KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II1 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan2 A. PENGANTAR Sitem
kewarisan
Islam
di
Indonesia
sebelum
lahirnya
KHI,
menganut sistem kewarisan Jumhur yang oleh Hazairin dipandang sebagai sistem
kewarisan
patrilineal,
sementara
sistem
kewarisan
al-Quran
menurutnya berbentuk bilateral3. Hazairin melalui penafsirannya terhadap beberapa ayat a-Qur‟an menetapkan dua garis hukum dalam menentukan ahli waris, yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan adalah suatu garis hukum yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris atau yang menentukan urut-urutan keutamaan di antara keluarga pewaris. Sedangkan
garis
pokok
penggantian
adalah
setiap
orang
dalam
sekelompok keutamaan di mana antara dia dengan si pewaris tidak ada penghubung atau tidak ada lagi penghubung yang masih hidup atau telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. atau yang disebut dengan ahli waris pengganti4. Sistem kewarisan Hazairin ini banyak mengilhami ketentuan hukum waris dalam Buku II yang berbeda dengan sistem kewarisan Jumhur maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), antara lain tentang keahliwarisan saudara. Tulisan ini mengetengahkan pembahasan tentang kedudukan saudara dengan beberapa permasalahan yang terkait dengannya melalui perbandingan antara sistem kewarisan Jumhur, Hazairin, KHI dan Buku II. B. KEDUDUKAN DAN BAGIAN SAUDARA Kewarisan saudara dalam al-Qur‟an diatur dalam surah Nisa‟ ayat 11, 12 dan 176. Ayat 11 menyatakan: ”... Jika orang yang meninggal tidak
1
Yang dimaksud Buku II adalah Buku tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung R.I. tahun 2009.
2
Hakim PTAPontianak
3
Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Tinta Mas, Jakarta, hal. 1
4
Hazairin, ibid. hal 19-22 Page | 1
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam...”. Selanjutnya dalam ayat 12 Allah menyatakan: “……Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaaan “kalalah”, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya 1/6. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3……”. Sedangkan
ayat
176
menyebutkan:
“
Mereka
meminta
fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya saudaranya
itu
yang
seperdua
dari
harta
yang
laki-laki
mempusakai
ditinggalkannya,
(seluruh
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak
harta
dan
saudara
. Tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka
untuk
yang
laki-laki
sebanyak
bagian
dua
orang
saudara
perempuan..........”. Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami maksud kata akhun, ukhtun dan ikhwatun (saudara) yang ada pada ayat 12 dan 176 surah anNisa‟ di atas. 1. Jumhur Fugaha dan Kompilasi Hukum Islam Jumhur5 berpendapat bahwa yang dimaksud saudara dalam ayat 12 adalah saudara seibu, sedangkan yang dimaksud saudara
dalam
ayat 176 adalah saudara sekandung dan seayah. Pengertian saudara seibu pada ayat 12 ini didasarkan kepada petunjuk qira‟ah sebagian ulama salaf antara lain Sa‟ad bin Abi Waqqas dan juga penafsiran Abu Bakar Shiddiq yang dinukilkan oleh Qatadah, bahwa Abu Bakar menerangkan dalam salah satu khutbahnya: “Perhatikanlah, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam surah anNisa‟
dalam
urusan
pusaka
mempusakai
diturunkan
oleh
Allah
mengenai pusaka anak dan orang tua (ayat 11). Ayat kedua diturunkan 5
Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 301-304 Page | 2
