JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Download 2 Des 2011 ... Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari ... Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah C...

2 downloads 775 Views 3MB Size
ISSN 1410 – 9565 Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 14 Nomor 2 Desember 2011

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

J. Tek. Peng. Lim.

Vol. 14

No. 2

Hal. 1-86

Jakarta Desember 2011

ISSN 1410-9565

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN) Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN) Editor Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah) Dr. Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Drs. Gunandjar SU. (PTLR BATAN) Mitra Bestari Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo) Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, A.Md. Adi Wijayanto, A.Md. Penerbit Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927 e-mail : [email protected]

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN) Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN) Editor Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah) Dr. Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Drs. Gunandjar SU. (PTLR BATAN) Mitra Bestari Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo) Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, A.Md. Adi Wijayanto, A.Md. Penerbit Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927 e-mail : [email protected]

i

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 2 Desember 2011

Pengantar Redaksi Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 14 Nomor 2, Desember 2011. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan. Pada penerbitan nomor terakhir di Tahun 2011 kembali disajikan makalah-makalah hasil penelitian dan pengembangan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasidekomisioning, keselamatan lingkungandan radioekologi kelautan. Semoga penerbitan jurnal ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah di masa yang akan datang, amien. Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam mengisi artikel demi kelangsungan jurnal ini. Jakarta, Desember 2011

ii

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 2 Desember 2011

Daftar Isi Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc (1-13) Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif (14-30) Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid:: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin (31-42) Budi Setiawan: Penentuan Kd Radionuklida Acuan Cs-137 oleh Tanah Lokasi SP-4 di Kawasan Nuklir Serpong (43-49) Budi Setiawan, Heru Sriwahyuni, Nurul Efri Ekaningrum, Teddy Sumantry: Sorpsi Radiocesium pada Bentonit Asal Cirangga-Bogor: Pengaruh Waktu Kontak, Konsentrasi Cs dan Kekuatan Ionik Larutan (50-55) Heny Suseno, Sumi Hudyono PWS: Respon Enzim Antioksidan Pada Bioakumulasi Senyawaan Merkuri Pada Oreochromiss mossambicus (56-61) E.Lubis, Nurokhim, Agus Gindo S.: Perkiraan Penerimaan Dosis Radiasi dari Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: Dosis Radiasi Penduduk dari Pelepasan Efluen Cair ke Laut Pesisir Pulau Bangka (62-69) Akhmad Khusyairi: Kajian Sistem Kedaruratan Nuklir Irlandia (70-76) Nanang Triagung Edi Hermawan: Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif (77-86)

iii

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Pedoman Penulisan Naskah Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun. Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman, 3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan. 4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi. 5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic. 6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya: i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar) 8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],... 9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi: [2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990). Artikel dari jurnal : [3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992) Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000). 10. 11. 12. 13.

iv

Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS Word.

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DARI INDUSTRI: IMOBILISASI LIMBAH SLUDGE RADIOAKTIF DARI DEKOMISIONING FASILITAS PEMURNIAN ASAM FOSFAT MENGGUNAKAN BAHAN MATRIKS SYNROC Gunandjar Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 ABSTRAK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF DARI INDUSTRI: IMOBILISASI LIMBAH SLUDGE RADIOAKTIF DARI DEKOMISIONING FASILITAS PEMURNIAN ASAM FOSFAT MENGGUNAKAN BAHAN MATRIKS SYNROC. Kegiatan dekomisioning fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Petrokimia Gresik (PAF-PKG) menimbulkan limbah radioaktif cair organik yang mengandung uranium, pelarut organik, dan air. Limbah tersebut diolah dengan proses biooksidasi untuk reduksi volume. Hasil pengolahan tersebut berupa sludge radioaktif yang beraktivitas alfa pada nilai 0,4 ≤ α ≤ 40,2 kBq/liter, beta pada harga 1173 ≤ β ≤ 4100 Bq/liter dan kadar padatan total 40-50 % berat. Sludge tersebut mengandung uranium, termasuk dalam klasifikasi limbah alfa umur panjang yang harus diimobilisasi melalui proses pemadatan. Pada makalah ini dilakukan pengkajian penggunaan synroc sebagai alternatif matriks untuk solidifikasi limbah sludge radioaktif dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG.. Synroc adalah bentuk kristalin padat yang tersusun dari gabungan fase-fase titanat yang stabil dan dipilih karena kestabilan geokimia dan kemampuan kolektif untuk imobilisasi semua unsur radioaktif dalam limbah radioaktif. Uji pelindihan Synroc limbah menunjukkan bahwa laju pelindihan sangat rendah, untuk unsur-unsur valensi satu dan valensi dua (Cs, Ca, Sr, Ba) dalam synroc adalah 1.5x10-3 – 4,0x10-4 g.m-2.hari-1 yaitu sekitar 500 sampai 2000 kali lebih kecil dari pada tipe gelas borosilikat untuk imobilisasi limbah radioaktif. Laju pelindihan untuk unsur-unsur multivalent seperti Nd, Zr, Ti, dan U dari synroc limbah adalah 2,5x10-5 – 5,0x10-6 g.m-2.hari-1 yaitu sekitar 10.000 kali lebih kecil daripada dari gelas borosilikat limbah. Hasil pengujian ini dapat disimpulkan bahwa laju pelindihan unsur-unsur dalam synroc limbah berhasil baik untuk imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi dan sangat baik terutama untuk imobilisasi unsur-unsur aktinida pemancar alfa umur panjang, sehingga sangat baik untuk imobilisasi limbah slude radioaktif dari dekomisioning fasiltas PAF-PKG yang mengandung uranium. Kata kunci:

Imobilisasi limbah sludge radioaktif, limbah alfa umur panjang, synroc.

ABSTRACT TECHNOLOGY DEVELOPMENT OF RADIOACTIVE WASTE TREATMENT FROM INDUSTRY : THE IMMOBILIZATION OF RADIOACTIVE SLUDGE WASTE ARISING FROM DECOMMISIONING OF PHOSPHORIC ACID PURIFICATION FACILITY USING MATRIX MATERIAL OF SYNROC. The decommissioning of Phosphoric Acid Purification - Petrokimia Gresik (PAP-PKG) facility generates organic radioactive liquid waste containing uranium, organic solvent, and water. The waste was treated by bio-oxidation process for volume reduction. The process result was radioactive sludge having the activities of alpha 0,4 ≤ α ≤ 40,2 kBq/liter, and beta 1173 ≤ β ≤ 4100 Bq/liter, and total suspended solid of 40-50 % weight. The sludge contains uranium including long-live alpha waste classification, must be immobilized by solidification process. In this paper, assessment for solidification of the active slude waste from PAP-PKG facility using matrix material of synroc was carried-out. Synroc is a solid crystalline form comprising a stable assemblage of titanate phases chosen for their geochemical stability and collective ability to immobilize all the radioactive elements present in radioactive waste. Testing of the wasteform synroc shown that the leach-rates for univalent and divalent elements (Cs, Ca, Sr, Ba) in synroc are 1.5x10-3 – 4,0x10-4 g.m-2.day-1 about 500 to 2000 times smaller than from a typical borosilicate glass proposed for radioactive waste immobilization. Leach-rates for multivalent elements (Nd, Zr, Ti, U) from synroc are 2,5x10-5 – 5,0x10-6 g.m-2.day-1 about 10.000 times smaller than from borosilicate glass. The testing results can be concluded that the leach-rates of synroc wasteforms should succeed for high liquid level waste and particularly very well for immobilization of the long-lived alpha-emitter of actinide elements, so that it is the best for immobilization for the radioactive sludge waste from decommissioning PAP-PKG facility containing of uranium. Keywords:

immobilization of radioactive sludge waste, long life alpha waste, synroc.

1

Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc

PENDAHULUAN Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat -Petrokimia Gresik (PAF-PKG) dihentikan operasinya sejak 12 Agustus 1989, selanjutnya dilakukan dekomisioning dengan izin dari BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) yang tertuang dalam Surat Izin Dekomisioning No. 286/ID/DPI/ 14-X/2004 [1] tanggal 14 Oktober 2004 yang berlaku selama 5 tahun sampai dengan 13 Oktober 2009 . Kegiatan dekomisioning fasilitas PAF-PKG menimbulkan limbah radioaktif cair organik yang mengandung uranium, campuran pelarut (solven) D2EHPA [di(2-ethyl hexyl phosphoric acid] (C16H35O4P0), TOPO (triocthylphosphine oxide) (C24H51OP), dan kerosen (pada rasio 4:1:16) serta 3 air (rasio pelarut terhadap air 1:3), yang mempunyai volume 371 m , pH 3,48, Chemical Oxygen Demand (COD) 31.500 ppm, dan Biologycal Oxygen Demand (BOD) 2.200 ppm, serta aktivitas alfa (α) dan beta (β) berturut-turut 1200 dan 2600 Bq/liter, ditampung dalam bak penampung berukuran 3 14x15x3 m di lokasi fasilitas PAF-PKG. Limbah tersebut merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang radioaktif mengandung radionuklida uranium (U-238) dan 14 anak luruhnya yaitu U-234, Th,234, Th-230, Pa-234, Ra-226, Rn-222, Po-218, Po-214, Po-210, Bi-214, Bi-210, Pb-214, [2] Pb-210, dan Pb-206 . Uranium dan beberapa anak luruhnya merupakan radionuklida pemancar alfa sebagaimana sifat partikel alfa yang mempunyai daya rusak besar maka jika masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan kerusakan pada jaringan biologis. Disamping mempunyai daya rusak terhadap jaringan biologis anak luruh U-238 seperti U-234, Th-234, Th-230,Ra-226, Po-210, dan [2,3] Pb-210 mempunyai sifat radiotoksisitas yang sangat tinggi . Guna menghindari resiko pencemaran lingkungan, limbah tersebut telah diolah dengan proses biooksidasi (oksidasi biokimia) untuk menurunkan nilai COD, BOD dan pH serta radioaktivitasnya menjadi nilai yang memenuhi [4] baku mutu limbah cair industri pada nilai COD ≤ 100 ppm, BOD ≤ 50 ppm, dan pH 5-9 , serta baku [5] mutu tingkat radioaktivitas di lingkungan untuk uranium dalam air sebesar 1000 Bq/liter . Proses biooksidasi dilakukan setelah penetralan larutan dengan NaOH, digunakan campuran bakteri aerob yang digunakan meliputi bacillus sp, aeromonas sp, pseudomonas sp, dan arthobacter sp. Pengolahan limbah dengan proses biooksidasi diperoleh sludge (lumpur) radioaktif dan beningan. Beningan yang dihasilkan telah memenuhi baku mutu dengan nilai COD dan BOD berturut-turut sebesar 51 ppm dan 22 ppm, dan aktivitas < 1000 Bq/liter. Hasil sludge merupakan limbah radioaktif beraktivitas alfa pada harga 0,4 - 40,2 Bq/liter, dan beta pada nilai 1173 - 4100 [1] Bq/liter, kadar padatan total 40-50 % berat . Limbah sludge radioaktif tersebut harus diisolasi guna melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak radiasi. Isolasi limbah radioaktif dilakukan dengan cara imobilisasi melalui proses solidifikasi (pemadatan) limbah dengan suatu bahan matriks, sehingga diperoleh blok hasil solidifikasi dimana limbah radioaktifnya terkungkung dan terisolasi di dalamnya. Bahan matriks yang biasa digunakan dalam proses solidifikasi limbah radioaktif antara lain semen, aspal (bitumen), plastik polimer, dan gelas. Pengembangan terakhir telah digunakan bahan matriks synroc. Pemilihan bahan matriks tersebut tergantung pada tinggi rendahnya aktivitas, panjang-pendeknya waktu paruh, dan sifat fisik dan kimia dari limbah. Limbah Sludge radioaktif dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG mengandung uranium dan anak luruhnya termasuk dalam kriteria limbah pemancar alfa berumur panjang aktivitas rendah atau sedang. Limbah ini dapat disolidifikasi menggunakan bahan matrik plastik polimer atau aspal. Pengembangan terakhir limbah jenis ini digunakan bahan matriks synroc. Dalam makalah ini dilakukan pengkajian penggunaan synroc sebagai alternatif matriks untuk solidifikasi limbah sludge radioaktif dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG. Synroc adalah bentuk kristalin padat yang tersusun dari gabungan fase-fase titanat yang stabil dan dipilih karena kestabilan geokimia dan kemampuan kolektif untuk imobilisasi semua unsur radioaktif dalam limbah radioaktif. TEORI Solidifikasi Limbah Radiokatif Solidifikasi limbah radioaktif merupakan proses imobilisasi yang bertujuan agar radionuklida terfiksasi, terkungkung, dan tertahan dalam rongga diantara kristal matriks bahan pemadat sehingga radionuklida tersebut tidak mudah lepas oleh rembesan air yang menembus ke dalam hasil solidifikasi dan radiasinya tertahan. Limbah radioaktif aktivitas rendah atau sedang 3 mengandung unsur radioaktif waktu paroh ≤ 30,17 tahun dan aktivitas maksimum 1 Ci/m biasanya diimobilisasi dengan matriks semen. Matriks semen yang merupakan campuran dari material semen, pasir, aditif, dan air bereaksi secara kimia dan mengeras, memberikan solidifikasi berupa

2

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

[6]

beton yang merupakan material komposit . Kualitas blok beton yang baik harus memenuhi standar [7] 3 IAEA (International Atomic Energy Agency) sebagai berikut : kerapatan 1,70 - 2,50 g/cm , kuat 2 tekan beton yang telah berumur 28 hari : 20 - 50 N/mm , dan laju pelindihan radionuklida -1 -4 2 terimobilisasi dalam beton : 1,7x10 - 2,5x10 g/cm .hari. Penggunaan bahan matriks untuk solidifikasi limbah radioaktif sesuai dengan jenis limbah, serta sistem penyimpanan akhir (sistem disposal) ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi limbah berdasar umur paroh radionuklidanya dan solidifikasi [7] serta tipe penyimpanan akhirnya .

No

Karakteristik yang ditinjau

1

Aktivitas awal radionuklida yang berwaktu paroh ≤ 30,17 tahun

Aktivitas awal radio- nuklida yang berwaktu paroh ratusan atau ribuan tahun. Radiasi utama yang dipancarkan

Limbah berumur pendek Rendah atau sedang, aktivitas-nya dapat diabaikan setelah 500 tahun. Nol atau sangat rendah, lebih kecil dari batas ambang yang ditetapkan. Beta-gamma (β-γ)

2

Radionuklida yang utama.

Sr-90(28,8 tahun), Cs-137(33 th), Co-60 (5 th), Fe-55(2,5 th).

3

Bahan Matriks untuk solidifikasi. Sistem penyimpanan akhir.

Semen , plastik (polimer) Penyimpanan tanah dangkal selama 300 tahun.

4

(bahan matriks)

Klasifikasi Limbah Berumur Panjang Limbah alfa Limbah akyivitas Tinggi Rendah atau Sangat tinggi, sedang, aktivitas dapat aktivitasnya dapat diabaikan setelah diabaikan setelah beberapa ratus 300 tahun. tahun. Rendah atau sedang,

Rendah atau sedang.

Alfa (α)

6

Np-237 (2x10 th), Pu-239 4 ( 2,4x10 th), 2 Am-241(4x10 th), dan Am 243 3 (8x10 th) Plastik (polimer), aspal (bitumen) Penyimpanan tanah dalam selama jutaan tahun.

Beta-gamma selama beberapa ratus tahun, kemudian setelah itu yang utama alfa. Co-60, Sr,90, Np-137, Pu-239, Am-241, dan Am-243.

Gelas (vitrifikasi). Penyimpanan tanah dalam selama jutaan tahun.

Bahan matriks plastik dipakai juga untuk solidifikasi limbah radioaktif berumur pendek aktivitas rendah dan sedang, disamping dapat pula untuk solidifikasi limbah radioaktif alfa berumur panjang. Selain plastik polimer, solidifikasi limbah alfa berumur panjang juga dapat digunakan bahan matriks aspal (bitumen). Bahan matrik gelas borosilikat dipakai untuk solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) umur panjang yang ditimbulkan dari proses olah-ulang bahan bakar nuklir bekas. Keempat jenis bahan matrik tersebut (semen, aspal, plastik polimer, dan gelas) telah digunakan secara komersial di negara-negara maju di bidang nuklir. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk limbah radioaktif pemancar alfa berumur panjang aktivitas rendah atau sedang (termasuk limbah sludge dari dekomosioning fasilitas PAF-PKG) dapat disolidifikasi menggunakan bahan matrik plastik polimer atau aspal. Pengembangan terakhir limbah jenis ini digunakan bahan matriks synroc.

3

Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc

Pengembangan Imobilisasi Limbah Dengan Bahan Matriks Synroc Pengembangan bahan matriks synroc pertama kali dikemukakan sebagai alternatif pengganti gelas borosilikat untuk imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT), dengan ide dasar memasukkan limbah hasil belah dan aktinida ke dalam kisi-kisi kristal mineral sintetis yang telah diketahui mempunyai umur yang sangat panjang (beberapa juta tahun) di alam. Sebagai ilustrasi ditemukan chemical zoning dari mineral zirconite alam dalam umur 40 juta tahun yang ditemukan di Adamello Itali Utara, kristal tersebut mengandung : 2,7 – 17,1 % berat ThO2 dan 0,7 – 6,0 % berat 16 UO2 dan telah dihitung dosis peluruhan adalah 0,2 – 1,0 x 10  /mg yang equivalen dengan 5 6 [8] umur suatu synroc yang disimpan selama 10 sampai 10 tahun . [9] Perkembangan selanjutnya pada tahun 1978, RINGWOOD menemukan synroc yang merupakan gabungan mineral titanat yang jauh lebih tahan terhadap air dibanding dengan gelas borosilikat. Proses imobilisasi limbah dalam synroc dilakukan dengan cara mencampurkan limbah hasil belah atau aktinida dalam larutan asam nitrat dengan prekursor oksida (precursor oxide), kemudian campuran tersebut dikeringkan, dikalsinasi dan dipres-panas dibawah kondisi reduksi 0 [10] pada suhu sekitar 1200 C untuk membentuk suatu keramik multi-fase yang padat . Komposisi prekursor oksida (dalam % berat) adalah : Al2O3 (5,4); BaO (5,6); CaO (11,0); TiO2 (71,4) dan ZrO2 (6,6). Pembentukan fase-fase utama mineral synroc terjadi pada suhu tinggi sekitar 1200 0 C dengan reaksi sebagai berikut : BaO + Al2O3 + 8 TiO2 --------> Ba(Al,Ti)2Ti6O16 + 2O2 (Hollandite) (1) CaO + ZrO2 + 2TiO2 -------> CaZrTi2O7 (Zirconolite) (2) CaO + TiO2 --------> CaTiO3 (Perovskite) (3) Pada pengembangan synroc terbentuk turunan fase utama dengan unsur-unsur yang terkandung dalam limbah, yaitu : pyrochlore (CaATi2O7, A = Gd, Hf, Pu, dan U) yang merupakan turunan zirconolite dengan penambahan unsur penyerap neutron (Hf dan Gd) untuk mencegah terjadinya kritikalitas, brannerite (AnTi2O6, An = aktinida), dan freudenbergite (Na2Fe2Ti6O16). Pembuatan synroc dengan prekursor slurry dapat meningkatkan tingkat muat sampai 30% berat [8,10] limbah . Fase-fase penyusun synroc dan radionuklida yang masuk ke dalam kisi-kisi berbagai fase mineral yang ada ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Fase-fase utama dan turunannya dalam mineral synroc-C (standar) dan radionuklida yang [8,9] masuk dalam kisi-kisi fase mineral . Fase mineral Hollandite, Zirconolite, Perovskite, a) Pyrochlore b) Brannerite Freudenbergite Titan Oksida Fase paduan

Rumus kimia

c)

Ba(Al,Ti)2Ti6O16 CaZrTi2O7 CaTiO3 CaATi2O7 An Ti2O6 Na2Fe2Ti6O16 Ti O2 Paduan Logam

Radionuklida dalam kisi fase mineral - Cs dan Rb. - Logam tanah jarang, Aktinida (An). - Sr, Logam tanah jarang, dan Aktinida (An) - Ca dan A (Gd, Hf, Pu, U) - Aktinida (An) - Na, Fe -

Tc, Pd, Rh, Ru, dll.

a)

Turunan zirconolite dengan penggantian Zr oleh A (Gd, Hf, Pu, U). Turunan perovskite dengan penggantian Ca oleh An (Aktinida). c) Turunan hollandite dengan penggantian Ba, (Al,Ti) oleh Na dan Fe. b)

Pengembangan selanjutnya dilakukan dengan modifikasi synroc-C menjadi beberapa turunan synroc, yaitu dengan mengubah komposisi synroc yang disesuaikan dengan kandungan radionuklida dalam limbah. Solidifikasi limbah yang mengandung aktinida, digunakan synroc kaya zirconolite (80 % berat zirconolite). Solidifikasi limbah U dan Pu digunakan synroc kaya pyrochlore. Solidifikasi limbah Tc, Cs, dan Sr hasil pemanasan LCAT digunakan synroc kaya fase hollandite / [9] perovskite . Pengembangan selanjutnya, synroc digunakan untuk solidifikasi limbah alfa umur panjang aktivitas rendah dan sedang.

4

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

METODOLOGI Metode pengkajian dilakukan dengan mempelajari dan melakukan analisis data dan informasi yang diperoleh dari berbagai studi pustaka dengan permasalahan imobilisasi limbah radioaktif. Pengkajian diawali dengan mempelajari proses solidifikasi limbah radioaktif yang telah dilakukan di negara maju di bidang nuklir, dan pengembangan imobilisasi limbah dengan bahan matriks synroc yang merupakan teknologi imobilisasi yang paling mutakhir yang dipilih untuk limbah radioaktif alfa umur panjang. Pengkajian kemudian difokuskan pada evaluasi data proses imobilisasi, laju pelindihan, dan pengaruh radiasi terhadap blok limbah hasil solidifikasi menggunakan bahan matriks synroc, serta perbandingannya dengan bahan matriks gelas borosilikat untuk LCAT, dan dengan matriks aspal atau plastik polimer untuk imobilisasi limbah radioaktif alfa umur panjang. Selanjutnya dilakukan pengkajian adaptasi teknologi imobilisasi dengan bahan matriks synroc untuk limbah sludge radioaktif yang ditimbulkan dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG yang merupakan limbah radioaktif alfa umur panjang yang mengandung uranium. Tempat dan waktu Pengkajian ini dilakukan di Pusat Tenologi Limbah Radioaktif –BATAN, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang, Banten pada tahun 2010, sebagai upaya untuk mempersiapkan proses pengolahan limbah sludge radioaktif alfa umur panjang yang mengandung uranium yang ditimbulkan dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Diagram alir proses pengolahan limbah cair radioaktif dengan synroc ditunjukkan pada Gambar 1. Prekursor non-radioaktif synroc dibuat di luar hot-cell menggunakan metode kimia yang [10] dikembangkan Dosch . Bahan ini mempunyai luas permukaan tinggi dan berfungsi sebagai media penukar ion jika dicampur dengan larutan limbah. Hasil slurry dikeringkan o pada 130 C dalam drum pengering berputar menjadi serbuk bebas alir, kemudian dimasukkan o sebagai moving bed ke dalam vertikal kiln dimana kalsinasi dilakukan pada 750 C dalam kontrol media reduksi dengan Ar-44 % H2. Serbuk yang tidak menguap dituang ke dalam wadah baja tahan karat dan dimasukkan 2 % logam Ti untuk mempermudah pengendalian proses redoks selama pres-panas. Wadah (container) kemudian divakumkan dan ditutup. Sedang unsur yang menguap seperti Cs akan diolah dengan sitem pengolahan gas buang. Campuran synroc dari serbuk prekursor dan limbah (~ 25 % densitas teoritis) dikonversi menjadi keramik monolit yang sangat o kompak dengan pres-panas pada 1150 – 1200 C, dan tekanan 500 – 1000 bar. Proses untuk tahap ini adalah pres-panas isostatik (hot isostatic pressing = HIP) yang digunakan secara luas pada skala komersial. Reduksi volume limbah yang besar menyertai langkah ini dan limbah hasil pres-panas (synroc monoliths ) dikumpulkan dalam canister, dan selanjutnya setelah canister besar penuh ditutup. Synroc monoliths dalam canister besar kemudian ditumpuk di dalam fasilitas penyimpanan lestari tanah dalam.

5

Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc

Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan limbah cair radioaktif dengan synroc

[11]

.

Daya tahan synroc limbah terhadap air Data hasil pengujian pelindihan (daya tahan synroc limbah terhadap air) dengan gelas borosilikat sebagai pembanding dapat dilihat pada Gambar 2, 3, dan 4. Pada Gambar 2 dan 3, tipe gelas borosilikat hasil imobilisasi LCAT (PNL 76-68) digunakan sebagai pembanding, menunjukkan laju pelindihan 17 unsur pada dasarnya tetap konstan pada periode waktu yang panjang, pada suhu o -2 -1 75 C harganya berkisar pada 0,2 – 1,0 g.m .hari . Sedang laju pelindihan untuk berbagai unsur dalam synroc menunjukkan suatu rentang harga yang lebar. Laju pelindihan dengan cepat turun dalam beberapa hari (10-30 hari) pertama, kemudian turun secara asymptotic menuju suatu harga minimum yang menunjukkan kurva yang hampir mendatar.

o

Gambar 2. Perbandingan perilaku pelindihan synroc + 9% limbah aktivitas tinggi (LAT) pada 95 C o [11,12] dan Gelas Borosilikat (PNL 76-68 borosilicate glass) pada 75 C dalam air murni .

6

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Gambar 3. Laju pelindihan Ba, Ca, Sr, Cs , U, Ti, Zr, dan Nd pada suhu 200 oC untuk synroc dengan tingkat muat LAT 9 dan 20 %berat [11,12]. Daya tahan synroc limbah terhadap air jauh lebih tinggi dibanding dengan gelas borosilikat limbah. Setelah 10-30 hari, pelindihan unsur-unsur valensi satu dan dua (Cs, Ca, Sr, dan Ba) dalam synroc adalah 500 sampai 2000 kali lebih kecil daripada gelas borosilikat. Sedang untuk laju pelindihan unsur-unsur multivalen seperti Nd, Zn, Ti dan U dalam synroc adalah sekitar 10.000 kali lebih kecil daripada dalam gelas borosilikat. Pada Gambar 3, laju pelindihan synroc limbah pada dasarnya konstan terhadap perubahan tingkat muat limbah dari 9 – 20 % berat LAT . Studi pelindihan mineral synroc alam dan synroc sintetis adalah relatif sama dengan data yang o terkandung pada Gambar 2 dan 3. Pada suhu yang lebih tinggi (300-800 C) synroc menunjukkan ketahanan pelindihan masih sangat baik, tetapi pada gelas borosilikat dengan cepat terjadi [11] kerusakan . Selain data penelitian tersebut di atas, ada beberapa data penelitian lain yang mempelajari laju pelindihan untuk studi daya tahan synroc terhadap fasa air dari berbagai jenis limbah. Data tersebut saling melengkapi dan saling memperkuat dan rangkumannya ditunjukkan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa laju pelindihan unsur-unsur dari synroc dengan berbagai jenis limbah sangat rendah dan tidak ada perbedaan yang signifikan, terutama pada kondisi steady state (yang dicapai pada waktu pelindihan ≥ 100 hari). Hal ini dapat dilihat bahwa laju pelindihan U (sebagai salah satu unsur aktinida) relatif sama dengan unsur aktinida Pu, Np, Am, dan Cm dari -5 -6 -2 -1 synroc limbah yang berbeda yaitu sekitar 10 -10 g.m .hari . Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa synroc mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap fase air dan lebih baik dari pada gelas borosilikat limbah. Hasil pengujian synroc limbah ini menunjukkan bahwa laju pelindihan synroc relatif sangat rendah dan dapat diterima, serta memenuhi nilai standar dari IAEA. Pelindihan unsur-unsur multivalen (seperti U atau aktinida yang lain dan Nd) sangat rendah daripada unsur-unsur valensi satu dan dua , oleh karena itu synroc limbah akan sangat baik untuk imobilisasi unsur-unsur aktinida pemancar alfa umur panjang.

7

Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc

Tabel 3. Rangkuman laju pelindihan unsur-unsur dalam berbagai jenis synroc limbah yang mengandung uranium, aktinida atau TRU pada air bebas ion dan waktu pengujiannya [11,13,14,15] .

Unsur yang terlindih Sr Ba Cs Ca Nd Ti Zr U Ba Cs Sr Ti U Np, Pu, Am,Cm. Pu, Gd Ti, Zr,Hf

Laju Pelindihan, -2 -1 (g.m .hari )

Media

Waktu pengujian

-3

1,5 x 10 -3 2,0 x 10 -4 8,5 x 10 -4 4,0 x 10 -5 9,0 x 10 -5 3,3 x 10 -5 2,5 x 10 -6 5,0 x 10 -2 2,0 x 10 -1 1,3 x 10 -1 1,3 x 10 -5 3,0 x 10 -5 9,0 x 10 -5 -6 10 - 10 -6

1x 10 Takterdeteksi

Air bebas ion, o 95 C

Air bebas ion, o 70 C

Air bebas ion, o 70 C Air bebas ion, o 70 C

100

7

hari

hari

1000 hari Jangka waktu panjang lebih dari 1 tahun

Jenis synroc limbah Synroc limbah dari LCAT mengandung hasil belah dan [11] aktinida

Synroc limbah dari 99 produksi Mo (44%berat limbah [13] simulasi) Synroc-C, limbah [14] TRU . Synroc-C kaya zirconolite,LCAT [15] mengandung Pu

Daya Tahan Synroc Limbah Terhadap Radiasi Studi kerusakan akibat radiasi dilakukan dengan studi difraksi terhadap mineral-mineral sejenis synroc dengan iradiasi elektron, netron dan ion-ion berat terhadap cuplikan sintetis dan 244 cuplikan yang ditambah (doping) dengan radionuklida pemancar yaitu Cm (T1/2 = 18 tahun) dan 238 Pu (T1/2 = 87 tahun). Proses kerusakan yang signifikan dan permanen terhadap bentuk limbah synroc hanya terjadi karena adanya peluruhan , dengan kerusakan utama timbul dari atom-atom yang terpelanting (recoil), bukan partikel itu sendiri. Karena recoil atom mempunyai jangkauan yang sangat pendek (~20 nm), maka kebanyakan kerusakan terjadi pada fase-fase yang mengandung aktinida pemancar . Hasil-hasil penelitian pengaruh radiasi terhadap synroc 238 244 ditunjukkan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya Pu dan Cm dalam synroc menyebabkan terjadinya swelling (mengembang) dan peningkatan laju pelindihan. Dengan 244 adanya doping Cm, laju pelindihan synroc meningkat walaupun hanya ~10 kali dibanding bila 244 -4 -5 -2 -1 [16] 238 244 tidak didoping dengan Cm (menjadi 10 - 10 g.m .hari ) . Adanya Pu dan Cm pada fase zirconolite / pyrochlore dan pada synroc-C menyebabkan terjadinya swelling sekitar 4 [17,18] 6,9 %volume . Walaupun demikian perbedaan swelling pada berbagai fase kristalin tidak menyebabkan micro-cracking (peretakan mikro) dalam synroc-C. Sedang pada synroc kaya natrium (Na), dimana jumlah freudenbergik (Na2Fe2Ti6O16) yang signifikan distabilkan oleh Na 18 [19] dan micro-cracking baru dapat diamati pada dosis ~ 1x10 /g . Kerusakan akibat radiasi dapat diminimalisasi dengan annealing secara termal pada suhu 0 serendah-rendahnya 200 C, selain itu panas peluruhan gamma dapat digunakan untuk membatasi [20] kerusakan akibat radiasi selama penyimpanan . Kejadian secara alami pada synroc fase 20 zirconolite dengan paparan radiasi sampai sekitar 3x10 peluruhan /g telah ditunjukkan dapat 9 [21] menahan unsur-unsur aktinida selama periode waktu sampai 2,5x10 tahun . Dari hasil-hasil penelitian tersebut telah difahami perilaku synroc akibat radiasi pada dosis tinggi yang menunjukan bahwa kerusakan synroc relatif sangat rendah dan masih dapat diterima. Selain itu tidak ada tanda adanya proses terjadinya peretakan antar-butiran (intergranular cracking) synroc pada proses pres-panas.

8

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Tabel 4.

Pengaruh radiasi

Jenis synroc

Synroc-C standar dan Synroc fase amorf zirconolite

Doping unsur pemancar 244

Cm

238

Synroc kaya zirconolite dan pyrochlore

Synroc-C dan specimen fase tunggal untuk zirconolite dan perovskite.

terhadap kerusakan synroc (laju pelindihan dan

238

Pu

244

Pu dan Cm (11,2%berat 238 PuO2 atau 4% berat 244 Cm2O3 dengan dosis 19 1,5 x10 /g o pada 300 K).

swelling)

[16,17,18]

Pengaruh radiasi terhadap synroc (laju pelindihan dan swelling)

Peneliti

Laju pelindihan meningkat 10 kali -4 -5 menjadi 10 sampai 10 -2 -1 g.m .hari .

Weber dkk, Mitamura dkk [16] .

Terjadi swelling ~ 6% volume.

Clinard dkk

Terjadi swelling 4,0 – 6,9 %vol. Perbedaan swelling pada berbagai fase tidak menyebabkan micro- cracking. Sedang pada synroc kaya Na, micro-cracking baru teramati 18 pada dosis ~10 /g.

Ewing dkk, Houg & Marples, Mitamura dkk

[17]

.

.

[18]

Perbandingan bahan matriks synroc dengan aspal dan plastik polimer Solidifikasi limbah alfa umur panjang dengan bahan matriks synroc merupakan pengembangan terakhir, yang sebelumnya telah digunakan bahan matriks aspal atau plastik polimer (Tabel 1). Perbandingan bahan matriks synroc dengan aspal dan plastik polimer untuk solidifikasi limbah alfa umur panjang ditinjau dari keuntungan dan kerugiannya ditunjukkan pada Tabel 5. Pada Tabel 5 terlihat bahwa synroc lebih banyak mempunyai keunggulan dari pada menggunakan matriks aspal atau plastik polimer. Dengan demikian teknologi imobilisasi dengan matriks synroc adalah teknologi terbaik dibanding dengan gelas borosilikat untuk LCAT yang mengandung radionuklida hasil belah dan transuranium, maupun dibanding dengan matriks aspal atau polimer untuk limbah radioaktif alfa umur panjang aktivitas rendah dan sedang, karena synroc mempunyai kestabilan geokimia dan kemampuan kolektif untuk imobilisasi semua unsur radioaktif, serta ketahanan tinggi terhadap air tanah dalam penyimpanan lestari pada formasi tanah dalam. Pada awalnya pengembangan synroc adalah untuk imobilisasi LCAT, limbah pemancar umur panjang (U, Pu dan TRU), dan limbah hasil pemisahan radionuklida mobile umur panjang dari LCAT (Tc, Cs dan Sr) yang ditimbulkan dari olah-ulang bahan bakar nuklir bekas, kemudian 99 dikembangkan untuk limbah radioaktif umur panjang dari produksi radioisotop Mo.

