JURNAL RESILIENSI PADA SINGLE MOTHER PASCA PERCERAIAN

Download dihadapi oleh single mother, gambaran resiliensi dan faktor-faktor yang ... kedua subjek memiliki kemampuan resiliensi yang dilihat dari in...

4 downloads 714 Views 156KB Size
Resiliensi pada Single mother Pasca Perceraian. Dewindra Ayu Kartika Fakultas Psikologi Universitas Gunadama

ABSTRAKSI Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh single mother, gambaran resiliensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada single mother pasca perceraian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif subjek dalam penelitian ini adalah 2 orang wanita. Karakteristik subjek penelitian yaitu single mother yang mengalami perceraian dengan usia 34 tahun dan 43 tahun dan mengalami perceraian selama 7 tahun dan 15 tahun. Setelah dilakukan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kedua subjek mengalami masalah seperti ekonomi, praktis, keluarga, seksual, sosial dan tempat tinggal. Selain itu kedua subjek memiliki kemampuan resiliensi yang dilihat dari insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor dan moralitas. Kedua subjek tersebut juga memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi yaitu faktor I Have, I Am dan I Can. Kata kunci : resiliensi, single mother, perceraian.

PENDAHULUAN Memiliki keluarga yang bahagia merupakan dambaan semua orang, namun perlu disadari, bahwa perkawinan dapat membuahkan ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh konflik maupun masalah-masalah rumah tangga. Masalah yang biasanya dihadapi oleh setiap pasangan pun sangat berbeda-beda seperti masalah ekonomi, masalah keturunan, masalah agama dan budaya, masalah seksualitas, masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah orang ketiga dan sebagainya. Namun jika masalah-masalah tersebut tidak dapat mereka hadapi, maka perceraian merupakan salah pilihan atau cara untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Banyak pria dan wanita yang malah merasa beruntung dengan adanya perceraian karena menurut mereka

perceraian tersebut dapat memberikan kesempatan untuk mereka membangun hidup baru yang mereka inginkan. Menurut Hurlock (1983), perceraian merupakan akhir dari penyesuaian perkawinan yang buruk, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyesuaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perceraian tidak hanya sebagai cara untuk menyelesaikan ketidaksesuaian dalam berumah tangga namun ternyata perceraian dapat memberikan dampak negatif tidak hanya untuk orang yang menjalankannya tetapi juga pada keluarga terutama anak-anak. Menurut Hurlock (1983), anak-anak yang memiliki orangtua yang bercerai akan merasa malu karena mereka merasa berbeda dan hal ini dapat merusak konsep pribadi anak, kecuali apabila

mereka tinggal di lingkungan di mana sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga yang bercerai juga. Selain itu bagi individu yang melakukan perceraian, terutama wanita akan cenderung memperoleh dampak yang biasanya lebih besar dari pada dampak yang disebabkan oleh kematian pasangan, karena individu yang bercerai akan merasakan efek traumatik yang akan mereka rasakan sebelum dan sesudah perceraian sehingga timbul rasa sakit dan tekanan emosional. Tidak hanya itu bagi sebagian individu kehidupan yang dijalani pasca perceraian akan dirasa berat karena mereka diharapkan dapat menjadi ibu dan ayah yang baik bagi anak-anaknya (Dwiyani, 1009). Di dalam suatu keluarga dimana hanya seorang ibu berperan tanpa dukungan atau bantuan figur seorang suami baik karena bercerai, ditinggal mati suami atau ditinggalkan pasangan hidupnya tanpa ada ikatan pernikahan dinamakan sebagai single mother. Beberapa wanita yang memilih untuk menjadi single mother yang mengalami perceraian ada yang berhasil mengatasi tantangan tersebut dengan merubahnya menjadi energi positif dan tetap dapat menjalankan kehidupannya yang sehat. Namun tidak sedikit individu yang gagal bertahan dan pulih dari situasi negatif sehingga mereka tidak bisa keluar dari situasi yang tidak menguntungkan, karena hal ini disebabkan oleh kehidupan manusia yang tidak jauh dari tantangan, kesulitan dan cobaan hidup yang datang silih berganti dan harus mereka dihadapi. Tantangan dan cobaan hidup tersebut dapat berupa kesulitan sehari-hari, peristiwa yang tidak terduga hingga peristiwa traumatis. Kemampuan seseorang untuk dapat bertahan dalam

menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat dikenal dengan istilah resilensi (Tugade & Frederikson, 2004). Wolin dan Wolin (1999), juga menyebut resiliensi sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat dan terus memperbaiki diri. Individu yang resilien adalah individu yang tidak memunculkan simtom-simtom patologis pada situasi-situasi yang cenderung negatif atau mengancam. Siebert (2005) juga menjelaskan bahwa individu yang resilien dapat mengatasi perasaan dengan baik saat ditimpa masalah bahkan sulit untuk diterima. Saat sakit dan stress individu tersebut dapat kembali dan menemukan cara untuk keluar dengan baik dari masalah yang dihadapi serta bangkit kembali setelah terjatuh dan tidak putus asa sehingga dapat menjadai lebih baik dari sebelumnya. Bagi individu yang memiliki kemampuan resiliensi akan memiliki kehidupan yang lebih kuat, artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri saat berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan seperti perkembangan sosial atau bahkan tekanan hebat yang akan melekat dalam kehidupannya (Desminta,2005) Hal diatas inilah yang menyebabkan peneliti tertarik untuk meneliti mengenai kemampuan resiliensi pada single mother pasca perceraian secara lebih mendalam agar hal-hal positif dari kemampuan resiliensi dapat diaplikasikan dalam kehidupan setiap orang khususnya bagi single mother yang mengalami perceraian. Sedangkan

masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh single mother pasca perceraian?”, “Bagaimana gambaran resiliensi yang dialami oleh wanita yang menjadi single mother pasca perceraian?” dan “Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada single mother pasca perceraian?” PENGERTIAN RESILIENSI Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire' yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resi1iensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (Anggraeni, 2008). Istilah resiliensi diformulasikan oleh Block (dalam Klohnen,1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Menurut Siebert (2005), resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan terbesar yang mengganggu dan berkelanjutan dengan mempertahankan kesehatan dan energi yang baik ketika berada dalam tekanan yang konsisten sehingga mampu bangkit kembali dari kemunduran. Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Resiliensi Menurut Wolin dan Wolin (1999), ada tujuh karakteristik utama

yang dimiliki oleh individu yang resilien. Karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu: a. Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. b. Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. c. Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat. d. Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal tidak dapat diubah. e. Kreativitas

Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat mengahadapi kesulitan. f. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. g. Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain yang membutuhkan.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Individu Menjadi Resilien Grotberg (1994), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am untuk dukungan

eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu. a. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian yaitu, bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic,yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am. 1) Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 2) Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap

dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi. 3) Mencintai, empati, altruistic; ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan. 4) Mandiri dan bertanggung jawab; Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan

mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. b. I Have Faktor I Have merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumbersumbernya adalah memberi semangat agar mandiri, dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis. Struktur dan aturan rumah, setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian. Role Models juga merupakan sumber dari faktor I Have yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya. Sumber yang terakhir adalah mempunyai hubungan. Orang-orang terdekat dari individu seperti suami, anak, orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka. c. I Can Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan

rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk memukul, kabur, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. Mencari hubungan yang dapat dipercaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. Sumber yang lain adalah keterampilan berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.

Bagian yang terakhir adalah kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan. PENGERTIAN SINGLE MOTHER Menurut Perlmutter dan Hall (1992), ada beberapa sebab mengapa seseorang sampai menjadi single mother, yaitu karena kematian suami atau, perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa nikah. 1. Masalah-Masalah yang Dihadapi Single mother Hurlock (1983), menjelaskan bahwa menjadi wanita yang menjadi single mother akan dihadapkan pada masalah-masalah seperti: a. Masalah ekonomi Bagi beberapa individu mempunyai situasi keuangan yang lebih baik ketika menjadi janda mereka tidak perlu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dirinya maupun anakanak, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami masalah ekonomi dimana mereka mendapat pendapatan yang kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dibandingkan saat mereka memiliki suami, dan apabila mereka tidak mempunyai ketrampilan yang memadai untuk