untuk menjelaskan pusaka suami, istri, dan saudara tunggal ibu (ayat 12). Ayat yang mengakhiri surah An Nisa‟ (ayat 176) diturunkan untuk menjelaskan pusaka-pusaka saudara kandung. ………………” Pengertian di atas dikuatkan oleh penjelasan Allah pada akhir ayat 11 yang menyatakan “…. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3”. Oleh karena kedudukan saudara-saudara dalam ayat 12 bukan selaku ashabah, maka memberi pengertian bahwa yang dimaksud saudara adalah saudara seibu, sebab jika mereka itu saudara sekandung atau seayah tentulah berkedudukan selaku ashabah sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat 176: (…..”Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan”). Pandapat Jumhur ini diikuti oleh KHI sebagaimana diatur dalam pasal 181 dan 182. Pasal 181 KHI menyebutkan: “ Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam. Bila mereka itu dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga”. Adapun pasal 182 berbunyi: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan kandung atau seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan”. Menurut sistem kewarisan Jumhur, semua laki-laki dari jalur laki termasuk saudara laki-laki berkedudukan sebagai ashabah bi nafsih. Dasar hukum lembaga ashabah bi nafsih ini adalah hadits Ibnu Abbas : “Alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin” (Berikan saham itu kepada setiap ahli waris, dan sisanya untuk laki-laki yang dekat)6. Berdasarkan hadits ini Jumhur menempatkan semua laki-
6
T.M. Hasby as-Shiddiqie, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta, hal.172 Page | 3
laki dari jalur laki sebagai ashabah bi nafsih tanpa batas, artinya betapapun jauhnya hubungan dengan pewaris mereka selalu tampil sebagai ashabah jika ahli waris yang dekat perempuan. Misalnya, ahli waris terdiri dari anak perempuan dan cicit laki-laki dari paman (ibnul-ibnil-ibnil-„am), maka anak perempuan mendapat 1/2 dan sisanya untuk cicit laki-lkai paman. Bahkan jika ahli waris perempuan yang ada itu diturunkan dari garis perempuan (seperti cucu perempuan dari anak perempuan), mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali karena dipandang sebagai zawil arham, sehingga seluruh harta warisan pewaris jatuh ke tangan ahli waris ashabah. Kedudukan
saudara
sekandung,
seayah
dan
seibu
dalam
pandangan Jumhur tidak sama. Saudara sekandung dipandang lebih utama daripada saudara seayah dan seibu, dan saudara seayah lebih utama dari saudara seibu. Kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah sehingga tidak bisa menghijab semua ahli waris zawil furudl dan tidak bisa menduduki kedudukan ashabah7. Perbedaan derajat ini membawa konsekuensi terjadinya hijab-mahjub di antara mereka. a. Bagian Saudara Laki-laki Kandung dan Saudara Laki-laki Seayah Jumhur menempatkan saudara laki-laki sekandung dan seayah selalu sebagai zawil ashabah (bi nafsih) sehingga mereka tidak mempunyai bagian tertentu. Mereka mendapatkan sisa setelah ahli waris zawil furudl mengambil bagain masing-masing. Sebagai konsekuensinya, mereka dapat memperoleh bagian yang besar, atau memperoleh bagian yang kecil tergantung sisa yang ada, bahkan bisa tidak memperoleh sama sekali jika harta warisan itu habis diberikan kepada ahli waris zawil furudl. Saudara laki-laki kandung yang kedudukannya dipandang lebih utama dari saudara laki-laki seayah, maka saudara laki-laki seayah terhijab oleh saudara laki-laki kandung, namun saudara laki-laki seibu meskipun kedudukannya paling lemah, akan tetapi mereka tidak terhijab. Mengenai hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan saudara seibu. 7
Fatchur Raman, op cit. hal. 322 Page | 4
b. Bagian
Saudara
Perempuan
Kandung
dan
Saudara
