HEDONISME DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Televisi Ice Cream Magnum Versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”) Rafsan Jani Alquddus 080904005 Abstrak Penelitian ini berjudul Hedonisme Dalam Iklan (Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”), tayang sejak 18 Maret 2011 sampai 18 Maret 2012. Objek penelitian ini adalah Iklan Televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia” menggunakan semiotika Roland Berthes guna melihat lebih dalam upaya menggambarkan hubungan makna yang terdapat dalam tanda, melalui tahapan denotasi, konotasi dan mitos. Subjek penelitian ini yakni budaya hedonisme yang terdapat pada Iklan Televisi Ice Cream Magnnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”. Tujuan penelitian ini guna mengetahui pertama, sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual, kedua, untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi hingga tahap mitos, dan ketiga untuk mengetahui bentuk perilaku hedonisme. Kesimpulan penelitian adalah keseluruhan sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual yang terdapat pada iklan Ice Cream Magnum ini memberikan gambaran kesenangan dan kebahagiaan yang diingikan oleh masyarakat di era kini yang digambarkan dalam bentuk kebutuhan berupa uang, benda, serta segala sesuatu yang berharga mahal dan mewah, dan diidentikkan sebagai bentuk kebahagiaan dan kesenangan. Kata Kunci : Semiotika, Semiotika Roland Barthes, Hedonisme, Iklan Televisi PENDAHULUAN Konteks Masalah Saat ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai manfaatnya, melainkan karena gaya hidup yang disampaikan melalui media massa. Barang yang ditawarkan pun tidak lagi sekedar persoalan dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, melainkan lebih kepada citra dan identitas. Oleh karena itu, perilaku konsumsi lebih kepada makna yang dilekatkan pada produk tersebut. Jean P Baudillard mengungkapkan bahwa terdapat sistem objek atau kategori barang-barang konsumsi terstruktur yang berbanding lurus dengan sistem kebutuhan dan pembagian sosial serupa. Dengan demikian, barang-barang konsumsi selalu membawa makna beragam relasi sosial dan relasi-relasi itu adalah artikulasi dari pembagian dan struktur sosial yang ada (Martyn, 2006 : 49). Menurut Handi Irawan, dalam masyarakat konsumtif terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup. Hal ini diperoleh melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan pada gaya hidup, ambisi, serta identitas diri, yang memberikan nilai tertentu kepada para konsumen. Hal ini sekaligus merupakan
1
representasi perilaku konsumen Indonesia yang cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justu lebih menarik ketimbang hal itu sendiri (Sunyoto, 2013: 5). Iklan tanpa media pada masa kini sulit untuk terpisahkan. Televisi merupakan media yang banyak digunakan dalam menyampaikan pesan iklan. Hal ini dikarenakan peranan televisi memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan media lain dalam upaya membantu proses keberhasilan penyebaran iklan. Selain menarik, televisi juga memiliki sisi kreasi dan inovasi dalam hal penyampaian informasi, hiburan, dan pendidikan atau gabungan dari semuanya. Iklan televisi juga mampu mempengaruhi emosi masyarakat yang bertempat tinggal tersebar dan heterogen dalam memenuhi standar dan gaya hidup melalui rangsangan visual, sehingga menjadikannya sebagai medium yang intim dan personal. Namun disisi lain, iklan televisi juga memiliki banyak kelemahan yaitu (Morrisan, 2009: 386-387) : 1. Biaya Mahal : mahalnya biaya iklan di televisi menyebabkan perusahaan dengan anggaran terbatas akan sulit untuk beriklan di televisi. 2. Informasi Terbatas : pemasang iklan tidak memiliki cukup waktu untuk secara leluasa memberikan informasi yang lengkap. Menurut Willis-Aldridge: “...there is little time to develop a selling argument or to include much information about the product.” (hanya ada sedikit waktu untuk mengembangkan argumentasi penjualan atau memasukkan banyak informasi). 