FEE PADA PERJANJIAN KAFALAH (ANALISIS BANK GARANSI) Hamzah Zainuri1
[email protected] Ar Royyan Ramly2
[email protected]
ABSTRAK Keuangan syariah modern telah banyak diketahui kontrak-kontrak pembiayaan pada lembaga keuangan, fungsi perbankan sebagai lembaga intermediari (intermediary financing), yang menjembatani pihak deficit (kekurangan) dana dengan pihak yang surplus (kelebihan) dana. Namun fungsi perbankan selain funding dan financing, perbankan syariah juga berfungsi sebagai lembaga memberikan dana-dana sosial, melalui akad-akad jasa yang diberikan, atau akad pelengkap, seperti qardhul hasan, hawalah,rahn, wadi’ah, dan kafalah. Kafalah bil-ujrah (fee) dalam pada perkembangan keuangan Islam modern ini banyak dipraktekkan dan dipakai oleh nasabah dalam jaminan pembiayaan proyek seperti bid bond dan performance bond, dalam istilah keungan Islam kafalah almunjazah dan kafalah muallaqah. Namun penulis menarik mengkaji secara empiris perjanjian kafalah dengan fee pada kontrak Kafalah al-Munjazah (performance bond) dan Kafalah Mualaqah (bid bond). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adapun pengambilan fee/upah pada akad kafalah bersandar pada fatwa DSN MUI tentang penjaminan syariah, fatwa DSN MUI tentang kafalah bil-ujrah pada L/C dan fatwa MUI pada kafalah, yang berisi akad kafalah diperbolehkan pengambilan fee atas dasar kewibawan dan di qiyaskan pendapat Mazhab Syafii mengenai akad ju’alah. Pada proses pengambilan fee perbankan MUI mensyaratkan diperbolehkan mengambil fee selama tidak memberatkan nasabah, dan pada bank syariah pengambilan fee bedasarkan perhitungan nominal dari keseluruhan pembiayaan kafalah (bank garansi) pada pelaksanaan proyek tender dari biaya administrasi (overhead cost) dan fee based income. Kata kunci: kafalah, peformamce bond, fee/upah
____________ 1
Dosen Perbankan syariah pada fakultas syariah universitas serambi mekkah, Banda
Aceh. 2
Dosen Perbankan syariah pada fakultas syariah universitas serambi mekkah, Banda
Aceh.
45
I. Pendahuluan A. Latar belakang Bank garansi adalah jaminan yang diberikan oleh perbankan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban (dzimmah) pihak ketiga. Produk jasa ini di bagi menjadi dua letter of credit dan bank garansi. (Nurdin, 2013) Seperti yang diketahui sistem operasional letter of credit sebagai produk jasa di dalam perbankan yang memberikan kemudahan kepada nasabah untuk pelunasan utangnya atau menyelesaikan transaksi jual beli yang dilakukan secara ekspor dan impor. Pihak bank menanggung atau menjamin pembayaran utang kepada pihak lain atas permintaan nasabahnya. Biasanya dalam kontemporer ini pelaksanaan jaminan terhadap proyek pekerjaan, pemilik pekerjaan mensyaratkan pekerja untuk memberikan jaminan, dalam hal ini pekerja mendapatkan bantuan jaminan dari bank untuk menyelesaikan pekerjaanya, dan keuntungan bagi bank adalah fee atau upah dari bentuk pekerjaan tersebut. (Nurdin, 2013) Dalam pemberian jaminan pekerjaan dari bank dapat dibagi menjadi tiga macam bentuk bank garansi yaitu, bentuk pertama, Bank Garansi Tender (Bid Bond). Bank Garansi yang diberikan kepada pemilik proyek (Bouwheer) untuk kepentingan kontraktor atau leveransir yang akan mengikuti tender atas suatu proyek, dalam hal ini pihak yang dijamin adalah kontraktor atau leveransir tersebut. Salah satu syarat agar kontraktor atau leveransir dapat mengikuti tender adalah menyerahkan Bank Garansi. Bentuk yang kedua, Bank Garansi Pelaksanaan (Performance Bond). Bank Garansi yang diberikan kepada pemilik proyek (Bouwheer) untuk kepentingan kontraktor atau leveransir guna menjamin pelaksanaan pekerjaan atau proyek oleh kontraktor atau leveransir tersebut. 46
Bentuk yang ketiga Bank Garansi Uang Muka (Advance Payment Bond).Bank Garansi yang diberikan kepada pemilik proyek (Bouwheer) untuk kepentingan kontraktor atau leveransir atas uang muka yang diterima oleh kontraktor tersebut.(Febriana, 2006) Bank
garansi
bersifat
kontrak
accesoir
atau
tambahan
dalam