menunjang mereka bekerja maka mereka akan sulit mendapat pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya yang masih kecil, kecuali jika mereka menerima tunjangan dari mantan suaminya. b. Masalah sosial Bagi wanita yang diceraikan, masalah sosial lebih sulit diatasi dari pada pria yang menjadi duda. Wanita yang diceraikan bukan hanya dikucilkan dari kegiatan sosial tetapi bisa lebih buruk lagi, mereka seringkali kehilangan teman lamanya atau orang disekitarnya. Menurut Goode (dalam Hurlock, 1983) masalah sosial yang dihadapi oleh seorang janda dikarenakan wanita yang diceraikan kerapkali menjadi kutukan bagi pasangan lain karena banyak dari para istri yang curiga atau salah menafsirkan sikap dari para janda terhadap suaminya. c. Masalah keluarga Apabila mempunyai anak, maka seorang janda harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu dan harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan d. Masalah praktis Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah tebiasa dibantu oleh suami dalam mengatasi masalah praktis seperti membetulkan peralatan rumah tangga, memangkas rumput dan sebaginya menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihadapi oleh seorang janda, terkecuali jika mereka memiliki anak yang dapat

membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut atau memang ia memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi. e. Masalah seksual Karena keinginan seksual yang tidak terpenuhi, beberapa janda mencoba mengatasi masalah kebutuhan seksual ini dengan melakukan hubungan gelap dengan pria bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa menikah atau dengan menikah lagi atau sebagian lagi tetap tenggelam dalam perasaan frustasi atau melakukan masturbasi. f. Masalah tempat tinggal Dimana seorang janda harus tinggal, biasanya tergantung pada dua kondisi. Pertama status ekonominya dan kedua apakah ia memiliki seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Kebanyakan dari mereka harus terpaksa merelakan rumahnya karena kondisi ekonominya. Sehingga dalam dalam kasus ini mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil atau tinggal dengan orang tua dan anak yang sudah menikah. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran menyeluruh tentang penghayatan subjek single mother terhadap kemampuan resiliensi yang dimilikinya pasca perceraian. Maka metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam. Subjek penelitian ini adalah dua orang single mother yang telah mengalami perceraian lebih dari 1 tahun. Adapun cara untuk

menganalisis hasilnya adalah dengan melakukan analisa intra kasus dan analisa antar kasus. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kedua subjek memiliki masalah pasca perceraiannya namun kedua subjek memiliki kemampuan resiliensi yang baik sehingga kedua subjek mampu bertahan dan bangkit kembali pasca perceraiannya. Berikut ini adalah hasil dan pembahasan dari masing-masing subjek. 1. Masalah yang Dihadapi oleh Single mother Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kedua subjek mengalami masalah-masalah pasca perceraian seperti masalah keuangan, masalah sosial, masalah keluarga, masalah praktis, dan masalah tempat tinggal. Namun tidak semua masalah dalam perceraian dialami sama oleh kedua subjek. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing masalah yang dihadapi oleh kedua single mother: a. Masalah keuangan Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama mengalami masalah keuangan setelah perceraian mereka. Pada subjek 1, masalah keuangan yang dihadapinya dikarenakan subjek tidak memiliki pengalaman dalam bekerja selama subjek menikah sehingga setelah bercerai subjek harus hidup paspasan dengan anaknya sebab tunjangan dari mantan suami dan penghasilan yang subjek terima

sebagai guru private bahasa Inggris tidak cukup besar. Pada subjek ke 2, setelah bercerai dengan suaminya, subjek mengalami sedikit masalah keuangan, namun subjek tidak terlalu memikirkannya walaupun subjek merasa kekurangan sebab subjek sudah memikirkan akan mengalami masalah ini saat subjek memutuskan untuk bercerai b. Masalah sosial Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama memiliki masalah sosial dimana kedua subjek mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari lingkungan sekitar. Pada subjek 1, subjek kerap digosipkan dan dianggap akan mengganggu suami para tetangganya sehingga subjek pun juga merasa risih dengan perlakuan yang diterimanya.pada subjek ke 2, subjek mendapat masalah sosial berupa gunjingan dari tetangganya namun subjek menganggap gunjingan tersebut hal yang biasa. c. Masalah keluarga Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa pada Subjek 1 mengalami masalah keluarga dimana Subjek 1 terkadang merasa lelah karena harus bekerja dan mengurus anakanaknya seorang diri. Selain itu subjek 1 juga mengalami sedikit masalah dalam pengasuhan dan

