu tidak tersedianya perangkat pembelajaran yang seharusnya telah efektif sebelum dijalankan kurikulum 2013. Ini dapat di identifikasikan bahwa tidak ada kesiapan dalam penerapan kurikulum ini yang mengakibatkan kewalahan pada guru-guru pengajar mata pelajaran. Dan siswa yang menjadi objek pelaksana kurikulum ini menjadi tidak efektif ketika diberikan tugas. Ketidak efektipan ini terjadi karena siswa-siswa ini menganggap bahwa terlalu banyak tugas yang telah diberikan. Hal ini sangat berbeda dengan kurikulum sebelumya yaitu KTSP. Kenyataannya kurikulum ini tidak berjalan sesuai yang di inginkan. Dan telah mengalami berbagai macam hambatan dan kesulitan dalam penerapannya. Oleh sebab itu perlunya identifikasi yang kongkret dalam melihat permasalah yang timbul akibat dari penerapan kkurikulum yang baru ini. Oleh karena itu dengan berdasar pada latar belakang diatas maka peneliti memfokuskan penelitian pada Faktor-Faktor Kesulitan Dalam Penerapan Kurikulum 2013 (Suatu Penelitian Di SMA Negeri 1 Gorontalo). METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi tempat penelitian ini dilaksanakan SMA Negeri 1 Gorontalo Waktu Penelitian Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan terjadwal maka perlu diperhatikan waktu penelitiannya Bentuk dan strategi penelitian Strategi yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus ganda. Karena indikator penelitian memiliki dua objek penelitian yaitu perkembagan kurikulum.

Sumber data 1. Sumber data Data sekunde bersumber dari literatur, dokumen, buku dll. Serta Sumber data yang peroleh dari dilapangan, diperoleh langsung dari informan melalui pengamatan lapangan dengan wawancara mendalam. 2. Sumber Informan

Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan pangkal dan informan pokok. Menurut koentjaraningrat (Dalam Suryani Atim 2011 : 25) mengatakan bahwa: informan pangkal adalah jiwa yang dipandang mampu memberikan informasi secara umum tentang masalah yang diteliti dan mampu menunjuk jiwa lain sebagai informan pokok yang dapat memberikan informasi yang mendalam. 3. Arsip Arsip ini dapat diperoleh dari SMA negeri i gorontalo, maupun dari guru dan murid yang menjadi pelaku perkembagan pendidikan. Arsip lain dapat diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan. Teknik pengumpulan data 1. Wawancara Peneliti langsung menanyakan kepada informan (Yulia mustapa, SP.d) tentang Penerapan kurikulum 2013. Wawancara sangat penting dilakukan karena peneliti dapat mengngan gali informasi secara mendalam. Serta dapat menanyakan hal-hal yang jauh dari informasi sebelumnya. Wawancara ini dapat dilakukan kepada siapa saja yang mampu memberikan informasi yang valid dengan data yang ada. 2. Dokumen/Arsip Teknik pengumpulan data melalui telaah dokumentasi ini merupakan jenis/teknik yang paling banyak dan paling menonjol digunakan oleh peneliti sejarah dengan cara penulis mengdakan tinjauan kepustakaan sesuai permasalahan peneliti. 3. Observasi Sebelum jauh pada penelitian, maka perlu diadakan observasi atau pengamatan secara langsung di lapangan, dengan maksud untuk mengetahui tempat penelitian sehubungan dengan permasalahan yang diangkat. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Sejak Indonesia merdeka kurikulum telah mengalami beberapa kali perubahan secara berturut-turut yaitu pada tahun 1947, tahun 1952, tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994 dan pada tahun 2004, serta yang terbaru adalah kurikulum 2006. Pada saat ini telah dan sedang di laksanakan Uji Publik kurikulum 2013 sebagai pengembangan dari kurikulum 2006 atau KTSP. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu di kembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat (Sholeh Hidayat, 2013 : 1).