perbankanyang artinya bank garansi tegantung atau mengikuti perjanjian pokoknya, apabila kontrak tersebut berakhir maka bank garansi juga akan berakhir karena mengikuti kontrak perjanjian pokoknya. Dalam perbankan konvensional apabila terjadi wanprestasi di pihak distributor (pekerja) sebagai yang berhutang, maka Bank yang membayarkan ganti rugi kepada penerima jaminan/Pihak Ketiga (Supplier) maka pada saat pencairan bank garansi itu, perjanjianbank garansi berubah menjadi perjanjian kredit antara bank dengan pihak yang dijamin/nasabah (Distributor) dengan kedudukan bank sebagai kreditur dan pihak yang dijamin/nasabah sebagai debitur. (Febriana, 2006) Selain itu, sistem fee yang diterima dari bank garansi dari kontrak perjanjian jaminan terhadap pemilik yang berubah menjadi perjanjian kredit, disinilah terletak keuntungan tambahan dari debitur kepada kreditur berupa bunga. Distributor atau pekerja juga harus memenuhi administrasi yang diberikan oleh bank berupa biaya materai perjanjian yang persentasenya yang telah di atur oleh perbankan sendiri. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji lebih lanjut kontrak bank garansi atau akad kafalah yang dikenal dalam pemberian jaminan oleh bank dalam 47
literatur akad mualamah serta fakta empiris yang seharusnya terjadi dalamdunia keuangan islam modern ini. Penulis akan melihat bagaimana dasar pengambilan fee/upah pada perjanjian kafalah (bank garansi) pada keuangan sekarang ini, sistem pengambilan fee/upah, dan porsi atau nisab pengambilan fee/upah terhadap nasabah yang dijamin oleh perbankan. II. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori A. Tinjauan pustaka Dalam penulisan artikel ini penulis perlu mengkaji beberapa literatur dan referensi yang ada mengenai objek kajian tentang pengambilan fee pada akad kafalah atau bank garansi dalam perjanjian kontrak jenis bid bond dan performance bond, tentunya tulisan ini dikaji dari lanjutan karena adanya beberapa tulisan ilmiah berupa jurnal, skripsi, tesis yang menyangkut pembahasan yang dikaji oleh penulis sendiri, beberapa hasil kajian ini seperti yang diungkapkan dalam jurnal Abdulkadir Ibrahim Abikan, tentang desain ulang atau penemuan kesalahan konsep kafalah dalam keuangan modern, simpang siur terjadi antara kesepakatan ulama dan praktek perbankan dalam pengambilan fee/upah (ujrah) dalam akad kafalah bil-ujrah pada kontrak L/C atau jaminan proyek pekerjaan. (Ibrahim Abikan) Dalam tulisannya ada beberapa alasan ulama melarang penambahaan biaya pada kontrak kafalah, seperti pendapat ulama mazhab yang empat menyatakan bahwa, pertama kontrak kafalah merupakan kontrak sukarela atau tolong menolong dan dilarang mengubahnya kedalam kontrak tukar-menukar (tijarah), kedua akad tijarah atau tukar-menukar timbul karena perbuatan hukum kerja, 48
oleh karena itu kafalah tidak dibenarkan mengambil keuntungan darinya karena tidak merupakan kontrak kerja melainkan memberi jaminan. Ketiga mereka sepakat bahwasanya mengambil remunerasi (upah) adalah bagian dari gharar (ketidakpastian), keempat mereka bersepakat menarik keuntungan dari jaminan yang dibayarkan adalaha riba karena menarik manfaat di atasnya. (Ibrahim Abikan) Pricilia Febriana, dalam tesisnya meneliti tentang Bank Garansi yang berjudul “Deposito sebagai jaminan bank garansi dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara supplier dengan distributor (studi pada PT Bank Danamon Tbk, cabang pemuda semarang)”, dan menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis dengan metode penelitian kualitatif, dan menggunakan pengumpulan data primer dan sekunder berdasarkan kuesioner dan wawancara langsung dengan pihak perbankan dan nasabah, dengan kesimpulan bahwa sifat bank garansi adalah akad assesoir yang mengikuti kontrak pokok dari perjanjian kerjasama, Bank yang membayarkan ganti rugi kepada penerima jaminan/Pihak Ketiga (Supplier) maka pada saat pencairan bank garansi itu, perjanjian bank garansi berubah menjadi perjanjian kredit antara bank dengan pihak yang dijamin/nasabah (Distributor) dengan kedudukan bank sebagai kreditur dan pihak yang dijamin/nasabah sebagai debitur. Bank Garansi akan menjadi efektif apabila ada tuntutan dari pihak penerima