perkembangan anak-anaknya saat menjadi single mother. Namun hal ini berbeda dengan Subjek 2, Subjek 2 tidak mengalami kendala yang besar dalam keluarga karena Subjek2 telah siap menerima segala sesuatu saat memutuskan untuk bercerai. Sehingga Subjek2 dapat santai jika mendapat suatu masalah. d. Masalah praktis Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama tidak memiliki masalah praktis. Subjek 1 tidak mengalami masalah praktis dimana Subjek 1 tidak mengalami masalah dalam mengerjakan pekerjaan dalam rumah tangga sekalipun pekerjaan tersebut identik dengan pekerjaan laki-laki seperti membetulkan genteng atau sebagainya. Namun tidak demikian dengan Subjek 2, terkadang Subjek 2 mengalami masalah dalam melakukan pekerjaan rumah tangga seorang diri, hal ini disebabkan karena Subjek harus bekerja mencari nafkah. e. Masalah seksual Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama tidak memiliki masalah seksual setelah mereka menjadi seorang single mother. Subjek 1 tidak mengalami masalah seksual karena Subjek 1 sadar bahwa Subjek 1 sudah tidak memiliki suami dan tidak memungkinkan untuknya melakukan hubungan

seksual dengan orang lain yang bukan suaminya. Namun Subjek 1 tetap membuka diri dan tidak takut untuk mencari pasangan kembali. Demikian pula dengan subjek 2, Subjek 2 tidak memiliki masalah seksual terlebih untuk melakukan hubungan intim karena Subjek 2 memiliki kesadaran atas statusnya yang tidak mungkin melakukan hubungan tersebut. Subjek 2 pun tidak pernah berusaha untuk mendapatkan apa yang tidak mungkin Subjek 2 dapatkan. Selain itu Subjek 2 juga tidak ingin memikirkan untuk memiliki kekasih karena menurutnya masih banyak yang harus Subjek 2 pikirkan selain masalah seksual f. Masalah tempat tinggal Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama memiliki masalah tempat tinggal pasca perceraian mereka. Subjek 1 mengalami masalah tempat tinggal saat Subjek 1 baru bercerai, sehingga Subjek 1 sempat bingung harus tinggal dimana karena tidak memungkinkan untuk Subjek 1 tinggal di rumah orang tua yang sempit. Sehingga Subjek 1 berusaha untuk mengontrak rumah kecil agar anak-anaknya bisa tinggal dan tidak kehujanan maupun kepanasan. Demikian pula dengan Subjek 2 yang mengalami sedikit masalah tempat tinggal saat Subjek 2 baru bercerai karena Subjek 2 tidak memiliki rumah, sehingga Subjek 2 harus menumpang dirumah ibunya dan

setelah Subjek 2 memiliki uang dan sudah bisa berkumpul dengan anaknya Subjek 2 dapat membeli rumah sendiri. 2. Gambaran Resiliensi pada Single mother Pasca Perceraian Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki kemampuan resiliensi yang baik dilihat dari karakteristik resiliensi yang kedua subjek miliki. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing karakteristik resiliensi yang dimiliki oleh kedua subjek: a. Insight Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama memiliki kararakteristik insight. Subjek 1 memiliki karakteristik insight dimana subjek 1 dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, serta dapat beradaptasi dengan lingkungan sekalipun lingkungan tersebut masih baru dengan berusaha menjadi diri sendiri. Demikian juga dengan subjek 2 yang memiliki karakteristik insight, dimana subjek 2 juga mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya juga merasa dapat beradaptsi dengan lingkungan walaupun lingkungannya masih baru. b. Kemandirian Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek sama-sama memiliki karakteristik

kemandirian. Subjek 1 mampu memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan. Selain itu Subjek1 tidak terlalu tergantung pada orang lain selama Subjek 1 mampu, Subjek1 akan melakukannya segala sesuatu seorang diri. Subjek 1 juga mampu mengambil keputusan dengan cara mengetahui dahulu masalahnya apa lalu caranya pengatasiannya jika cara penyelesaianya cukup banyak maka Subjek 1 akan mencari cara yang paling ampuh, namun dampaknya juga sedikit sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Demikian pula dengan subjek 2 yang mampu memenuhi kebutuhan anak dan diri sendiri terlebih dengan keadaan ekonominya yang membaik. Subjek 2 juga tidak tergantung dengan orang lain dalam melakukan suatu pekerjaan karena Subjek 2 mau berusaha untuk mengerjakan pekerjaan tersebut sendiri, namun terkadang Subjek 2 juga membutuhkan orang lain saat Subjek 2 tidak dapat melakukan suatu pekerjaan. Selain itu Subjek 2 juga mampu mengambil keputusan dan tentunya keputusan yang Subjek ambil berdasarkan pertimbangan yang matang, Subjek juga melihat dahulu masalah apa yang dihadapi dan mendiskusikannya dengan orang-orang yang memahami masalah tersebut. c. Hubungan Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan

