KUALITAS PUPUK KOMPOS CAMPURAN KOTORAN AYAM DAN BATANG PISANG MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR MOL TAPAI
SKRIPSI FEBRIWENDI FIRDAUS
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
RINGKASAN Febriwendi Firdaus. D14060279. 2010. Kualitas Pupuk Kompos Campuran Kotoran Ayam dan Batang Pisang Menggunakan Bioaktivator MOL Tapai. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Salundik, M.Si Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.Sc Permintaan produk-produk organik yang semakin meningkat menyebabkan tingginya kebutuhan pupuk organik. Permasalahan yang sering dihadapi dalam proses penyediaan pupuk organik diantaranya adalah lamanya proses pematangan pupuk serta rendahnya kualitas pupuk yang dihasilkan. Sehingga dibutuhkan bahan pupuk yang berkualitas baik dan tambahan bioaktivator yang tepat untuk mempercepat proses pematangan pupuk. Kotoran ayam merupakan salah satu bahan yang bisa dijadikan kompos organik, karena kandungan unsur hara yang cukup tinggi dibandingkan kotoran ternak lainnya. Kotoran ayam petelur berpotensi dijadikan kompos organik padat secara anaerobik dengan penambahan mikroorganisme lokal (MOL) tapai sebagai bioaktivator. Hal tersebut relatif sangat mudah untuk diterapkan dan tidak membutuhkan penanganan yang sulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan MOL tapai pada taraf yang berbeda sebagai bioaktivator terhadap kualitas pupuk kompos kotoran ayam dengan penambahan batang pisang, serta mengetahui efek pupuk kompos terhadap produktivitas tanaman kangkung darat. Rancangan percobaan yang digunakan pada proses pengomposan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan penambahan bioaktivator EM4, penambahan bioaktivator MOL tapai 1%, 5% dan 10%. Peubah yang diamati adalah pH, bobot akhir kompos, C/N, C-organik, N total, P total dan K total. Rancangan percobaan yang digunakan pada pengujian ke tanaman kangkung darat adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama adalah empat jenis pupuk kompos (EM4, MOL tapai 1%, 5% dan 10%), sedangkan faktor kedua terdiri dari 3 dosis pemberian pupuk kompos (100, 200 dan 300 g). Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman kangkung, jumlah daun tanaman kangkung, biomassa tajuk, dan akar tanaman kangkung. Data yang diperoleh diolah menggunakan ANOVA, selanjutnya hasil sidik ragam yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji lanjut menggunakan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh penambahan biokativator terhadap nilai pH, bobot akhir kompos, N total, P total, dan K total. Hanya kandungan C-organik yang menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan rasio C/N menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi (jenis pupuk dan dosis pupuk) dan jenis pupuk kompos yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, biomasssa tajuk dan biomassa akar tanaman kangkung. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman 7, 14 dan 21 hari setelah tanam (HST), sedangkan pada 28 HST tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Hasil sidik ragam untuk jumlah daun tanaman menunjukkan bahwa
ii
penggunaan dosis pupuk yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun tanaman kangkung pada 7 dan 28 HST, sedangkan hasil yang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terdapat pada jumlah daun tanaman kangkung pada 14 HST dan hasil yang berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah daun tanaman kangkung pada 21 HST. Hasil sidik ragam menunjukkan penggunaan dosis pupuk kompos yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap biomassa tajuk dan biomassa akar tanaman kangkung. Kesimpulan yang didapatkan yaitu bahwa penambahan bioaktivator MOL tapai pada taraf yang berbeda relatif tidak mempengaruhi kualitas pupuk kompos yang dihasilkan. Penggunaan dosis pupuk yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas tanaman kangkung. Penggunaan dosis pupuk kompos sebanyak 100 g memberikan respon pertumbuhan terbaik. Kata-kata kunci: kotoran ayam, MOL tapai, kualitas kompos, batang pisang
ii
ABSTRACT Quality of Compost Made from Chicken Manure and Banana Trunk with Addition MOL Tapai as a Bioctivator Fridaus, F., Salundik and S. Mulatsih Growth of organic product demand result in increasing organic fertilizer demand. Two problem in producing organic fertilizer are long time producing and poor quality fertilizer. Chicken manure and banana trunk are rich in nutrient. They can be used as good material for compost producing. MOL tapai is activator to shorten compost producing times. This research is to know the effect of MOL tapai with different concentration to compost quality. This research consisted of two steps. First step was compost producing and step two is plantation test. The data from compost producing were analyzed with using completely randomized block design. The data from plantation test were are analyzed using completly randomized factorial design. Result showed that MOL tapai concentration didn’t affect pH, N, P, K of compost, but affect C quality. Plantation test showed that dosage of fertilizer affect plant height, leaf quantity, stem dryed weight, and root dryed weight. It is concluded that MOL tapai additions at different levels relative does not affect the quality of compost produced. The use of different dosages of very real effect on the productivity of crop. The use dosage of 100 g gave the best growth response. Key words: chicken manure, MOL tapai, compost quality, banana trunk
ii
KUALITAS PUPUK KOMPOS CAMPURAN KOTORAN AYAM DAN BATANG PISANG MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR MOL TAPAI
FEBRIWENDI FIRDAUS D1400279
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
Judul
: Kualitas Pupuk Kompos Campuran Kotoran Ayam dan Batang
Pisang Menggunakan Bioaktivator MOL Tapai Nama
: Febriwendi Firdaus
NIM
: D14060279
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Ir. Salundik, M.Si.) NIP: 19640406 198903 1 003
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.Sc.) NIP: 19640529 198903 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 22 Desember 2010
Tanggal Lulus : ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1987 di Sicincin, Sumatra Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Firdaus dan Ibu Jamiar. Pendidikan Penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SDN 12 Sicincin, Kec. 2x11 Enam Lingkung. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 1 2x11 Enam Lingkung, Sumatera Barat dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 2 Padang Panjang yang sebelumnya sampai kelas 1 berada di SMAN 1 2x11 Enam Lingkung, Sumatera Barat. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa daerah yaitu Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang (IPMM) periode 2006/2010. Penulis juga pernah menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Padang dan Pariaman (HIMAPD) periode 2008/2009.
ii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kualitas Pupuk Kompos Campuran Kotoran Ayam dan Batang Pisang menggunakan Bioaktivator MOL Tapai. Penelitian ini menjelaskan pembahasan mengenai pengolahan kotoran ayam menjadi pupuk kompos dengan menambahkan bioaktivator MOL tapai. Bioaktivator berperan sebagai mikroorganisme perombak bahan-bahan organik hingga menjadi unsur-unsur yang dapat digunakan oleh tanaman, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pupuk kompos yang dihasilkan. Pupuk kompos yang dihasilkan juga dilakukan pengujian efek produktivitas terhadap tanaman kangkung darat. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pengguna hasil penelitian baik mahasiswa peneliti maupun pihak yang membutuhkan. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Januari 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .....................................................................................................
i
ABSTRACT ........................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .... ............................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................
vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xii
PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan .....................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
3
Pupuk Organik ........................................................................................ Kompos ................................................................................................... Kotoran Ayam .......................................................................................... MOL Tapai .............................................................................................. Batang Pisang .......................................................................................... Rasio C/N ................................................................................................. Unsur Nitrogen ........................................................................................ Unsur Fosfor ............................................................................................ Unsur Kalium ........................................................................................... Kangkung Darat .......................................................................................
3 3 4 4 5 5 6 6 7 7
MATERI DAN METODE ..................................................................................
9
Lokasi dan Waktu .................................................................................. Materi ...................................................................................................... Prosedur Penelitian .................................................................................. Pembuatan Pupuk Kompos ......................................................... Uji Tanam Pupuk Kompos terhadap Tanaman Kangkung ........ Rancangan Percobaan ............................................................................ Rancangan Percobaan Pembuatan Kompos ................................. Rancangan Percobaan Uji Tanam ................................................ Peubah yang Diamati .................................................................. Kadar Karbon (C) ............................................................ Kadar Nitrogen (N) ......................................................... Kadar Fosfor (P205) ......................................................... Kadar Kalium (K) ............................................................
9 9 9 10 10 11 11 12 12 12 13 13 13 ii
Nilai pH Kompos ............................................................. Bobot Akhir Kompos ...................................................... Tinggi Tanaman Kangkung .............................................. Jumlah Daun Tanaman Kangkung .................................. Biomassa Tajuk Tanaman Kangkung .............................. Biomassa Akar Tanaman Kangkung ...............................
13 13 13 14 14 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................
15
Keadaan Umum Penelitian ...................................................................... Kualitas Pupuk Kompos .......................................................................... Kandungan Karbon (C) Organik ................................................ Kandungan Nitrogen (N) Total .................................................. Rasio C/N ..................................................................................... Kandungan Fosfor (P) Total......................................................... Kandungan Kalium (K) Total .................................................... Nilai pH Kompos ....................................................................... Bobot Akhir Kompos ................................................................. Uji Tanam .............................................................................................. Tinggi Tanaman Kangkung ......................................................... Jumlah Daun Tanaman Kangkung ............................................... Biomassa Tajuk Tanaman Kangkung ......................................... Biomassa Akar Tanaman Kangkung ...........................................
15 17 17 18 19 20 21 22 23 24 24 28 31 33
KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
36
Kesimpulan ............................................................................................. Saran .......................................................................................................
36 36
UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
38
LAMPIRAN .......................................................................................................
41
iiix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Rataan Nilai Kandungan C-Organik (%) ................................................. 17
2.
Rataan Nilai Kandungan N Total (%)...................................................... 19
3.
Rataan Nilai Rasio C/N............................................................................ 20
4.
Rataan Nilai Kandungan P Total (%) ...................................................... 21
5.
Rataan Nilai Kandungan K Total (%)...................................................... 22
6.
Nilai pH Kompos yang Dihasilkan .......................................................... 23
7.
Rataan Bobot Kering Kompos (kg) ......................................................... 24
8.
Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 7 HST ..................................................................... 25
9.
Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 14 HST ..................................................................... 26
10.
Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 21 HST ..................................................................... 26
11.
Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 28 HST ..................................................................... 27
12.
Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 7 HST ........................................................... 28
13.
Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 14 HST ........................................................ 29
14.
Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 21 HST ........................................................ 30
15.
Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 28 HST ........................................................ 31
16.
Rataan Bobot Basah Tajuk Tanaman Kangkung ..................................... 32
17.
Rataan Bobot Kering Tajuk Tanaman Kangkung.................................... 33
18.
Rataan Bobot Basah Akar Tanaman Kangkung ...................................... 34
19.
Rataan Bobot Kering Akar Tanaman Kangkung ..................................... 35
ii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
MOL Tapai dan Pematangan Kompos..................................................
15
2.
Rumah Kaca Tempat Uji Tanam ..........................................................
16
3.
Etiolasi pada Tanaman Kangkung ........................................................
16
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Hasil Analisis Soil and Fertilizer Biotrop Bogor 2010 ........................
42
2.
Sidik Ragam Produksi Bobot Akhir Kompos .......................................
42
3.
Sidik Ragam Kandungan Karbon (C) Organik .....................................
42
4.
Uji Tukey Kandungan Karbon (C) Organik .........................................
42
5.
Sidik Ragam Kandungan Nitrogen (N) Total .......................................
42
6.
Sidik Ragam Rasio C/N ........................................................................
43
7.
