PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
HELDA IBRAHIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Helda Ibrahim I361090011
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN HELDA IBRAHIM, Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SITI AMANAH, PANG S. ASNGARI dan NINUK PURNANINGSIH. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pengrajin ekonomi kreatif adalah orang yang bekerja dibidang kegiatan pembuatan kerajinan sutera yang mengubah barang dasar jadi atau setengah jadi dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup untuk meningkatkan pendapatannya. Pemberdayaan memberikan setiap orang kesempatan untuk mendapat dan menerima ketrampilan dan tanggung jawab tambahan. Sejumlah pembinaan dan pengembangan diperlukan ketika seseorang berharap ingin menguasai ketrampilan tertentu. Proses pemberdayaan tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap, namun memerlukan proses yang cukup menyita waktu, hal ini karena kemampuan dan motivasi setiap orang berbeda. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu daerah yang mengembangkan usaha ekonomi kreatif. Penelitian ini dilakukan terhadap semua pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif. Alasan dipilihnya pengrajin ekonomi kreatif untuk daerah Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba adalah (1) memiliki perkembangan produk, (2) menyerap tenaga kerja, dan (3) menghasilkan produk dari seluruh usaha ekonomi kreatif yang bercirikan etnis Bugis dan etnis Makassar. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku kewirausahaan pengrajin sutera sebagai pelaku utama ekonomi kreatif dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1) Memetakan tingkat kemampuan pengrajin ekonomi kreatif dalam menjamin keberlanjutan usaha berdasarkan pada dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan serta perilaku usaha ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan; dan (2) Menganalisis faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan; (3) Mendesain model pemberdayaan usaha pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei, studi literatur dan wawancara. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metoder survei yang dilaksanakan dengan pengamatan dan pengukuran lapangan dan wawancara mendalam (indept interview) serta Fokus Group Diskusi (FGD). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi laporan dari berbagai instansi terkait. Metode pengumpulan data untuk menyusun kerangka keberlanjutan dan penilaian keberlanjutan menggunakan metode multidimensional scalling (MDS) dalam software Rap-UEK hasil modifikasi Rapfish. Untuk faktor penentu keberlanjutan menggunakan analisis prospektif. Hasil penelitian menunjukkan kerangka keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap keberadaan dan keberlanjutan usaha terutama dalam menghadapi perkembangan ekonomi, sosial,
lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan. Kerangka umum keberlanjutan usaha ekonomi kreatif dalam penelitian ini dibangun berdasarkan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan. Simulasi Rap-UEK untuk mengetahui nilai keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan nilai kurang berkelanjutan (48,97 %). Berdasarkan analisis faktor pengungkit dalam Rap-UEK terdapat faktor-faktor pengungkit yang perlu diperhatikan berdasarkan hasil analisis leverage pada Dimensi Ekonomi: (1) penjualan pada satu tempat, (2) kurang melakukan pengembangan produk, dan (3) kurang melakukan promosi produk UEK. Pada Dimensi Sosial tampak bahwa UEK (1) Merupakan usaha turun temurun, (2) Kurangya sosialisasi dari pemerintah, (3) Terbatasnya pelatihan dari pemerintah, dan (4) Kurangnya pelatihan dari organisasi. Pada Dimensi Lingkungan: (1) Pengetahuan tentang dampak pewarnaan, (2) Dampak penyediaan bahan baku, (3) Kurangnya pelatihan tentang lingkungan, dan (4) Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan. Dimensi Kelembagaan yakni : (1) Penentuan harga di lembaga, (2) Membenahi mekanisme tata pengaturan atau aturan main di lembaga sosial, dan (3) Hubungan secara vertikal. Pada Dimensi Perilaku Kewirausahaan UEK: (1) pemahaman cara menjalankan peluang UEK, (2) pemahaman cara membuat corak sutera terbaru, dan (3) identifikasi secara teliti UEK. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa dari 17 atribut yang memberikan pengaruh pada keberlanjutan usaha diperoleh 10 faktor kunci yaitu : sumber permodalan, penjualan pada satu tempat, telepon rumah, peningkatan produk Usaha Ekonomi Kreatif, pengembangan produk, aturan main di lembaga, penentuan harga di lembaga, pelatihan oleh pemerintah, sosialisasi oleh pemerintah dan hubungan vertikal. Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pemangku kebijakan diperoleh lima faktor kunci yang menjadi strategi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif adalah: lapangan usaha, peningkatan ekspor, penyerapan tenaga kerja, kordinasi dengan instansi lain, dan peningkatan produk UEK. Deskripsi keadaan dari masing-masing faktor dominan berdasarkan hasil analisis gabungan antara analisis keberlanjutan (pengaruh antar faktor) dan analisis kebutuhan (perubahan yang diinginkan) diperoleh enam faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yaitu: penjualan pada satu tempat, koordinasi intansi, sumber permodalan, peningkatan produk usaha Ekonomi Kreatif, lapangan usaha, pengembangan produk. Strategi dan model pemberdayaan yang dilakukan pada pengrajin ekonomi kreatif adalah meningkatkan keberdayaan melalui faktor yang dominan yaitu penjualan pada satu tempat, kordinasi dengan instansi pemerintah, sumber permodalan, peningkatan produk UEK dan pengembangan produk serta perluasan usaha sedangkan faktor penentu keberlanjutan usaha melakukan perbaikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan serta perilaku kewirausahaan. Model pemberdayaan dapat memberikan penguatan mekanisme dalam lembaga organisasi pengrajin ekonomi kreatif yang didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah (lembaga keuangan) perusahaan, perguruan tinggi, LSM, lembaga penelitian dan koperasi. Kata kunci : Pemberdayaan, pengrajin ekonomi kreatif, kerajinan sutera
SUMMARY HELDA IBRAHIM, The Empowerment of Creative Economy Craftsmen of Silk Handicraft in Villages in South Sulawesi Province. Counselors: SITI AMANAH, PANG S. ASNGARI and NINUK PURNANINGSIH Community empowerment is an effort to improve standard and status of a community stratum that currently within the poverty and backwardness. Creative economy craftsman (silk) is a person who work in the making of silk handicraft by changing the raw material or unfinished goods into valuable goods to fulfil their needs and increase their income. Empowerment is beneficial for the development and utilization of talent and skill of every individual. Many works are designed and built by a group or organization hoping that members of the group or organization can utilize the situation to improve their performance. However, only small proportion of their ability that leads to desperateness. Empowerment can overcome traditional obstacles by supporting economy creative craftsmen who face different situation from the past; therefore, allow them to have improvement in relation to their attitude in livelihood. Empowerment gives opportunity to everyone to obtain and receive additional skills and responsibilities. Empowerment process needs time because a different skill and motivation. Therefore, integrative study is needed to gain information about things that underlie the empowerment of creative economy craftsmen. The research is conducted in Wajo and Bulukumba Regencies in South Sulawesi Province, which is area of creative economy business development. The research is conducted to all creative economy craftsmen as the prominent actor of creative economy. Reasons in selecting Wajo and Bulukumba Regencies as the research location are: (1) the areas have product development, (2) they absorb employment, (3) they produce product from all creative economy business with characteristic of Bugis and Makassar ethics. In general, the research aims to analyze entrepreneurship behavior of silk craftsmen as the prominent actor of creative economy in increasing their income and prosperity. In specific, the research aims to: (1) map the ability level of creative economy craftsmen in securing their business sustainability based on economic, social, environmental and institutional dimensions and the behavior of creative economy business in South Sulawesi Province; (2) analyze the determinant factors of business sustainability of creative economy craftsmen as the prominent actors of creative economy in South Sulawesi Province; and (3) design an empowerment model of creative economy craftsmen as the prominent actor of creative economy in South Sulawesi Province. The research is conducted using survey method, literature study and interview. Field survey is conducted to collect primary and secondary data. Survey method is used to collect primary data using field observation and measurement, in-depth interview and FGD. Secondary data is obtained from report documentation of various related institutions. Data collection method used to formulate sustainability frame and sustainability assessment is multidimensional scaling (MDS) method in Rapfish-modified Rap UEK software. In term of the determinant factors of sustainability, prospective analysis is used. Research results show that sustainability frame of creative economy craftsmen business is needed in order to evaluate the business sustainability
especially in facing social, economic, environmental and institutional developments and entrepreneurship behavior. General frame of the sustainability of creative economy business in this research is built based on economic, social, environmental and institutional dimensions and entrepreneurship behavior. Rap-UEK simulation to find out about the sustainability grade of creative economy craftsmen business in South Sulawesi Province shows less sustainability value of 48.97%. Based on leverage factors analysis in Rap-UEK there are leverage factors high light according to leverage analysis result. In economic dimension, the leverage factors are: (1) one place sale, (2) less product development, and (3) less promotion on UEK product. In social dimension, it is showed that UEK (1) is a hereditary business, (2) received less socialization from the government, (3) limited training from the government and (4) less training from the organization. In environmental dimensions, the factors are: (1) knowledge on the impact of coloration, (2) the impact of raw material supply, (3) less training on environment, and (4) less knowledge on environmental preservation. In term of institutional dimension the leverage factors are: (1) pricing within the institution, (2) ordering the mechanism of regulation or rule of the game in social institutions, and (3) vertical relationship. Whereas, for entrepreneurship behavior dimension the leverage factors are: (1) understanding on how to utilize opportunity of UEK, (2) understanding on how to make new silk motif, and (3) identifying UEK thoroughly. Prospective analysis result shows that from 17 attributes influencing business sustainability, there are 10 key factors: capital sources, one place sale, home telephone, product of creative economy business, product development, rule of the game in the institutions, pricing within the institutions, governmental training, governmental socialization, and vertical relationship. Based on result of identification on the need of policy maker, there are five key factors that can be used as strategy for business sustainability of creative economy craftsmen, which are business field, increase in export, employment absorption, coordination with other institutions and increase in product. Description on each dominant factor based on composite analysis between sustainability analysis (influence among factors) and need analysis (the desired change) is as follow: there are six determinant factors of business sustainability of creative economy craftsmen, which are one place sale, institutional coordination, capital sources, increase in creative economy business product, business field, and product development. The empowerment strategy and model conducted on economy creative craftsmen is improving the sustainability through the dominant factors of one place sale, coordination with governmental institutions, capital sources, increase in UEK product, product development and business expansion and through the determinant factors of business sustainability by improvement on economic, social, environmental, and institutional dimensions and entrepreneurship behavior. Empowerment model can give reinforcement mechanism in organizational institution of creative economy craftsmen sustained by supporting elements of regional or local government, non-governmental organization (financial institutions), firms, higher education (universities), non-governmental organization, research organizations and cooperative. Keywords : The Empowerment, Creative Economy Craftsmen, Silk Handicraft
@Hak Cipta Milik IPB Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
HELDA IBRAHIM
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr. Dr. Ir. Suharno, M.Adev (Staf pengajar Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB ). 2. Dr Ir. Djuara P. Lubis, MS (Staf pengajar Fakultas Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB ). Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. A. Majdah Agus Arifin Numang, Msi. (Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Sulawesi Selatan). 2. Dr. Ir. Suharno, M.Adev (Staf pengajar Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB ).