bahwa kedua subjek sama-sama memiliki karakteristik hubungan. Subjek 1 memiliki banyak teman dan cara Subjek 1 untuk memiliki banyak teman adalah dengan menjadi diri sendiri, tidak sombong dan tidak memilih-milih teman. Selain itu, Subjek 1 tidak mengalami kesulitan untuk memulai hubungan yang baru dan cara Subjek 1 untuk tidak mengalami kesulitan untuk memulai hubungan adalah dengan bersikap ramah pada orang lain dan tidak sombong. Subjek 1 juga dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain dan cara Subjek 1 untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain adalah dengan tulus, tidak pamrih dan mau membantu saat dibutuhkan orang lain. Sedangkan karakteristik hubungan yang dimiliki subjek 2 adalah subjek 2 memiliki banyak teman saat Subjek 2 membuka sanggar senam dan sekarang pun Subjek 2 masih memiliki beberapa teman. Subjek 2 juga tidak mengalami kesulitan untuk memulai hubungan yang baru dengan orang lain walaupun Subjek 2 juga merasa kaku dan sedikit jaim tetapi lama kelamaan hubungan baru tersebut juga semakin dekat. Selain itu Subjek 2 juga dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain dengan cara saling mempercayai dan tidak menghianati satu sama lain d. Inisiatif Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki

karakteristik inisiatif dimana subjek 1 memiliki keinginan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik dengan bekerja dan tidak mengulang kesalahannya, karena Subjek 1 tidak ingin terus terpuruk dan hidup pas-pasan. Subjek 1 juga ingin membuktikan bahwa Subjek 1 mampu membesarkan anak dengan baik tanpa kekurangan apapun. Selain itu Subjek 1 juga memiliki kemampuan untuk menemukan ide, konsep atau rancangan untuk menyelesaikan masalah, walaupaun tanpa disadari subjek juga tidak begitu tahu bagaimana subjek bisa menemukan ide, konsep aau rancangan untuk menyelesaikan masalah. Dan karena subjek ingin masalah yang dialaminya cepat selesai, maka Subjek 1 berfikir dan banyak membaca buku-buku serta belajar dari pengalaman orang lain. Sedangkan aspek inisiatif yang dimiliki oleh subjek 2 adalah Subjek 2 memiliki keinginan untuk mengubah hidupnya. Subjek2 juga memiliki keinginan untuk bertanggung jawab dalam masalah yang dihadapi, karena menurut Subjek 2 jika tidak mau bertanggung jawab atas masalah yang dihadapi maka masalah tersebut tidak akan selesai. Tidak hanya itu terkadang Subjek 2 juga mampu menemukan ide, konsep atau rancangan untuk menyelesaikan masalah dengan berfikir dan jika tidak dapat menemukannya Subjek 2 berusaha untuk meminta saran pada teman atau saudaranya. e. Kreatifitas

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki karakteristik kreatifitas, dimana Subjek 1 mampu mengembangkan daya imajinasinya untuk menghibur dirinya dalam mengahadapi kesulitan. Karena dengan begitu Subjek 1 dapat memikirkan hal-hal baik disetiap kesulitan yang dialami. Selain itu Subjek 1 juga mampu mempertimbangkan pilihan dan konsekuensi dari setiap peristiwa dan membuat keputusan yang benar dan untuk itu Subjek 1 juga banyak bediskusi dengan orang lain dan mencoba untuk mempertimbangkan setiap pilihan-pilihan yang ada sedangkan pada subjek 2, Subjek 2 mampu mengembangkan daya imajinasinya untuk menghibur dirinya dalam mengahadapi kesulitan dan biasanya Subjek 2 pergi jalan-jalan, makan atau shoping untuk menghibur dirinya san membuatnya tidak terlalu merasa tertekan saat menalami suatu masalah. Subjek 2 juga mampu mempertimbangkan pilihan dan konsekuensi dari setiap peristiwa dan membuat keputusan yang benar karena untuk Subjek 2 hidup adalah pilihan saat Subjek 2 dihadapkan pada sesuatu maka Subjek 2 mempunyai pilihan-pilihan dan konsekuensi yang nantinya akan Subjek 2 hadapi. Selain itu jika Subjek 2 sudah mengambil keputusan yang menurutnya benar maka Subjek 2 juga harus