jaminan/Pihak
Ketiga,
agar
bank
garansi
dicairkan
karena
nasabahnya/Pihak yang dijamin oleh bank tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya (Wanprestasi). (Febriana, 2006)
49
Azman Mohd Noor dan Muhammad Nasir Haron, dalam makalah ilmiah pada konferensi International Ekonomi Islam dan keuangan di Malaysia yang berjudul “Charging Fee for Guarantee (al-Kafalah bi al-ajr) and its Application by Deposit Insurance Corporation Malaysia (PIDM) for Takaful Benefits Protection Scheme”, menyebutkan mengenai kafalah bil-ujrah pada asuransi takaful di Malaysia, serta menjelaskan beberapa pandangan mengenai kafalah menurut para jumhur ulama, seperti pandangan mengenai fee/ujrah. Akad kafalah merupakan akad tabaru’ dalam takaful yaitu bersifat tolong menolong dan pengambilan tambahan dari jaminan tersebut tidak di izinkan oleh jumhur (not permissibility), pandangan kedua jaminan bukan sebuah kontrak dengan jasa dengan imbalan, sedangkan keuntungan diperbolehkan atas tukar menukar bukan atas jasa menurut Mawardi. Sedangkan yang memperbolehkan pengambilang fee/upah terhadap kafalah yaitu Yusuf Qardhawi, Nazih Hamad, dan SAC Malaysia, berpendapat bahwa syeikh Nazih Ahmad memakai qiyas (analogi) hibah atas keuntungan yang diterima oleh penjamin, pemberian ini dikaitkan dengan kontrak sewa (ijarah) atau dengan kontrak wakalah (wakil) sehingga penjamin boleh mengambil ujrah/fee dari wakalah bil ujrah. (Haron, 2012) Eli Nurhayadi, dalam skripsinya meneliti tentang kafalah dengan judul “Analisa pemberian bank garansi dalam sistem syariah (kafalah) dan pelaksanaannya pada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk", Eli menjelaskan bahwa dalam perbankan syariah akad kafalah ini termasuk kepada pembiayaan dengan akad pelengkap, untuk memudahkan pelaksanaan pembiayaan, akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.Kemudian akad kafalah ini termasuk 50
perikatan accesoir. Eli menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa akad kafalahyang diterapkan bank syariah telah sesuai seperti yang telah diatur dalam fatwa DSN MUI tentang kafalah, kemudian perbedaan pengambilan fee pada bank syariah lebih sedikit dibandingkan bank konvensional dan perhitungannya dengan nominal berdasarkan kesepakatan bukan dengan presentase. (Nurhayadi, 2008) Abdul shomad, dalam jurnalnya yang berjudul “konsep lembaga jaminan di lingkungan bank syariah”beliau menyatakan perlu adanya undang-undang untuk mengatur legal kontrak dalam penjaminan pada lembaga syariah selama ini kontrak yang digunakan masih berasal dari kontrak yang dipakai dari hukum barat, walaupun ada kesamaan dalam hal sistem namum mekanismenya berbeda, beliau juga memberikan gambaran penting adanya akad kafalah sebagai kontrak accesoir dalam perjanjian dan penambahan fee pada akad kafalah. (Abd shomad) B. Landasan teori Kafalah secara bahasa berarti menggabungkan, secara literal berarti jaminan, tanggung jawab. (Ibrahim abikan) Secara literatur kafalah berarti mengambil tanggung jawab terhadap pembayaran utang atau seseorang yang muncul di pengadilan, secara legal kafalah berarti tanggung jawab pihak ketiga dalam menjamin pembayaran utang terhadap orang yang tidak mampu membayar utang dengan tanggung jawab dari seseorang.(Ayub, 2007) Kafalah mempunyai hubungan dengan rahn dalam utang, tetapi keduanya berbeda fungsinya, dalam kontrak kafalah pihak ketika sebagai penjamin untuk pembayaran utang seseorang (kafalah bil-mal). Sedangkan rahn atau rihn orang yang berhutang menyerahkan sesuatu jaminan untuk menjamin pembayaran 51
utangnya. Dalam kontrak ini terdapat dua kesamaan dalam transaksi bisnis, juga rahn merupakan perwalian kreditor untuk menahan jaminan properti untuk kepercayaan.(Ayub, 2007) Pengertian kafalah menurut ulama syafiiyah, dalam buku fiqh muamalah Hendi Suhendi ialah: Akad yang menetapkan iltizam yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yangdibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yangberhak menghadirkannya.”