Judul Disertasi
:
Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan
Nama
:
Helda Ibrahim
NIM
:
I361090011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc. Ketua
Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota
Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 18 Desember 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan segala rahmat dan karuniaNya memungkinkah penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah disertasi ini. Rangkaian tahapan penelitian ini yang berjudul “Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan.” Karya ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam lingkup Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Dengan selesainya penulisan karya ilmiah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Siti Amanah, MSc selaku ketua Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Pang S.Asngari dan Dr.Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi selaku anggota Komisi, serta Prof. Dr. Ir.Darwis S. Gani, MA (almarhum) yang telah banyak memberikan arahan dan masukan sejak pemilihan topik penelitian sampai pada tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, MSc dan Sekertaris program studi Ibu Dr.Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi yang banyak memberikan arahan dan saran selama penulis menjadi mahasiswa program doktoral pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Selanjutnya disampaikan terimakasih kepada Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar, Rektor Universitas Islam Makassar dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB melalui beasiswa BPPS. Kemudian, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemda Kabupaten Wajo dan Bulukumba serta responden pengrajin ekonomi kreatif, tim enumerator dan para narasumber yang telah bersedia memberikan informasi. Terkhusus kepada adik Ir. Irham, Ir. A. Kathy MP dan Ir. Fatma serta semua pihak yang telah banyak membantu pada saat survei dan pengumpulan data lapangan untuk pelaksanaan penelitian ini. Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari Ayahanda (almarhum) H. Ibrahim dan Ibunda Hj. IL Rahman, suami tercinta Dr. Ir. Ahmad Rifqi Asrib, MT dan putra putri penulis Ainun Nida Rifqi, Muhammad Luthfi Asrib, Ainun Rizqah Rifqi atas pengorbanannya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, khususnya untuk angkatan 2009 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap karyawan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama menempuh pendidikan S3 serta sahabat dan kerabat serta pihak-pihak yang telah mendukung penulis secara moral dan material. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritikan yang dapat memberikan perbaikan sangat diharapkan untuk menjadikan lebih baik dan berkualitas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi yang membutuhkannya. Bogor, Januari 2014 Penulis Helda Ibrahim
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 14 14 14
II. TINJAUAN PUSTAKA Ekonomi Kreatif Pemberdayaan Strategi Pemberdayaan Peranan Penyuluhan Perubahan Berencana Faktor Pendukung Usaha Ekonomi Kreatif Peran Pelaku Pemberdayaan Perilaku Kewirausahaan Kelembagaan Konsep Keberlanjutan Usaha Aspek Sosial Budaya Budaya dan Ekonomi Kreatif
17 17 29 33 35 35 36 38 41 42 45 48 54
III ASPEK SOSIAL BUDAYA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI KABUPATEN WAJO DAN BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN Pendahuluan 55 Metode Penelitian 56 Hasil 59 Pembahasan 59 Simpulan 74 IV. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan
75 77 83 83 95
V. FAKTOR PENENTU KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan
96 97 102 102 112
VI. STRATEGI PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan
113 114 118 118 145
VII. PEMBAHASAN UMUM
146
VIII. SIMPULAN DAN SARAN
150
DAFTAR PUSTAKA
152
LAMPIRAN
165
RIWAYAT HIDUP
201
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Posisi Model Penelitian Sampel Penelitian Gambaran lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan Profil Pengrajin Ekonomi Kreatif berdasarkan ciri-ciri demografi Kerangka Sampel Penelitian Kategori Status Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera berdasarkan indeks hasil análisis RAP-UEK Analisis Keberlanjutan nilai Stress dan R2 pada Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera Perbedaan analisis Keberlanjutan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Suteradengan análisis Monte Carlo Pedoman Penilaian analisis Prospektif Pengaruh langsung antar faktor Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh besar Variabel-variabel kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Hasil analisis skenario Uraian masing-masing skenario strategi pengrajin Ekonomi Kreatif secara berkelanjutan Perubahan kondisi faktor-faktor dominan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif secara berkelanjutan Skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif berkelanjutan Penerapan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif Perubahan skoring atribut pada skenario I Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario I Perubahan skoring atribut pada skenario II Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario II Perubahan skoring atribut pada skenario III Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario III Indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario I, II, III pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Rancangan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif Materi pokok penyuluhan pada dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif Materi penyuluhan tentang keberlanjutan usaha
12 16 60 70 79 81 91 92 100 101 108 117 118 119 119 120 121 123 124 125 126 127 128 129 134 138 139
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Alur berpikir proses penelitian pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian Peta Road Map penelitian Pergeseran Orientasi Ekonomi Dunia Barat Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Kreativitas Ekonomi Interelasi dari ke 5 lingkaran : hasil kreativitas + 4 modal Sistem Klasifikasi Industri Kreatif dari macam-macam model Klasifikasi Industri Kreatif menurut Unctad Pemegang Kepentingan Ekonomi Kreatif Elemen Pembangunan Berkelanjutan Indikator Keberlanjutan Kerangka Wuppertal Peta Provinsi Sulawesi Selatan Denah lokasi pengrajin ekonomi kreatif di Desa Darubiah Corak kain sutera khas Bugis Corak kain sutera khas Makassar Alur berpikir proses penelitian keberlanjutan ekonomi kreatif Prinsip analisis MDS menggunakan modifikasi software RAP-UEK Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pemberdayaan pelaku usaha ekonomi kreatif kerajinan sutera pada skala 0-100% Ilustrasi diagram laying-layang indeks keberlanjutan Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Ekonomi Hasil analisis leverage Dimensi Ekonomi Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Sosial Hasil analisis leverage Dimensi Sosial Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Lingkungan Hasil analisis leverage Dimensi Lingkungan Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Kelembagaan Hasil analisis leverage Dimensi Kelembagaan Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Perilaku Kewirausahaan Hasil analisis leverage dimensi Perilaku kewirausahaan Gabungan penilaian analisis keberlanjutan Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Ekonomi Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Sosial Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Lingkungan Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Kelembagaan Hasil Analisis Monte Carlo pada Perilaku Kewirausahaan Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian Penentuan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan análisis keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif
8 10 13 17 20 23 24 26 27 28 46 47 59 62 64 64 78 81 82 82 83 84 85 86 87 88 88 89 90 91 92 93 93 94 94 95 98 101 105
40 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan Análisis kebutuhan stakeholders 41 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan análisis gabungan keberlanjutan dan kebutuhan stakeholders 42 Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian 43 Skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan 44 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I 45 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II 46 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III 47 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan 48 Bagan interaksi antar atribut dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif 49 Model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di perdesaan
107 109 116 122 124 126 128 129 130 133