Uji Tukey Rasio C/N ............................................................................
43
8.
Sidik Ragam Kandungan Fospor (P) Total ...........................................
43
9.
Sidik Ragam Kalium (K) Total .............................................................
43
10.
Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 7 HST ................................
43
11.
Uji Tukey Tinggi Tanaman Kangkung 7 HST untuk Faktor A ...........
44
12.
Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 14 HST ..............................
44
13.
Uji Tukey Tinggi Tanaman Kangkung 14 HST untuk Faktor A .........
44
14.
Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 21 HST ..............................
44
15.
Uji Tukey Tinggi Tanaman Kangkung 21 HST untuk Faktor A .........
44
16.
Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 28 HST ..............................
45
17.
Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 7 HST ..............
45
18.
Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 14 HST ............
45
19.
Uji Tukey Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 14 HST untuk Faktor A ................................................................................................
45
20.
Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 21 HST ............
46
21.
Uji Tukey Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 21 HST untuk Faktor A ................................................................................................
46
22.
Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 28 HST ............
46
23.
Sidik Ragam Bobot Basah Tajuk Tanaman Kangkung ........................
46
24.
Uji Tukey Bobot Basah Tajuk Tanaman Kangkung Faktor A ............
47
25.
Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk Tanaman Kangkung .......................
47
26.
Uji Tukey Bobot Kering Tajuk Tanaman Kangkung Faktor A ...........
47
27.
Sidik Ragam Bobot Basah Akar Tanaman Kangkung..........................
47
28.
Uji Tukey Bobot Basah Akar Tanaman Kangkung Faktor A ..............
47
29.
Sidik Ragam Bobot Kering Akar Tanaman Kangkung ........................
48
ii
30.
Uji Tukey Bobot Kering Akar Tanaman Kangkung Faktor A ............
48
31.
Standar Kualitas Kompos SNI 19-7030-2004 .....................................
49
xiiiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Berkembangnya pola kehidupan masyarakat yang sadar terhadap kesehatan, menjadikan produk-produk oraganik sebagai tren bahan makanan yang dikonsumsi. Hal tersebut sudah terlihat pada beberapa waktu belakangan, yaitu semakin tinggi permintaan terhadap bahan-bahan pangan yang berasal dari produk organik. Perkembangan produk pangan organik harus didukung oleh pupuk organik yang memadai dan mampu meningkatkan tingkat produktivitas tanaman, supaya dapat menopang keberlangsungan pertanian. Pemakaian pupuk anorganik yang kurang ramah terhadap lingkungan diperkirakan salah satu penyebab turunnya kualitas lahan dan berakibat terhadap produktivitas tanaman yang rendah. Hal tersebut diakibatkan oleh pemakaian pupuk anorganik secara terus menerus sehingga lahan menjadi jenuh dan menjadikan lahan berkualitas rendah. Berbeda dengan pupuk organik, penggunaan tidak menyebabkan penurunan kualitas lahan apabila diberikan dalam waktu lama dan intensitas yang cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan pupuk organik ramah lingkungan dan kaya akan unsur hara yang dibutuhkan tanah. Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi besar pada sektor pertanian dan sumber daya pupuk yang berasal dari kotoran ternak yang melimpah. Sebagian besar penduduk Indonesia bergantung pada pertanian sebagai sumber pendapatan, sehingga potensi pengembangan pupuk organik masih sangat terbuka. Selain itu, Indonesia memiliki bentang alam dan kondisi geografis yang sangat memungkinkan untuk pengembangan usaha peternakan yang nanti akan menghasilkan kotoran ternak yang dapat diolah menjadi pupuk organik. Salah satu ternak yang telah dikembangkan sejak lama dengan perkembangan cukup baik dan pesat adalah peternakan ayam yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kotoran ayam memiliki keunggulan karena mempunyai kandungan unsur hara dan bahan organik yang lebih tinggi. Kotoran ayam dibandingkan dengan pupuk kandang yang lain, mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi terutama unsur P, N dan bahan organik (Gunawan, 1998). Disamping itu, ketersediaan kotoran ayam yang sangat banyak dikarenakan pesatnya perkembangan peternakan di sektor 1
perunggasan, terutama ayam pedaging dan ayam petelur, karena itu kotoran ayam sangat cocok untuk diolah menjadi pupuk kompos organik. Pengolahan kotoran ayam menjadi kompos relatif lebih mudah dilakukan. Pengomposan dapat dilakukan secara aerobik ataupun anaerobik. Pengomposan secara anaerobik tidak membutuhkan penanganan yang banyak dibandingkan secara aerobik, serta tidak menimbulkan bau yang berlebihan. Pemanfaatan mikroorganisme sebagai bioaktivator sangat membantu proses pematangan kompos, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih sedikit. Bioaktivator yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Mikro Organisme Lokal (MOL) tapai yang dibuat dari pembiakan mikroorganisme yang berasal dari tapai. Penambahan MOL tapai sebagai bioaktivator lebih mudah dan murah secara ekonomi serta bisa diterapkan pada semua kalangan petani. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan MOL tapai pada taraf yang berbeda sebagai bioaktivator terhadap kualitas pupuk kompos kotoran ayam dengan penambahan batang pisang, serta mengetahui efek pupuk kompos terhadap produktivitas tanaman kangkung darat.
2
TINJAUAN PUSTAKA Pupuk Organik Pupuk dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar dapat menambah unsur hara atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Definisi yang dikemukakan oleh International Organization for Standarization (ISO), pupuk organik adalah bahan organik yang umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan hewan (Sutanto, 2002). Pupuk organik mempunyai kandungan unsur, terutama N, P dan K sangat sedikit, tetapi mempunyai peranan lain yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan tanaman (Suriawiria, 2003). Kompos Menurut Dalzell et al. (1987), bahan utama kompos dapat berupa sampah rumah tangga, daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, sekam, batang jagung, kotoran hewan dan bahan lainnya terutama yang mudah busuk. Kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak terlalu tinggi, tapi jenis pupuk ini memiliki keistimewaan lain yaitu dapat memperbaiki sifat tanah, struktur tanah, daya menahan air dan kation-kation tanah (Hardjowigeno, 1995). Kompos telah dipergunakan secara luas selama ratusan tahun dalam menangani limbah pertanian, sekaligus sebagai pupuk alami tanaman. Pengaruh penggunaan kompos terhadap sifat kimiawi tanah terutama adalah kandungan humus dalam kompos yang mengandung unsur-unsur makro bagi tanah seperti N, P dan K serta unsur-unsur mikro seperti Ca, Mg, Mn, Cu, Fe, Na dan Zn. Humus yang menjadi asam humat atau asam-asam lain dapat melarutkan Fe dan Al sehingga fosfat tersedia dalam keadaan bebas. Selain itu, humus merupakan penyangga kation yang dapat mempertahankan unsur-unsur hara sebagai bahan makanan untuk tanaman. Kompos juga berfungsi sebagai pemasok makanan untuk mikroorganisme seperti bakteri, kapang, Actinomycete dan protozoa, sehingga dapat meningkatkan dan mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Syarief, 1986). 3
Pengomposan menurut Yang (1997), merupakan suatu proses biooksidasi yang menghasilkan produk organik yang stabil, yang dapat dikontribusikan secara langsung ke tanah dan digunakan sebagai pupuk. Produk dari pengomposan berupa kompos yang apabila diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah (Harada et al., 1993). Kotoran Ayam Kotoran ayam merupakan salah satu limbah yang dihasilkan baik ayam petelur maupun ayam pedaging yang memiliki potensi yang besar sebagai pupuk organik. Komposisi kotoran sangat bervariasi tergantung pada sifat fisiologis ayam, ransum yang dimakan, lingkungan kandang termasuk suhu dan kelembaban. Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan pertumbuhan tanaman. Kotoran ayam mempunyai kadar unsur hara dan bahan organik yang tinggi serta kadar air yang rendah. Setiap ekor ayam kurang lebih menghasilkan ekskreta per hari sebesar 6,6% dari bobot hidup (Taiganides, 1977). Kotoran ayam memiliki kandungan unsur hara N 1%, P 0,80%, K 0,40% dan kadar air 55% (Lingga, 1986). Raihan et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan bahan organik kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara tanah dan meningkatkan retensi air. Apabila kandungan air tanah meningkat, proses perombakan bahan organik akan banyak menghasilkan asam-asam organik. Anion dari asam organik dapat mendesak fosfat yang terikat oleh Fe dan Al sehingga fosfat dapat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Penambahan kotoran ayam berpengaruh positif pada tanah masam berkadar bahan organik rendah karena pupuk organik mampu meningkatkan kadar P, K, Ca dan Mg tersedia. MOL Tapai Tapai adalah sebuah makanan yang dibuat dari bahan singkong yang difermentasi dengan ragi tapai. Mikroba yang terdapat di dalam ragi adalah kapang, khamir dan bakteri. Bakteri yang sering ditemukan di dalam ragi tapai berasal dari genus Pediococcus dan Basillus. Kapang yang berperan adalah Amylomyces, Mucor
4
dan Rhizopus Sp. Khamir yang berperan adalah Endomycopsis fibuliger, Saccharomyces cerevisiae dan Hansenula sp. (Saono et al., 1982). MOL tapai dibuat dengan mencampurkan tapai singkong dengan air dan gula. Campuran tersebut disimpan di dalam botol kemudian didiamkan selama lima hari. Setelah lima hari, MOL dapat digunakan dengan dosis pemakaian 2,5 liter untuk membuat 1 ton kompos (Setiawan dan Tim ETOSA, 2010). Batang Pisang Pisang mempunyai kandungan gizi yang sangat baik antara lain menyediakan energi cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain. Pisang kaya kandungan mineral seperti kalium, fosfor, besi, dan kalsium. Pisang juga mengandung vitamin yaitu C, B kompleks, B6 dan serotonin yang aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak (Sunarjono, 2002). Batang atau pelepah pisang merupakan bagian dari tanaman pisang yang berada di atas tanah yang berfungsi sebagai kultur penyangga daun, tunas dan buah. Batang pisang berfungsi sebagai jalan pengangkutan hasil-hasil asimilasi dari atas ke bawah. Batang semu tersusun dari cekungan-cekungan pelepah daun. Cekungan pelepah daun tersebut umumnya terdapat pada tumbuhan yang tergolong dalam tumbuhan berbiji tunggal atau Monocotyledonae, gabungan daun tersebut berbentuk sirkuler (Tjitrosoepomo, 1988). Batang pisang sebagian berisi air dan serat (selulosa), disamping mineral, kalium dan fosfor. Komposisi kimia batang pisang dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu komposisi tanah, frekuensi pemotongan, fase pertumbuhan, pemupukan, iklim setempat dan ketersediaan air. Serat batang pisang mengandung 63% selulosa, 20% hemiselulosa dan 5% lignin (Small, 1954 dalam Wijaya, 2002). Rasio Karbon-Nitrogen (C/N) Rasio C/N memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan tersebut dilapuk, tingkat kematangan dari bahan organik tersebut ataupun mobilisasi N pada tanah. Rasio C/N tumbuhan berkisar antara 20-30, sedangkan pupuk kandang dan pupuk hijau mencapai 90. Nilai C/N bahan organik segar menentukan reaksi dalam
5
