JURNAL KESLING VOL 7 NO 1 JULI 2013_LAYOUT

Download 1 Jul 2013 ... besi (Fe) pada air minum yang bersumber dari air sumur penduduk akibat dari dampak pembuangan lumpur lapindo di. Sungai Poro...

1 downloads 486 Views 81KB Size
KANDUNGAN BESI (FE) PADA AIR SUMUR DAN GANGGUAN KESEHATAN MASYARAKAT DI SEPANJANG SUNGAI PORONG DESA TAMBAK KALISOGO KECAMATAN JABON SIDOARJO Iron Content (Fe) at Well Water and Disorder Trouble in Society alongside River of Porong Village Tambak Kalisogo, Jabon Sidoarjo Tika Arifani Putri dan Ririh Yudhastuti Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya [email protected] Abstract: Groundwater is rain water or surface water that soaks into the ground. Groundwater contamination occurs when hazardous substances met the groundwater. In America, 200–400 people were attacked by health disturbance such as heart cancer and diabetes because too much iron (Fe). According to water quality measurement, iron concentration in Lapindo mud was 22.416–25.434 mg/l and 1.69–3.12 mg/l in well water (threshold value = 0.3 mg/l). Objective of this research was to learn about iron content in drinking water from resident’s well aside from impact of Lapindo mud and society’s health problem. Research was using observation and cross-sectional design. Research was done in Jabon District. Well water and housewife were taken as sample. Data about respondent was done through interview and questionnaire and well water was collected for laboratory essay. Result of this research indicated the iron concentration in housewife’s well water was 0.074 ± 2.128 mg/l (threshold value = 0.3 mg/l). There are some health complaints with unknown cause from respondents there were easy to be tired and fatigue 61.67%, nausea 16.67%, vomiting 16.67%, stomachache 50%, and diarrhea 76.67%. Conclusion from this research was keep distance from Lapindo mudflow and lowering the Fe concentration in well water. Keywords: blood iron, housewife, iron in well water, well water Abstrak: Air tanah adalah air hujan atau air permukaan yang meresap ke dalam tanah dan batu-batuan, kemudian air tersebut tersimpan di dalam tanah. Besi yang terakumulasi dalam tubuh mereka mengakibatkan beberapa penyakit yang mematikan, seperti: kanker hati dan diabetes. Menurut data pengukuran kualitas air, kadar besi (Fe) yang terkandung dalam lumpur Lapindo adalah sebesar 22,416–25,434 mg/l. Sedangkan kandungan besi (Fe) dalam air sumur adalah sebesar 1,69–3,12 mg/l (Baku Mutu = 0,3 mg/l). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kandungan besi (Fe) pada air minum yang bersumber dari air sumur penduduk akibat dari dampak pembuangan lumpur lapindo di Sungai Porong dan gangguan kesehatan masyarakat. Rancangan penelitian ini adalah observational, dan merupakan penelitian cross sectional. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo. Populasi penelitian ini adalah air sumur gali dan Ibu rumah tangga, diambil sampel ibu rumah tangga sebab mereka lebih banyak beraktivitas dalam rumah, sehingga air yang mereka minum adalah air sumur. Sampel diambil secara teknik total sampling. Pengumpulan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Untuk mengetahui kandungan besi (Fe) dalam air sumur dan keluhan masyarakat, dilakukan pengambilan air sumur untuk diuji di Laboratorium. Hasil penelitian dan pengujian laboratorium menunjukkan bahwa rata-rata kandungan Fe dalam air sumur penduduk sebesar 0,074 ± 2,128 mg/l (Baku Mutu = 0,3 mg/l). Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah semakin jauh jarak sumur dari sumber luapan lumpur Lapindo maka kandungan Fe dalam air sumur akan semakin kecil. Kata kunci: besi dalam darah, ibu rumah tangga, besi dalam air tanah, air tanah

PENDAHULUAN

Gempol yang harus ditutup karena tergenang lumpur panas (WALHI Jawa Timur, 2006). Komponen lingkungan yang terkena dampak oleh karena bencana semburan lumpur Sidoarjo meliputi berbagai aspek, antara lain komponen lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial, ekonomi, budaya, serta kesehatan masyarakat. Secara fisik, bencana tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan baik kualitas tanah, air, maupun udara oleh karena pencemaran yang ditimbulkannya.

Semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah merusak sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya, tak kurang 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi serta jalan tol Surabaya-

64

T A Putri dan R Yudhastuti, Kandungan Besi pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan

Dalam hal dampak terhadap kesehatan masyarakat, antara lain diakibatkan oleh gas yang muncul pada saat semburan lumpur dan material lumpur yang meluber menggenangi lahan sawah, kebun serta pemukiman penduduk. Gas yang dihasilkan tersebut dikhawatirkan menurunkan kualitas udara di sekitarnya, jika terhirup oleh manusia akan mengganggu sistem pernapasan. Lingkungan biologi pun mengalami hal yang sama. Menurut WALHI Jawa Timur (2006), sehari setelah terjadi blow out pertama, ikan yang ada di saluran irigasi banyak yang terapung mati. Tanaman yang ada di sekitar lumpur mengering dan mati. Sumber air (sumur dan sungai) di tiga desa (Siring, Renokenongo, Jatirejo) tak dapat lagi dikonsumsi karena telah tercemar. Warnanya berubah kekuning-kuningan (seperti mengandung minyak mentah). Setelah dilakukan pengukuran di lapangan oleh tim dari Bapedal Jatim menemukan bahwa banyak parameter kimia di air sumur penduduk yang melebihi persyaratan kualitas air Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/ Menkes/SK/VII/2002, tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Salah satunya adalah kadar besi (Fe) yang jika dikonsumsi secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan kesehatan. Pada akhirnya selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila menumpuk di tubuh bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Selain itu, jika masuk ke tubuh anak secara berlebihan bisa mengurangi kecerdasan (Hamid, 2006). Gangguan kesehatan yang sering dirasakan masyarakat antara lain mual, muntah, sakit kepala, sakit perut, diare, dan gatal-gatal. Sedangkan jumlah kasus untuk sejumlah penyakit di Puskesmas juga meningkat, antara lain diare, disentri, penyakit kulit baik karena infeksi maupun karena alergi, penyakit saluran pernapasan, dan gangguan sistem pencernaan. Penelitian ini dibatasi pada kandungan besi (Fe) pada air sumur dan gangguan terhadap kesehatan masyarakat di sepanjang Sungai Porong, Desa Tambak Kalisogo, Kecamatan Jabon.

65

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Tambak Kalisogo, Sidoarjo. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut berbatasan langsung dengan Kali Porong dan sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan air sumur untuk kebutuhan konsumsi. Penelitian ini dilakukan selama bulan Januari–Juli 2009. Data diambil dengan cara wawancara dan observasi. Selain itu juga dilakukan uji laboratorium untuk kadar besi (Fe) pada air sumur. Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu: a) Sumber air minum masyarakat (sumur gali) dengan kriteria memiliki jarak 0–50 m, 50–100 m, 100–150 m, dan 150–200 m dari Kali Porong serta memiliki kedalaman < 10 meter; dan b) Ibu rumah tangga yang telah tinggal di Desa Kalisogo minimal 1 tahun dan mengonsumsi air minum bersumber dari air sumur. Jumlah sampel sumber air minum masyarakat sebanyak 20 air sumur gali dan sampel ibu rumah tangga sebanyak 30 orang. Pengolahan data menggunakan proses editing yaitu meliputi pemeriksaan data dengan tujuan untuk mengetahui kecukupan data yang tersedia dan setelah itu dilakukan tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel sehingga data dapat dibaca dengan mudah. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Sebagian besar responden berumur ratarata 31–40 tahun sebanyak 15 orang (50%). Sebagian besar responden berpendidikan SD sebanyak 15 responden (50%). Tingkat pendidikan berhubungan dengan kesadaran mereka untuk menjaga kebersihan dan kesehatan serta pengetahuan yang mereka miliki tentang pengolahan air sumur sebelum dikonsumsi. Di samping hal yang telah disebutkan, waktu tinggal dan lamanya mereka berada di rumah pun perlu untuk dipertimbangkan. Sebagian besar responden telah tinggal di tempat tersebut selama lebih dari 5 tahun, yaitu sebanyak 23 responden (76,67%). Sebagian besar responden tinggal di dalam rumah cukup lama, yaitu sebanyak 20 responden (66,67%)

