HUBUNGAN KADAR HEMOG LOBIN, HEMATOKRIT DAN ERITROSIT DENGAN DERAJAT KLINI S PADA PENDERITA STROK ISKEMIK AKUT ASSOCIATION HAEMOGLOBIN, HEMATOC RYTE AND ERYTROCYTE LEVEL WITH CLINICAL SEVERITY IN ACUTE ISCHEMIC STROKE PATIENT
Tutwuri Handayani1, Hasmawaty Basir1, Cahyono Kaelan1 , Amiruddin Aliah1, Mansyur Arif 2 , Burhanuddin Bahar 3 1
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar, Bagian Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar, 3 Staf Pengajar Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
2
Alamat Korespondensi : Tutwuri Handayani Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085399799164 Email:
[email protected]
Abstrak Hemoglobin, hematokrit dan eritrosit dianggap berperan penting terhadap derajat klinis strok karena terkait dengan oksigenasi di jaringan otak yang mengalami infark. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar hemoglobin, hematokrit dan eritrosit dengan derajat klinis pada penderita strok iskemik akut. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional study). Data diperoleh dari penderita strok yang dirawat di Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar dari 1 April sampai 31Juni 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Derajat klinis strok dinilai berdasar modified Rankin Scale dan kadar hemoglobin, hematokrit dan eritrosit diperoleh dari pemeriksaan hematologi rutin Cell Blood Counter Hematology Analyzer. Pada penelitian ini diperoleh 66 sampel. Sebagian besar sampel mempunyai derajat klinis berat (skala 5) yang berarti pasien lebih banyak di tempat tidur. Parameter hematologi yang memberikan perbedaan rerata bermakna pada derajat klinis pasien strok iskemik akut adalah kadar hemoglobin (p=0,.001) sedangkan hematokrit dan eritrosit tidak memberikan perbedaan rerata yang bermakna terhadap derajat klinis strok iskemik akut. Nilai koefisien korelasi hemoglobin dengan derajat klinis strok iskemik akut ( r= -0.360) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang lemah dan negatif yang berarti semakin rendah kadar Hb, semakin besar skor derajat klinis yang mewakili semakin buruk kondisi klinis penderita strok iskemik akut. Kesimpulan penelitian ini bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb dengan derajat klinis pada pasien strok iskemik akut. Semakin berat derajat klinis strok semakin rendah kadar hemoglobin. Kata kunci: hemoglobin, hematokrit dan eritrosit, strok iskemik akut, derajat klinis
Abstract Hemoglobin , Hematocrite and Erythrocyte are assumed to have significant effects in clinical severity of acute ischemic stroke because they affect the infarct area in brain. The aim of the study is to determine the association hemoglobin, hematocrite and erythrocyte level with clinical severity in acute ischemic stroke patient. The method of the study was cross sectional. Data were obtained from acute stroke patients in Wahidin Sudirohusodo Hospital and its network in Makassar from April 2014 to June 2014 who met the inclusion criteria. The clinical severity of acute stroke was assessed with modified Rankin Scale and the level of hemoglobin, hematocryte and erythrocyte was examined with routine hematologic test Cell Blood Counter Hematology Analyzer. The result of the study indicated that 66 acute ischemic strokes were found with the scale of modified Rankin Scale is 5. It was severe and most of the patient spent their time in bed. The level of hemoglobin is statistically different (p<0.005) compared to all clinical severity while hematocrite and erythrocyte did not indicate the same results. There is a negative correlation between hemoglobin and clinical severity (r-0.360). This indicated that the lower the hemoglobin level, the higher the clinical severity. There is a correlation between Hb level,clinical severity and acute ischemic stroke. Key word: haemoglobin, hematocryte and erythrocyte, acute ischemic stroke, clinical severity
1