menerima konsekuensi dari keputusan yang dipilihnya. f. Humor Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki karakteristik humor, dimana subjek 1 dapat tersenyum atau tidak menangis jika menghadapi masalah dan saat teringat masalahnya. Selain itu Subjek 1 juga mencoba untuk melihat sisi terang dari kehidupan dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Karena menurut Subjek 1 untuk apa bersedih karena hidup harus terus berjalan dan juga Allah memberikan cobaan untuk membuatnya menjadi lebih baik lagi. Demikian juga dengan subjek 2 dimana subjek 2 tidak selalu menangis jika memiliki masalah dan berusaha untuk membuatnya menjadi santai serta membuat masa sulit terasa lebih ringan. Tidak hanya itu Subjek 2 juga mampu melihat sisi terang dari kehidupan dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun dan terkadang Subjek 2 juga tidak terlalu memusingkan masalah yang datang serta mengambil hikmah dari masalah tersebut g. Moralitas Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki karakteristik moralitas, dimana subjek 1 mampu mengevaluasi masalah yang dihadapi, dengan

cara mengetahui latar belakang dari masalahnya terlebih dahulu kemudian baru mengevaluasi apakah masalah yang hadapinya membawa dampak yang besar atau kecil setelah itu Subjek 1 juga tidak lupa mengambil hikmah dari setiap masalah yang datang. Subjek 1 juga mengetahui hal yang benar dan salah, dan cara Subjek 1 untuk mengetahui hal yang benar atau salah melalui norma atau jika Subjek 1 merasa bingung maka subjek 1 mencoba mengikuti kata hatinya. Tidak hanya itu terkadang Subjek 1 juga tidak mudah terpengaruh oleh orang lain dan tidak takut dengan penilaian orang lain dalam membuat dan mengambil keputusan karena menurutnya tidak semua penilaian orang lain adalah benar sehingga Subjek 1 tidak terlalu mudah percaya dengan penilaian orang lain. Demikian juga dengan subjek 2 dimana subjek 2 mampu mengevaluasi hal atau masalah yang dihadapi dengan melihat bagaimana masalah itu dapat muncul, setelah itu Subjek 2 akan mencari pemecahan masalah tersebut dan berusaha menjaga supaya masalah yang terjadi tidak terulang kembali. Selain itu Subjek 2 juga mampu mengetahui hal yang benar dan salah dengan mempelajarinya, saat Subjek 2 melakukan hal yang benar maka efek yang dapat akan bagus dan jika Subjek 2 melakukan hal yang salah maka efek yang dapatkan akan jelek pula. Tidak hanya itu Subjek2 juga tidak mudah terpengaruh oleh orang lain dan tidak takut dengan penilaian orang

lain dalam membuat dan mengambil keputusan karena Subjek 2 merasa yakin bahwa apa yang ambilnya adalah benar

3. Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Resiliensi Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki faktor-faktor yang memperaruhi pencapaian resiliensi seperti I Am (faktor yang berasal dari dalam diri), faktor I Have (faktor yang berasal dari dukungan eksternal), dan faktor I Can (faktor yang berasal dari kemampuan interpersonal) dimana faktor-faktor ini membantu subjek untuk menjadi resilien. Berikut ini merupakan penjelasan dari faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi dari kedua subjek : a. I Have Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki faktor I Have, dimana subjek 1 memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan melalui asuransi atau jasa keamanan. Selain itu subjek juga percaya bahwa Allah selalu menjaganya. Subjek 1 juga memiliki aturan dalam rumahnya serta Subjek 1 memiliki seseorang yang dapat menjadi panutan baginya yaitu ibunya. Demikian pula dengan subjek 2, subjek 2 juga memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan dengan mengikuti askes atau asuransi, memiliki aturan dalam rumahnya dan Subjek 2 memiliki seseorang yang dapat