66

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 64–70

berada di rumah lebih dari 16 jam per hari, hal ini menunjukkan dan memperkuat bahwa air yang mereka konsumsi adalah benar-benar air sumur mereka dan tidak tercampur dengan air dari luar. Sehingga diharapkan keluhan responden adalah benar-benar berasal dari air sumur yang mereka konsumsi sehari-hari. Sumber Air Minum dan Jarak Sumur Air merupakan kebutuhan mutlak untuk kehidupan manusia. Di dalam air terdapat berbagai macam zat yang dibutuhkan dan di lain pihak dalam air juga terdapat zat yang membahayakan manusia. Kualitas air, khususnya untuk air minum atau memasak akan dapat berakibat pada kesehatan manusia yang mengonsumsinya. Sebagian besar penduduk Desa Tambak Kalisogo tersebut masih menggunakan air sumur untuk keperluan sehari-hari, termasuk untuk minum dan memasak. Manusia membutuhkan air dalam segala aspek kehidupan, untuk memasak, mandi, mencuci dan kebutuhan lainnya. Secara biologis air berperan dalam semua proses dalam tubuh manusia, misalnya pencernaan, metabolisme, transportasi, mengatur keseimbangan suhu tubuh. Kekurangan air akan menyebabkan gangguan fisiologis, bahkan akan mengakibatkan kematian apabila kekurangan tersebut mencapai 15% dari berat tubuh. Namun apabila air itu tidak jernih misalnya tercemar bahan organik, air akan menjadi media yang baik bagi kuman penyakit. Pada air tercemar bahan kimia organik akan menyebabkan gangguan fisiologis secara menahun bahkan bersifat toksik (Sanropie, 1984). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa Tambak Kalisogo air sumur yang masih dikonsumsi sebanyak 20 sumur. Sebanyak Tabel 1. Hasil Laboratorium Kandungan Fe dalam Air Sumur Penduduk di Kecamatan Jabon, Desa Tambak Kalisogo Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 Jumlah Sumur

Rata-rata Fe (mg/l)

0–50

5

1,694

51–100

6

0,797

101–150

4

0,106

151–200

5

0,081

Jarak Sumur (m)

5 sumur berada pada jarak 0–50 m dari sumber pencemar, 6 sumur berada pada jarak 51–100 m dari sumber pencemar, 4 sumur berada pada jarak 101–150 m dari sumber pencemar, dan 5 sumur berada pada jarak 151–200 m dari sumber pencemar. Kandungan besi (Fe) dalam Air Sumur Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui kandungan Fe yang melebihi batas yakni pada jarak sumur 0–50 m dengan jumlah 5 sumur ratarata Fe sebesar 1,694 mg/l, dan jarak 51–100 m dengan jumlah 6 sumur rata-rata Fe 0,797 mg/l. Sedangkan sisanya yang masih di bawah baku mutu yakni pada jarak 101–150 m dengan jumlah 4 sumur rata-rata Fe sebesar 0,106 mg/l, dan pada jarak 151–200 m dengan jumlah 5 sumur ratarata Fe sebesar 0,081 mg/l. Hasil pengukuran di lapangan, terdapat 10 sumur (50%) yang memiliki kadar besi di atas ambang batas yang telah ditentukan. Sumur tersebut berada pada jarak 20–100 m dari Sungai Porong. Dengan jarak sumur 20 m sebesar 2,128 mg/l, jarak 30 m sebesar 2,109 mg/l, jarak 35 m sebesar 2,102, jarak 40 m sebesar 1,053 mg/l, jarak 50 m sebesar 1,076 mg/l, jarak 60 m sebesar 1,084 mg/l, jarak 75 m sebesar 1,041 mg/l, jarak 85 m sebesar 0,986 mg/l, jarak 90 m sebesar 0,822 mg/l, dan jarak 100 m sebesar 0,759 mg/l. Walaupun sumur penduduk yang lain memiliki kandungan Fe di bawah ambang batas, bukan berarti sumur tersebut layak dan aman untuk dikonsumsi sebab kualitas yang ditunjukkan pada penelitian ini hanya pada parameter kimia Fe. Adapun kandungan Fe dalam air sumur responden yang lain masih berada di bawah ambang batas yang ditentukan, namun perlu diwaspadai adanya sebaran pencemaran dari lumpur Lapindo yang sewaktu-waktu dapat berubah secara cepat, sebab dari hasil pengukuran diperoleh bahwa lumpur Lapindo memiliki kandungan besi yang jauh melebihi ambang batas, yaitu 22,416–25,434 mg/l sehingga lama-kelamaan akan dapat mencemari air sumur penduduk. Oleh karena itu ibu rumah tangga yang mengonsumsi air sumur tersebut merupakan kelompok yang berisiko terhadap pajanan Fe dan gangguan kesehatannya. Pada penelitian ini jarak sumur dari sungai porong berpengaruh terhadap kandungan Fe dalam air sumur. Semakin jauh jarak sumur dari

