8
TINJAUAN PUSTAKA Susu UHT (Ultra High Temperature) Susu segar merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang (Saleh, 2004). Nilai gizi susu yang tinggi menyebabkan susu menjadi medium yang sangat disukai oleh mikrooganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar. Mikroorganisme yang berkembang didalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen akhir. Proses UHT umumnya melibatkan pemanasan susu ataupun bahan minuman lainnya secara cepat pada suhu 140°C. Suhu ini kemudian dipertahankan selama beberapa detik untuk membunuh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Produk tersebut lalu didinginkan secara cepat serta ditempatkan pada kemasan kedap udara untuk mencegah kontaminasi. Perlakuan semacam ini pada umumnya diterapkan untuk memproduksi susu ‘long life’ dan jus buah. Kelemahan dari perlakuan dengan suhu tinggi adalah rusaknya vitamin-vitamin yang sensitif terhadap panas seperti vitamin C. Pada pembuatan jus buah, vitamin-vitamin ditambahkan kembali setelah perlakuan selesai (Astawan dan Astawan, 1989).
Gambar 1 Rangkaian mesin pelaksana proses UHT.
9
Proses UHT pada susu diawali dengan pemerahan susu sapi secara aseptik dengan lingkungan steril, kemudian mengalirkan ke tangki pendingin dengan alat pompa. Tangki pendingin akan mempercepat susu mencapai suhu dingin. Susu disimpan selama tiga hari, kemudian dikirimkan ke tempat pengolahan susu dalam suhu refrigerator. Langkah selanjutnya adalah klarifikasi dengan memusingkan susu di dalam mangkuk klarifikasi untuk membersihkan susu dari debu dan kotoran. Kemudian dilakukan proses pemisahan dengan cara menghangatkan susu pada suhu 35 – 45 °C dengan tujuan melarutkan lemak susu. Selanjutnya susu dipusingkan untuk mempercepat pemisahan lemak. Susu tanpa lemak tersebut kemudian distandarisasi dengan mencampur krim atau skim susu untuk mendapatkan lemak yang diinginkan. Tahapan selanjutnya adalah proses pasteurisasi diikuti oleh homogenisasi untuk mengecilkan globulan lemak, sehingga menghasilkan bentuk dan ukuran lemak yang sama. Tahapan akhir sebelum susu pasteurisasi didistribusikan adalah proses pengemasan. Proses ini dapat dilihat pada tabel 4 (Bylund, 1995; Scott, 2008) Perlakuan sterilisasi pada susu hampir sama dengan UHT, tetapi dengan suhu lebih tinggi dan dalam waktu yang lebih lama. Istilah sterilisasi pada susu adalah sterilisasi komersial dengan masih ditemukannya sejumlah mikroba. Menurut Scott (2008) sterilisasi komersial didefinisikan sebagai kondisi peralatan dan pengemasan yang tidak mengandung mikroba patogen. Pada industri pengalengan, sterilisasi komersial adalah tindakan pengemasan pada produk pangan dalam kaleng. Proses aseptik digunakan secara terpisah antara sterilisasi produk dan pengemasan. Produk yang steril kemudian dimasukkan pada kemasan steril melalui sistim pengemasan yang steril pula (Scott 2008).