menjadi panutan bagi Subjek yaitu ibu subjek b. I Am Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki faktor I Am, dimana Subjek 1 memiliki kebanggaan akan dirinya sendiri dan apa yang telah lakukan karena dapat bertahan dan mampu menjadi ayah dan ibu sekaligus untuk anak-anaknya. Selain itu Subjek1 juga memiliki orang-orang yang mencintai dan menyayanginya seperti anak-anak, orang tua, saudara dan teman-teman. memiliki kepercayaan diri, selalu menjalankan ibadahnya baik sholat lima waktu, mengaji, dan bayar zakat tidak hanya itu Subjek1 juga mampu mencintai orang lain, mampu berempati pada orang lain, mau menolong orang lain tanpa pamrih serta mampu melakukan keinginan dan bertanggung jawab menerima konskuensi atas apa yang dilakukan. Sedangkan subjek 2 telah merasa cukup bangga akan diri sendiri dan apa yang telah lakukannya, Subjek 2 juga mempunyai orang yang mencintai dan menyayanginya, tidak hanya itu subjek 2 juga berusaha untuk rajin sembahyang dan berdoa kepada Tuhan, subjek 2 juga dapat mencintai orang lain seperti anak, orang tua, saudara dan teman-teman, mampu berempati pada orang lain, dapat berempati dengan orang lain, dapat dan mau membantu orang lain dengan memenuhi bantuan yang orang lain inginkan. Selain itu Subjek 2 mampu melakukan keinginan dan bertanggung jawab dengan menerima konskuensi atas apa yang lakukannya

c. I Can Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada kedua subjek dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memiliki faktor I Can, dimana Subjek1 memiliki kemampuan untuk mengenali emosi dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku, Subjek 1 tidak memukul orang lain dan tidak merusak barang-barang saat sedang marah, Subjek 1 memiliki orang yang dapat dipercaya seperti anak, orang tua, dan saudara, Subjek 1 juga mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain. Selain itu Subjek 1 mampu memahami temperamen Subjek sendiri dan mampu memahami temperamen orang-orang terdekatnya. Dengan cara mengahafalkan satu persatu temperament orang terdekatnya sehingga Subjek dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dan Subjek 1 juga mampu menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Sedangkan pada subjek 2, subjek 2 mampu mengenali emosi dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku. Subjek 2 tidak memukul orang atau merusak barang saat sedang kesal atau marah, memiliki orang yang dapat dipercaya misalnya anak dan pegawai. Subjek 2 juga mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dengan membicarakan apa yang ada di

fikiran dengan orang lain dan menunjukan apa yang dirasakan. Subjek 2 juga mau dan mampu mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain. Selain itu subjek 2 juga dapat memahami temperamentnya sendiri dan temperament orang lain seperti orang terdekat karena sudah mengenal mereka sehingga mudah baginya untuk mengenali temperament mereka dan subjek 2 juga mampu menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang butuhkan dari orang lain Pada penelitian ini juga terdapat faktor lain yang secara tersirat dapat mempengaruhi pencapaian resiliensi pada single mother pasca perceraiannya. Faktor yang dimaksud adalah faktor jumlah dan usia anak yang dimiliki setiap pasangan yang bercerai, faktor agama dan faktor status sosial. 1. Faktor jumlah dan usia anak Jumlah anak dan usia anak saat kedua subjek bercerai juga memungkinkan dapat mempengaruhi pencapaian resiliensi. Subjek pertama memiliki dua orang anak dan saat subjek bercerai usia dari anakanak subjek juga masih sangat kecil sehingga subjek harus berusaha lebih resilien dalam mengasuh kedua anaknya. Sedangkan subjek kedua hanya memiliki satu orang anak walaupun begitu usia anak subjek pada saat itu juga masih kecil sehingga subjek juga harus berusaha menjadi ayah dan ibu sekaligus bagi anaknya.

2. Faktor agama Peneliti beranggapan bahwa munculnya faktor ini pada resiliensi subjek di sebabkan oleh keyakinan yang sangat kuat terhadap ajaran agama yang dimiliki oleh kedua subjek. Subjek pertama menganut agama islam yang taat, demikian juga dengan subjek kedua yang menganut agama budha yang taat sehingga subjek menjadikan agamanya sebagai landasan dalam menjalani aspek kehidupan termasuk perceraian yang membuat kedua subjek mampu untuk bangkit dan bertahan dalam menghadapi masalah yang muncul pasca perceraiannya. 3. Faktor status sosial ekonomi Faktor ketiga adalah status sosial ekonomi. Dimana subjek pertama memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik setelah perceraiannya dibandingkan dengan subjek kedua. Setelah bercerai subjek pertama masih mendapatkan tunjangan dari mantan suaminya untuk kebutuhan anak dan diri subjek, walaupun pada akhirnya subjek juga harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Setelah subjek kedua bercerai, subjek tidak mendapatkan tunjangan maupun harta dari mantan suaminya sehingga subjek harus lebih berusaha untuk mendapatkan penghasilan untuk anak dan diri subjek sendiri. 4.Faktor lamanya waktu perceraian yang dilalui Lamanya perceraian yang dialami subjek membuat subjek menjadi lebih resilien. Hal ini terlihat pada subjek pertama telah melalui masa

perceraian selama 7 tahun dan subjek kedua telah melalui masa perceraianya selama 15 tahun sehingga subjek kedua telah mampu lebih resilien dan mampu untuk menyembuhkan luka serta terbiasa mengatasi masalah yang muncul pasca perceraianya

