LAPORAN FARMAKOLOGI PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP

Download B. DASAR TEORI. Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pem...

4 downloads 1041 Views 212KB Size
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP ABSORBSI OBAT

Disusun Oleh:

Mudrika Yulianti E0014016 Tingkat IA

Laboratorium Farmakologi Program Studi S1 Farmasi

STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi 2015

PERCOBAAN I PENGARUH PEMBERIAN OBAT TERHADAP ABSORBSI OBAT

A. TUJUAN PRAKTIKUM Mahasiswa dapat mengenal,mempraktikan, membandingkan cara – cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.

B. DASAR TEORI Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Ganiswara, 2008) Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel ditubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih dulu larut dalam air). (Ganiswara, 2008). Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran atau biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping factor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. (Tanhoan dan Rahardja, 2002).

Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. (Katzug, 2001). Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbedabeda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intraarteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008). a. Jalur Enternal Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan

dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral. b. Jalur Parenteral Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal. Cara/bentuk sediaan parenteral antara lain : 1)

Intravena (IV) Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek. (Joenoes, 2002).

2) Intramuskular (IM) “Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi. (Joenoes, 2002). 3) Subkutan (SC) “Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan

hyaluronidase,

suatu

enzim

yang

memecah

mukopolisakarida dari matriks jaringan. (Joenoes, 2002). 4) Intratekal berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut. (Anonim, 1995).

Pada literature dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah intra peritonial, intra muscular, subkutan, peroral. Hal ini terjadi karena : a.

Intra peritonial mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah.

b.

Intra muscular mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga obat akan terhalang oleh lemak sebelum terabasorbsi.

c.

Subkutan mengandung lemak yang cukup banyak.

d.

Peroral disini obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat seperti protein plasma.

Dan durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan. Hal ini terjadi karena : a.

Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak factor penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.

b.

Intra peritonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.

c.

Intra muscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan lebih tahan lama.

d.

Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama disbanding intra muscular.

HUBUNGAN ANTARA HEWAN UJI DENGAN MANUSIA Peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan dibarengi dengan peningkatan kebutuhan akan hewanuji terutama mencit. Penggunaan mencit ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang relatif kecil, harganya relatif murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor, hewan iotu memiliki sistem sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak memiliki

kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Sehingga banyak digunakan untuk penelitian obat. (Marbawati et all, 2009). Perbedaan antara tikus dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan farmakologi maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan pada manusia sendiri. Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil percobaan farmakologi pada hewan coba dapat diekstrapolasikan pada manusia bila beberapa spesies hewan pengujian menunjukkan efek farmakologi yang sama. (Anonim, 2007) karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan yaitu: 1.

Hewan Liar

2.

Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka

3.

Hewan yang bebas kuman spesifik pathogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan system barrier ataut ertutup

4.

Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan system isolator. (Sulaksono, 1992). Semankin meningkat cara pemliharaan, semakin sempuran pula hasil

percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan dengan hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman. (Sulaksono, 1992). Mencit merupakan hewan yang sudah tidak asing lagi bagi manusia. Tetapi sebagian besar manusia bahkan dikalangan mahasiswa pun tidak menegetahui bagaimana cara memperlakukan mencit dengan benar. Oleh karena itu dilakukanlah suatu percobaan, yang dimana percobaan ini mengenai “bagaimana pemberian obat pada hewan” dalam hal ini hewan uji yang digunakan adalah mencit. Karena mencit merupakan tikus rumah yang mudah ditangani dan memiliki sifat penakut atau fotofobik, sedangkan tikus tidak bersifat fotofobik, lebih resisten terhadap infeksi, dan jika merasa tidak aman akan menjadi liar dan galak, kemudian tikus jika menggigit sangat dalam dan gigitannya sulit dilepaskan.

Dalam memilih hewan uji, sebelumnya kita harus mengetahui bagaimana cara memperlakukan mencit dengan benar, harus mengetahui sifat-sifat hewan yang akan diujikan, serta bagaimana cara memberikan obat kepada hewan tersebut. Pada praktikum kali ini, hewan yang akan dijadikan percobaan adalah mencit (Mus musculus), kita akan mempraktikkan bagaimana cara pemberian obat yang benar pada mencit dengan beberapa cara. Oleh karena itu, kita melakuakn percobaan ini agar kita dapat mengetahui bagaimana cara pemberian obat pada hewan uji dengan benar. Mayoritas mencit laboratorium adalah strain albino yang mempunyai bulu putih dan merah muda. Mencit merupakan hewan yang tidak mempunyai kelenjar keringat, jantung terdiri atas empat ruang dengan dinding atrium yang tipis dan dinding ventrikel yang lebih tebal. Percobaan dalam menangani hewan yang akan diuji cenderung memilki karakteristik yang berbeda.

C. ALAT DAN BAHAN 1.

Alat a) Spuit injeksi 1ml b) Keranjang c) Lap / serbet d) Handscoon e) Stop watch f)

2.