67

T A Putri dan R Yudhastuti, Kandungan Besi pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan

sumber pencemar maka kandungan Fe dalam air sumur akan semakin kecil.

yang seluruhnya tidak berasa. Ada beberapa bahan polutan yang memberikan efek rasa terhadap air sumur, seperti: besi dan mangan yang memberikan rasa seperti logam, sodium, chloride, dan sulfat yang memberikan rasa sedikit asin, serta dapat pula disebabkan oleh adanya mikroba dalam air sumur (Nelson, 1992).

Kondisi Fisik Air Sumur Kriteria Bau Berdasarkan penilaian observasi diketahui bahwa semua sumur (100%) tidak berbau. Bau dalam air sumur tidak hanya disebabkan oleh polutan logam, namun dapat pula disebabkan oleh Hidrogen Sulfida (H2S), bahan organik (dissolved organic carbon), alga dan bak teri (Nelson, 1992).

Penggunaan Air Sumur Kriteria untuk Minum Responden mengonsumsi air sumur untuk minum kurang dari 5 liter sehari sebanyak 5 responden dengan jarak 0–50 m, sebanyak 8 responden mengonsumsi 1–3 l/hr dengan jarak sumur 51–100 m, dan 7 responden mengonsumsi lebih dari 3 l/hr dengan jarak sumur 151–200 m. (Tabel 4)

Kriteria Kekeruhan Tabel 2 menunjukkan bahwa sumur dengan jarak 0–50 m dari sumber pencemar merupakan sumur yang keruh, sedangkan mulai jarak 51–200 m, sumur sudah jernih. Kekeruhan air sumur dapat disebabkan oleh banyaknya padatan terlarut yang tidak hanya berasal dari polutan logam dan pada musim hujan air sumur akan kembali jernih sebab air tanah bertambah dan terjadi pengenceran, sehingga kekeruhan akan menurun.

Kriteria untuk masak Tabel 5 menunjukkan bahwa karakteristik air sumur menurut kriteria yang digunakan untuk masak sebagian besar responden menggunakan 1–5 l/hr dengan jarak sumur antara 0–50 m sebanyak 5 responden (100%), pada jarak 51–100 m sebanyak 8 responden (100%) mengonsumsi 1–5 l/hr, pada jarak 101–150 m sebanyak 8 responden (100%) mengonsumsi 1–5 l/hr, pada

Kriteria Rasa Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya sumur dengan jarak 151–200 m dari sumber pencemar

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Air Sumur Responden menurut Kriteria Kekeruhan di Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 Jarak Sumur (m)

Kriteria Kekeruhan Jumlah Sumur

Persentase (%)

100

5

100

Jernih (n)

Persen (%)

Keruh (n)

Persen (%)

0–50





5

51–100

6

100





6

100

101–150

4

100





4

100

151–200

5

100



-

5

100

15

75

5

25

20

100

Total

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Air Sumur Responden menurut Kriteria Rasa di Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 Jarak Sumur (m)

Karakteristik Tidak berasa

Persen (%)

Berasa

Persen (%)

Jumlah Sumur

Persentase (%)

0–50

3

60

2

40

5

100

51–100

2

33,3

4

66,7

6

100

101–150

2

50

2

50

4

100

5

100





5

100

12

60

8

40

20

100

151–200 Total

68

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 64–70

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Air Sumur Menurut Kriteria Penggunaan untuk Minum di Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 Jarak Sumur (m)

Penggunaan Untuk Minum < 1 liter

(%)

1 – 3 liter

(%)

> 3 liter

(%)

Responden (n)

(%)

0–50

5

100

-

-

-

-

5

100

51–100

-

-

8

100

-

-

8

100

101–150

-

-

8

100

-

-

8

100

151–200

-

-

2

22,2

7

77,8

9

100

Total

5

16,7

18

60

7

23,3

30

100

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Air Sumur Menurut Kriteria Penggunaan untuk Masak di Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 Jarak Sumur (m)