Perubahan atau pengembangan kurikulum menunjukan bahwa sistem pendidikan itu di namis. Jika sistem pendidikan tidak ingin terjebak dalam stagnasi, semangat perubahan perlu terus dilakukan dan merupakan suatu keniscayaan. Kita harap perubahan dan pengembangan kurikulum 2013 tak hanya perampingan mata pelajaran semata, tetapi juga harus mampu menjawab tantangan perubahan dan perkembangan zaman. Sejak di luncurkan tahun 2006 Permendiknas No. 22, 23 dan 24, Standar Isi yang kemudian diiplementasikan dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), capaian kompotensi peserta didik kurang jelas dan kurang terarah. Beragamnya kompotensi guru di berbagai daerah dan wilayah, membuat implementasi Kurikulum 2006 menjadi sangat rentan terhadap multi tafsir, sehingga mutu kompotensi peserta didik sulit terstandalisasi. Dengan di serahkannya penyusunan dan pengembangan kurikulum kepada satauan pendidikan yang bergam, maka fenomena copy-paste kurikulum, baik pada buku Dokumen I maupun Dokumen II (Slabus dan RPP), menjadi “Budaya” baru yang menggejala di kalangan guru dan kepala sekolah. Akibatnya, pemberdayaan kompotensi kearifan lokal yang seharusnya di kembangkan seiring dengan di terapkan Kurikulum 2006 justru nyaris tak berdaya karena menggunakan kurikulum satuan pendidikan atau sekolah dari daerah lain tanpa melalui proses adaptasi (Sholeh Hidayat, 2013 : 88) Kurikulum 2006 atau KTSP sudah memasuki usia ke-7 tahun, di kaitkan dengan semangat dan tantangan zaman memang sudah saatnya di ubah dan direvisi. Jika kurikulum 2006 tidak di lakukan perubahan dan pengembangan, tidak bisa di pastikan bagaimana mutu pendidikan serta kualitas keluarannya, hasil dan dampaknya harus di pertanyakan karena para lulusan yang lahir dari sistem pendidikan yang capaian kompotensi peserta didiknya kurang jelas dan kurang terarah. Dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 2003, bagian umum: antara lain di tegaskan bahwa salah satu salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional adalah pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompotensi. Penjelasan Pasal 35, UU No. 23 Tahun 2003; menyatakan kompotensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah di pakai (Agustinus, 2014: 158). Kurikulum 2013 melanjutkan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompotensi yang telah di rintis pada tahun 2004 dengan mencakup komptensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Pengembangan kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Di samping kurikulum, terdapat sejumlah

faktor di antaranya: lama siswa bersekolah; lama siswa tinggal di sekolah; pembelajaran siswa aktif berbasis kompotensi; buku pegangan atau buku babon; dan peranan guru sebagai ujung tombak sebagai pelaksana pendidikan. Orientasi kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan an keseimbangan antara kompotensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan penegetahuan (knowledge). Sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: kompotensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah di sepakati. Sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompotensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompotensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu (Ahmad Yani, 2013: 25) Secara konseptual draft Kurikulum 2013 dicita-citakan untuk mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas intelektualnya, tetaoi juga cerdas emosi, sosial, dan spritualnya. Hai itu tampak dengan terintegrasikannya nilainilai karakter ke dalam proses pembelajaran, tidak lagi menjadi suplemen seperti dalam Kurikulum 2006. Pendekatan dan strategi pembelajaran yang di gunakan dengan memberikan ruang kepada peserta didik untuk mengontruksi penegetahuan baru berdasarkan pengalaman belajar yang di peroleh dari kelas, lingkungan sekolah, dan masyarakat juga akan mampu mendekatkan peserta didik pada kultur masyarakat dan bangsanya. Kurikulum 2013 menjadi salah satu solusi menghadapi peru bahan zaman yang kelak akan mengutamakan kompotensi yang di disinergikan dengan nilai-nilai karakter (Ahmad Yani, 2013: 24-25) Meskipun demikian, drft yang bagus hanya akan berada pada tataran konsep apabila tidak diimbangi dengan pemberdayaan para pemangju kepentingan pendidikan, khususnya guru. Kita sudah memiliki pengalaman yang berharga ketika KBK diterapkan. Guru yang selama ini kurang terberdayakan untuk menurunkan standar isi ke dalam rencana pembelajaran yang kemudian di implementasikan ke dalam pembelajaran. Akibatnya, mutu pendidikan tidak bisa terstandarkan. Model copy-paste pun menjadi budaya baru dikalangan guru akibat ketidak siapan mereka dalam menerapkan standar isi. Belajar dari pengalaman itu, posisi guru harus diposisikan sebagai “faktor utama”dalam implementasikan Kurikulum 2013. Para guru harus benar-benar di siapkan secara matang, mulai dari penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian, analisis, hingga tidak lanjutnya. Dengan memberdayakan pemangku kepentingan utama implementasi kurikulum dapat berlangsung sebagai mana yang di terapkan.