Baskom

Bahan a) Petidhine 50 mg/ml b) Alkohol

D. CARA KERJA Mencit − Dibagi tiap kelompok 8 mencit untuk 4 perlakuan − Dilakukan injeksi pethidin pada masingmasing perlakuan

IV

IM

IP

SC

− Dimasukan mencit − Dijepit kulit punggung − Dijepit kulit kedalam holder. − Dicelupkan ekornya dengan

− Disuntikan obat

mencit agar daerah

punggung mencit

perut terasa tegang.

agar daerah perut

alkohol pada

terasa tegang.

daerah leher /

− Diusapkan alkohol

alkohol.

− Dijepit kulit leher

pada pangkal paha.

− Diusapkan

− Diusapkan alkohol

− Disuntikan obat

tengkuk

pada daerah perut

− Disuntikan obat

dengan posisi

dengan posisi jarum

yang sejajar dengan

dengan posisi

jarum sejajar.

sejajar.

salah satu kaki.

jarum sejajar

− Disuntikan obat

dibawah kulit

− Dihitung onset dan − Dihitung onset dan

durasi waktu.

durasi waktu.

dengan posisi jarum sejajar agar tidak

leher. − Dihitung onset

mengenai organ

dan durasi waktu.

dalam. − Dihitung onset dan durasi waktu.

Hasil

Hasil

Hasil

Hasil

E. HASIL PRAKTIKUM Tabel 1. Hasil perhitungan onset dan durasi kelompok 2 Onset

Durasi

Mencit perlakuan

IV

IM

IP

SC

IV

IM

IP

SC

1

12

3

1

8

3

18

17

7

2

15

1

1

7

2

22

60

8

Rata- rata

13

2

1

7

2

20

38

7

X1

X2

X12

X22

IV

12

15

144

225

IM

3

1

9

1

IP

1

1

1

1

SC

8

7

64

49

TC

24

24

(∑X)2

48

NC JUMLAH KUADRAT

4

4

N

8

∑(X)2

494

PERHITUNGAN ANOVA 1) Tabel 2. Onset



218

Jumlah kuadrat perlakuan (SST) SST = ∑

=

=

(

)

+

+

− (

∑ )





(

)

276



=

= 228 – 228 =0 

Jumlah kuadrat kesalahan (SSE) SSE = ∑(

) −∑

= 494 – 228 =266

Keseragaman total (SS Total) SS Total = SST + SSE = 0 + 266 = 266 

Masukan dalam tabel ANOVA Sumber keseragaman Antar perlakuan

Jumlah kuadrat SST = 0

Kesalahan (dalam SSE = 266 perlakuan)

SS Total

DK1 = K–1 = 2–1 =1

Kuadrat tengah (1)/(2) MSTR = SST/ Dk1 = 0/1 =0

DK2 = N–K = 8–2 =6

MSE = SSE/ Dk2 = 266/ 6 = 44,33

Derajat bebas

266

=

=0



F hitung =



F tabel pada α = 0,05 dk1= 1 dan dk2 = 6 adalah 5,987



F tabel = 5, 987



F hitung ˂ f tabel

,

Kesimpulan : Ho diterima tidak ada perbedaan yang nyata antara rata- rata hitung dari berbagai cara pemberian obat.

2) Tabel 3. Durasi



X1

X2

X12

X22

IV

3

2

9

4

IM

18

22

324

484

IP

17

60

289

3600

SC

7

8

49

64

TC

45

92

(∑X)2

137

NC JUMLAH KUADRAT

4

4

N

8

∑(X)2

4823

671

Jumlah kuadrat perlakuan (SST) SST = ∑

=

(

)



+

(

∑ )



(

)

= [506,25 + 2116] − 2346,12

= 2622,25 – 2346, 12 = 276,13 

Jumlah kuadrat kesalahan (SSE) SSE = ∑(

) −∑

= 4823 – 2622,25 = 2200,75

4152



Keseragaman total (SS Total) SS Total = SST + SSE = 276,13 + 2200,75 = 2476,88



Masukan dalam tabel ANOVA Sumber keragaman Antar perlakuan

Kesalahan (dalam peerlakuan) SS Total

Jumlah derajat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

SST = 276,13

DK1 = K–1 = 2–1 =1

MSTR = SST/ Dk1 = 276,13/1 = 276,13

SSE = 2200,75

DK2 = N–K = 8–2 =6

MSE = SSE/ Dk2 = 2200,75/6 = 366,79

2476,88

=

,



F hitung =



F tabel pada α = 0,05 dk1= 1 dan dk2 = 6 adalah 5,987



F tabel = 5, 987



F hitung ˂ F tabel

,

= 0,752

Kesimpulan : Ho diterima tidak ada perbedaan yang nyata antara rata- rata hitung dari berbagai cara pemberian obat.

F. PEMBAHASAN Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Ganiswara, 2008). Faktor – faktor absorbsi obat dalam tubuh antara lain: a.