9

Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc

Tabel 5. Perbandingan bahan matriks aspal, plastik polimer, dan synroc untuk solidifikasi limbah [11,22] ditinjau dari kebaikan dan kerugiannya Karakteristik Yang Ditinjau Kekakuan/kekerasan sesudah pembekuan/pendinginan Penimbunan Ketahanan terhadap kompresi Kemungkinan perubahan bentuk Ketahanan terhadap kondisi atmosfir Berat jenis pada 25 ºC Penanganan

Pemasukan limbah Berat limbah yang dimasukan

Ketahanan terhadap mikroorganisme Ketahanan terhadap radiasi Ketahanan terhadap api (dalam 30 menit pada 700 ºC – 900 ºC)

Aspal

[22]

Diperlukan sebuah penampungan Diperlukan sebuah kontainer Buruk

Bahan Solidifikasi [11] Termoseting Synroc [22] Plastik Baik Sangat baik

Memungkinkan langsung 2 10 kN/cm

Langsung

Ya

tidak

tidak

Baik

Baik

Sangat baik

3

0,9 – 1,1 g/cm Pemanasan tangki penampungan aspal, timbul uap. Perlu perlindungan terhadap kebakaran Proses panas Maksimum 50 % tergantung kandungan bahan dalam limbah Tidak terpengaruh 8

9

10 – 10 rad Terbakar

3

1,2 g/cm Peralatan konvensional

Sangat baik

3

2,5-3,4 g/cm Press panas pada suhu tinggi o 1100-1200 C

Proses dingin Maksimum 70 %

Proses dingin Maksimum 70 %

Tidak terpengaruh

Tidak terpengaruh (tahan jutaan tahun) 9 5 x 10 rad Sangat tahan (Tahan sampai suhu tinggi >1100 o C).

9

5 x 10 rad Rusak sebagian

Adaptasi Teknologi Proses Imobilisasi Limbah Sludge Aktif Dari Dekomisioning Fasilitas PAF-PKG Dengan Matriks Synroc Dari data dan pengembangan penggunaan synroc untuk imobilisasi limbah radioaktif tersebut di atas, maka adaptasi teknologi imobilisasi dengan matriks synroc akan sangat baik pula untuk imobilisasi limbah sludge radioaktif yang mengandung uranium dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG. Limbah sludge radioaktif hasil proses biooksidasi limbah radioaktif cair organik dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG mempunyai aktivitas alfa pada nilai 0,4 ≤ α ≤ 40,2 Bq/liter (≤ -6 3 -4 3 1,08x10 Ci/m ), beta pada harga 1173 ≤ β ≤ 4100 Bq/liter (≤ 1,107x10 Ci/m ) dan kadar padatan total 40-50 % berat. Radionuklida dalam limbah tersebut berasal dari batuan fosfat yang mengandung uranium alam (99,27 % U-238, 0,7205 % U-235, dan 0,0056 % U-234) dan radionuklida anak luruhnya. Sesuai Tabel 2, limbah tersebut masuk dalam klasifikasi limbah alfa aktivitas rendah atau sedang. Berdasar uraian pada data studi dan pembahasan di atas, penggunaan matriks synroc lebih baik dari pada penggunaan matriks aspal ataupun plastik polimer. Proses solidifikasi limbah sludge radioaktif dengan matriks synroc dapat dilakukan secara proses kontinu seperti yang dilakukan di fasilitas nuklir ANSTO-Australia (Gambar 1), yaitu melalui o o tahapan pencampuran, pengeringan pada 130 C, kalsinasi pada 750 C, dan pres-panas pada

10

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

o

suhu tinggi (1200 C), tetapi mengingat kondisi peralatan yang tersedia maka adaptasi teknologi imobilisasi dengan matriks synroc ini dapat dilakukan melalui penelitian skala laboratorium terlebih dahulu dengan mengembangkan proses solidifikasi melalui proses sintering pada suhu tinggi sebagai pengganti proses pres-panas pada suhu tinggi. Pengembangan proses solidifikasi dengan matriks synroc melalui sintering ditunjukkan pada Gambar 4. Pada operasi imobilisasi dengan synroc (Gambar 4) pada kadar padatan total 50 % berarti dalam sludge terdapat fraksi berat padatan 50 % dan fraksi berat cairan 50 %. Padatan tersebut mempunyai komponen penyusun biomassa bakteri yang mengandung unsur radioaktif hasil biosorpsi dan P2O5, dengan fraksi cair yang mengandung zat organik (sama dengan konsentrasi dalam beningan) dengan nilai COD dan BOD berturut-turut berharga 51 dan 21 ppm (yang menunjukkan bahwa dalam sludge masih terdapat sedikit solven D2EHPA, TOPO dan kerosin. Mengingat bahwa sludge radioaktif yang akan disolidifiksi masih mengandung cairan fraksi berat sekitar 50%, perlu tidaknya proses filtrasi pada langkah awal operasi yang harus dilakukan penelitian. Bila proses filtrasi dilakukan maka diperoleh padatan atau cake dengan kadar air < 10 %. Cake tersebut dicampur dengan campuran prekursor oksida sambil diaduk sehingga terbentuk o o slurry, kemudian dikeringkan pada suhu 130 C, dilanjutkan proses kalsinasi pada suhu 750 C, dan o kemudian proses pres-dingin dan dilanjutkan dengan sintering pada suhu tinggi 1100 C. Produknya berupa synroc limbah ditampung dalam wadah (kanister), kemudian hasil solidifikasi disimpan di fasilitas penyimpanan sementara. Pada proses pengeringan, kalsinasi, sampai sintering maka semua air, pelarut organik sisa dan bahan organik berupa bakteri telah terurai menguap atau terabukan sehingga tinggal radionuklida dan prekursor oksida yang kemudian membentuk monolit synroc.

Gambar 4. Diagram alir pengembangan proses solidifikasi limbah sludge radioaktif dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG melalui proses sintering suhu tinggi. Model komposisi fase dalam synroc dari adaptasi yang dikembangkan (Gambar 4) dengan sintering suhu tinggi, sesuai dengan kandungan limbahnya yaitu uranium dan anak luruhnya serta unsur-unsur pengotor lainnya. Masing-masing radionuklida akan terserap dan masuk ke dalam kisi-kisi fase mineral yang sesuai. Komposisi synroc mengandung fase utama pyrochlore atau zirconolite, hollandite dan perovskite, dengan penambahan unsur-unsur absorber neutron (Gd atau Hf ) untuk mencegah kritikalitas, serta fase minor titan oksida dan paduan logam. Proses sintering akan memberikan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan butir fase-fase synroc yang kemudian dapat menutupi pori-pori synroc dan menjadi bentuk suatu keramik monolit multi fase yang padat.

11

Gunandjar: Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Cair dari Industri: Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc

KESIMPULAN Limbah sludge radioaktif dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG mengandung uranium termasuk dalam klasifikasi limbah alfa umur panjang yang harus diimobilisasi melalui proses solidifikasi. Imobilisasi menggunakan synroc dikaji sebagai alternatif matriks untuk solidifikasi limbah sludge radioaktif tersebut. Synroc adalah bentuk kristalin padat yang tersusun dari gabungan fase-fase titanat yang stabil dan dipilih karena kestabilan geokimia dan kemampuan kolektif untuk imobilisasi semua unsur radioaktif dalam limbah radioaktif. Data uji pelindihan Synroc limbah menunjukkan bahwa laju pelindihan untuk unsur-unsur valensi satu dan valensi dua (Cs, Ca, Sr, Ba) dalam synroc adalah 500 sampai 2000 kali lebih kecil dari pada tipe gelas borosilikat limbah (sebagai pembanding). Laju pelindihan untuk unsur-unsur multivalent ( Nd, Zr, Ti, dan U) dari synroc limbah adalah sekitar 10.000 kali lebih kecil daripada dari gelas borosilikat limbah. Data hasil pengujian synroc limbah dapat disimpulkan bahwa laju pelindihan dan pengaruh radiasi terhadap synroc relatif sangat rendah dan dapat diterima. Synroc limbah berhasil baik untuk imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi dan sangat baik terutama untuk imobilisasi unsur-unsur aktinida pemancar alfa umur panjang, termasuk untuk imobilisasi limbah slude radioaktif dari dekomisioning fasilitas PAF-PKG. Imobilisasi limbah radioaktif alfa umur panjang dengan matriks synroc lebih baik daripada menggunakan aspal dan plastik polimer. Adaptasi dan pengembangan imobilisasi melalui solidifikasi menggunakan matriks synroc melalui proses sintering suhu tinggi sebagai upaya o alternatif (penganti) imobilisasi melalui pres-panas suhu tinggi 1100-1200 C. DAFTAR PUSTAKA [1].

[2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8].

[9]. [10]. [11].

[12]. [13]. [14]. [15].

[16].

12

Salimin, Z., Gunandjar, Zaid,A., Pengolahan Limbah Radioaktif Cair Organik Dari Kegiatan Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Petrokimia Gresik Melalui Proses Oksidasi Biokimia, Seminar Nasional Teknologi Lingkungan VI, ITS, Surabaya, 10 Agustus 2009. Benedict, M. et.al, Nuclear Chemical Engineering, Second Edition, McGraw-Hill Book Company, New York, (1981). Keputusan Kepala Bapeten No. 01/Ka-BAPETEN/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi, Jakarta, (1999). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep.02/MENLH/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, (1998). Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No. 02/Ka.Bapeten/V-99 Tentang Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan, (1999). Taillard, D., Traitment et Conditionement des Dechets Solid de Faible et Moyenne Activity, Communaute Europeennes, (1988). ANDRA, Classification Des Dechets Radioactifs, Commissariat A L’Energie Atomique, Agence Nationale Pour La Gestion Des Dechets Radioactifs, France,(1983). nd Vance E.R., Status of Synroc Ceramics for HLW , Proc. of The 2 Bianual Int. Workshop on HLRW Management, Dep. of Nuclear Engineering, Fac. of Engeneering, Gadjah Mada Univ., Yogyakarta, (1999). Ringwood A.E, et.al, In Radioactive Waste Form for the Future, Elsevier, (Eds W.Lutze and R.C.Ewing),North Holland, 233-334, (1988). Dosch, R.G. and Lynch, A.W., Solution Chemistry Techniques in Synroc Preparatio,, Sandia Laboratories, Albuquerque. Publ. SAND80-2375, (1980). Ringwood A.E, Overby, V.M., Kesson, S.E., Synroc: Leaching Performance and Process Technology, Proc. of the International Seminar on Chemistry and Process Engineering for High Level Liquid Waste Solidification, Julich, (1981). o Oversby, V.M. and Ringwood, A.E., Leach testing of Synroc and glass samples at 85 C and o 200 C, Nuclear Chem. Waste Management, (1980). Vance, E.R. et.al., Synroc as a Ceramic Wasteform for Deep Geological Disposal, Int.Conf. on Deep Geological Disposal of Radioactive Waste, Winnipeg, (1996). Levins, D.M., ANSTO’s Waste Management Action Plan, Third Seminar on RWM, Nuclear Cooperation in Asia, China (1997). Jostsons, A., et.al., Surplus Plutonium Disposition Via Immobilisation in Synroc, Spectrum ’96, International Topical Meeting on Nuclear and Hazardous Waste Management, Seattle, WA (1996). Weber, W.J., Wald, J.W. and Matzke, HJ., Effects of Self-Radiation Damage in Cm-Doped Gd2Ti2O7 and CaZrTi2O7, J. Nuclear Materials, 138, (1986).

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

[17]. [18]. [19]. [20].

[21]. [22].

Clinard F.W.Jr., et.al., J. Nuclear Materials, 126, (1984). Ewing, R.C., et.al.,Radiation Effects in Nuclear Waste Forms for High Level Radioactive Waste, Prog..In Nuclear Energy, 29, (1995). Kitamura, H., et.al., Self-Irradiation Damage of a Curium-Doped Titanate Ceramic Containing Sodium-Rich High Level Nuclear Waste, J.Am.Ceram. Soc., Vol. 73 [11], (1990). Reeve, K.D.,et.al., Reformulation of Synroc for Purex High Level Nuclear Wastes Containing Further Chemical Additions,Proc. International Ceramic Conference, Austceram 92 (Ed M.J. Bannister), CSIRO, Australia, (1992). Lumpkin G.R., et.al., Retention of Actinides in Natural Pyrochlores and Zirconolites, Radiochemica Acta, Vol. 66/67, (1994). Taillard, D., “Traitment et Conditionement des Dechets Solid de Faible et Moyenne Activity”, Communaute Europeennes, 1988.

13

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA PENGELASAN DRUM BAJA KARBON WADAH LIMBAH RADIOAKTIF Aisyah Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 ABSTRAK PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA PENGELASAN DRUM BAJA KARBON WADAH LIMBAH RADIOAKTIF. Drum volume 200 liter digunakan sebagai wadah limbah radioaktif hasil kompaksi. Drum wadah limbah terbuat dari pelat baja karbon rendah yang dalam fabrikasinya memerlukan pengelasan. Adanya siklus termal dalam pengelasan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan struktur mikro dan sifat mekanik dari bahan drum. Dalam pemakaiannya drum wadah limbah mengalami beban tarik pada saat pengangkutan dan beban tumpuk pada saat penyimpanan, sehingga perubahan sifat mekanik yang terjadi harus mampu menahan beban tersebut. Dari perhitungan harga karbon ekivalen (Ceq) sebesar 0,194 % bermakna bahwa baja karbon yang digunakan sebagai wadah limbah memiliki sifat mampu las yang baik. Pengelasan dilakukan dengan las busur listrik sedangkan pengamatan perubahan struktur mikro dilakukan dengan mikroskop optik dan mikroskop elektron. Perubahan sifat mekanik diamati dengan melakukan pengujian tarik dan kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan struktur mikro terutama terjadi pada Heat Affected Zone (HAZ) dan daerah las. Pada HAZ terbentuk struktur bainite yang merupakan agregat ferrite dan cementite yang keras karena mengandung karbon. Namun demikian, saat pengelasan HAZ mengalami pemanasan dan pendinginan yang lambat sehingga terjadi pertumbuhan butir. Terbentuknya butir yang besar pada HAZ menjadikan daerah ini memiliki kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah las. Struktur mikro daerah las terdiri dari struktur widmanstatten yang kasar dan daerah las merupakan daerah yang paling keras dan getas. Namun demikian perubahan struktur mikro dan sifat mekanik pada HAZ dan daerah las yang terjadi masih dalam batas wajar dan selamat bagi wadah limbah radioaktif. Kata kunci: Limbah radioaktif, baja karbon, pengelasan, struktur mikro, sifat mekanik

ABSTRACT MICROSTRUCTUR AND MECHANICAL PROPERTIES CHANGE ON CARBON STEEL DRUM WELDING OF RADIOACTIVE WASTE CONTAINER. Drum of 200 litre is used for container of compacted radioactive waste. The drum is made of low carbon steel sheet of which its fabrication involves welding process. Thermal cycle in the welding process may result in microstructure and mechanical properties change on drum material. At their application, the waste container drum wrecked the tensile load at handling and stack load at storage, so the mechanical properties change had to able to restrain their load. The based on the calculated equivalent carbon (Ceq) value of 0.194 %, that means the carbon steel used as material for radioactive waste drum has a good weld ability. The welding was conducted by electric arc welding and observation of microstructure change was carried out by means of optical and electron microscopes. The observation of mechanical properties change was carried out by tensile strength and hardness test. The result of the research shows that the microstructure change has taken place on Heat Affected Zone (HAZ) and weld regions. On the HAZ region a hard bainite structure was produced, composed of ferrite and cementite agregat, the hard structure is caused by the carbon exist. During welding, the HAZ was exposed to a slow heating and cooling process resulting in the occurrence of particle growing in the region. The occurrence of large particles in the HAZ results in softer material was compared to that in the welding zone. Microstructure of the welding zone is composed of coarse widmanstatten structure, therefore the welding zone is the toughest zone but brittle. Nevertheless, the change of microstructure and mechanical properties of the welding zone was normal and safe for radioactive waste drum. Keywords: radioactive waste, carbon steel, welding, microstructure, mechanical properties. 14

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran dimana pada pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa

pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana,

dalam hal ini Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR). Untuk mengemban tugas tersebut, maka PTLR memiliki Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif (IPLR) yang berfungsi untuk mengolah limbah radioaktif cair, semi cair, padat dan sumber bekas dari seluruh wilayah Indonesia dengan skema pengelolaan limbahnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 dijelaskan bahwa limbah radioaktif cair diolah dengan cara evaporasi dan konsentrat hasil evaporasi diimobilisasi dalam shell beton 950L dengan campuran semen. Bila limbah cair bersifat korosif maka limbah diolah secara kimia (chemical treatment) sebelum diimobilisasi. Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara insenerasi.Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan cara kompaksi dan hasil kompaksi selanjutnya diimobilisasi dalam drum 200L. Limbah padat tak terbakar dan tak termampatkan pengolahannya dimasukkan secara langsung dengan cara imobilisasi dalam shell beton 350L/950L Dalam penelitian ini akan dipelajari salah satu wadah limbah radioaktif yang berupa drum volume 200 liter yang merupakan wadah limbah radioaktif aktivitas rendah dan sedang yang telah dikompaksi. Pada umumnya limbah radioaktif padat aktivitas rendah dan sedang berasal dari kegiatan yang menggunakan bahan radioaktif ataupun alat-alat kerja yang terkontaminasi, seperti pakaian, kertas, filter, sepatu, sarung tangan dan sebaginya. Limbah ini ditempatkan dalam drum 100 liter. Reduksi volume dilakukan dengan mengkompaksi limbah dalam drum 200 liter.

Gambar 1. Pengelolaan limbah radioaktif di PTLR [1,2] 15

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Dalam satu drum 200 liter memuat antara 4-7 buah drum limbah 100 liter yang telah terkompaksi yang tergantung dari jenis dan berat limbah. Drum volume 200 liter wadah limbah yang telah berisi limbah terkompaksi kemudian diimobilisasi dengan semen sehingga menjadi padatan yang kompak. Gambar 2 menunjukkan drum 200 liter wadah limbah radioaktif .

Gambar 2. Drum 200 liter wadah limbah radioaktif [2] Drum 200 liter wadah limbah hasil imobilisasi terbuat dari pelat baja karbon rendah yang terdapat di pasaran. yang kemudian dalam fabrikasinya dilakukan pengelasan. Akibat adanya pengelasan, maka bahan akan mengalami siklus termal yaitu pemanasan dan pendinginan yang bervariasi sehingga akan mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan mekanik karena adanya perubahan stuktur mikro bahan. Hasil pengelasan akan mempunyai kualitas yang baik apabila daerah lasan yang dihasilkan dapat memberikan kontinuitas yang sempurna antara bagian yang disambung dengan setiap bagian sambungan, sehingga sambungan dan logam induknya tidak menunjukkan perbedaan yang jelas. Oleh karena itu ada kondisi-kondisi yang harus dipenuhi dalam proses pengelasan antara lain adanya pemilihan bahan, suplai energi, cara pengelasan, bebas dari kontaminasi seperti oksida dan kotoran, proteksi terhadap atmosfir yang baik dan metalurgi las yang terkontrol. Perubahan metalurgi yang paling penting dalam pengelasan adalah perubahan struktur mikro pada Heat Affected Zone (HAZ) maupun daerah las. Perubahan struktur mikro yang terjadi akan menentukan sifat mekanik pada sambungan las, seperti kuat tarik dan kekerasannya. Hal ini terkait dengan pemakaian drum wadah limbah yang harus mampu menahan beban tarik yaitu pada saat pengangkutan ataupun beban tumpuk pada saat penyimpanan, sehingga sambungan las pada drum wadah limbah harus mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan bahan induknya. Diharapkan perubahan struktur mikro dan sifat mekanik yang terjadi masih dalam batas aman dan menghasilkan sambungan las yang kuat, sehingga pada waktu pengujian tarik bahan tidak putus pada sambungan lasnya namun pada logam induk atau HAZ. Heat Affected Zone yang biasa disebut daerah terpengaruh panas adalah daerah dengan jarak tertentu dari sambungan las yang mengalami pemanasan akibat adanya panas dari pengelasan dan mengalami pendinginan yang lebih lambat. Dalam penelitian ini dilakukan pengelasan pada pelat baja karbon rendah yang ada di pasaran yaitu produksi dari PT. Krakarau Steel sebagai bahan drum 200 liter wadah limbah radioaktif. Pengelasan dilakukan dengan mesin las busur listrik. Perubahan struktur mikro yang terjadi diamati dengan mikroskop optik kemudian diperkaya dengan hasil pengamatan

mikroskop elektron yang

dilakukan oleh peneliti lain, sedangkan perubahan sifat mekanik diamati dengan cara 16

melakukan

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

pengujian tarik dan pengujian kekerasan. Penyiapan sampel uji tarik menggunakan standar JIS Z 2201 dan uji tarik dilakukan dengan mesin uji tarik, sedangkan pngujian kekerasan dilakukan dengan mesin uji kekerasan Vikers.

TATA KERJA Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Dekontaminasi dan Dekomisioning di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif , Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Kawasan Puspiptek Serpong pada Tahun 2009 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelat baja karbon rendah tebal 3 mm yang ada di pasaran yang diproduksi oleh PT. Krakatau Steel

dengan komposisi kimia seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 1[3], elektrode jenis E 6013 dengan diameter 2,6 mm, amplas, pasta alumina dan larutan etsa dengan komposisi 3% asam nital. Tabel 1. Komposisi kimia baja karbon rendah [ 3 ] Unsur C Si Mn P S

Prosentase (%) 0,112 < 0,117 0,443 < 0,0008 < 0,0002

Unsur Ni Mo Cu Al Fe Cr

Prosentase (%) 0,0143 0,0065 0,0176 0,0381 99,350 0,0085

Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah las busur listrik type BX 6-160-2, mesin uji tarik Servopulser Shimadzu, mesin uji keras (Vickers Hardness Testing Machine), mesin grinding, polishing, mikroskop optik dan lainnya. Metode Dalam penelitian ini dilakukan pengelasan terhadap bahan drum yang berupa pelat baja karbon rendah. Dipelajari perubahan struktur mikro dan sifat mekanik yang terjadi akibat adanya pengelasan. Perubahan struktur mikro diamati dengan pengujian metalografi, sedangkan perubahan sifat mekanik diamati dengan melakukan pengujian tarik dan pengujian kekerasan. Pengelasan Pengelasan pelat bahan baja karbon rendah dilakukan dengan mesin las Busur Listrik Type BX 6-160-2 dengan arus las 60 – 110 ampere, tegangan busur 24 volt, jenis elektrode E6013, panjang elektrode 350 mm, diameter kawat 2,6 mm, polaritas AC/DC dan laju las 20 mm/detik [4-6 ].

17

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Pengujian metalografi Pengamatan perubahan struktur mikro akibat pengelasan diamati dengan pengujian metalografi yang dilakukan pada daerah logam induk, batas antara logam induk dan HAZ, HAZ, daerah batas antara HAZ dan daerah las serta daerah las. Pengujian dilakukan dengan cara memotong sampel sesuai ukuran kemudian dibingkai dengan resin dan selanjutnya dilakukan pemolesan. Penggerindaan dilakukan dengan kertas amplas yang bertingkat kekasarannya sedangkan pemolesan dilakukan dengan pasta alumina. Sampel yang telah mengkilap dietsa dengan larutan etsa asam nital 3% untuk selanjutnya diamati struktur mikronya dengan

mikroskop optik [7-10]. Untuk lebih mempedalam

gambaran perubahan struktur mikro maka dilakukan pengkayaan data struktur mikro yang dilakukan oleh peneliti lain. Pengujian tarik Sifat mekanik yang dipelajari adalah kekuatan tarik

dan kekerasan bahan akibat adanya

pengelasan. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui tegangan tarik, tegangan luluh dan regangan pada bahan induk dan bahan yang telah mengalami pengelasan Pengujian dilakukan sesuai dengan standar JIS Z 2201 dengan ukuran sampel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Kekuatan tarik merupakan kemampuan dari sambungan las untuk menerima beban tarik. Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin uji tarik Servopulser Shimadzu dengan cara menjepit sampel dengan kuat dan beban diberikan secara kontinyu sampai sampel tersebut putus. Sifat-sifat mekanis yang diharapkan untuk diketahui adalah kekuatan (tegangan) tarik, kekuatan luluh dan regangan dengan perhitungan menggunakan rumus [11-13]: 1. Tegangan tarik, yaitu tegangan maksimum yang dapat ditahan oleh sampel σt = Fmak/A0

(1) 2

dimana σt : Kuat tarik sampel (kg/mm ) Fmak: Gaya maksimum yang dapat ditahan oleh sampel (kg) A0

2

: Luas penampang awal sampel (mm )

2. Tegangan luluh, yaitu tegangan yang terjadi pada saat terjadi regangan tetap atau plastis σy = Fmak/A0 dimana

(2) 2

σy : Tegangan luluh (kg/mm ) Fmak : Gaya pada saat sampel mengalami luluh (kg) A0

2

: Luas penampang awal sampel (mm )

3. Regangan, yaitu perpanjangan benda pada saat keadaan tegang. Regangan yang dimaksud adalah regangan linier rata-rata ε = L-L0/ L0 dimana ε : Regangan L : Panjang benda pada saat putus (mm) L0 : Panjang awal sampel (mm)

18

(3)

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

R

R W L P

L P W R

= 200 mm = 220 mm = 40 mm = 25 mm

Gambar 3. Bentuk sampel pada uji tarik ( standar JIS Z 2201) [11,14] Pengujian Kekerasan Pengujian kekerasan dimaksudkan untuk mendapatkan data perubahan kekerasan dari bahan akibat adanya pengelasan. Pengujian dilakukan dengan mesin uji keras (Vickers Hardness Testing Machine) dengan cara melakukan penekanan pada sampel menggunakan penekan berbentuk piramida 0

intan yang dasarnya bujur sangkar. Besarnya sudut puncak identor piramida intan 136 . Besarnya angka kekerasan dihitung berdasarkan persamaan [11,15]: HVN = 1,8544 x P/d dimana

2

(4)

HVN : Angka kekerasan Vickers (Hardness Vickers Number ) P : Beban yang digunakan (kg) d

: Diagonal identasi (mm)

Pengujian kekerasan dilakukan pada sampel pada daerah logam induk, batas antara logam induk dan HAZ, HAZ, daerah batas antara HAZ dan daerah las serta daerah las

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian

tentang perubahan struktur mikro dan sifat mekanik akibat pengelasan

ditunjukkan pada gambar-gambar berikut. Struktur mikro logam induk hasil pengamatan dengan mikroskop optik pada perbesaran 500 kali ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 tampak butirbutir ferrite (berwarna terang), dan fasa pearlite (berwarna gelap). Butir ferrite cenderung lebih halus dan lunak sedangkan butir pearlite lebih kasar dan keras karena mengandung karbon. Logam induk mengandung karbon 0,112 % seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 sehingga dikatakan bahwa baja karbon ini termasuk baja karbon rendah. Selain itu dengan memperhatikan diagram fasa Fe-C seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 maka baja karbon rendah ini termasuk jenis baja hypoeutektoid karena prosentase unsur pemadu karbonnnya tidak melebihi 0,8%.

19

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Gambar 4. Struktur mikro logam induk, hasil pengamatan dengan mikroskop optik

Gambar 5. Diagram Fasa Fe – C [16]

20

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Pada Gambar 5 tampak bahwa pada suhu kamar baja hypoeutectoid memiliki struktur mikro yang terdiri dari butiran kristal ferrite dan pearlite. Hal ini sesuai dengan Gambar 4 bahwa struktur mikro logam induk terdiri dari ferrite dan perlit. Ferrite adalah suatu komposisi logam (fasa) yang mempunyai 0

batas maksimum kelarutan karbon 0,025 % pada suhu 723 C, struktur kristalnya Body Center Cubic (BCC) dan pada suhu kamar mempunyai batas kelarutan karbon 0,008 %. Sedangkan pearlite ialah 0

campuran eutectoid antara ferrite dengan cementite yang terbentuk pada suhu 723 C

dengan

kandungan karbon 0,83 %. Cementite ialah suatu senyawa yang terdiri dari unsur Fe dan C dengan perbandingan tertentu (Fe3C) dengan struktur kristalnya Orthohombik [ 16 ]. Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa struktur pearlite terdiri dari lamelar ferrite dan cementite seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 [ 17 ].

Gambar 6. Struktur pearlite, hasil pengamatan dengan mikroskop elektron [17]

Perubahan struktur mikro yang terjadi pada HAZ ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur mikro daerah HAZ, hasil pengamatan dengan mikroskop optik Dari Gambar 7 tampak bahwa struktur mikro pada HAZ yang diamati dengan mikroskop optik pada perbesaran 500 kali terdiri dari ferrite halus, ferrite kasar dan bainite. Heat Affected Zone adalah daerah pada logam induk yang berdekatan dengan logam las. Selama proses pengelasan daerah ini mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan agak cepat (sedang), sehingga daerah ini merupakan daerah yang paling kritis pada sambungan las. Sesuai dengan diagram Continous Cooling 21

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Transformation (CCT) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8 tampak bahwa pada proses pendinginan sedang (garis b), akan terbentuk struktur mikro bainite disamping pearlite. Namun pada proses pendinginan secara perlahan (garis a) akan terbentuk struktur pearlite dan ferrite, sedangkan pada proses pendinginan cepat (garis c ) akan terbentuk struktur martensite [ 18 ]

Gambar 8. Diagram Continous Cooling Transformation (CCT) pada baja karbon [ 18 ] Bainite yang merupakan agregat dari ferrite dan cementite (Fe3C) terbentuk pada kecepatan pendinginan sedang dimana pada kondisi ini karbon sulit berdifusi kedalam fasa austenite. Pengamatan struktur bainite menggunakan mikroskop elektron ditunjukkan pada Gambar 9 dimana struktur bainite berupa ferrite yang tumbuh dari batas butir austenite yang berbentuk pelat dengan Fe3C berada di antara plat-plat tersebut [19]

Gambar 9. Struktur mikro bainite, pengamatan dengan mikroskop elektron [19] Perubahan struktur mikro yang terjadi pada daerah las seperti ditunjukkan pada Gambar 10.

22

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Gambar 10 . Struktur mikro daerah las, pengamatan dengan mikroskop optik Pada Gambar 10 tampak struktur mikro daerah las yang diamati dengan mikroskop optik pada perbesaran 500 kali, terdiri dari ferrite Widmanstatten, ferrite acicular, dan ferrite batas butir(grain boundary ferrite). Struktur mikro ini terbentuk karena daerah las mengalami pendinginan yang cepat. Pengamatan dengan mikroskop elektron memberikan gambaran struktur mikro daerah las yang lebih jelas seperti yang ditunjukkan pada Gambar11[ 20 ]. Gambar

11 menunjukkan

bentuk struktur AF, GF dan WF yang terbentuk selama

pengelasan, dimana struktur AF tampak saling berkaitan membentuk interlocking stucture. Struktur WF terbentuk karena adanya pendinginan cepat pada daerah las. Struktur WF ini memiliki struktur berbutir panjang (columnar grains). Pertumbuhan struktur WF ini berawal dari logam induk yang tumbuh ke arah tengah daerah logam las seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 11. Struktur mikro daerah las, pengamatan dengan mikroskop elektron [20] (AF : Acicular Ferrite,GF : Grain boundary Ferrite dan WF : Widmanstanten Ferrit ) Gambar 12 menjelaskan bahwa titik mula dari struktur pilar (titik A) terletak pada logam induk. Titik ini tumbuh menjadi garis lebur dengan arah sama dengan sumber panas. Pada garis lebur ini sebagian dari logam induk ikut mencair dan selama proses pembekuan, logam las tumbuh pada butir-butir logam induk

23

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Gambar 12. Arah pembekuan logam Las [4] Pada umumnya struktur mikro logam las merupakan kombinasi dari beberapa struktur mikro berikut [ 15,21,22]: Ferrite batas butir, terbentuk pertama kali pada transformasi austenite-ferrite dan biasanya 0

terbentuk di sepanjang batas austenite pada suhu 1000 – 650 C. 0

Ferrite widmanstatten, terbentuk pada suhu 750 – 650 C di sepanjang batas butir austenite Ferrite acicular, berbentuk intragranular dengan ukuran yang kecil dan mempunyai 0

orientasi arah yang acak. Biasanya ferrite acicular ini terbentuk sekitar suhu 650 C Bainite, merupakan ferrite yang tumbuh dari batas butir austenite dan terbentuk pada 0

suhu 400 -500 C. Martensite, terbentuk pada proses pendinginan yang sangat cepat. Selama proses pengelasan, pada daerah logam las dan HAZ akan mengalami serangkaian siklus termal,yaitu pemanasan sampai mencapai suhu tertentu yang kemudian

diikuti dengan

pendinginan. Siklus termal tersebut mempengaruhi struktur mikro dan sifat mekanik logam las dan HAZ, di mana logam las akan mengalami transformasi fasa. Hal ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 13[23]

Gambar 13. Perubahan struktur mikro pada logam yang mengalami pengelasan [ 23 ]

24

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Gambar 13 menyajikan ilustrasi dari hubungan antara struktur mikro dengan distribusi suhu dalam proses pengelasan. Terlihat adanya perubahan struktur mikro (notasi a,b,c dan d) terkait dengan distribusi suhu akibat adanya pengelasan. Gambar ilustrasi ini bekaitan dengan diagram fasa Fe-C yang ditunjukkan pada Gambar 5 yaitu bahwa: Pada daerah (a) yaitu daerah logam induk, pada suhu dibawah garis A 1 (pada Gambar 5: 0

1333 F) struktur mikro merupakan campuran butir ferrite dan pearlite Pada daerah (b) pearlite bertransformasi menjadi austenite, namun karena suhunya tidak dapat melebihi garis A3 (pada Gambar 5: 1670

0

F) maka tidak semua butir ferrite

bertransformasi menjadi austenite, posisi ini biasanya merupakan posisi perbatasan antara daerah logam induk dan HAZ Pada daerah (c) adalah daerah yang mengalami siklus termal tepat pada garis A 3 (pada 0

Gambar 5: 1670 F ) maka austenite secara sempurna bertransformasi. Pada daerah (d) yaitu daerah yang mengalami siklus termal di atas garis A3 (pada Gambar 5: 0

>1670 F ) terjadi pertumbuhan butir. Heat Affected Zone biasanya merupakan daerah yang mengalami pertumbuhan butir. Butir tumbuh membesar sehingga kekuatan mekanik menurun Perubahan struktur mikro pada daerah perbatasan antara HAZ dan daerah las ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14 . Struktur mikro daerah perbatasan antara HAZ dan daerah las, pengamatan dengan mikroskop optik [24] Pada Gambar 14 tampak bahwa struktur mikro daerah ini mirip dengan struktur mikro pada daerah las yaitu terdiri dari ferrite acicular, ferrite batas butir dan ferrite Widmanstatten. Daerah ini 25

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

mengalami pendinginan yang lebih lambat dari daerah las sehingga struktur ferrite batas butir, ferrite acicular berupa bilah-bilah yang menyilang namun berbutir kasar Struktur mikro daerah perbatasan antara logam induk dan HAZ ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Struktur mikro daerah perbatasan antara HAZ dan logam induk, pengamatan dengan mikroskop optik [24] Pada Gambar 15 tampak bahwa daerah ini memiliki struktur mikro yang mirip dengan struktur mikro logam induk, hal ini karena daerah ini menerima panas yang tidak terlalu tinggi dan pendinginan yang lambat. Struktur mikro yang terbentuk terdiri dari ferrite, ferrite halus dan pearlite. Struktur mikro ferrite pada daerah ini tersusun paling renggang dibandingkan dengan struktur mikro pada HAZ. Pada Gambar 15 terlihat ferrite (berwarna terang) dan ferrite halus yang mengisi sela sela struktur ferrite Hasil pengujian perubahan sifat mekanik yaitu pengujian tarik, luluh, regangan dan kekerasan ditunjukkan pada Gambar 16,17 dan 18.

T. Luluh

40 30 20

.