PENUTUP Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum resiliensi membantu para single mother yang bercerai berhasil bangkit kembali dan bertahan dalam menghadapi cobaan yang dialaminya. Dengan kemampuan resiliensi para single mother juga dapat mengatasi masalah-masalah baik yang ditimbul pasca perceraiannya maupun masalah-masalah yang dihadapi seharihari. Selain itu para single mother juga dapat menjadi ibu dan individu yang berguna baik untuk dirinya maupun untuk orang lain DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, R. R. (2008). Resiliensi pada penyandang tuna daksa pasca kecelakaan. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Universitas Gunadarma. Banaag, C. G. (2002). Resiliency, street children, and substance abuse prevention. http://bimbingankonseling.com/2 008/04/resiliensi.htm

Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta: Universitas Gunadarma. Berns, R. M.(1997). Child, family, school, community :

Socialization and support. (4th ed). Forth Worh : Harcourt Brace. Carter, B. M. S. W & McGoldrick, M. S. W. (1989). The changing family life cycle: a frame work for family therapy. Boston: Allyn and Bacon. Candra, S. (2009). Resiliensi. http://rumahbelajarpsikologi.com /index.php/resilien

Davidson, R. (2008). More Than “Just coping” : The antecedents & dynamics of resilience in a qualitative longitusinal study. Journal of family psychology, volume 22, (1-4) Desmita.

(2005). Psikologi perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Dwiyani, V. (2009). Jika aku harus mengasuh anakku seorang diri. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Ellison, S. (2003). The encourage to be a single mother moms are most velnerable to terror threat. Florida: Institude for social reserach Fisher, E. O. (1974) Divorce : The new freedom : a guide to divorcing and divorce counceling. New York : Haper and Row Publisher. Grotberg. (1994). A guide to promoting resilience in children : Strengthening the human spirit. Denhaag: Benard Van Leer Fondation.

Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Hurlock, E. B. (1983). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima). Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Perlmutter, M & Hall, E. (1992). Adult development and aging. New York: John Willey & Sons.

Isacsoon, B. (2002). Characteristic and enchancement of resiliency in young children (pdf version). University of Winconsin-Stout. http://rumahbelajarpsikologi.com /2008/02/resiliency.htm

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Penelitian Psikologi Universitas Indonesia.

Kauffman, J. M & Hallahan, D. P. (2006). Exceptional learners : an introduction to special education (10th ed). Boston : Allya and Bacon.

Revich, K & Chatte, A. (2002). The resilience factor : 7 essential skill for overcoming life’s inevitable abstacle. New York: Random House inc.

Klohnen, E.C. (1996). Conseptual analysis and measurement of the construct of ego resilience. Journal of personality and social psychology, volume 70 no. 5, (1067-1079) Koerner, S. S. (2004). Sensitive motherto-adolecent disclosure after divorce: is the experience of sons different from that of daughters?. Journal of personality and social psychology, volume 18 no 1, (4657) Lieslie, G. R & Korman, S. K. (1985). The family in social context. 6th ed. New York: Oxford University Press. Marshall, C & Rossman, G. (1995). Designing qualitative research. California: Sage Publications Inc.

Siebert, A. (2005). The resiliency advantages. San Fransisco: Berret-Koehler Publisher inc. Spanier, G. B & Thompson, L. (1984). Parenting : The aftermath of separation and divorce. London: Sage Publications. Strong, B & DeVault, C. (1995). The marriage and family experience. Minneapolis: West Publishing Company. Tugade, M. M & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient individuals use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of personality and social psychology, volume 24 no.2, (320-333)

Ubaydillah, A.N. (2008). Apakah anda resisten atau resilien. http://www.epsikologi.com/epsi/industri_detail. as

Walsh, F. (2006). Strengthening family resilience, 2nd edition. New York: Guilford press Wolin, S & Wolin, S. (1999). Project resilience. http://projectresilience.com/2008 /11/resasbahavior.htm

http://www.arifjulianto.wordpress.com/2 008/06/05/tingkat_perceraian

http://www.Berita.Liputan6.com/percera ian.htm