PENDAHULUAN Strok merupakan salah satu penyebab utama kematian, kecacatan maupun beban ekonomi di masyarakat. Di seluruh dunia pada tahun 2003 terdapat sekitar 15 juta orang menderita strok, hampir sepertiganya meninggal dan sepertiganya mengalami kecacatan permanen. Di Indonesia, Misbach (2001), melaporkan bahwa prevalensi strok diperkirakan sekitar 8 % (Mackay et al., 2004; Roger et al., 2011 ). Dari data SMF Ilmu Penyakit Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 19901991 ditemukan penderita strok sekitar 39,4 % dengan angka kematian 43 % dan sekitar 75 % strok terjadi pada usia lanjut yaitu 65 tahun atau lebih (Aliah, 2005). Pada tahun 2000, kejadian strok sudah meningkat menjadi 70 tahun untuk wanita dan 65 tahun untuk pria (Aliah dkk., 2002). Telah diketahui bahwa 6 bulan setelah terkena strok sekitar 20-30% penderita meninggal, 20-30% mengalami keterbatasan fungsi dan cacat dari sedang hingga berat, 20-25% ringan hingga sedang serta sisanya tanpa defisit neurologis. Dari angka kejadian strok diatas, strok iskemik adalah jenis strok yang paling banyak ditemukan. Hampir 85 % dari seluruh kejadian strok adalah strok iskemik. Walaupun terapi yang paling efektif terhadap strok iskemik belum diketahui akan tetapi telah disepakati bahwa pengobatan strok seharusnya diberikan sedini mungkin. Hal ini membutuhkan pemilihan terapi yang tepat berdasarkan prediksi awal dari derajat klinis fungsional (Saragih, 2004; Baird et al., 2001 ). Dalam beberapa dekade terakhir para dokter telah mencari metode yang bisa digunakan secara cepat dan tepat untuk penentuan prognosis strok iskemik. Telah diketahui bahwa ukuran infark yang terdeteksi pada pemeriksaan neuroimaging merupakan prediktor yang kuat terhadap derajat klinis penderita. Akan tetapi CT-scan atau MRI yang menunjukkan infark otak, biasanya terlambat setelah muncul temuan klinis sehingga beratnya defisit neurologis sangat tergantung pada temuan klinis (Baird et al., 2001 ). Kehilangan suplai oksigen secara mendadak ke jaringan otak selain glukosa merupakan langkah pertama dan utama dalam patogenesis stroke iskemik. Fokus infark di otak dapat diselamatkan dengan kemampuan darah membawa oksigen yang cukup sehingga peluang untuk menyelamatkan daerah penumbra dan daerah sekitarnya bisa dilakukan. Salah satu hal yang
2
diduga terlibat dalam proses oksigenasi otak selain adanya sumbatan pada pembuluh darah otak adalah ada tidaknya kondisi kadar Hb yang rendah pada penderita strok ( Thijs et al., 2006 ). Beberapa studi di Eropa dan Amerika menunjukkan adanya hubungan antara kadar Hb, dan Hct dengan derajat klinis penderita strok iskemik. Ditemukan bahwa kadar Hb mempunyai korelasi dengan buruknya derajat klinis dari gambaran neuroimaging. Sejauh ini batas Hb optimum pada strok iskemik belum ada, juga pedoman untuk itu belum tersedia.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sekitar satu dari lima pasien strok iskemik disertai anemia dilaporkan mempunyai hubungan yang erat dengan derajat klinis yang buruk. Namun hal ini masih membingungkan karena pada beberapa studi lain tidak ditemukan hal yang serupa (Tanne, 2010). Derajat klinis dari penderita strok iskemik sangat bervariasi tergantung dari berat ringannya iskemik yang diderita dan cepat tidaknya seorang pasien mendapatkan pertolongan. Penelitian untuk melihat hubungan antara kadar Hb dan Hct dengan derajat klinis penderita strok iskemik telah dilakukan di beberapa tempat. Sebagian besar penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara kadar Hb yang rendah dengan strok pada fase akut. Penelitian untuk melihat pengaruh Hb, Hct dan RBC dengan derajat klinis strok iskemik akut belum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya di Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat klinis dengan kadar RBC, Hb dan Hct pada penderita strok iskemik akut.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit jejaring lainnya dan berlansung sejak 1 April 2014 sampai dengan 31 Juni 2014. Desain penelitian ini adalah potong lintang (Cross Sectional Study). Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah semua penderita strok iskemik akut yang di rawat di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring lainnya yang memenuhi kriteria inklusi dan didapatkan sebanyak 66 sampel pasien dengan strok iskemik akut. Sampel yang diambil adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu: Semua penderita yang didiagnosa klinis strok iskemik akut dan di buktikan dengan pemeriksaan klinis dan CT Scan kepala tanpa kontras menunjukkan 3