10 0 1

2

(1: Logam induk, 2: Las)

Gambar 16. Hasil pengujian kekuatan tarik dan kekuatan luluh pada logam induk dan bahan yang mengalami pengelasan.

26

30

T. Tarik T. Luluh

25

Regangan

Tegangan (kg mm -2)

T. Tarik 50

20 15 10 5 0

Logam induk

Las

Gambar 17. Hasil pengujian regangan pada logam induk dan bahan yang mengalami pengelasan.

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

Kekerasan (kg mm -2)

210 180 150 120 90 60 30 0 Logam Induk

LI-HAZ

HAZ

HAZ-L

Las

Gambar 18. Hasil pengujian kekerasan pada daerah logam induk, batas antara logam induk dan HAZ, HAZ, batas antara HAZ dan las serta daerah las. Gambar 16 menunjukkan perubahan kekuatan tarik bahan akibat pengelasan yaitu kekuatan tarik, kekuatan luluh pada logam induk dan las, sedangkan Gambar 17 menunjukkan perubahan regangan pada bahan akibat adanya pengelasan dan Gambar 18 menunjukkan distribusi kekerasan pada daerah logam induk, HAZ, daerah las, batas antara logam induk dan HAZ serta daerah batas HAZ dan daerah las. Pada Gambar 16 terlihat bahwa logam induk memiliki kekuatan tarik yang tinggi dibandingkan dengan logam las. Seperti diketahui bahwa logam induk mengandung unsur Mn 0,443 % dan kandungan unsur silikon (Si) sebesar 0,117 %. Fungsi dari unsur Mn adalah dapat mengikat karbon (C) membentuk karbida mangan (Mn3C) yang dapat menaikkan kekuatan, ketangguhan baja dan meningkatkan kekerasan. Fungsi dari kandungan unsur silikon adalah pembentuk ferrite yang sangat kuat dan juga untuk menguatkan baja. Nilai regangan untuk logam induk juga lebih tinggi dibandingkan dengan setelah mengalami pengelasan. Pada Gambar 18 tampak bahwa logam las memiliki kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Pada daerah las terjadi pendinginan yang cepat sehingga dalam bahan terkandung tegangan sisa yang cukup besar. Selain itu struktur mikro pada daerah las ini terdiri dari AF yang saling berkaitan satu sama lain membentuk interlocking structure dimana struktur seperti ini merupakan struktur yang paling efektif dalam menahan beban sehingga daerah ini menjadi lebih keras. Namun demikian daerah ini getas terlihat dari nilai tegangan luluh dan regangannnya yang lebih rendah dibandingkan dengan logam induk. Pada HAZ terlihat kekerasan yang menurun dibandingkan dengan logam induk maupun daerah las. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. tentang hubungan antara distribusi suhu dan struktur mikro terlihat bahwa pada daerah (d) tampak terjadi pertumbuhan butir. Butir menjadi lebih besar yang mengakibatkan bahan menjadi lunak dan lemah. Hal ini sesuai dengan Persamaan Hall-Petch yang menggambarkan hubungan antara kekuatan baja dengan ukuran butirnya dengan

rumus sebagai berikut

[ 21,25 ]:

σy = σf + K.D

-1/2

(5)

dimana σy: batas luluh σf: tegangan friksi 27

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

K: konstanta D: diameter butir. Dari rumus tersebut tampak bahwa semakin halus ukuran butir suatu bahan, maka bahan akan memiliki kekuatan yang besar. Sedangkan pada HAZ terjadi pendinginan yang lambat sehingga butir akan membesar. Butir yang besar memiliki kekerasan yang lebih kecil. Hasil pengujian kekerasan pada daerah batas antara las dan HAZ terlihat bahwa pada daerah ini struktur mikronya mirip dengan struktur mikro daerah las, namun ferrite yang terbentuk lebih kasar dibandingkan dengan ferrite pada daerah HAZ. Semakin kasar struktur ferrite maka semakin tinggi nilai kekerasannya namun bahan semakin getas. Hasil pengujian kekerasan pada daerah batas logam induk dan HAZ menunjukkan kekerasan yang lebih rendah dari logam induk tapi lebih tinggi dari HAZ. Daerah ini menerima panas yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan HAZ karena memang letaknya lebih jauh dari daerah las. Oleh karena itu daerah ini hanya sedikit mengalami perbesaran butir sehingga hanya sedikit mengalami penurunan kekerasan dibandingkan dengan daerah logam induk. Secara keseluruhan memang terjadi perubahan struktur mikro dan sifat mekanik akibat adanya siklus termal pada pengelasan. Namun dari hasil pengujian kekuatan mekanik (pengujian tarik dan pengujian kekerasan) menunjukkan nilai yang masih dalam batas wajar dan selamat bagi drum wadah limbah yang mengalami beban tarik pada saat pengangkutan dan beban tumpuk dalam penyimpanan. Hal ini sejalan dengan sifat mampu las (weldability) dari bahan drum wadah limbah yang dapat diketahui dengan menghitung nilai karbon ekivalen (Ceq) dengan rumus [4,26]: Ceq = (C + 1/6 Mn +1/24 Si + 1/40 Ni + 1/5 Cr + ¼ Mo + 1/14 V)%

(6)

Mampu las (weldability) merupakan ukuran kemampuan suatu bahan untuk dapat dilas dengan hasil memuaskan baik dari segi mekanis, fisis maupun kimiawi. Faktor utama weldability suatu bahan logam adalah komposisi bahan dasar, masukan panas dan laju pendinginan. Masukan panas dan laju pendinginan merupakan karakteristik dari proses pengelasan dan teknik yang dipakai. Apabila Ceq sama atau lebih kecil dari 0,45% maka baja tersebut cukup weldable dan pengelasan tidak memerlukan cara-cara khusus, bila Ceq sama atau lebih besar 0,45% maka baja memerlukan perlakuan khusus dalam pengelasan. Dari komposisi jenis baja karbon yang dipakai dalam penelitian ini, maka didapat harga Ceq sebesar 0,194%. Harga Ceq ini masih berada dalam batas aman, sehingga dikatakan bahwa baja karbon yang dipakai sebagai

bahan drum wadah limbah radioaktif memiliki

kemampuan las yang baik. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa adanya pengelasan pada bahan drum baja karbon mengakibatkan terjadinya perubahan struktur mikro dan sifat mekanik. Perubahan struktur mikro terjadi karena adanya siklus termal yaitu pemanasan yang diikuti dengan pendinginan akibat pengelasan. Pada daerah las terbentuk struktur AF yang membentuk interlocking structure sehingga daerah las ini menjadi keras. Namun demikian daerah ini lebih getas dibandingkan dengan logam induknya, karena adanya pendinginan yang cepat mengakibatkan tersimpan energi tegangan sisa yang lebih banyak. Pada daerah yang paling kritis yaitu HAZ terbentuk struktur mikro bainite 28

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

yang merupakan agregat dari ferrite dan cementite. Struktur bainite ini sebenarnya agak keras karena mengandung karbon. Namun pada daerah ini yang dominan adalah adanya pendinginan lambat yang mengakibatkan perbesaran butir sehingga menurunkan kekuatan dan kekerasannya. Namun demikian perubahan struktur mikro dan sifat mekanik yang terjadi masih dalam batas yang wajar dan selamat bagi drum wadah limbah. Hal ini sejalan dengan harga Ceq sebesar 0,194 % yang menunjukkan bahwa bahan ini memiliki kemampuan las yang baik, sehingga yang perlu diperhatikan adalah meminimalkan pengaruh pengelasan terhadap perubahan struktur mikro sehingga penurunan kekuatan mekanik masih dalam batas yang selamat. DAFTAR PUSTAKA [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14].

[15]. [16]. [17]. [18]. [19].

[20].

[21]. [22]. [23].

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Laporan Analisis Keselamatan rev. 5, PTLR, Tangerang, (2006). Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Pengelolaan Limbah, http://www.batan.go.id/ptlr/08id, diunduh pada tanggal 12 Mei 2008 Wardoyo, T. J., Metode Peningkatan Tegangan Tarik dan Kekerasan pada Baja Karbon Rendah Melalui Baja Fasa Ganda, Teknoim, 10(3): 237-248, (2005). Wiryosumarto, H. dan Okumura, T., Teknologi Pengelasan Logam, PT. Pradya Paramita, Jakarta, (2000). Messler, R.W., Principles of Welding (Processes, Physics, Chemistry, and Metallurgy), John Wiley and Sons, United States, (1999). th Kelly, F., Handbook, Vol. 6 : Welding, Brazing and Soldering, 9 ed, ASM, USA, (1992). th George F. Vander Voort, ASM Handbook, Vol. 9 : Metallography and Micro Structures, 9 ed, ASM, USA, (1992). nd Sindo Kou, Welding Metallurgy, 2 ed., John Wiley & Sons, Inc, New York, (2003). Amelinckx, S., et.al., Handbook of Microscopy: Applications in Materials Science, Solid-State st Physics and Chemistry, 1 ed., Wiley-VCH, (1996). Yajiang, L.I., et.al., XRD and TEM Analysis of Microstructure in the Wwelding Zone of 9Cr-1Mo-VNb Heat Resisting Steel, Bulletin of Materials Science, 25 (3): 213-217, (2002). th Khun, H., Meslin, D, ASM Handbook, Vol. 8 : Mechanical Testing and Evaluation, 9 ed, ASM, USA, (1992) th Crancovic, M.G., SM Handbook, Vol. 10 : Materials Characterization, 9 ed, ASM, USA, (1992). ASTM Standards, Metal Test Methods and Analytical Procedures Volume 03.01 Edisi 3, West Conshohocken, (2001). Pimenta. G., and Bastian, F., Influence of Plate Thickness on the Mechanical Properties of Welded Joints Subjected to Long-Term Post Weld Heat, Journal of Materials Engineering and Performance, 11(2): 130-137, (2002). Tata Surdia, dkk., Pengetahuan Bahan Teknik, Edisi 4, PT. Pradya Paramita, Jakarta, (1999) Anonim, Besi dan Baja, http://www.sapuijux.multiply.com/journal/item/18/besi dan baja, diunduh tanggal 5 Mei 2008 Anonim, Transformasi Baja pada Kondisi Non Equilibrium, http://its.ac.id/personal/material/750fahmi, diunduh pada tanggal 4 Mei 2008. Anonim, Perlakuan Panas (Heat Treatment) pada Baja, http://gregorius.blogdetik.com, diunduh pada tanggal 7 Mei 2008. George F.,Vander Voort, Microstructure of Ferrous Alloys, Research & Technology, Buhler Ltd, Lake Bluff,Il, 2001, http://www.industrialheating.com/articles/Cover_strory/93096f835 cbb 70 10 Vgn VCM 100000f932a 8c0, diunduh pada tanggal 8 Mei 2008 Setiawan, A., Wardana,Y.A.Y., Analisa Ketangguhan dan Struktur Mikro pada Daerah Las dan HAZ Hasil Pengelasan Sumerged ARC Welding pada Baja SM 490, Jurnal Teknik Mesin, 8 (2): 57-63, (2006). nd Karl-Eric, T., Steel and Its Heat Treatment, 2 ed , Buffer Warth & Co, Boston, London, (1994). Pllack, W.H., Pollack, H., Meterials Sience And Metallurgy, Reston Publising Company, Virginia. (1997) Anonim, The Metallurgy of Carbon Steel, http://www.gowelding.com/met/Carbon.htm, diunduh tanggal 5 mei 2008

29

Aisyah: Perubahan Struktur Mikro dan Sifat Mekanik pada Pengelasan Drum Baja Karbon Wadah Limbah Radioaktif

[24].

[25]. [26].

30

Santoso, J., Pengaruh Arus Pengelasan Terhadap Kekuatan Tarik dan Ketangguhan Las SMAW dengan Elektroda E7018, Skripsi Strata 1,Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang, Semarang, (2006). Trindade Filho, V.B., et.al., Normalizing Heat Treatment Effect on Low Alloy Steel Weld Metals, J. Braz. Soc. Mech. Sci. & Eng, 26 (1): 62-66, (2004). Steiner, R., ASM Handbook, Volume 1: Properties and Selection: Irons, Steels, and HighPerformance Alloys, ASM, USA, (1998)

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

KARAKTERISASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI TOLERAN URANIUM PADA LIMBAH URANIUM FASE ORGANIC TBP-KEROSIN Mirna Windiya Jayanti1) , Bernadetta Octavia1), M. Yazid2) 1)

Program Studi Biologi, FMIPA-Universitas Negeri Yogyakarta Karangmalang-Yogyakarta 2) Pusat Teknologi Akseleator dan Proses Bahan- BATAN Jl. Babarsari, Yogyakarta

ABSTRAK KARAKTERISASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI TOLERAN URANIUM PADA LIMBAH URANIUM FASE ORGANIK TBP-KEROSIN. Karakterisasi dan identifikasi bakteri tolerant uranium pada limbah uranium fase organic TBP-Kerosin telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri toleran uranium pada limbah uranium fase organik TBP-kerosin. Bakteri toleran uranium diisolasi secara selektif dari media pengkayaan yang terdiri dari 10%v/v limbah uranium dalam media glukosa cair sehingga diperoleh 10 koloni. Masing-masing koloni disubkultur pada media isolasi dan skrinning sehingga diperoleh isolat kultur murni bakteri toleran uranium. Masing-masing kultur murni tersebut ditumbuhkan pada media yang mengandung uranium dengan variasi konsentrasi 0 ppm, 120 ppm,150 ppm, dan 180 ppm. Isolat bakteri yang memiliki konstanta pertumbuhan instan tertinggi pada media yang mengandung 180 ppm uranium merupakan bakteri toleran uranium terpilih yang selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi isolat bakteri terdiri dari; morfologi koloni, morfologi sel, pewarnaan gram, dan uji biokimiawi. Hasil karakterisasi diidentifikasi dengan metode profile matching dengan genus acuan yang ditelusuri pada Bergey’s Manual of Determinative. Hasil identifikasi menujukkan bahwa isolat-isolat bakteri toleran uranium terpilih termasuk dalam genus Pseudomonas, Escherichia dan Citrobacter. Kata kunci : Karakterisasi, identifikasi, bakteri, limbah uranium

ABSTRACT CHARACTERIZATION AND IDENTIFICATION OF URANIUM TOLERANT BACTERIA IN TBPKEROSIN ORGANIC PHASE OF URANIUM WASTE. Characterization and identification of uranium tolerant bacteria in TBP-Kerosene organic phase of uranium waste has been investigated. The purpose of this research was to characterize and identify uranium tolerant bacteria from uranium waste. The uranium tolerant bacteria was selectively isolated from enrichment medium which is consist of 10%v/v uranium waste in liquid glucose then ten colonies were isolated. Each colony was sub cultured in isolation and screening agar media then the pure culture isolate of uranium tolerant bacteria was resulted. Each pure culture was grown on media which contain of uranium in varies concentration; 120 ppm, 150 ppm, and 180 ppm. Isolate with the highest instantaneous growth constant in concentration 180 ppm uranium was the chosen of uranium tolerant bacteria and then was characterized. Characterize of isolate consist of; colony morphology, cell morphology, gram coloring and biochemical test. The result of characterization was identified by profile matching method with references genus which is traced in Bergey’s Manual of Determinative. Identification result showed that uranium tolerant bacteria include in genus of Pseudomonas, Escherichia and Citrobacter. Keywords: Characterization, identification, bacteria, uranium waste.

PENDAHULUAN Pemanfaatan teknologi nuklir dan zat radioaktif di berbagai negara pada bidang kedokteran, farmasi, biologi, dan industri telah menciptakan bermacam-macam produk yang berguna bagi kesejahteraan manusia. pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia telah dikembangkan sejak tahun [1] 1986 dan pemanfaatannya telah diterapkan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan .

31

:

Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin

Salah satu dampak negatif pemanfaatan teknologi nuklir di berbagai bidang yaitu timbulnya limbah radioaktif yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan keselamatan manusia. menyatakan bahwa kegiatan industri nuklir menimbulkan limbah cair organik radioaktif seperti limbah detergen persil dari pencucian pakaian kerja radiasi, limbah solven 30% TBP (tri-nbutylphosphate) dalam kerosin dari pemurnian atau pengambilan uranium dari kegagalan fabrikasi bahan bakar nuklir, limbah solven yang mengandung D2EHPA (di-2-ethyl hexylphosphoric acid), dan TOPO [2] (trioctylphospineoxide) . Limbah-limbah tersebut merupakan limbah cair organik radioaktif yang yang mengandung unsur radioaktif uranium serta anak luruhnya. Oleh karena itu, limbah-limbah tersebut harus memiliki pengelolaan yang optimal untuk menjamin keselamatan manusia dan lingkungan. Salah satu metode alternatif yang dikembangkan untuk menangani masalah lingkungan yang tercemar logam berat dan dapat diterapkan pada proses pengolahan limbah yakni bioremidiasi. Bioremidiasi adalah proses pembersihan lingkungan dari bahan pencemar dengan menggunakan [3] material biologis antara lain tumbuhan dan mikroorganisme . Keuntungan menggunakan mikroorganisme sebagai agen bioremidiasi yaitu tersedia di alam, biaya produksi yang murah, mampu melakukan recovery logam yang spesifik, dan mudah diperlakukan dalam limbah skala besar karena memiliki kinetika yang cepat dan tingkat selektivitas yang tinggi dalam [4] mengurangi logam . Selain itu, bioremediasi dapat dijadikan sebagai metode alternatif penanggulangan pencemaran karena sudah diakui mempunyai kelebihan yaitu ramah lingkungan karena senyawa organik mengalami mineralisasi dan menghasilkan produk akhir yang stabil dan tidak [5] beracun . Pemahaman mekanisme strategi bioremidiasi pada daerah tercemar dan mikroorganisme yang berperan sebagai agen bioremidiasi akan diperoleh jika pengetahuan akan distribusi dan keanekaragaman mikroorganisme telah dipelajari terlebih dulu. Keanekaragaman mikroorganisme menyebabkan mereka melimpah di bumi. Sebagian besar dari mikroorganisme tersebut belum diketahui karena 96 % mikroorganisme tersebut belum diisolasi di dalam laboratorium. Domain mikroorganisme yang belum dieksplorasi memiliki potensial yang besar pada bidang agrokultur, kehutanan, industri makanan, obat-obatan, remidiasi logam, dan lainnya. Untuk lebih memahami mekanisme bioremidiasi oleh mikroorganisme, dan proses yang terjadi pada mikroorganisme di [6 ] lingkungan, maka mikroorganisme tersebut perlu diisolasi dan dikarakterisasi . Salah satu mikroorganisme yang berpotensi dalam bioremidiasi lingkungan adalah bakteri. Bakteri hidup pada berbagai habitat (dari kondisi yang ideal hingga pada lingkungan yang ekstrim) untuk mendukung setiap bentuk kehidupan di bumi.. Mengetahui pola keanekaragaman bakteri merupakan salah satu hal yang penting karena bakteri meliputi sebagian besar keanekaragaman spesies di bumi, mereka berperan dalam berbagai siklus yang mendukung kehidupan bumi, dan keanekaragamannya berperan penting dalam bioremidiasi dan memiliki prospek biologis (dalam [7] pengobatan dan industri) . Berdasarkan uraian di atas, dimungkinkan terdapat bakteri toleran uranium yang mampu hidup di dalam limbah uranium fase organik TBP-Kerosin. Sehingga pada penelitian ini akan dilakukan isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri toleran uranium yang bersumber pada limbah uranium fase organik TBP-Kerosin. Dengan demikian isolat–isolat bakteri toleran uranium yang telah diidentifikasi diharapkan merupakan bakteri toleran uranium indigenous Indonesia yang dapat dipelajari keanekaragamannya dan dapat berpotensi dalam bioremidiasi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh isolat bakteri toleran uranium, mengetahui karakteristik bakteri bakteri toleran uranium dan menduga genus bakteri toleran uranium yang berasal dari limbah uranium fase organik TBP –Kerosin berdasarkan karakter fenotipiknya. TATA KERJA Preparasi sampel Limbah uranium fase organik TBP-Kerosin berasal dari Laboratorium Bioremidial PT ABP BATAN Yogyakarta yang telah disiapkan. Sampel dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah disediakan oleh pihak BATAN. Pada sampel limbah uranium fase organik TBP-Kerosin dilakukan pengamatan parameter fisikawi yaitu warna dan temperatur serta pengukuran parameter kimiawi yaitu 238 pH. kadar uranium, dan aktivitas radionuklida uranium U . Isolasi Bakteri Toleran Uranium Metode isolasi untuk mendapatkan isolat bakteri toleran uranium terdiri dari beberapa tahap, yaitu :

32

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Preparasi media enrichment, dimana media enrichment merupakan media diperkaya untuk menumbuhkan bakteri toleran uranium yang berada pada limbah uranium fase organik TBP-Kerosin. Media ini terdiri dari 10 %(v/v) limbah uranium fase organik TBP-Kerosin di dalam media glukosa cair dengan volume total 250 mL. Media dishaker dengan kecepatan 150 rpm hingga media berubah 0 menjadi keruh (terdapat pertumbuhan bakteri) pada suhu ruang (± 28 C). Tahap preparasi media isolasi dan skrinning, dimana media yang digunakan untuk isolasi pertumbuhan bakteri toleran uranium terdiri dari agar 9 gram, tryptone 5 gram, yeast extract 2.5 gram dan glukosa 1 gram ditambahkan akuadest sampai volumenya menjadi 1 liter. Media didihkan di atas hot plate dan didinginkan sejenak setelah media masak. Pada pembuatan media isolasi dan skrining yang mengandung 20 ppm uranium, sebanyak 5 mL uranil nitrat 1000 ppm dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL kemudian ditambahkan media isolasi sampai tanda tera labu ukur 250 mL. Media dalam labu ukur tersebut dikocok kemudian dimasukkan ke dalam erlemeyer 500 mL. Media isolasi dan skrinning yang mengandung 20 ppm o uranium disterilkan dengan autoclave pada suhu 121 C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Media isolasi dan skrinning yang mengandung 20 ppm uranium dituang pada petridish di dalam LAF (laminar air flow) setelah media hangat. Media yang padat disimpan di lemari es dengan kondisi terbalik. Media ini merupakan media isolasi dan skrinning yang mengandung 20 ppm uranium untuk isolasi bakteri toleran uranium secara selektif. 2.3 Isolasi Bakteri Toleran Uranium Media enrichment yang sudah keruh dikocok kemudian diambil secara aseptik satu ose penuh dan diinokulasikan dengan metode quadrant streak plate pada media isolasi dan skrinning agar plate yang mengandung 20 ppm uranium. Media yang telah diinokulasi selanjutnya diinkubasi pada suhu O ruang (±28 C) sampai tumbuh koloni-koloni bakteri pada permukaan media isolasi dan skrinning agar plate yang mengandung 20 ppm uranium. Tahap subkultur (kultur murni) isolat bakteri toleran Uranium, koloni-koloni bakteri yang tumbuh terpisah pada media isolasi dan skrinning agar plate yang mengandung 20 ppm uranium, kemudian ditumbuhkan pada media isolasi dan skrinning agar miring yang mengandung 20 ppm uranium. Pada tahap subkultur ini akan diperoleh sejumlah kultur murni isolat bakteri toleran uranium yang selanjutnya masuk dalam tahap skrining. Skrining isolat bakteri toleran Uranium, metode skrining untuk mendapatkan isolat bakteri toleran uranium terpilih terdiri dari beberapa tahap yaitu : pengukuran pertumbuhan isolat bakteri toleran Uranium. Masing-masing kultur murni isolat bakteri toleran uranium diambil secara aseptik satu ose penuh dan diinokulasikan pada media Nutrient Broth yang mengandung 20 ppm uranium. Media O tersebut kemudian dishaker dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang (±28 C) dan diinkubasi 6 sampai jumlah sel minimal 10 sel/mL. Isolat bakteri toleran uranium yang telah mencapai jumlah sel 6 minimal 10 sel/mL diinokulasikan sebanyak 10%(v/v) mL ke dalam masing-masing media Nutrient Broth yang mengandung variasi konsentrasi uranium yaitu 0 ppm, 120 ppm, 150 ppm, dan 180 ppm O kemudian dishaker dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang (±28 C). Pertumbuhan isolat bakteri toleran uranium pada interval waktu 0 sampai 120 jam ditentukan dengan mengukur kekeruhan atau nilai OD (optical density) dengan spektofotometrik pada panjang gelombang 620nm. Pengukuran Optical Density dikonversi dengan Klett unit yaitu: 1 Klett unit = nilai OD yang terukur x 500 Pengukuran parameter pertumbuhan isolat bakteri toleran Uranium. Kurva OD (optical density) pertumbuhan isolat bakteri toleran uranium digunakan untuk mengukur parameter pertumbuhan yaitu menghitung konstanta kecepatan pertumbuhan instan (µ), jumlah generasi (n), waktu generasi (g), dan konstanta kecepatan rerata pertumbuhan (k) masing-masing isolat bakteri. Isolat bakteri toleran uranium terpilih adalah isolat bakteri yang memiliki konstanta kecepatan pertumbuhan instan (µ) paling besar pada media Nutrient Broth yang mengandung180 ppm uranium. Dalam penelitian ini persamaan yang digunakan untuk mengukur parameter pertumbuhan yang menurut Madigan et al.,(2000) yaitu: a. Jumlah generasi (n):

b. Konstanta kecepatan pertumbuhan rerata (k):

33

:

Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin

c. Konstanta kecepatan pertumbuhan instan (µ) : d.

Waktu generasi (g): g = 1/k dimana Nt: populasi bakteri pada waktu tertentu, No: populasi awal bakteri, (t-to) : waktu inkubasi Log 2 :0,301, Log e :0,43429 Karakterisasi fenotipik isolat bakteri toleran Uranium, dilakukan pada semua kultur murni solat bakteri toleran uranium. Karakterisasi ini meliputi pengamatan morfologi koloni, morfologi sel, dan pengecatan gram sedangkan pada isolat bakteri toleran uranium terpilih juga dilakukan uji biokimiawi. Pengamatan morfologi koloni, dilakukan dengan menginokulasikan masing-masing kultur murni isolat bakteri toleran uranium pada media isolasi dan skrining agar plate, media isolasi dan skrining agar miring, dan media nutrient broth. Pengamatan morfologi sel dan penentuan sifat gram, dilakukan dengan cara pengecatan gram. Pengecatan gram dilakukan dengan membuat olesan bakteri toleran uranium pada gelas benda yang bersih dan bebas lemak. Olesan bakteri tersebut difiksasi dengan melewatkannya beberapa kali di atas nyala api bunsen. Setelah kering, dibubuhi secara merata dengan gram A (kristal violet), dibiarkan selama 30 detik kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Olesan bakteri dibubuhi merata dengan gram B (larutan iodine),dibiarkan selama 30 detik dan dicuci dengan air mengalir. Lakukan dekolorisasi (penghilangan warna) dengan membubuhkan olesan tersebut dengan gram C (etil alkohol 95%) selama 10-30 detik. Dekolorisasi telah terjadi dan berakhir ketika aliran solvent (etil alkohol) menjadi tidak berwarna lagi. Olesan bakteri dibubuhi dengan gram D (safranin) selama 20-30 detik dan dicuci dengan air mengalir. Olesan bakteri dikeringkan dengan kertas penghisap. Preparat bakteri diamati dengan mikroskop. Bakteri gram positif (+) ditunjukkan oleh warna ungu, sedangkan gram negatif (-) ditunjukkan oleh warna merah. Uji biokimiawi meliputi pengujian fermentasi karbohidrat, dilakukan dengan mengambil masingmasing satu ose koloni bakteri dan diinokulasikan dalam masing-masing media glukosa, laktosa, maltosa, dan sukrosa. Ke dalam media pengujian fermentasi karbohidrat ditambahkan indikator phenol red untuk memperjelas perubahan warna yang terjadi sebagai reaksi fermentasi. Disamping itu terdapat tabung durham dalam posisi terbalik di dalam media untuk melihat gas yang terbentuk sebagai reaksi O fermentasi. Masing-masing media diinkubasi pada suhu 37 C selanjutnya diamati perubahan warna media yang terjadi. Warna kuning menunjukkan media bersifat asam (hasil positif untuk uji fermentasi karbohidrat) sedangkan warna merah muda menunjukan media yang bersifat basa. Pengujian hidrolisa zat pati, dilakukan dengan cara menginokulasikan dengan cara menggoreskan satu ose koloni bakteri pada media starch agar. Media yang telah diinokulasi diinkubasi O pada suhu 37 C selama 2x24 jam. Uji positif ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih di sekitar koloni, sebaliknya uji negatif ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona jernih Produksi sulfur dan uji motilitas, dilakukan dengan menginokulasikan satu ose koloni bakteri O dengan metode tusukan pada media SIM. Media diinkubasi pada suhu suhu 37 C selama 24 jam, selanjutnya diamati ada tidaknya pembentukan sulfur dan motilitas koloni bakteri. Hasil sulfur positif ditandai dengan terbentuknya warna hitam pada media SIM. Kekeruhan yang menyebar sepanjang bekas tusukan menunjukkan reaksi positif terhadap motilitas bakteri. Pengujian sitrat sebagai sumber karbon, dilakukan dengan cara menginokulasikan koloni bakteri O pada media Simmon Citrate. Media diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam, selanjutnya diamati perubahan warna media yang terjadi. Warna biru menunjukkan reaksi positif dan warna hijau menunjukkan reaksi negatif pada media Simmon Citrate Produksi Indol dilakukan dengan cara menginokulasikan koloni bakteri pada media Triptone Broth selama 24 jam. Uji pembentukan indol dilakukan dengan menambahkan reagen Kovaks pada media tersebut. Adanya cincin merah yang terbentuk pada media tersebut menunjukkan reaksi positif terhadap pembentukkan indol. Uji katalase dilakukan dengan cara menginokulasikan satu ose koloni bakteri pada gelas benda steril kemudian ditetesi H2O2. Timbulnya gelembung gas menunjukkan reaksi positif terhadap uji katalase. Uji Voges-Proskauer (VP) dilakukan dengan cara menginokulasikan satu ose koloni bakteri pada media MRVP broth. Media MRVP broth yang keruh (terdapat pertumbuhan bakteri) diambil masing-masing 1 mL dan dimasukan dalam tabung reaksi steril. Pada tabung reaksi tersebut ditambahkan 0,6 mL larutan alpha naphtol dan 0,2 mL KOH 40% kemudian dikocok. Pada tabung reaksi tersebut ditambahkan sedikit kristal kreatinin untuk mempercepat reaksi kemudian dikocok kembali dan didiamkan ± 2 jam. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah muda

34

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

0

sampai merah delima. Sisa MRVP broth diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 35 C untuk digunakan dalam uji methyl red. 0 Uji MR (Methyl Red) MRVP broth yang telah diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 35 C, ditambahkan 5 tetes indikator methyl red. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah dan negatif jika terbentuk warna kuning. Identifikasi isolat bakteri toleran Uranium dilakukan dengan metode profile matching . Pada metode profile matching data karakter morfologi koloni, morfologi sel, dan uji biokimiawi dicocokkan dengan karakter genus acuan Pseudomonas, Escherichia dan Citrobacter yang ditelusuri melalui Bergey’s Manual of Determinative. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan sifat fisikawi dan kimiawi limbah Uranium fase TBP-kerosin Limbah uranim fase organik TBP-Kerosin berasal dari proses ekstrasi uranium di laboratorium BATAN dan disimpan dalam drum yang diletakkan dalam ruangan yang khusus. Pada waktu pengambilan limbah dilakukan pengukuran dan pengamatan faktor fisika dan kimia yaitu warna, suhu, pH, kadar uranium dan aktivitas radionuklidan uranium. Hasil penentuan sifat fisikawi dan kimiawi limbah uranim fase organik TBP-Kerosin disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Parameter fisikawi dan kimiawi limbah uranium uranim fase organik TBP-Kerosin NO. 1 2 3 4 5

Parameter Fisikawi dan Kimiawi Warna Suhu pH Kadar uranium Aktivitas radionuklida uranium U 238

Hasil Pengukuran Coklat pekat o 29 C 7.5 90-100 ppm 3 1.23 x 10 Bq/L

Data pengamatan limbah uranium fase organik TBP-Kerosin secara fisikawi dan kimiawi dapat dijadikan data pengamatan habitat awal bakteri toleran uranium. Limbah uranium fase organik TBP0 Kerosin memiliki suhu 29 C, pH 7.5, memiliki kadar uranium 90-100 ppm, dan memiliki aktivitas 238 3 radionuklida U yaitu 1.23 x 10 Bq/L. Jadi bakteri-bakteri yang tumbuh dalam limbah uranium fase organik TBP-Kerosin kemungkinan telah beradaptasi dengan melakukan mekanisme detoksifikasi tertentu untuk tetap hidup di lingkungan yang mengandung uranium. Limbah uranium ini masih disimpan dan belum diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan 238 karena limbah ini masih mengandung uranium dan aktivitas radionuklida U masih di atas batas tertinggi. Menurut Surat Keputusan KA. BAPETEN No. 02/Ka-BAPETEN/V-99 Tentang Baku Tingkat 3 Radioaktivitas di Lingkungan, batas tertinggi tingkat radioaktivitas di lingkungan adalah 1 x 10 Bq/L. Metode pengolahan limbah secara fisikawi dan kimiawi untuk mengolah limbah dengan kadar uranium kurang dari 100 ppm membutuhkan biaya yang tinggi sehingga diperlukan metode alternatif yang dapat mengolah limbah dan mengunduh kembali uranium di dalam limbah tersebut. Salah satu upaya alternatif yang telah dikembangkan dalam berbagai penelitian yaitu memanfaatkan potensi bakteri sebagai agen bioremidiasi. Untuk memahami mekanisme strategi bioremidiasi uranium dan bakteri-bakteri yang berperan sebagai agen bioremidiasi, maka bakteri toleran uranium tersebut perlu diisolasi dikarakterisasi dan diidentifikasi. Isolasi selektif bakteri toleran Uranium Isolasi bakteri toleran uranium pada limbah uranium fase organik TBP-Kerosin diawali dengan pengkayaan bakteri di dalam media enrichment. Media enrichment mengandung limbah uranium fase organik TBP-Kerosin, air, triptofan, dan glukosa sebagai nutrisi untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri toleran uranium yang tumbuh pada media isolasi dan skrining agar plate secara selektif berjumlah 10 koloni bakteri yaitu Mn 1, Mn 2, Mn 3, Mn 4, Mn 5, Mn 6, Mn 7, Mn 8, Mn 9, dan Mn 10. Kesepuluh bakteri yang tumbuh pada media isolasi dan skrining merupakan bakteri toleran uranium karena hanya bakteri toleran uranium yang mampu tumbuh pada lingkungan yang mengandung uranium.

35

:

Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin

Gambar 1. Kultur murni bakteri toleran uranium dari limbah uranium TBP-Kerosin pada media isolasi dan skrining agar miring yang mengandung 20 ppm uranium Pola pertumbuhan isolat bakteri toleran Uranium Pengukuran pertumbuhan bakteri toleran uranium dimulai pada waktu inkubasi 0 sampai 120 jam dengan interval waktu 24 jam. Pada waktu inkubasi 0 sampai 24 jam terlihat bahwa bakteri memasuki fase lag. Apabila mikroorganisme dipindahkan ke dalam suatu media, mula-mula mikroorganisme tersebut akan mengalami fase lag. Pada fase ini, mikroorganisme menyesuaikan diri dengan media dan [8] kondisi lingkungan di sekitarnya .Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena mungkin beberapa enzim belum disintesis. Data pengukuran nilai optical density pada waktu inkubasi 0 sampai 24 jam terlihat masih rendah karena pembelahan sel mungkin belum terjadi pada waktu inkubasi tersebut.