Penggunaan Untuk Masak

Responden (n)

(%)

-

5

100

-

-

8

100

5

62,5

8

100

4

44,4

9

100

9

30

30

100

1–5 liter

(%)

> 5 liter

(%)

0–50

5

100

-

51–100

8

100

101–150

8

100

151–200

-

-

21

70

Total

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Air Sumur menurut Kriteria Pengambilan Air Sumur di Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 Jarak Sumur (m)

Pengambilan Air Sumur Langsung Dimasak

%

Disimpan Ditandon

%

Responden (n)

-

-

5

100

3

37,5

8

100

0–50

5

51–100

5

101–150

8

-

-

8

100

151–200

7

77,8

2

22,2

9

100

25

83,3

5

16,7

30

100

Total

100

(%)

62,5 100

jarak sumur 151–200 m sebanyak 4 responden (44,4%). Pengambilan Air Sumur Tabel 6 menunjukkan bahwa pengambilan air sumur banyak dilakukan secara langsung, baru kemudian di masak sebelum digunakan. Seluruh responden mengatakan bahwa mereka memasak air sumur terlebih dahulu sebelum digunakan untuk minum dan memasak. Pada jarak 0–50 m sebanyak 5 responden (100%) mengambil sumur secara langsung, pada jarak 51–100 m sebagian besar mengambil air sumur secara langsung sebanyak 5 responden (62,5%). Pada jarak 101–150 m sebanyak 8 responden (100%) mengatakan bahwa mereka mengambil air

sumur secara langsung, dan pada jarak 151–200 m sebagian besar mengambil air sumur secara langsung sebanyak 7 responden (77,8%). Volume air sumur yang dikonsumsi dan pengolahan air yang dilakukan akan berpengaruh terhadap kadar besi (Fe) ibu rumah tangga yang mengonsumsinya. Semakin banyak volume air sumur yang dikonsumsi per harinya maka akan memengaruhi kadar besi dan meningkatkan risiko terjadinya gangguan saluran pencernaan. Pengolahan air sumur yang dilakukan sebelum air tersebut dikonsumsi akan sangat memengaruhi kadar besi (Fe) dalam air tersebut. Saat ini para responden hanya mengolah air sumur dengan cara memasaknya terlebih dahulu,

69

T A Putri dan R Yudhastuti, Kandungan Besi pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan

Tabel 7. Distribusi Gangguan Kesehatan Ibu Rumah Tangga di Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009. Gangguan kesehatan

Jarak Sumur (m) Mudah Lelah

Mual

Muntah

Perut Nyeri

Diare

n

(%)

n

%

n

%

n

%

n

%

n

%

0–50

5

100,0

5

100

5

100

5

100,0

5

100,0

5

100

50–100

5

62,5









5

62,5

7

87,5

8

100

101–150

5

62,5









2

25

3

37,5

8

100

151–200

5

55,5



-





3

33,3

8

88,9

9

100

20

66,7

5

16,7

5

16,7

15

23

76,7

30

100

Total

cara tersebut tidak efektif untuk menghilangkan kandungan besi (Fe) dalam air sumur. Untuk menentukan pengelolaan yang tepat maka perlu adanya suatu kajian tentang karakteristik air sumur gali di wilayah yang akan diberikan perlakuan. Untuk mengupayakan penjernihan air yang berasal dari sumur biasanya hanya memerlukan bahan penyaringan sebagai absorber unsur logam sehingga dapat sekaligus menghilangkan warna, dan bau. Menurut Kusnaedi (1998), arang sering digunakan sebagai absorber karena dapat melakukan absorpsi/penyerapan unsur-unsur logam ataupun fenol dalam air sehingga menjadi jernih. Absorpsi yang sering digunakan adalah arang aktif yang dalam pengolahan air biasanya dipakai dalam saluran berfilter arang aktif. Arang kayu, arang batubara juga mempunyai sifat absorben seperti halnya pada arang aktif. Gangguan Kesehatan Responden Tabel 7 menunjukkan bahwa sebanyak 20 responden mengeluhkan mudah lelah, yakni diantaranya pada jarak sumur 0–50 m sebanyak 5 responden (100%), jarak sumur 50–100 sebanyak 5 responden (62,5%), jarak sumur 101–150 m sebanyak 5 responden (62,5%), pada jarak 151–200 m sebanyak 5 responden (55,5%), namun semua responden tidak mengetahui penyebab mereka mengalami gangguan tersebut. Sebanyak 5 responden (100%) mengeluhkan mual pada jarak 0–50 m, namun sebagian besar responden tidak mengetahui penyebab keluhan sering terasa mual, hanya 2 responden yang menyatakan bahwa keluhan mual-mual yang mereka alami dikarenakan mereka menderita penyakit maag. Sebanyak 5 responden (100%) mengeluhkan muntah pada jarak 0–50 m, namun