Pengenalan Kurikulum 2013 Indonesia sebagai bangsa dan negara akan terus menjalani sejarahnya. Ibarat sebuah organisme negara Indonesia lahir, tumbuh, berkembang dan mempertahankan kehidupannya utuk mencapai apa yang akan di cita-citakan di awal kelahirannya. Cita-cita luhur tersebut tercantum secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sungguh sangat luhur dan humanis cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia tersebut. Sebagai bangsa Negara Indonesia kita harus bangga terhadap para pendahulu kita yang telah mewariskan fondasi yang juat dan mulia tentang arah dan tujuan kita berbangsa dan bernegara. Sepatutnya kita harus berkontribusi sesuai dengan peran kita untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia. Salah satu cara dan strategi untuk mempercepat terwujudnya cita-cita negara kita adalah dengan mempersiapkan generasi masa depan yang tangguh, cerdas, mandiri dan berpegang pada nilai-nilai spritual. Mereka harus di persiapkan sedemikian rupa dalam suatu lingkungan yang kondusif. Salah satu lingkungan yang sangat ideal adalah institusi pendidkan dari prasekolah tingkat dasar, tingkat menegah, dan jenjang perguruan tinggi sebagai kawah candra di muka penggemlemgan generasi mudah. Dalam rangka mewujudjkan kondisi di atas pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terus melakukan pembaharuan dan inovasi dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah pembaharuan inovasi kurikulum, yakni lahirnya kurikulum 2013. Lahirnya kurikulum ini untuk menjawab tantangan dan pergeseran paradigma pembanguanan dari abad ke-20 menuju abad ke-21. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagi pribadi dan waega negara yang beriman, produktif, kreatif, inivatif, dan evektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Kunandar, 2013: 16). Pernyataan Kunandar tersebut memberikan gambaran bahwa pendidikan Indonesia saat ini harus lebih di tingkatkan ke arah yang lebih kompleks. Bukan berarti bahwa konsep ini menyudutkan paradigma kurikulum KTSP yang telah berjalan sejak 2006 sampai tahun 2012 kemarin. Tetapi tujuannya adalah bagaimana untuk pendidikan Indonesia menuju ke arah yang baru dengan lebih memperhatikan seluruh aspek yang ada di dalam jiwa peserta didik, bukan hanya terfokus pada aspek pengetahuan saja.

Dengan kata lain, pemberlakuan Kurilulum 2013 di tujukan untuk menjawab tantangan zaman terhadap pendidikan yakni untuk menghasilkan lulusan yang kompetetif, inovatif, kreatif kolaboratif serta berkarakter. Guna mencapai orientasi akhirnya ini, di sadari benar bahwa pendidikan bukan hanya dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan berdasarkan subjek inti pembelajaran melainkan juga harus diorientasikan agar peserta didik memiliki kemampuan kreatif, kritis, komunikatif sekaligus berkarakter (Yunus Abidin, 2014: 11-12). Sikap kreatif, kritis, komunikatif dan lain sebagainya merupakan penjabaran dari karakter itu sendiri. Karena segala aspek yang ada di dalam jiwa individu atau peserta didik berpusat pada satu titik yaitu karakter. oleh sebab itu kurikulum 2013 intinya ada pada karakter. Agustinus (2004: 158) menegaskan bahwa Bung Karno juga pernah mengatakan “bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan Karakter (character building) karena character building akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat, kalau character building ini tidak dilakukan. Maka bangsa Indonesia akan di bangsa kuli. Lebih lanjutnya Agustinus (2004: 158) Sementara itu, di dalam kebijakan nasional, antara lain di tegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara, sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan tidak di pisahkan dari pembangunan nasional. Lebih lanjut harus diingat bahwa secara eksplisit pendidikan karakter (watak) adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional yang ada pada pasal 3 menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlam mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Melihat pernyataan diatas, sebenarnya apa itu kurikulum 2013? Namun sebelum menjabarkan konsep dari kurikulum 2013 alangkah baiknya kita mengetahui penjabaran dari kurikulum secara umum. Ahmad Yani (2014: 2) dalam bukunya mengemukakan bahwa kurikulum dalam sistem pendidikan kurikulum seringkali dijadikan pusat dari semua sistem penggerak komponen pendidikan lainnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa kurikulum dapat diartikan sebagai kumpulan dari berbagai pengalaman yang akan dipelajari oleh