Perempuan Seayah Bagian saudara perempuan kandung menurut Jumhur adalah: 1\2 (setengah) apabila seorang diri, 2/3 (dan dua pertiga) jika dua orang atau lebih, ushubah (bil ghair) apabila bersama mu‟ashibnya, dan ushubah (ma‟al ghair) apabila bersama anak perempuan dan/atau bersama cucu perempuan pancar laki-laki. Bagian saudara perempuan seayah mirip dengan saudara perempuan sekandung hanya ditambah dengan bagain 1/6 sebagai pelengkap dua pertiga apabila bersama seorang saudara perempuan kandung. Karena kedudukan saudara sekandung lebih utama daripada saudara seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apabila ada saudara laki-laki kandung, atau dua orang saudara perempuan kandung, atau seorang saudara perempuan kandung ketika berkedudukan selaku ashabah ma‟al ghair. c. Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu Jumhur dalam prinsip kewarisannya selalu menerapkan asas 2:1 antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi khusus untuk saudara seibu prinsip tersebut ditiadakan karena telah bagian mereka telah ditentukan oleh Allah dalam surah an-Nisa ayat 12. Saudara
laki-laki
dan
saudara
perempuan
seibu
diberikan
kedudukan dan bagian yang sama yakni 1/6 (seperenam) apabila seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) apabila dua orang atau lebih. Saudara seibu hanya dapat tampil sebagai ahli waris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah sebagaimana dimaksud dalam ayat 12 surah an-Nisa‟, sebab jika tidak dalam keadaan kalalah saudara seibu pasti terhijab oleh far‟ul-waris laki-laki maupun perempuan dan ashlul-waris laki-laki. Namun demikian, meskipun garis kekerabatan saudara seibu dipandang paling lemah dibanding dengan saudara sekandung dan saudara seayah, akan tetapi saudara seibu tidak terhijab oleh sekandung maupun saudara seayah. Ketentuan ini didasarkan kepada ayat 12 surah an-Nisa‟ yang memberikan bagian tetap bagi saudara seibu.
Page | 5
Permasalahan yang dihadapi Jumhur adalah ketika saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama saudara sekandung yang berkedudukan sebagai ashabah sedangkan bagiannya telah habis diberikan
kepada
mendapatkan permasalahan
zawil
bagian ini,
maka
furudl,
maka
sama
sekali.
timbullah
saudara
apa
Untuk yang
kandung
tidak
memecahkan disebut
prinsip
pembagian musyarakah, atau juga dikenal dengan kasus Umariyah, atau Minbariyah, atau Himariyah, atau Hajariyah atau Yammiyah8. KHI tidak mengatur secara detail tentang bagian saudara kecuali yang ada dalam pasal 181 dan pasal 182, namun dengan memperhatikan beberapa pasal yang mengatur tentang saudara, antara lain pasal 174 ayat (1) huruf a yang menetapkan saudara termasuk kelompok ahli waris hubungan darah, pasal 178 yang mengatur tentang Gharawain, dapat disimpulkan bahwa bagian saudara dalam KHI sama dengan pendapat Jumhur. 2. Hazairin dan Buku II Hazairin9
tidak
sependapat
dengan
Jumhur
dan
menolak
pembedaan antara saudara sekandung dan seayah dengan saudara seibu. Menurutnya, saudara sekandung, seayah dan seibu mempunyai kedududkan sederajat sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras dengan sistem kewarisan bilateral menurut al-Qur‟an. Argumentasi yang digunakan
dalam
diajukan Hazairin,
al-Qur‟an
tidak
bahwa kata-kata yang
memberikan
perincian
tentang
hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau seibu. Oleh sebab itu yang dimaksud akhun, ukhtun, ikhwatun
adalah saudara
dalam semua jenis hubungan persaudaraan, baik karena adanya pertalian darah dengan ayah maupun pertalian darah dengan ibu. Perbedaan bagian saudara antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan karena perbedaan pertalian darah antara ayah dan ibu (sekandung, seayah dan seibu), melainkan karena perbedaan keadaan (kasus) yang terjadi. Artinya kasus kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada ayat 176.