tanah. Tanah-tanah dengan bahan organik stabil umumnya mempunyai nisbah C/N sekitar 10 (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Bahan organik yang diberikan umumnya memiliki nisbah C/N yang tinggi, oleh karena itu perlu dilakukan proses pengomposan yang bertujuan untuk menurunkan nisbah C/N. Proses penguraian bahan organik dengan nisbah C/N yang tinggi akan memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap tanaman karena dapat menyebabkan ketersediaan hara-hara lain berkurang, seperti nitrogen tersedia dalam tanah. Tingginya C/N bahan organik menyebabkan terjadinya persaingan antara tanaman dan mikroba, sehingga tanaman akan mengalami penurunan suplai nitrogen (Hakim,1986). Unsur Nitrogen Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Manan (2006),
di alam nitrogen ditemukan di
atmosfer bumi (78% volume) sebagai gas diatom dengan rumus molekuk N2, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak dapat terbakar, sangat sedikit larut dalam air dan bersifat tidak reaktif kecuali pada suhu tinggi. Dalam keadaan cair, nitrogen diperoleh secara komersial melalui distilasi bertingkat udara cair. Kegunaan unsur N adalah untuk pembuatan amoniak (proses Haber). Menurut Edmond et al. (1957), pemberian pupuk harus memperhatikan kandungan unsur hara yang tersedia di dalam tanah, tipe pertumbuhan yang diinginkan dan faktor iklim. Kekurangan unsur nitrogen selama pertumbuhan dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil, perakaran terbatas, daun menjadi berwarna kuning dan senses, tetapi pemberian nitrogen secara berlebihan juga akan mengakibatkan pertumbuhan vegetative sangat pesat, warna daun menjadi hijau tua dan tanaman menjadi lebih sukulen (Prawiranata dan Tjondronegoro, 1992), sehingga tanaman menjadi mudah terserang hama dan penyakit. Unsur Fosfor Menurut Manan (2006), unsur P ditemukan dalam urin oleh Brand pada tahun 1669. Fosfor merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan, dapat menimbulkan entrofikasi di danau, sungai dan perairan lain. Unsur P juga merupakan 6
zat yang penting tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Fosfor diserap tumbuhan terutama dalam bentuk anion monovalen (H2PO4-) dan anion divalent (HPO42-). Ketersediaan P sangat dipengaruhi pH tanah, pada pH rendah (<7), P lebih banyak diserap dalam bentuk HPO42- (Mengel dan Kirkby, 1982). Unsur P sangat penting sebagai sumber energi (ATP). Oleh karena itu, kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan maupun reaksi-reaksi metabolism tanaman. Fosfor pada tanaman berfungsi dalam pembentukan bunga, buah dan biji, serta mempercepat pematangan buah. Kualitas pupuk organik dipengaruhi oleh metode pengomposan, kualitas bahan organik, suhu dan aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik. Pemberian unsur P dalam jumlah memadai dapat meningkatkan mutu benih yang meliputi potensi perkecambahan dan vigor bibit (Mugnisjah dan Setiawan, 1995). Unsur Kalium Kalium dapat dinyatakan bukan elemen yang langsung pembentuk bahan organik. Kalium berperan dalam pembentukan protein serta karbohidrat, pengerasan bagian kayu dari tanaman, meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas biji dan buah. Kalium diserap dalam bentuk K+ (terutama pada tanaman muda). Kalium banyak terdapat dalam jaringan muda, pada sel tanaman. Zat ini terdapat sebagai ion di dalam cairan sel dan keadaan demikian akan merupakan bagian yang penting dalam melaksanakan turgor yang disebabkan oleh tekanan osmosis (Mulyadi, 1994). Tanaman yang kekurangan unsur K mengalami gejala kekeringan pada ujung daun terutama daun tua. Ujung yang kering akan semakin menjalar hingga ke pangkal daun. Kadang-kadang terlihat seperti tanaman yang kekurangan air. Kekurangan K pada tanaman buah-buahan mempengaruhi rasa manis buah (Winata, 1998). Kangkung Darat Tanaman kangkung merupakan tanaman sayuran yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis terutama di kawasan Afrika dan Asia dan terpusat pada awalnya di Malaysia serta berkembang
7
secara intensif dan komersial (di Taiwan, Thailand, Filipina dan juga Indonesia) (Westphal, 1994). Tanaman kangkung dapat tumbuh di daerah iklim panas dan dingin, membutuhkan lahan yang terbuka dan mendapat sinar matahari yang cukup. Di tempat yang terlindung (ternaungi) tanaman kangkung akan tumbuh memanjang (tinggi) tetapi kurus. Apabila tanaman kangkung ditanam ditempat yang agak terlindung maka kualitas daun bagus dan lemas sehingga disukai konsumen. Tanaman kangkung darat tidak menghendaki tanah yang tergenang, karena akar akan mudah membusuk, sedangkan kangkung air membutuhkan tanah yang selalu tergenang air. Jika kangkung darat ditanam di lahan untuk kangkung air maka produksi kurang baik, warna daun menguning, bentuk kecil dan cepat membusuk (Westphal, 1994). Setiap 100 g daun dan batang kangkung mengandung air sebanyak 90,2 g, protein 3,0 g; lemak 0,3 g; karbohidrat 5,0 g; serat 1,0 g; abu 1,6 g; kalsium 81 mg; magnesium 52 mg; besi 3,3 mg; pro vitamin A 4.000-10.000 IU dan vitamin C serta energi masing-masing sebanyak 30-130 mg dan 134 kJ (Ashari, 1995).
8
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium pengolahan limbah
Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium lapang Cikabayan University Farm untuk uji tanam. Pelaksanaan penelitian selama tiga bulan, dari bulan Juni sampai Agustus 2010. Materi Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kotoran ayam yang diambil dari ayam petelur, batang pisang, gula, dedak, tanah latosol, bibit kangkung darat (Ipomea reptans), serta bioaktivator berupa mikroorganisme lokal (MOL) tapai dan aktivator EM4. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan berupa trash bag, poly bag, mesin chopper, hammer mill, pisau, penggaris, meteran, ember, gayung, timbangan gantung, timbangan analitik, pH meter, karung, sarung tangan dan penyiram tanaman. Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi dua tahapan yaitu penelitian pembuatan pupuk kompos secara anaerobik dan dilanjutkan dengan penelitian uji tanam pupuk kompos. Penelitian pembuatan pupuk kompos menggunakan bahan kotoran ayam petelur yang masih segar dan batang pisang dengan menggunakan bioaktivator mikroorganisme lokal (MOL) tapai dan EM4. Lama proses pengomposan adalah 21 hari, setelah pupuk kompos matang maka dilakukan uji kualitas pupuk yang meliputi analisis pH, C-organik, N total, P total dan K total. Setelah proses pembuatan pupuk kompos selesai, dilanjutkan dengan uji tanam dengan menggunakan tanaman kangkung darat. Uji tanam dilakukan selama 28 hari di rumah kaca. Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi vertikal tanaman kangkung dan jumlah daun (7, 14, 21 dan 28 HST), bobot basah tajuk dan akar serta bobot kering tajuk dan akar.
9
Pembuatan Pupuk Kompos Pembuatan pupuk kompos diawali dengan menetapkan rasio C/N campuran sebesar 25 dengan total campuran yang akan dibuat sebanyak 10 kg. Kemudian dilakukan perhitungan menggunakan pearson square untuk mendapatkan kombinasi campuran antara kotoran ayam dengan batang pisang. Bahan yang digunakan yaitu sebanyak 6,4 kg kotoran ayam dan 3,6 kg batang pisang yang telah dipotong-potong lalu kedua bahan dicampur, kemudian ditambahkan bioaktivator. Perlakuan pertama menggunakan bioaktivator EM4 sebagai kontrol sebanyak 10 ml, kemudian diencerkan dengan 300 ml air aquades, kemudian ditambahkan 200 g dedak padi dan dicampur dengan setengah sendok makan gula pasir. Biokativator yang digunakan pada perlakuan kedua, ketiga dan keempat adalah MOL tapai masing-masing 1%, 5% dan 10%. MOL tapai sebelumnya dibuat dengan memasukkan 100 g tapai ke dalam satu liter air bersih dan ditambahkan lima sendok gula, kemudian dilakukan pembiakan mikroorganisme selama empat hari. Selanjutnya air dipisah dengan padatan dengan melakukan penyaringan. Kemudian masing-masing sebanyak 100, 500 dan 1.000 g MOL tapai ditambahkan ke campuran bahan yang akan dikomposkan. Setelah semua bahan dicampur secara merata di dalam trash bag, kemudian ditambahkan selang kecil ke dalam trash bag untuk pengeluaran gas hasil pengomposan dengan memasukkan ujung selang pada botol yang berisi air. Kemudian dilakukan pengikatan trash bag dengan erat untuk mencegah udara masuk atau keluar. Proses pengomposan berlangsung selama 21 hari, campuran bahan yang akan dikomposkan dibiarkan hingga matang tanpa perlakuan. Setelah proses pengomposan selesai, selanjutnya pupuk kompos dikeringanginkan. Setelah pupuk kompos kering selanjutnya dilakukan penggilingan untuk mendapatkan pupuk kompos yang berukuran kecil. Kemudian dilakukan analisis kualitas pupuk kompos yang meliputi analisis pH, C-organik, N total, P total dan K total. Uji Tanam Pupuk Kompos terhadap Tanaman Kangkung Media tanam
berupa
tanah latosol
Dramaga disiapkan, kemudian
dicampurkan dengan pupuk kompos EM4, MOL tapai 1%, 5% dan 10%, masingmasing kompos menggunakan tiga dosis yaitu 100, 200 dan 300 g. Kemudian tanah 10
dicampur secara merata dengan pupuk kompos, lalu dimasukkan ke dalam polybag dan disiram dengan air secukupnya. Penanaman dilakukan dengan memasukkan biji kangkung darat sebanyak 12 biji benih ke setiap polybag dan pada akhirnya hanya empat biji benih yang diamati per polybag. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari, sedangkan penyiangan dilakukan setiap minggu dengan cara mencabut gulma yang tumbuh pada polybag. Pengamatan terhadap tinggi tanaman dilakukan setiap minggu. Panen dilakukan setelah tanaman kangkung berumur 28 HST (hari setelah tanam), dengan cara mencabut seluruh bagian tanaman dari tanah. Tanaman kangkung yang telah dicabut selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah daun tanaman kangkung, kemudian bagian akar dicuci dari sisa tanah yang masih menempel. Bagian antara tajuk dan akar di potong, lalu dilakukan penimbangan bobot basah tajuk dan akar serta pengukuran panjang akar. Kemudian dilakukan pengovenan bagian akar dan tajuk selama 48 jam pada suhu 60 ºC. Kemudian ditimbang bobot kering tajuk dan akar. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu rancangan percobaan untuk pembuatan pupuk kompos dan untuk uji tanam. Rancangan Percobaan Pembuatan Kompos Rancangan percobaan yang digunakan pada tahapan pembuatan kompos adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) meliputi 4 taraf perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah penggunaan biokativator MOL tapai pada taraf yang berbeda (1%, 5% dan 10%) dengan tiga ulangan, sedangkan kontrol yang digunakan adalah penggunaan bioktivator EM4. Menurut Steel dan Torrie (1995), model matematika yang digunakan adalah: Yij = µ + Gi + ∑ij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan pada taraf ke-i (konsentrasi MOL tapai dan kontrol) pada ulangan ke-j
µ
= Nilai tengah umum 11
Gi
= Pengaruh taraf MOL tapai ke-i dan EM4
∑ij
= Galat percobaan pada MOL tapai ke-j
Rancangan Percobaan Uji Tanam Rancangan percobaan yang digunakan pada tahapan penelitian uji tanam ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama terdiri atas empat jenis pupuk kompos (EM4, MOL tapai 1%, 5% dan 10%), sedangkan faktor kedua terdiri atas tiga dosis pemberian pupuk kompos terhadap tanaman (100, 200 dan 300 g). Menurut Steel dan Torrie (1995), model matematika yang digunakan adalah: Yijk = + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan faktor taraf ke-i, faktor taraf ke-j, dan ulangan ke-k
= Rataan umum pengamatan
αi
= Pengaruh perlakuan i
βj
= Pengaruh perlakuan j
(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan i dan j εijk
= Pengaruh galat pupuk ke-i, dosis ke-j, dan ulangan ke-k (k = 1, 2, 3) Data diolah menggunakan ANOVA, selanjutnya hasil analisis sidik ragam
yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey’s (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Peubah yang Diamati Kadar Karbon (C) Pupuk sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 5 ml K2Cr2O7 dan 2,5 ml H2SO4 perlahan-lahan. Larutan dikocok sampai bereaksi sempurna. Sebanyak 1 ml larutan yang telah dibuat dimasukkan ke dalam erlen-meyer 125 ml dan ditambah 9 ml aquades kemudian dititrasi dengan Fe2SO4 0,1 N dengan indikator diphenylalamin sebanyak dua atau tiga tetes. Titrasi dihentikan jika warna larutan sudah berwarna biru.