10
Tabel 4 Proses Pengolahan Susu UHT ( Gillis 2005 )
Pemerahan
Pumping
Pendinginan dan Agitasi
Pengiriman
Klarifikasi
Separasi dan Standarisasi
Pasturisasi
HTST
UHT
Homogenisasi
Pengemasan dan Distribusi
11
Susu UHT (Ultra High
Temperature) adalah susu yang dibuat
menggunakan proses pemanasan yang melebihi proses pasteurisasi, umumnya mengacu pada kombinasi waktu dan suhu tertentu dalam rangka memperoleh produk komersil yang steril. Pemilihan kombinasi antara waktu dan suhu yang tepat disebut juga teknik sterilisasi UHT (Westhoff, 1978). Menurut definisi dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, UHT adalah proses dimana produk susu diberi perlakuan pemanasan pada suhu diatas 100 0C dan di kemas secara aseptis, setelah melewati proses inkubasi yang tidak kurang dari 14 hari pada suhu 30 0C serta bebas dari pencemaran mikroorganisme (Government Notice, 2001). Ada dua pendapat mengenai pengelompokan susu UHT. Pendapat pertama menyatakan bahwa susu UHT termasuk salah satu metode pasteurisasi. Definisi susu pasteurisasi adalah susu segar yang telah mengalami pemanasan pada suhu di bawah 100°C. Standar pasteurisasi menggunakan suhu 62°C selama 30 menit, atau pada suhu 71°C selama 15 detik. Pemanasan tersebut bertujuan untuk mematikan bakteri-bakteri pathogen, sehingga susu ini dalam jangka waktu tertentu aman untuk dikonsumsi atau diminum tanpa harus dipanaskan lagi. Terdapat 3 macam cara pasteurisasi yaitu : 1. Pasteurisasi lama (LTLT = Low Temperature Long Time) dengan suhu 62°C– 65° C selama 30 menit. 2. Pasteurisasi sekejap (HTST = High Temperature Short Time) dengan suhu 85°C – 95°C selama 1-2 menit. 3. Pasteurisasi dengan Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan susu dilakukan pada temperatur tinggi yang segera didinginkan pada temperatur 10 °C (temperatur minimal untuk pertumbuhan bakteri susu). Pasteurisasi dengan UHT dapat pula dilakukan dengan memanaskan susu sambil diaduk dalam suatu panci pada suhu 81 °C selama ± 1/2 jam dan dengan cepat didinginkan. Pendinginan dapat dilakukan dengan mencelupkan panci yang berisi susu tadi ke dalam bak air dingin yang airnya mengalir terus menerus. Pendapat kedua menyatakan bahwa susu UHT termasuk ke dalam salah satu metode sterilisasi. Sterilisasi susu adalah proses pengawetan susu yang dilakukan dengan cara memanaskan susu sampai mencapai temperatur di atas titik didih,
12
sehingga bakteri berikut sporanya akan mati semua. Pembuatan susu sterilisasi dapat dilakukan dengan cara : 1. Sistem UHT yaitu susu dipanaskan sampai suhu 137 °C - 140 °C selama 2 - 5 detik. 2. Mengemas susu dalam wadah hermetis kemudian memanaskannya pada suhu 110 °C - 121 °C selama 20 - 45 detik. Cara sterilisasi susu ini memerlukan peralatan yang khusus dengan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu sterilisasi susu umumnya dilakukan oleh industriindustri pengolahan susu. Susu UHT dapat dibedakan dengan susu steril dengan membandingkan kandungan furosine. Furosine adalah indikator yang digunakan untuk melihat kerusakan pada susu akibat proses pemanasan. Furosine juga dapat digunakan sebagai kriteria untuk membedakan antara susu UHT, susu pasteurisasi, dan susu sterilisasi (Burton, 1984). Pemanasan yang terlalu lama serta penyimpanan yang kurang sesuai mampu menurunkan kandungan furosine dalam susu (Corzo et al, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Jose et al (2001) menunjukan adanya penurunan kandungan protein serta furosine yang lebih tinggi pada susu sterilisasi (118 °C selama 9 menit) dibandingkan pada susu UHT (136°C selama 4 detik) yang dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Kandungan Furosine Dalam Susu Formula Sampel susu
Kandungan protein
Kandungan Furosine
(%)