8
Fatchur Rahman, op cit. hal. 325
9
Hazairin, op cit. hal 50-56 Page | 6
Kalalah dalam ayat 12 menurutnya adalah seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah masih hidup (bisa ibu sudah meninggal dan bisa ibu masih hidup sehingga saudara bisa bersama ayah dan ibu sekaligus atau hanya bersama ayah saja). Bagian saudara 1/6 jika satu orang, dan 1/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada, mendapat bagian sesuai dengan ketentuan fardlnya, sedang
ayah mendapat sisa selaku zawil
iqrabat. Adapun kalalah dalam ayat 176 oleh Hazairin dimaknai, seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara dan ayah sudah meninggal (mungkin ibu masih hidup dan mungkin sudah meninggal, tetapi yang pasti ayah sudah meninggal). Dalam keadaan ini, bagian saudara 1/2 jika satu orang, dan 2/3 jika lebih satu orang. Ahli waris lain yang ada misalnya ada janda, duda dan ibu memperoleh fardlnya masing-masing. Hazairin
juga
menolak
hadits
Ibnu
Abbas
tentang
ashabah.
Pemberian kedudukan ashabah kepada kaum laki-laki tanpa batas seperti itu tidak sejalan dengan sistem kewarisan al-Qura‟an yang berbentuk bilateral. Hazairin mengemukakan dua permasalahan yang dijadikan dasar penolakan hadits tersebut. Pertama, apa ukuran bagi aula (yang lebih dekat atau utama)?. Kedua, benarkah hadits tersebut memberikan
garis
hukum
yang
berlaku
umum,
atau
hanya
menggambarkan suatu kasus tertentu sehingga hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula?. Hazairin memberikan analisis bahwa kata “aula” pada hadits yang berbunyi : “alhiqu al-faraidha bi ahliha, fama baqiya fa li aula rajulin zakarin”. Pemberian makna laki-laki yang lebih utama/dekat dalam hadits itu harus diukur dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh alQur‟an, bukan oleh seseorang yang hanya berdasarkan anggapan masyarakat. Al-Qur‟an telah menetapkan secara sistematis mengenai kedekatan hubungan kekerabatan dengan membagi ke dalam beberapa kelompok keutamaan. Menurutnya,
kelompok
keutamaan
antara
orang-orang
yang
sehubungan darah itu tidak semata-mata tergantung kepada jauhdekatnya antara mereka (misalnya antara cucu dan anak,meskipun Page | 7
cucu lebih jauh daripada anak tetapi keutamaan mereka sama, kemudian cucu dengan saudara, meskipun sama-sama dua derajat jauhnya dari si mati, tetapi cucu lebih utama daripada saudara), dan tidak pula tergantung
kepada jenis kelamin antara laki-laki dengan
perempuan (misalnya antara cucu melalui anak perempuan dengan cucu melalui anak laki-laki, mereka sama-sama behak mewarisi). Hazairin
juga
pertumbuhan
memberikan
garis
hukum
analisis dalam
dari
sudut
pandang
penyelesaian
kasus.
teori Kasus
menurutnya ialah suatu perkara tertentu yang diputuskan hakim. Keputusan
itu
jika
menyelesaikan
tidak
ada
kasus-kasus
cacatnya lainnya
dapat
diterapkan
sehingga
akan
dalam menjadi
yurisprudensi dan merupakan garis hukum ciptaan hakim yang berlaku umum. Dalam
garis
hukum
Islam,
Rasul
mempunyai
kewenangan
menetapkan hukum dan hukum yang ditatpkan oleh Rasul wajib diikuti oleh umatnya. Akan tetapi kewenangan Rasul menetapkan hukum itu apabila Allah belum memberikan ketetapan yang pasti dan ketetapan Rasul itu tidak boleh dan tidak mungkin berseberangan dengan kehendak
Allah
karena
apa
yang
diputuskan
oleh
Rasul
selalu