12
Kadar Nitrogen (N) Sebanyak 0,25 g pupuk dimasukan ke dalam labu kjedhal dan ditambahkan asam sulfat sebanyak 2,5 ml dan 0,25 g selen. Larutan didekstruksi hingga jernih, kemudian ditambah larutan penampung disiapkan dalam erlenmeyer 125 ml yang terdiri atas larutan H3BO3 4% dan BCGMR dan atau tiga tetes kemudian didestilasi. Proses destilasi dihentikan jika sudah tidak ada lagi gelembung-gelembung yang keluar dari larutan penampung. Hasil destilasi dititrasi dengan HCL 0,01 N. Kadar Fospor (P2O5) Pupuk sebanyak 2 g dicampur dengan 10 ml HCl 25% dan disimpan selama lebih kurang 24 jam. Rendaman tersebut diambil sebanyak 2 ml dan ditambah 18 ml aquades. Larutan hasil pengenceran ditambahkan 0,5 ml NH4 molybdat serta 2-3 tetes SnCl2 kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 693 mm. Hasil pengukuran yang didapatkan dibandingkan dengan kurva standar. Kadar Kalium (K) Pupuk sebanyak 1 g ditambahkan dengan 25 ml HCL 25% kemudian di dekstruksi. Campuran HNO3 65% dan HClO4 37% ditambahkan sampai sampel berwarna putih. Hasil destruksi diencerkan sampai 250 ml kemudian dipipet sebanyak 5 ml dan diencerkan menjadi 10 ml, kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer AAS (Atomic Absorbtion Spektrofotometer). Nilai pH Kompos Derajat keasaman kompos diukur dengan pH meter. Pengukuran pH dilakukan pada akhir proses pengomposan setelah kompos matang. Sampel kompos yang diambil diencerkan dengan aquades terlebih dahulu kemudian dilakukan pengocokan setelah itu baru dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter. Bobot Akhir Kompos Kompos yang sudah matang dan telah dikering anginkan digiling terlebih dahulu menggunakan hammer mill, kemudian ditimbang sebagai bobot akhir kompos. Tinggi Tanaman Kangkung Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang utama yang menyentuh permukaan tanah sampai titik tumbuh batang utama tanaman. Pengukuran tinggi 13
dilakukan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi tanaman kangkung dilakukan pada 7, 14, 21 dan 28 HST. Jumlah Daun Tanaman Kangkung Jumlah daun yang telah membuka sempurna dari keseluruhan daun pada tiap tanaman dari setiap perlakuan. Jumlah daun dihitung menggunakan hand tally counter. Pengukuran tinggi dilakukan menggunakan meteran. Penghitungan jumlah daun tanaman kangkung dilakukan pada 7, 14, 21 dan 28 HST. Biomassa Tajuk Tanaman Kangkung Pengukuran biomassa tajuk tanaman kangkung meliputi bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman kangkung. Pengukuran bobot basah dilakukan pada saat pemanenan dengan memisahkan antara tajuk dengan akar. Kemudian tajuk ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot kering tajuk diperoleh setelah dilakukan pengeringan tajuk terlebih dahulu pada oven yang bersuhu 60 ºC selama 48 jam. Biomassa Akar Tanaman Kangkung Pengukuran biomassa akar tanaman kangkung meliputi bobot basah dan bobot kering akar tanaman kangkung. Pengukuran bobot basah dilakukan pada saat pemanenan dengan memisahkan antara akar dengan tajuk terlebih dahulu. Kemudian akar ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot kering akar diperoleh setelah dilakukan pengeringan tajuk terlebih dahulu pada oven yang bersuhu 60 ºC selama 48 jam.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu pembuatan kompos dan uji tanam. Kompos dibuat dari campuran kotoran ayam petelur dengan batang pisang dengan perlakuan penambahan bioaktivator EM4 dan MOL tapai dengan taraf 1%, 5% dan 10%. Pengomposan dilakukan secara anaerobik, karena menyesuaikan karakteristik mikroorganisme yang terdapat pada MOL tapai yang merupakan mikroorganisme anaerob. Pembuatan kompos dilakukan selama 21 hari di laboratorium pengolahan limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. MOL tapai dibuat dengan membiakan mikroorganisme tapai selama lima hari pada media air dengan penambahan gula. Gambar 1 menunjukkan MOL tapai yang siap untuk ditambahkan dan pematangan kompos.
Gambar 1. MOL Tapai dan Pematangan Kompos Setelah kompos matang dilanjutkan dengan pengujian kualitas kompos dengan melihat kandungan C-organik, N total, P total, K total dan pH. Analisis kualitas kompos dilakukan di Laboratorium Soil and Fertilizer SEAMEO BIOTROP Bogor. Kompos yang telah matang dilanjutkan dengan uji tanam. Pengujian ini bertujuan untuk melihat produktivitas tanaman dengan penggunaan kompos yang dibuat. Tanaman yang digunakan adalah kangkung darat dengan melakukan penanaman pada polybag yang dipelihara selama 28 hari. Uji tanam dilakukan dalam rumah kaca di Laboratorium lapang Cikabayan University Farm. Penggunaan rumah kaca bertujuan untuk mengurangi pengaruh lingkungan yang akan menghambat 15
proses uji tanam. Gambar 2 menunjukkan rumah kaca yang digunakan pada uji tanam pupuk kompos terhadap tanaman kangkung darat.
Gambar 2. Rumah Kaca Tempat Uji Tanam
Pertumbuhan tanaman kangkung tidak semuanya normal. Beberapa sampel tanaman kangkung mengalami pertumbuhan yang tidak normal, yaitu batang menjadi panjang dan kurus karena kurang cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kaca, yang dapat dilihat pada Gambar 3. Parameter yang diamati pada uji tanam adalah tinggi tanaman, jumlah daun, biomassa tajuk dan biomassa akar tanaman kangkung.
Gambar 3. Etiolasi pada Tanaman Kangkung 16
Kualitas Pupuk Kompos Kualitas kompos merupakan faktor penting dalam menentukan apakah kompos tersebut layak untuk digunakan atau tidak. Secara umum kualitas kompos yang dihasilkan masih berada pada standar baku mutu pupuk organik, walaupun untuk beberapa unsur belum memenuhi standar. Kualitas kompos yang dihasilkan dilihat melalui kandungan C-organik, N total, P total, K total, pH dan bobot akhir kompos. Kandungan Karbon (C) Organik Kandungan C-organik pada kompos yang dihasilkan termasuk ke dalam standar baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004). Kandungan C-organik kompos berkisar antara 11%-14,6%, sedangkan kandungan yang disyaratkan baku mutu pupuk organik adalah 9,80%-32%. Selama proses pengomposan kandungan Corganik akan berkurang karena dalam proses dekomposisi bahan C-organik digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bersama N digunakan sebagai penyusun sel. Kandungan C-organik yang semakin berkurang juga disebebkan pelepasan unsur C pada saat pengomposan seperti, CO2, uap air dan panas. Rataan kandungan C-organik dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Nilai Kandungan C-Organik (%) Perlakuan
C-Organik
EM4
14,55±0,31a
MOL Tapai 1%
11,60±1,57b
MOL Tapai 5%
11,92±0,56ab
MOL Tapai 10%
14,08±1,18ab
Keterangan: Superskrip yang (P<0,05)
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
nyata
Hasil sidik ragam untuk C-organik menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) antara perlakuan. Hasil uji lanjut dengan Tukey menunjukkan bahwa perlakuan EM4 berbeda dengan perlakuan MOL tapai 1%, tetapi tidak berbeda dengan MOL tapai 5% dan MOL tapai 10%. Sedangkan perlakuan MOL tapai 1% tidak berbeda dengan perlakuan MOL tapai 5% dan MOL tapai 10%.
17
Kandungan C-organik kompos yang telah matang mengalami penurunan kandungan C-organik bahan awal kompos, karena proses perombakan yang terjadi selama pengomposan. Ragi berperan dalam perombakan bahan organik menjadi senyawa-senyawa organik, sedangkan Lactobacillus dan mikroorganisme selulolitik lainnya berperan dalam proses penyediaan senyawa organik yang selanjutnya terurai ke dalam bentuk yang siap diserap akar tanaman (Higa dan Parr, 1994). Rataan kandungan C-organik yang paling rendah terdapat pada perlakuan MOL tapai 1%, sedangkan rataan kandungan C-organik yang tertinggi terdapat pada perlakuan EM4. Semakin rendah kandungan C-organik kompos menandakan semakin bagus proses dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme selama proses pengomposan. Kandungan C-organik yang lebih rendah pada MOL tapai 1% dan MOL tapai 5% menunjukkan bahwa aktivator ini dapat mendekomposisi campuran kotoran ayam dan batang pisang lebih baik dibandingkan dengan aktivator EM4 dan MOL tapai 10%. Sehingga penambahan MOL tapai sebanyak 1% lebih optimal dalam pengomposan. Kandungan Nitrogen (N) Total Kandungan N dalam kompos sangat dipengaruhi oleh proses pengomposan dan bahan baku yang digunakan. Dalam proses pengomposan, N yang dapat diserap tanaman dari hasil penguraian bahan organik berupa amonium, nitrit dan nitrat. Ionion tersebut berasal dari penguraian senyawa protein oleh mikroorganisme perombak. Kandungan N pada kompos yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan berkisar antara 2,33%-2,41% sangat tinggi bila dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang menyaratkan kandungan N minimal 0,40%. Hal tersebut disebabkan campuran bahan dasar yang mengandung N yang tinggi terutama kotoran ayam yang memiliki kandungan yang tinggi dibandingkan kotoran ternak lain. Kandungan N total yang tinggi juga dipengaruhi proses pengomposan yang terjadi. Unsur N cenderung tertahan dalam tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya sebanyak 5% dibandingkan unsur C yang hilang sebanyak 50% (Alexander, 1977). 18
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh semua perlakuan (EM4, MOL tapai 1%, 5% dan 10%) terhadap kandungan N total kompos. Hal tersebut sangat berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme untuk merombak protein menjadi N total. Kemampuan mikroorganisme pada MOL tapai lebih dominan dalam perombakan bahan yang mengandung karbohidrat dibandingkan dengan merombak protein. Rataan kandungan N total kompos dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Nilai Kandungan N Total (%) Perlakuan
N Total
EM4
2,41±0,03
MOL Tapai 1%
2,33±0,20
MOL Tapai 5%
2,38±0,05
MOL Tapai 10%
2,29±0,03
Rasio C/N Rasio C/N akhir kompos akan semakin kecil dibandingkan dengan C/N rasio pada awal pengomposan. Rasio C/N selain penentu kualitas kompos, juga merupakan indikator kematangan dari kompos. Semakin rendah
rasio C/N akhir kompos
dibandingkan rasio C/N awal, maka semakin baik kompos yang dihasilkan. Rasio C/N merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan bersamaan dengan nitrogen untuk pembentukan selnya (Gaur, 1983). Nilai rasio C/N kompos yang dihasilkan dari semua perlakuan yang berkisar antara 4,97-6,14 sangat rendah dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang memiliki nilai 10-20. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik serta kandungan C-organik dan N kompos. Kandungan N total yang relatif tinggi pada kompos menyebabkan nilai rasio C/N menjadi rendah. Selain itu, kandungan C/N kotoran ayam yang rendah dibandingkan batang pisang diduga juga menyebabkan rendahnya C/N akhir kompos. Rataan nilai rasio C/N dapat dilihat pada Tabel 3.