(mg /100 g protein)
Tanpa pemanasan
5,34
590,0
UHT
5,61
408,4
Standarisasi
5,52
384,0
Sterilisasi
5,50
346,6
Sumber : Jose et al, 2001
13
Beberapa wabah foodborne disease yang berhubungan dengan susu pasturisasi dikarenakan cemaran pada pada saat proses pasturisasi atau pasca pasturisasi (ICMSF 1998). Pada susu mentah dan susu pasturisasi dilaporkan adanya cemaran yang berasal dari tempat pengumpul dan proses pasca pasturisasi. Sumber kontaminasi di peternakan sapi perah adalah air peternakan dan pabrik, ember susu, mesin perah, kontainer susu, cairan pencuci tangan, pemerah, cairan pencuci tangan pekerja lain, peralatan pasturisasi, peralatan pengemasan, bahan kemasan, tempat penyimpan dari kayu, saringan contoh (Prejit et al.2007). Pertumbuhan mikroba dapat diminimalisir dan dihindari dengan mengawasi secara ketat titik kontrol kritis yang memberikan kemungkinan mikroba mencemari susu pasca pasturisasi seperti proses pendinginan pasturisasi pengisian dan pengemasan serta penyimpanan (Tabel 6). Tabel 6 Titik kontrol kritis pada proses pengolahan susu Sumber : Prejit et al. (2007) Susu Sapi
#CCP1
Pengumpul susu sapi
*CCP2
Pengiriman Susu dingin
#CCP3
Pasturisasi Susu setelah pemanasan
#CCP4
Susu pasturisasi
#CCP5
Pengemasan
*CCP6
Penyimpanan dingin
#CCP7
Pemasaran
*Poin cemaran mayor #Poin cemaran minor
14
CCP CCP1 CCP2 CCP3
= = = =
CCP4 CCP5
= =
CCP6
=
CCP7
=
Critical Control Point (Titik Kontrol Kritis) Higiene pemerah, hewan dan proses pemerahan Kontrol sanitasi alat dan lingkungan Kestabilan suhu pendinginan dan kwalitas pengumpul susu yang baik Persiapan suhu pemanasan, higiene peralatan Kontrol sanitasi dan kebersihan alat pasturisasi HTST secara periodik Bahan kemasan yang aseptik, higiene lingkungan dan peralatan kemasan Pemeliharaan suhu pendingin, meminimalisir kontaminasi pasca pasturisasi.
Sejumlah faktor yang mendorong perkembangan sterilisasi susu secara komersial antara lain meningkatnya biaya pengiriman, dan juga meningkatnya biaya pembuatan (Westhoff 1978). Penerapan proses UHT dalam pembuatan susu mampu menghindarkan kedua faktor tersebut, selain itu energi yang dihabiskan untuk menyimpan susu dalam pendingin dapat dikurangi karena dengan teknologi UHT susu dapat disimpan pada suhu ruangan. Meskipun demikian, proses UHT juga memiliki beberapa kekurangan. Pada saat proses UHT diterapkan dengan metode direct steam injection ataupun indirect heat exchange organisme yang tahan panas seperti bakteri yang mampu membentuk spora kemungkinan masih dapat ditemukan (Martin, 1961). Dalam Tabel 7 dipaparkan jenis-jenis bakteri yang sering ditemukan dalam proses susu UHT. Tabel 7 Tipe Bakteri yang Sering Ditemukan Dalam Tangki Penyimpanan Susu Tipe bakteri Streptococci Micrococci Corynebacteria Basil Asporogenous gram positif Basil Anaerogenic gram negative Basil Aerobic pembentuk spora
Sumber : Martin, 1961
Spesies Thermoduric S.fecalis S.thermophilus S.bovis M. luteus M.varians C.lacticum Lactobacillus A.tolerans B.cereus B.subtilis B.licheniformis B.circulans
15
Proses pasteurisasi mampu membunuh bakteri sebanyak 103 sampai 104 cfu/ml susu bahkan sampai 106 cfu/ml susu (Jay 2000). Jika kandungan bakteri dalam susu melebihi nilai tersebut, maka ada bakteri yang dapat bertahan dalam pemanasan, dan bakteri inilah yang mampu menjadi sumber kontaminan. Vyletelova (2001) menyatakan bahwa mikroorganisme thermoresisten berspora seperti B. cereus dan B. licheniformis tetap mampu bertahan hidup bahkan setelah melewati proses UHT (138 0C selama 4 detik). Eneroth et al. (1998) menyebutkan bahwa B. cereus mampu bertahan hidup melewati proses pasteurisasi dan bakteri ini mampu tumbuh pada suhu 4 0C dalam mesin pendingin. Dari sebuah studi pada susu dan produk susu ditemukan bahwa kontaminasi B. cereus terjadi pada tingkat 9-48% dan pada susu UHT dapat mencapai 50% dari sampel yang diuji (ICMSF). Dari berbagai data yang dapat dipercaya, konsentrasi B. cereus dalam makanan secara normal berkisar < 103 sel/gram. Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Prevalensi Cemaran B. cereus Dalam Susu dan Produknya Susu dan Produk susu Susu mentah