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Investasi menurut Jumlah Sentra Industri Kecil di Kabupaten Wajo Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Inverstasi menurut Jenis Sentra Industri Kecil di Kabupaten Bulukumba Peta administrasi Kabupaten Wajo Peta administrasi Kabupaten Bulukumba Peta Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba Peta Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo Peta Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Peta Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo Peta Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Kelurahan Mattirotappareng Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Attakae
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Pakkana dan UjungE Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Tosora Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Sompe Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Kelurahan Bira Jumlah penduduk di Kabupaten Wajo Jumlah penduduk di Kabupaten Bulukumba Proses Pembuatan Kain Sutera Indikator dimensi ekonomi Indikator dimensi sosial Indikator dimensi kelembagaan Indikator dimensi lingkungan Indikator dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Dimensi sosial dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Dimensi lingkungan dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Dimensi kelembagaan dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Dimensi perilaku ekonomi kreatif dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Kebutuhan stakeholders sebagai pelaku industri sutera Sekilas pandang pengrajin ekonomi kreatif dari Desa Bira Sekilas wajah pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo Foto lokasi penelitian di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba Lokasi penanaman daun murbei
165 165 166 166 167 167 167 168 168 168 169 169 169 170 170 171 171 172 175 176 176 176 177 178 181 182 183 184 185 186 188 189 190
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Ulat sutera telah menjadi kokon Perangkapan benang Pewarnaan Sutera Melakukan Tous Benang Sutera Persiapan menenun pengrajin ekonomi kreatif Pembuatan Corak pada Sutera Alat ATBM yang digunakan Pengrajin Ekonomi Kreatif Benang yang digunakan sebagai pengganti benang sutera Hasil Tenun Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera yang di pasarkan oleh pengusaha Kerajinan Sutera batik yang mulai diproduksi Foto bersama Tokoh masyarakat, Penyuluh Lapangan dan Pengusaha Pemasaran Kerajinan Sutera di Provinsi Sulawesi Selatan
190 191 192 193 193 194 195 195 196 197 198 199 200
I PENDAHULUAN Latar Belakang Penduduk Indonesia yang berjumlah 243 juta jiwa, sekitar 30% hidup di perdesaan dan 11,66% (sekitar 28,59 juta orang) hidup dalam kondisi miskin (Bank Dunia, 2012). Upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang berarti upaya penurunan kemiskinan di tahun 1970-an belum maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu mulai dari pangan, kesehatan, pendidikan sampai kepada usaha ekonomi kreatif yang terus menerus diupayakan penanganannya oleh seluruh pihak menyeluruh dan berkelanjutan yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat lokal setempat. Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (Tim Design Indonesia, 2008) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif. Namun demikian konsep tentang Ekonomi Kreatif, rupanya bukan konsep yang sama sekali baru. Secara tersirat dalam risalah klasiknya tahun 1911, melalui Theorie der Wirtschaftlichen Entwicklungen (Teori Pembangunan Ekonomi), Schumpeter mengusulkan sebuah teori tentang “creative destruction.” Teori ini menyatakan bahwa perusahaan baru dengan spirit kewirausahaan muncul dan menggantikan perusahaan lama yang kurang inovatif. Fenomena ini selanjutnya mengarahkan dinamika kehidupan dunia usaha ke tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Mungkin yang berbeda saat ini, konsep tentang ekonomi kreatif tampak lebih eksplisit yang menandai era baru peradaban dan terdefinisikan dengan baik, serta secara faktual ekonomi kreatif merupakan fenomena dan tren pilihan alternatif terutama dalam memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi global di era millenium ke tiga ini. Secara lebih lugas Howkins mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai kegiatan ekonomi yang input dan outputnya adalah gagasan atau dalam satu kalimat yang singkat, esensi dari kreativitas adalah gagasan. Agaknya baik konsep kewirausahaan maupun konsep ekonomi kreatif terdapat unsur benang merah yang sama, yakni terdapat konsep kreatif, ide atau gagasan serta konsep inovasi (Pangestu, 2008). 1
2
Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan tercermin pada sasaran pembangunan ekonomi yang semula berorientasi pada pertumbuhan ekonomi kerakyatan, kini mulai bergeser pada pertumbuhan ekonomi kreatif. Keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan ekonomi kreatif ditandai dengan keluarnya Inpres No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yang berisi instruksi Presiden kepada Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota yang intinya agar mendukung kebijakan pengembangan Ekonomi Kreatif tahun 2009-2015, utamanya dalam pengembangan kegiatan ekonomi yang mendasarkan pada kreativitas, ketrampilan daya kreasi dan daya cipta dengan menyusun serta melaksanakan rencana aksi mendukung suksesnya pengembangan ekonomi kreatif tersebut. Disamping itu, berdasarkan Perpres N0.92/2011 pada tanggal 21 Desember 2011, telah dibentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan visi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia dengan menggerakkan kepariwisataan dan ekonomi kreatif. Dukungan ini diharapkan untuk lebih berkembang ke arah pelaku Utama Ekonomi Kreatif, sehingga akan berpengaruh secara nyata terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Dalam usaha ekonomi kreatif terdapat pelaku utama ekonomi kreatif yang berbasis lokal dengan keanekaragaman budaya. Melalui hal tersebut, diharapkan pelaku utama ekonomi kreatif menghadapi tantangan globalisasi dengan tidak menghilangkan identitas budaya yang dimiliki. Dirlanuddin (2010) menemukan lemahnya petani menekuni usaha dan kurang mampu menjalin hubungan dari berbagai pihak pada pola usaha industri agro. Potensi usaha ekonomi kreatif sangatlah besar dalam meningkatkan kreativitas berbasis kearifan lokal, daya kreativitas yang tinggi dan sisi penjaminan produk dan pemasaran. Dengan adanya potensi yang ada memberikan peluang bagi pelaku utama ekonomi kreatif dalam memberikan kontribusi ekonomi yang nyata, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa, mengembangkan ekonomi berbasis kepada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, dan dapat memberikan dampak sosial yang positif. Pangsa pasar yang dijanjikan untuk usaha ekonomi kreatif ini masih terbuka sangat lebar, dan akan memiliki kecenderungan meningkat. Oleh karena itu diperlukan pola hubungan kemitraan, sebagaimana dikemukakan oleh Purnaningsih (2006) tentang kebutuhan bermitra yang diharapkan petani dapat dipenuhi melalui pola kemitraan meliputi kebutuhan pemasaran, pinjaman modal dan kebutuhan pembinaan. Guna mendukung program ekonomi kreatif yang berkelanjutan sangat dibutuhkan upaya-upaya pembinaan untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku pada individu, kelompok, komunitas ataupun masyarakat agar mereka tahu, mau dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya (Kuncoro (2008); Amanah (2007); Astuti et al. (2008); Murtadlo (2012) ). Kontribusi usaha ekonomi kreatif cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto yaitu rata-rata pada tahun 2002-2009 adalah sebesar 6,3% atau setara dengan 104,6 triliun rupiah (nilai konstan) dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal). Usaha ini telah mampu menyerap tenaga kerja rata-rata tahun 20022009 sebesar 5,4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8%. Tahun 2004 adalah
3