19
Tabel 3. Rataan Nilai Rasio C/N Perlakuan
Rasio C/N
EM4
6,03±0,18A
MOL Tapai 1%
4,97±0,25B
MOL Tapai 5%
5,02±0,12B
MOL Tapai 10%
6,14±0,45A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Berdasarkan hasil sidik ragam untuk rasio C/N diketahui bahwa ada perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan. Hasil uji lanjut dengan Tukey menunjukkan bahwa perlakuan EM4 berbeda sangat nyata dengan perlakuan MOL tapai 1% dan 5%, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan MOL tapi 10%. Sedangkan perlakuan MOL tapai 1% tidak berbeda dengan MOL tapai 5%, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan EM4 dan MOL tapai 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rasio C/N perlakuan MOL tapai 1%, dan 5% lebih kecil dibanding dengan rasio C/N EM4 dan MOL tapai 10% padahal kandungan N total masing-masing perlakuan tidak nyata. Hal tersebut disebabkan aktivitas mikroorganisme pada
MOL tapai 1% dan 5% yang aktif
merombak selama proses pengomposan dibandingkan EM4 dan MOL tapai 10%, yang dapat dilihat pada nilai C-organik yang rendah sebagai indikator pemanfaatan karbon sebagai energi. Kandungan Fosfor (P) Total Unsur P merupakan unsur yang penting dalam kompos, karena unsur ini merupakan unsur hara yang utama bagi pertumbuhan tanaman. Soepardi (1983) melaporkan, bahwa kandungan unsur P semakin tinggi dengan terjadinya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Pada tahap pematangan mikroorganisme akan mati dan kandungan P di dalam mikroorganisme akan bercampur dalam bahan kompos yang secara langsung akan meningkatkan kandungan fosfor dalam kompos. Unsur P yang terkandung pada setiap perlakuan kompos yang berkisar antara 4,30%-4,60% relatif tinggi dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 197030-2004) yang mensyaratkan kandungan unsur P minimal 0,10%. Unsur P pada
20
kompos sangat berperan dalam pembentukan bunga, buah, biji dan mempercepat kematangan buah. Rataan kandungan unsur P dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Nilai Kandungan P Total (%) Perlakuan
P Total
EM4
4,39±0,06
MOL Tapai 1%
4,37±0,17
MOL Tapai 5%
4,60±0,21
MOL Tapai 10%
4,30±0,09
Hasil sidik ragam unsur P menunjukkan hasil yang tidak nyata. Hasil tersebut menunjukkan tidak ada pengaruh semua perlakuan yang diberikan terhadap kandungan unsur P. Hal tersebut kemungkinan disebabkan mikroorganisme pada EM4 dan MOL tapai kurang aktif dalam melakukan perombakan terhadap kotoran ayam dan batang pisang. Kandungan Kalium (K) Total Kalium pada tanaman sangat berperan dalam pembentukan protein serta karbohidrat, pengerasan bagian kayu, mempertinggi daya tahan terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas biji dan buah. Soepardi (1983) menyatakan, bahwa kandungan unsur K semakin tinggi dengan adanya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Jika bahan organik awal yang digunakan untuk pembuatan kompos cukup kandungan N, maka biasanya unsur hara lainnya seperti P dan K akan tersedia dalam jumlah yang cukup (Dalzell et al., 1987). Kandungan unsur K pada kompos yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan berkisar 3,78%-3,97%, nilai tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang mensyaratkan kandungan unsur K minimal 0,20%. Tingginya kandungan unsur K tersebut disebabkan penambahan batang pisang sebagai campuran bahan kompos, unsur K yang tinggi pada awal pengomposan memberikan efek tingginya kandungan K pada akhir pengomposan. Rataan kandungan K total dapat dilihat pada Tabel 5.
21
Tabel 5. Rataan Nilai Kandungan K Total (%) Perlakuan
K Total
EM4
3,97±0,10
MOL Tapai 1%
3,85±0,07
MOL Tapai 5%
3,91±0,11
MOL Tapai 10%
3,78±0,13
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan bioaktivator EM4 dan MOL tapai dengan jumlah penambahan yang berbeda terhadap kandungan K. Hal ini diduga disebabkan jumlah bahan yang dikomposkan sama, dengan perbandingan kotoran ayam dengan batang pisang sama untuk setiap perlakuan. Dengan kata lain kemampuan bioaktivator EM4 dan MOL tapai pada penelitian ini sama efektifnya dalam melakukan perombakan bahan organik terutama pada unsur K. Nilai pH Kompos Nilai pH pada proses pengomposan merupakan hal sangat mempengaruhi aktivitas perkembangan mikroorganisme yang akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kompos yang dihasilkan. CPIS (1992), menyatakan bahwa pH yang terlalu tinggi dapat menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya dalam kondisi asam akan menyebabkan mikroorganisme mati. Proses pengomposan pada setiap perlakuan sangat rentan sekali dengan nilai pH yang tinggi, karena bahan yang dikomposkan berupa kotoran ayam petelur yang mengandung banyak amoniak. Nilai pH sebesar 8,6-8,8 pada setiap perlakuan kompos sangat tinggi dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang berkisar antara 6,80-7,49. Dengan lebih tingginya nilai pH yang dihasilkan setiap perlakuan, menandakan pH kompos yang dihasilkan kurang baik. Adanya peningkatan nilai pH hingga akhir proses pengomposan disebabkan terbentuk NH3 selama proses dekomposisi yang bersifat basa, hal tersebut lebih diperparah lagi dengan kandungan kotoran ayam yang banyak mengandung amoniak, sehingga pH kompos yang dihasilkan relatif tinggi.
22
Selain itu, nilai pH yang tinggi mungkin juga dipengaruhi oleh proses perombakan protein yang menghasilkan NH3 yang kemudian berikatan dengan air membentuk NH4OH yang bersifat basa, sehingga pH meningkat. Nilai pH yang relatif sama menandakan perkembangan mikroorganisme pada masing-masing media kompos relatif tidak jauh berbeda untuk setiap perlakuan. Rataan nilai pH kompos dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai pH Kompos yang Dihasilkan Perlakuan
pH
EM4
8,7
MOL Tapai 1%
8,6
MOL Tapai 5%
8,8
MOL Tapai 10%
8,7
Bobot Akhir Kompos Bobot akhir kompos dipengaruhi oleh kadar air bahan, penyusutan, aktivitas mikroorganisme dan karakteristik bahan. Semakin besar bobot akhir kompos maka semakin bagus kompos yang dihasilkan. Kompos yang dibuat dari campuran kotoran ayam dengan batang pisang memiliki kandungan kadar air yang tinggi sehingga sangat mempengaruhi bobot kering kompos. Hal tersebut dikarenakan kadar air banyak yang hilang selama pengeringan kompos dengan cara kering angin, sehingga bobot akhir kompos menjadi kecil. Selain kadar air, aktivitas mikroorganisme perombak juga mempengaruhi bobot akhir kompos. Proses perombakan bahan organik yang menghasilkan air, panas dan bahan organik lainnya akan menyebabkan bobot bahan semakin berkurang. Hasil sidik ragam bobot kering kompos menunjukkan hasil yang tidak nyata terhadap semua perlakuan bioaktivator. Hal tersebut diduga jumlah bahan awal yang dikomposkan berbobot sama dan aktivitas mikroorganisme perombak pada masingmasing perlakuan relatif sama. Produksi bobot kering kompos yang rendah dikarenakan karakteristik bahan (kotoran ayam dan batang pisang) yang mengandung banyak kadar air. Sehingga menyebabkan tingginya penyusutan bobot kompos hampir mencapai 75%. Hal tersebut mengindikasikan produksi kompos yang
23
dihasilkan kurang bagus, kurang ekonomis bila digunakan sebagai pupuk pada tanaman. Rataan bobot kompos dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Bobot Kering Kompos (kg) Perlakuan
Bobot Kompos
EM4
2,52±0,97
MOL Tapai 1%
2,63±0,03
MOL Tapai 5%
2,54±0,11
MOL Tapai 10%
2,62±0,67
Uji Tanam Tinggi Tanaman Kanggkung Produktivitas tanaman merupakan faktor penting yang harus diamati pada proses uji tanam kompos. Tingkat produktivitas dapat dilihat dari respon pertumbuhan tanaman kangkung tersebut yang bisa dilihat melalui pertumbuhan tinggi tanaman. Lakitan (1995), menyatakan bahwa tinggi tanaman merupakan pertumbuhan yang paling mudah diukur. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan interaksi antara jenis dan dosis pupuk tidak mempengaruhi tinggi tanaman kangkung. Penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman pada 7 HST. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey menunjukkan bahwa rataan tinggi tanaman pada 7 HST pada penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan dosis 300 g. Rataan tertinggi terdapat pada penggunaan dosis 100 g sedangkan rataan terendah terdapat pada penggunaan dosis 300 g. Tinggi tanaman kangkung dipengaruhi oleh kandungan unsur N yang terdapat pada jenis pupuk. Nitrogen lebih optimum dalam menunjang pertumbuhan vegetatif, oleh karena itu tanaman sayuran yang terdiri dari batang dan daun saja lebih responsif terhadap kadar N tanah (Plaster, 1992). Rataan tinggi tanaman kangkung pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 8.