Σ sampel Yang diuji 100
% B. cereus positif 9
Variasi dari B. cereus (jumlah/g atau /ml) 101 – 102 1
100
35
10 – 10
Susu sterilisasi
148
40
“terdeteksi
Susu UHT
169
48
“terdeteksi
Susu bubuk
123
27
101 – 102
Keju Cheddar Es krim
50 100
38 14 48
Sumber : diekstraksi dari Kramer dan Gilbert (1989)
Ahmed et.al. 1983
3
Susu pasteurisasi
8
Pustaka
Mostert et al. 1979 Waltew dan Luck 1987
1
3
Kim dan Goepfert 1971
1
2
Ahmed et al. 1983
1
3
10 – 10 10 – 10 10 – 10
16
Bacillus Cereus
Gambar 2 Gambaran B. cereus menggunakan mikroskop elektron. (Disadur dari ASM Microbe Library.org ) B.cereus adalah bakteri gram positif yang mampu membentuk spora serta dapat menyebabkan keracunan. Enterotoksin B. cereus adalah protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa (Harmon et al. 1998), diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Jay 2000). B. cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin BL/HBL, non hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cerulide (Wijnads et al. 2006). Haemolisin BL (HBL) dipercaya merupakan toksin diare utama dari B. cereus (Burgess dan Horwood 2006). Beecher dan MacMillan (1990) mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1, L2 yang menurut Beecher dan Wong (1997) protein B berperan sebagai komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel. Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan peningkatan permiabiltas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung ileum kelinci (Beecher et al. 1995). Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi susu. Durasi penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al. 1979). B. cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus halus (Harmon et al. 1992). B. cereus juga memiliki persyaratan khusus untuk dapat tumbuh, jika kondisi lingkungan tidak sesuai untuk pertumbuhannya maka B. cereus segera melindungi diri terhadap kondisi tersebut dengan cara membentuk
17
spora. Bacillus cereus adalah bakteri Gram positif bentuk batang, termasuk kelompok pembentuk endospora yang menjadi penyebab terjadinya keracunan pangan (Todar 2005). Penyakit terjadi seiring dengan termakannya sejumlah besar organisme (>106-107 sel), tumbuh di dalam usus halus, menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan diare (Labbe1989; Brynestad dan Granum 2002). Diare kategori sedang yang melibatkan B. cereus oleh masyarakat cenderung dianggap biasa, sebab dengan atau tanpa pengobatan diare tersebut dapat sembuh sehingga tidak dilaporkan. Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal B. cereus terdapat pada Tabel 9. Tabel 9 Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan B. cereus Parameter
Nilai data
Referensi
pH minimal
4,3
Reed, 1994
pH maksimal
9,3
Fluer and Ezepchuk, 1970
% maksimal NaCl
18 o
Pradhan et al., 1985 o
Suhu minimal
4 C (39.2 F)
FDA, 1998
Suhu maksimal
5oC (131oF)
FDA, 1998
B. cereus mampu tumbuh pada suhu 4-50 0C, dengan suhu optimum 30400C (ICMSF 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30 0C adalah 26-57 menit, pada suhu 35 0C adalah 18-27 menit (Kramer dan Gilbert 1989). Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetatif adalah 0,91-0,95 (Jenson dan Moir 1997). Spora B. cereus lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora B. cereus dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ 2003).