Kelarutan obat

b.

Kemampuan difusi melewati sel membran

c.

Konsentrasi obat

d.

Sirkulasi pada letak absorbsi

e.

Luas permukaan kontak obat

f.

Bentuk sediaan obat

g.

Rute pemberian obat

Praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Tujuan dari praktikum ini adalah membandingkan cara pemberian cara – cara pemberian obat tehadap terhadap kecepatan absorbsi. Metode yang dipakai untuk mengetahui pengaruh absorbsi obat yang diberikan pada mencit yaitu intravena, intra muscular, intra peritoneal dan subcutan. Masing–masing cara pemberian memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa obat mungkin efektif jika diberikan dengan cara tertentu namun kurang efektif dengan cara lain. Perbedaan ini akan berefek pada kecepatan absorbsi yang berpengaruh pada efektifitas obat. Ada 2 mencit yang digunakan untuk masing – masing perlakuan. Injeksi intravena diberikan pada ekor mencit dilakukan dengan cara memasukan hewan uji kedalam holder /sangkar. Hal ini dilakukan agar lebih mudah pada saat dilakukan injeksi. Selanjutnya usapkan ekornya dengan alkohol

agar vena mengalami dilatasi. Pegang ekor dengan kuat pada posisi vena berada dipermukaan sebelah atas, selanjutnya tusukan jarum sejajar dengan vena. Waktu onset yang diperoleh adalah 12-15 menit sedangkan efek durasinya hanya sekitar 2-3 menit. Injeksi intra muscular diberikan pada daerah paha. Dilakukan dengan cara memegang hewan uji dengan cara kulit punggung dijepit sehingga daerah perut terasa tegang. Usapkan daerah paha posterior dengan kapas beralkohol. Suntikan obat pada daerah paha tersebut. Onset yang dihasilkan 1-3 menit sedangkan durasinya sekitar 18-22 menit. Injeksi intra peritoneal diberikan pada daerah perut mencit, dilakukan dengan memegang hewan uji dengan cara kulit punggung dijepit sehingga daerah perut terasa tegang. Basahi daerah perut dengan kapas beralkohol kemudian tusukan jarum suntik sejajar dengan salah satu kaki hewan pada daerah perut kurang lebih 1 cm diatas kelamin. Penyuntikan dilakukan dengan sangat hati-hati karena kulit mencit sangat tipis dan tidak sampai mengenai organ dalam mencit. Waktu onset yang diperoleh sekitar 1 menit sedangkan durasinya sekitar 17 menit sampai 1 jam. Injeksi subcutan adalah injeksi yang diberikan dibawah kulit yaitu daerah leher mencit. Dilakukan dengan cara menarik kulit leher kemudian suntikan jarum dibawah kulit leher mencit dengan posisi jarum sejajar. Waktu onset yang diperoleh adalah 7-8 menit dan durasinya pun sekitar 7-8 menit Dari hasil pengamatan kelompok-kelompok, diperoleh onset dan durasi yang berbeda. Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Bedasarkan literatur dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah IV-IP-IM-SC. Sedangkan dari pengamatan data kelompok II, urutan kecepatan waktu onset adalah IP-IM-SC-IV. Kesalah terjadi pada injeksi intravena yang seharusnya memiliki waktu tercepat karena langsung kepembuluh darah. Durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Menurut literatur durasi tercepat adalah IV-IP-IM-SC. Sedangkan hasil

pengamatan data kelompok 2 adalah IV-SC-IM-IP. Obat yang masuk kepembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebh cepat karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat. Beberapa faktor yang menyebabkan kesalahan tersebut diantaranya kesalahan saat melakukan pemberian obat pada mencit, kekuranagn / kelebihan dosis obat, dan kondisi mencit yang stres karena tidak mendapatkan perlakukan yang baik sebelum dilakukan injeksi.

G. KESIMPULAN Bedasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa: 1.

Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.

2.

Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Waktu onset paling cepat adalah intra vena, intra peritoneal, intra muscular, subcutan dan peroral.

3.

Durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang Waktu durasi paling cepat adalah peroral, intra vena, intra peritoneal, intra muscular, subcutan.

4.

Secara umum berbagai cara pemberian (i.m, i.v, i.p, s.c) pada hasil percobaan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 95% (p < 0,05).

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, Sulistia G (Ed). 2008. Farmakologi dan Terapi. Edisi Revisi V. Balai Penerbit Falkultas. Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3. Airlangga University Press. Surabaya. Katzung, Bertram. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika. Jakarta Marbawati , Dewi dan Bina Ikawati . Kolonisasi Mus musculus albino. Di Laboratorium loka Litbang P2B2 Banjarnegara. Balaba Vol. 5, No.01 Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar Edisi II. Leskonfi. Depok Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal . Airlangga University Press. Surabaya. Sulaksono, M.E. 1987. Peranan Pengelolaan dan pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta Tim Penyusun. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi FKUI. Jakarta. Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia. Jakarta.