Gambar 2. Pertumbuhan Isolat Bakteri Toleran Uranium Pada Konsentrasi Uranium 0 ppm

36

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Gambar 3. Pertumbuhan Isolat Bakteri Toleran Uranium Pada Konsentrasi Uranium 120 ppm

Gambar 4. Pertumbuhan Isolat Bakteri Toleran Uranium Pada Konsentrasi Uranium 150 ppm

37

:

Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin

Gambar 5. Pertumbuhan Isolat Bakteri Toleran Uranium Pada Konsentrasi Uranium 180 ppm Pada grafik pertumbuhkan kesepuluh isolat bakteri toleran uranium menunjukkan bahwa fase eksponesial dimulai pada waktu inkubasi 24 jam dan semua isolat mengalami puncak fase eksponensial pada waktu inkubasi 72 jam. Namun terdapat kemungkinan bahwa puncak eksponensial dapat terjadi pada waktu inkubasi antara 24 sampai 96 jam. Nilai optical density yang meningkat pada fase eksponensial disebabkan oleh sel bakteri yang melakukan pembelahan dengan maksimal. Pada waktu inkubasi 96 sampai 120 jam tampak penurunan nilai optical density. Ion uranil akan menghambat metabolisme sitrat, reaksi enzimatis, dan menyebabkan kematian sel mikroorganisme sehingga terdapat kemungkinan bahwa pertumbuhan bakteri yang menurun disebabkan karena terhambatnya metabolisme isolat bakteri toleran uranium dan stock nutrisi dalam media sudah mulai berkurang. Stock nutrisi yang berkurang dapat menyebabkan sel yang tidak mampu [9] bertahan dan mati . Tabel 2. Parameter pertumbuhan isolat bakteri toleran uranium pada konsentrasi 180 ppm Uranium

Kode Isolat

Parameter Pertumbuhan Isolat Bakteri Toleran Uranium (n) (k) (µ) (g)

Mn 1

1,41

33,88

23,48

0,02

Mn 2

0,91

21,90

15,18

0,04

Mn 3

1,08

25,93

17,97

0,04

Mn 4

1,15

27,75

19,23

0,03

Mn 5

1,31

31,53

21,85

0,03

Mn 6

1,28

30,72

21,29

0,03

Mn 7

0,30

7,37

5,11

0,13

Mn 8

1,24

29,85

20,96

0,03

Mn 9

0,87

21,02

14,56

0,04

Mn10

0,77

18,64

12,92

0,05

38

Keterangan: (n): waktu generasi (g): jumlah generasi (k): konstanta kecepatan pertumbuhan rerata (µ): konstanta kecepatan pertumbuhan instan

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Hasil pengukuran parameter pertumbuhan digunakan sebagai metode skrining untuk mendapatkan isolat bakteri toleran uranium terpilih yang memiliki konstanta kecepatan pertumbuhan instan (µ) tertinggi. Kelima isolat bakteri toleran uranium yaitu Mn 1, Mn 4, Mn 5, Mn 6 dan Mn 8 merupakan isolat bakteri toleran uranium terpilih yang memiliki konstanta pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan kelima isolat bakteri toleran uranium yang lainnya Karakterisasi fenotipik isolat bakteri toleran Uranium terpilih Hasil skrining menunjukkan bahwa kelima Karakterisasi isolat bakteri toleran uranium terpilih dari limbah uranium fase organik TBP-Kerosin dilakukan dengan pengamatan morfologi koloni, pengecatan gram, morfologi sel, dan uji biokimiawi. Pengamatan pada morfologi koloni tampak bahwa isolat bakteri toleran uranium Mn 1, Mn 4 dan Mn 6 memiliki bentuk koloni yang serupa yaitu round with scalloped margin sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 6 memiliki bentuk koloni yang sama yaitu round. Kelima isolat bakteri tolaran uranium memiliki warna koloni yang serupa yaitu putih. Isolat bakteri toleran uranium Mn 1, Mn 5, dan Mn 8 memiliki tepi jenis smooth sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 memiliki tepi jenis irregular. Hasil pengamatan elevasi isolat bakteri toleran uranium terpilih tampak bahwa semua isolat bakteri toleran uranium terpilih memiliki elevasi jenis flat kecuali isolat Mn 5 yaitu jenis conveks. Hasil pewarnaan gram menunjukkan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium terpilih termasuk dalam kelompok gram negatif. Kelompok bakteri gram negatif ditandai dengan sel bakteri yang berwarna merah saat pengamatan secara mikroskopik. Warna merah tersebut disebabkan karena hilangannya pewarna kristal violet pada waktu dekolorisasi dengan alkohol kemudian sel bakteri menyerap pewarna merah yaitu safranin. Bakteri gram negatif mengandung konsentrasi lipid lebih rendah sehingga dinding sel bakteri akan lebih mudah terdehidrasi akibat perlakuan dengan alkohol. Dinding sel yang terdehidrasi menyebabkan daya permeabilitasnya berkurang sehingga zat warna ungu kristal keluar dari sel kemudian sel akan menyerap safranin. Hasil pengujian pertumbuhan pada media cair menunjukkan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium kecuali Mn 1 tumbuh merata dalam media. Isolat bakteri toleran uranium Mn 1 tumbuh pada permukaan media di dalam tabung reaksi sehingga isolat bakteri toleran uranium Mn 1 merupakan bakteri aerob sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 4, Mn 5, Mn 6, dan Mn 8 tumbuh merata di dalam media cair. Hal ini menunjukkan bahwa isolat bakteri toleran uranium Mn 4, Mn 5, Mn 6, dan Mn 8 merupakan bakteri anaerob fakultatif yang mampu hidup di lingkungan yang mengandung sedikit oksigen. Hasil dari pengujian motilitas bakteri menunjukkan bahwa isolat bakteri toleran uranium terpilih bersifat motil. Sifat motil dapat dilihat dari pertumbuhannya yang menyebar sepanjang tusukan pada media SIM. Semua isolat bakteri toleran uranium terpilih bersifat motil karena bakteri tersebut mempunyai flagella sebagai organ penggerak sel. Media SIM mengandung asam amino sistin yang dapat diuraikan oleh bakteri menjadi asam disulfida (H2S) oleh aktivitas enzim desulfurase sehingga terjadi perubahan media menjadi berwarna [10] hitam .Hasil uji terhadap kelima isolat menunjukkan bahwa semua isolat bakteri tersebut tidak mempunyai enzim desulfurase yang berfungsi untuk memecah sistin yang menghasilkan H 2S sehingga media SIM tidak berubah warna menjadi hitam. Jadi dapat disimpulkan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium tidak menggunakan asam amino sistin sebagai sumber energinya Uji katalase digunakan untuk mengetahui adanya enzim katalase pada isolat bakteri toleran uranium. Hasil uji katalase menunjukan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium terpilih memiliki enzim katalse. Hal ini tampak pada gelembung-gelembung gas yang dihasilkan di atas gelas benda yang sebelumnya telah diinokulasikan isolat bakteri toleran uranium kemudian ditetesi dengan reagen katalase. Gelembung-gelembung gas tersebut berasal dari hidrogen peroksida (H 2O2) yang terurai menjadi air dan O2 oleh aktivitas enzim katalase yang dimiliki oleh semua isolatbakteri toleran uranium. Uji indol digunakan untuk mengetahui adanya enzim triptofanase pada bakteri yang dapat menghidrolisis asam amino triptofan menjadi indol dan asam piruvat. Asam amino triptofan merupakan asam amino yang lazim terdapat pada protein sehingga asam amino ini dengan mudah dapat digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energinya. Pembentukan indol dari triptofan oleh mikroorganisme dapat diketahui dengan menumbuhkannya dalam media yang kaya dengan triptofan. Penumpukan indol dalam media tersebut dapat diketahui dengan penambahan reagen Kovacs. Reagen tersebut bereaksi dengan indol dan menghasilkan senyawa yang tidak larut air dan berwarna merah [10] pada permukaan media . Hasil uji indol pada isolat bakteri toleran uranium Mn4, Mn 5, Mn 6, dan Mn 8 menunjukkan bahwa pada media tersebut terbentuk indol yang ditandai dengan warna merah di bagian permukaan media. Hal ini menunjukkan bahwa keempat isolat bakteri tersebut mempunyai enzim triptofanase yang dapat menghidrolisis asam amino triptofan menjadi indol sedangkan isolat 39

:

Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin

bakteri toleran uranium Mn 1 tidak mampu menghidrolisis asam amino triptofan karena tidak terbentuk indol yang ditandai dengan tidak munculnya warna merah di bagian permukaan media triptofan. Uji sitrat digunakan untuk melihat kemampuan bakteri toleran uranium dalam menggunakan sitrat sebagai sumber energi bagi metabolisme sel. Media yang digunakan untuk uji ini adalah Simmons + citrate yang merupakan media sintetik dengan Na-sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon dan NH4 sebagai sumber N. Bila mikroorganisme mampu menggunakan sitrat, maka asam akan dihilangkan dari [10] media, sehingga menyebabkan peningkatan pH, dan mengubah warna media dari hijau menjadi biru . Dari hasil uji diperoleh data bahwa isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 menunjukan hasil yang positif terhadap uji sitrat yang ditandai dengan warna hijau pada media. Jadi isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 mampu menggunakan sitrat sebagai sumber energi sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 1, Mn 4, dan Mn 6 tidak mampu menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Dari hasil pengujian terhadap fermentasi glukosa menunjukan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium dapat memfermentasikan glukosa dengan menghasilkan asam (media berwarna kuning) dan membentuk gas. Isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 juga dapat memfermentasi laktosa namun isolat bakteri toleran uranium Mn 1, Mn 5 dan Mn 8 tidak dapat menfermentasikan laktosa yang ditandai dengan warna media yang merah. Isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 dapat memfermentasi laktosa karena isolat bakteri toleran uranium tersebut memiliki enzim laktase yang mampu memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Dari hasil pengujian fermentasi maltosa, menunjukkan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium terpilih yaitu Mn 1, Mn 4, Mn 5, Mn 6, dan Mn 8 dapat memfermentasikan maltosa. Hal ini ditandai dengan media yang berwarna kuning sehingga menandakan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium terpilih memiliki enzim maltase yang mampu memecah maltosa menjadi dua molekul glukosa. Hasil pengujian fermentasi sukrosa menunjukkan bahwa isolat bakteri toleran uranium terpilih yaitu Mn 1, Mn 4, Mn 6, dan Mn 8 dapat memfermentasikan sukrosa sehingga media berubah warna menjadi kuning Hal ini menandakan bahwa isolat bakteri toleran uranium terpilih Mn 1, Mn 4, Mn 6, dan Mn 8 memiliki enzim sukrase yang mampu memecah sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa. Sedangkan isolat Mn 5 tidak mampu menfermentasikan sukrosa sehingga media berubah warna menjadi merah muda. Uji hidrolisis pati dilakukan untuk mengetahui adanya enzim amilase yang berfungsi untuk memecah pati menjadi komponen yang lebih sederhana. Bila zat pati dihidrolisis oleh eksoenzim amilase, maka senyawa tersebut akan diuraikan menjadi maltosa dan glukosa. Zat pati yang bereaksi secara kimia dengan yodium ditandai dengan terbentuknya warna biru kehitaman. Warna biru kehitaman ini terjadi bila molekul yodium masuk ke dalam bagian yang kosong pada molekul zat pati (amilosa) yang berbentuk spiral. Proses yodinisasi zat pati menghasilkan molekul yang dapat mengabsorpsi semua cahaya, terkecuali warna biru. Tidak terbentuknya warna biru sewaktu [10]. penambahan larutan yodium ke dalam media merupakan petunjuk adanya hidrolisis zat pati Hasil uji hidrolisis zat pati menunjukkan bahwa isolat bakteri toleran uranium Mn 4, Mn5, dan Mn 6 dapat menguraikan zat pati. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya zona jernih di sekeliling koloni bakteri sewaktu penambahan larutan yodium ke dalam media sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 1 dan Mn 8 tidak dapat menguraikan zat pati sehingga terbentuk warna biru di sekeliling koloni bakteri sewaktu penambahan larutan yodium. Hasil positif uji methyl red ditandai dengan terbentuknya warna merah pada media pengujian yang menandakan bahwa isolat bakteri mampu memfermentasikan glukosa dalam media menjadi asam [11] campuan yaitu asam laktat, asam asetat, asam suksinat, dan asam format .Pada uji methyl red semua isolat bakteri toleran uranium terpilih menunjukkan hasil yang positif pada uji ini kecuali isolat bakteri toleran uranium Mn 1. Hal ini menunjukkan bahwa isolat bakteri toleran uranium Mn 4, Mn 5, Mn 6, Mn 8 mampu memfermentasikan glukosa dalam media menjadi asam campuran yaitu asam laktat, asam asetat, asam suksinat, dan asam format sehingga media berwarna merah. Tetapi isolat bakteri toleran uranium Mn 1 tidak mampu memfermentasikan glukosa dalam media menjadi asam campuran yaitu asam laktat, asam asetat, asam suksinat dan asam format sehingga media uji berwarna kuning. Hasil positif uji Voges Proskauer ditandai dengan terbentuknya warna merah jambu yang menandakan bahwa bakteri tersebut mampu memfermentasikan glukosa melalui jalur glikolisis menghasilkan asam piruvat. Asam piruvat tersebut kemudian masuk dalam jalur butanediol [11] menghasilkan acetoin yang dapat tereduksi menjadi 2.3 butanadiol . Pada pengujian Voges Proskauer tampak bahwa semua isolat bakteri toleran uranium terpilih (Mn 1, Mn 4, Mn5, Mn 6, dan Mn 8) menunjukkan hasil negatif pada uji ini karena pada media pengujian tidak terbentuk warna merah jambu dan media berwarna kuning. Hal ini menunjukkan bahwa semua isolat bakteri toleran uranium

40

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

terpilih tidak memfermentasikan glukosa menghasilkan acetoin yang dapat tereduksi menjadi 2.3 butanadiol. Identifikasi isolat bakteri toleran Uranium terpilih Identifikasi isolat bakteri toleran uranium terpilih dilakukan dengan metode profile matching berdasarkan genus acuan Pseudomonas, Citrobacter, dan Escherichia yang ditelusuri melalui Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology Edisi 9. Hasil identifikasi isolat bakteri toleran uranium terpilih berdasarkan karakter fenotipik morfologi sel, pengecatan gram, kebutuhan O2, dan uji biokimiawi menunjukkan bahwa bakteri toleran uranium Mn 1 diduga termasuk dalam golongan genus Pseudomonas, isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 diduga termasuk dalam golongan genus Escherichia, dan isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 diduga termasuk dalam golongan genus Citrobacter. Isolat bakteri toleran uranium Mn 1 diduga merupakan anggota genus Pseudomonas, karena memiliki karakter yang mirip dengan genus tersebut. Karakter fenotipik genus Pseudomonas yang dimiliki isolat bakteri toleran uranium Mn 1 yaitu berbentuk batang pendek, gram negatif, bersifat aerob, motil, tidak memproduksi H2S, mampu memfermentasikan glukosa, mampu menghidrolisa zat pati , katalase positif, pengujian indol negatif, reduksi metyl red negatif, tes Voges Proskauer negatif, serta tidak menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 diduga merupakan anggota genus Escherichia, karena memiliki karakter yang mirip dengan genus tersebut. Karakter fenotipik genus Escherichia yang dimiliki isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 yaitu berbentuk batang pendek, gram negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, tidak memproduksi H2S, mampu menfermentasikan glukosa, mampu menfermentasikan laktosa, katalase positif, pengujian indol positif, reduksi metyl red positif, tes Voges Proskauer negatif serta tidak menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 diduga merupakan anggota genus Citrobacter, karena memiliki karakter yang mirip dengan genus tersebut. Karakter fenotipik genus Citrobacter yang dimiliki isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 yaitu berbentuk batang pendek, mampu menfermentasikan glukosa, mampu menfermentasikan maltosa, gram negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, tidak memproduksi H2S, katalase positif, pengujian indol positif, reduksi metyl red positif, tes Voges Proskauer negatif serta menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Namun untuk benar–benar memastikan bahwa isolat bakteri toleran uranium Mn 1 termasuk dalam genus Pseudomonas, isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 termasuk dalam genus Escherichia, dan isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 termasuk dalam genus Citrobacter, diperlukan karakteristik genotipik pada tingkat molekuler. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa : Bakteri toleran uranium dapat diisolasi dari Limbah uranium fase organik TBP-Kerosin. Isolat bakteri toleran uranium yang diisolasi dari limbah cair uranium fase TBP kerosin memiliki karakter fenotipik yaitu isolat bakteri toleran uranium Mn 1, Mn 4 dan Mn 6 memiliki bentuk koloni yang serupa yaitu round with scalloped margin sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 6 memiliki bentuk koloni yang sama yaitu round. Kelima isolat bakteri tolaran uranium memiliki warna koloni yang serupa yaitu putih. Isolat bakteri toleran uranium Mn 1, Mn 5, dan Mn 8 memiliki tepi jenis smooth sedangkan isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 memiliki tepi jenis irregular. Semua isolat bakteri toleran uranium terpilih memiliki elevasi jenis flat kecuali isolat Mn 5 yaitu jenis conveks. Isolat bakteri toleran uranium Mn 1 yaitu berbentuk batang pendek, gram negatif, bersifat aerob, motil, tidak memproduksi H2S, mampu memfermentasikan glukosa, mampu menghidrolisa zat pati , katalase positif, pengujian indol negatif, reduksi metyl red negatif, tes Voges Proskauer negatif, serta tidak menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Karakter fenotipik isolat bakteri toleran uranium Mn 4 dan Mn 6 yaitu berbentuk batang pendek, gram negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, tidak memproduksi H 2S, mampu menfermentasikan glukosa, mampu menfermentasikan laktosa, katalase positif, pengujian indol positif, reduksi metyl red positif, tes Voges Proskauer negatif serta tidak menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Karakter fenotipik isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 yaitu berbentuk batang pendek, mampu menfermentasikan glukosa, mampu menfermentasikan maltosa, gram negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, tidak memproduksi H2S, katalase positif, pengujian indol positif, reduksi metyl red positif, tes Voges Proskauer negatif serta menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Hasil identifikasi isolat bakteri toleran uranium terpilih berdasarkan karakter fenotipik menunjukkan bahwa bakteri toleran uranium Mn 1 diduga termasuk dalam golongan genus Pseudomonas, isolat bakteri toleran uranium

41

:

Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, M. Yazid: Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Toleran Uranium pada Limbah Uranium Fase Organic Tbp-Kerosin

Mn 4 dan Mn 6 diduga termasuk dalam golongan genus Escherichia, dan isolat bakteri toleran uranium Mn 5 dan Mn 8 diduga termasuk dalam golongan genus Citrobacter. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]

Suratman, Introduksi Proteksi Radiasi. Yogyakarta: BATAN, (1996). Salimin, Zainus., Endang Nuraini, Mirawaty dan Cerdas Tarigan, Perancangan Unit Keteknikan Proses Oksidasi Biokimia Untuk Pengolahan Limbah Cair Organik Radioaktif, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional V, pada 5 November 2009 di BATAN Yogyakarta. (2009). th [3] Madigan, T.M., Martinko, J.M., dan Parker , J., Brock Biology of Microorganism. 9 edition. Prentice Hall International UK Limited, pp. 73, (2000). [4] Genter, R.B., Ecology of Inorganic Chemical Stress to Algae. In Algae Ecology. Stevenson R.J., Bothwell M.I., and Lowe R.L., Eds. San Diego. USA: Academic Press, pp. 403-465, (1996). [5] Thomas, J.M, Ward C.H., Raymond R.L., Wilson J.T., dan Loehr R.C., Bioremediation. Encyclopedia Of Microbiology. Volume 1. Academic, (1992). [6] Sarkar, et al,. Microbial Biodiversity Screening for Metal Accumulators from mineral Ore Rich Site in Andhra Pradesh, India. Jurnal of Biological Sciences 8 (2):32-40, (2008). [7] Devine, M.Claire Horner, Karen M. Carney and Brendan J.M. Bohannan, An Ecological Perspective on Bacterial Biodiversity”. The Royal Society. Pp 113-122, (2003). [8] Waluyo, Lud., Mikrobiologi Umum. Malang:UMM Press, ( 2004). [9] Latmani, R.B., Leckie, J.L and Spoorman, A., Interaction of Pseudomonas with Uranyl. Conference Abtrac 5. Cambrige Universitty Press, (2000). [10] Lay, B.W., Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta:Raja Grafindo Persada, (1994). [11] Litaay, Magdalena, Risco B. Gobel, As’adl Abdullah, Karunia Alle, Serii Lejab., “Kualitas Medai Pemeliharaan Larva Lola Merah dan Kima Sisik Hasil Filtrasi Bertingkat di Hatchery’. Ilmu Kelautan Edisi Maret 2007.pp 24-30, (2007).

42

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PENENTUAN Kd RADIONUKLIDA ACUAN Cs-137 OLEH TANAH LOKASI SP-4 DI KAWASAN NUKLIR SERPONG Budi Setiawan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK PENENTUAN Kd RADIONUKLIDA ACUAN Cs-137 OLEH TANAH LOKASI SP-4 DI KAWASAN NUKLIR SERPONG. Lokasi SP-4 merupakan lahan yang terletak di dalam Kawasan Nuklir Serpong yang direncanakan akan dibangun suatu fasilitas disposal limbah radioaktif untuk demonstrasi. Rencana ini dimaksud selain sebagai sarana untuk mendemonstrasikan kemampuan rancang-bangun suatu fasilitas disposal juga untuk mengantisipasi peningkatan volume paket limbah terolah yang ada pada fasilitas penyimpanan sementara. Untuk keperluan perancangan tersebut diperlukan tersedianya data sorpsi radionuklida yang diwakili radiocesium oleh tanah lokasi. Data yang diperoleh merupakan data keandalan lokasi tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya sebaran radionuklida ke lingkungan. Tujuan dari percobaan ini adalah mendapatkan data distribusi radiocesium oleh tanah lokasi SP-4 untuk mempelajari keandalan lokasi SP-4 terhadap adanya radiocesium di air tanah. Sampel tanah yang digunakan adalah tanah hasil pengeboran dengan kedalaman 8 dan 12 m dari permukaan tanah. Tanah tersebut dipreparasi dengan cara dikeringkan dengan oven, di gerus, diayak hingga diperoleh ukuran butir 100 mesh dan dikeringkan secara udara bebas. Sampel tanah dan larutan yang mengandung radiocesium dikontakkan dalam vial PE 20 ml selama waktu tertentu. Parameter yang berpengaruh seperti waktu kontak, kekuatan ionic larutan, konsentrasi Cs dan adanya ion-ion koeksistensi dikenakan pada percobaan ini. Ratio tanah-air adalah 10-2 g/ml. hasilnya menunjukkan bahwa kondisi kesetimbangan dicapai setelah pengontakkan selama 8 hari dengan nilai Kd 3600 dan 4750 ml/g masing-masing untuk sampel SP-4.1 dan SP-4.2. Penurunan nilai Kd radiocesium oleh sampel tanah sesuai dengan perubahan kekuatan ionik larutan akibat adanya kompetisi antara garam latar dengan ion Cs di larutan untuk melakukan sorpsi ke sampel tanah. Meningkatnya konsentrasi Cs di larutan telah menurunkan nilai Kd radiocesium dan isoterm sorpsi yang terjadi telah mengikuti aturan Freundlich. Keberadaan ion-ion koeksistensi di larutan telah menurunkan nilai Kd dengan urutan Ca2+ > Mg2+ > K+ > Na+. Karakter sorpsi radiocesium oleh sampel tanah lokasi SP-4 ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi ion-ion logam yang terdapat di larutan. Kata kunci: Lokasi SP-4, sampel tanah, radiocesium, Kd

ABSTRACT Kd DETERMINATION OF REFERENCE RADIONUCLIDE Cs-137 ONTO SOIL OF SP-4 LOCATION IN SERPONG NUCLEAR AREA. Location SP-4 is a land that place within the Serpong Nuclear Area which is planned to build a radioactive waste disposal facility for the demonstration purpose. This plan is intended to demonstrate the ability of design-engineered a disposal facility and also to anticipate the increasing volume of processed waste packages that exist in an interim storage facility. For the purposes of designing of disposal facility need an availability of radiocesium sorption data by location soil. The data obtained is a reliable data of location to anticipate the possibility of distribution of radionuclides into the environment. The objective of the experiment is to obtain the distribution data of radiocesium onto soil of SP-4 location to study the reliability of the location of SP-4 for the presence of radiocesium in the groundwater. Soil samples used were soil from drilling results with 8 and 12 m depth from ground level. The soil was prepared by oven-dried, crushed, sieved to obtain grain size 100 mesh and then dried in open air. Soil samples and radiocesium contained solution was contacted in a 20 ml vial of PE in a certain time. Affected parameters such as contact time, ionic strength solution, the concentration of Cs and the coexistence of charged ions were applied in this experiment. Soil-water ratio is 10-2 g/ml, results indicate that the equilibrium condition was achieved after contacted for 8 days with Kd values 3600 and 4750 ml / g for the SP-4.1 and SP-4.2 samples respectively. Declined in the Kd value of radiocesium onto soil samples in accordance with the changes of ionic strength in solution due to competition between the background salt with Cs ions in the solution to sorption onto soil samples. Increased in concentrations of Cs in solution has reduced the value of Kd and radiocesium sorption isotherms have been following the Freundlich law. The presence of coexistence ions in solution has lowered the value of Kd with the order Ca2 +> Mg2 +> K +> Na +. Character of radiocesium sorption onto locations SP-4 soil sample was greatly influenced by the condition of the metal ions present in solution. Keywords: Location of SP-4, soil samples, radiocesium, Kd

43

Budi Setiawan: Penentuan Kd Radionuklida Acuan Cs-137 oleh Tanah Lokasi SP-4 di Kawasan Nuklir Serpong

PENDAHULUAN Lokasi SP-4 merupakan lapangan yang terletak di dalam Kawasan Nuklir Serpong (KNS), di sebelah utara gedung penyimpanan sementara-2 (interim storage-2/IS-2) yang berada di dalam pagar kuning BATAN dengan luas area ± 0,8 Ha tepatnya didepan gedung fasilitas IS-2 milik Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Serpong-Tangerang. Pada lokasi tersebut direncanakan akan dibangun suatu fasilitas disposal limbah radioaktif untuk keperluan demonstrasi. Selain sebagai sarana untuk mendemonstrasikan kemampuan rancang-bangun suatu fasilitas disposal juga untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan volume paket limbah terolah yang ada pada fasilitas penyimpanan sementara. Pada fasilitas IS-1 dan 2 sampai akhir tahun 2010 telah tersimpan paket limbah dalam drum 200 L maupun dalam shell beton 350 dan 950 L sebanyak 824 drum 200 L, 16 shell drum 200 L, 19 shell beton 350 L dan 101 shell beton 950 L, dan diperkirakan terus akan bertambah ditahun-tahun mendatang [1]. Fasilitas demonstrasi yang akan dibangun terutama diperuntukkan untuk limbahlimbah dengan klasifikasi aktivitas sangat rendah-rendah serta berumur paruh pendek dimana dalam panduan IAEA disarankan untuk dapat disimpan pada sarana fasilitas disposal jenis dekat permukaan (near surface disposal/NSD) [2,3] sehingga fasilitas disposal yang akan direncanakan merupakan fasilitas jenis NSD. Untuk keperluan perancangan tersebut salah satunya data yang diperlukan tersedia adalah data sorpsi radionuklida (yang diwakili radiocesium) oleh tanah lokasi. Data yang diperoleh merupakan data keandalan lokasi tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya sebaran radionuklida ke lingkungan. Radiocesium (Cs-137) adalah radionuklida yang masuk ke lingkungan dapat melalui jatuhan dari percobaan senjata atom beberapa dekade yang lalu, dan merupakan radionuklida yang sangat diperhatikan pada program pengkajian keselamatan fasilitas disposal limbah radioaktif karena merupakan radionuklida yang dominan pada inventori limbah radioaktif, berwaktu paro yang panjang (30 tahun) serta kelarutannya yang tinggi di lingkungan [4,5]. Sifat-sifatnya yang demikian menjadikan radiocesium penting untuk dipelajari pada analisis keselamatan disposal limbah dimana karakteristik host rocknya harus mampu untuk menhambat terjadinya migrasi radiocesium ke lingkungan melalui mekanisme sorpsi. Sehingga data sorpsi radiocesium oleh sampel tanah dari lokasi SP-4 sangat diperlukan. Tujuan dari percobaan ini adalah mendapatkan data distribusi radiocesium oleh tanah lokasi SP-4 untuk mempelajari keandalan lokasi SP-4 terhadap adanya radiocesium di air tanah dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang mempengaruhi sorpsi radiocesium ke sampel tanah. TATA KERJA Sampel tanah yang digunakan adalah coring tanah hasil pengeboran pada lokasi SP-4 dengan kedalaman 8 dan 12 m dari permukaan tanah [6] yang selanjutnya disebut sebagai SP-4.1 dan SP-4.2. Tanah tersebut kemudian dipreparasi di laboratorium dengan cara dikeringkan dengan oven, di gerus, diayak hingga diperoleh ukuran butir 100 mesh dan dikeringkan secara udara bebas. Sampel tanah dan larutan yang mengandung radiocesium dikontakkan dalam vial PE 20 ml selama interval waktu tertentu sampai dicapainya kondisi kesetimbangan. Setelah dipisahkan fase padat dan cairnya dengan cara filtrasi menggunakan filter 0,45 m nucleopore kemudian aktivitas- pada beningan di ukur dengan menggunakan alat spektrometer sistem merk Canberra. Dari hasil pengukuran aktivitas ini kemudian koefisien distribusi (Kd) radiocesium di sampel tanah dapat dihitung dengan cara membandingkan antara banyaknya aktivitas terserap di padatan dengan banyaknya aktivitas tersisa di larutan. Karakter sorpsi dari sampel tanah dipelajari dengan melihat parameter yang berpengaruh pada kontak antara sampel tanah dengan larutan yang mengandung Cs-137. seperti waktu kontak, kekuatan ionic larutan, konsentrasi Cs dan adanya ion-ion koeksistensi dikenakan pada percobaan ini. Ratio -2 tanah-air adalah 10 g/ml. Untuk percobaan pengaruh kekuatan ionik larutan, maka larutan pengontak di kondisikan sebagai 0,1 dan 1,0 M NaCl. Sedangkan untuk pengaruh konsentrasi Cs, konsentrasi awal CsCl yang -8 -3 diberikan di larutan adalah 10 sampai 10 M CsCl. Pengaruh ion koeksistensi dipelajari dengan memberikan larutan yang mengandung ion-ion Na, K, Mg dan Ca masing-masing dengan konsentrasi -8 -4 -4 10 , 10 dan 10 M. Larutan kemudian diberi pengemban Cs-137. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium kimia Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Serpong-Tangerang pada tahun anggaran 2011. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinetika sorpsi radiocesium oleh sampel SP-4.1 dan SP-4.2 dapat ditunjukkan pada Gambar 1. Dari gambar diatas terlihat bahwa penyerapan radiocesium oleh sampel tanah terjadi sangat cepat, dimana nilai Kd mencapai konstan atau tercapainya kondisi kesetimbangan setelah pengontakkan

44

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

mendekati hari ke-8 dengan pertambahan yang tidak nyata setelah waktu tersebut. Dengan adanya kontak antara radiocesium dengan sampel tanah maka site aktif sampel tanah menjadi terisi dan kemudian menjadi jenuh setelah pengontakkan selama 8 hari, sehingga waktu kontak 8 hari dipilih untuk percobaan selanjutnya. Nilai Kd yang diperoleh adalah skitar 3600 dan 4750 ml/g masingmasing untuk sampel SP-4.1 dan SP-4.2. Penyerapan Cs yang seketika dapat mengindikasikan bahwa mekanisme pertukaran ion dapat terjadi pada interaksi antara radiocesium dengan sampel tanah dari lokasi SP-4.

Gambar 1. Kinetika sorpsi radiocesium oleh sampel SP-4.1 (kiri) dan SP-4.2 (kanan)

Gambar 2. Pengaruh kekuatan ionic pelarut terhadap sorpsi Cs-137 oleh sampel SP-4.1 (kiri) dan SP-4.2 (kanan) Gambar 2 menunjukkan berkurangnya nilai Kd pada setiap sampel tanah akibat dari meningkatnya kekuatan ionik larutan yang direpresentasikan oleh meningkatnya konsentrasi NaCl di larutan. Kekuatan ionik larutan yang meningkat telah menaikkan banyaknya konsentrasi ion Na di larutan yang dapat menetralisir site aktif pertukaran disekeliling permukaan sampel tanah [7] yang mengakibatkan terjadinya kompetisi ionik antara ion-ion Na dengan Cs yang berinteraksi dengan sampel tanah. Meningkatnya ion Na di larutan dapat menghalangi terjadinya interaksi antara Cs dengan sampel tanah sehingga dapat mengurangi banyaknya Cs terserap oleh sampel tanah.

45

Budi Setiawan: Penentuan Kd Radionuklida Acuan Cs-137 oleh Tanah Lokasi SP-4 di Kawasan Nuklir Serpong

Gambar 3. Pengaruh konsentrasi CsCl terhadap perubahan nilai Kd Cs-137 oleh sampel SP-4.1 (kiri) dan SP-4.2 (kanan) Perubahan nilai Kd terjadi disepanjang rentang konsentrasi awal CsCl dilarutan setelah dilakukan pengontakkan selama 8 hari. Konsentrasi awal yang diberikan terentang dari tingkat kelumit -8 -3 (10 M) sampai dengan 10 M CsCl. Nilai Kd dari radiocesium terlihat menurunnya dengan meningkatnya konsentrasi Cs di larutan dengan tidak mengikuti garis lurus. Nilai Kd menurun secara nyata karena keterbatasan kapasitas serap ion logam oleh sampel tanah, diperkirakan uptake radiocesium oleh tanah telah meningkat tetapi tidak sebanding dengan kapasitas serapnya [.8.].

46

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Gambar 4. Isoterm sorpsi radiocesium oleh sampel SP-4.1 (kiri) dan SP-4.2 (kanan) Regresi linier terlihat baik mengikuti plot log-log data sorpsi seperti pada Gambar 4, hal ini menandakan bahwa isoterm sorpsi yang terjadi telah mengikuti persamaan Freundlich sepanjang rentang konsentrasi awal Cs [9], Log[Cs]padatan = log K + N log[Cs]larutan -1

dimana [Cs]padatan adalah banyaknya konsentrasi Cs terserap pada fase padat (mol, g ), [Cs]larutan adalah konsentrasi Cs yang berada di larutan (M) dan N,K adalah slope dari kurva yang diperoleh dan konstanta Freundlich. Hasil isoterm sorpsi dari kedua sampel tanah terlihat sangat mirip diantara keduanya.