gambaran hipodens atau isodens, onset serangan 0 – 72 jam, pertama kali mengalami strok dan tidak pernah mengalami Transient Ischemic Attacks sebelumnya, bersedia disertakan dalam penelitian dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan oleh penderita / wali penderita. Metode pengumpulan data Sampel Penelitian adalah seluruh populasi penelitian yang terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Cara pengambilan sampel adalah consecutive sampling yaitu penelitian yang di peroleh berdasarkan urutan masuknya ke Rumah Sakit. Setiap sampel dicatat nama, umur, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit, nomor registrasi. Derajat klinis strok iskemik akut diukur saat pasien masuk rumah sakit dengan menggunakan skor mRS, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit menggunakan tes Cell Blood Counter Hematology Analyzer. Data dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Excel dan analisis statitik dengan program SPSS. Analisis data Data yang diperoleh di kelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data kemudian dianalisis dengan metode statistik yang sesuai. Data deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk melihat perbedaan antara kadar Hb, RBC dan Hct dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut digunakan uji Kruskall Wallis. Untuk melihat hubungan kadar Hb, RBC dan Hct dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut digunakan uji korelasi Spearman. Kekuatan hubungan variable bebas dengan terikat dinilai dengan melihat besaran koefisien korelasi (r).
HASIL Karakteristik sampel Dari tabel 1 nampak bahwa berdasarkan jenis kelamin ditemukan laki-laki lebih banyak (64%) menderita strok iskemik akut dibandingkan perempuan (36%). Berdasarkan kelompok umur ditemukan bahwa kejadian strok iskemik akut lebih banyak ditemukan pada usia paruh baya dan insidennya paling banyak ditemukan pada kelompok umur 56-65 tahun (33,3%). Lokasi strok yang paling banyak ditemukan pada daerah kortikal (53,0%) dibandingka dengan daerah sub kortikal (47,0%). Dari data peneilitian ini juga ditemukan sebagian besar subjek pasien strok iskemik akut yang tidak menderita anemia (60,6%).Berdasarkan onset masuk rumah sakit pada penderita strok iskemik akut yang dijadikan subjek, ditemukan bahwa onset strok 4
iskemik akut paling tinggi adalah 24 jam dan selanjutnya diikuti onset 48 dan 72 jam, masingmasing 53%, 28,8% dan 18,2%. Derajat klinis subjek dengan modified Rankin Scale paling banyak ditemukan skor 5 yang berarti 30,30% penderita yang diteliti berada dalam derajat klinis disabilitas berat sehingga mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur. Pada gambar 1 ditemukan bahwa sebagian besar subjek tidak mengalami anemia dengan menggunakan kategori WHO dari pemeriksaan Hb. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa parameter yang memberikan perbedaan rerata bermakna dengan derajat klinis pada penderita strok iskemik akut adalah hemoglobin sedangkan kadar RBC dan Hct tidak. Pada tabel 3 terdapat hubungan yang bermakna antara kadar Hb dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut. Dari uji korelasi ditemukan bahwa terdapat korelasi negatif dimana semakin rendah kadar Hb maka derajat klinis strok pun semakin berat. Analisa statistik Dari hasil analisis statistik ditemukan bahwa derajat klinis penderita strok iskemik akut dengan ringan sebagian besar subjek tidak menderita anemia. Anemia dengan paling banyak ditemukan pada mereka yang mempunyai derajat klinis berat. Hal yang menarik bahwa trend kejadian anemia semakin meningkat dengan meningkatnya derajat klinis penderita strok iskemik dalam hal ini derajat klinis berat Dari data diatas ditunjukkan bahwa parameter hematologi yang memberikan perbedaan rerata bermakna terhadap derajat klinis pasien strok iskemik akut adalah kadar Hb (p=0,001) sedangkan kadar Hct dan RBC tidak memberikan perbedaan rerata yang bermakna. Dari uji korelasi antara kadar Hb dengan derajat klinis pasien strok (r=0.360) ditemukan adanya korelasi yang bersifat negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah kadar Hb, semakin besar skor derajat klinis yang mewakili semakin buruknya kondisi klinis penderita strok iskemik akut.