era keemasan bagi usaha ekonomi kreatif di Indonesia. Pada saat itu pertumbuhan mencapai 8,17%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional saat itu sebesar 5,03%. Rata-rata pertumbuhan usaha ekonomi kreatif tahun 2002-2009 sebesar 0,74% sehingga terjadi fluktuasi yang sangat tinggi. Pemilihan strategi kebijakan dalam mengembangkan ekonomi kreatif khususnya kerajinan sutera memberikan kontribusi yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yakni pada 2010 mencapai Rp 472,8 triliun dan mampu menyerap 11,49 juta tenaga kerja dan pada 2011 naik menjadi Rp 526 triliun dengan serapan 11,51 juta tenaga kerja. Tahun 2012 ditargetkan menjadi Rp 573,4 triliun dengan serapan 11,57 juta tenaga kerja (Pangestu, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini tumbuh dengan kuat dan berkembang jika didukung dengan kondisi usaha dan lingkungan usaha yang kondusif. Walaupun rata-rata pertumbuhan sektor usaha ekonomi kreatif tahun 2002-2009 hanyalah sebesar 0,74%, namun terdapat beberapa subsektor usaha ekonomi kreatif yang memiliki pertumbuhan usaha yang baik, yaitu : subsektor arsitektur, permainan interaktif, layanan komputer & piranti lunak, riset dan pengembangan, periklanan, kerajinan, desain serta musik (Tim Design Indonesia, 2008). Penelitian ini memfokuskan pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di perdesaan dengan melibatkan peran pelaku pemberdayaan dan kelembagaan yang ada di perdesaan. Salah satu upaya strategi dalam menjawab masalah ketidakberdayaan dan kemiskinan masyarakat adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat akan memungkinkan terjadinya peningkatan peran kemampuan masyarakat untuk menjangkau sumber daya disekitarnya. Peran masyarakat dapat terwujud melalui pemberdayaan yang disesuaikan dengan potensi lokal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dewasa ini harus diakui bahwa pengrajin ekonomi kreatif mengalami keterpurukan pada umumnya dikarenakan berbagai hal, termasuk di antaranya hasil produksinya semakin tersisihkan oleh produk-produk serupa yang dihasilkan secara massal, oleh pabrik-pabrik yang sudah menggunakan teknologi modern. Seiring dengan kondisi ini perubahan yang terjadi pada pengrajin sebagai pelaku utama ekonomi kreatif berlangsung sangat cepat. Peran pengrajin ekonomi kreatif menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh penyuluh maupun pelaku pemberdayaan masyarakat. Kepedulian penyuluh maupun pelaku pemberdayaan bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta dan Perguruan Tinggi dipandang sangat penting, terutama untuk membantu para pengrajin ekonomi kreatif yang mengalami kemunduran usahanya. Hasil penelitian Utami (2007) menunjukkan adanya hubungan dalam pemberdayaan usaha kecil industri kulit dengan perilaku kewirausahaan. Menurut Widjajanti (2011) dan Rifai (2013), bahwa peran pelaku pemberdayaan yakni membantu pelaku utama untuk mengorganisasikan diri, berdaya, berkembang, mampu menghasilkan produk daya saing, mandiri, bertanggung jawab dalam membantu komunitas, meningkatkan daya mereka sendiri sehingga semakin mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, lebih berdaya menolong dirinya sendiri, semakin berperan dalam memperkuat ketahanan sosial akan semakin mantap menjembatani pencapaian tujuan dengan berbagai kualitas pemberdayaan sesuai dengan sumber daya alam, budaya dan tipe
4
interaksi sosial. Oleh karena itu kompetensi peran pelaku pemberdayaan sangat diharapkan sebagai orang yang mampu berkomunikasi, memotivasi, memfasilitasi, memobilisasi, dan pengembangan jaringan kerja serta sebagai pelaku dalam mengembangkan kelembagaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan implementasi UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) yang mengamanatkan potensi sumberdaya Indonesia agar dapat dimanfaatkan bagi kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa dan negara secara berkelanjutan sehingga diperlukan adanya sumber daya manusia yang kompeten dan profesional. Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibukota Makassar, memiliki kedudukan sebagai pusat pelayanan dan pengembangan di kawasan timur Indonesia. Hal ini membuat Provinsi Sulawesi Selatan berusaha keras untuk mengelola berbagai potensi kreatif yang ada. Apalagi jika dikaitkan dengan kebesaran kota Makassar di masa lalu, maka kota ini merupakan salah satu kota besar di dunia dengan keterbukaan aksesnya terhadap daerah perdagangan internasional. Keunggulan komparatif yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan seperti letak geografis, potensi sumber daya alam, dan infrastruktur sosial ekonomi, tidak akan memberikan manfaat yang berarti tanpa dipertahankan dengan keunggulan kompetitif. Keberadaan keunggulan ini akan menjadi pondasi utama untuk membangun ekonomi kreatif Sulawesi Selatan yang berdaya saing tinggi. Keunggulan kompetitif yang harus dibangun adalah laju produksi dan perdagangan komoditas unggulan yang tinggi, ketahanan ekonomi kota yang kuat, iklim usaha dan investasi yang kondusif serta kesempatan kerja dan usaha yang tinggi. Sampai saat ini, subsektor ekonomi kreatif yang diperhatikan dan dikembangkan dengan baik oleh Provinsi Sulawesi Selatan salah satunya adalah subsektor kerajinan sutera. Perkembangan ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan masih dalam taraf pengembangan. Dukungan pemerintah masih diharapkan menjadi stimulus untuk pengembangan ekonomi kreatif. Salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah dengan penyiapan anggaran sebesar 33 miliar untuk tahun 2013. Anggaran ini dialokasikan untuk mendukung kegiatan ekonomi kreatif dengan 15 sektor pengembangan (Tim Design Indonesia, 2008) yakni jasa periklanan, arsitektur, seni rupa, kerajinan, desain, mode, film, musik, seni pertunjukkan, penerbitan, riset dan pengembangan, software, TV dan Radio, Mainan dan Video Game. Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sepanjang 2012 usaha ekonomi kreatif telah memberikan kontribusi 7,74 persen terhadap perekonomian di setiap daerah, terkhusus pada penyerapan tenaga kerja hingga menghasilkan komoditas ekspor. Salah satu kesulitan ekonomi kreatif untuk berkembang di daerah karena belum adanya badan yang khusus menangani sektor tersebut pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Padahal idealnya, pelaku utama kreatif diwadahi sektor kepariwisataan daerah baik tingkat kabupaten dan kota maupun provinsi, sehingga jika struktur organisasi sudah jelas maka para pelaku ekonomi kreatif akan semakin mudah untuk menikmati berbagai program serta mendapatkan kejelasan anggaran untuk pengembangannya. Program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bahwa sentra pengembangan industri kreatif di Indonesia adalah Jakarta, Yogyakarta, Bali, Bandung dan Sulsel yang diproyeksikan pada 2013 sudah mampu mengaplikasikan struktur organisasi ekonomi kreatif di lingkup
5
kepariwisataan. Kemenparekraf juga telah memetakan 33 provinsi di Indonesia terkait pengembangan industri kreatif dalam dua kategori yang dinilai dari segi kreativitas dan ciri khas ke wilayahannya. Kabupaten Wajo dan Bulukumba yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah pertenunan sutera yang paling banyak digeluti oleh pelaku utama ekonomi kreatif. Hal ini dilatar belakangi oleh produk kain sutera yang mempunyai nilai kegunaan yang dipadukan dengan nilai estetika budaya setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan profil tersendiri yang mencirikan produk kain sutera khas Wajo dari Kabupaten Wajo dan khas Bira dari Kabupaten Bulukumba. Salah satu alasan mengapa bahan sutera tumbuh dan berkembang di daerah ini mengingat peminat kain sutera bukan hanya di kalangan wanita tetapi kalangan pria pun gemar menggunakan bahan sutera. Terlebih pada setiap perhelatan acaraacara adat, baik acara pengantin maupun pesta adat lainnya masih didominasi oleh bahan sutera, sehingga tak heran jika permintaan pasar sangat tinggi meskipun harga bahan yang terbuat dari sutera cukup tinggi. Permasalahan lain yang dihadapi adalah perkembangan usaha ekonomi kreatif sangat dipengaruhi oleh perkembangan motif dan model dari sutera. Oleh karena permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas dan inovasi produk yang tinggi (Tim Brown, 2008). Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pelaku utama ekonomi kreatif memiliki variasi produk yang sangat monoton sehingga kadang timbul kejenuhan dari konsumen. Hal ini terkait pula dengan rendahnya kapasitas pelaku utama ekonomi kreatif dalam hal perencanaan, keberlanjutan usaha dan rendahnya keberpihakan lingkungan. Pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan usaha ekonomi kreatif adalah pendekatan individu dengan tujuan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan usaha melalui konsep pemberdayaan, kelembagaan dan usaha ekonomi kreatif. Untuk pengembangan keberlanjutan di masa akan datang diperlukan adanya suatu model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kemampuan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama sehingga mampu berkolaborasi dengan pendukung usaha lainnya dan mandiri serta berkelanjutan dengan kualitas sumber daya manusia yang dapat memperbaiki kesejahteraan rumah tangganya melalui usaha ekonomi kreatif. Masalah Penelitian Pemberdayaan berasal dari bahasa lnggris, empowerment. Power dapat diartikan sebagai kekuasaan (executive power), atau kekuatan (pushing power), atau daya (horse power). Dengan pemahaman mengenai hakekat power bahwa untuk memajukan secara nyata mereka yang tertinggal, yang berada di lapisan yang paling bawah dalam suatu kondisi ketimpangan, adalah dengan membangkitkan keberdayaan mereka, sehingga memiliki bagian dari power, yang memungkinkan memperbaiki kehidupan dengan kekuatan sendiri. lnilah konsep empowerment atau pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar.