50

sebagian besar responden tidak mengetahui penyebab keluhan sering muntah. Sebanyak 5 responden (100%) mengeluhkan nyeri pada perut pada jarak 0–50 m, namun sebagian besar responden tidak mengetahui penyebab keluhan nyeri pada perut. Sebanyak 5 responden (100%) mengeluhkan diare pada jarak 0–50 m. Dari hasil wawancara dan kuesioner didapatkan bahwa beberapa responden di wilayah penelitian mengindikasikan bahwa mereka telah terpapar besi (Fe) secara ingesti, hal ini dapat dilihat dari angka keluhan gangguan pencernaan dan gejala-gejala klinis yang timbul sesuai dengan gejala terpapar besi (Fe), antara lain: badan terasa mudah lelah, mual, muntah, nyeri perut, dan diare. Namun untuk saat ini gejala yang terdeteksi masih sangat lemah, dan tidak dapat dilakukan uji klinis karena dampak paparan besi (Fe) secara ingesti bersifat kronis dan menahun, sehingga dampaknya baru akan terlihat jelas pada tahuntahun berikutnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kandungan Fe yang ada di air sumur penduduk dengan jarak 0–50 m ratarata 1,694 mg/l; jarak 51–100 m rata-rata 0,797 mg/l; jarak 101–150 m rata-rata 0,106 mg/l; jarak 151–200 m rata-rata 0,081 mg/l. Gangguan kesehatan masyarakat yang dirasakan di sekitar pembuangan lumpur lapindo adalah mudah lelah, mual, muntah, nyeri pada perut, dan diare. Pada kandungan Fe air sumur yang di gunakan sebagai air minum penduduk semakin jauh jarak dari pembuangan semakin berkurang kadar Fenya tetapi gangguan kesehatan penduduk pada masyarakat terjadi pada semua jarak sumur yang diteliti.

70 Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengkaji faktor lain yang berpengaruh terhadap pencemaran besi (Fe) pada air sumur, antara lain: karakteristik tanah, kecepatan aliran air tanah, arah aliran tanah, dan berbagai faktor lainnya. Dilakukan koordinasi antar instansi terkait monitoring kualitas air secara berkala. Kepada Dinas Kesehatan setempat dan instansi yang terkait dengan bidang kesehatan masyarakat hendaknya mengambil tindakan yang sesuai, antara lain: menginformasikan pada masyarakat tentang hasil monitoring, mensosialisasikan metode pengolahan air sumur untuk mereduksi Fe, dan bila dinyatakan air sumur penduduk telah tercemar dan tidak layak dikonsumsi, maka instansi tersebut juga disarankan untuk menginstruksikan pada

Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 64–70

masyarakat agar tidak lagi menggunakan air sumur untuk minum dan memasak. DAFTAR PUSTAKA Hamid, A. 2005. Bahaya Lumpur Lapindo. Diakses dari www.icmi.org. (Sitasi 23 April 2007). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/Menkes/SK/ VII/2002, Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Depkes RI. Jakarta. Kusnaedi, 1998. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum. Penebar swadaya. Jakarta. Nelson, D.O. 1992. Fresh Water, Natural Contaminants. Diakses dari http://energy.cr.usgs. gov. (Sitasi 9 Agustus 2007). Sanropie, D. 1984. Buku Pedoman Study Penyediaan Air Bersih. Akademi Penilik Kesehatan-Teknologi Sanitasi. Pusdiknakes. Jakarta. WALHI. 2006. Kertas Posisi WALHI terhadap Kasus Lumpur Panas PT Lapindo Brantas. Diakses dari [email protected]. (Sitasi 24 April 2007).