Sedangkan
menurut mazhab Hanafi ialah: “Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang”. Menurut mazhab maliki ialah: Orang yangmempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberibeban serta bebannya sendiri yang disatukan, baikmenanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaanyang berbeda”(Suhendi, 2002). Kafalah merupakan jaminan piutang yang diberikan oleh seseorang atau lembaga untuk membantu pihak yang tidak mampu membayar utang. Jikalau sesorang tidak mampu membayar utangnya apakah penjamin berhak membayar utang itu. Ulama bersepakat penjamin wajib membayar atau melunasi utang yan ditanggungnya. Sekiranya kafalah bil mal maka si penanggung wajib membayarnya, kalau kafalah bi-nafs maka penanggung tidak wajib membayarnya, penjamin hanya memberikan keterangan atau informasi mengenai keberadaan pihak yang berutang (Nurdin, 2011). Menurut Abikan, Para ahli hukum Islam juga sepakat untuk memvalidasi kontrak menjamin karena sangat penting untuk aliran transaksi komersial karena memberikan perlindungan kepada debitur dan jaminan dan keyakinan tentang 52
pembayaran ke kreditur. Dalam transaksi keuangan, jaminan adalah dimaksudkan untuk mengamankan kewajiban dan melindungi jumlah utang dari yang tidak tertagihnya atau dari berada pada posis idefault. Dibutuhkan bentuk tertulis dokumen, jaminan pribadi, janji, cek dan promissory notes. Jaminan efektif dalam kontrak pertukaran, seperti kontrak penjualan atau kontrak hak, misalnya hak kekayaan intelektual, tetapi itu tidak mempengaruhi keabsahan kontrak asli di mana ia diperlukan. Lebih dari satu jaminan juga dapat terkandung dalam satu kontrak, seperti dalam penggabungan janji pribadi dengan janji keamanan di kontrak yang sama (Ibrahim Abikan). Untuk mendapatkan legalitas suatu kontrak maka dalam kafalah ini perlu kita lihat beberapa rukun dan syarat dari akad kafalah, menurut mazhab syafii rukun kafalah hanya pada ijab dan Kabul saja, namun jumhur lain bersepakat mengenai rukun dan syarat kafalah sebagai berikut, pertama adanyadhamin atau kafil ialah orang yang menjamin dengan syarat harus baligh, berakal dan mahjur, kedua madmun lah atau makful lahu yaitu orang yang berpiutang yang diketahui orang yang menjamin, ketiga makful‘anhu yaitu orang yang berhutang kepada makful lahu, keempatmakful bih yaitu utang yang disyaratkan dapat diketahui oleh makful ‘anhu secara jelas, kelima adalah sighat yaitu pernyataan yang diucapkan oleh penjamin untuk menjamin utang makful ‘anhu. Maka dari pengertian kafalah di atas tadi dapat kita lihat secara rinci rukun dan syarat, adapun hukum kafalah menurut ijma’ ulama adalah mubah (boleh) dengan dalil Q.S Yusuf ayat 72, kemudian dipertegas dalam hadits Rasullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu majah, hadits tersebut 53
tentang utang rasul kepada yahudi kemudian beliau memberikan baju besi kepada yahudi tersebut atas utang gandum itu. Oleh sebab itu ijma’ ulama bersepakat menjadikan kafalah sebagai salah satu akad dalam kontrak komersil dengan tidak ada pertentangan sekalipun. Selanjutnya menganai kafalah dikenal beberapa macam yang terbagi menjadi dua secara umum, menurut Abikan, yaitu kafalah bin-nafs (jiwa) dan kafalah bil-mal (harta). Kafalah bin-nafs atau dikenal sebagai kafalah bi-wajhi ialah yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau alza’im) untuk menghadirkan orang yang tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makfullah). Kedua kafalah bil-mal yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. (Priadtmaja) Menurut Abdul Ghofur Anshori secara fiqih terdapat tiga macam kafalah yang dapatdiimplementasikan dalam produk perbankan syariah: Kafalah bi nafs, yaitu jaminan dari diri peminjam (personal guarantee), Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang.Penerapannya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advancepayment) atau jaminan pembayaran (payment bond), Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu.Dalam perbankan modern hal ini dapat diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds). (Priadtmaja) Sedangkan di Indonesia fatwa DSN nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah yaitu, menjelaskan tentang rukun dan syarat akad kafalah, dan 54
menyatakan penjamin dapat menerima fee sepanjang tidak memberatkan, poin selanjutnya menyatakan kafalah dengan imbalan sifatnya mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Berikut rukun dan syarat menurut Fatwa DSN MUI, pertama pihak penjamin (kafil) berakal sehat, baliqh dan melaksanakan penuh tanggung jawab dalam hartanya, kedua orang yang berutang (makful ‘anhu), sanggup melaksanakan tanggungannya dan diketahui oleh penjamin, ketiga orang yang berpiutang (makful lahu), berakal sehat, dapat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu berakad. Keempat objek penjaminan (makful bih), berupa tanggungan pihak yang berutang baik berupa benda, uang, dan pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh penjamin, harus jelas nilai, jumlah dan spesifiksinya, tidak dilarang oleh syariat, harus merupakan piutang mengikat (lazim). (MUI, 2000) Disamping itu dalam perkembangan keuangan syariah modern akad kafalah ini digunakan sebagai kontrak jaminan dalam pelaksanaan proyek (Bank Garansi) yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan. Praktek jaminan yang sering dikeluarkan oleh perbankan adalah penerbitan letter of credit adalah praktek perbankan kepada nasabah (ekportir) sesuai syarat yang diminta. Bank akan mengeluarkan surat jaminan untuk membayar eksportir asing untuk barang-barang yang dibeli. Setelah bukti pengiriman barang impor diproduksi, bank membayar eksportir dengan harga kontrak dari nasabah yang dijamin.Dalam bank konvensional, pelanggan dikenakan bunga yang terdiri dari biaya administrasi dan yang keuntungan untuk menyediakan layanan.Tidak ada bedanya apakah jaminan sepenuhnya ditutupi oleh pelanggan. (Ibrahim Abikan)Bentuk seperti ini hampir 55