24
Tabel 8. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 7 HST Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
------------------------------------------ cm -----------------------------------EM-4
8,36±0,45
8,66±0,50
7,41±0,37
8,14
MOL Tapai 1%
8,87±1,65
9,09±1,17
8,17±0,31
8,71
MOL Tapai 5%
9,75±0,71
8,61±0,75
7,87±0,85
8,74
MOL Tapai 10%
9,35±0,76
8,86±0,69
8,28±1,03
8,83
Rataan
9,08A
8,80A
7,93B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk kompos yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman kangkung pada 14 HST. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey menunjukkan bahwa
tinggi tanaman kangkung pada 14 HST pada penggunaan dosis 100 g
memberikan respon tidak berbeda nyata dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan dosis 300 g. Penggunaan dosis pupuk 100 g memberikan respon rataan tinggi tanaman tertinggi, sedangkan penggunaan dosis 300 g memiliki rataan tinggi yang paling rendah. Penggunaan dosis 100 g ternyata memberikan respon tinggi tanaman yang baik, hal ini menggambarkan bahwa penggunaan dosis optimum pada masingmasing jenis pupuk sebesar 100 g. Berdasarkan hasil sidik ragam memberikan gambaran bahwa semakin tinggi penggunaan dosis pupuk maka rataan tinggi tanaman kangkung yang dihasilkan akan semakin rendah. Rataan tinggi tanaman kangkung pada 14 HST dapat dilihat pada Tabel 9.
25
Tabel 9. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 14 HST Dosis
Perlakuaan 100 g
200 g
Rataan 300 g
---------------------------------------- cm -------------------------------------EM-4
18,91±1,72
17,61±1,66
13,70±0,94
16,74
MOL Tapai 1%
19,37±3,60
18,42±1,90
14,96±1,69
17,58
MOL Tapai 5%
20,02±1,62
17,64±1,40
15,22±1,90
17,63
MOL Tapai 10%
19,05±1,62
17,53±0,91
14,81±1,94
17,13
Rataan
19,34A
17,80A
14,67B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada 21 HST, hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman kangkung pada 21 HST. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey menunjukkan hasil bahwa tinggi tanaman kangkung pada 21 HST dengan penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g dan berbeda nyata dengan dosis 300 g, sedangkan dosis 200 g tidak berbeda dengan dosis 300 g. Rataan tinggi tanaman kangkung pada 21 HST dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 21 HST Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
---------------------------------------- cm ------------------------------------EM-4
33,60±2,73
31,90±2,77
28,62±7,45
31,37
MOL Tapai 1%
34,73±6,06
34,55±1,51
31,05±3,65
33,44
MOL Tapai 5%
34,14±2,12
29,26±3,11
25,17±7,41
29,52
MOL Tapai 10%
33,04±2,55
33,91±2,74
30,55±3,82
32,50
Rataan
33,88A
32,40AB
28,85B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari tiga minggu awal pengukuran, dapat dilihat bahwa penggunaan dosis 100 dan 200 g memberikan nilai rataan tinggi 26
tanaman yang besar dibandingkan dengan penggunaan dosis 300 g. Hal tersebut mengambarkan pemberian dosis yang optimal pada masing-masing perlakuan jenis pupuk adalah 200 g dan apabila melebihi dari 200 g akan memberikan respon pertumbuhan tinggi tanaman yang kurang bagus. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kangkung pada 28 HST. Penyebab hal tersebut diduga karena terjadinya etiolasi pada tanaman kangkung, sehingga ada beberapa tanaman yang mengalami tinggi yang berlebihan bahkan ada yang mencapai 1,5 m. Hal tersebut sangat tidak normal terjadi pada tanaman kangkung. Terjadinya etiolasi pada tanaman kangkung disebabkan oleh kurangnya cahaya matahari menyinari tanaman, karena rumah kaca yang digunakan untuk uji tanam berlumut pada bagian atap. Tumbuhan yang hidup dibawah tegakan pohon atau terlindungi akan terjadi pemanjangan batang yang dikarenakan pada kondisi intensitas cahaya matahari yang rendah, degradasi auksin akan berkurang sehingga kandungan auksin akan meningkat (Salisbury dan Ross, 1995). Rataan tinggi tanaman kangkung pada 28 HST dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 28 HST Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
------------------------------------------ cm --------------------------------EM-4
67,98±13,16
66,63±13,66
67,96±20,22
67,52
MOL Tapai 1%
71,09±27,47
71,89±13,04
72,26±20,23
71,75
MOL Tapai 5%
57,26±8,09
62,11±10,68
48,66±16,67
56,01
MOL Tapai 10%
63,27±8,63
65,52±20,37
58,42±19,62
62,40
Rataan
64,90
66,54
61,82
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pupuk kompos tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kangkung selama proses pemeliharaan. Semua jenis pupuk yang diberikan kepada kangkung sama baiknya terhadap tinggi tanaman. Hal ini disebabkan kandungan unsur-unsur pada 27
masing-masing jenis pupuk relatif sama, sehingga respon yang diberikan tanaman kangkung terutama untuk tinggi tidak ada perbedaan. Jumlah Daun Tanaman Kangkung Jumlah daun merupakan salah satu respon pertumbuhan yang juga diamati pada penelitian uji tanam. Jumlah daun tanaman kangkung dipengaruhi oleh K dan N. Kalium berperan penting dalam transpor fotosintat, membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman, mengatur berbagai proses fisiologi tanaman dan membentuk atibodi tanaman (Simamora dan Salundik, 2006). Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan interaksi antara jenis dan dosis pupuk kompos tidak mempengaruhi jumlah daun tanaman kangkung. Hasil sidik ragam pada 7 HST menunjukkan bahwa penggunaan dosis dan jenis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Hal ini menandakan bahwa, pada minggu awal pertumbuhan tanaman kangkung pada setiap perlakuan jenis pupuk dan perlakuan dosis memberikan efek yang sama terhadap jumlah daun. Jumlah daun yang sama disebabkan pada minggu awal tanaman kangkung baru melewati fase perkecambahan dan baru memasuki fase pertumbuhan awal. Rataan jumlah daun tanaman kangkung pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 7 HST Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
--------------------------------------- helai ----------------------------------EM-4
2,00±0,00
2,00±0,00
1,94±0,00
1,98
MOL Tapai 1%
1,94±0,12
1,87±0,14
2,00±0,00
1,93
MOL Tapai 5%
2,00±0,00
2,00±0,00
2,00±0,00
2,00
MOL Tapai 10%
2,00±0,00
2,00±0,00
2,00±0,00
2,00
Rataan
1,98
1,97
1,98
Hasil sidik ragam pada 14 HST menunjukkan bahwa penggunaan dosis yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa, rataan 28
jumlah daun pada penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan penggunaan dosis 300 g. Hal tersebut menandakan bahwa pada 14 HST perlakuan dosis 100 dan 200 g memberikan efek yang baik terhadap tanaman kangkung, namun pada dosis 300 g memberikan respon yang rendah dibandingkan perlakuan dosis 100 dan 200 g. Penggunaan dosis optimal untuk setiap perlakuan jenis pupuk kompos adalah sebanyak 200 g. Rataan jumlah dau tanaman kangkung pada 14 HST dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 14 HST Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
------------------------- helai ----------------------------EM-4
5,00±0,41
5,81±0,24
4,81±0,51
5,37
MOL Tapai 1%
5,62±0,83
5,69±0,24
5,06±0,59
5,46
MOL Tapai 5%
5,62±0,25
5,94±0,51
5,69±0,66
5,75
MOL Tapai 10%
5,87±0,32
5,87±0,14
5,31±0,37
5,68
Rataan
5,65A
5,83A
5,22B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk kompos yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah daun tanaman kangkung pada 21 HST, namun untuk perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa perlakuan pada dosis 100 g hampir tidak berbeda nyata dengan dosis 200 dan 300 g, namun penggunaan dosis yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Rataan jumlah daun tertinggi pada perlakuan dosis 200 g dan yang terendah pada dosis 300 g. Jumlah daun pada 21 HST salah satunya dipengaruhi oleh kandungan unsurunsur hara yang terdapat pada tanah. Karena jenis pupuk kompos tidak berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman kangkung, maka penggunaan dosis dan kemampuan tanaman menyerap unsur hara terutama unsur N sangat berpengaruh. Menurut Widayanti (2008), bahwa bertambahnya unsur N pada tanaman berasosiasi dengan 29
pembentukan klorofil daun sehingga meningkatkan fotosintesis untuk memacu pertumbuhan tanaman. Peningkatan penggunaan dosis pupuk kompos memberikan peningkatan rataan jumlah daun tanaman kangkung sampai penggunaan dosis 200 g dan cenderung turun pada penggunaan dosis 300 g. Sehingga penggunaan dosis optimal pada masing-masing jenis pupuk kompos adalah 200 g. Rataan jumlah daun tanaman kangkung pada 21 HST dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 21 HST Dosis
Perlakuaan
100 g
200 g
300 g
Rataan
--------------------------------------- helai -----------------------------------EM-4
9,94±0,80
10,19±0,87
8,87±1,39
9,67
MOL Tapai 1%
9,87±1,03
9,94±0,43
9,37±0,43
9,73
MOL Tapai 5%
10,44±0,66
10,00±1,51
9,00±1,94
9,81
MOL Tapai 10%
10,00±0,35
10,50±0,74
9,94±0,87
10,15
Rataan
10,06a
10,16a
9,29a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang nyata (P<0,05)
Hasil sidik ragam penggunaan dosis yang berbeda memberikan respon tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun pada 28 HST. Begitu juga dengan jenis pupuk kompos yang digunakan tidak memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kangkung pada 28 HST. Hal tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman kangkung yang terganggu saat memasuki minggu ke-4 uji tanam. Tanaman kangkung pada saat itu banyak mengalami etiolasi, sehingga pertumbuhan terutama tinggi tanaman terganggu. Tanaman kangkung menjadi panjang dan kecil, hal tersebut juga berpengaruh terhadap pertumbuhan daun tanaman kangkung terutama jumlah daun. Rataan jumlah daun pada 28 HST dapat dilihat pada Tabel 15. Hasil penelitian pada perlakuan jenis kompos terhadap jumlah daun pada setiap minggu tidak menunjukkan respon yang berbeda nyata. Hal tersebut dikarenakan kandungan unsur-unsur makro terutama unsur yang berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kangkung (N, P dan K) relatif memiliki jumlah kandungan yang sama. 30
Tabel 15. Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 28 HST Dosis
Perlakuaan
100 g
200 g
300 g
Rataan
--------------------------------------- helai ---------------------------------EM-4
19,37±1,93
18,25±4,47
16,31±2,79
17,98
MOL Tapai 1%
19,31±2,21
16,50±1,51
16,31±1,55
17,37
MOL Tapai 5%
19,06±3,84
17,31±3,32
15,75±6,31
17,37
MOL Tapai 10%
19,19±2,09
19,94±2,45
22,50±3,71
20,54
Rataan
19,23
18
17,72
Biomassa Tajuk Tanaman Kangkung Tajuk pada tanaman adalah bagian yang berperan sebagai tempat fotosintesis untuk menyediakan karbohidrat. Pengukuran terhadap bobot basah dan bobot kering tajuk bertujuan untuk melihat tingkat produktivitas tanaman kangkung. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot basah tajuk, namun perlakuan jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bobot basah tajuk. Hasil uji lanjut dengan Tukey menunjukkan bahwa bobot basah tajuk tanaman kangkung pada penggunaan dosis 100 g berbeda nyata dengan dosis 200 dan 300 g. Sedangkan penggunaan dosis 200 g berbeda nyata dengan dosis 100 dan 300 g. Rataan bobot basah tajuk (Tabel 16) memperlihatkan bahwa penggunaan dosis 100 g memiliki rataan bobot basah tajuk yang paling besar dibandingkan perlakuan dosis yang lain. Sedangkan penggunaan dosis 300 g memiliki nilai bobot basah tajuk yang paling kecil dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lainnya. Hal tersebut menggambarkan dosis yang digunakan berpengaruh sangat baik pada tanaman kangkung dengan semua jenis pupuk kompos adalah perlakuan dosis 100 dan 200 g, jadi dengan kata lain dosis terbaik pemberian kompos adalah 100 g dan pemberian optimal adalah sebanyak 200 g.