PEMBAHASAN Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut yang diukur dengan modified Rankin Scale. Sedangkan kadar eritrosit dan hematokrit tidak menunjukkan korelasi dengan derajat klinis pada penelitian ini. Dari uji korelasi ditemukan bahwa teradapat korelasi negatif dimana semakin tinggi kadar Hb maka derajat klinis strok pun semakin berat. Hb adalah
5
komponen yang mengikat oksigen dan membawanya ke jaringan termasuk otak saat terjadi serangan strok ( Kellert et al., 2012; Wen et al., 2006). Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar subjek tidak mengalami anemia dengan menggunakan kategori WHO dari pemeriksaan Hb sedangkan untuk derajat klinis strok paling banyak ditemukan adalah pada derajat klinis 5. Dari pasien strok iskemik akut ditemukan bahwa kadar Hb yang rendah bersesuaian dengan luas infark dan juga peningkatan derajat pertumbuhan infark. Kadar Hb ini merupakan faktor yang memberikan kontribusi independen terhadap ukuran infark bersama dengan beberapa faktor lain seperti umur, jenis kelamin, kadar glukosa saat masuk rumah sakit dan subtipe strok. Semakin luas daerah infark maka akan berhubungan dengan semakin buruknya derajat klinis (Kimberly et al., 2011). Kekurangan oksigen akan menyebabkan asidosis dan selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi enzimenzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. Selain itu dikatakan bahwa juga terdapat perubahan metabolism otak ( Saragih, 2004 ). Hct dan RBC bisa juga dijadikan sebagai kriteria anemia walaupun Hb yang dianggap paling akurat karena memberikan gambaran langsung kemampuan sel darah merah mengikat oksigen. Selain itu kadar Hct sangat dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi hemodinamik, misalnya saat seseorang dalam keadaan dehidrasi maka Hctnya cenderung meningkat dan setelah direhidrasi maka kadar Hct bisa langsung menurun. Pada perbandingan dengan derajat klinis, ditemukan bahwa anemia berkaitan erat dengan derajat klinis dimana pada mereka yang anemia derajat klinis yang diukur dengan modified Rankin Scale cenderung lebih berat dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita anemia. Hal ini berkaitan dengan kemampuan reperfusi yang dimiliki oleh otak. Pada mereka yang tidak menderita anemia maka oksigenasi otak akan lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menderita anemia ( Kimberly et al., 2011 ).WHO sendiri telah menganggap anemia dengan menggunakan parameter Hb sebagai faktor prediktor yang kuat untuk kematian diatas 1 tahun. Anemia dianggap sebagai faktor prognostik negative (Sico et al., 2013). Pada beberapa penelitian yang lain, kadar Hb yang tinggi juga dihubungkan dengan resiko atherosclerosis carotid dan bisa dijadikan sebagai salah satu faktor resiko strok
6
iskemik meskipun hubungannya belum bisa dijelaskan karena masih sangat minimnya data yang ditemukan terkait keadaan ini. Saat ini belum bisa dijelaskan apakah kadar Hb yang rendah dan tinggi mempunyai mekanisme yang sama dalam mempengaruhi tingkat kematian atau berbeda. Anemia dapat menginduksi hipoksia pada daerah dimana kadar Hb sangat rendah sementara kadar Hb yang tinggi dapat meningkatkan viskositas darah, mempengaruhi aliran darah serebral dan berhubungan dengan penyakit paru. Selain itu kadar Hb yang terlalu tinggi akan memicu terjadinya proses pengapuran (atherogenesis) serebral (Kimberly et al., 2011 ). Pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien strok iskemik umumnya terjadi pada lakilaki. Laki-laki lebih beresiko terkena strok karena terdapat faktor resiko lain seperti kebiasaan merokok. Berdasarkan umur, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa prevalensi strok iskemik lebih banyak ditemukan pada usia sekitar 55 tahun lebih. Onset masuk penelitian ini adalah kurang dari 24 jam. Penelitian yang dilakukan oleh Misbach (2001), juga melaporkan