3. Ruang Terbatas : Waktu siaran yang diberikan relatif pendek, dikarenakan dapat mengganggu program tayangan lainnya. Salah satu iklan televisi tersebut adalah iklan Ice Cream Magnum. Bekerjasama dengan advertising agency (Perusahaan iklan) yakni lowe advertising, berusaha memperkenalkan produknya dengan slogan for pleasure seekers (pencari kenikmatan) sebagai produk berkelas bagi mereka yang mengkonsumsinya (http://www.loweandpartners.com). Kendati mengetahui bahwasanya tidak ada hubungan antara iklan dengan keterpengaruhan pemirsa terhadap iklan tersebut. Namun jika diperhatikan, dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan sebagi produk yang harus menjadi sebuah kebutuhan telah mempengaruhi para pengiklan dan perusahaan iklan. Hal serta momen inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Ice Cream Magnum. Perusahaan iklan termasuk Lowe advertising lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar memberikan pengaruh terhadap pemirsa, apalagi jika pencitraan dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas tersebut sifatnya semu. Hal ini adalah sebagian contoh dari upaya teknologi menciptakan theater of mind (teater dalam pikiran) dalam dunia kognitif masyarakat (Bungin, 2011:121-122). KAJIAN PUSTAKA Semiotika Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti „tanda‟ atau seme, yang berarti „penafsir tanda‟. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. „Tanda‟ pada masa itu masih 2
bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17). Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama : Charles Sanders Pierce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Pierce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya. Sebuah tanda menurut Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011:14). 1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan „rupa‟ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya. 2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya. 3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Ahli semiotika lainnya Ferinand de Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa hanya berfokus kepada perilaku linguistik yang nyata. Berbeda dengan Pierce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial dikalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa (Kriyantono, 2008:269). Semiotika Roland Barthes Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias). Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, berupa satu-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf (Budiman, 2003:53). Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major kode) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2006:65-66):
3
1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. 2. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif. 3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. 4. Kode Gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. 5. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”. Hedonisme Hedonisme pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf dari yunani yaitu Aristippos (433-335 S.M), ia mengatakan hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos menekankan bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan dimasa lampau. Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos mengakui perlu adanya pengendalian diri, dimana penendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan (Bertens, 2004:236). Hedonisme disisi lain merupakan pandangan yang menyamakan baik secara “moral” dengan “kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah filsafat, tetapi dikemudian hari sering kembali di pelbagai variasi. Filsuf Inggris, John Locke mengatakan, sesuatu dianggap baik apabila menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, sebaliknya, dianggap jahat apabila mengakibatan atau mengurangi ketidak senangan (Bertens, 2004:241). Psikoanalisis Sigmund Freud mengungkapkan, bahwa kecenderungan manusia tersebut bahkan terdapat pada taraf yang tidak sadar. Serigkali manusia mecari kesenagan tanpa diketahuinya. Namun tidak dapat dipungkiri, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia (Bertens, 2004:238). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berparadigma kritis konstruktivis. Hal ini dimaksud guna memberikan penilaian akan penting atau tidaknya perilaku hedonisme ada dalam iklan dalam konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis, dengan cara membongkar segala bentuk baik berupa tindakan, teks, gambar hingga suara yang terdapat dalam iklan Ice Cream Magnum versi “Undian berhadiah di Lima Kota Besar di Dunia”. Namun disisi lain peneliti tidak berniat untuk membongkar secara keseluruhan akan kelemahan dari hedonisme, melainkan menjelaskan keberadaan hedonisme itu sendiri dalam iklan serta pengaruh yang ditimbulkannya. Hal ini diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya
4
dalam kehidupan suatu objek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis (Nawawi,1995:209). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada Iklan Televisi Ice Crem Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”, dimana pesan yang terkandung di dalam iklan ini menimbulkan beberapa mitos yang mengarah pada perilaku hedonisme yang menyimpang, antaralain: Adanya mitos pemujaan terhadap benda-benda berharga mahal serta mewah sebagai sesuatu yang dapat memberi kebahagiaan yang mampu mendeskripsikan akan pribadi sebagai seseorang yang berada pada status sosial tertinggi di tengah-tengah masyarakat. Gaya hidup menunjuk pada frame to refrence (kerangka acuan) yang digunakan dalam bertingkah laku, sehingga seseorang akan mendapatkan persepsi positif dari orang lain sebagai seseorang yang sempurna. Mitos akan perilaku konsumtif yang dalam hal ini adalah segala sesuatu yang dapat dibeli dengan harga mahal yang mampu menonjolkan dan menempatkan seseorang pada status sosial tertinggi sebagai kesempurnaan seorang manusia. Dalam hal ini, uang menjadi satu-satunya alat yang mampu mengatur dan mengendalikan setiap kebahagiaan dan kesenengan seseorang. Namun jika dipahami, bukankah manusia sebagai makhluk sosial seharusnya dengan kemampuan finansial baik berupa uang dapat dimanfaatkan guna membantu makhluk sesamanya. Jika setiap orang memanfaatkan segala kemampuan lebih yang ia miliki hanya untuk kepentingan pribadi, apakah ia benar mampu mendapatkan kebahagiaan serta kesenangan seperti yang terdapat pada iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah di Lima Kota Besar di Dunia” dan menjadi sesuatu yang bersifat kekal. Ini menjadi sebuah pertanyaan yang menepis akan kekeliruan kesenangan dan kebahagiaan yang terlihat pada iklan ini. Adanya mitos bahwa setiap manusia akan merasakan kesenangan serta kebahagiaan ketika ia mendapatkan segala sesuatu yang berharga dan mewah. Iklan Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah di Lima Kota Besar di Dunia” memberikan tolak ukur bahwasanya kini masyarakat hanya mampu mendapatkan segala kesenangan dan kebahagiaan dari sesuatu yang bersifat mahal dan mewah sebagai ciri akan masyarakat yang telah mapan. Meski pada kenyataannya masyarakat Indonesia sendiri masih berada pada taraf menengah kebawah, dan masyarakat miskin menjadi kaum yang masih mendominasi negeri ini. Pada iklan televisi ini, sosok perempuan menjadi sosok manusia yang tereksploitasi. Bagaimana tidak, perempuan menjadi mitos akan contoh sebenarnya hedonisme atau kebahagiaan dan kesenangan yang didapat secara berlebihan. Perempuan digambarkan sebagai seseorang yang sangat mementingkan dirisendiri dibandingkan sekitarnya. Dengan menggunakan tubuhnya, bagaimana perempuan memenuhi kebutuhannya dengan segala fasilitas dan kemewahan menjadi sesuatu yang dianggap normatif dalam kehidupan masyarakat, meski pada kenyataannya hingga kini perempuan masih dalam tekanan kaum lelaki. Secara langsung iklan Ice Cream Magnum versi “ Undian
5
Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia” memberikan penilaian bahwa perilaku hedonisme sangat melekat pada sosok perempuan. Sementara hedonisme dalam iklan ini memiliki konsepsi yang salah, iklan ini berfikir bahwa sesuatu yang baik adalah segala sesuatu yang berharga mahal, mewah yang mampu mencerminkan akan status dan kelas sosial seseorang. Jika dipahami kesenangan semacam ini hanyalah sebatas perasaan yang subyektif belaka dan bukan merupakan sesuatu obyektif. Selanjutnya Secara konsekuen, hedonisme didalam iklan Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia” dengan slogannya For Pleasure Seekers (bagi pencari kesenangan) mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri. Maksud dari egoisme di sini adalah seseorang yang tidak memiliki kewajiban moral membuat sesuatu yang baik, kecuali segala yang dirasa baik untuk dirinya sendiri. Ice Cream Magnum dengan slogannya For Pleasure Seekers (bagi pencari kesenangan), melalui Lowe Advertising menumbuhkan pendapat bahwa kesenangan akan terlihat ketika seseorang mampu menampilkan budaya barat minimal memiliki atau mengkonsumsi produk yang bersifat western. Sehingga dapat digambarkan bahwasanya kedua perusahan yakni Walls dan Lowe advertising tidak mampu memberikan penghargaan terhadap kearifan budaya lokal Indonesia yang sejatinya telah banyak dikenal dan dikagumi di mancanegara. Memang bukan menjadi sebuah masalah berarti ketika iklan yang ditampilkan mencerminkan sebuah perilaku serta budaya yang bersifat western (kebarat-baratan), karena dapat pula menjadi sebuah pengenalan akan contoh negara maju dengan masyarakatnya yang memiliki sumberdaya manusia yang kreatif dan modern. Namun bukan berarti kultur masyarakat berupa sikap dan perilaku harus digantikan oleh kultur masyarakat luar. Selain itu penggunaan objek wisata dengan latar kota-kota di luar negeri seolah menjadi sutu tempat yang sangat luarbiasa. Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki tempat-tempat yang telah banyak di kenal di mancanegara seperti Bali, Lombok ataupun Raja Ampat, Danau Toba dan dengan berbagai kerajinan masyarakatnya seharusnya dapat menjadi destinasi dalam iklan ini. KESIMPULAN 1. Keseluruhan sistem tanda yang melingkupi pemaknaan dan bahasa visual yang terdapat pada iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia” ini memberikan gambaran kesenangan dan kebahagiaan yang diingikan masyarakat adalah berupa kebutuhan akan materi berupa uang, benda, serta segala sesuatu yang bernilai harga mahal dan mewah, yang mengarahkan setiap individu atau masyarakat berprilaku Hedonisme. 2. Mitos yang dapat digali pada iklan Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia” dibagi menjadi dua. Pertama, adanya anggapan bahwa budaya barat (western) atau budaya populer merupakan kebudayaan yang sangat sempurna. Kedua, Masyarakat barat merupakan representasi hedonisme yang dalam iklan ini memberikan
6
3.
penilaian lebih terhadap definisi kebahagiaan dan kesenangan yang dianalogikan dalam hal kekayaan berupa harta benda, uang, serta segala sesuatu yang bersifat mewah dan mahal. Perilaku hedonisme yang terdapat pada iklan Ice Cream Magnum ini lebih mengarahkan setiap orang berprilaku konsumtif seperti kebutuhan pakaian, perhiasan, barang-barang mewah sebagai bagian dari pola hidup mewah.
Saran 1. Saran penelitian, disarankan kepada peneliti-peneliti yang melakukan penelitian khususnya semiotika hendaknya memperbanyak bahan bacaan dan wacana yang berkaitan dengan semiotika sehingga dapat tercapai kedalaman penelitian. 2. Saran dalam kaitan akademis, agar penelitian selanjutnya dengan kajian yang sama dapat menggunakan kerangka analisis yang berbeda, misalnya menggunakan kerangka analisis wacana kritis sehingga tercipta keragaman dalam penelitian. Serta tetap menggunakan daya kritisnya dalam membangun kesadaran masyarakat bahwa ada upaya-upaya iklan melalui media televisi untuk melanggengkan ideologinya di masyarakat. 3. Saran dalam kaitan praktis, agar media iklan tidak selalu menampilkan edukasi perilaku hedonisme yang bersifat konsumtif dengan pola hidup mewah dan glamour sebagai bentuk kebahagiaan dan kesenangan. Serta tidak menjadikan kaum perempuan sebagai contoh berperilaku hedonisme guna mendapatkan keuntungan, karena hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan sosial diantara masyarakat dan ketidak nyamanan bagi kaum perempuan. Melalui penelitian ini juga diharapkan setiap orang peka dan selektif dalam memaknai setiap iklan yang kini banyak disuguhkan dalam bentuk perilaku hedonisme agar tidak mudah terpengaruh khususnya dalam perilaku konsumtif dan sikap individualis yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial. DAFTAR PUSTAKA Berthens, Karl. (2004). ETIKA. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Budiman, Kris. (2003). Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik. Bungin, Burhan. (2011). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Kriyantono, Rakhmat. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Martyn, J. Lee. (2006). Budaya Konsumen Terlahir Kembali. Yogyakarta : Kreasi Kencana Morrisan, M.A. (2009). Manajemen Media Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Nawawi, Hadari. (1995). Metode Penelitian Model Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Sobur, Alex. (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
7
_________. (2006). Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Jakarta: Remaja Rosdakarya. Sunyoto, Danang. (2013). Perilaku Konsumen : Panduan Panduan Riset Sederhana untuk Mengenali Konsumen. Jakarta: PT. Buku Seru. Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Sumber lain : - http://www.ilowe.co.uk/our-work/leap-60/
8