18
Gambar 3 Spora pada B.cereus (Disadur dari ASM Microbe Library.org) Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan yang tidak cocok, B. cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses germinasi). Faktor -faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi B.cereus antara lain adalah suhu, ph, kandungan oksigen, serta terdapatnya kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck & Van Heddeghem, 1992). Spora B. cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora B.cereus juga memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi. Spora psikotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali selama penyimpanan pada suhu
dingin
(Kramer & Gilbert, 1989). Proses pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tanpa adanya kompetisi mikroba, B. cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum & Lund, 1997). B. cereus pertama kali ditemukan sebagai bakteri penyebab keracunan makanan pada tahun 1950 (Gordon et al. 1973), sejak itu mikroorganisme ini telah menarik banyak perhatian dan menjadi salah satu penyebab keracunan makanan yang sering ditemukan. Hampir 5% dari seluruh kasus keracunan makanan di Eropa pada tahun 1990 yang telah dilaporkan ke World Health Organization Surveillance Programme disebabkan oleh B. cereus (WHO, 1990). Berdasarkan data kasus yang telah dipublikasi, jumlah minimal B. cereus yang
19
mampu menimbulkan keracunan makanan adalah sebesar 105 sel/gram makanan (Centers for Disease Control and Prevention, 1979). Mengkonsumsi > 105 sel atau spora B. cereus mampu menyebabkan terjadinya diare (FSANZ 2003). B. cereus terdiri dari 2 macam tipe, yaitu tipe diare dan tipe emetik. Tipe yang paling sering ditemukan adalah tipe diare yang dapat menimbulkan sakit perut dan diare dengan masa inkubasi berkisar antara 4-16 jam dan gejala sakit berlangsung selama 12-24 jam (Lancette dan Harmon, 1980; McFarland, 1907). Tipe kedua adalah tipe emetik yang dapat menyebabkan timbulnya nausea akut dan muntah dengan masa inkubasi berkisar antara 1-5 jam setelah terkonsumsi dan gejala diare umumnya tidak muncul pada B. cereus tipe ini. Perbedaan antara dua tipe B. cereus tampak pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Karakteristik Penyakit Akibat B. cereus Dosis infektif Produksi toksin
Sindrom diare 105-107 sel/g Di usus halus penderita
Tipe toksin Masa inkubasi Lama penyakit Gejala Makanan yang sering tercemar
Protein 8-6 jam (bisa > 24 jam ) 12-24 jam Sakit perut, diare, mual Produk asal dagimg, sup, sayuran, susu, puding
Sindrom emetik 105-108 sel/g Terbentuk dalam makanan Peptida siklik 0,5-5 jam 6-24 jam Mual, muntah, lesu Nasi, nasi goreng, pasta, pastry, mie
Sumber : Granum dan lund 1997
B. cereus adalah bakteri yang paling sering ditemukan dalam susu segar (Crielly et al. 1994, Phillips dan Griffiths 1986). Kontaminasi pasca pasteurisasi biasanya disebabkan oleh spora yang berasal dari susu segar atau dari lingkungan peternakan yang masih bisa bertahan hidup. Hal ini disebabkan karena spora B. cereus bersifat tahan panas sehingga mampu bertahan hidup melewati rangkaian proses pemanasan dan sterilisasi. Bahout (2000) menemukan spora B. cereus dalam susu UHT sebanyak 18,3% dari keseluruhan sampel yang diuji. Pada tahun 1998 juga pernah dilakukan uji terhadap susu UHT yang berasal dari Brazil, dimana 34,17% sampel dilaporkan positif mengandung bakteri B. cereus (De Rezende, 1998 ). B. cereus telah berhasil diisolasi dari susu segar dan susu pasteurisasi (Meer et al. 1991), makanan bayi, dan produk-produk susu bubuk
20
(Becker et al. 1994). Bean dan Griffin (1990) juga melaporkan bahwa 94% dari penyakit keracunan yang diakibatkan oleh B. cereus berasal dari produk olahan asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat. ICMSF (1996) juga mencatat bahwa sebesar 9-48% sampel susu maupun produk asal susu yang diuji telah terkontaminasi oleh B.cereus dan pada susu UHT kejadian kontaminasi ini dapat mencapai 50%. Bacillus spp. adalah bagian dari mikroflora susu segar yang paling sulit untuk dihilangkan, karena sifat sporanya yang tahan panas. Salah satu karakteristik terpenting dari B. cereus adalah kemampuan sel vegetatifnya untuk memperbanyak diri dan kemudian memproduksi enzim extraselular yang bersifat tahan panas (Meer et al. 1991; Ipsen et al. 2000) sehingga B. cereus memiliki kemampuan proteolitik dan lipolitik. Hal ini mempengaruhi karakteristik nutrisi dan penampilan produk-produk yang berasal dari susu, bahkan saat bakteri B. cereus itu sendiri sudah tidak terdapat dalam susu (Boor et al. 1998). Pengaruh enzim proteolitik ini yang menyebabkan banyak kerusakan dalam susu dan produk-produk yang berasal dari susu seperti timbulnya sweet curdling, serta perubahan warna dan bau. Kerusakan yang paling spesifik adalah timbulnya pengentalan (gelformation) pada susu UHT (Datta and Deeth 2001). Kerusakan semacam ini umumnya tampak setelah konsentrasi B. cereus dalam susu UHT mencapai 5 x (Vyletulova et al. 2000).
105–107
CFU/ml