bahwa onset masuk dari sebagian pasien yang mereka teliti adalah 6 jam. Hal ini bisa berarti bahwa terdapat keterlambatan dalam memeriksa penderita strok padahal menurut Lansberg setelah 6-8 jam lesi pada strok iskemik akut sudah dapat terlihat dengan CT Scan ( Baird et al., 2001 ). Keadaan diatas bisa menyebabkan diagnosis dan penanganan pasien strok mengalami keterlambatan sehingga derajat klinisnya pun bisa tinggi. Manfaat terapeutik untuk pasien strok dianggap maksimal jika diberikan pada menit pertama mereka terkena strok dan akan berkurang apabila pasien mendapatkan terapi setelah 4,5 jam terkena serangan strok. Pada strok iskemik yang cukup luas, keterlambatan satu menit untuk melakukan reperfusi akan memberikan hasil berupa kerusakan sekitar 2 juta sel saraf. Secara umum waktu terbaik bagi seorang pasien strok untuk mendapatkan pengobatan adalah dalam waktu 1 jam sejak serangan ( Duncan, 2003; Thijs et al., 2006). Jika dihubungkan dengan derajat klinis maka pada penelitian ini tidak nampak perbedaan yang bermakna antara onset dengan derajat klinis pada pasien strok iskemik yang diamati. Hal ini bisa disebabkan karena onset yang terlalu luas padahal golden period untuk pasien strok adalah sekitar 1 jam. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa daerah yang paling banyak mengalami iskemik adalah pada kortikal. Pada daerah kortikal pembuluh darah yang menyuplai darah tidak mempunyai banyak kolateral sehingga bila mengalami sumbatan maka lokasi ini 7
akan mengalami infark yang luas. Sedangkan pada daerah subkortikal, kepadatan serabut-serabut sarafnya lebih padat dibandingkan di daerah kortikal. Hal ini bisa menjelaskan mengapa sebagian besar derajat klinis pada penelitian ini cukup buruk (Ilyas, 2007). Pada penelitian dengan pasien strok iskemik dengan menggunakan multimodal imaging, ditemukan bahwa kadar Hct yang tinggi bersesuaian dengan penurunan reperfusi dan juga besarnya ukuran infark. Hal ini dianggap faktor yang secara potensial berperan dalam penurunan penyelamatan daerah penumbra (Irace et al., 2003) Temuan lain menunjukkan bahwa pasien dengan strok biasanya menunjukkan kadar Hct yang normal. Untuk mengangkut Hb agar berkontak erat dengan jaringan dan agar pertukaran gas berhasil, RBC yang berdiameter 8 mikro harus dapat secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 mikro, untuk mempertahankan Hb dalam keadaan tereduksi (ferro) dan untuk mempertahankan keseimbangan osmotic walaupun konsentrasi protein (Hb) tinggi di dalam sel (Weed et al., 2010) .
KESIMPULAN DAN SARAN Kami menyimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kadar Hb dengan derajat klinis strok iskemik akut, semakin rendah kadar Hb semakin buruk derajat klinis strok iskemik akut. Sedangkan pada kadar Hct dan RBC tidak ditemukan adanya hubungan dengan derajat klinis strok iskemik akut. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan menilai derajat klinis dengan volume infark dan juga ukuran sel darah merah. DAFTAR PUSTAKA Aliah A. (2005). Analisa Dinamika Kadar Interleukin-10 dan Tumor Necrosis Faktor-Alpha Serum dan likuor Serebrospinal terhadap derajat Klinis pada Penderita Strok Iskemik Akut. Disertasi tidak diterbitkan. Makassar : Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Aliah A & Muis A. (2002). Faktor Resiko Stroke pada Beberapa Rumah Sakit di Makassar. Makalah disajikan dalam simposium Penanganan Strok Iskemik Akut, PERDOSSI Cabang Sulawesi Selatan, Makassar. Baird A. E.; Dambrosia J.; Warach S. (2001). A Three-Item Scale for The Early Prediction of Stroke Recovery. The Lancet. 357 : 2095 – 2099. Duncan P. (2003). Evaluating the Outcome Of Stroke, (Online), (http://www.strokaha.org , diakses 2 Agustus 2009). Ilyas M. (2007). Peranan Penilaian CT Scan Kepala Dalam Memprediksi Luaran Penderita Strok Iskemik Akut Dengan Menggunakan Pengukuran Volume dan Lokasi Infark.