sama dengan pemberiah wakalah bil ujrah dalam keuangan Islam. Dimana nasabah meminta bank untuk menyelesaikan pembayaran yang dikehendaki nasabah. III. Pembahasan dan Analisis A. Pembahasan Pada dasarnya kafalah ini sama dengan kata dhaman yang berarti pinjaman. Namun dalam perkembangannya, adat mengubah pengertian ini, dimana kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee/Jaminan diri).(Karim, 2001), sedangkan dhaman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak.(al-dimyati) Dalam konteks modern sekarang ini, kafalah dapat diartikan sebagaimenggabungkan tanggungjawab si penghutang dan si penjamin.(Karim.2001), sebagaimana dalam hal ini permohonan garansi bank. Maka kafalah dapat didefinisikan sebagai jaminan dari pinjaman, baik berupa jaminan diri (badan)ataupun barang (maal). Para ulama mazhab membolehkan dua jenis kafalah inibaik kafalah diri maupun harta. Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: “Dari Anas ia berkata : Rasulullah Saw telah merungguhkan bajubesi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu belaiu mengutang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’I dan Ibnu Maajah) Indonesia fatwa DSN nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah yaitu, menjelaskan tentang rukun dan syarat akad kafalah, dan menyatakan penjamin dapat menerima fee sepanjang tidak memberatkan. Kemudian dikeluarkan fatwa DSN Nomor.57/DSN-MUI/V/2007 tentang letter of credit dengan akad kafalah 56
bil ujrah. Letter of credit berisi ketetapan bank berjanji kepada ekportir untuk membayar hak-hanya atas importir adalah boleh. Upah yang di terima oleh bank atas penerbitan L/C adalah boleh. Karena fatwa MUI bersandar kepada fatwa syeikh Mustafa al-hamsyari yang menyebutkan kontrak L/C tersebut serupa dengan akad wakalah dengan imbalan (fee) hukumnya tidak haram. Adapun pendapat mengenai kafalah dengan imbalan menurut MUI bersandar kepada Mustafa al-Hamsyari berpendapat imbalan atas jasa jah (kewibawaan) yang menurut Mazhab Syafii hukumnya boleh dan pendapat beliau juga membolehkan kafalah dengan ujrah karena imbalan pada jua’alah pada Mazhab Syafii. Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bankgaransi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank atas permohonan nasabahnyayang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah atau kafalah dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.(MUI, 2007) Menurut Adiwarman Karim dalam bukunya Bank Islam analisis kajian fikih dan keuangan, menjelaskan bahwa kontral L/C merupakan akad pelengkap dari jasa perbankan Islam. Nasabah dalam membuka account rekeningnya harus menyerahkan dana100 % apabila dana tersebut tidak mencukupi dapat dilakukan dengan pembiyaan murabahah, mudharabah, salam, ijarah, dan musyarakah. Atas pelaksanaan tugasnya ini bank mendapat pengganti biaya sesuai kesepakatan 57
bersama di awal akad. Apabila terjadi wanprestasi dalam menjalankan kuasa maka bank bertanggung jawab penuh, kecuali karena keadaan force majeur yang menjadi tanggung jawab nasabah.(Karim, 2008) Apabila kita perhatikan pemberian kredit kepercayaan dalam keungan Islam, kontrak kafalah dalam bentuk L/C bank sebagai pihak kedua dengan model murabahah atau jual beli maka bank berhak mendapatkan imbalan atas usahanya, dan bank meneriman jaminan dari hutang pembeli dan membayarkan seluruh utangnya, maka pihak pembeli wajib membayar utangnya kepada bank. Adapun keuntungan yang diperoleh oleh bank dalam perjanjian ini tergolong kedalam dua bentuk. Pertama bank menerima biaya administrasi dari nasabah, baik biaya pembuatan kredit, biaya kepada pegawai bank, biaya pengiriman barang dan biaya komunikasi antara bank dalam negeri dengan bank luar negeri. Kedua biaya yang dipungut oleh bank dari harga barang adalah riba. Sebab uang disetor oleh bank kepada pihak penjual barang adalah sebagai hutang nasabah.(Iskandar, 2011) Namun berbeda halnya dengan kontrak kafalah pada perbankan dalam membiayai seuatu proyek yang disebut Bank Garansi yang termasuk dalam Kafalah al munjazah adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh jangka dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al Munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini. Pada akad ini dalam perbankan syariah tentunya terdapat pihak-pihak yang melakukan konrak kafalah (bank garansi), pihak pertama ialah bank sendiri sebagai kafil (penjamin) proyek tersebut akan dilaksanakan dengan syarat waktu, 58