6
Pemberdayaan memiliki tujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Keduanya harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program pemberian (charity), karena pada dasarnya suatu dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Oleh karena pemberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya akan menghasilkan emansipasi ekonomi dan politik masyarakat di lapisan bawah, tetapi akan menjadi wahana transformasi budaya. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya. Ia tidak lagi harus menyerah kepada nasib, bahwa kemiskinan adalah bukan takdir yang tidak dapat diatasi. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, disiplin, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok upaya pemberdayaan ini. Pemberdayaan masyarakat membuka pintu pada proses akulturasi, yaitu perpaduan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang menggambarkan jati diri. Nilai lama yang relevan dapat tetap dipertahankan, karena diyakini tidak perlu mengganggu proses modernisasi yang berlangsung dalam dirinya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu warga masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula pembaharuan institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya. Melalui proses budaya itu pula keberdayaan masyarakat akan diperkuat dan diperkaya, dan dengan demikian akan makin kuat pula aksesnya kepada sumber power. Melalui proses spiral itu, maka akan tercipta masyarakat yang berkeadilan, karena konstelasi kekuasaan sudah dibangun di atas landasan pemerataan (Kartasasmita, 1996). Menurut Nauman et al. (2009), pemberdayaan seringkali didefinisikan memberi orang kesempatan untuk membuat keputusan-keputusan dengan memperluas otonomi pengambilan keputusan. Nielsen dan Christian (2003) menjelaskan bahwa empowerment dapat sebagai penyebaran informasi, memberikan pengetahuan bagi seluruh elemen-elemen yang dibutuhkan sehingga penting memberi mereka keahlian dan informasi. Menurut Bird (1996), berbagai penelitian telah berhasil memetakan permasalahan industri kecil namun aspek perilaku usaha ekonomi kreatif belum mendapat perhatian khusus. Peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dengan ide, talenta, desain, inovatif, kreatif dan berdaya saing serta bermutu akan membawa pengrajin ekonomi kreatif ke usaha ekonomi kreatif yang berkelanjutan dalam meningkatkan pendapatan pengrajin ekonomi kreatif. Suatu komunitas yang memiliki aktivitas produktif dalam mengembangkan usahanya, akses permodalan merupakan salah satu syarat penting dalam aktivitas ekonomi. Lambannya perkembangan industri sutera disebabkan karena harga bahan baku yang relatif mahal dan tidak stabil serta sulitnya mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya
7
benang produksi lokal sehingga membutuhkan upaya dari pihak yang berkompeten untuk terus berupaya mengatasi hal tersebut. Permodalan dan akses informasi yang masih terbatas sehingga kondisi tersebut dapat diindikasikan menghambat keberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Fenomena lain adalah kekurang-akuratan pemerintah Kabupaten Wajo dan Bulukumba dalam mengindentifikasi dan menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin ekonomi kreatif. Berbagai permasalahan yang masih dijumpai yaitu belum adanya klasifikasi harga terhadap produk sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera yang dihasilkan, akses sumber permodalan disebabkan karena tingkat keyakinan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya untuk mendanai kegiatan usahanya masih rendah, belum berjalannya dengan baik kelembagaan yang menghimpun pelaku utama ekonomi kreatif, belum tertatanya dengan baik pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa sehingga sering menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, belum adanya upaya maksimal dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan desain yang mengakibatkan kerugian bagi pengrajin ekonomi kreatif yang berorientasi terhadap usaha ekonomi kreatif, serta variasi produk yang sangat monoton. Oleh karena sebagai pengrajin ekonomi kreatif dalam mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan hidupnya maka diharapkan mampu menuju proses penumbuhan daya cipta (kreativitas) yang lebih beragam dan pembinaan yang dapat diterapkan di segala sisi kehidupan. Melihat berbagai tantangan permasalahan yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa pemberdayaan memerlukan adanya dukungan pemerintah, lembaga pemberdayaan dan pihak swasta sehingga diharapkan dapat mendukung ciri khas kabupaten penghasil sutera khususnya untuk Kabupaten Wajo dan Bulukumba. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan penelitian ini adalah : (1) Mengapa sebagian pengrajin ekonomi kreatif, ada yang masih terkendala dalam menjaga keberlanjutan usaha ? (2) Faktor penentu apakah yang berperan dalam keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif ? (3) Bagaimana model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya pada Kabupaten Wajo dan Bulukumba ?
Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian Kerangka Berpikir Aplikasi kebijakan perekonomian yang bercorak kerakyatan dalam jangka pendek di fokuskan pada tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mengurangi kesenjangan yang terjadi antar daerah, meningkatkan kualitas hidup manusia yang tercermin dari terpenuhinya hak-hak sosial masyarakat, adanya peningkatan mutu lingkungan hidup dan terkelolanya sumber daya alam serta dukungan infrastruktur yang memadai. Upaya-upaya yang akan dilakukan untuk memberantas kemiskinan dapat lebih terfokus ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Ini dapat dilakukan dengan cara membantu masyarakat miskin yang memiliki usaha kecil dengan semangat berwirausaha
8
tinggi dengan mengupayakan bantuan permodalan baik modal secara fisik dan modal manusia dalam meningkatkan keterampilan maupun meningkatkan peran modal sosial. Penelitian ini berfokus kepada upaya penelaahan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama. Berdasarkan uraian-uraian di depan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif tersebut berkaitan dengan beberapa faktor, baik berupa kebijakan pemerintah, pendekatan pemberdayaan masyarakat dan persaingan globalisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengrajin ekonomi kreatif dan daya saing sehingga diperlukan suatu pelaku pemberdayaan agar dapat mencapai tujuan upaya pemberdayaan. Gambar 1 memperlihatkan kerangka berpikir penelitian ini. ` Kebijakan pemerintah Karakteristik Pengrajin ekonomi kreatif
Pendekatan pemberdayaan
Faktor pendukung langsung usaha pengrajin ekonomi kreatif
Faktor pendukung tidak langsung usaha pengrajin ekonomi kreatif
Pelaku pemberdayaan
Perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif
Keberlanjutan usaha ekonomi kreatif
Kelembagaan sosial
Daya Saing
Gambar 1 Alur berpikir proses penelitian pemberdayaan pengrajin melalui usaha ekonomi kreatif Pendekatan pemberdayaan memperlihatkan bahwa peningkatan kebutuhan sangat penting untuk mendorong kesejahteraan. Oleh karena itu dalam konteks perkembangan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif diartikan sebagai proses pembelajaran yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada pengrajin ekonomi kreatif agar memiliki kesadaran, kemampuan dan rasa percaya diri dalam menjalani kehidupannnya, mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan untuk bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan sosial sehingga mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang. Proses pemberdayaan yang dilalui diharapkan dapat berkembang lebih jauh dengan pola
9
pikir yang kritis dan sistematis sehingga pengrajin ekonomi kreatif lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan berfungsi serta mampu melakukan kegiatan pembangunan. Penelitian berupaya menemukan dan merumuskan model pemberdayaan yang memandirikan pengrajin ekonomi kreatif dalam berusaha dan meningkatkan kualitas pelaku utama di dalam melihat keberlanjutan usahanya. Pemberdayaan pengrajin melalui usaha ekonomi kreatif merupakan bagian dari kegiatan penyuluhan pembangunan. Hal ini dapat diungkapkan bahwa pokok-pokok pikiran di dalam menunjang penyuluhan pembangunan tidak lepas dari paradigma baru penyuluhan pembangunan. Slamet (2003) menyatakan bahwa penyuluhan adalah jasa pendidikan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Oleh karena itu agar dapat memenuhi pokok-pokok pikiran penyuluhan pembangunan pada : (1) Prinsip-prinsip orang dewasa; (2) Intervensi Komunitas Terencana; (3) Proses penyuluhan dilakukan secara partisipatif dengan keterlibatan klien dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan penilaian dapat memperhatikan prinsip lokalitas dan kemampuan sasaran; (4) Berorientasi pada kebutuhan; dan (5) Pendekatan pemberdayaan adalah satu tujuan dari penyuluhan pembangunan. Perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menilai kesempatan yang ada, baik itu mengumpulkan sumber daya untuk mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat untuk meraih kesuksesan yang diperoleh melalui tindakan dan motivasi tinggi di dalam mengejar tujuan hidupnya. Dalam beberapa kajian menemukan bahwa pelaku utama ekonomi kreatif mengacu pada definisi Bird (1996) dan Perry et al. (2003) yang menyatakan bahwa perilaku kewirausahaan pada pelaku utama ekonomi kecil merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin ekonomi kreatif ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan suatu usaha dengan ide, talenta, desain, inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing sehingga menunjang untuk memandirikan usaha ekonomi kreatif. Usaha ekonomi kreatif yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien serta mengalami peningkatan dari segi keuangan, pengembangan produk dan perluasan jejaring untuk menunjang dari keberlanjutan usaha. Young (2005) menyatakan bahwa masyarakat atau pengrajin ekonomi kreatif atau individu yang ingin usahanya berkelanjutan harus bersifat efektif dan efisien usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Masyarakat atau pengrajin ekonomi kreatif, pengusaha akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola resiko dan memanfaatkan inovasi serta manfaat yang didapatkan dari pengrajin ekonomi kreatif baik itu manfaat dari usahanya, sosial dan lingkungannya. Tekanan pasar terhadap produk yang bersifat inovatif menuntut adanya peningkatan eksperimen di kalangan pengusaha baik itu secara individu maupun pengrajin ekonomi kreatif. Hal ini sejalan dengan orientasi kegiatan penyuluhan tidak semata-mata pada peningkatan produktivitas saja akan tetapi pada perubahan perilaku klien, dengan adanya perubahan perilaku tersebut diharapkan klien dapat meningkatkan kesejahteraan melalui model pengrajin ekonomi kreatif, maka dari itu aspek model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif melalui usaha ekonomi kreatif
10
menjadi penting untuk dikaji. Untuk menjawab tujuan penelitian hubungan antar peubah secara keseluruhan diperlihatkan pada Gambar 2.