didasarkan kepada wahyu (Q.S. an-Najm:3). Jika ada ketetapan Rasul yang tidak sejalan dengan ketetapan Allah, maka harus diduga bahwa ketetapan itu bukan dari Rasul, melainkan orang yang mengatakan adanya ketatapan itulah yang bohong. Untuk menguji kebenaran hadits di atas, Hazairin menyatakan perlu dihadapkan dengan ketentuan al-Qur‟an yang berhubungan dengannya yaitu ayat 6 dari surah al-Ahzab dan ayat 75 surah al-Anfal dimana dalam kedua ayat tersebut ada bagian kalimat yang berbunyi: “…. dan orang-orang yang sepertalian darah sebagiannya lebih dekat - lebih utama - dari yang lainnya menurut ketetapan Allah dalam al-Qur‟an”. Yang
dimaksud
pertalian
darah
menurut
al-Qur‟an,
Hazairin
memberikan pengertian “pertalian darah menurut sistem bilateral”, dan bukan menurut sistem patrilineal atau matrilineal atau yang lain. Lebih lanjut Hazairin mengomentarinya, bahwa karena hadits Ibnu Abbas di atas tidak memberikan penjelasan mengenai maksud
dari
“orang laki-laki yang lebih dekat - utama - dari yang lain,”, maka Page | 8
keutamaan itu harus dipahami bahwa dengan menggunakan ketentuan yang ditetapkan al-Qur‟an. Demikian pula yang dimaksud laki-laki dalam hadits itu haruslah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lainnya, misalnya anak laki-laki lebih dekat dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki lebih dekat dari pada paman dan seterusnya. Berdasarkan analisisnya ini, Hazairin menyimpulkan bahwa hadits Ibnu Abbas tersebut merupakan ketetapan Nabi dalam menyelesaikan kasus dimana ada beberapa laki-laki yang derajat keutamaannya berbeda, sehingga laki-laki yang lebih dekat atau lebih utama yang menerima sisa dari harta warisan setelah dibagikan kepada zawil furudl. Lebih lanjut Hazairin memberikan penjelasan bahwa semua hadits tidak boleh dan tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur‟an. Jika ada hadits
yang
bertentangan
dengan
al-Qur‟an,
maka
orang
yang
mengkhabarkan hadits itu yang bohong sehingga khabar atau hadits itu merupakan kabar bohong. Selain itu juga harus dipahamkan bahwa laki-laki- yang lebih utama itu adalah laki-laki yang lebih dekat dari pada laki-laki lain. Berdasarkan
pemikirannya
itu
Hazairin
mengambil
kesimpulan
bahwa hadits tentang ashabah di atas hanyalah mengenai kasus tertentu yang tunduk kepada sistimatika al-Qur‟an tentang kelompok keutamaan, di mana beberapa laki-laki tampil ke depan berkonkurensi. Pendapat
Hazairin
yang
tidak
membedakan
antara
saudara
sekandung, seayah dan seibu ini diikuti oleh Buku II sebagaimana disebutkan pada ketentuan huruf (a) angka (6) dan (7) halaman 240. Ketentuan angka (6) menyebutkan: “Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu”. Pada angka (7) menyatakan: “Seorang saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah “atau seibu” (teks aslinya tidak menyebut kata seibu) mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian, jika saudara perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak
Page | 9
bersama saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara lakilaki“. Meskipun
antara
Hazairin
dan
Buku
II
sama-sama
tidak
membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu, namun dalam menetapkan bagian terdapat perbedaan yang menyolok. Bagian saudara menurut Hazairin: -
1/6 (seperenam) jika seorang diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih ketika “saudara bersama ayah, atau bersama ayah dan ibu“ berdasarkan an-Nisa‟ ayat 12, dan
-
1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih ketika “saudara bersama ibu“ berdasarkan an-Nisa‟ ayat 176). Menurut Hazairin bagian saudara 1/6 (seperenam) jika seorang