spesifikasi, objek yang telah diketahui oleh bank. Bank dalam hal ini untuk meminimalisir resiko melakukan uji track record nasabah dengan menggunakan prinsip 5 C, collateral, character, capacity, capital, dan condition of economyini yang sekarang dilakukan oleh bank. Kemudian bank memberi kesempatan kepada nasabah dalam tender proyek yang disebut performance bond yaitu surat jaminan pelaksanaan proyek yang berarti nasabah memiliki cukup dana untuk melaksanakan proyek, dan sisi lain bank juga meminta surat jaminan kepada nasabah yang disebut jaminan lawan yang berupa akte tanah, sertifikat deposito dll. Kemudian ada pihak kedua nasabah atau orang yang berutang (makful ‘anhu), bank akan meminta jaminan lawan dari nasabah (makful ‘anhu) apabila nasabah tidak melaksanakan perjanjian yang disepakati atau melakukan penyelewengan maka jaminan lawan akan menjadi milik bank. Adapun pihak ketiga orang berpiutang (makful lahu), pihak yang meneriman jaminan ini biasanya lembaga atau institusi yang mengeluarkan tender yang meminta performance bond kepada orang yang mengikuti tender proyekatau bank garansi atas jaminan tender proyek, apabila pihak pemenang tender tidak melaksanakan kesepakatan sesuai tender maka pihak ketiga akan mencairkan (klaim) atas performance bond terhadap bank yang menjamin nasabah. Yang menjadi perhatian disini bukan pada pihak ketiga sebagai penerima jaminan.Akan tetapi yang menjadi perhatian adalah pada kesepakatan pertama antara kafil (penjamin) disini disebut bank syariah dan nasabah orang yang memohon jaminan untuk melaksanakan tender proyek. 59
Dalam fatwa DSN MUI Nomor.74/DSN-MUI/I/2009 tentang penjaminan syariah, yang mana pihak pertama sebagai kafil (penjamin)mesti memiliki beberapa kriteria yang ditetapkan seperti halnya penjamin harus memiliki cukup dana untuk membayar utang (dayn) makful ‘anhu (berutang), kemudian di bolehkan bagi penjamin (kafil) menerima fee/upah (ujrah) dalam bentuk uang dari makful ‘anhu (berutang) dengan tidak memberatkan. Kemudian pihak bank memperhitungkan pengambilan fee dari pihak nasabah dengan perhitungan resiko yang ditanggung oleh bank kepada pihak tertanggung, selain itu bank juga meminta jaminan kepada nasabah yang berupa surat deposito, akte tanah, atau surat beharga lainnya agar bank dapat memberikan jaminan atas nasabah kepada pihak tertanggung. Kemudian tertanggung (makful ‘anhu) pada perbankan disebut nasabah biasanya dikenankan syarat khusus untuk memohon dikeluarkannya surat performance bond atau bid bond untuk pelaksanaan proyek, syarat ini meliputi kondisi atau gambaran kuantitatif dan kualitatif nasabah sebagai pemohon, nasabah sebagai tertanggung harus memiliki syarat atau track record dalam menjalankan usahanya, dan bersedian menanggung resiko apabila cidera janji (wanprestasi) pada suatu saat, memberikan jaminan 100% kepada bank untuk jaminan lawan (counter guarantee), nasabah wajib membayar biaya administrasi yang telah ditetapkan oleh kafil, kemudianhari apabila terjadi wanprestasi kepada makful lahu (pemilik proyek) maka kafil bersedia mencairkan dana kepada makful lahu sebesar nilai yang disepakati, karena makful ‘anhu bersedia membayar komisi kepada kafil. Selanjutnya apabila nasabah hendak memperpanjang masa bank garansi (kafalah bil-munjazah) kepada kafil, maka kafil memperbolehkan perpanjangan dengan satu kali perpanjangan dengan waktu yang sama dan makful ‘anhu harus menambah biaya administrasi perpanjangan. (Nurhayadi, 2008) Dari keterangan di atas dapat kita lihat ada beberapa biaya yang dikenakan oleh bank kepada nasabah untuk permohonan bid bond atau performance bond, biaya ini yang disepakati oleh nasabah dengan perbankan, akan tetapi kesepakatan 60
ini terjadi karena klausa salah satu pihak yang telah ditetapkan oleh bank, namun nasabah hanya dapat bersepakat mengenai nominal tanggungan dan jaminan lawan yang harus di berikan kepada bank, biaya ini terdiri dari administasi yang ditentukan melalui overhead cost, yaitu akumulasi dari biaya ATK, kemudian biaya fee base income dan komite, hasil dari ketiganya adalah biaya nominal atau bisa dikatakan fee yang diperoleh oleh bank, yang terakhir ada tambahan pada biaya materai yang dikenakan kepada makful ‘anhu. Lebih lanjut,pada penyelesaian analisa nasabah untuk menerbitkan performance bond dengan analisa 5 C dari marketing, kemudian komite menganalisis biaya admnistrasi yang diberikan nasabah apakah sesuai tariff yang disepakati ataupun tidak bila tidak sesuai komite akan mengembalikannya kepada marketing untuk melakukan bargaining (penawaran ulang) dengan pihak nasabah apabila sudah sesuai maka performance bond akan dikeluarkan. Sementara itu pada pernyataan ulama mengenai fee pada pembiayaan kafalah didukung oleh hasil MuktamarMajma’ Al-Fiqh Al-Islamiyang diadakan di Jeddah pada tahun 1985 nomor 2 yang berisi: “Akad kafalah adalah akad tabaru’ dimaksudkan untuk kebajikan, para ahli fiqh telah bersepakat dalam hal ini tidak boleh adanya fee karena pada saat pemberi jaminan membayarkan kewajiban pihak tertanggung hal ini menyerupai qard (pinjaman), maka dalam syariat” pengambilan manfaat atas pinjaman itu dilarang dan dekat denga riba.(MUI, kafalah) Juga terdapat dalam buku panduan keuangan syariah internasional yang disusun oleh AAOIFI yang berbunyi: lembaga keuangan syariah tidak boleh secara mutlak mengambil atau memberikan ujrah (fee) sebagai imbalan atas kafalah. Menurut Abdulkadir Ibrahim Abikan kontrak kafalah Secara tradisional, menunjukkan bahwatidak diijinkan bagi penjamin untuk mengambil remunerasi untuk tawarannya. Namun, dalam praktek perbankan Islam, jaminan ditawarkan sebagai income generatingproduk. Praktek mereka bukanlah penemuan dari ajaran tradisional Islam, melainkan merupakan perkembangan cerdik konseptradisional menjadiberlaku untuk kebutuhan kontemporer.(Ibrahim Abikan) 61