peserta didik. Agar peserta didik sukses menguasai berbagai pengalaman belajar tersebut, dibutuhkan berbagai sumber belajar, guru, sarana dan prasarana, anggaran, kebijakan dan sistem pengelolaan yang baik. Dengan demikian kurikulum berada dipusat aktivitas pendidikan. Diatas merupakan gambaran kurikulum secara umum. Selanjutnya penjabarab Kurikulum 2013. Dalam bukunya Ahmad Yani (2014: 54) mengemukakan bahwa Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang sarat dengan pendidikan karakter seperti yang telah dikemukakan di atas. Oleh karena itu mindset ini yang disadari sejak awal sebelum memahami teknis pelaksanaan Kurikulum 2013. Jika tidak ada landasan pemikiran ini, maka kita akan merasa terbebani oleh banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan. Pekerjaan yang akan banyak menyita waktu adalah mengumpulkan nilai peserta didik di setiap mata pelajaran dari aspek sikap dan keterampilan karena tidak lagi berbentuk nilai angka tetapi berbentuk uraian kualitatif. Mindset yang dimaksud adalah kelengkapan maupun atribut pengetahuan yang harus serta perlu untuk diketahui oleh semua kompenen masyarakat terutama komponen sekolah yang dalam hal ini adalah guru serta perangkat sekolah. Mengapa guru juga merupakan faktor utama dalam kurikulum ini, karena penggerak dalam pendidik maupun sebagai tenag pengajar adalah berporos pada seorang guru. Dalam perjalanannya, kurikulum yang baru berumur jagung sekitar satu tahun setengah telah menuai kontroversi dari berbagai kalangan terutama dari mentri pendidikan yaitu Anis Baswedan dan juga dari kalangan masyarakat sebagai penilai perkembangan kurikulum maupun komponen yang berperan langsung dalam penerapan kurikulum 2013. Konteroversi ini terjadi karena dalam pelaksanaan kurikulum 2013 mengalami berbagai kesulitan yang seharusnya tidak terjadi. SMA Negeri 1 Gorontalo yang merupakan tempat yang dijadikan sebagai objek penelitian penulis mengalami masalah yang sama terhadap pengembangan kurikulum 2013. Berbagai kesulitan yang di hadapi oleh sekolah ini akan di uraikan dibawah ini. 4.3 Faktor-Faktor Kesulitan Dalam Penerapan Kurikulum 2013 Walaupun telah berjalan beberapa bulan, penerapan kurikulum 2013 di beberapa sekolah percontohan di Gorontalo, Sulawesi Utara (Sulut), masih mengalami berbagai macam kendala. Oleh karena itu kurikulum ini harus ada

upaya yang jelas dari pemerintah yang secara tegas memberikan solusi agar kurikulum ini dapat berjalan sesuai dengan harapan bangsa. Salah satu tujuan kurikulum adalah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, olehnya itu harus lebih dalam memperhatikan berbagai macam konsep dari penerapannya, artinya kurikulum yang di turunkan oleh pemerintah seharusnya dapat di pahami dan membutuhkan kematangan sesuai dengan konsep pendidikan sekarang. Berbicara faktor kesulitan dalam kurikulum 2013, sebagai peneliti di SMA 1 Gorontalo sebenarnya agak mengalami sedikit hambatan, karena di SMA 1 kurikulum 2013 tidak di hapus oleh sekolah ini. Pertimbangannya adalah sekolah SMA 1 merupakan sekolah percontohan dari dua sekolah yang dipercayakan oleh pemerintah Gorontalo. Namun hal tersebut tidak menutup kemingkinan bahwa dalam penerapannya selama ini kurikulum 2013 di SMA 1 tidak mengalami kesulitan. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa narasumber yang sangat memahami penerapan kurikulum, ternyata ada beberapa masalah kurikulum yang didapatkan. Yang peratama Guru dan Buku yang terbatas, proses penilaian yang rumit, 4.3.1 Faktor Kesiapan Guru Faktor yang pertama yang akan dibahas oleh peneliti adalah mengenai faktor kesiapan guru dalam mengahadapi kurikulum 2013. Dalam hasil wawancara dengan kepala sekolah SMA Negeri 1 Gorontalo ternyata faktor kesulitan yang dihadapi oleh sekolah ini salah satunya yaitu mengenai kesiapan guru yaitu belum siapnya seluruh guru dalam menerapkan kurikulum baru. Kepala SMA Negeri 1 Gorontalo, Syaiful Kadir mengatakan sebagian guru masih kesulitan mencari buku untuk digunakan pada kurikulum 2013. Itu karena mereka hanya mengandalkan silabus yang diberikan pemerintah. Sedangkan belum semua buku pelajaran mereka terima. Secara transparan kepala sekolah SMA Negeri 1 ini mengatakan penerapan kurikulum 2013 masih banyak mengalami kendala. Terutama pemahaman guru tentang konten kurikulum ini. Hal itu karena pada kurikulum ini metode pembelajarannya agak berbeda dengan kurikulum sebelumnya, yang mengharuskan siswa untuk berfikir kritis dalam menanggapi pelajaran. Fugsi guru di kurikulum ini hanya sebagai fasilitator”. (Wawancara Ibu Yulia Mustafa Guru SMA Negeri 1 Gorontalo, Senin 29 Desember 2014). Fasilitator yang dimaksudakan dalam kurikulum 2013 adalah Guru hanya mnegawasi peserta didik yang sedang belajar, tugas guru sebagai fasilitator adalah