8
Irace C.; Ciamei M.; Crivaro A.; Fiaschi E.; Madia A.; Cortese C et al. (2003). Hematocrit is associated with carotid atherosclerosis in men but not in women.Coron Artery Dis,14:279-84. Kellert L.; Herweh C.; Syikora M.; Gussman P.; Martin E.; Ringleb PA et al. (2012). Loss of Penumbra by Impaired Oxygen Supply? Decreasing Hb Levels Predict Infarct Growth after Acute Ischemic Stroke. Cerebrovasc Dis Extra;2:99–107 Kimberly T.; Wu O.; Arsava M.; Garg P.; Ji R.; Vangel M et al. (2011). Lower hemoglobin correlates with larger stroke volume in Acute ischemic strok. Cerebral Disc Extra. 1:44-53. Mackay J.; Mensah G. (2004). The Atlas of Heart Disease and Stroke. Geneva, Switzerland, World Health Organization.The Atlas of heart disease and stroke. http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf Misbach, J. (2001). The Progress of Primary and Secondary stroke Prevention. Jakarta. Makalah disajikan dalam Symposium Up Date on Strok Management, PERDOSSI, Jakarta. Roger et al. (2011). AHA Heart Disease and Stroke Statistics. update: a report from the American Heart Association. Circulation ;123:e18-e209. Saragih R. (2004). Korelasi Beberapa faktor Hemoreologi dengan Strok Infark Aterotrombotik. Tesis tidak diterbitkan. Bandung; Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Kedokteran UNPAD. Sico JJ.; Concato J.; Wells CK.; Lo AC.; Nadeau SE.; Williams LS et al. (2013). Anemia is associated with poor outcomes in patients with less severe ischemic stroke. J Stroke Cerebrovasc Dis. 22(3):271-8 McGraw-Hill Companies: USA. Tanne D.; Molshatzki N.; Merzeliak O.; Tsabari R.; Toashi M.; Schwammenthal M. (2010). Anemia status, Hb concentration and outcome after acute stroke: a cohort study. BMC Neurology 10:22 Thijs V.N.; Lansberg M.; Beaulieu C.; Marks M.P.; Moseley M.E.; Albers G.W. (2006). Is Early Iskemic Lesion Volume on Diffusion – Weighted Imaging an Independent predictor of Stroke Outcome? A multivariabel Analysis. Stroke. 210: 2597-2602. Weed.; Robert I.; Reed.; Claude F.; George. (2010). Is Hemoglobin an essential structural component of human erythrocyte membranes?. J Clin Invest. 42 (4): 581–8. Wen YD.; Zhang HL.; Qin ZH. (2006) . Inflammatory Mechanism in Iskemic Neuronal Injury. Neuroscince. 22 : 171-182.
9
Tabel 1. Karakteristik Subjek Dengan Strok Iskemik Akut Karakteristik 1. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
N
Persentase (%)
41 25
62 38
2. Umur 30 -45 Tahun 36-55 Tahun 56-65 Tahun 66-75 Tahun
4 17 22 19
6,1 25,8 33,3 28,8 6,1
76-85 Tahun
4
3. Onset < 24 jam 24 - 48 jam 48-72 jam
35 19 22
53 28,8 18,2
4. Lokasi Infark Kortikal Sub Kortikal
35 31
53 47
5. Status Anemia Anemia Tidak Anemia
40 26
60,6 39,4
Derajat Klinis strok Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5 Skor 6
11 14 3 13 20 5
16,67 21,21 4,55 19,7 30,30 7,58
10
Tabel 2 Perbedaan Kadar Hb, Hct dan RBC dengan derajat klinis Strok Iskemik Akut
Parameter Darah
Kemaknaan (P*)
Hb (Hb)
0,014
Hct (Hct)
0,056
Erirosit (RBC)
0,103
*Uji Kruskall Wallis dengan kemaknaan p<0,05
Tabel 3 Hubungan rerata kadar Hb, Hct dan RBC dengan derajat klinis pasien strok iskemik akut
Parameter
Kemaknaan (p*)
Koefisien Korelasi (r)
Kadar Hb (Hb)
0,001
-0,360
Kadar Hct (Hct)
0,051
- 0,203
Kadar RBC (RBC)
0,077
-0,177
*Uji Korelasi Spearman kemaknaan, p<0,01
90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% Anemia
40,00%
Tidak Anemia
30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Ringan
Sedang
Berat
Gambar 1. Perbandingan Status Anemia Dengan Derajat Klinis Strok Iskemik Akut 11