31
Tabel 16. Rataan Bobot Basah Tajuk Tanaman Kangkung Dosis
Perlakuaan
100 g
200 g
300 g
Rataan
-------------------------------------- gram ---------------------------------EM-4
20,37±2,96
15,40±3,00
11,16±3,57
15,64
MOL Tapai 1%
20,58±4,72
17,71±1,39
15,38±1,60
17,89
MOL Tapai 5%
19,17±1,84
15,72±3,60
11,37±7,38
15,42
MOL Tapai 10%
20,00±3,41
18,31±2,10
15,85±2,15
18,05
Rataan
A
20,03
16,78
B
13,44
C
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kering tajuk tanaman kangkung. Hal tersebut berbeda dengan hasil sidik ragam jenis pupuk yang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey memperlihatkan bahwa bobot kering tajuk tanaman kangkung pada penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan dosis 300 g. Hal tersebut tidak berbeda dengan hasil uji lanjut pada bobot basah tajuk tanaman kangkung yang menunjukkan hasil sidik ragam sangat berbeda nyata antara penggunaan dosis pupuk terhadap bobot basah tajuk tanaman kangkung. Hasil yang lebih menunjukkan pertumbuhan tanaman kangkung adalah hasil pengukuran bobot kering tanaman. Menurut Gardner et al. (1991) bahwa angka dari bobot basah dapat berfluktuasi tergantung dari kelembaban tanaman itu sendiri. Sehingga memberikan ciri pertumbuhan sebenarnya adalah pada bobot kering tanaman. Oleh karena itu bobot kering tajuk merupakan hal yang penting dalam menentukan tingkat produktivitas tanaman kangkung. Bobot kering mencerminkan akumulasi senyawa organik dari hasil fotosintesis senyawa organik terutama air dan CO2 (Lakitan, 1995). Tidak jauh berbeda dengan rataan bobot basah tajuk tanaman kangkung, rataan bobot kering tajuk tanaman kangkung juga memperlihatkan rataan bobot kering tajuk tanaman kangkung yang terbesar pada perlakuan dosis 100 g dan rataan 32
terkecil pada penggunaan dosis 300 g. Sehingga hal tersebut menegaskan bahwa perlakuan dosis terbaik pada semua jenis kompos adalah sebesar 100 g dan penggunaan dosis sebesar 200 g merupakan dosis optimal.
Karena apabila
penggunaannya melebihi 200 g akan memberikan respon yang kurang baik pada produktivitas tanaman kangkung seperti hasil yang didapatkan pada perlakuan dosis 300 g pada semua jenis kompos. Hasil rataan bobot kering tajuk tanaman kangkung dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Rataan Bobot Kering Tajuk Tanaman Kangkung Dosis
Perlakuaan
100 g
200 g
300 g
Rataan
--------------------------------------- gram --------------------------------EM-4
7,96±3,38
5,35±1,11
3,13±1,08
5,48
MOL Tapai 1%
5,89±1,55
9,22±2,09
4,38±0,54
6,50
MOL Tapai 5%
8,72±1,77
5,34±1,87
3,63±2,96
5,90
MOL Tapai 10%
7,57±2,51
6,92±2,24
5,26±1,45
6,58
Rataan
7,53A
6,71A
4,10B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Biomassa Akar Tanaman Kangkung Akar merupakan bagian yang terpenting bagi tanaman, karena akar berperan dalam hal penyerapan unsur hara dan air dari tanah. Bobot basah maupun bobot kering akar tanaman mengambarkan produktivitas dari tanaman tersebut. Chotimah (2004) menyatakan bahwa akar dengan bobot basah yang berat mengindikasikan akar tersebut dapat menyerap unsur hara dalam tanah dengan baik, sehingga bobot tanaman secara keseluruhan juga bertambah. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot basah akar tanaman kangkung. Tetapi jenis pupuk kompos tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot basah akar tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan uji Tukey memperlihatkan bahwa bobot basah akar pada penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan penggunaan dosis 300 g. 33
Rataan bobot basah akar tertinggi terdapat pada penggunaan dosis 200 g dan rataan bobot basah akar terendah pada dosis 300 g. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan dosis 100 dan 200 g memberikan respon bobot basah akar yang baik dibandingkan dengan dosis 300 g, dengan kata lain pemberian dosis optimal sebesar 200 g untuk mendapatkan respon yang bagus. Kandungan unsur hara yang terkandung pada tanah juga mempengaruhi perkembangan akar tanaman kangkung terutama unsur P dan K. Ketersediaan unsur K dan P yang cukup, tidak kurang dan tidak juga berlebihan, terhadap tanaman kangkung yang dipelihara memberikan respon pertumbuhan akar yang baik. Unsur P berperan dalam pembentukan akar dan unsur K berperan dalam pembelahan sel (Rismunandar, 1990). Rataan bobot basah akar tersebut bisa dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Rataan Bobot Basah Akar Tanaman Kangkung Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
--------------------------------------- gram ---------------------------------EM-4
2,47±0,52
1,86±0,50
1,01±0,42
1,78
MOL Tapai 1%
2,34±0,35
2,54±0,80
1,05±0,25
1,98
MOL Tapai 5%
1,73±0,30
2,23±0,78
0,88±0,58
1,61
MOL Tapai 10%
1,96±0,28
2,67±0,89
1,67±0,57
2,10
Rataan
2,12A
2,32A
1,15B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kering akar tanaman kangkung. Namun perlakuan jenis pupuk kompos menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey mengambarkan bahwa penggunaan dosis 100 tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan dosis 300 g. Rataan bobot kering akar pada penggunaan 100 dan 200 g memiliki nilai rataan tertinggi diantara penggunaan dosis yang lain yaitu sebesar 0,75 g, sedangkan perlakuan dosis 300 g memiliki nilai rataan terkecil.
34
Ketersediaan unsur P dan K dengan kadar yang tepat pada tanah
akan
memberikan respon yang bagus pada pertumbuhan akar tanaman kangkung. Dalam hal ini penggunaan dosis sebesar 100 dan 200 g sangat efektif dalam menunjang pertumbuhan akar tanaman kangkung. Karena semakin tinggi dosis yang diberikan akan mengakibatkan buruknya respon pertumbuhan tanaman kangkung. Mineral posfor dalam tanaman berfungsi untuk perkembangan akar, kekuatan batang, mutu tanaman khususnya pada sayuran dan makanan ternak serta kekebalan terhadap penyakit (Buckman dan Brady, 1982). Rataan bobot kering akar tanaman kangkung dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Rataan Bobot Kering Akar Tanaman Kangkung Perlakuaan
Dosis 100 g
200 g
300 g
Rataan
--------------------------------------- gram -----------------------------------EM-4
0,95±0,17
0,67±0,15
0,34±0,14
0,65
MOL Tapai 1%
0,67±0,10
0,68±0,24
0,46±0,10
0,60
MOL Tapai 5%
0,73±0,14
0,78±0,29
0,38±0,18
0,63
MOL Tapai 10%
0,67±0,06
0,89±0,33
0,59±0,09
0,72
Rataan
0,75A
0,75A
0,44B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan bioaktivator MOL tapai pada taraf yang berbeda relatif tidak mempengaruhi kualitas pupuk kompos yang dihasilkan. Penggunaan dosis pupuk yang berbeda berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kangkung. Penggunaan dosis pupuk kompos sebanyak 100 g memberikan respon pertumbuhan terbaik. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian terhadap bahan yang sama dengan pengomposan secara aerobik. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan bahan kompos dari kotoran ternak dan campuran yang berbeda. 3. Penambahan MOL tapai yang dianjurkan adalah sebanyak 1%. 4. Anjuran penggunaan dosis pupuk kompos yang dihasilkan adalah sebanyak 40 ton/ha.
36
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala dengan karunia dan Rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat yang tidak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad S.A.W beserta para keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Salundik, M.Si selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.Sc selaku pembimbing anggota yang telah membimbing, memberi saran, mengarahkan mulai dari penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kepada Ir. Rini Herlina Mulyono, M.Si dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr.Sc selaku dosen penguji sidang. Terima kasih kepada Ir. Niken Ulupi, M.S. selaku dosen pembimbing akademik dan Dr. Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc. Agr. Selaku penguji seminar. Ucapan terima kasih banyak dan tulus penulis ucapkan kepada Ibuku Jamiar dan Bapakku Firdaus atas motivasi, doa dan kasih sayang yang tidak terhingga kepada penulis. Terima kasih untuk kakak Penulis Wilsa Firdaus dan adik Penulis Margeri Firdaus atas doa, motivasi, dukungan moral dan materi yang telah diberikan. Terima kasih kepada Baiq Tutik Yuliana atas dukungan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan. Terima kasih kepada Yohanes Tigana A, Lutfi Setyo W dan Dedy Permana sebagai teman satu tim yang telah sangat membantu selama proses penelitian berlangsung. Terima kasih banyak kepada teman-teman Gravehouse yang senantiasa memberi motivasi dan mengingatkan Penulis. Terima kasih Penulis ucapkan kepada teman-teman IPTP angkatan 43 atas kebersamaan selama menempuh perkuliahan dan teman-teman yang tentunya tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Januari 2011
Penulis 37
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. Wiley Eastern Limited, New Delhi, 467. Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press, Jakarta. Chotimah, R. A. 2004. Pemamfaatan limbah lumpur (sludge) PT. Nestle Indonesia sebagai sumber bahan organik untuk campuran media tanam pakchoi (Brassica chinensis). Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Buckman, H. D. & N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan. Bharata Karya Askara, Jakarta. CPIS. 1992. Panduan Teknik Pembuatan Kompos dari Sampah: Teori dan Aplikasi. Center for Policy and Implementation Study (CPIS), Jakarta. Dalzell, H.W., A.J. Biddlestone, K.R. Gray, & K. Thurairajan. 1987. Soil management: Co. compost production and use in tropical and sub tropical environment. Soil Bulletin, No. 56. Food and Agricultural Organization, Rome. Edmond, J.B., A. M. Musser, & F.S. Andrews. 1957. Fundamentals of Horticulture. Mc Graw Hill Book Co. Inc. New York. 456. Gardner, F. P., R. B. Pearce, & R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan: Herawati Susilo. Universitas Indonesia, Jakarta. Gaur, A. C. 1983. A Manual Rural Composting FAO. The United Nation, Rome. Gunawan, E. 1998. Pengaruh berbagai taraf pengapuran dan kotoran ayam terhadap pertumbuhan bambu betung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hakim, N. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung Pr, Lampung. Harada, Y., K. Haga, T. Osada, & M. Koshino. 1993. Quality of compost produce from animal waste. Japan Agricultural. 26 (4): 238-246. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Higa, T. & J. F. Parr. 1994. Benefecial and Effective Microorganisms for Sustainable Agriculture and Environment. International Nature Farming Research Center, Japan. Lakitan, B. 1995. Fisiologi Pertumbuhan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
38
Leiwakabessy, F. M. & A. Sutandi. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Departemen Tanah Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lingga, P. 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta. Manan, M. H. A. 2006. Kamus Kimia. PT Bumi Aksara, Jakarta. Mattjik, A. A., & M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor. Mengel, K. & E. A. Kirkby. 1982. Principles of Plant Nutrition. 3rd Edit. International Potash Institute, Switzerland. Mugnisjah, W. Q. & A. Setiawan. 1995. Pengantar Produksi Benih. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mulyadi, S. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta. Plaster, E. J. 1992. Soil Science and Management. Delmar Publishers Inc. 2nd ed, New York. Prawiranata, W. S. H. & P. Tjondronegoro. 1992. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Raihan, S., H. S. Simatupang, & Y. Raihan. 2000. Pengaruh fosfor dan kalium dari bahan organik terhadap hasil jagung di lahan lebak. Dalam: Mustajib, A. Rizal, M. Nurcholis, Soeharto & S. Wuryani (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Yogyakarta. Rismunandar. 1990. Pengetahuan Dasar tentang Perabukan. edisi revisi. Sinar Baru, Bandung. Salisbury, F. B. & C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Institu Teknologi Bandung, Bandung. Saono, J. K. D., F. G. Winarno, & Karjadi. 1982. Traditional fermentation as industrial resources in ASCA countries. Proceeding of Technical Seminar. Medan. LIPI, Jakarta. Setiawan, B. S. & Tim ETOSA. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Penebar Swadaya, Jakarta. Simamora, S. & Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia Pustaka, Jakarta. Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
39
Stell, R.G.D & J.H Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan. B. Sumantri. Cetakan Kedua. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sunarjono H. 2002. Budi Daya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar swadaya, Jakarta. Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. PT Alami, Bandung. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta.