47

Budi Setiawan: Penentuan Kd Radionuklida Acuan Cs-137 oleh Tanah Lokasi SP-4 di Kawasan Nuklir Serpong

Gambar 5. Pengaruh ion-ion koeksistensi terhadap sorpsi radiocesium oleh sampel SP-4.1 (kiri) dan SP-4.2 (kanan) Kompetisi antara kation-kation pada saat berinteraksi dengan sampel tanah sangat dipengaruhi oleh sifat serap dari ion Cs. Keberadaan ion-ion Na, K, Mg dan Ca di larutan telah mampu mereduksi sorpsi Cs ke sampel tanah. Selanjutnya kompetisi yang terjadi antara Cs dengan ion-ion koeksistensi dipengaruhi oleh energy relative interaksi antara ion-ion koeksisitensi-radiocesium dan site aktif permukaan sampel tanah (10). Kekuatan ion-ion koeksistensi di larutan untuk menurunkan nilai Kd 2+ 2+ + + berturut-turut dengan urutan Ca > Mg > K > Na . KESIMPULAN Penentuan Kd radiocesium oleh tanah lokasi SP-4 di Kawasan Nuklir Serpong telah lakukan, dimana lokasi SP-4 adalah lahan yang terletak di dalam Kawasan Nuklir Serpong yang direncanakan akan dibangun suatu fasilitas disposal limbah radioaktif untuk demonstrasi. Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa kondisi kesetimbangan dicapai setelah pengontakkan radiocesium dengan sampel tanah selama 8 hari dengan nilai Kd 3600 dan 4750 ml/g masing-masing untuk sampel SP-4.1 dan SP4.2. Perubahan kekuatan ionik telah menyebabkan terjadinya penurunan nilai Kd radiocesium oleh sampel tanah akibat adanya kompetisi antara garam latar dengan ion Cs di larutan untuk melakukan sorpsi ke sampel tanah. Meningkatnya konsentrasi Cs di larutan telah menurunkan nilai Kd 48

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

radiocesium dan isoterm sorpsi yang terjadi telah mengikuti aturan Freundlich. Keberadaan ion-ion 2+ 2+ + + koeksistensi di larutan telah menurunkan nilai Kd dengan urutan Ca > Mg > K > Na . Karakter sorpsi radiocesium oleh sampel tanah lokasi SP-4 ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi ion-ion logam yang terdapat di larutan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih ditujukan kepada Sdr. Teddy Sumantry B.Sc., Sdri. Heru Sriwahyuni S.ST dan Nurul Efriekaningrum S.ST dari Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, PTLR-BATAN atas bantuan preparasi dan pekerjaan radiokimianya. DAFTAR PUSTAKA [1]. BPL, Data Akumulasi Paket Limbah Olahan Tahun 2010, PTLR-BATAN (2010). [2]. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, Near Surface Disposal of Radioactive Waste, Safety Requirements No. WS-R-1, IAEA, Vienna (1999). [3]. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, Near Surface Disposal of Radioactive Wastes, Safety Series No. 111-S.3, IAEA, Vienna (1994). [4]. RILEY R.G., ZACHARA J.M., AND WOBBER F.J., Chemical Contaminants on DOE Lands and Selection of Contaminant Mixtures for Subsurface Science Research. DOE/ER-0547T, US Department of Energy Office of Energy Research, Washington, D.C., (1992). 137 [5]. Staunton S., AND Roubaud M., Adsorption of Cs on Montmorillonite and Illite: Effect of charge compensating cation, ionic strength, concentration of Cs, K, and fulvic acid. Clays and Clay Minerals, 45, 251 – 260 (1997). [6]. PPGN BATAN, Laporan Akhir Penyelidikan Geologi Teknik dan Hidrogeologi Tapak Fasilitas Demo Plant PLLR di PPTN Serpong, PTLR BATAN (2010). [7]. Cornell R.M., Adsorption of Cesium on Minerals: A review. J. Radioanal. and Nucl. Chem., 171, 483 – 500, (1993). [8]. Comans R.N.J., and Hockley D.E., Kinetics of Cesium Sorption on Illite. Geochim. et Cosmochim. Acta, 56, 1157– 1164, (1992). [9]. Liang T.J., Hsu C.N., Liou D.C., Modified Freundlich Sorption of Caesium and Strontium on Wyoming Bentonite, Appl Radiat Isot 44:1205-1208, (1993). [10]. Lyklema J., Simple Hofmeister Series, Chem. Physics Letters 467, 217-222, (2009).

49

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

SORPSI RADIOCESIUM PADA BENTONIT ASAL CIRANGGABOGOR: PENGARUH WAKTU KONTAK, KONSENTRASI CS DAN KEKUATAN IONIK LARUTAN Budi Setiawan, Heru Sriwahyuni, Nurul Efri Ekaningrum, Teddy Sumantry Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310 ABSTRAK SORPSI RADIOCESIUM PADA BENTONIT ASAL CIRANGGA-BOGOR:Pengaruh Waktu Kontak, Konsentrasi Cs dan Kekuatan Ionik Larutan. Dengan memahami kemampuan mineral lempung seperti bentonit untuk menyerap radiocesium di larutan merupakan hal pokok untuk memperkirakan keadaan polutan ini di lingkungan. Penelitian sorpsi radiocesium ini dilakukan untuk memperoleh data spesifik sorpsi radiocesium pada bentonit yang berasal dari Cirangga, Bogor-Jawa Barat dan percobaan dilakukan secara catu di laboratorium. Hasilnya diekspresikan sebagai nilai koefisien distribusi. Sedangkan sifat sorpsinya dipelajari dengan memperhatikan variasi parameter seperti waktu kontak, konsentrasi kation/Cs dan kekuatan ionik di larutan. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu kontak akan meningkat sampai dicapainya kondisi kesetimbangan dalam 2 tahapan. Meningkatnya konsentrasi Cs di larutan akan menurunkan nilai Kd dan kekuatan ionik mempengaruhi sorpsi radiocesium ke bentonit. Kondisi larutan dan konsentrasi ion logam akan berpengaruh pada nilai Kd ion logam pada bentonit. Kata kunci : Radiocesium, bentonit, waktu kontak, konsentrasi Cs, kekuatan ionik ABSTRACT RADIOCESIUM SORPTION ONTO BENTONITE CIRANGGA-BOGOR ORIGIN: Effects of Contact Time, concentration of Cs and Ionic Strength of Solution. A thorough understanding of the capacity of clay mineral such as bentonite to adsorb radiocesium in solution is essential in order to predict the fate of this pollutant in the environment. Investigation the sorption of radiocesium have been done to find out the specific sorption data of radiocesium onto bentonite from Cirangga, Bogor-West Jawa, and the experiments were performed in batch method at laboratory. The results have been expressed as the distribution coefficient values. And the sorption properties have been studied with respect to various parameters, such as contact time, concentration of cation/Cs and ionic strength in solution. Result showed that contact time increased until equilibrium condition reached in 2 steps. Increasing in concentration of Cs in solution decreased on Kd values, and ionic strength dependence of radiocesium sorption onto bentonite. The conditions of solution and metal ion concentrations could effect on Kd values of metal ion in bentonite. Keywords: Radiocesium, bentonite, contact time, concentration of Cs, ionic strength

PENDAHULUAN Radiocesium Cs-137 mempunyai waktu paro yang panjang dan dapat menciptakan masalah radioekologi di biosfer. Radioisotop ini dapat berasal dari jatuhan bahan fisi dari percobaan bom atom disekitar tahun 1960an atau dapat pula berasal dari adanya kemungkinan lepasan radiocesium dari fasilitas penyimpanan limbah radioaktif. Sifat kimianya yang mirip dengan ion K menjadikan Cs mudah berpindah pada kondisi lingkungan yang ada. Selain itu ion logam ini sangat mudah melakukan asimilasi dengan tumbuhan maupun organisme yang ada di air. Sehingga untuk keselamatan lingkungan perlu dipelajari sifat sorpsinya terhadap mineral lempung seperti bentonit, karena bentonit diperkirakan mampu menyerap radiocesium sehingga akan dapat menghambat mobilitas radiocesium di air tanah atau lingkungan [1]. Hal seperti inilah yang menjadikan bentonit digunakan sebagai bahan penyangga maupun bahan isian pada fasilitas penyimpanan limbah radioaktif. Fasilitas penyimpanan limbah radioaktif menggunakan bentonit dan campurannya sebagai bahan penyangga dan bahan isian [2]. Bahan penyangga yang diletakkan disekeliling fasilitas penyimpanan limbah akan berperan sebagai pengatur laju alir air tanah yang menuju ke fasilitas baik 50

Budi Setiawan, Heru Sriwahyuni, Nurul Efri Ekaningrum, Teddy Sumantry: Sorpsi Radiocesium pada Bentonit Asal CiranggaBogor: Pengaruh Waktu Kontak, Konsentrasi Cs dan Kekuatan Ionik Larutan

berupa air dari permukaan maupun dari rembesan air tanah. Semakin lama paket limbah terhindar dari air tanah maka semakin awet paket pengungkung limbah terhadap kemungkinan terjadinya lepasan radionuklida dari paket limbah. Adanya lepasan radionuklida dari paket limbah akan bereaksi dengan bentonit sebagai bahan isian yang berperan sebagai penyerap adanya radionuklida yang ”lepas” dari paket limbah. Untuk itu penelitian tentang kemampuan bentonit untuk menyerap radionuklida perlu dilakukan, terutama data untuk bentonit lokal yang masih sangat minim. Penyerapan ion logam yang ada di air tanah akan sangat tergantung pada besar nilai tukar kation suatu bahan [3] yang melakukan kontak dengan ion logam tersebut, juga akan tergantung pada konsentrasi ion logam yang akan diserap [4] serta kekuatan ionik larutan yang dapat menyebabkan terjadinya kompensasi muatan kation pada bentonit [5]. Tujuan penelitian ini adalah melakukan penyelidikan yang sistematis mengenai sorpsi radiocesium oleh bentonit asli Indonesia dengan suatu kondisi yang terkontrol di laboratorium. Pengaruh dari parameter-parameter seperti waktu kontak, konsentrasi ion Cs dan kekuatan ionik larutan telah dipelajari. Kegiatan ini telah dilakukan pada laboratorium Kimia Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-Badan Tenaga Nuklir Nasional di SerpongTangerang pada tahun 2011. TATA KERJA Bentonit yang digunakan berasal dari perusahaan industri pertambangan CV Sumber Wahana Sejati-Sukabumi yang diambil dari daerah Cirangga, Bogor-Jawa Barat. Di laboratorium, bentonit tersebut dipreparasi dengan cara dibersihkan dari segala kotoran (akar, kerikil, dedaunan) kemudian di o keringkan secara oven (T=90 C, 4 jam) lalu di tumbuk, digerus dan disaring sehingga diperoleh ukuran butir 100 mesh. Terakhir serbuk bentonit ini dikeringkan secara alami dengan dianginkan ditempat yang sejuk, sampel siap digunakan untuk percobaan. Isotop Cs-137 digunakan sebagai pengembang dalam percobaan, dengan aktivitas 37 MBq dalam 5 ml. Radiocesium selanjutnya digunakan tanpa dilakukan preparasi lebih lanjut, sedangkan bahan kimia lainnya seperti CsCl, NaCl berasal dari Merck. -8 Sampel bentonit selanjutnya dikontakkan dengan CsCl 10 M dalam wadah vial PE volume 20 ml. Pengemban Cs-137 ditambahkan sebagai penanda untuk analisis radiometrik. Campuran dikocok, pada periode waktu tertentu larutan diambil untuk dianalisis radioaktivitasnya sampai diperoleh waktu setimbang. Indikator dari analisis adalah terjadinya perubahan nilai distribusi koefisiennya/ nilai Kd dimana didefinisikan sebagai banyaknya ion Cs yang terserap di fase padat dibandingkan dengan -2 besarnya ion Cs tersisa di larutan. Ratio padat/cair sampel adalah 10 g/ml. Alat analisis yang digunakan adalah spektrometer merek Canberra Sedangkan pengaruh konsentrasi Cs dilakukan -8 dengan cara mengontakkan sampel bentonit dengan CsCl yang konsentrasinya di variasi 10 sampai -3 10 M dan diberi radiocesium sebagai pengemban. Pengaruh kekuatan ionik dilakukan pada kondisi larutan 0; 0,1 dan 1,0 M NaCl, dan perlakuan selanjutnya sama denga percobaan sebelumnya. Hasil yang diperoleh diekspresikan sebagai nilai Kd. Konsentrasi Cs di larutan dihitung dari pengukuran aktivitas supernatan sebelum dan sesudah pengontakkan dan nilai Kd didapat dari,

Dimana C0 dan Ct adalah besar konsentrasi/aktivitas Cs-137 sebelum dan setelah pengontakkan, sedangkan V dan m adalah volume larutan yang digunakan dan berat kering sampel bentonit yang digunakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan lokasi bahan bentonit di Pulau Jawa berdasarkan data dan informasi yang ada pada peta penyebaran mineral alam di Pulau Jawa [6] sehingga dari data itu dapat dikenali beberapa daerah potensi dan penambangan bentonit di Pulau Jawa secara umum dan di daerah Jawa Barat secara khusus, salah satunya di Cirangga-Bogor. Dimana bentonite untuk sampel diperoleh dari perusahaan penambangan bentonit secara komersial yang ada di Sukabumi yaitu CV. Sumber Wahana Sejati. Gambar 1 menunjukkan pengaruh waktu kontak atau disebut juga sebagai kinetika sorpsi radiocesium oleh bentonit. Terlihat bahwa bertambahnya waktu kontak antara sampel bentonite dan radiocesium, maka sebagian dari Cs yang ada di larutan telah berpindah ke fase padat/sampel bentonite sampai diperoleh kondisi yang setimbang yang ditandai oleh grafik yang melandai. Dalam Gambar 1 ini telah diperoleh 2 grafik yang melandai pada hasil kinetika sorpsi Cs oleh bentonite, hal ini disebabkan karena bentonit merupakan lempung yang struktur kristalnya terdiri dari tiga lapis [7]. Dimana satu lapisan berbentuk oktahedral dan dua lapisan berbentuk tetrahedral oleh Silikon dan Oksigen. Lapisan ini akan 51

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

menyatu dengan ujung-ujung kisi tetrahedral Silikon membentuk lapisan dengan lapisan Hidroksil dari oktahedral yang akhirnya akan membentuk lapisan 3 layer mineral bentonit dengan susunan: tertrahedral-oktahedral-tetrahedral. Mineral bentonit akan sangat baik untuk sorpsi ion-ion logam karena mempunyai ukuran partikel yang sangat kecil serta mempunyai kapasitas penukaran ion yang baik antara ion-ion logam dengan ion-ion Ca atau Na dari bentonit.

Gambar 1. Kinetika sorpsi radiocesium oleh sampel bentonit dari Cirangga

Sorpsi radiocesium terjadi dalam dua tahap, dimana tahap pertama ion Cs akan mengisi kisi tetrahedral sampai jenuh kemudian ion Cs sisanya melakukan kontak dengan kisi oktahedal sehingga dalam grafik ini dapat terlihat seperti ada 2 tahapan penyerapan. Dimana penyerapan pertama mulai terlihat jenuh pada hari ke-8, sedangkan penyerapan ke-2 terlihat jenuh setelah waktu kontak minimal 16 hari. Nilai Kd mencapai konstan setelah waktu kontak mencapai 16 hari dengan nilai Kd mencapai sekitar 17.000 ml/g. Gambar 2 menunjukkan pengaruh konsentrasi awal ion Cs dalam larutan versus nilai Kd -8 -3 sepanjang rentang konsentrasi yang diberikan 10 sampai 10 M CsCl. Nilai Kd terlihat menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi awal ion Cs di larutan. Hal ini bersesuaian dengan falsafah Kd dimana konsentrasi Cs yang ada di larutan akan diserap oleh bentonite sampai kapasitas bentonite menjadi jenuh. Adanya peningkatan konsentrasi Cs di larutan akan menaikkan banyaknya Cs yang tersisa di larutan yang akhirnya akan menurunkan distribusi koefisien dari Cs di bentonit sesuai dengan falsafah Kd.

52

Budi Setiawan, Heru Sriwahyuni, Nurul Efri Ekaningrum, Teddy Sumantry: Sorpsi Radiocesium pada Bentonit Asal CiranggaBogor: Pengaruh Waktu Kontak, Konsentrasi Cs dan Kekuatan Ionik Larutan

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi CsCl terhadap sorpsi radiocesium oleh sampel bentonit dari Cirangga

Gambar 3. Isoterm sorpsi radiocesium oleh sampel bentonit dari Cirangga

Pada Gambar 2, variasi nilai Kd radiocesium dengan konsentrasi awal Cs menunjukkan bahwa isotherm sorpsi yang terjadi tidak membentuk garis lurus. Nilai Kd menurun bersama dengan meningkatnya konsentrasi Cs di larutan padahal pada kondisi yang sebenarnya adalah konsentrasi Cs yang terserap di bentonit terus meningkat. Bila data yang sama kemudian diekspresikan dengan cara -1 lain dimana data banyaknya Cs terserap per-unit massa padatan di bentonite (mol g ) di plotkan versus -1 banyaknya Cs tersisa per-unit volume di larutan (mol ml ) pada skala logaritma dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil regresi yang berupa garis lurus pada grafik skala logaritma ini menunjukkan bahwa isoterm sorpsi yang terjadi telah mengikuti isoterm Freundlich sejauh rentang konsentrasi yang diberikan. Gambar 4 menunjukkan berkurangnya nilai Kd radiocesium karena adanya penambahan konsentrasi NaCl di larutan yang mengekspresikan adanya perubahan kekuatan ionik larutan. Konsentrasi NaCl yang diberikan adalah 0; 0,1 dan 1,0 M NaCl. Hasilnya menunjukkan bahwa 53

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

pengaruh pemberian konsentrasi NaCl telah menurunkan nilai Kd secara nyata. Diperkirakan karena adanya kompetisi antara ion-ion Na dengan Cs yang ada di larutan kedalam bentonit. Ion-ion Na di larutan akan segera menetralisir ion-ion negatif yang ada di sekitar site aktif bentonit sehingga akan menghambat upaya ion-ion Cs yang akan berinteraksi dengan bentonit. Akibatnya ion-ion Cs bila akan melakukan interaksi dengan bentonit harus berkompetisi dengan ion-ion Na yang ada disekeliling sampel bentonit, dan ini dapat menyebabkan menurunnya nilai Kd dari Cs oleh bentonit. Gejala seperti ini telah pula dijumpai pada hasil penelitian dari Di Toro [8]. Sampai sekarang masih belum ada suatu penelitian yang dilaporkan yang secara sistematis mengenai pengaruh I terhadap proses penyerapan ion logam dari larutan sehingga beberapa peneliti memperkirakan tentang adanya kemungkinan bekerjanya gaya-gaya elektrostatis disekitar padatan/ bentonit akibat berubahnya I larutan telah membuat terjadinya penurunan selektivitas ion-ion logam terhadap site pertukaran yang ada di padatan/ bentonit [9].

Gambar 4. Pengaruh I larutan terhadap sorpsi radiocesium oleh sampel bentonit dari Cirangga

KESIMPULAN Untuk memperoleh data spesifik sorpsi radiocesium pada bentonit yang berasal dari Cirangga, Bogor-Jawa Barat telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian yang hasilnya adalah, bentonit dari Cirangga mempunyai kemampuan sorpsi radiocesium yang cukup baik terlihat dari nilai Kd yang mencapai sekitar 17.000 ml/g yang dicapai setalah pengontakan selama 16 hari. Kejenuhan sorpsi radiocesium oleh bentonit dicapai dalam 2 tahapan yang mencerminkan bahwa bentonit merupakan mineral banyak lapis (multi-layer). Meningkatnya konsentrasi awal Cs di larutan telah menurunkan nilai Kd dan telah memberikan isoterm sorpsi yang mengikuti aturan Freundlich. Adanya konsentrasi NaCl di larutan telah menurunkan nilai Kd, hal ini diperkirakan karena telah terjadinya kompetisi antara ion-ion Na dan Cs untuk berinteraksi dengan site aktif bentonit. Untuk memperkaya database kemampuan sorpsi bahan mineral asli Indonesia perlu dilakukan penelitian sejenis untuk bahan/mineral dari daerah lain di Indonesia, dimana data ini dapat bermanfaat sekali sebagai salah satu masukan untuk kegiatan pengkajian keselamatan suatu fasilitas penyimpanan limbah radioaktif di masa depan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia atas bantuan dana penelitian pada kegiatan ini melalui Program Insentif Riset PKPP Tahun 2011, kepada CV. Sumber Wahana Sejati-Sukabumi atas bantuan sampel bentonitnya. DAFTAR PUSTAKA [1]. Cornell, RM., Adsorption of Cesium on Minerals: A review. J Radioanal Nucl Chem 171:483-500 (1993). 54

Budi Setiawan, Heru Sriwahyuni, Nurul Efri Ekaningrum, Teddy Sumantry: Sorpsi Radiocesium pada Bentonit Asal CiranggaBogor: Pengaruh Waktu Kontak, Konsentrasi Cs dan Kekuatan Ionik Larutan

[2]. Ding, M. ,et.al., Sorption Characteristics of Radionuclides on Clays in Yucca Mountain Alluvium, Presented to 2006 IHLRWM, April 30 - May 4, 2006, Las Vegas, Nevada. [3]. Wendling, LA., Harsh, JB., Palmer, CD., Hamilton, MA., Flury, M., Cesium Sorption Illite, Clays and Clay Minerals, Vol. 52, No. 3, 375–381, (2004). [4]. Mironenko, MV. et.al., Experimental Study of Sorption of Np(V) on Kaolinite, Herald of the Department of the Earth Sciences RAS, (2004). [5]. UM, Wy, and Papelis, C., Sorption Mechanisms of Sr and Pb on Zeolitized Tuffs from The Nevada Test Site as a Function of pH and Ionic Strength, American Mineralogist, Vol. 88, 2028–2039, (2003). [6]. Dir. SDM, Peta Sebaran Mineral Industri dan Batuan Indonesia, skala 1: 5000.000, (1990). [7]. Encyclopedia of Geological Science, Mc Graw-Hill, NY (1978). [8]. Di Toro, DM., et.al., Effect of Nonreversibility, Particle Concentration and I on Heavy Metal Sorption, Env. Scie. Technol. 20, 55-61 (1986). [9]. Staunton, S., Roubaud, M., Adsorption 137Cs on Montmorillonite and Illite, Clay & Clay Minerals Vol.45, No.2, 251-260 (1997).

55

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

RESPON ENZIM ANTIOKSIDAN PADA BIOAKUMULASI SENYAWAAN MERKURI PADA Oreochromiss mossambicus Heny Suseno1), Sumi Hudyono PWS2) 1) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 2) Departemen Kimia - Universitas Indonesia, Kampus UI-Depok

ABSTRAK RESPON ENZIM ANTIOKSIDAN PADA BIOAKUMULASI SENYAWAAN MERKURI PADA Oreochromiss mossambicus. Telah dilakukan penelitian respon enzim antioksidan dalam tubuh oreochromis mossambicus yang terpapar oleh senyawaan merkuri. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mempelajari respon enzim-enzim antioksidan terhadap cemaran merkuri dan metil merkuri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi hubungan antara proses bioakumulasi senyawaan merkuri dan respon biologisnya dalam tubuh O. mossambicus dan dapat diaplikasikan dalam monitoring lingkungan pesisir. Eksperimen dilakukan berdasarkan simulasi ekologi + 2+. perairan pesisir yang terkontaminasi CH3Hg dan Hg Simulasi ini dilakukan di aquarium, respon enzim SOD dan CAT diamati pada setiap perubahan konsentrasi kedua kontaminan tersebut. Hasil eksperimen menunjukkan kenaikan konsentrasi kedua kontaminan tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas enzim SOD dan CAT pada daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus dan menyebabkan penurunan rasio aktivitas enzim SOD terhadap CAT. Hubungan antara konsentrasi kedua kontaminan tersebut terhadap respon enzim SOD dan CAT maupun rasio kedua enzim tersebut memberikan berbagai persamaan linier yang dapat digunakan untuk kepentingan pemantauan cemaran senyawaan merkuri pada air payau. Kata kunci : Enzim, SOD, CAT, Oreochromis mossambicus

ABSTRACT RESPONSE OF ANTIOKSIDANT ENZYMES AS RESULT OF BIOACCUMULATION MERCURY ON Oreochromiss mossambicus. The study of response of antioxidant enzymes as result of bioaccumulation mercury on Oreochromiss mossambicus has been done. This research aims to study the response of antioxidant enzymes to mercury and methyl mercury contamination. The results of this study is expected to provide the information link between the process of bioaccumulation of mercury coumpounds and biological responses in the body O.mossambicus and can be applied in monitoring the coastal environment. Simulation experiments was performed in the aquarium, the response of enzymes SOD and CAT observed in any change the concentration + + of these contaminants. The experimental shown that increasing of CH3Hg and Hg concentrations would increased the SOD and CAT enzyme activity in the flesh, intestines, gills, kidneys and liver of O. mossambicus and decreased the ratio of SOD to CAT. The relationship between the concentrations of these contaminants on the response of these two enzymes SOD and CAT as well as the ratio of the two enzymes that provide a variety of linear equations that can be used for monitoring contamination of mercurycompounds in brackish water. Keywords: Enzymes, SOD, CAT, , Oreochromis mossambicus

PENDAHULUAN Berbagai jenis polutan masuk ke lingkungan pesisir laut sebagai akibat eksternalisasi beragam jenis limbah industri dan domestik ke dalam sungai. Salah satu jenis polutan adalah merkuri yang merupakan unsur non esensial bersifat neurotoksin. Merkuri mengalami metilasi dalam lingkungan perairan anaerob dan kaya akan sulfur. Metilmerkuri yang terbentuk memberikan dampak toksik pada berbagai organisme termasuk manusia. Toksisitas metil merkuri lebih berbahaya daripada merkuri. Pemantauan metil merkuri dapat dilakukan berdasarkan analisis dan penggunaan bioindikator. 56

Heny Suseno, Sumi Hudyono PWS: Respon Enzim Antioksidan Pada Bioakumulasi Senyawaan Merkuri Pada Oreochromiss mossambicus

Penggunaan bioindikator dapat dilakukan berdasarkan kadar merkuri dalam tubuh biota maupun respon biomarker. Biomarker didefinisikan sebagai sinyal indikator suatu kondisi dalam sistem biologi atau sampel yang memberikan ukuran paparan, efek atau dugaan. Indikator dapat berupa senyawaan kimia yang [1,2] terukur, biokimia, psikologi, sifat atau altererasi dalam suatu organisme Biomarker saat ini digunakan dalam pemantauan lingkungan sebagai sinyal peringatan dini (early warning). Penelitian biomarker yang berkaitan dengan bioindikator logam berat termasuk merkuri dan metil merkuri telah [3-8]. dilakukan Pada penelitian tersebut terbukti bahwa bioakumulasi logam berat selalu diikuti oleh perubahan konsentrasi biomarker dibandingkan pada kondisi normal. Ikan banyak digunakan dalam studi respon biokimia dan biologis terhadap kontaminasi lingkungan. Ikan mudah dijumpai disebagian besar lingkungan akuatik dan memainkan peranan penting [9] dalam tatanan ekologi dan jejaring makanan akuatik . Oreochromis mossambicus (ordo Percifomes, family cichlidae, genus Oreochromis) dapat digunakan sebagai bioindikator perairan pesisir karena banyak dibudidayakan diperairan payau dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan [10] salitinas . Pada penelitian sebelumnya telah dipelajari kemampuan akumulasi senyawaan merkuri oleh O. [11] Mossambicus . Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mempelajari respon enzim-enzim antioksidan terhadap cemaran merkuri dan metil merkuri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi hubungan antara proses bioakumulasi senyawaan merkuri dan respon biologisnya dalam tubuh O. Mossambicus. TATA KERJA Hewan percobaan (O. mossambicus) secara terpisah dipapar merkuri dan metil merkuri (0,105; -1 + -1 0,361 dan 1,832 µg.l CH3Hg dan 0,2; 2,0; 10,0 dan 20,0 µg.l ) selama 30 hari seperti pecobaan sebelumnya [Jtpl] Selanjutnya hewan percobaan siap untuk dianalisis kandungan biomarkernya mengunakan tahapan-tahapan sebagai berikut: Setelah terpapar merkuri dan metil merkuri selama 30 hari, seluruh ikan ditimbang dan di bedah. Bagian hati (liver) dicuci dengan air garam dan sebanyak 0,3 gram bagian yang telah dicuci tersebut dihomogenasi dalam 3 ml 10 mM Tris buffer (pH 7.5) yang mengandung 0,01 M Tris, 0.25 M sucrose, and 0.01 M EDTA. Larutan yang mengandung jaringan hati tersebut selanjutnya disentrifugasi o pada suhu 4 C dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan merupakan larutan enzim dan siap dianalisis kandungan protein serta empat jenis enzim antioksidan. [12] Aktivitas enzim CAT ditentukan menggunakan metoda Xu . Metoda ini didasari pada reaksi orde satu antara CAT dengan H2O2. Sebanyak 10 µl larutan enzim hasil preparasi tersebut di atas ditambahkan 3,0 ml larutan buffer H2O2-fosfat dan absorbansi H2O2 diukur setiap 5 sampai 60 detik menggunakan spektrofotometer. Larutan buffer H2O2-fosfat dibuat melalui pengenceran 0,16 ml H2O2 (30% W/V) kedalam 100 ml bufer fosfat (pH 7). Disisi lain bufer fosfat dibuat dengan cara melarutkan 3,522 g KH2PO4 and 7,268 g Na2HPO4·H2O ke dalam 1000 ml akuades. Penambahan buffer fosfat juga dilakukan pada larutan enzim yang berasal dari ikan yang dipelihara dalam kondisi normal. Satu unit aktivitas CAT didifinisikan menggunakan persamaan (1) (1) Dimana K adalah slope kurva ln Absorban pada 250 nm terhadap waktu (t). [12] Aktivitas SOD ditentukan menggunakan metode Zhu . Metoda ini didasari oleh inhibisi enzim SOD melalui autooksidasi 1,2,3-benzenetriol. Pertama-tama kecepatan autookidasi (Ko) 1,2,3benzenetriol dalam larutan buffer 0,05 M Tris-HCl (pH=8,2) secara spektrofotometri pada panjang gelombang 325 nm. Selanjutnya kecepatan inhibisi autooksidasi SOD (K SOD) diukur melalui penambahan 10 μl larutan enzim hasil preparasi tersebut di atas pada larutan buffer yang sama. Satu unit aktivitas SOD (U) didefinisikan sebagai kuantitas protein enzim yang digunakan untuk menginhibisi o 50% kecapatan autooksidasi 1,2,3 benzenetriol pada suhu 25 C dan dihitung menggunakan persamaan (2). (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Paparan merkuri dan metal merkuri secara internal dan eksternal pada sel menghasilkan spesi oksigen reaktif (ROS). Pada kondisi normal biota menjaga keseimbangan antara menghasilkan dan menetralkan ROS dan pada saat terpapar oleh polutan (termasuk senyawaan merkuri) laju produksi ●− ●− ROS seperti radikal anion (O2 ), hidrogen peroxide (H2O2), radikal hidroksi (OH ) dan radikal peroksil [7] (ROO ) meningkat . Spesi oksigen reaktif tersebut akan bereaksi dengan makromolekul (lipida, 57

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

protein dan asam nukleat). Oksigen reaktif ini menyebabkan perubahan sitosol termasuk keseimbangan redoks, inaktivasi enzim peroksidasi lipida, degradasi protein - kematian sel. Seluruh biota mempunyai sistem pertahanan berupa antioksidan di dalam sel baik berupa komponen enzimatik maupun nonenzimatik. Jalur enzimatik mengandung Super oksida dismutase (SOD), katalase (CAT) dan ●− glutathion peroksidase (GPX). Radikal O2 dieliminir oleh SOD menjadi H2O2 , selanjutnya H2O2 dinetralisir oleh GPX yang mengkatalisis reduksi H2O2 menjadi air dan peroksida organik. Enzim Glutathion reduktase meregenerasi GSH dari glutathione teroksidasi (GSSG). Konjugat GST xenobiotik dikonjugasi oleh GSH untuk diekresikan keluar sistem tubuh. 2+ + Pembentukan ROS merupakan faktor utama pada toksisitas Hg dan CH3Hg . Stress oksitatif + [13] yang ditimbulkan oleh CH3Hg berkaitan dengan interaksinya dengan gugus tiol seperti GSH . Seperti halnya logam toksik lainnya, merkuri dalam berbagai bentuk senyawaan memicu pembentukan ROS di dalam jaringan tubuh ikan. ROS menyebabkan kerusakan berbagai molekul biologis. Dalam kondisi normal ikan mampu mendetoksifikasi dan menghilangkan ROS dalam sel melalui sistem antioksidan [14] dan mempertahankan keseimbangan antara pembentukan ROS dengan netralisasinya . + 2+ Pembentukan ROS dipengaruhi oleh dosis CH3Hg dan Hg terhadap tubuh O. mossambicus. Dosis ini berkaitan dengan konsentrasi eksternal dari medium air. Eksperimen ini hanya melakukan pengujian respon enzim SOD dan CAT terhadap variasi konsentrasi paparan kedua kontaminan tersebut. Informasi yang diperoleh cukup untuk menjelaskan hubungan antara kemampuan akumulasi + 2+ CH3Hg dan Hg oleh O. mossambicus terhadap berbagai pengaruh faktor eksternal yang berkaitan + toleransinya pada tingkatan toksisitas kedua kontaminan tersebut. Pengaruh paparan CH3Hg dan 2+ Hg terhadap aktivitas enzim antioksidan yang direpresentasikan oleh SOD dan CAT ditunjukkan pada Gambar 1. 80 R= 0,50 Aktivitas SOD

70

2+

= 1,06 [Hg ] + 21.10

daging

Daging Usus Insang Ginjal Hati

2+

usus

= 0,10[Hg ] + 2,18

R= 0,53 Aktivitas SOD

2+

Insang

= 0,38[Hg ] + 2,72

Aktivitas Enzim CAT (U/mg)

Aktivitas SOD

Aktivitas Enzim SOD (U/mg)

R= 0,93

60

Aktivitas SOD

2+

Ginjal

= 0,42[Hg ] +5,77

R= 0,67 Aktivitas SOD

50

2+

Hati

= 0,82[Hg ] +5,94

R= 0,84

40

30

20

10

0

2

4

6

8

10

12

14 2+

Konsentrasi Hg

(a)

58

16 -1

( g.l )

18

20

22

200 2+ 190 Aktivitas CAT daging= 4,89 [Hg ] + 6,01 R= 0,85 180 2+ 170 Aktivitas CAT daging= 1,19 [Hg ] + 5,18 160 R= 0,71 2+ 150 Aktivitas CAT insang = 2,53 [Hg ] + 7,30 R= 0,90 140 Aktivitas CAT 2+ = 1,16 [Hg ] + 12,98 Ginjal 130 R= 0,62 120 Aktivitas CAT = 3,11 [Hg2+] + 13,37 Hati 110 R= 0,87 100 90 Ginjal 80 Daging 70 Insang Usus 60 Hati 50 40 30 20 10 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 2+

-1

Konsentrasi Hg ( g.l ) (b)

Heny Suseno, Sumi Hudyono PWS: Respon Enzim Antioksidan Pada Bioakumulasi Senyawaan Merkuri Pada Oreochromiss mossambicus

100

80 70

Aktivitas SOD

Daging

750

= 0,59[CH3Hg ] + 2,11

700

R= 0,55 Aktivitas SOD

+

Usus

= 4,82[CH3Hg ] + 6,96

R= 0,89

Aktivitas Enzim CAT (U/mg)

Aktivitas Enzim SOD (U/mg)