hanya memberikan materi inti dari mata pelajaran yang sedang berlangsung, mengarahakan tujuan dari proses pembelajaran serta membagi tugas yang akan di lakukan oleh siswa tersebut. Sebagai fasilitator, tugas seorang guru hanya sebatas meluruskan permasalahan yang didapat dalam materi pembelajaran. Kesulitan yang di hadapi dalam proses ini adalah ternyata siswa masih banyak yang tidak efektif dalam belajar, karena tidak semua siswa yang dapat aktif dalam proses pembelajaran oleh karena itu mau tidak mau guru harus menjelasakan secara spesifik dari materi pembelajaran tersebut. Karena itu jika tugas seorang guru dalam kurikulum 2013 hanya merupakan sebagai fasilitator telah gagal di jalankan karena sebagian besar gurulah yang memberikan gambaran ataupun penjelasan dari materi kurikulum 2013. Sedangkan siswa yang di harapkan bisa lebih aktif dalam pembelajaran hanya menerima penjelasan dari guru. Jika demikian yang terjadi di lapangan makan kurikulum 2013 sama dengan kurikulum 2006 atau KTSP. Selain itu, telah di jelaskan sebelumnya oleh kepala sekolah SMA Negri 1 Gorontalo masih banyak guru yang tidak memahami konten ataupun isi dari kurikulum 2013. Sehingganya dalam proses pemebelajran berlangsung guru tidak mengetahui apa yang harus dilakukan sehingga dalam proses pembelajaran akan sesuai dengan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013. Inti dari sebuah pendidikan adalah guru. Guru adalah pemain inti atau yang menjadi utama. Masalah kurikulum, tidak meniscayakan bahwa kurikulum tidak harus berubah sama sekali. Kurikulum harus menjawab tantangan zaman. Tapi bukan berarti hari ini dikonsep, hari ini harus jalan. 2012 uji publik hanya dari PPT. Buku belum siap, kesiapan guru di lapangan belum siap. `Permasalahan mendasar Kurikulum 2013 yang pertama adalah materi kurikulum 2013 Menitikberatkan siswa, Ketidaksiapan guru karena terkesan mendadak (wawancara Ibu Yulia Mustafa, Senin 29 Desember 2014) Yulia Mustafa (Senin 29 Desember 2014) bagian kurikulum di SMA Negeri 1 Gorontalo menuturkan, para guru tentu mengalami proses penyesuaian dalam melaksanakan perubahan kurikulum baru saat ini. Meski tidak mengalami perubahan yang cukup banyak, kurikulum yang baru menuntut para guru untuk lebih aktif dalam belajar. Pada kurikulum yang baru ini, guru diminta untuk bisa mengarah kepada penerapan mata sajian pelajaran dengan secara langsung dengan lingkungan didiknya. Sementara itu proses pelatihan yang dilakukan atas kurikulum yang baru ini, sangat singkat dilaksanakan oleh pemerintah pusat. “Waktu belajar sudah