B. Analisis Deskriptif Secara umum model kafalah ini berbentuk kafalah bil-mal, yang menanggung bentuk utang (dayn) dari penjamin dengan membayarkan utang makful ‘anhu, dari jenis yang kedua kafalah pada permohonan nasabah terhadap pelaksanaan tender proyek tanpa ada batas waktu tetentu disebut sebagai Kafalah al-Munjazah (bid bond), jenis ketiga dari permohonan nasabah untuk pelaksanaan proyek dengan batas waktu atau jangka waktu yang ditentukan disebut kafalah almualaqah (performance bond). Dasar pengambilan fee yang diyaratkan oleh kafil terhadap akad kafalah dikeluarkan oleh fatwa MUI dalam penjamin syariah dan kafalah bil-ujran pada L/C, fatwa MUI bedasarkan fatwa Mustafa al-hamsyari atas jasa jah (kewibawaan), dan diperbolehkan mengambil fee atau imbalan atas jasa pengiriman barang importer atau eksportir dikaitkan kepada wakalah bil-ujrah, sedangkan bank garansi terhadapa pelaksanaan proyek tender dikaitkan dengankafalah bil-ujrah yang diqiyaskan kepada akad jua’alah sesuai dengan mazhab syafii. Sedangkan Abdulkadir Ibrahim Abikan menjelaskan konsep kafalah tradisional pada dasarnya tidak dibenarkan mengambil keuntungan atau fee dikarenakan kafalah adalah akad tabaru’ sesuai beberapa pendapa ulama yang bersepakat kemudian akad kafalah dalam penarikan fee terdapat unsur gharar atau ketidakpastian, selanjutnya akad kafalah bukan akad tukar menukar atau jual beli oleh karena itu tidak dibenarkan mengambil upah atau imbalan di atasnya karena dekat dengan riba. Namun akad kafalah ini mengalami perubahan karena sesuai kebutuhan pada zaman kontemporer ini.Abikan juga menambahkan sebab penarikan upah pada perbankan dikarenakan bank berorientasi kepada profit. Pada sisi penjamin (kafil) porsi penarikan keuntungan ini disyaratkan agar tidak membenani nasabah atau dengan kata lain, produk yang diberikan adalah sebagai fasilitas bank kepada nasabah untuk memudahakan nasabah dalam usahanya tentunya nasabah telah siap dengan resiko yang dihadapi di lapangan, sedangkan bank menilai track record nasabah dalam memberikan bank garansi atas pelaksanaan proyek tender sesuai perhitungan akumulasi dana dengan 62
menggunakan analisis 5 C, kemudian fee yang diperoleh dalam penerbitan bod bond dan performance bond ini dikenakan biaya seperti biaya administrasi, materai dan fee based income. Nasabah dapat melakukan bargaining atau penawran dalam pembuatan akad kafalah pada perbankan, dengan pemberian dana 100% kepada bank untuk menanggung utang atas nasabah, kemudian bank mensyaratkan nasabah untuk memberikan jaminan lawan kepada bank sebagai jaminan apabila nasabah terjadi wanprestasi. Disinilah ada kesamaan antara praktek yang didapati pada bank syariah, agar terhindar dari resiko bank mensayratkan adanya jaminan lawan, sehingga jikalau nasabah cidera janji jaminan tersebut menjadi milik bank, adananya duplikasi produk pada perbankan syariah dari perbankan konvensional sehingga perjanjian bank garansi (kafalah) secara produk menjadi tidak ada perbedaan dengan bank konvensional. Oleh karena itu bank syariah harus melihat kembali mekanisme kerja sesuai syariah, tidak hanya pada syarat kontrak yang disebutkan saja. Jaminan didalam perjanjian garansi dalam perbankan konvensional menjadi kontrak assesoir tentunya, begitu juga pada bank syariah, perjanjian tanmabahan yang mengikuti perjanjian pokok. Namun bank syariah tidak harus fokus pada besarnya jaminan yang diambil oleh bank untuk penerbitan bank garansi, akan tetapi kontrak tersebut menjadi kontrak kepercayaan atas nasabah dan memberikan kemudahan. Kemudahan selanjutnya mengenai fee jelas tampak berbeda dengan perbankan konvensional, pada bank syariah porsi pengambilan keuntungan di dasarkan pada kesepakatan bersama di awal pihak, namun perbankan syariah telaha menetapkan fee administrasi kepada nasabah.Pengambilan fee/upah didasarkan pada akumulasi nominal bukan bedasarkan prosentase pada bank konvensional. Setidaknya bank syariah pada porsi pengambilan fee masih sama disyaratkan pada bank konvensional inilah yang penulis maksud duplikasi akad, perhitungan ini masih berkisar pada biaya administrasi yang ditanggung oleh 63
nasabah, biaya untuk karyawan, ATK yang termasuk kepada overhead cost, kemudian baru fee based income, biaya tetap atas kesepakatan nasabah dengan pihak marketing bank, sedangkan overhead cost telah di tetapkan, selain itu ada tambahan biaya materai dan komite dari perbankan. Namun di luar itu perbedaan yang mencolok yang terdapat pada bank syariah seperti yang penulis jelaskan di awal, adalah pada pengambilan porsi keuntungan bedasarkan akumulasi nominal bukan pada prosentase.