90

800 +

+

Aktivitas SODInsang = 3,09[CH3Hg ] + 5,44 R= 0,09

60 50

Aktivitas SOD R= 0,57 Aktivitas SOD

+

Ginjal

= 7,83[CH3Hg ] + 7,69 +

Hati

= 9,17[CH3Hg ] + 6,71

R= 0,84

40 30

Ginjal Daging Insang Usus Hati

20

+

Aktivitas CAT Daging = 9,79[CH3Hg ] + 7,90 R= 0,87

650

Aktivitas CAT Usus = 212,08[CH3Hg ] + 6,01

600

R= 0,98

+

+

550 500

Aktivitas CATInsang = 34,29[CH3Hg ] + 4,35 R= 0,95 +

Aktivitas CAT Ginjal = 46,75[CH3Hg ] + 3,73

450

R= 0,62

400

Aktivitas CAT Hati = 101,00[CH3Hg ] + 5,34

350 300 250 200 150

+

R= 0,98 Ginjal Daging Insang Usus Hati

100

10

50

0

0

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0

Konsentrasi CH3Hg ( g.l )

Konsentrasi CH3Hg ( g.l )

+

-1

+

-1

(c) (d) + 2+ Gambar 1. Pengaruh konsentrasi CH3Hg dan Hg terhadap aktifitas enzim antioksidan berbagai + + organ O. mossambicus. (a). SOD akibat terpapar CH3Hg (b) CAT akibat terpapar CH3Hg (d). SOD 2+ 2+ akibat terpapar Hg (d) CAT akibat terpapar Hg 2+

Gambar 1 menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi Hg dalam medium air menyebabkan peningkatan aktivitas SOD maupun CAT di setiap jaringan tubuh O. mossambicus. Peningkatan O2 menyebakan kenaikan aktivitas enzim baik SOD maupun CAT. Kenaikan aktivitas enzim SOD pada -1 2+ daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus setelah terpapar 20µgl Hg selama 23 hari berturut-turut sebesar 2,19; 3,26; 6,72; 3,07 dan 12,56 kali dibandingkan tidak terdapat paparan. Disisi -1 2+ lain kenaikan aktivitas enzim CAT akibat terpapar 20µgl Hg selama 23 hari pada daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus berturut-turut sebesar 24,82; 33,82; 33,10; 24,82 dan 16,57 2+ kali dibandingkan tidak terkena paparan Hg . Gambar 4.30 menunjukkan kenaikan konsentrasi + CH3Hg dalam medium air menyebabkan peningkatan aktivitas SOD maupun CAT di setiap jaringan -1 + tubuh O. mossambicus. Setelah 30 hari terpapar 1,831µgl CH3Hg , kenaikan aktivitas enzim SOD pada daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus berturut-turut sebesar 5,83; 1,82; 5,92; 1,30 dan 14,10 kali dibandingkan tidak terdapat paparan. Disisi lain kenaikan aktivitas enzim CAT -1 + akibat terpapar 1,831µgl CH3Hg selama 30 hari pada daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus berturut-turut sebesar 26,16; 5,06; 37,39; 17,15 dan 19,02 kali dibandingkan tidak 2+ terkena paparan Hg . Peningkatan aktivitas kedua jenis enzim tersebut berhubungan dengan upaya 2+ + menetralkan ROS yang tdihasilkan akibat paparan Hg maupun CH3Hg . Kemampuan O. mossambicus mengeliminasi ROS dapat dibandingkan dengan ikan jenis lain yang terpapar oleh logam berat. Sebagai contoh, telah dilakukan eksperimen pengaruh paparan [15] merkuri terhadap Pomatoschistus microps sejenis ikan yang hidup dimuara . Hasil percobaan menunjukkan tersebut dapat dibandingkan dengan menunjukkan aktivitas enzim SOD maupun CAT 2+ -1 mengalami peningkatan setelah terpapar Hg 3,125 - 50 µg.L . Aktivitas enzim SOD mengalami -1 -1 peningkatan dari 23 U.mg menjadi 40 U.mg atau mengalami peningkatan 1,74 kali dibandingkan 2+ -1 -1 tidak terpapar Hg . Aktivitas enzim CAT mengalami peningkatan dari 33 U.mg menjadi 105 U.mg 2+ atau mengalami peningkatan 3,18 kali dibandingkan tidak terpapar Hg . Huang et al (2010) 2+ melakukan percobaan pengaruh paparan Hg pada tahapan larva dan juvenil Paralichthys olivaceus 2+ -1 sejenis ikan damersal. Hasil penelitian menunjukkan paparan Hg 10 µg.l meningkatkan masingmasing SOD sebesar 80,1 dan 89,1% pada larva dan juvenil. Aktivitas enzim CAT juga mengalami 2+ peningkatan sebesar 127.2% pada larva dan 169,4% pada juvenil. Pengaruh paparan Pb terhadap aktivitas enzim SOD dan CAT menunjukkan hal yang berbeda. Penelitian pada Chlamys farreri menunjukkan penurunan aktivitas SOD dibandingkan dengan hewan kontrol yang digunakan yang 2+ mana mengindikasikan paparan Pb tersebut menginhibisi enzim SOD yang menyebabkan gangguan - [16] pada mitokondria sel yang memfasilitasi pelepasan O 2 . Demikian halnya dengan aktivitas CAT 59

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

2+

mengalami inghibisi sebesar 28,7% setelah terpapar Pb sehingga H2O2 yang terbentuk dari ROS 2+ mengalami menumpukan akibat terlambat dihilangkan dari sel. Pada O. niloticus paparan Cd 1,0 -1 [17] mgL meningatkan aktivitas enzim CAT 183% pada liver dibandingkan kondisi tidak terpapar . Disisi -1 2+ 2+ 6+ lain pada organ ginjal, peningkatan konsentrasi masing-masing sebesar 0,1 mg.l Cd , Cu , Cr , + Ag menurunkan aktivitas enzim CAT masing-masing sebesar 87%; 25%; 21% dan 44%. Dibandingan dengan biota lainnya, peningkatan aktivitas enzim SOD dan CAT pada O. mossambicus sangat besar. Pada data pembanding tersebut di atas, aktivitas enzim dianalisis setelah 2 sampai 96 jam terpapar kontaminan. Pada penelitian ini analisis enzim SOD dan CAT dilakukan 2+ + setelah kondisi tunak tercapai pada proses bioakumulasi Hg dan CH3Hg . Untuk mengetahui 2+ + pengaruh peningkatan konsentrasi Hg dan CH3Hg terhadap aktivitas enzim SOD dan CAT harus diketahui keseimbangan antara produksi dan eliminasi ROS dari tubuh O. mossambicus. Tingkatan ROS pada keadaan tunak bisa digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara produksi dan [18-20] + 2+ eliminasi . Pengaruh kenaikan konsentrasi CH3Hg dan Hg terhadap rasio enzim SOD/CAT ditunjukkan pada Gambar 2 8.0 2+

Rasio SOD/CAT Daging = -0,09[Hg ] +2,11

7.5

2.0

R= 0,19

Rasio SOD/CAT +

7.0 6.5

Rasio SOD/CAT Usus = -0,03[CH3Hg ] + 0,70

R= 0,47

R= 0,10

Rasio SOD/CAT +

Rasio SOD/CAT Insang = -0,60[CH3Hg ] +0,03

6.0

1.5

+

Rasio SOD/CAT Ginjal = -0,02[CH3Hg ] +0,57

R= 0,30

4.5 4.0 3.5 Daging Usus Insang Ginjal Hati

3.0 2.5 2.0

Rasio SOD/CAT

Rasio SOD/CAT

+

Rasio SOD/CAT Hati= -0,01[CH3Hg ] +0,52

Rasio SOD/CAT R= 0,14 Rasio SOD/CAT

R= -0,33

5.0

= -0,09[CH3Hg ] +0,28 +

Usus

= -0,18[CH3Hg ] +0,35

R= 0,33

R= 0,18

5.5

+

Daging

+

Insang

= -0,55[CH3Hg ] +1,22 +

Ginjal

= -0,004[CH3Hg ] +0,19

R= -0,33 Rasio SOD/CAT

+

= -0,22[CH3Hg ] +0,54

Hati

R= 0,46

1.0

Ginjal Daging Insang Usus Hati

0.5

1.5 1.0 0.5

0.0

0.0 -2

0

2

4

6

8

10 12 14 16 18 20 22 2+

Konsentrasi Hg

-1

( g.l )

0.0

0.5

1.0

1.5 +

2.0 -1

Konsentrasi CH3Hg ( g.l )

Gambar 2. Rasio aktivitas enzim SOD terhadap CAT dalam berbagai organ O. mossambicus . 2+ (a) setelah terpapar Hg dari medium air + (b) setelah terpapar CH3Hg dari medium air 2+

Pada kondisi tidak terpapar Hg rasio aktivitas SOD/CAT dalam daging, usus, insang, ginjal dan hati 2+ -1 berturut-turut 3,59; 1,32; 0,57; 0,88 dan 0,65. Setelah terpapar Hg 20 µg.l selama 23 hari rasio aktivitas SOD/CAT tersebut menjadi 0,32; 0,13; 0,19; 0,11 dan 0,31. Disisi lain, pada kondisi tidak + terpapar CH3Hg rasio aktivitas SOD/CAT dalam daging, usus, insang, ginjal dan hati berturut-turut 2+ -1 0,75; 0,35; 0,98; 1,11 dan 0,33. Setelah terpapar Hg 20µg.l selama 23 hari rasio aktivitas SOD/CAT tersebut menjadi 0,17; 0,13; 0,15; 0,083 dan 0,24. Evaluasi rasio SOD terhadap CAT untuk + memahami efek dari paparan CH3Hg terhadap sistem antioksida telah dilakukan pada penelitian di [19] + Itali . Rasio SOD/CAT meningkat akibat paparan CH3Hg . Pada kasus ini, peningkatan konsentrasi + CH3Hg menyebabkan produksi O2 bertambah dan sel melakukan upaya menaikan aktivitas SOD. Kenaikan aktivitas SOD tidak diimbangi dengan peningkatan aktifitas CAT secara proporsional dan ● menyebabkan penumpukkan H2O2 dalam sel yang memfasilitasi produksi hidroksida reaktif (OH ). Rasio SOD/CAT yang tidak seimbang memicu kerusakan sel dan biomolekul. 2+ + Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi Hg maupun CH3Hg menyebakan rasio SOD/CAT menurun. Penurunan ini mengindikasikan ketidakseimbangan antara produksi ROS dengan eliminasinya. KESIMPULAN 1. 60

Respon enzim antioksidan terhadap paparan senyawaan merkuri adalah sebagai berikut: kenaikan aktivitas enzim SOD pada daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus

Heny Suseno, Sumi Hudyono PWS: Respon Enzim Antioksidan Pada Bioakumulasi Senyawaan Merkuri Pada Oreochromiss mossambicus

2. 3.

berturut-turut sebesar 5,83; 1,82; 5,92; 1,30 dan 14,10 kali dibandingkan tidak terdapat + + paparan CH3Hg . Kenaikan aktivitas enzim CAT akibat terpapar CH3Hg selama 30 hari pada daging, usus, insang, ginjal dan hati O. mossambicus berturut-turut sebesar 26,16; 5,06; 37,39; 2+ 17,15 dan 19,02 kali dibandingkan tidak terkena paparan Hg . + 2+ Peningkatan konsentrasi CH3Hg dan Hg dalam air menyebabkan penurunan rasio aktivitas enzim SOD terhadap CAT. Hubungan antara konsentrasi kedua kontaminan tersebut terhadap respon enzim SOD dan CAT maupun rasio kedua enzim tersebut memberikan berbagai persamaan linier yang dapat digunakan untuk kepentingan pemantauan cemaran senyawaan merkuri pada air payau.

DAFTAR PUSTAKA [1].

[2].

[3]. [4].

[5]. [6]. [7].

[8]. [9].

[10].

[11]. [12]. [13]. [14].

[15].

[16].

[17].

[18].

Huang, W et al. Antioxidative Responses and Bioaccumulation in Japanese Flounder Larvae and Juveniles Under Chronic Mercury Exposure, Comparative Biochemistry and Physiology, 152, 99–106 (2010) Hédouin, L. et al. Allometric Relationships in The Bioconcentration of Heavy Metals by The Edible Tropical Clam Gafrarium tumidum. Science of the Total Environment 366, 154–163. (2006) Steffens, W., Hilge, V. The importance of tilapias (Cichlidae) for tropical aquaculture. Proceed Deutscher Tropentag. Berlin (1999) Morgan, T.P., et al. The Time Course of Silver Accumulation in Rainbow Trout During Static Exposure to Silver Nitrate: physiological regulation or an artifact of the exposure conditions? Aquatic Toxicology. 66: 55–72 .(2004) Franco, J.L., et al.Methylmercury Neurotoxicity is Associated With Inhibition of The Antioxidant Enzyme Glutathione Peroxidase. Free Radical Biology & Medicine 47 (2009) 449–457.(2009) Gochfeld, M. Cases of Mercury Exposure, Bioavailability, and Absorption. Ecotoxicology and Environmental Safety 56, 174–179 (2003). Verlecar, X.N.; Jena,K.B.; Chainy, G.B.N. Biochemical Markers of Oxidative Stress in Perna Viridis Exposed to Mercury and Temperature, National Institute of Oceanography, Dona Paula, Goa, India, 18p (2007) Ravichandran, M. Interactions Between Mercury and Dissolved Organic Matter––a review. Chemosphere 55, 319–33(2004) Van der Oost, R., Beyer, J., Vermeulen, N.P.E. Fish Bioaccumulation and Biomarkers in Environmental Risk Assessment: a review. Environmental Toxicology and Pharmacology 13:57149 (2003) Sotero M. Aban, S.M. Farming of All-Male Java Tilapia (Oreochromis mossambicus) at Two Stocking Densities in Cages in a Brackishwater Pond. Fish Nutrition and Feeds '94 Proceedings, 87-93 (1994) Budiawan, Heny Suseno. Prediksi Metilasi Merkuri Pada Bioakumulasi Merkuri Anorganik Oleh Oreochromiss Mossambicus. J. Tek. Peng.Lim 14,1 (2011) An, R., et al. Respones Antioxidant Enzymes in Catfise Exposed to Liquid Crystals From EWaste. Int.J. Environ.Res.Public.Health. (5) 2, 99-103. (2008) Vieira. L.R., et al.. Acute Effects of Copper and Mercury on The Estuarine Fish Pomatoschistus microps: Linking biomarkers to behaviour. Chemosphere 76 , 1416–1427 .(2009). Simmons-Willis,T.A., et al., Ballatory Transport of a Neurotoxicant by Molecular Mimicry : The methylmercury–L-cysteine complex is a substrate for human L-type large neutral amino acid transporter (LAT) 1 and LAT2, Biochem. J. 367: 239-246, (2002). Zhang, Y et al., Biomarker Responses in The Bivalve (Chlamys farreri) to Exposure of The Environmentally Relevant Concentrations of Lead, Mercury, Copper. Environmental Toxicology and Pharmacology 30: 19–25, (2010). + 2+ 6+ 2+ 2+ Atli, G et al. Response of Catalase Activity to Ag , Cd , Cr , Cu and Zn in Five Tissues of Freshwater Fish Oreochromis niloticus, Comparative Biochemistry and Physiology, C 143, 218– 224.(2006). Paasivirta, J.K. Long-term Effects of Bioaccumulation in Ecosystems, The Handbook of Environmental Chemistry,Vol. 2 Part J Bioaccumulation (ed. by B. Beek) © Springer-Verlag Berlin Heidelberg (2000). Grotto, D., et al. Low Level and Sub-chronic Exposure to Methylmercury Induces Hypertension in Rats: nitric oxide depletion and oxidative damage as possible mechanisms, Arch Toxicol. 83, 653–662, (2009). 61

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

PERKIRAAN PENERIMAAN DOSIS RADIASI DARI PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR: DOSIS RADIASI PENDUDUK DARI PELEPASAN EFLUEN CAIR KE LAUT PESISIR PULAU BANGKA E.Lubis, Nurokhim, Agus Gindo S. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong- Tangerang-15310

ABSTRAK PERKIRAAN PENERIMAAN DOSIS RADIASI DARI PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN): Dosis Radiasi Penduduk Dari Pembuangan Efluen Cair ke Laut Pesisir Pulau Bangka. Dalam pengoperasian PLTN selain ditimbulkan limbah aktivitas tinggi (LAT) juga ditimbulkan limbah aktivitas menengah (LAM) dan limbah aktivitas rendah (LAR). Limbah aktivitas menengah dan LAR cair umumnya diolah di intalasi pengolahan limbah radioaktif (IPLR) yang dibangun di kawasan PLTN. Dalam pengolahan limbah cair radioaktif akan dihasilkan limbah sisa proses yang dikenal sebagai efluen cair. Efluen cair ini berpotensi mengandung sejumlah kecil zat radioaktif. Bila efluen cair dilepas ke laut pesisir, radionuklida yang terkandung dalam limbah ini berpotensi mengkontaminasi ekosistem laut yang pada gilirannya dapat meningkatkan penerimaan dosis radiasi pada anggota masyarakat yang mengkonsumsi hasil laut dan beraktivitas di pinggir pantai. Berdasarkan source-term PLTN jenis ABWR daya 1300 MWe, penerimaan dosis maksimal untuk kelompok umur anak-anak dan orang dewasa per tahun masing-masing adalah 29,8 MSv (2,98 % NBD) dan 40,0 µSv (4,0 % NBD). Probabilitas terjadinya kanker fatal untuk perorangan masing-masing adalah 1,5x10-6 dan 2,0 x 10-6 per tahun. Penerimaan dosis eksternal dari paparan permukaan sedimen untuk orang dewasa adalah 0,15 µSv per tahun (0,02 % NBD). Berdasarkan source-term PLTN jenis PWR daya 1100 MWe, penerimaan dosis maksimal untuk anak-anak dan orang dewasa masing-masing adalah 0,25 µSv (0,025% NBD) dan 0,27 µSv (0,027 % NBD) per tahun. Probabilitas untuk terjadinya kanker fatal untk kelompok umur anak-anak dan orang dewasa adalah 1,3 x 10-8 per tahun. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa penerimaan dosis radiasi oleh adanya pelepasan efluen cair radioaktif dari pengoperasian PLTN jenis PWR dan ABWR dengan daya 1100 MWe dan 1300 MWe ke laut pesisir pulau Bangka tidak memberikan dampak radiologik yang signifikan, karena probabilitas terjadinya kanker fatal cukup rendah, hanyalah 1,3 x 10-8 – 2,0 x 10-6 per tahun

Kata kunci : Efluen Cair, Radioaktif, PLTN, Dosis Radiasi, Penduduk.

ABSTRACT DOSE ESTIMATION FROM THE OPERATION OF NUCLEAR POWER PLANT (NPP): Radiation Dose From Liquids Effluent Released To The Sea of Bangka Island. In Nuclear Power Plant (NPP) operations, the hight radioactive waste (HRW), medium radioactive waste (MRW) and low radioactive waste (LRW) were generated. The MRW and LRW of liquid waste were processed in radioactive waste installation (RWI), that also built in the nuclear site. In the proccessing of MRW and LWR liquid will generated the liquid effluent that still contain a small quantity of radionuclides. This liquids effluent after monitoring program will be released to water-body. If released to the sea, the radionuclides will be dispersed and contaminate the sea compartements and finally will contaminate man by many kind of pathways. The estimation dose base on the source-term of NPP ABWR type of 1300 MWe, showed that the maximal dose received by the infants were 29.8 µSv per year (2.98 % LD) and for the adults were 40.0 uSv per year (4.0 % LD). The probabilities of cancer fatal happen were 1.5 x 10-6 and 2.0 x 10-6 respectivelly. The dose received from external radiation coming from surface sedimen is 0,15 µSv per year (0.02 % NBD). The estimation dose base on the sourceterm of PWR reactor types with 1100 Mwe were 0.25 µSv (0.025 % LD) and 0.27 µSv (0.027 % LD) per years. The probability of cancer occurred for individual is 1.3 x 10-8, based on the fatal risk coeficient of 5 % per Sievert (Sv). Base on this assessment, indicated that the dose received by the public from effluent released to the sea of Bangka island from the operation of NPP ABWR type of 1300 MWe and PWR type of 1100 MWe, the radiological impact were insignificant, because the probability of cancer happen just 1.3 x 10-8 – 2.0 x 10-6 per years. Keywords: Liquid Efluent, Radioactive, NPP, Radiation Dose, Public.

62

E.Lubis, Nurokhim, Agus Gindo S.: Perkiraan Penerimaan Dosis Radiasi dari Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: Dosis Radiasi Penduduk dari Pelepasan Efluen Cair ke Laut Pesisir Pulau Bangka

PENDAHULUAN Dalam pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) akan ditimbulkan limbah aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas menengah (LAM) dan limbah aktivitas rendah (LAR). LAT umumnya berupa bahan bakar nuklir (BBN) bekas, sesuai Undang-Undang Ketenaganukliran No. 10 Tahun 1997 limbah ini disimpan di kawasan nuklir selama pengoperasian PLTN [1]. Sementara LAM dan LAR padatan dan cair akan diolah di intalasi pengolahan limbah radioaktif (IPLR) yang dibangun dekat dengan kawasan PLTN. Dalam proses pengolahan limbah radioaktif cair akan dihasilkan limbah sisa proses yang dikenal sebagai efluen cair yang berpotensi mengandung sejumlah kecil zat radioaktif. Setelah melalui program pemantauan, efluen cair dilepas ke badan air, dalam hal ini ke laut pesisir, maka limbah ini berpotensi mengkontaminasi ekosistem laut yang pada gilirannya dapat meningkatkan penerimaan dosis radiasi melalui berbagai jalur-perantara pada penduduk yang bermukim di sekitar kawasan PLTN. Berdasarkan kajian, 5 % kebutuhan energi listrik nasional dimasa datang akan dipenuhi dari PLTN [2]. Pembangunan dan pengoperaian PLTN di negara-negara industri nuklir umumnya dekat dengan sumber air (sungai, danau ataupun laut). Sumber air ini selain dapat digunakan untuk sistem pendingin sekunder untuk disipasi panas juga sebagai media untuk pelepasan efluen cair yang berasal dari sisa proses pengolahan limbah radioaktif cair (doubtful efluent). Di laut pesisir zat radioaktif yang terlepaskan ke lingkungan ini akan dibawa dan didispersi oleh air laut dan berpotensi terjadi akumulasi dalam sedimen dan berbagai biota laut yang hidup di dalamnya. Pelepasan efluen cair ini akan berlangsung selama operasi PLTN (> 40 tahun), sehingga akumulasi yang terjadi dalam komponen ekosistem laut dapat meningkatkan penerimaan dosis radiasi melalui jalur konsumsi hasil laut dan berbagai kegiatan penduduk yang bermukim di sekitar PLTN. Untuk pelepasan efluen cair ke laut pesisir jalur perpindahan zat radioaktif ke manusia yang dominan adalah dari mengkonsumsi hasil laut berupa berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan, serta paparan eksternal dari sedimen yang terdapat di pinggir pantai, dan dari jalur perpindahan lain yang diakibatkan oleh kebiasaan hidup penduduk yang bermukim di pinggir pantai seperti berenang, menangkap ikan dan berekreasi di pinggir pantai. Dalam penelitian ini dilakukan perkiraan penerimaan dosis radiasi penduduk berdasarkan asumsi adanya pelepasan efluen cair ke laut pesisir di calon lokasi PLTN di daerah pulau Bangka. Perkiraan dosis radiasi penduduk dilakukan dengan metode Faktor Pemekatan (Concentration Factor Method). Perhitungan dosis radiasi dilakukan dengan menggunakan metodologi yang dipublikasi dalam Safety Series Reports No. 19 [3]. Data yang digunakan adalah data primer bila tersedia dan untuk data yang belum ada akan digunakan data generik untuk jenis reaktor Prssurized Water Reactor (PWR) atau jenis reaktor lainnya dengan daya ±1000 MWe. LOKASI PEMBANGUNAN PLTN Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Dewan Energi Nasional (DEN) serta pemerintah Provinsi Bangka telah menetapkan 2 kawasan (site) untuk lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), yaitu di Bangka Barat dan Bangka Selatan. Daerah Bangka merupakan derah yang relatif mempunyai probabilitas yang rendah dari ancaman alamiah, sepertihalnya kegempaan, gunung api dan tsunami (di luar zone ring of fire). Jarak calon lokasi PLTN di Bangka Barat dan Bangka Selatan ke pulau Sumatera masing-masing adalah ± 25 km dan ± 13 km, sehingga sistem jaringan ke pulau Sumatera relatif akan lebih pendek [4].

63

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Gambar 1. Daerah Provinsi Pulau Bangka o

o

o

Posisi geografis provinsi pulau Bangka adalah 1 50’ – 3 10’ Lintang Selatan, 108 Bujur Timur. Daerah kepulauan Bangka dihubungkan oleh perairan laut dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan daratan dan perairan pulau Bangka merupakan suatu kesatuan dari bagian daratan Sunda (Sunda Shelf), dengan kedalaman laut ± 30 m [5]. Perairan Bangka mempunyai 2 jenis perairan, yaitu perairan terbuka dan semi tertutup. Perairan terbuka terdapat di sekitar pulau Bangka sebelah Utara, Timur dan Selatan. Perairan semi tertutup terdapat di Selat Bangka dan Teluk Kelabat di Bangka Utara. Perairan di Pulau Belitung umumnya bersifat terbuka. Dalam pengkajian ini diasumsikan PLTN dioperasikan di pesisir pantai daerah Bangka Barat dan Bangka Selatan, karena akan mempunyai jalur distribusi yang relatif dekat dengan pulau Sumatera. SOURCE-TERM Sebagai source-term dalam pengkajian dosis ini digunakan konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam pelepasan efluen cair ke badan air dari pengoperasian PLTN ABWR (2x1300) MWe) Lungmen Unit-1 dan 2, Taiwan [6], dan data source-term dari PLTN Diablo Canyon dan San Onofre, 2 unit PWR 1100 MWe yang berlokasi di pantai Avila, California [7,8]. Data sources–term ini selanjutnya digunakan untuk memperkirakan penerimaan dosis bagi anggota masyarakat untuk kasus pengoperasian PLTN di Pulau Bangka. METODOLOGI Metodologi penyebaran radionuklida di air laut dan perkiraan dosis yang digunakan dalam pengkajian mengadopsi dari publikasi Safety Series No.19 Generic, Model for Use in Assessing the Impact of Discharge of Radioactive Subtances to the Environment, IAEA, 2001 [3]. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data sources-term PLTN ABWR telah dilakukan perhitungan konsentrasi radionuklida yang akan terdeposisi di pinggir pantai dan dosis eksterna yang akan diterima perorangan bila beraktivitas di pinggir pantai setiap hari. Perhitungan dilakukan dengan memvariasi jarak pelepasan efluen cair ke tengah laut. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam Gambar 2 dan 3. Dalam Gambar 2 terlihat bahwa semakin jauh titik pelepasan efluen cair radioaktif dari bibir 2 pantai ke tengah laut (searah sumbu-Y), konsentrasi total radionuklida (Bq/m ) yang terdapat di permukaan sedimen di pinggir pantai sebagai fungsi jarak dari titik pembuangan (searah sumbu-X) menurun secara eksponensial. Pembuangan efluen pada jarak 100 m dari bibir pantai (Y = 100 m) tegak lurus arah arus laut, konsentrasi total radionuklida maksimal di pinggir pantai terjadi pada jarak 3000 m dari titik pelepasan. Data dalam Gambar 2 juga menunjukkan pada jarak 15.000 – 20.000 m untuk pelepasan dengan jarak Y= 200 m, Y= 300 m dan Y= 500 m relatif tidak menunjukkan perbedaan 64

E.Lubis, Nurokhim, Agus Gindo S.: Perkiraan Penerimaan Dosis Radiasi dari Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: Dosis Radiasi Penduduk dari Pelepasan Efluen Cair ke Laut Pesisir Pulau Bangka

yang signifikan untuk konsentrasi radionuklida di permukaan sedimen pada jarak X= >15000 m.

20 y=200m

y=100m

y=300m

15

y=500m

y=100m

2 Bq/m10

y=200m 5 y=300m y=500m

0 0

5000

10000 meter

15000

20000

2

Gambar 2.: Konsentrasi radionuklida (Bq/m ) di pinggir pantai sebagai fungsi jarak pelepasan ke tengah laut Hal ini memberikan informasi bahwa pembuangan efluen cair sebaiknya dilakukan pada jarak Y >200 m dari bibir pantai agar dampak yang ditimbulkannya di pinggir pantai minimal untuk kegiatan manusia yang berada pada jarak X> 15.000 m dari titik pelepasan, namun hal ini sangat bergantung pada konsentrasi Source-Term atau jenis dan daya PLTN yang akan diintroduksi, sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Gambar 3, menampilkan prakiraan penerimaan dosis eksternal (µSv/tahun) dari sedimen pinggir pantai, dengan asumsi melakukan kegiatan selama 24 jam per hari. Dosis yang diterima perorangan (kelompok umur dewasa dan anak-anak) dari paparan eksterna pada jarak X=10000 m dari titik pelepasan untuk pelepasan Y=100 m, Y=200 m, Y=300 m dan Y= 500 m relatif tidak jauh berbeda, hanya sebesar 0,11 – 0,15 µSv/ tahun. Penerimaan dosis ini hanyalah 0,01 – 0.015 % dari nilai batasan dosis (NBD) untuk anggota masyarakat. NBD untuk anggota masyarakat adalah 1 mSv/ tahun, NBD ini berdasarkan koefisien risiko sebesar 5 % per Sievert (Sv) atau memberikan probabilitas -5 terjadinya risiko kanker adalah sebesar 5 x 10 per tahun [9].

1

y = 100 m y = 200 m y = 300 m y = 500 m

mSv/tahun

0.75 y = 300 m

0.5 y = 100 m

y = 200 m

0.25

y = 500 m

0 0

5000

10000 meter

15000

20000

Gambar 3 : Dosis eksternal (Sv/tahun) di pinggir pantai sebagai fungsi jarak pelepasan ke laut

65

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Dalam Gambar 4, ditampilkan prakiraan penerimaan dosis (µSv per tahun) untuk kelompok umur anak-anak dari jalur konsumsi ikan (hasil laut), untuk pelepasan efluen pada jarak Y= 200 m dari bibir pantai. Ikan yang ditangkap nelayan diasumsikan pada jarak X=1500 m, X=3000 m, X=5000 m dan X=10.000 m dari titik pelepasan bila dikonsumsi oleh ana-anak berumur 1-2 tahun dengan laju konsumsi 25 kg ikan laut per tahun.

50.00

mSv/tahun

40.00 30.00 Anak-anak

20.00

Orang dewasa

10.00 0

3000

6000

9000

12000

meter Gambar 4. Perkiraan dosis efektif (µSv per tahun) untuk kelompok umur anak-anak dan dewasa dari jalur konsumsi ikan laut. Berdasarkan data yang disajikan dalam Gambar 4, anak-anak kelompok umur 1-2 tahun bila mengkonsumsi ikan laut yang ditangkap nelayan pada jarak X= 1500 m, X= 3000 m, X= 5000 m dan X=10.000 m sebanyak 25 kg per tahun diperkirakan akan menerima dosis efektif sebesar 29,8 µSv, 12,5 µSv, 6,1 µSv dan 2,4 µSv per tahun. Penerimaan dosis ini masing-masing hanyalah sebesar 2,98 %; 1,25; %, 0.61 % dan 0,24 % NBD. Penerimaan dosis ini relatif sangat kecil dan probabilitas potensi -6 -7 -7 untuk terjadinya kanker fatal masing-masing adalah sebesar 1,5 x 10 ; 6,3 x 10 ; 3,5 x 10 dan 1,2 x -7 10 per tahun, berdasarkan koefisien risiko 5% per Sievert (Sv). Dalam Gambar 4 juga ditampilkan prakiraan penerimaan dosis untuk orang dewasa dari jalur konsumsi hasil laut berupa ikan dan kerang-kerangan yang diasumsikan ditangkap/ dibudidayakan oleh nelayan pada jarak X=1500 m, X=3000 m, X=5000 m dan X=10.000 m dari titik pelepasan, titik pelepasan Y= 200 m dari bibir pantai. Berdasarkan data yang disajikan dalam Gambar 4, orang dewasa bila mengkonsumsi ikan yang ditangkap nelayan pada jarak X= 1500 m, X= 3000 m, X= 5000 m dan X=10.000 m sebanyak 50 kg ikan laut dan 5 kg kerang-kerangan per tahun diperkirakan akan menerima dosis efektif sebesar 40,01 µSv, 17,80 µSv, 9,20 µSv dan 4,02 µSv per tahun. Penerimaan dosis ini masing-masing hanyalah sebesar 4,0 %; 1,78; %, 0,92 % dan 0,40 % dari NBD. Penerimaan dosis ini relatif sangat kecil dan probabilitas potensi untuk terjadinya kanker fatal masing-masing adalah -6 -7 -7 -7 sebesar 2,01 x 10 ; 8,9 x 10 ; 4,6 x 10 dan 2,0 x 10 per tahun.

66

E.Lubis, Nurokhim, Agus Gindo S.: Perkiraan Penerimaan Dosis Radiasi dari Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: Dosis Radiasi Penduduk dari Pelepasan Efluen Cair ke Laut Pesisir Pulau Bangka

0.6 0.5

mSv/tahun

0.4 0.3 dewasa

0.2

0.1 0 0

3000

6000

9000

12000

meter Gambar 5. Prakiraan penerimaan dosis eksterna berdasarkan jalur aktivitas di pinggir pantai untuk orang dewasa. Gambar 5 menampilkan prakiraan penerimaan dosis eksterna (µSv/jam) untuk orang dewasa dari sedimen pinggir pantai, dengan asumsi melakukan kegiatan/ berada di pinggir pantai selama 24 jam per hari. Dosis yang diterima perorangan dari paparan eksterna pada jarak X=10.000 m dari titik pelepasan untuk pelepasan Y=200 dan Y= 1500 m, 3000 m, 5000 m dan 10.000 m. Penerimaan dosis eksterna masing-masing hanyalah sebesar 0.42 Sv, 0.51 µSv, 0.32 µSv dan 0.15 µSv per tahun. Penerimaan dosis eksterna tertinggi terjadi pada jarak 3000 m dari titik pelepasan efluen adalah sebesar 0, 51 µSv per tahun (0,05 % NBD). Tabel 1.