harus dilaksanakan, sementara gurunya belum siap. Proses pelatihan dilakukan secara singkat dan tidak mendasar. Akibatnya guru kebingungan. Karena itu, guru dibidik harus aktif. Seharusnya sebelum kurikulum 2013 secara resmi dijalankan oleh pemerintah maka yang harus di berikan bekal adalah guru yang merupakan penggeraka dari proses pembelajaran, bukan hanya bekal yang dilakukan secara singkat tetapi harus ada proses “final cek” yang harus di lakukan oleh pemerintah. Tujaun final cek adalah untuk mengukur kemampuan seorang guru, apakah guruguru yang telah diberikan pelatihan secara rutin telah siap dengan kurikulum 2013 atau malahan sebaliknya. Jika telah siap dan matang maka tiba saatnya kurikulum 2013 yang akan menggantikan kurikulum 2006 (kurikulum KTSP) akan segera di realisasikan prosesnya. Selain itu juga guru-guru yang telah melakukan pelatihan dsecara rutin harus di berikan perangkat yang berhubungan dengan perangkat kurikulum baru agar dalam proses kegaiatn belajar mengajar akan di terapkan secara langsung dan ketika proses penilaian akan langsung memberikan nilai maupun tugas-tugas. Sehingganya guru-guru tidak mengalami kebingungan lagi dengan konsep yang di jalankan oleh kurikulum 2013. Salah satu perangkat yang dimaksudkan adalah tersedianya buku-buku yang menjadi pedoman guru maupun siswa yang menjadi arah berjalannya kurikulum ini.

4.3.2 Perubahan Mindset Guru Kedalam Paradigma Kurikulum 2013 Perubahan kurikulum, di mana pun, sebetulnya hampir sama, selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder). Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya mungkin sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran. Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan--sedangkan murid mendengarkan--menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid untuk melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis.

Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran (Wawancara dengan Ibu Yulia Mustafa, Senin 29 Desember 2014). Ia menambahkan bahwa untuk mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun guru mengajar dengan model ala bank. Tidak mudah bila tiba-tiba guru harus berubah menjadi seorang fasilitator dan motivator. Mengubah mindset guru itulah pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemendikbud dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kegagalan mengubah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Komprominya adalah persoalan teknis dilatihkan dalam waktu satu minggu, tapi perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar. Selanjutnya implementasi Kurikulum 2013 akan menemui sejumlah masalah di lapangan. Selain persoalan paradigmatik, seperti mengubah mindset guru tersebut, ada problem teknis yang berkaitan dengan perubahan struktur kurikulum yang menyebabkan adanya pelajaran yang hilang maupun bertambahnya jam. Semuanya itu berimplikasi pada nasib guru SMP maupun SMA. 1. Penghapusan mata pelajaran TIK (teknologi informasi dan komputer) di SMP berimplikasi besar terhadap eksistensi para pengampu bidang TIK yang latar belakang pendidikannya TIK. Mereka akan disalurkan ke mana? Pengajar TIK dengan latar belakang IPA, matematika, atau lainnya dapat dengan mudah disalurkan ke mata pelajaran lain sesuai dengan kompetensinya. Tapi tidak mudah bagi pengajar bidang TIK yang sudah tersertifikasi. Mungkin mereka dapat disalurkan untuk mengajar prakarya yang berbasiskan teknologi. Tapi masalahnya adalah apakah regulasi yang menyangkut sertifikasi mendukung kebijakan tersebut. Bila tidak, guru pula yang akan menjadi korban. Perebutan jam mengajar tetap akan terjadi untuk tetap dapat mempertahankan sertifikasi. 2. Penjurusan/peminatan di SMA yang dimulai begitu murid masuk di kelas I menimbulkan persoalan manajerial baru ihwal persyaratan pemilihan jurusan/minat. Terutama bila para murid baru memilih jurusan/peminatan di kelompok tertentu, misalnya kelompok matematika dan IPA saja. Para kepala sekolah/guru di SMA harus cermat sekali dalam menampung minat