Karakteristik pengrajin ekonomi kreatif a. Umur b. Pendidikan formal c. Pendidikan non formal d. Tanggungankeluarga e. Pengalaman berusaha f. Tingkat kebutuhan g. Motivasi berusaha
Faktor pendukung langsung a. b. c. d. e. f. g. h.
Bahan baku Pasar Teknologi Proses Produksi Permodalan Pengembangan Produk Komunikasi Transportasi
Pelaku pemberdayaan a. Proses dan pendekatan b. Kompetensi pelaku pemberdayaan c. Peran pelaku pemberdayaan
Perilaku Kewirausahaan Ekonomi kreatif a. Inovatif b. Ide c. Desain d. Talenta e. Inisiatif f. Pengelolaan resiko g. Daya saing
Keberlanjutan usaha ekonomi kreatif a.dimensi ekonomi b dimensi sosial c.dimensi lingkungan d.dimensi kelembagaan e.dimensi Perilaku
Kelembagaan sosial Dukungan tak langsung a. b. c. d.
Keluarga Pemerintah daerah Intelektual Bisnis Bimbingan organisasi non pemerintah
a. b. c.
Pola hubungan Pranata Aturan main
Gambar 2 Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya maka dirumuskan hipotesis penelitian yakni keberlanjutan usaha ekonomi kreatif dipengaruhi oleh dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan serta perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitan Beberapa penelitian yang mendukung penelitian ini antara lain : Pelham (1999) di dalam penelitiannya menunjukkan bahwa industri kecil masih lemah dalam hal perencanaan, pemikiran model dan orientasi jangka panjang. Hal yang sama dikemukakan oleh Karsidi (1999) dengan menemukan permasalahan bahwa yang menghambat peningkatan kesejahteraan pengrajin adalah pola hidup mereka yang masih tradisional sehingga perencanaan dan pemikiran model belum terlihat pada pola pikir pengrajin.
11
Ismawan (2002) mengemukakan bahwa keterbatasan yang dijumpai pengrajin terdapat dalam hal manajemen, kelembagaan, lingkungan usaha dan keberlanjutan usaha. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Amanah dan Hamidah (2006) yang menyatakan bahwa hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal mempengaruhi perilaku nelayan. Yusnani (2005) menyatakan bahwa pendapatan pengusaha dan pendapatan pengrajin memiliki potensi yang bermakna terhadap peningkatan pendapatan. Penelitian Sidu (2006) menunjukkan bahwa proses pemberdayaan masyarakat masih sangat lemah terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemah/rendah. Proses pemberdayaan yang masih lemah tersebut terutama dalam hal keterlibatan warga masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi kualitas pemberdayaan yang belum optimal. Refina (2006) menunjukkan bahwa peningkatan pelaku pemberdayaan terhadap usaha dan pengembangan dapat melalui perekrutan dan pelatihan kader. Penelitian pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan pengrajin oleh Tampubolon (2006) menunjukkan bahwa dinamika kehidupan pengrajin dipengaruhi terutama oleh : (1) Faktor profil individu : (a) tingkat pendidikan, (b) modal awal yang dimiliki, (c) pelatihan yang diikuti, dan (d) motivasi (2) Faktor pola pemberdayaan yaitu (a) proses pelaku pemberdayaan, (b) bantuan yang diterima, dan (c) proses pembentukan pengrajin pada awalnya. (3) Faktor lingkungan sosial yaitu (a) norma dan nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat, (b) peluang atau ketersediaan pasar, (c) keterkaitan dan hubungan pengrajin ekonomi kreatif dengan tokoh formal dan informal dalam masyarakat, dan (d) jaringan kerjasama yang dibangun. Dinamika kehidupan pengrajin berpengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan pengrajin ekonomi kreatif yang meliputi keberhasilan dari aspek ekonomi dan aspek sosial. Menurut Marliany (2006), kelembagaan produksi dan pemasaran yang selama ini dilakukan oleh pengrajin anyaman belum memanfaatkan sumbersumber potensi yang dapat menunjang perkembangan usaha anyaman. Yuzar (2006) menyatakan bahwa model pengembangan agroindustri berdasarkan pada klaster unggulan dengan menggunakan Inti yang berdasarkan pada daerah dan kelembagaan yang ada dimasyarakat. Harijati (2007) mengemukakan akses pembelajaran melalui penyuluhan dan perlu dikuatkan dengan sifat kewirausahaan khususnya instrumental dan inovatif. Utami (2007) menyatakan model pemberdayaan yang efektif memberdayakan pengrajin adalah dengan meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usaha yang ditunjang oleh pemerintah daerah. Menurut Bustang et al. (2008), peran kelembagaan lokal masih belum optimal dijalankan khususnya pada organisasi masyarakat lokal maupun pemerintah lokal dalam hal partisipasi, daya tanggap dan transparansi. Tarigan (2008) mengemukakan bahwa untuk pengembangan industri sutera diperlukan prasyarat yakni komitmen semua pemangku kepentingan dan tercukupinya tenaga fasilitator didaerah. Utama (2009) menyatakan bahwa model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lebih efektif melalui pendekatan kelompok melalui daya dukung lingkungan dan potensi sumber daya.