Perkiraan penerimaan dosis efektif (µSv per tahun) berdasarkan Source-Term pengalaman operasi PLTN Diablo Canyon di Amerika Serikat. Kelompok Umur Jalur Paparan Anak-Anak Orang Dewasa Paparan Sedimen 1,95 E-05 1.95 E-05 Ingestion 0,25 0,27

Tabel 2. Perkiraan penerimaan dosis efektif (µSv per tahun) berdasarkan Source-Term pengalaman operasi PLTN San Onofre di Amerika Serikat. Kelompok Umur Jalur Paparan Anak-Anak Orang Dewasa Paparan Sedimen 6,1 E-04 6,1 E-04 Ingestion 0,10 0.13 Hasil perkiraan penerimaan dosis efektif untuk kelompok umur anak-anak dan orang dewasa dengan menggunakan source-term PLTN PWR, pengalaman pengoperasian PLTN Diablo Canyon dan PLTN San Onofre di Amerika Serikat ditunjukkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Dalam Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa penerimaan dosis efektif dari pelepasan efluen cair ke laut berdasarkan souce-term pengalaman operasi PLTN Diablo Canyon dan San Onofre di Amerika Serikat, jenis reaktor PWR daya 1100 MWe, untuk kelompok umur anak-anak dan orang dewasa relatif rendah dibadingkan dengan NBD yang direkomendasikan. Berdasarkan source-term PLTN Diablo Canyon masing-maing hanyalah sebesar 0,25 µSv per tahun (0,025 % NBD) untuk kelompok umur anak-anak dan 0,27 µSv per tahun (0,027 % NBD) untuk kelompok umur orang dewasa. Berdasarkan source-term PLTN San Onofre kelompok umur anak-anak dan orang dewasa masing-masing menerima hanyalah sebesar 0,1 µSv per 67

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

tahun (0,01 % NBD) untuk kelompok umur anak-anak dan 0,13 Sv per tahun (0,013 % NBD) untuk kelompok umur orang dewasa. Probabilitas potensi untuk terjadinya kanker fatal hanyalah sebesar 1,3 -8 x10 per tahun. Dosis pembatas (Dose Constraint) yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam Safety Standard No.WS-G-23 untuk pelepasan efluen cair radioaktif ke lingkungan adalah 10 % dari 0,3 mSv per tahun, yaitu sebesar 30 µSv per tahun [10]. Berdasarkan batasan Dosis Pembatas (DP) ini, penerimaan dosis oleh kelompok umur anak-anak dan orang dewasa pada jarak 10.000 m dari titik pelepasan yang dihitung berdasarkan source-term untuk jenis reactor ABWR dan PWR umumnya sangat rendah, di bawah 10 % nilai DP. Hal ini memberikan informasi bahwa PLTN yang dioperasikan saat ini di negara-negara industri maju sangatlah aman dilihat dari dampak radiologik yang ditimbulkannya pada operasi normal. Berdasarkan pembahasan di atas terlihat penerimaan dosis dari PLTN jenis ABWR relatif lebih besar dibandingkan dengan source-term untuk jenis reaktor PWR. Hal ini mungkin berkaitan erat dengan jenis reaktor dari PLTN itu sendiri. PLTN dengan jenis reaktor ABWR dan PWR dalam pengoperasian menggunakan air ringan sebagai moderator. Dalam ABWR hanya terdapat 1 loop (sistem primer), uap panas (steam) yang dihasilkan untuk memutar turbin kontak langsung dengan bahan bakar nuklir (BBN) yang ada di teras reaktor, setelah memutar turbin akan kembali ke teras reaktor setelah mengalami kondensasi oleh karena itu steam ini terkontaminasi dengan zat radioaktif yang ada dalam teras reaktor. Sementara dalam PWR, terdapat 2 loop, sistem primer dan sistem sekunder yang masing-masing merupakan siklus yang tertutup. Sistem primer kontak langsung dengan BBN, sementara sistem sekunder yang memutar turbin mengambil panas dari sistem primer dan tidak kontak dengan BBN. Hal ini yang mengakibatkan PLTN jenis PWR lebih sedikit dalam menimbulkan jumlah dan jenis radionuklida yang terdapat dalam limbah cair yang ditimbulkan. KESIMPULAN 1.

2.

3.

4.

5.

Berdasarkan uraian dalam Bab pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut, Pelepasan efluen cair radioaktif pada jarak Y> 200 m dari bibir pantai untuk kedalaman laut ± 30 m dengan kecepatan arus laut 0,1 m per detik di selat Bangka, konsentrasi radionuklida di pinggir pantai untuk jarak X > 15.000 m tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pelepasan efluen cair dari pengoperasian PLTN sebaiknya dilakukan pada jarak Y>200 m dari bibir pantai agar dampak radiologik yang akan ditimbulkannya di pinggir pantai menjadi minimal. Berdasarkan source-term PLTN jenis ABWR, Lungmen-1 dan 2 dengan daya 1300 MWe yang dioperasikan di Taiwan, perkiraan penerimaan dosis maksimal untuk kelompok umur anak-anak dan orang dewasa pada jarak 1500 m dari titik pelepasan efluen per tahun masing-masing adalah 29,8 µSv (2,98 % NBD) dan 40,0 µSv (4,0 % NBD). Probabilitas terjadinya kanker fatal -6 -6 untuk perorangan dari penerimaan dosis ini adalah 1,5 x 10 dan 2,0 x 10 per tahun. Berdasarkan source-term pengalaman operasi PLTN dengan jenis reaktor PWR di Amerika Serikat untuk PLTN Diablo Canyon dan San Omofre dengan daya masing-masing 1100 MWe, penerimaan dosis radiasi maksimal oleh kelompok umur anak-anak dan orang dewasa pada jarak 1500 m dari pelepasan efluen masing-masing adalah 0,25 µSv (0,025 % NBD) dan 0,27 µSv (0,027 % NBD). Probabilitas untuk terjadinya kanker fatal untuk penerimaan dosis radiasi ini -8 hanyalah 1,3 x 10 per tahun. Penerimaan dosis radiasi dari pelepasan efluen cair radioaktif dari pengoperasian PLTN reaktor jenis ABWR dan PWR tidak memberikan dampak radiologik yang siginifikan, karena probabilitas -8 -6 terjadinya kanker untuk perorangan relatif rendah, hanyalah sebesar 1,3 x 10 – 2,0 x 10 per tahun. Pengkajian ini merupakan pengkajian awal, sehingga perlu dilanjutkan untuk lebih rinci dengan menggunakan data spesifik kondisi laut daerah Bangka Barat Dan Bangka Selatan di mana PLTN direncanakan untuk dibangun. Data kecepatan arus, arah arus dan kedalaman laut di 2 daerah calon lokasi perlu diteliti, mengingat di sebelah barat Selat Bangka terdapat 2 sungai besar yang bermuara, yaitu sungai Musi dan Batang Hari, yang diperkirakan akan mempengaruhi pola penyebaran polutan yang dilepas ke selat Bangka.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih di sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Kegiatan ini merupakan kontrak kerjasama tentang Pelaksanaan Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PI-PKPP) antara satuan kerja Kementerian Riset dan Teknologi dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Nomor.08/SEK/IPKPP/PKIII/2011, tanggal 14 Maret 2011.

68

E.Lubis, Nurokhim, Agus Gindo S.: Perkiraan Penerimaan Dosis Radiasi dari Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: Dosis Radiasi Penduduk dari Pelepasan Efluen Cair ke Laut Pesisir Pulau Bangka

DAFTAR PUSTAKA [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. [13].

Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699). Blue-print Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025, Jakarta, 2005. IAEA., Generic Model for Use in Assessing the Impact of Discharge of Radioactive Subtances to the Environment., Safety Series No.19, IAEA-Vienna, 2001. http://blognuklir.wordpress.com/ http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung. The Lungmen Nuclear Power Station (NPS), ABWR Unit-1 and Unit-2, Preliminary Safety Analysis Report (PSAR), Taiwan, July 1995. PG & E. Diablo Canyon Power Plant 2009, Annual Radioactive Effluent Release Report, April 28, 2010. SOUTHERN CALIFORNIA EDISON., San Onofre Nuclear Generation Station: Annual Radioactive Effluent Release Report 2009 January-December, April 28, 2010. IAEA., International Basic Safety Standard for Protection Against Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources. Safety Series No.115, IAEA-Vienna, 1996. IAEA., Regulatory Control of Radioactive Discharge to the Environment, Safety Standards No. WS-G-23, IAEA-Vienna, 2000. IAEA, Generic Model and Parameters for Assessing the Environmental Transfer of Radionuclides from Routine Release, Safety Series 57, IAEA-Vienna, 1982. BAPETEN., Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2000 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion, BAPETEN-Jakarta, 2000 Lambers, B., Thorne, M.C., Initial Radiological Assessment Methodology Part-2, Method Input Data, Environmental Agency, Rio House, Waterside Drive, Aztec West, Bristol, 2006.

69

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

KAJIAN SISTEM KEDARURATAN NUKLIR IRLANDIA AKHMAD KHUSYAIRI Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir- BAPETEN, Jl. Gajah Mada no 8 Jakarta ABSTRAK KAJIAN SISTEM KEDARURATAN NUKLIR IRLANDIA. Irlandia hingga saat ini belum mempunyai PLTN yang digunakan untuk memasok kebutuhan energi listrik di Negaranya. Namun demikian Negara-negara disekeliling Irlandia telah memiliki dan mengoperasikan PLTN yang mempunyai potensi dampak radiologi hingga Irlandia. Oleh karena itu Irlandia perlu membangun sistem kedaruratan nuklir nasional yang melibatkan beberapa instansi pemerintah baik pusat maupun local dalam menangani kejadian kedaruratan nuklir yang terjadi di Negara tentangganya. Beberapa instansi pemerintah dilibatkan dalam sistem kedaruratan nasional Irlandia dan mereka memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Disamping itu Irlandia telah membentuk suatu sistem komunikasi dengan badan internasional baik IAEA maupun WMO terkait dengan penanggulangan kedaruratan nuklir yang terjadi di Negara tetangganya. Dan hingga kini juga telah dibangun sistem pemantau disepanjang perbatasan Negara. Kata kunci : PLTN, kedaruratan, Irlandia

ABSTRACT IRELAND NUCLEAR EMERGENCY SYSTEM ASSESSMENT. Ireland so far has no nuclear power plants to supply electrical energy needs. However, the countries around the Irish already have and operate nuclear power plants that have the potential radiological impact to Ireland. Therefore, Ireland will need to build a national nuclear emergency system involving several agencies both central and local governments in dealing with nuclear emergency incident that occurred in the country around Ireland. Some government agencies involved in national emergency system and they have duty and function of each. Besides, Ireland has established a communication system with both international agencies, WMO and IAEA related to nuclear emergency response that occurred in neighboring countries. Ireland has been operating monitoring system in State border. Keywords: NPP,emergency, Ireland

PENDAHULUAN Hingga saat ini Irlandia belum memiliki dan mengoperasikan satu pun PLTN untuk memenuhi kebutuhna energi nasional mereka, namun demikian Irlandia mempunyai Negara tetangga yang telah membangun dan mengoperasikan PLTN di pantai yang dekat dengan wilayah Irlandia. Jika terjadi kedaruratan pada instalasi nuklir milik Negara tetangga, maka dapat dimungkinkan dampak radiologi mencapai Irlandia. Saat ini Irlandia telah menetapkan National Emergency Plan for Nuclear Accidents (NEPNA). Rencana kedaruratan ini dibangun dan dikembangkan untuk megantisipasi kedaruratan instalasi nukir dengan skala besar yang mungkin terjadi di luar negeri (Irlandia) yang mempunyai potensi dampak hingga mencapai Irlandia. Hingga tahun 2010, Irlandia belum memutuskan untuk membangun dan mengoperasikan PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, namun demikian disepanjang pantai barat Inggris telah dibangun beberapa PLTN. Yang berjarak kurang dari 100 km dari pantai Timur Irlandia. Pada tahun 2000, Irlandia menetapkan Statutory Instrument (SI) no 125/2000 tentang Rencana Kedaruratan Nuklir yang mungkin terjadi di Negara tetangga yang mempunyai potensi dampak radiologi hingga Irlandia. SI 125/2000 memiliki payung hukum Undang-Undang Proteksi Radiasi (Radiological Protection Act) tahun 1991. Disamping itu, Irlandia dalam membangun system kedaruratan nuklir juga mengacu pada dokumen safety standard IAEA GS-R-2 Safety Standard Preparedness and Response

70

Akhmad Khusyairi: Kajian Sistem Kedaruratan Nuklir Irlandia

for Nuclear or Radiological Emergency (Department of The Environment, Heritage and Local Goverment, 2005). Populasi penduduk Irlandia pada tahun 2008 mencapai 6,2 juta jiwa. PLTN Inggris yang terdekat dengan dataran Irlandia adalah PLTN Wilfa dengan daya elektrik sebesar 980 MWe yang dibangun pada thaun 1963. Sebagian besar PLTN yang dioperasikan oleh Inggris berada pada pantai Barat dataran Inggris yang berhadapan langsung dengan pantai timur Irlandia. Jika terjadi kedaruratan nuklir pada PLTN yang dioperasikan Inggris, maka potensi dampak radiologi dapat mencapai Irlandia, oleh karena itu Irlandia memerlukan system kedaruratan nuklir nasional untuk melindungi warganya dari dampak radiologi tersebut. Kajian ini bertujuan untuk mempelajari metode yang digunakan Irlandia dalam membangun system kedaruratan nuklir terkait dengan kejadian kedaruratan PLTN Inggris yang beroperasi di pantai barat dataran Inggris. Kajian ini hanya akan mengkaji bagaimana sistem yang dibangun oleh Pemerintah Irlandia dalam megantisipasi dampak radiologi yang mungkin terjadi akibat kedaruratan PLTN di Inggris. Posisi Geografis Irlandia Irlandia merupakan pulau ketiga terbesar di Eropah dan terbesar keduapuluh di dunia. Irlandia terletak di barat laut benua Eropah dan dikelilingi ratusan pulau. Sebelah timur Irlandia adalah Inggris yang terpisah oleh laut Irlandia. Pulau Irlandia terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Irlandia Utara merupakan bagian dari United Kingdom. Secara geografis, Irlandia di bagian utara yang berhadapan dengan lautan Atlantik dikelilingi oleh pantai gunung. Inggris memiliki beberapa komplek PLTN yang berada di daerah pantai barat dataran Inggris. Beberapa PLTN telah mengalami shut down permanen dan sebagian lagi masih beroperasi. Beberapa PLTN di wilayah barat pantai Inggris yang masih beroperasi adalah, 1. PLTN Oldbury, yang dibangun pada tahun 1962 dengan daya 434 MWe masuk kedalam jaringan listrik nasional pada tahun 1967 dan beroperasi komersial pada tahun 1968. Reaktor nuklir ini menggunakan bahan bakar type Magnox. 2. PLTN Wylfa, yang dibangun pada tahun 1963, dengan daya 2 x 490 MWe masuk dalam jaringan listrik nasional pada tahun 1971 dan beroperasi komersial pada tahun 1972. Reaktor nuklir ini menggunakan bahan bakar type Magnox. 3. PLTN Hinkley Point, yang dibangun pada tahun 1967, dengan desain daya sebesar 1.250 MWe masuk pada jaringan listrik nasional pada tahun 1976 dan pada tahun yang sama juga beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). 4. PLTN Hunterston B, yang dibangun pada tahun 1967, dengan kapasitas total daya 1.190 MWe masuk jaringan listrik nasional 1976 dan pada tahun yang sama juga beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktok AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). 5. PLTN Heysham 1, yang dibangun pada tahun 1970, dengan kapasitas total daya 1.150 MWe masuk jaringan listrik nasional 1983 dan pada tahun 1989 beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). 6. PLTN Heysham 2, yang dibangun pada tahun 1980, dengan kapasitas total daya 1.250 MWe masuk jaringan listrik nasional tahun 1988 dan pada tahun 1989 beroperasi komersial. Reaktor nuklir ini menggunakan type reaktor AGR (Advanced Gas-cooled Reactor). Type Kedaruratan Nuklir yang Mungkin Terjadi Pemerintah Republik Irlandia telah membangun sistem kedaruratan nasional yang ditujukan untuk kedaruratan besar yang mungkin terjadi bukan hanya untuk PLTN saja namun juga untuk semua instalasi nuklir yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi yang mencapai hingga Irlandia seperti kecelakaan yang mungkin terjadi pada fasilitas daur ulang bahan bakar nuklir dan kejadian kecelakaan yang terjadi di Chernobyl tahun 1986. Di Irlandia sendiri bahan radioaktif telah banyak digunakan untuk tujuan kedokteran nuklir, industry dan pendidikan, sama halnya dengan pemanfaatan untuk pembangkit listrik, penggunaan bahan radioaktif untuk keperluan tersebut juga mempunyai potensi dampak terhadap masyarakat umum namun dampak yang dihasilkan hanya bersifat lokal. Meskipun bersifat lokal rencana kedaruratan harus tetap ada. Jika terjadi kedaruratan nuklir lokal, maka system kedaruratan lokal harus mempunyai akses terhadap Radiological Protection Institute of Ireland (RPII) untuk memperoleh informasi dan sumberdaya yang tepat terkait dengan upaya tanggap darurat.

71

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Kecelakaan yang Berdampak pada Penduduk Irlandia Kecelakaan nuklir yang mungkin terjadi pada instalasi nuklir luar negeri yang terdekat dengan perbatasan Irlandia dapat memberikan dampak kesehatan baik secara langsung pada saat itu maupun tidak. Oleh karena itu pihak Pemerintah Republic Irlandia menganggap perlu untuk melakukan upaya antisipasi guna meminimalisasi resiko yang dapat diterima oleh warganya. Tingkat keparahan insiden maupun kecelakaan instalasi nuklir telah diklasifikasikan dalan International Nuclear Event Scale (INES), gambar 1, yang mempunyai skala keparahan tertinggi 7. Kecelakaan nuklir yang mempunyai dampak radiologi hingga Irlandia merupakan kecelakaan nuklir yang mempunyai skala keparahan 5 atau lebih. Dalam hal terjadinya kecelakaan nuklir yang terjadi di luar negeri, material radioaktif yang terlepas ke lingkungan berpotensi terbawa oleh pergerakan angin yang kemudian masuk kedalam tubuh manusia melalui jalur pernafasan dan dimungkinkan juga terdeposisi di tanah setelah terbawa angin. Konsentrasi material radioaktif yang terbawa angin akan menurun seiring dengan semakin jauhnya lokasi kejadian kecelakaan instalasi nuklir.

Gambar 1. Skala INES Faktor kecepatan dan arah angin dan curah hujan juga berpengaruh terhadap konsentrasi material radioaktif di suatu titik. Jika kontaminasi mencapai Irlandia, maka terdapat 3 cara terjadinya paparan terhadap penduduk Irlandia: 1. Paparan radiasi yang berasal dari material radioaktif di udara dan tanah, 2. Melalui jalur pernafasan yang menghirup udara yang terkontaminasi oleh material radioaktif, 3. Mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi.

72

Akhmad Khusyairi: Kajian Sistem Kedaruratan Nuklir Irlandia

Sistem Peringatan Dini Tanggap darurat Irlandia terkait dengan kecelakaan nuklir akan menjadi efektif jika kejadian kecelakaan diketahui sedini mungkin. Ketika terjadi kecelakaan nuklir Chernobyl tahun 1986, semua Negara di luar Uni Soviet waktu itu tidak ada yang mengetahui, baru setelah 2 hari kemudian diketahui ketika system pemantauan yang terpasang di PLTN Swedia mendeteksi laju radioaktivitas di atmosfer mencapai titik abnormal. Terdapat dua system peringatan dini yang digunakan untuk memantau kejadian kecelakaan nuklir di luar negeri (diluar Irlandia). Setelah kejadian Chernobyl, Negara-negara yang memiliki PLTN sepakat untuk menandatangani konvensi tentang Early Notification of a Nuclear Accident, dimana setiap Negara yang mengoperasikan instalasi nuklir mempunyai kewajiban untuk menginformasikan kepada IAEA sesegera mungkin jika terjadi kecelakaan nuklir. Unit tanggap darurat IAEA yang berkedudukan di Vienna segera menginformasikan hal ini ke semua Negara anggota termasuk Irlandia. Disamping itu terdapat system peringatan dini yang terpisah dari system peringatan dini yang dimiliki oleh IAEA, yaitu European Community Urgent Radiological Information Exchange (ECURIE). ECURIE merupakan system peringatan dini dibawah kendali Uni Eropah. Dengan system ini semua Negara anggota Uni Eropah yang memiliki instalasi nuklir mempunyai kewajiban untuk memberikan notifikasi ke Negara anggota yang lain jika terjadi kecelakaan radiologi yang berpotensi keluar dari territory Negaranya. Negara tersebut juga harus melakukan upaya protektiv dan memberikan hasil pengukuran yang mereka lakukan kepada Negara anggota yang lain. Sistem peringatan dini ini dirancang untuk memberikan peringatan dini secepat mungkin kepada semua Negara anggota. System ini juga diujicoba secara berkala baik pada level nasional maupun internasional dan secara kontinyu ditingkatkan performanya baik berdasarkan pengalaman maupun perkembangan teknologi. Jaringan nasional pemantau radiasi yang dimiliki Irlandia bekerja secara 24 jam, yang tersebar disepanjang perbatasan Negara. Dengan demikian kontaminasi radioaktif yang tiba di Irlandia dapat segera terdeteksi oleh sistem pemantau ini, yang kemudian secara otomatis akan memicu alarm untuk memberikan notifikasi RPII yang bekerja 7 hari dalam seminggu dan 24 jam dalam sehari. Ketika system peringatan dini diterima, National Emergency Plan for Nuclear Accident sesegera mungkin bertindak dan mengiformasikan kepada masyarakat umum. Petunjuk dan saran-saran secara resmi akan diberikan melalui radio dan televisi, hal ini akan dikeluarkan oleh Department of Environment, Heritage dan Local Government sesuai dengan arahan yang dari komite yang dibentuk oleh kementerian terkait. Sementara itu materi yang akan dirilis disiapkan oleh RPII melalui biro Informasinya. METODOLOGI Metode kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelusuran data berdasarkan study pustaka terhadap beberapa sumber. PEMBAHASAN Proses Pengambilan Keputusan Dalam hal terjadi kedaruratan nuklir yang dampaknya bisa mencapai Irlandia, sebuah Komite Menteri terbentuk dari beberapa kementerian akan dibentuk dan memberikan rekomnedasi dan arahan terkat dengan upaya penanggulangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Emergency Response Co-ordination Commite (ERCC) yang berbasiskan pada saran dari RPII. ERCC kemudian akan mempertimbangkan kajian teknis yang dilakukan oleh RPII terkait dengan potensi konsekwensi dan konsekwensi aktual akibat kecelakaan nuklir yang terjadi. Rekomendasi dari RPII tentang upaya penanggulangan harus dilakukan dalam kaitannya untuk meminimalisasi paparan radiasi terhadap masyarakat umum. Disamping itu ERCC juga memberikan saran kepada komite yang dibentuk oleh beberapa kementerian tersebut terkait dengan issue-siue praktis dan implikasinya terkait dengan rekomendasi yang diberikan oleh RPII dan juga mengkoordinasikan implementasi upaya penanggulangan. Pada tahap awal terjadinya kecelakaan nuklir di luar negeri, kesulitan dalam memprediksikan dampak dialami karena terdapat ketidakpastian situasi awal yang diperoleh dan juga pengaruh signifikan musim serta cuaca. Perencanaan kedaruratan ditujukan juga untuk meminimalisasi keterlambatan yang disebabkan oleh ketidakpastian yang ada. Proses pengambilan keputusan dapat diilustrasikan pada gambar 2.

73

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Gambar 2. Proses Pengambilan Keputusan Met Éireann, merupakan badan meteorologi nasional Irlandia, dalam hal kedaruratan nuklir, para ahli meteorologi Met Éireann membantu tim RPII dalam melakukan kajian dampak radiologi akibat kecelakaan nuklir di luar Irlandia yang mungkin mencapai Irlandia. Met Éireann mempunyai akses terhadap data meteorologi internasional yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi lintasan material radioaktiv yang dibawa oleh pergerakan angin dari lokasi kecelakaan nuklir. Kajian yang dilakukan oleh RPII nantinya akan meliputi estimasi dosis radiasi yang diterima warga Irlandia pada saat material radioaktif tersebut tiba di Irlandia. Berdasarkan data tersebut maka pengambilan keputusan untuk melakukan upaya penanggulangan dapat dilakukan sesegera mungkin. Sesaat setelah material/debu radioactive terdeteksi di Irlandia, maka data yang diperoleh dari jaringan nasional stasiun meteorologi digunakan untuk membantu fokus pada upaya implementasi penanggulangan pada wilayah yang terkena dampak, khususnya yang terkait dengan terjadinya hujan yang mungkin terjadi. Tanggap Darurat Dalam kurun waktu 24 jam hingga 36 jam berikutnya dapat diperoleh maping dan kuatifikasi level kontaminasi serta dilakukan indentifikasi partikel radioaktiv, hal ini sangat penting dilakukan guna melakukan penanganan terbaik pasca kejadian kecelakaan. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan analisis terhadap sampel tumbuhan/vegetasi, tanah ataupun parameter lingkungan pada beberapa lokasi di Irlandia. Pihak Pemerintah Lokal (Kota) dengan dibantu Civil Defence melakukan pengumpulan sampel yang kemudian dilakukan pengukuran kontaminasi di laboratorium RPII. Rencana jangka pangjang yang harus dilakukan adalah surveillance terhadp level kontaminasi yang mungkin bisa dilakukan dalam periode minggu, bulan bahkan juga tahun. Berdasarkan hasil surveillance ini maka akan dikeluarkan rekomendasi maupun saran guna menjaga agar paparan radiasi yang diterima warga dapat serendah mungkin. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pengendalian terhadap bahan makanan Upaya Proteksi Warga IAEA saat ini telah mengeluarkan panduan yang bisa digunakan oleh lembaga nasional yang berwenang diseluruh dunia dalam menentukan kapan dan bagaimana upaya penanggulangan harus dilakukan. Pada prinsipnya tujuan dari upaya penanggulangan kedaruratan nuklir adalah untuk 74

Akhmad Khusyairi: Kajian Sistem Kedaruratan Nuklir Irlandia

mengurangi paparan yang diterima warga Irlandia setelah terjadinya kecelakaan nuklir di luar Irlandia. Beberapa upaya pencegahan yang bisa dilakukan diantaranya adalah: Perlindungan ; Larangan mengkonsumsi makanan dan persediaan air yang terkontaminasi; Pengukuran level kontaminasi pada lahan pertanian untuk mereduksi kontaminasi pada bahan makanan Pemberian tablet iodine pada warga ditujukan untuk mengurangi penyerapan iodine radioaktif oleh kelenjar thyroid baik melalui pernafasan maupun jalur makanan. Evakuasi warga dari daerah yang terkontaminasi ke daerah yang bebas kontaminasi atau daerah yang mempunyai level kontaminasi lebih rendah. Secara umum, prinsip upaya penanggulangan dan bagaimana hal tersebut diimplementasikan diuraikan sebagai berikut; Perlindungan Bedasarkan panduan internasional, perlindungan dapat dilakukan dengan cara menutup pintu dan jendela serta mematikan sistem ventilasi aktif, hal ini dapat mereduksi kontaminasi dari jalur pernafasan dan juga paparan eksternal akibat material radioaktif di udara dan di tanah. Hal ini cukup efektif dilakukan untuk jangka waktu yang pendek, namun hal ini sulit dilakukan untuk jangka waktu panjang. Pengendalian Bahan Makanan dan Cadangan Air Jika terjadi fallout radioaktif maka muncul resiko terjadinya kontaminasi bahan makanan dan persediaan air minum. Bahan makanan yang jelas mempunyai resiko tinggi diantaranya susu dan sayuran yang berdaun rimbun yang tumbuh didaerah terbuka. Analisis level kontaminasi terhadap bahan makanan tersebut guna menentukan apakah diperlukan pelarangan mengkonsumsi atau tidak terhadap bahan makanan tersebut. Jika diperlukan maka pelarangan distribusi dan konsumsi terhadap bahan makanan dapat dilakukan sesegera mungkin terhadap area yang terdampak. Berdasarkan perundang-undangan proteksi radiologi, maka lembaga yang relevan diberi kewenangan untuk melakukan penyitaan dan pemusnahan susu dan bahan makanan lain yang terkontaminasi. Impor dan ekspor bahan makanan yang berasal dari daerah ini dikendalikan secara ketat. Sektor Pertanian Langkah-langkah yang relative sederhana menjadi sangat efektif dalam mengurangi dampak radiologi dari kecelakaan nuklir terhadap produk pertanian. Kontaminasi pada bahan makanan dan dosis radiasi yang diterima warga dapat direduksi jika upaya penanggulangan dilakukan sebelum terjadinya kontaminasi pada tanah. Seiring dengan berjalannya waktu, pengendalian dilakukan secara kontinyu terhadap perpindahan hewan dan pengawasan pemotongan ternak untuk konsumsi, hal ini dilakukan untuk memastikan level radioaktivitas dalam susu dan daging tidak melebihi nilai batas yang diizinkan. Tanaman dan hasil tanam rumahan semacam sayuran berdaun dan buah-buahan yang tumbuh diluar ruangan dan siap untuk dikonsumsi pada saat terjadinya kecelakaan mempunyai potensi kontaminasi permukaan dan tidak baik jika dikonsumsi. Sementara itu akar tanaman yang terllindungi tanah tidak rentan terhadap kontaminasi permukaan, namun hal ini sangat tergantung pada level kontaminasi dan hasil pengujian oleh karena itu akan dikeluarkan rekomendasi apakah produk tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Tablet Iodine Tidak semua kecelakaan nuklir akan melepaskan yodium radioaktif, dari hasil penelitian mengindikasikan bahwa bayi dan anak-anak muda paling rentan terhadap yodium radioaktif karena kelenjar tyroid mereka masih berkembang. Oleh karena itu pemberian tablet yodium lebih diutamakan untuk kelompok usia bayi dan anak-anak. Paparan radiasi yang berasal dari yodium radioaktif dapat meningkatkan resiko kanker tyroid, oleh karena itu pemberian yodium stabil dapat mengurangi daya serap kelenjar tyroid terhadap yodium radioaktif secara efektif.

75

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Keanggotaan Komite Koordinasi Tanggap Darurat Department of the Environment, Heritage and Local Government (Chair) RPII Department of Agriculture and Food Department of Defence Department of Health and Children Department of Communications, Marine and Natural Resources Department of the Taoiseach Food Safety Authority of Ireland An Garda Síochána Keanggotaan Komite Menteri Minister for the Environment, Heritage and Local Government (Chair) Minister for Health and Children Minister for Agriculture and Food Minister for Communications, Marine and Natural Resources Minister for Defence. KESIMPULAN Irlandia hingga saat ini masih belum memiliki PLTN guna memenuhi kebutuhan listrik dalam negerinya, namun demikian disebelah timur pantai Irlndia, Inggris mendirikan dan mengoperasikan beberapa PLTN yang dimungkinkan jika terjadi kecelakaan dapat mengakibatkan dampak radiologi yang bisa mencapai Irlandia. Oleh karena itu Pemerintah Irlandia menetapkan suatu system kedaruratan nuklir yang mungkin terjadi di luar Irlandia, system kedaruratan nuklir Irlandia mempunyai akses komunikasi dengan lembaga internasional seperti IAEA, WMO dan syetem tanggap darurat Uni Eropah, ECURIE. System kedaruratan Irlandia terdiri dari beberapa instansi pemerintah, baik pada level pusat, daerah maupun Pemerintah Kota. Masing-masing agen yang tergabung dalam system kedaruratan mempunyai tugas dan fungsi masing masing dalam melakukan upaya penanggulangan kedaruratan. DAFTAR PUSTAKA [1]. Department of The Environment, Heritage and Local Goverment. National Emergency Plan for Nuclear Accidents. Dublin 1: Nuclear Safety Section, (2005). [2]. Wikipedia. (n.d.). wikipedia.org., from Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/ nuclear_power_in_the_United_Kingdom, Retrieved June 01, 2011

76

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF Nanang Triagung Edi Hermawan Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif- BAPETEN, Jl. Gajah Mada No. 8 Jakarta ABSTRAK URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF. Pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia semakin berkembang pesat, meliputi seluruh wilayah provinsi. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan pengangkutan zat radioaktif antar wilayah, maupun dari dan ke luar negeri juga mengalami peningkatan. Frekuensi pengangkutan zat radioaktif yang tinggi harus diatur secara komprehensif untuk menjamin keselamatan terhadap personil pengangkut, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan kemampulaksanaan peraturan tersebut tidak optimal. Di sisi lain, isu tentang penerapan aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika kondisi keamanan saat ini, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Amandemen terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 memiliki tingkat kemendesakan yang tinggi. Amandemen harus mencakup pengaturan tentang keamanan, serta melengkapi, merinci, dan mempertegas pengaturan teknis. Dengan demikian peraturan pemerintah yang baru akan lebih komprehensif, jelas, tegas, dan memiliki tingkat kemampulaksanaan yang tinggi. Kata kunci: Amandemen, peraturan pemerintah, pengangkutan, zat radioaktif.

ABSTRACT AMENDMENT URGENCY OF GOVERNMENT REGULATION NUMBER 26 YEAR 2002 ABOUT THE SAFETY TRANSPORTATION OF RADIOACTIVE MATERIAL. The practice of radioactive material in Indonesia grows quickly, in all province regency. These condition caused transportation of radioactive material inter region, or internationally grows up. High frequency of radioactive material transportation has to be arranged by comprehensive regulation to reach the safety of transportation personnel, member of public, and environment. Government Regulation Number 26 Year 2002 has some leaks that makes the regulation implementation doesn’t optimum. The other issue is implementation security aspect on radioactive material transportation. It needs to be done by considering security condition in national, regional, and global level. Amendment of Government Regulation Number 26 Year 2002 has high urgency. The amendment should cover security issue, complete, detail, and enforce of technical regulations. By the amendment, new government regulation will comprehensive, clear, and has high implementation. Keywords: Amendment, government regulation, transportation, radioactive material.

PENDAHULUAN Pemanfaatan tenaga nuklir dewasa ini telah merambah berbagai bidang kegiatan, di antaranya penelitian dan pengembangan, pendidikan, industri, kesehatan, pertanian, dan energi. Hingga saat ini penggunaan zat radioaktif di bidang kesehatan telah mencapai 7.199 izin dengan 2.192 instansi pengguna. Di bidang industri pemanfaatan radiasi dilakukan oleh 662 perusahaan dengan jumlah izin sebanyak 8.352 Khusus untuk kegiatan riset maupun operasional reaktor riset terdapat 79 izin untuk 14 badan hukum.[1] Aplikasi penggunaan zat radioaktif dengan sekian ribu izin tersebut menyebar hampir merata di 33 provinsi, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan kuantitas dan kualitasnya di masa depan. Sesuai dengan perkembangan dan peningkatan penggunaan zat radioaktif yang meluas di setiap wilayah sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan untuk

77

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

pengangkutan zat radioaktif dari satu lokasi menuju ke lokasi yang lain dengan menggunakan moda angkutan umum juga terus meningkat. Moda angkutan yang dimaksud meliputi moda angkutan darat yang terdiri atas kendaraan jalan raya dan kereta, moda angkutan air berupa kapal, serta moda angkutan pesawat udara. Karena pengangkutan zat radioaktif melintasi ranah publik, baik yang bersifat domestik ataupun lintas negara, maka harus diberlakukan peraturan perundang-undangan yang memadai untuk menjamin keselamatan kepada pekerja, anggota masyarakat, maupun kelestarian lingkungan hidup. Sejarah pengaturan terhadap pengangkutan zat radioaktif diawali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1975 tentang Ketentuan Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif. Peraturan ini merupakan payung hukum yang dibuat berdasarkan ketentuan dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran[2], maka peraturan pemerintah sebagaimana tersebut di atas diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif.[3] Sebagaimana judulnya, peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pengangkutan zat radioaktif dari sisi keselamatan terhadap bahaya radiasi (safety aspect). Tragedi 11 September 2001 yang menimpa WTC menyebabkan perhatian dunia terhadap aspek keamanan meningkat. Demikian halnya dalam pemanfaatan zat radioaktif, aspek keamanan menjadi hal yang penting dan tidak dapat dikesampingkan lagi. Aspek keamanan (security) menjadi sejajar prioritasnya sebagaimana keselamatan (safety) dan seifgard (safeguard). Aspek keamanan tidak hanya diterapkan dalam penggunaan zat radioaktif pada fasilitas atau instalasi pemanfaatan saja, namun juga menjadi sangat penting pada saat pengangkutan zat radioaktif yang langsung melalui wilayah publik dimana potensi ancaman berupa sabotase, teror, serta perampokan yang signifikan. Di samping perlunya pengaturan tentang aspek keamanan selama pengangkutan zat radioaktif, beberapa pengaturan dalam PP No. 26 tahun 2002 dipandang memiliki kelemahan sehingga kurang mampu diterapkan sesuai dengan kebutuhan hukum di lapangan. Beberapa hal terkait dengan desain, pembuatan, pengujian, dan penerbitan sertifikat terhadap zat radioaktif dan bungkusan perlu diatur lebih rinci dan tuntas sehingga peraturan lebih operasional. Dengan demikian amandemen terhadap peraturan pengangkutan zat radiokatif tersebut memiliki kemendesakan dan urgensi untuk segera dilaksanakan. Pembahasan dalam makalah ini hanya mencakup urgensi pengamandemenan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif dari sudut pandang perkembangan konsep pengaturan di tingkat internasional dan kebutuhan dibentuknya sistem peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif, jelas, serta memiliki kemampulaksanaan di tingkat lapangan. Adapun tujuan penulisan paparan mengenai urgensi amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2002 diantaranya adalah: a. menelaah pengaturan tentang keselamatan pengangkutan zat radioaktif yang saat ini berlaku; b. menelaah kelemahan dan kekurangan sistem pengaturan PP No. 26 Tahun 2002; c. menelaah perkembangan pengaturan pengangkutan dari aspek keselamatan dan keamanan dari berbagai referensi internasional; d. memberikan gambaran pokok-pokok pengaturan yang harus diperbarui atau ditambahkan; e. memberikan wahana kepada setiap pemangku kepentingan dalam pengangkutan zat radioaktif untuk saling berkomunikasi dan memberikan masukan agar terwujud peraturan yang lebih komprehensif dan implementatif di lapangan. METODOLOGI Dalam penyusunan makalah mengenai amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif ini, dilakukan dengan metode diskriptif melalui studi pustaka dengan tahapan langkah meliputi pengumpulan literatur dan informasi pendukung, analisa, diskusi dan pembahasan, serta penyusunan laporan. Lingkup pembahasan dititikberatkan mengenai urgensi diperlukannya amandemen peraturan tersebut, dan muatan-muatan baru yang perlu diatur. PERKEMBANGAN SISTEM INTERNASIONAL Dunia internasional telah merintis pengembangan publikasi untuk keselamatan pengangkutan barang berbahaya sejak 1953 dengan dibentuknya United Nations Committe of Experts oleh United Nations Economic and Social Council (Dewan PBB yang menangani masalah Ekonomi dan Sosial).