para calon murid agar tidak sering terjadi perpindahan jurusan/minat. Hal itu mengingat murid boleh pindah minat. Tapi seringnya pindah minat murid akan menyulitkan pengelolaan sekolah. Masalah pilihan jurusan/minat itu sebaiknya disosialisasi di kelas III SMP agar, ketika lulus SMP, murid sudah memiliki gambaran mengenai jurusan/minat yang akan diambil saat masuk SMA. Penulis menggunakan istilah “penjurusan” di sini, karena ternyata apa yang disebut peminatan itu sama dengan penjurusan, hanya ditambah dengan boleh mengambil bidang studi disiplin lain. Misalnya, kelompok matematika dan IPA boleh mengambil antropologi. Atau, kelompok IPS boleh mengambil biologi. Tapi setiap murid wajib mengambil semua mata pelajaran di kelompok peminatan. Ketika perdebatan awal gagasan peminatan ini muncul, tidaklah demikian. Pada waktu itu, diharapkan murid betul-betul mengambil materi yang diminati dan sesuai dengan orientasi belajarnya di perguruan tinggi nantinya. Dari penjelasan di atas penting mindset seorang guru untuk menerapkan kurikulm 2013 pada peserta didik. Dengan adanya mindset baru ini guru tidak lagi mengalami kesulitan maupun kendala yang besar dalam mengatur kelas. Sehingga kelas yang diharpkan akan sesuai dengan tujuan kurikulum 2013. Telah di jelaskan sebelumnya bahwa guru harus diberikan pelatihan yang rutin dalam pengenalaan konsep kurikulum 2013. Hal ini di maksudkan juga agar dapt membangun mindset baru seorang guru. sehingga mindset lama ( dalam hal ini adalah kurikulum 2006) akan segera tergantikan dengan mindset kurikulum 2013. Tetapi perlu di tegaskan dalam pelatihan tesebut harus dilakukan secara rutin bukan secara tergesa-tergesa. Pelatihan yang dilakukan secara tergesa-gesa akan menghasilkan konsep yang bias dan tidak terarah kedalam kurikulum 2013. Sehingga kurikulum 2013 mengalami kegagalan dan benyak menuai permasalahan. 4.3.3 Kesulitan Pada Perangkat Administrasi Pembelajaran Sebagai praktisi di sekolah, guru wajib untuk melaksanakan semua kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (baca: Kemendikbud), terutama kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum pendidikan. Pada dasarnya semua kebijakan pemerintah itu pasti mempunyai maksud dan tujuan yang baik. Namun benarkah semua kebijakan pendidikan itu sudah memenuhi kemauan dan kehendak sebagian besar guru di tanah air?.

Salah satu kebijakan pendidikan yang menjadi “obrolan” besar bagi guru saat ini adalah implementasi Kurikulum 2013 di berbagai jenis, jenjang dan satuan pendidikan. Penulis masih ingat dengan ucapan bapak Mendikbud (M. Nuh di salah satu stasiun swasta TV One ) bahwa guru tidak perlu membuat perangkat administrasi pembelajaran (Buku, Silabus, Kalender Pendidikan, Program Tahunan, Program Semester dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Semua itu sudah disediakan oleh pemerintah pusat melalui perangkat K13, guru tinggal menerapkannya di sekolah. Untuk guru dan siswa di tingkat SD dan SMP mungkin tidak terlalu bermasalah besar, karena semua perangkat administrasi pembelajaran itu sudah disediakan oleh pemerintah. Namun untuk tingkat SMA, tidak semua mata pelajaran dilengkapi dengan perangkat itu, kecuali pada mata pelajaran tertentu (Matematika, Bahasa Indonesia dan Sejarah). Guru yang mengajar ketiga mata pelajaran tersebut sudah mendapat pendidikan dan latihan untuk menerapkan K13 itu. Namun mata pelajaran lainnya (jumlahnya lebih dari 10 buah) malah belum mendapat pendidikan dan pelatihan sesuai dengan isi K13 itu (keinginan pemerintah). (wawancara Ibu Yulia Mustafa, Tanggal 29 Desember 2014) Bagi guru yang mengajar di kelas X (tingkat SMA) selain ketiga mata pelajaran itu rasanya ada kesulitan dan problem tersendiri. Namun sebagai guru yang sudah bersertifikat pendidik (profesional), justru itu merupakan peluang dan tantangan untuk menerapkan implementasi K13 secara lengkap, baik dan benar. Sebagai jalan keluarnya, guru menddownload (mengunduh) dari internet tentang silabus mata pelajaran yang diampu dan di print out (cetak). Namun kendala kecil muncul, ternyata silabus yang sudah dicetak itu mengalami revisi lagi (sesuai silabus terbaru dari sekolah). Dan akhirnya kembali lagi penulis harus mencetak lagi silabus yang sudah direvisi itu (berarti ada dua silabus yang berbeda isinya untuk mata pelajaran yang sama). (wawancara Ibu Yulia Mustafa, Tnggal 29 Desember 2014) Yulia Mustafa (wawancara tanggal 29 Desember 2014) menuturkan konsep penilaian itu sangat berbeda dengan KTSP yang telah berjalan selama ini di sekolah kami. Jika pada KTSP menggunakan angka (10 – 100) untuk kognitif dan psikomotor, serta huruf (A, B, C dan K) untuk penilaian afektif. Maka penilaian pada K-13 ini menggunakan kombinasi angka dan huruf (konversi khusus) sesuai dengan model penilaian yang ada di Perguruan Tinggi (huruf A, B, C dan D dengan interval tertentu) untuk ketiga aspek itu (Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap). Hal ini ditambah dengan berbagai jenis instrumen penilaian yang harus disiapkan oleh para guru sebelum masuk kelas. Semua ini dilakukan agar penilaian autentik untuk siswa bisa berlangsung dengan baik dan benar.