diri, dan 1/3 (sepertiga) jika dua orang atau lebih menurut ketika “bersama ayah, bukan ketika “bersama ibu“ seperti ketentuan Buku II angka (6). Bagian saudara ketika “bersama ibu“ menurut Hazairin adalah 1/2 (setengah) jika seorang diri, dan 2/3 (dua pertiga) jika dua orang atau lebih. Untuk bagian yang terakhir ini sama dengan Buku II angka (7). Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan kalalah. Meskipun dalam Buku II tidak menyebut secara khusus pengertian tentang kalalah, akan tetapi dengan mencermati ketentuan huruf (a) angka (6), dan ketentuan huruf (b) angka (3) (keduanya halaman 240), memberikan petunjuk bahwa makna kalalah adalah seorang meninggal dengan tidak mempunyai ayah dan anak sama dengan pengertian kalalah menurut Jumhur dan KHI. Pemberian makna kalalah seperti itu, mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan antara ketentuan huruf (a) angka (6) yang mengatur bagian saudara menurut an- Nisa‟ ayat 12, dengan ketentuan huruf (a) angka (7) yang mengatur bagian saudara menurut an-Nisa‟ ayat 176. Ketentuan huruf (a) angka (7) menyebutkan: “Seorang saudara perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 (setengah) bagian, dua orang atau lebih saudara sekandung, seayah “atau
seibu”
mendapat
2/3
(dua
pertiga)
bagian,
jika
saudara
perempuan tersebut mewarisi tidak bersama ayah dan tidak bersama Page | 10
saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki“. (teks aslinya tidak ada kata seibu yang bergaris bawah). Pengertian “tidak bersama ayah” berarti “bersama ibu”. Jika demikian berarti ketentuan huruf (a) angka (7) sama dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yakni sama-sama saudara bersama ibu. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti penjelasan berikut. Ketentuan huruf (a)
angka (6)
mengatur tentang “saudara
bersama ibu” tanpa membedakan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dalam kasus huruf (a) angka (6) ini kita ambil contoh ahli warisnya “seorang saudara perempuan dan ibu”. Adapun ketentuan huruf (a) angka (7) mengatur tentang saudara perempuan tidak bersama ayah (berarti bersama ibu). Dalam untuk kasus huruf (a) angka (7) ini kita ambil contoh ahli warisnya “seorang saudara perempuan dan ibu”. Dari dua contoh kasus di atas, nyatalah antara contoh kasus huruf (a) angka (6) dengan contoh kasus huruf (a) angka (7) tidak berbeda yaitu sama-sama ahli warisnya “seorang saudara perempuan dan ibu”. Tentu saja tidak boleh terjadi adanya dua ketentuan yang berbeda mengatur kasus yang sama. Permasalahan
lain
yang
perlu
mendapat
perhatian
adalah
ketentuan huruf (b) angka (3) halaman 240 yang intinya menyatakan: Termasuk ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya adalah saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah. Ketentaun ini memberikan pengertian bahwa saudara laki-laki dan perempuan dalam kasus kalalah berkedudukan selaku zawil ashabah (bil-ghair). Penempatan saudara laki-laki bersama saudara perempuan selaku ashabah ini tidak sejalan dengan ketentuan huruf (a) angka (6) yang menempatkan mereka selaku zawil furudl dengan bagian 1/3. Dalam ketentuan huruf (a) angka (6) dinyatakan: “Seorang saudara perempuan atau laki-laki (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 (seperena) bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 (sepertiga) bagian, jika saudara (baik sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu”. Ketentuan ini tidak membedakan apakah saudara yang Page | 11
jumlahnya dua orang atau lebih itu semuanya laki-laki atau semuanya perempuan,
atau
campuran
laki-laki dan
perempuan.