78

Nanang Triagung Edi Hermawan: Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif

Pada tahun 1959 komite tersebut menjalin kerja sama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk merintis perumusan publikasi tentang keselamatan pengangkutan zat radioaktif. Hasilnya adalah diterbitkannya publikasi tentang ketentuan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif pada tahun 1961. Menindaklanjuti perkembangan teknologi dan kebutuhan operasional di lapangan, IAEA terus menerus mengevaluasi, mengembangkan, untuk kemudian melakukan revisi-revisi penyempurnaan yang diperlukan. Hingga saat ini telah dilakukan enam kali revisi, masing-masing versi tahun 1967, 1973, 1985, 1996, 2005, dan yang terakhir 2009 (Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material).[4] Dalam hal pengangkutan bahan berbahaya, International Civil Aviation Organization (ICAO), International Maritime Organization (IMO), dan United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) menyusun publikasi the United Nations Model Regulations for the Transport of Dangerous Goods, yang lebih dikenal sebagai The Model Regulations.[5] Menyadari urgensi peningkatan ancaman keamanan pasca peristiwa 11 September 2001, komite ahli PBB mulai mengintroduksi tindakan untuk meningkatkan keamanan dalam kegiatan pengangkutan barang berbahaya dan barang berbahaya berisiko tinggi pada revisi ke dua belas the Model Regulations yang dicantumkan pada bagian 1.4. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir, IAEA telah menetapkan pengamanan bahan nuklir dengan mengintroduksi sistem proteksi fisik sejak 1979 dalam the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material.[6] Untuk mendukung pelaksanaan konvensi tersebut, dikeluarkanlah publikasi the Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities[7] dan panduan teknis dalam Guidence and Considerations for the Implementation of INFCIRC/225/rev.4.[8] Secara khusus dalam penerapan aspek keamanan untuk kegiatan pengangkutan zat radioaktif selain bahan nuklir, IAEA telah merumuskan Security in Transport of Radioactive Material yang diterbitkan September 2008.[9] Fokus utama rekomendasi ini adalah dampak radiologik dan bahaya yang ditimbulkan oleh pemindahan secara tidak sah, sabotase, pencurian, perampokan, dan tindakan melawan hukum yang lain, selama kegiatan pengangkutan zat radioaktif. POKOK PENGATURAN PP No. 26 Tahun 2002 Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif meliputi perizinan untuk pelaksanaan pengangkutan, kewajiban dan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam pengangkutan, persyaratan mengenai pembungkusan, program proteksi radiasi, pelatihan bagi personil yang terlibat, program jaminan kualitas, jenis dan batasan zat radioaktif yang diangkut, pengaturan tentang pengangkutan zat radioaktif yang memiliki sifat bahaya lain, serta penanggulangan keadaan darurat selama pengangkutan. Isi PP No. 26 Tahun 2002 bab per bab selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1.[3] Tabel 1. Pokok-pokok pengaturan PP No.26 Tahun 2002 BAB I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV

POKOK PENGATURAN Ketentuan Umum Ruang Lingkup dan Tujuan Perizinan Kewajiban dan Tanggung Jawab Pembungkusan Program Proteksi Radiasi Pelatihan Program Jaminan Kualitas Jenis dan Aktivitas Zat Radioaktif Zat Radioaktif dengan Sifat Bahaya Lain Penanggulangan Keadaan Darurat Sanksi Administratif Ketentuan Pidana Ketentuan Penutup

Ketentuan umum berisi tentang definisi peristilahan yang dipergunakan dalam batang tubuh peraturan pemerintah ini. Ruang lingkup merupakan pembatasan keberlakuan peraturan beserta pengecualian-pengecualian terhadap pemindahan zat radioaktif yang tidak diatur dengan peraturan ini. Adapun tujuan pengaturan memberikan uraian tentang maksud disusun dan diberlakukannya peraturan pemerintah tentang pengangkutan untuk menjamin tercapainya keselamatan bagi pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup.

79

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Bab tentang perizinan yang mempersyaratkan bahwa pihak pengirim dan penerima dalam pengangkutan zat radioaktif haruslah pihak yang memiliki izin pemanfaatan zat radioaktif. Di samping memiliki izin pemanfaatan, pada setiap pelaksanaan pengangangkutan zat radioaktif harus diajukan persetujuan pengiriman dari BAPETEN. Bab ke empat merumuskan aturan tentang kewajiban dan tanggung jawab pengirim, pengangkut, dan penerima. Pengangkut wajib menyiapkan bungkusan yang akan dikirim, diantaranya dengan memilih bungkusan yang sesuai dengan jenis zat radioaktif yang akan diangkut, memberikan tanda, label ataupun plakat. Khusus dalam pengangkutan bahan nuklir, pengirim harus melakukan sistem proteksi fisik. Pengirim juga memiliki kewajiban untuk memberikan petunjuk tertulis kepada pengangkut dalam hal bungkusan tidak mungkin diserahkan kepada penerima. Demikian halnya petunjuk mengenai penyimpanan bungkusan di tempat transit. Sedangkan kewajiban pengangkut yang diatur adalah tanggung jawab atas keselamatan bungkusan selama pengiriman, serta sistem pelaporan apabila terjadi kerusakan bungkusan atau kehilangan bungkusan saat pengiriman. Adapun pihak penerima memiliki kewajiban untuk memeriksa keutuhan bungkusan pada saat menerimanya, dan memastikan tidak ada kerusakan bungkusan yang mengakibatkan kebocoran atau kontaminasi. Apabila terjadi kebocoran atau kontaminasi, maka penerima harus menginformasikannya kepada pengirim dan BAPETEN. Bab tentang pembungkusan mengatur kesesuaian isi dan tipe bungkusan yang dipergunakan. Bungkusan harus lolos pengujian dan mendapatkan sertifikat dari laboratorium yang terakreditasi. Bungkusan yang berasal dari luar negeri harus menyertakan sertifikat bungkusan yang kemudian divalidasi oleh BAPETEN. Setiap bungkusan tidak boleh berisi barang lain, dan apabila zat radioaktif memiliki sifat bahaya lain, maka sifat tersebut harus mendapatkan perhatian dan ditangani sesuai dengan ketentuan mengenai penanganan bahan berbahaya dan beracun yang berlaku. Setiap bungkusan yang akan diangkut harus disertai dengan dokumen pengangkutan, diberi tanda, label atau plakat yang jelas. Bab mengenai program proteksi radiasi mengharuskan pengangkutan memenuhi aspek proteksi radiasi. Khusus untuk bahan nuklir harus ditambahkan persyaratan proteksi fisik sesuai dengan golongannya. Bungkusan harus ditempatkan pada jarak aman dari personil pengangkut dan terhadap personil yang dimaksud dilakukan pemantauan dosis radiasi sesuai dengan kondisi pengangkutan. Pemeriksaan bungkusan oleh instansi lain seperti Kepolisian atau Bea Cukai hanya dapat dilakukan apabila dihadiri oleh petugas proteksi radiasi, serta bungkusan yang telah diperiksa harus dikembalikan seperti kondisi semula untuk diangkut kembali. Personil yang terlibat rutin dalam pengangkutan zat radioaktif harus mendapatkan pelatihan terkait, hal ini menjadi tanggung jawab pengirim. Pengirim harus membuat program jaminan mutu pengangkutan yang akan dilaksanakan oleh pengirim dalam persiapan pengangkutan, dan oleh pengangkut pada saat pengiriman berlangsung. Program jaminan mutu dimaksud harus mendapat persetujuan dari BAPETEN. Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi pada saat pengiriman, pengangkut wajib memberitahukannya kepada pengirim, penerima, BAPETEN, dan instansi lain yang terkait. Apabila terjadi kebocoran atau kontaminasi, pengangkut harus melakukan isolasi dan memberikan tanda-tanda pengamanan lokasi atau isolasi. Pengirim atau penerima harus mengirimkan petugas proteksi radiasi untuk melakukan tindakan pemulihan dan dekontaminasi. Pengaturan selanjutnya mengenai sanksi administratif sebagai konsekuensi terhadap pelanggaran aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini. Sanksi pidana dirujuk kepada Undang-undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai peraturan induk yang mengamanatkan peraturan ini.

PEMBAHASAN Kelemahan PP No. 26 Tahun 2002 Bila dicermati norma pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 ini, terdapat beberapa aturan yang diamanatkan untuk diatur lebih teknis di tingkat Peraturan Kepala BAPETEN. Amanat pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.

No. 1. 2. 3.

80

Tabel 2. Amanat pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 Pasal Pengamanatan Pasal 6 ayat (3) Pasal 12 ayat (6) Pasal 14 ayat (5)

Persetujuan pengiriman Penanganan kebocoran bungkusan Tipe, kategori, pengujian, dan sertifikat bungkusan

Nanang Triagung Edi Hermawan: Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Pasal 16 ayat (3) Pasal 19 ayat (3) Pasal 22 ayat (2) Pasal 23 ayat (2) Pasal 24 ayat (2) Pasal 27 ayat (3) Pasal 28 ayat (4) Pasal 29 ayat (2)

Validasi sertifikat bungkusan yang berasal dari luar negeri Dokumen, tanda, label dan plakat Proteksi fisik untuk pengangkutan bahan nuklir Jarak aman antara bungkusan dan personil pengangkut Pemantauan dosis terhadap personil pengangkut Pelatihan personil pengangkut Program Jaminan Kualitas Pengangkutan Jenis dan aktivitas zat radioaktif

Semenjak PP No.26 Tahun 2002 diundangkan hingga saat ini, peraturan teknis setingkat Peraturan Kepala BAPETEN tentang pengangkutan zat radioaktif yang berlaku hanyalah Perka No.IV/Ka.BAPETEN/1999 tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif[10] dan Perka No.05P/Ka.BAPETEN/2000 tentang Pedoman Persyaratan untuk Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif[11], sedangkan sebelas amanat pengaturan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2 belum satupun yang diterbitkan. Dengan demikian PP No.26 Tahun 2002 sudah pasti kurang operasional. Kemudian dengan mencermati kembali substansi atau pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002, maka ditemukan beberapa kekurangan atau kelemahan pengaturan baik secara substansi yuridis maupun teknis yang berpengaruh pada kemampulaksanaan dan kepatuhan terhadap peraturan dimaksud. Kekurangan atau kelemahan tersebut meliputi, antara lain[12]: a. lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 belum mencakup seluruh proses atau elemen yang menjadi bagian dari pelaksanaan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Dengan kata lain ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak mampu memberikan arah pengaturan dan solusi hukum untuk kegiatan desain, manufaktur, pengujian zat radioaktif dan bungkusan; b. dalam tinjauan subjek hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tidak secara tuntas memberikan pengaturan. Pengirim, penerima, dan pengangkut yang diatur merupakan subjek hukum yang melaksanakan kegiatan pengangkutan di tahap lanjut atau akhir, sedangkan pada tahap awal seperti desainer atau pabrikan yang merupakan badan hukum terpisah atau tersendiri dalam skema pengangkutan zat radioaktif tidak disentuh; c. pengaturan mengenai persetujuan pengiriman yang perlu peninjauan kembali secara praktik, kesesuaiannya dengan praktik internasional, dan kemanfaatan hukumnya; d. pengaturan mengenai instrumen yuridis yang diperlukan dalam pengangkutan zat radioaktif tidak mampu laksana. Pengaturan dimaksud meliputi persyaratan dan tata cara sertifikasi zat radioaktif dan bungkusan, validasi, permohonan dan penerbitan persetujuan terhadap zat radioaktif, bungkusan, program proteksi radiasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengangkutan sesuai dengan standar internasional; e. pengaturan yang tidak tuntas mengenai persyaratan keselamatan radiasi yang diperlukan untuk pengangkutan zat radioaktif, seperti misalnya pembungkus dan bungkusan, program proteksi radiasi, penentuan Indeks Angkutan atau Indeks Keselamatan Kekritisan, pemantauan dosis, nilai batas aktivitas (activity limit) atau penentuan dan penggunaan nilai A1 dan A2, pemasangan plakat, dan pelabelan; f. perlunya menata dan mengatur kembali tanggung jawab subjek hukum, pelatihan personil yang melaksanakan pengangkutan zat radioaktif, program jaminan mutu, penanggulangan keadaan darurat dalam pengangkutan zat radioaktif; dan g. tidak terdapatnya pengaturan mengenai compliance assurance program yang jelas dalam pengangkutan zat radioaktif. Memperhatikan dan menimbang kelemahan yang terdapat dalam PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif sebagaimana telah diuraikan di atas, maka urgensi kebutuhan untuk mengamandemen peraturan pemerintah tersebut memiliki prioritas kemendesakan yang tinggi. Tujuan Amandemen Adapun tujuan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, di antaranya untuk[12]: 1. menyempurnakan dan memperkuat landasan hukum yang memiliki kemampulaksanaan, kedayagunaan, dan kehasilgunaan yang optimum terhadap kegiatan pengangkutan zat radioaktif; 81

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

2. menjamin kepastian hukum yang lebih komprehensif terhadap terwujudnya keselamatan pekerja, anggota masyarakat, serta perlindungan kelestarian lingkungan hidup dari potensi timbulnya bahaya radiasi selama pengangkutan zat radioaktif; dan 3. memberikan landasan hukum yang jelas dan pasti terhadap internalisasi dan penerapan aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif pada skala nasional. Pertimbangan Amandemen Sesuai dengan tujuan dilakukannya amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 sebagaimana telah diuraikan di atas, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mensinergikan dan menyelaraskan pola serta substansi terkait dengan aspek keselamatan dan keamanan, diantaranya adalah[12]: 1. harmonisasi dengan rekomendasi internasional; 2. kebutuhan hukum pemegang izin yang bertindak sebagai pengirim atau penerima dalam memenuhi dan mematuhi ketentuan, serta pihak pemerintah selaku pelaksana tugas pengawasan pengangkutan zat radioaktif; 3. kesesuaian dan keselarasan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pengangkutan bahan berbahaya serta pengangkutan umum di tingkat nasional; 4. interaksi atau keterkaitan implementasi antara persyaratan keselamatan dan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif. Pokok Amandemen a. Judul Mempertimbangkan bahwa salah satu urgensi dilakukannya amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 adalah kebutuhan pengaturan dari tinjauan sistem keamanan dalam pengangkutan, maka judul peraturan yang melingkupi aspek keselamatan dan keamanan yaitu Keselamatan dan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif. b. Subyek Hukum Subyek hukum utama dalam kegiatan pengangkutan zat radioaktif adalah pengirim dan penerima. Kedua subyek ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir memiliki kedudukan hukum sebagai pemegang izin.[13] Dengan kedudukan demikian, pengirim dan penerima dipandang memiliki kemampuan yang memadai untuk memahami dan menerapkan persyaratan keselamatan dan keamanan, melaksanakan segala tanggung jawab dan kewajiban hukum dalam setiap tahapan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Dengan demikian penyiapan bungkusan, pelaksanaan pengiriman, penanganan bungkusan pada saat transit, hingga serah terima kepada pengirim dapat dilaksanakan dengan baik. Subyek hukum lain adalah pengangkut, dan pendesain, pembuat, atau penguji zat radioaktif maupun bungkusan. Pengirim harus memastikan bahwa pengangkut mengerti dan paham mengenai muatan barang yang diangkutnya secara umum, meliputi gambaran zat radioaktif, sifat dan potensi bahaya, serta tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam hal terjadi situasi kedaruratan. Adapun pengaturan yang lebih jelas dan terinci harus diterapkan kepada orang atau badan yang mendesain, membuat, atau menguji zat radioaktif dan bungkusan yang akan diangkut. Pengaturan dimaksud terkait dengan penerbitan sertifikat persetujuan desain produk, jenis uji yang harus dilakukan dan sertifikat hasil uji oleh lembaga yang terakreditasi. c. Tujuan Pengaturan Tujuan pengaturan mencakup dua aspek, yaitu keselamatan dan keamanan, dirumuskan sebagai berikut: 1. menjamin keselamatan dan memberikan perlindungan terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dalam pengangkutan zat radioaktif; dan 2. mencegah upaya pencurian, tindakan sabotase, pemindahan tidak sah, dan perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup akibat tindakan ancaman keamanan.

82

Nanang Triagung Edi Hermawan: Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif

d. Lingkup Pengaturan Lingkup pengaturan merupakan batasan substansi hukum yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan pokok pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 sebagaimana telah ditampilkan dalam Tabel 1, lingkup pengaturan teknis dalam amandemen peraturan ini meliputi: 1. persyaratan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif; 2. persyaratan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif; 3. kedaruratan dalam pengangkutan zat radioaktif; serta 4. penatalaksanaan pengangkutan zat radioaktif. Selain merinci ketentuan-ketentuan yang diatur secara normatif pasal per pasal, ada beberapa zat radioaktif yang pengaturan pengangkutannya dikecualikan atau tidak diatur dengan peraturan pemerintah hasil amandemen. Beberapa hal yang tidak diatur tersebut, meliputi: 1. zat radioaktif yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peralatan pengangkutan; 2. zat radioaktif yang dipindahkan dalam satu kawasan yang tidak melalui sarana jalan atau rel umum; 3. zat radioaktif yang terpasang atau melekat pada orang atau binatang untuk keperluan diagnosis atau pengobatan; 4. zat radioaktif yang terkandung dalam produk konsumen yang distribusi dan peredarannya telah mendapatkan izin pengalihan dari BAPETEN; 5. bahan galian alam dan bijih yang mengandung zat radioaktif alam (Naturally Occuring Radioactive Materials, NORM); 6. benda padat yang terkontaminasi zat radioaktif di permukaannya dimana tingkat kontaminasinya tidak melebihi batas yang telah ditetapkan BAPETEN. e.

Persyaratan Keselamatan

Pokok-pokok pikiran yang akan diatur dalam bab ini, diantaranya klasifikasi zat radioaktif, tipe bungkusan, desain, pembuatan, serta pengujian dan sertifikasi terhadap zat radioaktif dan bungkusan, proteksi radiasi, nilai batas aktivitas, persiapan pengiriman, penanganan bungkusan selama pengiriman, pengiriman dengan pengaturan khusus, serta penanganan kondisional tertentu. Zat radioaktif yang menjadi isi bungkusan diklasifikasikan dengan mempertimbangkan tipe, jenis, serta aktivitas radionuklida, sifat fisika, kimia dan potensi bahaya, tingkat kontaminasi, dan kemampuan dapat belah. Di samping pertimbangan tersebut, klasifikasi zat radioaktif juga menekankan kepada kebutuhan teknis penanganan pada saat pelaksanaan persiapan, pemuatan, pengiriman, pembongkaran, hingga penyerahan kepada penerima. Dari pertimbangan tersebut, dan sesuai dengan rekomendasi internasional, maka zat radioaktif yang akan diangkut diklasifikasikan menjadi[4]: 1. zat radioaktif aktivitas jenis rendah (low specific activity material); 2. zat radioaktif bentuk khusus (special form of radioactive material); 3. zat radioaktif daya sebar rendah (low dispersible of radioactive material); 4. benda terkontaminasi permukaan (surface contaminated object); 5. bahan fisil (fissile material); dan 6. Uranium Hexaflorida (UF6). Bungkusan merupakan satu kesatuan antara isi bungkusan dan pembungkus. Bungkusan dibuat dengan memenuhi beberapa kriteria atau fungsi, seperti sebagai bahan penyerap (absorbent materials), kerangka (spacing structure), peralatan perawatan dan perbaikan (service equipment), peredam goncangan (shock absorbent), penanganan dan pengikat (handling and tie-down capability), pengisolasi panas (thermal insulation), pengungkung (containment), serta penyungkup (confinement). Selanjutnya berdasarkan nilai batas aktivitas dan pembatasan zat radioaktif, tipe bungkusan dibedakan menjadi[4]: 1. bungkusan dikecualikan; 2. bungkusan industri; 3. bungkusan Tipe A; 4. bungkusan Tipe B(U) dan B(M); dan 5. bungkusan Tipe C. Zat radioaktif dan bungkusan harus didesain, dibuat dan diuji berdasarkan standar yang berlaku. Untuk zat radioaktif bentuk khusus, zat radioaktif daya sebar rendah, bungkusan yang berisi lebih dari 0,1 kg UF6, bungkusan berisi bahan nuklir, bungkusan tipe B dan C, harus mendapatkan sertifikat 83

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

persetujuan desain dari BAPETEN. Selanjutnya zat radioaktif dan bungkusan harus diuji oleh lembaga uji yang terakreditasi, dibuktikan dengan sertifikat hasil uji sesuai dengan standar yang berlaku. Khusus untuk zat radioaktif atau bungkusan yang berasal dari luar negeri, sertifikat zat radioaktif atau bungkusan dari negara asal akan divalidasi oleh BAPETEN. Dalam pengangkutan zat radioaktif, pengirim harus melaksanakan prinsip proteksi radiasi dengan menerapkan limitasi dan optimisasi. Limitasi dosis radiasi dibedakan atas potensi dosis radiasi yang dapat diterima oleh personil pengangkut dalam satu tahun, meliputi kurang dari 1 mSv, antara 1 – 6 mSv, dan lebih besar dari 6 mSv. Untuk potensi penerimaan dosis kurang dari 1 mSv/thn tidak diperlukan tindakan proteksi khusus. Untuk potensi penerimaan dosis antara 1 - 6 mSv/thn, perlu dilakukan pengukuran paparan radiasi di sekeliling kendaraan pengangkut. Adapun untuk potensi penerimaan paparan personil yang melebihi 6 mSv/thn, selain dilakukan pengukuran paparan radiasi di sekeliling kendaraan pengangkut, setiap personil harus menggunakan alat pemantau dosis personal. Optimisasi dilakukan dengan mempertimbangkan paparan normal dan paparan potensial. Paparan normal adalah paparan yang diterima personil pengangkutan pada kondisi rutin dan normal. Adapun paparan potensial merupakan paparan yang tidak dapat dipastikan terjadinya, namun memiliki potensi untuk terjadi. Paparan ini dapat berasal dari kecelakaan, atau dikarenakan terjadinya suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang bersifat probabilistik, termasuk kegagalan peralatan dan kesalahan operasi. Tindakan optimisasi yang dilakukan oleh pengirim dan penerima dituangkan secara terstruktur dan sistematis ke dalam dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir tindakan yang sama harus tercermin dalam dokumen Laporan Analisis Keselamatan (LAK). Zat radioaktif harus dibungkus dengan pembungkus yang sesuai dengan tipe bungkusan. Batasan isi bungkusan tipe A adalah nilai A1 untuk zat radioaktif bentuk khusus, dan nilai A2 untuk zat radioaktif bentuk lain. Untuk zat radioaktif yang aktivitas atau konsentrasi aktivitasnya melebihi nilai 3000A1 atau 3000A2, harus diangkut menggunakan bungkusan tipe B atau C. Setelah zat radioaktif dibungkus dengan tipe bungkusan yang sesuai, selanjutnya dilakukan penentuan indeks angkutan. Indeks angkutan ditentukan dengan mengukur laju paparan radiasi maksimum pada jarak 1 m dari permukaan bungkusan atau pembungkus luar. Indeks angkutan berfungsi sebagai dasar pemisahan bungkusan dari bahan non radioaktif, seperti film yang belum diolah atau barang kiriman lainnya. Selain itu indeks angkutan juga berguna sebagai batasan tingkat paparan radiasi bagi anggota masyarakat, dan personil pengangkut, serta pengaturan untuk penyimpanan selama kendaraan transit. Khusus untuk isi bungkusan berupa bahan fisil harus ditentukan pula indeks keselamatan kekritisan. Bungkusan, termasuk pembungkus luar atau tambahan, harus ditentukan pengkategorisasiannya untuk penentuan tanda, label, maupun plakat. Kategorisasi ini didasarkan kepada nilai indeks angkutan dan tingkat radiasi pada permukaan. Kategori bungkusan terdiri atas kategori I-Putih, II-Kuning, dan III-Kuning. Penentuan kategori sebagaimana dimaksud di atas dilakukan berdasarkan nilai pada Tabel 3. Tabel 3. Kategori Bungkusan dan Pembungkus Luar[4] Kondisi Kategori Tingkat radiasi maksimum di Indeks Angkutan (IA) permukaan (mSv/jam) 0 0 < IA < 1 1 < IA < 10 IA > 10

f.

0,005 < R 0,005 < R < 0,5 0,5 < R < 2 2 < R < 10

I – PUTIH II – KUNING III – KUNING III – KUNING (penggunaan tunggal)

Persyaratan Keamanan

Pengirim, pengangkut, dan penerima harus menerapkan tindakan keamanan sesuai dengan lingkup tanggung jawab masing-masing, berdasarkan kepada potensi tingkat acaman. Tanggung jawab utama perencanaan program keamanan dilakukan oleh pengirim. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir, tindakan keamanan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan mengenai proteksi fisik bahan nuklir selama pengangkutan. Untuk bungkusan yang berisi zat radioaktif selain bahan nuklir, persyaratan keamanan diberlakukan sesuai dengan tingkat keamanan. Tingkat keamanan dimaksud meliputi tingkat keamanan 84

Nanang Triagung Edi Hermawan: Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif

umum (prudent management level), dasar (basic security level), dan lanjut (enhanced security level).[9] Persyaratan dimaksud, diantaranya meliputi: 1.data identitas personil pengangkut; 2.sistem segel dan/atau penguncian; 3.rencana keamanan; 4.pelatihan untuk personil pengangkut; 5.prosedur tertulis; 6.peralatan pemantau posisi dan komunikasi; dan/atau 7.pengawalan untuk pengiriman penggunaan tunggal. Penerapan persyaratan sebagaimana tersebut di atas, dilakukan sesuai dengan tingkatan risiko ancaman keamanan. Dalam hal pelaksanaan pengiriman memerlukan transit di suatu tempat, maka pengirim harus memastikan bahwa pengangkut melakukan tindakan keamanan selama transit sebagaimana tindakan keamanan pada saat penggunaan atau penyimpanan di lokasi pemanfaatan. g.

Kedaruratan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif Keadaan kedaruratan dalam pengangkutan zat radioaktif dapat terjadi karena faktor tidak tercapainya tindakan keselamatan maupun karena adanya ancaman keamanan. Pengirim harus membuat rencana atau program penanggulangan keadaan darurat yang menjadi satu kesatuan dengan dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi atau laporan analisis keselamatan. Dalam rencana tersebut paling tidak terdapat prosedur atau instruksi yang jelas perihal tindakan yang harus dilakukan oleh personil pengangkut, ataupun masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Pengangkut harus melakukan tindakan sucukupnya untuk mengamankan kendaraan dan barang kiriman. Selanjutnya ia melaporkan kejadian darurat tersebut kepada polisi setempat. Dalam hal terdapat dugaan telah terjadi kerusakan pada bungkusan, maka pengangkut harus memberitahukan kepada pengirim atau petugas proteksi radiasi. Jika terdapat tanda-tanda kebocoran atau kontaminasi zat radioaktif di luar bungkusan, maka kendaraan harus dilokalisir sedemikian sehingga terdapat jarak aman dari paparan radiasi. Tindakan penanganan selanjutnya harus menunggu instruksi atau kedatangan petugas proteksi radiasi di lokasi kejadian. Untuk keadaan darurat yang dipicu oleh ancaman keamanan, seperti sabotase, perampokan, pencurian, ataupun penyanderaan terhadap barang kiriman, maka pengirim harus memastikan terdapat prosedur pelaporan kepada pengirim, penerima, BAPETEN, termasuk kepada kepolisian. Di samping itu harus ada juga tindak lanjut untuk melakukan pelacakan, penyidikan, dan penyelidikan untuk menelusuri dan menemukan keberadaan zat radioaktif yang telah berpindah tangan ke pihak yang tidak bertanggung jawab. h.

Penatalaksanaan Pengangkutan Zat Radioaktif

Sebelum melakukan pengangkutan zat radioaktif, pengirim harus memperoleh persetujuan pengiriman dari BAPETEN. Pengajuan tersebut dilakukan dengan mengisi formulir dan dilengkapi dengan: 1.salinan sertifikat zat radioaktif; 2.salinan sertifikat bungkusan; 3.program proteksi dan keselamatan radiasi; 4.program keamanan selama pengangkutan zat radioaktif; dan/atau 5.program proteksi fisik, khusus untuk pengangkutan bahan nuklir. Dalam pelaksanaan pengangkutan zat radioaktif, pengangkut harus melakukan tindakantindakan yang diperlukan dalam hal memerlukan transit, pengangkutan bersamaan dengan barang lain, pengangkutan zat radioaktif dengan sifat bahaya lain, pengangkutan bahan fisil, dan apabila bungkusan tidak dapat terkirim ke tempat tujuan. Kendali operasional selama transit dilakukan antara lain dengan cara melakukan pemisahan atau pengaturan jarak antara bungkusan zat radioaktif dari personil pengangkut rutin, kelompok masyarakat kritis, film fotografi yang belum diolah, serta terhadap bahan berbahaya dan beracun. Apabila bungkusan zat radioaktif diangkut bersamaan dengan barang lain yang non radioaktif, maka bungkusan tidak boleh berisi barang lain selain zat radioaktif, bungkusan harus dipisahkan dari barang berbahaya dan beracun yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahan berbahaya dan beracun. Di samping itu pembungkus zat radioaktif tidak boleh dipergunakan untuk mengangkut barang atau bahan lain, kecuali pembungkus tersebut telah didekontaminasi dan mencapai batasan aman sesuai ketentuan. 85

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 14 Nomor 2 Desember 2011 (Volume 14, Number 2, December, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

Untuk pengangkutan bahan fisil, pengirim harus melakukan tindakan pencegahan kekritisan dengan memastikan bahwa bungkusan tidak mengalami kebocoran, efisiensi penyerap dan moderator netron tetap terjaga, tidak dilakukan penata-ulangan bungkusan di perjalanan, jarak antar bungkusan tidak berubah, bungkusan tidak terendam air, temperatur bungkusan stabil, dan ketentuan terkait indeks kritikalitas tetap terpenuhi. Dalam hal bungkusan tidak dapat terkirim ke tempat tujuan, maka pengirim harus memberikan prosedur atau petunjuk agar pengangkut menempatkan bungkusan tersebut di tempat yang aman. Selanjutnya pengangkut harus memberitahukan perihal tersebut kepada pengirim, penerima, dan BAPETEN. Apabila dalam proses pengiriman dilakukan pemeriksaan terhadap isi bungkusan oleh instansi selain BAPETEN, seperti kepabeanan atau kepolisian, maka tindakan tersebut hanya dapat dilakukan dengan disaksikan oleh petugas proteksi atau inspektur keselamatan BAPETEN. Hal ini untuk memastikan tidak terjadi kesalahan prosedur atau tindakan yang dapat memberikan paparan radiasi berlebih terhadap personil lain. Selanjutnya bungkusan hanya dapat diangkut kembali atau meneruskan perjalanan, apabila sudah dipastikan bahwa bungkusan dikembalikan sebagaimana kondisi dan keadaan semula. i.

Inspeksi

Pengaturan tentang pelaksanaan inspeksi oleh inspektur keselataman nuklir BAPETEN harus diatur berdasarkan kewenangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan ini perlu dilakukan untuk memastikan terpenuhinya segala persyaratan pengangkutan zat radioaktif sehingga akan tercapai keselamatan dan keamanan. j.

Pengaturan hal lain

Pengaturan lain yang dimaksud adalah perihal sanksi administratif, ketentuan peralihan, dan penutup. Pengaturan ketiga hal tersebut harus mengacu kepada konstruksi dan formulasi norma batang tubuh rancangan peraturan amandemen secara utuh. KESIMPULAN Dari uraian dan analisis sebagaimana telah dipaparkan dalam malakah ini, maka dapat disimpulkan bahwa amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif memiliki tingkat kemendesakan dan urgensi yang tinggi. Amandemen yang dilakukan harus mencakup aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif, serta mampu menutup kelemahan-kelemahan pengaturan sebelumnya. Dengan pengaturan yang lebih lengkap, rinci, tegas, dan jelas, akan terbentuk sistem peraturan yang memiliki kemampulaksanaan tinggi di lapangan, dan mempunyai kedudukan hukum yang kuat. DAFTAR PUSTAKA [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. 86

Anonim, Nuclear Safety with BAPETEN, BAPETEN, Jakarta, 2011; Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif; IAEA, Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material , TSR-1, IAEA, Vienna, 2009; United Nations, the United Nations Model Regulations for the Transport of Dangerous Goods, New York, 2009; IAEA, the Convention on Physical Protection of Nuclear Material, IAEA, Vienna, 1979; IAEA, the Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/rev.4, IAEA, Vienna, 1999; IAEA, Guidance and Considerations for the Implementation of INFCIRC/225/rev.4, IAEA TECDOC 967(rev.1), IAEA, Vienna, IAEA, Security in Transport of Radioactive Material, NSS No.9, IAEA, Vienna, 2008; Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 04/Ka.BAPETEN/V-99 Tahun 1999 tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif; Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 05P/Ka.BAPETEN/VII-00 Tahun 2000 tentang Pedoman Persyaratan untuk Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif; Anonim, Rancangan Konsepsi Amandemen PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif, BAPETEN, Jakarta, 2010.

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Pedoman Penulisan Naskah Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun. Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman, 3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan. 4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi. 5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic. 6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya: i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar) 8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],... 9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi: [2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990). Artikel dari jurnal : [3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992) Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000). 10. 11. 12. 13.

Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS Word.