Tapi jangan membayangkan penilaian K13 untuk para siswa itu lebih mudah, malah justru lebih banyak pekerjaan administrasi yang harus dikerjakan oleh para guru. Dan jika tidak berhati-hati, maka guru akan “sibuk” dengan berbagai macam administrasi penilaian itu. Dan jangan sampai muncul persepsi di kalangan guru, nanti akan muncul istilah “guru administrasi” dibandingkan dengan istilah “guru mata pelajaran”. Yulia Mustafa (wawancara tanggal 29 Desember 2014) mengatakan semua itu mengacu pada 3 (tiga) istilah esensial yang digunakan oleh guru dalam implementasi K13 ini, yaitu pendekatan saintific, metode inquiri, dan model pembelajaran kolaboratif. Pendekatan saintific menuntut guru untuk menerapkan pembelajaran dengan mengikuti langkah-langkah tertentu, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan data (eksperimen/eksplorasi), mengasosiakan dan mengkomunikasikan. Adapun metode inquiri membuat guru tidak boleh langsung menginformasikan hal-hal baru kepada para siswa, tetapi harus menggunakan langkah-langkah sesuai dengan metode inquiri, yaitu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan dari hasil mengingat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil dari menemukan sendiri oleh para siswa. Tingkat pemahaman siswa terhadap suatu konsep/sub konsep mata pelajaran akan lebih tinggi dan lebih baik, apabila siswa mengalami sendiri dengan cara melibatkan panca indera yang dimiliki oleh mereka pada waktu melakukan kegiatan membaca, merangkum, diskusi kelompok maupun presentasi lisan. Sedangkan model pembelajaran kolaboratif menuntut seorang guru untuk bisa bekerja sama dengan guru lain dalam menerapkan berbagai model pembelajaran (CIRC, Jigsaw, TPS dan lainnya) sehingga tercipta model pembelajaran yang berbasis pembelajaran PAIKEM (pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Namun apakah implementasi K13 akan berjalan sesuai dengan keinginan pemerintah, guru dan siswa (mempersiapkan generasi emas tahun 2045, mempunyai kemampuan iptek yang tinggi dan mempunyai moralitas yang baik). Pada akhirnya perjalanan waktu yang akan menentukan keberhasilan K13 ini. Dan rasanya tidak salah jika ada “ungkapan” bahwa kurikulum 2013 ini juga bisa disebut “kurikulum sambil berjalan”. Dan jika semua guru tetap semangat, sabar serta ikhlas dalam implementasi K13 ini, maka tidak ada yang tidak bisa (semuanya bisa).

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ahmad Yani, 2013. Mindset Kurikulum 2013. Bandung. Alfabeta. Agustinus Hermino, 2014. Manajemen Kurikulum Berbasis Karakter. Bandung. Alfabeta. Agus Suprijono, 2013. Coopperative Learning. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Dakir, 2010. Perencanaan & Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Penerbit: Rineka Cipta. Leo Agung & Sri Wahyuni. 2013. Perencanaan Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta. Ombak. Kunandar, 2014. Penilaian Auntetik : Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013: Suatu Pendekatan. Jakarta. Raja Grafindo. Kokom Komalasari, 2013. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung. Refika Aditama. Mulyasa. 2008 . kurikulum berbasis kompetensi. bandung.PT Remaja Rosdakarya. Nasution. 2001. sejarah pendidikan indonesia. Jakarta. PT Bumi aksara Nana Syaodih. 2007. pengembangan kurikulum.bandung.PT Rremaja Rosdakarya offset. Suryadi Ace.1994. Analisis kebijakan pendidikan (suatu pengantar).bandung . PT Remaja Rosdakarya. Sunhaji, 2009. Strategi Pembelajaran: Konsep Dasar, Metode, dan Aplikasi Dalam Proses Belajar Mengajar. Yogyakarta. Grafindo Litera Media. Sholeh Hidayat, 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung. Remaja Rosdakarya. Tim Pengembang MKDP, 2011. Kurikulum & Pembelajaran. Jakarta. Penerbit: Rajawali Press. Yunus Abidin, 2014. Desain Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung. Refika Aditama. Zainal Aqib 2013. Model-model dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung. Yrama Widya.