Sepanjang
jumlahnya dua orang atau lebih dan mewarisi bersama ibu, baik semuanya laki-laki atau semuanya perempuan, atau campuran laki-laki dan perempuan, mereka mendapat 1/3 bagian. Dari penjelasan diatas tampak adanya ambiguitas kedudukan saudara dalam kasus kalalah. Menurut ketentuan huruf (a) angka (6) saudara laki-laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan ashabah bil-ghair, sedangkan menurut ketentuan huruf (b) angka (3) saudara laki-laki bersama saudara perempuan ditempatkan dalam kedudukan zawil furudl. Permasalahan ini terjadi karena Buku II tidak istiqamah dalam mengikuti pendapat Jumuhur dan Hazairin dengan menerapkan dua pendapat yang berbeda dalam satu kasus (kalalah) sekaligus, padahal dua pendapat tersebut tidak mungkin dikompromikan (konvergensi). Di satu sisi, Buku II mengikuti pendapat Hazairin tentang kesederajatan saudara sekandung, seayah dan seibu, tetapi tidak mengikuti cara pembagianya, sedangkan di sisi lain mengiktui pendapat Jumhur dalam memberikan makna kalalah, tetapi tidak membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu. Jika Buku II hendak memberikan kesamaan derajat antara saudara sekandung, seayah dan seibu sebagaimana pendapat Hazairin, maka sebagai konsekuensinya Buku II harus mengikuti cara pembagian yang dilakukannya, sebab antara kesamaan derajat dan penetapan bagian merupakan satu paket penafsiran makna kalalah yang tidak bisa dipisahkan. Sebaliknya, jika Buku II hendak mengikuti pendapat Jumhur dalam memberikan makna kalalah, maka konsekuensinya harus membedakan antara saudara sekandung, seayah dan seibu dengan cara pembagiannya sekaligus. C. KESIMPULAN Sistem kewarisan yang ada dalam Buku II edisi 2009 merupakan salah satu upaya pembaharuan sistem kewarisan Islam di Indonesia yang dilakukan oleh Mahkamah Agung R.I. Banyak pembaharuan hukum
Page | 12
kewarisan yang adai dalamnya, salah satu di antaranya adalah tentang kedudukan keahliwarsian saudara. Prinsip
yang
dibangun
Mahkamah
Agung
dalam
melakukan
pembaharuan hukum kewarisan antara lain mengutamakan keluarga dekat dan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Orang yang kekerabatannya lebih dekat dengan pewaris diutamakan menjadi ahli waris daripada yang jauh kekerabatannya, tanpa membedakan keturunan lakilaki atau perempuan. Pengaturan demikian dipandang lebih adil dan sesuai dengan corak masyarakat Indonesia yang bilateral. Pembaharuan sistem kewarisan dalam Buku II pada dasarnya merupakan pengembangan dari sistem kewarisan KHI melalui modifikasi sedemikian rupa yang lebih cenderung mengikuti pendapat Hazairin, namun demikian, dalam beberapa ketentuan masih mengikuti pendapat Jumhur
fuqaha‟.
mengakibatkan
Penggunaan terjadinya
dua
rujukan
ambiguitas
atau
dalam
satu
pengaturan
ketidakselarasan
antara
ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya seperti yang terjadi dalam pengaturan kalalah. D. DAFTAR PUSTAKA
As-Shabuni, Muhammad Ali, 1984, al-Mawarits fi Syari’ah al-Islamiah, Saudi Arabia, al-Jamiah Makkah al Mukarramah. As-Shiddiqie, T.M.Hasby, 1973, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang. Departemen Agama RI, 1996, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI, 1999, Analisa Hukum Islam Bidang Waris, Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Jakarta, Bulan Bintang. Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas. Haryono, Anwar, 1968, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta, Bulan Bintang. Mughniy, Muhammad Jawad, 1988, Perbandingan Hukum Waris, Syiah dan Sunnah, al-Ikhlas, Surabaya. Mahkamah Agung RI, 2009, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, Edisi 2009. Parman, Ali, 1995, Kewarisan dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Page | 13
Ramulyo, M.Idris, 1976, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1976. Siddik, Abdullah, 1980, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Wijaya. Yusuf Musa, 1960, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, Kairo, Dar al-Ma‟rifah. Zahari, Ahmad, 2006, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, (Syafi’i, Hazairin dan KHI), Pontianak, Romeo Grafika.
Page | 14