Pemasyarakatan
dan
Syarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. PT. Pustaka Buana, Bandung. Taiganides, E. P. 1977. Principles and techniques of animal waste management and utilization. In: organic Recycling in Asia. FAO Soils Bull, Rome. Tjitrosoepomo, G. 1988. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Westphal, E. 1994. Ipomea aquatica Forsskal. In: J.S. Siemonsma & K. Piluek (Eds.) Plant Resourches of Shouth East Asia and Vegetables 3. PROSEA Foundation, Bogor- Indonesia. 181-184. Widayanti, A. 2008. Efek pemotongan dan pemupukan terhadap produksi dan kualitas Borreria allata (Aubl.) sebagai hijauan makanan ternak kualitas tinngi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wijaya, A. 2002. Pengembangan teknologi papan komposit dari limbah batang pisang (Musa sp) : sifat fisis mekanis papan pada berbagai tingkat asetilasi. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tidak diterbitkan. Winata, L. 1998. Budidaya Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta. Yang, S. S. 1997. Preparation of compost and evaluating its maturity. Agriculture and Horticulture. Extension Bulletin No. 445. National Taiwan University.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Hasil Analisis Soil and Fertilizer Biotrop Bogor 2010 Pengujian pH C-organik N total P total K total
Satuan
EM4
% % % %
8,7 14,55 2,41 4,39 3,97
MOL tapai 1% 8,6 11,60 2,33 4,37 3,85
MOL tapai 5%
MOL tapai 10%
8,8 11,92 2,38 4,60 3,91
8,7 14,08 2,29 4,30 3,78
Lampiran 2. Sidik Ragam Produksi Bobot Akhir Kompos SK Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 0,278 0,053 0,082
KT 0,0093 0,0068
F 1,38tn
P 0,317
F 6,24*
P 0,017
Keterangan tn: Hasil menunjukkan tidak nyata (P>0.05)
Lampiran 3. Sidik Ragam Kandungan Karbon (C) Organik SK Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 19,988 8,537 28,524
KT 6,663 1,067
Keterangan*: Hasil menunjukkan nyata (P<0.05)
Lampiran 4. Uji Tukey Kandungan Karbon (C) Organik Perlakuan EM4 MOL Tapai 1% MOL Tapai 5% MOL tapai 10%
Rataan 14,55 11,60 11,92 14,80
Wilayah Tukey A B AB AB
Lampiran 5. Sidik Ragam Kandungan Nitrogen (N) total SK Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 0,024 0,087 0,111
KT 0,008 0,010
F 0,75tn
P 0,550
Keterangan tn: Hasil menunjukkan tidak nyata (P>0.05)\
42
Lampiran 6. Sidik Ragam Rasio C/N SK Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 3,641 0,626 4,267
KT 1,214 0,078
F 15.52**
P 0,001
Keterangan**: Hasil menunjukkan sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 7. Uji Tukey Rasio C/N Perlakuan EM4 MOL Tapai 1% MOL Tapai 5% MOL tapai 10%
Rataan 6,03 4,96 5,02 6,14
Wilayah Tukey A B B A
Lampiran 8. Sidik Ragam Kandungan Fospor (P) total SK Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 0,160 0,167 0,327
KT 0,053 0,021
F 2,55 tn
P 0,128
KT 0,020 0,011
F 1,84
P 0,217
Keterangan tn: Hasil menunjukkan tidak nyata (P>0.05)
Lampiran 9. Sidik Ragam Kalium (K) Total SK Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 0,060 0,088 0,149
Keterangan tn: Hasil menunjukkan tidak nyata (P>0.05)
Lampiran 10. Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 7 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total Keterangan**,tn:
db 2 3 6 36 47
JK 11,476 3,577 3,206 26,140 44,400
KT 5,738 1,192 0,534 0,726
F 7,90** 1,64tn 0,74tn
P 0,001 0,197 0,624
Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
43
Lampiran 11. Uji Tukey Tinggi Tanaman Kangkung 7 HST untuk Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 9,08 8,80 7,93
Wilayah Tukey A A B
Lampiran 12. Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 14 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 180,942 6,340 4,075 124,405 315.762
KT 90,471 2,113 0,679 3,456
F 26,18** 0,61tn 0,20tn
P 0.000 0,612 0,975
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 13. Uji Tukey Tinggi Tanaman Kangkung 14 HST untuk Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 19,34 17,80 14,67
Wilayah Tukey A A B
Lampiran 14. Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 21 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 213,84 102.42 57,40 662,07 1035,73
KT 106,921 34,139 9,567 18,391
F **
5,81 1,86tn 0,52tn
P 0,006 0,154 0,789
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 15. Uji Tukey Tinggi Tanaman Kangkung 21 HST untuk Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 33,88 32,40 28,85
Wilayah Tukey A AB B
44
Lampiran 16. Sidik Ragam Tinggi Tanaman Kangkung 28 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 183,2 1657,8 301,2 10300,3 12442,4
KT 91,598 552,585 50,195 286,118
F 0,32tn 1,93tn 0,18tn
P 0,728 0,1420 0,981
Keterangantn: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 17. Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 7 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 0,003 0,031 0,039 0,256 0,229
KT 0,001 0,010 0,006 0,004
F 0,30tn 2,40tn 1,50tn
P 0,743 0,083 0,206
Keterangantn: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 18. Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 14 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 3,159 1,160 0,945 7,828 13,092
KT 1,579 0,387 0,157 0,217
F 7,26** 1,78tn 0,72tn
P 0,002 0,169 0,633
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 19. Uji Tukey Jumlah daun Tanaman Kangkung pada 14 HST untuk Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 5,66 5,83 5,22
Wilayah Tukey A A B
45
Lampiran 20. Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 21 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total Keterangan*,tn:
db 2 3 6 36 47
JK 7,112 1,639 2,638 38,047 49,436
KT 3,555 0,546 0,440 1,057
F 3,36* 0,52tn 0,42tn
P 0,045 0,673 0,863
Faktor A menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 21. Uji Tukey Jumlah daun Tanaman Kangkung pada 21 HST untuk Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 10,06 10,16 9,29
Wilayah Tukey A A A
Lampiran 22. Sidik Ragam Jumlah Daun Tanaman Kangkung pada 28 HST SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 20,799 82,056 67,096 392,391 562,342
KT 10,340 27,352 11,183 10,900
F 0,95tn 2,51tn 1,03tn
P 0,395 0,074 0,424
Keterangantn: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 23. Sidik Ragam Bobot Basah Tajuk Tanaman Kangkung SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 347,355 71,936 33,865 446,424 899,580
KT 173,678 23,979 5,644 12,401
F 14,01** 1,93tn 0,46tn
P 0,000 0,142 0836
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
46
Lampiran 24. Uji Tukey Bobot Basah Tajuk Tanaman Kangkung Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 20,03 16,79 13,44
Wilayah Tukey A B C
Lampiran 25. Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk Tanaman Kangkung SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 102,941 9,793 58,004 149,341 320,119
KT 51,471 3,264 9,674 4,148
F 12,41** 0,79tn 2,33tn
P 0,000 0,509 0,053
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 26. Uji Tukey Bobot Kering Tajuk Tanaman Kangkung Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 7,54 6,71 4,10
Wilayah Tukey A A B
Lampiran 27. Sidik Ragam Bobot Basah Akar Tanaman Kangkung SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 12,479 1,640 2,812 11,302 28,233
KT 6,239 0,546 0,469 0,314
F 19,87** 1,74tn 1,49tn
P 0,000 0,176 0,208
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 28. Uji Tukey Bobot Basah Akar Tanaman Kangkung Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 2,12 2,32 1,15
Wilayah Tukey A A B
47
Lampiran 29. Sidik Ragam Bobot Kering Akar Tanaman Kangkung SK Faktor A Faktor B A*B Galat Total
db 2 3 6 36 47
JK 1,054 0,085 0,395 1,232 2,766
KT 0,527 0,028 0,066 0,034
F 15,40** 0,82tn 1,92tn
P 0,000 0,489 0,103
Keterangan**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0.01). Faktor B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05). Faktor A: dosis, faktor B: jenis pupuk, A*B : interaksi antara dosis dengan jenis pupuk
Lampiran 30. Uji Tukey Bobot Kering Akar Tanaman Kangkung Faktor A Faktor A 100 g 200 g 300 g
Rataan 0,75 0,75 0,44
Wilayah Tukey A A B
48
Lampiran 31. Standar Kualitas Kompos SNI 19-7030-2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Parameter Kadar air Temperatur Warna Bau Ukuran partikel Kemampuan ikat air pH Bahan asing Unsur makro Bahan organik Nitrogen Karbon Phospor (P2O5) C/N-rasio Kalium (K2O) Unsur mikro Arsen Kadmium (Cd) Kobal (Co) Kromium (Cr) Tembaga (Cu) Merkuri (Hg) Nikel (Ni) Timbal (Pb) Selenium (Se) Seng (Zn) Unsur lain Kalsium Magnesium (Mg) Besi (Fe) Aluminium (Al) Mangan (Mn) Bakteri Fecal Coli Salmonella sp.
Satuan % ºC
Minimum -
mm %
0,55 58 6,80 *
maksimum 50 suhu air tanah kehitaman berbau tanah 25 7,49 1,5
%
27 0,40 9,80 0,10 10 0,20
58 32 20 *
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
* * * * * * * * * *
13 3 34 210 100 0,8 62 150 2 500
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
* * * * *
25,50 0,60 2,00 2,20 0,10
% % % % %
MPN/g MPN/4g
1000 3
Keterangan: *Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
49