12
Rini (2010) didalam penelitiannya menyatakan bahwa status keberlanjutan mencakup enam dimensi yakni kebijakan, teknologi, kelembagaan, sosial budaya, ekonomi dan lingkungan pada usaha alas kaki. Sadapotto (2010) menemukan bahwa penataan institusi persuteraan alam berimplikasi terhadap pengambilan keputusan, aturan dan program yang dibuat, serta kordinasi dari pemerintah. Menurut Dirlanuddin (2010), menemukan bahwa keberdayaan pengusaha kecil agro dipengaruhi secara langsung oleh faktor eksternal, gabungan kegiatan penyuluhan dan kebijakan usaha kecil serta oleh perilaku wirausaha. Bartin (2010) mengemukakan bahwa terdapat hubungan dan pengaruh baik eksternal dan internal terhadap kompetensi dan kinerja pamong belajar dalam pembinaan industri kecil. Novita (2012) menyatakan bahwa untuk pengembangan industri kecil dan menengah memerlukan peningkatan kapasitas mutu, dan efisensi pengolahan. Adapun posisi model penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Posisi Model Penelitian No
Penelitian
1 3 4 5
Karsidi (1999) Ismawan (2002) Yusnani (2005) Amanah dan Hamidah (2006) Sidu (2006) Refina (2006) Tampubolon (2006) Marliany (2006) Yuzar (2006) Harijati (2007) Utami (2007) Bustang et al. (2008) Tarigan (2008) Utama (2009) Rini (2010) Sadapotto (2010) Dirlanuddin (2010) Bartin(2010) Suwondo (2011) Novita (2012) Penelitian yang dilakukan
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 18 19 20 21
Aspek yang dikaji a b c d
Luaran Pengrajin pengrajin pengusaha Perilaku nelayan dalam wisata bahari Pelaku pemberdayaan Pelaku utama Pengrajin Pengrajin Industri Kecil Pelaku pemberdayaan Industri kecil Masyarakat lokal Pengrajin Masyarakat lokal Pengrajin Pengrajin Industry keci Industri kecil Sumberdaya lokal Industri kecil Pelaku utama ekonomi kreatif (pengrajin sutera)
Keterangan : (a) Model (b) kelembagaan (c) keberlanjutan (d) pemberdayaan
Konsep yang menjadi rujukan penelitian adalah pemberdayaan masyarakat khususnya pengrajin maupun industri kecil yang dapat melibatkan pelaku pemberdayaan dan kelembagaan sehingga usaha maupun pendapatan dapat
13
berkelanjutan. Kebaruan (novelty) penelitian dilihat dari segi kontribusi keilmuan penyuluhan yang berfokus pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di perdesaan melalui pendekatan sistem. Hasil-hasil penelitian yang dicapai dan posisi model penelitian dapat digambarkan dalam bentuk peta jalan (road map) pada Gambar 3. Kajian dan penelitian sebelumnya
Pemberdayaan dan pelaku pemberdayaan
Kelembagaan
Teknik sistem keberlanjutan
Yusnani, 2005 Amanah dan Hamidah, 2006 Sidu, 2006 Refina, 2006 Tampubolon, 2006 Harijati, 2007 Utami, 2007 Tarigan, 2008 Utama, 2009 Dirlanuddin, 2010 Bartin, 2010
Ismawan, 2002 Marliani, 2006 Bustang, 2008 Sadapotto, 2010
Posisi Model Penelitian
Kerangka berkelanjutan Ekonomi, ekologi, etika, sosial, teknologi (Pitcher dan Prelkshot, 2001) Ekonomi, Ekologi, sosial, kelembagaan (Adams dan Ghali, 2007) MDS dan Analisis Prospektif Kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan, indikator, kegiatan, pelaku (Machfud, 2001) Kendala (Yasar dan Neezan, 2007) Kendala dan tujuan (Indrawanto, 2009)
Strategis
Pelham, 1999 Karsidi, 1999 Yuzar, 2006 Tarigan, 2008
Gambar 3 Peta Road Map Penelitian
Konsep dan aplikasi Ekonomi Kreatif, Howkins, Daniel dan Friedman (Tim Design
Indonesia, 2008)
Kerangka dan penilaian berkelanjutan
Teknik kuantitatif penentuan indikator berkelanjutan Model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
14
Hasil penelitian ini dibutuhkan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku utama ekonomi kreatif yang mampu memberdayakan pengrajin, dapat berkelanjutan dan model pengembangan pelaku utama ekonomi kreatif. Konsep ini dapat dilakukan dengan melibatkan pelaku pemberdayaan dan kelembagaan serta perilaku pengrajin di dalam melakukan perubahan perilaku dari yang tradisional ke perilaku usaha ekonomi kreatif. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku kewirausahaan pengrajin sebagai pelaku utama ekonomi kreatif dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1)
(2) (3)
Menganalisis keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif berdasarkan pada dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan serta perilaku usaha ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan. Menganalisis faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan. Mendesain model pemberdayaan usaha pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif adalah sebagai bahan masukan dalam merumuskan model pemberdayaan pengrajin sebagai pelaku utama ekonomi kreatif yang didasarkan pada analisis empirik dan teoritik. Secara khusus kegunaan penelitian ini meliputi : (1)
(2)
Upaya pencarian kebenaran ilmiah tentang berbagai faktor yang berhubungan dengan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber informasi bagi pihak yang berminat dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif ke arah yang lebih baik. Upaya penanggulangan penggangguran di perdesaan melalui pemberdayaan pelaku utama ekonomi kreatif. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu daerah yang mengembangkan usaha ekonomi kreatif. Salah satu komoditas usaha yang cukup terkenal dan mengharumkan nama Kabupaten Wajo adalah kerajinan sutera. Kerajinan sutera telah dikembangkan sebanyak 6.787 unit usaha, yang dapat menyerap tenaga kerja sekitar 19.544 orang. Untuk Kabupaten Bulukumba usaha pertenunan yang telah dikembangkan 2.412 usaha dengan tenaga kerja yang berjumlah 1.044 orang (Pemda Makassar, 2012).
15
Di Provinsi Sulawesi Selatan ada lima kabupaten yang ikut mengembangkan usaha ekonomi kreatif yaitu (1) Kabupaten Wajo, (2) Kabupaten Bulukumba, (3) Kabupaten Bone, (4) Tana Toraja, dan (5) Kota Makassar. Penentuan daerah penelitian didasarkan pada pertimbangan antara lain tingkat aksesibilitas pengrajin ekonomi kreatif yang mengembangkan ekonomi kreatif relatif banyak, tipologis geografis dan lingkungan serta keragaman mata pencaharian yang diasumsikan membentuk suatu pola interaksi sosial dalam kelembagaan serta pengrajin ekonomi kreatif yang memiliki keragaman untuk mengembangkan usaha ekonomi kreatif. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka daerah penelitian merupakan representasi dari keseluruhan keragaman pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Metode yang dilakukan adalah menggunakan metode survei, studi literatur dan wawancara. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder yang diperkuat oleh pendapat pakar atau ahli dibidangnya. Penelitian ini dilakukan terhadap semua pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif. Alasan dipilihnya pengrajin ekonomi kreatif untuk daerah Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba adalah (1) memiliki perkembangan produk, dan (2) menghasilkan produk dari seluruh usaha ekonomi kreatif yang bercirikan etnis Bugis dan etnis Makassar. Populasi penelitian ini adalah seluruh pengrajin ekonomi kreatif yang bergerak dalam usaha ekonomi kreatif yang berada di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba. Jumlah populasi pengrajin ekonomi kreatif adalah 190 orang untuk Kabupaten Wajo dan 110 orang untuk Kabupaten Bulukumba. Penarikan sampel dari setiap strata dilakukan secara proporsional yang dalam hal jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Umar, 2002). Penentuan sampel wilayah dilakukan dengan teknik cluster random sampling berdasarkan wilayah Timur dan Selatan dengan Kabupaten Wajo dengan jumlah sampel sebanyak 129 orang pengrajin ekonomi kreatif dan Kabupaten Bulukumba sebanyak 86 orang. Unit-unit analisa dalam populasi digolongkan ke dalam gugus-gugus (clusters) yang diambil secara acak dan akan menjadi satuan sampel yang akan di ambil (Singarimbun, 1987). Pengambilan gugus acak ini dari kecamatan menjadi beberapa desa yaitu untuk Kabupaten Wajo dibagi menjadi empat kecamatan berdasarkan wilayah pengrajin ekonomi kreatif yaitu Kecamatan Tempe dengan jumlah pengrajin 25 orang, Tanasitolo 35 orang, Majauleng 39 orang, Sabangparu 30 orang. Kemudian diacak lagi menjadi gugus berdasarkan wilayah desa yaitu untuk Kecamatan Tempe, desa yang diambil untuk dijadikan responden penelitian adalah Desa Attakae dengan 13 orang dan Desa Mattirotappareng 12 orang. Untuk Kecamatan Tanasitolo, desa yang diambil secara acak dijadikan responden penelitian adalah Desa UjungE dengan 15 orang dan Desa Pakkana 20 orang, Kecamatan Majauleng dengan satu desa yakni Desa Tosora dengan jumlah responden yaitu 39 orang sedangkan untuk Kecamatan Sabangparu dengan Desa Sompe sebanyak 30 orang sehingga total sampel yang diambil berjumlah 129 orang pengrajin ekonomi kreatif. Untuk Kabupaten Bulukumba dengan sampel sebanyak 86 pengrajin ekonomi kreatif yang digolongkan ke dalam gugus-gugus yang diambil secara acak dengan satu kecamatan yaitu kecamatan Bontobahari dengan dibagi lagi menjadi 2 desa yang juga diambil secara acak yaitu Desa Bira sebanyak 50 orang
16
dan Desa Darubiah sebanyak 36 orang sehingga total sampel berjumlah 86 pengrajin. Hal tersebut digambarkan pada Tabel 2. Tabel 2 Sampel penelitian Kota/ Kabupaten
Wajo
Kecamatan Tempe
25
Tanasitolo
35
Majauleng Sabangparu
39 30 129 50 36 86
Total Bulukumba Total
Jumlah sampel
Bontobahari
Desa
Sampel
Attakkae Mattirotappareng UjungE Pakkana Tosora Sompe
13 12 15 20 39 30 129 50 36 86
Bira Darubiah
Untuk responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang kajian. Penentuan responden pakar dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan berikut : (a) Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji (b) Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan kompetensi sesuai bidang kajian (c) Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia dan atau berada pada lokasi yang dikaji Hasil penelitian disajikan dengan pola rangkaian penelitian yang terdiri dari beberapa judul penelitian. Pola ini digunakan dengan maksud agar setiap judul memiliki fokus penelitian yang kuat dan kedalaman pengkajian. Sistematik penulisan disertasi ini ditulis dalam pola rangkaian penelitian dengan judul–judul dari rangkaian penelitian tersebut diintegrasikan dalam bagian pembahasan umum dan ditutup dengan simpulan umum. Bab I menjelaskan latar belakang penelitian, tujuan, manfaat dan ruang lingkup penelitian; Bab II Tinjauan Pustaka; Bab III Aspek Sosial Budaya Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Kabupaten Wajo dan Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan; Bab IV Menguraikan Analisis Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan; Bab V Menguraikan Faktor Penentu Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan; Bab VI Model Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan, yang diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian; Bab VII Menguraikan pembahasan umum untuk mengintegrasikan hasil temuan dari setiap judul penelitian sehingga dapat menjelaskan hubungan satu dengan lainnya sebagai satu rangkaian penelitian; dan Bab VIII menyajikan simpulan yang merupakan temuan utama penelitian dan saran kebijakan berdasarkan temuan tersebut serta Daftar Pustaka menyajikan pustaka–pustaka yang menjadi sumber rujukan penelitian.