IV. Kesimpulan dan saran A. Kesimpulan 1. Bentuk kafalah (bank garansi) yang telah dipraktekkan sekarang ini dalam perbankan syariah memiliki perbedaan yang signifikan dari bank konvensional, meskipun pada dasarnya mekanisme pemberian keputusan performance bond dan bid bond sama, namun perbedaan riil terletak pada pengambilan fee/upah pada nasabah. 2. Pengambilan fee atau upah pada bank syariah bedasarkan perhitungan nominal dari keseluruhan everhead cost, fee base cost, komite, dan materai, sedangkan pada bank konvensional terdapat pengambilan keuntungan bedasarkan prosentase perjanjian yang diberikan yang berkisar 1-3% sesuai bargaining pihak bank dan nasabah tersebut. 3. Akad yang digunakan pada performance bond dan bid bond pada perbankan syariah adalah akad kafalah bil-mal dengan jenis kafalah al-munjazah (tidak ada batasan waktu), dan kafalah al-muallaqah (jangka waktu tertentu). 4. Pengambilan fee/upah pada perjanjian kafalah bedasarkan akad wakalah bilujrah dan kafalah bil-ujrah yang di analogikan kepada transaksi jua’alah. 5. Pengambilan fee yang disayaratkan MUI agar tidak memberatkan nasabah, tampaknya ini menjadi kendala bagi nasabah, selain harus memberikan fee yang disyaratkan bank (kafil) juga bank tidak mau mengambil resiko tinggi 64
dengan meminta jaminan lawan, apabila sewaktu-waktu nasabah wanprestasi maka jaminan tersebut menjadi milik bank. 6. Bargaining atau penawaran yang dilakukan masih terjadi pada salah satu pihak yaitu bank (kafil), bank menentukansyarat-sayarat tertentu seperti perhitungan nominal utang dan nasabah bisa melakukan penawaran atas fee yang yang diberikan. B. Saran Tentunya dalam penulisan ini akanada banyak kekurangan yang dapat dicari oleh pembaca, tentunya dewan syariah nasional harus mengawasi secara lebih detail mengenai perkembangan akad pada perbankan syariah yang tidak hanya berlandaskan kepada profit oriented semata akan tetapi juga harus memiliki pandangan dunia dan akhirat.Bagi nasabah harus teliti melihat permasalahan, dan meningkatkan kepercayaan penuh yang diberikan perbankan atas fasilitas perbankan. Bagi perbankan bahwasanya dalam berkompetisi dengan perbankan lain hendaknya harus mengutamakan prinsip kehati-hatian dan transparansi kedapa nasabah.
DAFTAR PUSTAKA Abikan, Abdulkadir Ibrahim, Contract of Kafalah (Guarantee): Veritable Product of Islamic Financing, journal, University of Ilorin Nigeria. Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, London: Jhon Wiley & sons, 2007. Febriana, Pricilia, Deposito Sebagai Jaminan Bank Garansi Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara Supplier Dengan Distributor (Studi Pada PT Bank Danamon Tbk Cabang Pemuda Semarang), Tesis yang tidak dipublikasikan, Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 2006. Iskandar, Teuku Muhammad, Sistem Perekonomian Islam Modern, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2011. Karim, Adiwarman, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajawali Press, 2008. 65
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Mohd Noor, Azman dan Muhamad Nasir Haron, Charging Fee for Guarantee (alKafalah bi al-ajr) and its Application by Deposit Insurance Corporation Malaysia (PIDM) for Takaful Benefits Protection Scheme, Journal International Conference Islamic Economic and Finance In Malaysia, 2012. Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah Analisis Fiqih dan Keuangan, Yogyakarta: tanpa penerbit, 2013. Muhamamad Iskandar, Teuku, Sistem Perekonomian Modern, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011. Muhammad Syathan al-Dimyati, I’anatu al-Thalibin, Jus III, (Beirut Libanon: Daar al-Fikr,t,th. Nurdin, Ridwan, Akad-Akad Fiqih Pada Perbankan Syariah Di Indonesia Sejarah dan Konsep Perkembangannya, Banda Aceh: PENA, 2010. Nuryadi, Erli, Analisa Pemberian Bank Garansi Dalam Sistem Syariah (Kafalah) dan Pelaksanaannya Pada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, skripsi yang tidak dipublikasikan, UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
66