II TINJAUAN PUSTAKA Ekonomi Kreatif Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari berbasis sumber daya alam sekarang menjadi berbasis sumber daya manusia, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Toffler (Tim Design Indonesia, 2008) melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4. Ekonomi Pertanian Pertanian
Ekonomi Industri
Ekonomi Informasi
Industri
Informasi
Ekonomi Kreatif Kreatif
waktu
Gambar 4. Pergeseran Orientasi Ekonomi Dunia Barat (Tim Design Indonesia, 2008) Ahli Ekonomi Romer (Tim Design Indonesia, 2008) menyatakan ide adalah barang ekonomi yang sangat penting, lebih penting dari objek yang ditekankan pada kebanyakan model-model ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide kecil-lah yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah mengkombinasikan sumber daya fisik yang penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai. Menurut Howkins (Tim Design Indonesia, 2008), kehadiran gelombang ekonomi kreatif, pada tahun 1996, adalah ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins, ekonomi baru telah muncul seputar ekonomi kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Industrialisasi telah menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan lebih efisien. Konsentrasi industri berpindah dari negara barat ke negara-negara berkembang di Asia karena tidak bisa menyaingi biaya murah di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan efisiensi industri negara Jepang. Negara-negara maju mulai menyadari bahwa saat ini tidak bisa mengandalkan supremasi di bidang industri, tetapi lebih mengandalkan sumber daya manusia yang kreatif, sehingga kemudian pada tahun 1990-an dimulailah era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan
17
18
kreativitas, yang populer disebut Ekonomi Kreatif dan digerakkan oleh sektor industri yang disebut Industri Kreatif. Ekonomi Kreatif sebenarnya adalah wujud dari upaya mencari pembangunan yang berkelanjutan melalui kreativitas. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Dengan kata lain, ekonomi kreatif adalah manifestasi dari semangat bertahan hidup yang sangat penting bagi Negara-negara maju dan menawarkan peluang yang sama untuk negara-negara berkembang. Negara-negara membangun kompetensi ekonomi kreatif dengan caranya masing-masing sesuai dengan kemampuan yang ada pada negara tersebut. Ada beberapa arah dari pengembangan usaha ekonomi kreatif ini, yakni pengembangan yang lebih menitikberatkan pada industri berbasis: (1) lapangan usaha kreatif dan budaya (cultural creative) (2) lapangan usaha kreatif dan industri (creative industry), atau (3) Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta (copyright industry). Daniel (Tim Design Indonesia, 2008) mengungkapkan bahwa di era kreativitas, bila ingin maju, kita harus melengkapi kemampuan teknologi (hightech) dengan hasrat untuk mencapai tingkat "high concept" dan "high touch.” High concept adalah kemampuan menciptakan keindahan artistik dan emosional, mengenali pola-pola dan peluang, menciptakan narasi yang indah dan menghasilkan temuan-temuan yang belum disadari orang lain. High touch adalah kemampuan berempati, memahami esensi interaksi manusia, dan menemukan makna. Menurut Howard (Tim Design Indonesia, 2008), bahwa kemampuan kognisi, yang populer dengan teori kecerdasan majemuk (Multiple Intellegence) yaitu Five Minds of The Future, yang menyatakan bahwa terdapat lima pola pikir utama yang diperlukan di masa yang akan datang, yaitu: (1) Pola pikir disipliner (The Disciplinary Mind), yaitu pola pikir yang dipelajari di bangku sekolah. Dahulu yang dianggap sebagai disiplin ilmu adalah ilmu-ilmu seperti sains, matematika, dan sejarah. Saat ini, sekolahsekolah harus menambahkan untuk mengajarkan paling tidak satu bidang seni secara serius seperti halnya disiplin ilmu lainnya. (2) Pola pikir mensintesis (The Synthesizing Mind), yaitu kemampuan menggabungkan ide-ide dari berbagai disiplin ilmu atau menyatukannya kedalam satu kesatuan dan kemampuan menyampaikan hasil integrasi itu kepada orang banyak. Pola pikir sintesa melatih kesadaran untuk berpikir luas dan fleksibel, mau menerima sudut pandang dari multi disiplin. Dalam konteks luas, dengan semakin banyaknya orang seperti ini di dalam suatu komunitas, maka komunitas itu akan menjadi semakin produktif dan semakin kreatif. Dalam konteks bisnis, ide-ide baru tersebut akan lebih mudah diterima oleh konsumen. Dalam hal memperkenalkan produk atau jasa maka, strategi komunikasi dan pencitraan (branding) yang diperkuat dengan kemampuan sintesa akan meningkatkan kesuksesan di pasar. (3) Pola pikir kreatif (The Creating Mind), yaitu kemampuan untuk mengungkapkan dan menemukan jawaban dari suatu permasalahan atau
19
fenomena yang ditemuinya. Dalam konteks desain, proses kreasi selalu diawali dengan pengumpulan permasalahan- permasalahan yang ada yang harus dipecahkan. Di akhir proses, akan dihasilkan desain-desain baru yang tidak lain adalah hasil pemecahan suatu masalah. Tentu saja agar hasil maksimal, proses kreasi harus dibekali dengan bakat (talent) yang cukup. Dalam konteks bisnis, kemampuan ini bisa menggerakkan perusahaanperusahaan untuk lebih pro- aktif, tidak hanya mengikuti trend, tetapi justru menciptakan trend. (4) Pola pikir penghargaan (The Respectful Mind), yaitu kesadaran untuk mengapresiasi perbedaan di antara manusia. Pola pikir seperti ini sangat dibutuhkan dalam menciptakan keharmonisan di dalam lingkungan. Florida (2003) mengatakan bahwa faktor penting agar kreativitas dapat tumbuh dan berkembang adalah dengan adanya tingkat toleransi (tolerance) yang tinggi di antara sesama anggota komunitas yaitu komunitas yang menghargai perbedaan. Tidak kalah pentingnya adalah sikap untuk menghargai karya cipta orang lain. (5) Pola pikir etis (The Ethical Mind). Seorang warga negara yang baik akan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi baik sebagai seorang pekerja maupun sebagai warga negara. Dalam konteks perubahan iklim dunia, penanaman nilai-nilai etika terhadap lingkungan dapat mendorong terciptanya produk yang ramah lingkungan. Dalam konteks pekerjaan, ia akan menjadi seorang yang produktif dalam menghasilkan terobosanterobosan dan ia merasa malu bila ia meniru produk lain secara terangterangan. Pola pikir yang telah dijabarkan merupakan pola pikir kreatif yang sangat diperlukan untuk tetap tumbuh berkembang serta bertahan di masa yang akan datang. Dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pekerja kreatif tidaklah cukup memiliki bakat pandai menggambar, menari, menyanyi dan menulis cerita. Ia harus memiliki kemampuan mengorganisasikan ide-ide multi disipliner dan kemampuan memecahkan masalah. Menurut Friedman (Tim Design Indonesia, 2008), orang-orang generasi baru mampu membuat dunia menjadi sangat dekat dengan menyebut tujuh kemampuan wajib yang harus disiapkan yaitu (1) Kemampuan dalam berkolaborasi (Great Collaboratorsand orchestrators), (2) Kemampuan dalam mensintesakan segala sesuatu (The great synthesizers), (3) Kemampuan dalam menjabarkan suatu konteks (The great explainers), (4) Kemampuan dalam menciptakan nilai tambah (The great leveragers), (5) Kemampuan dalam mengadaptasi terhadap lingkungan baru (The great adapters), (6) Kesadaran yang tinggi terhadap kelestarian alam (The green people), dan (7) Kemampuan handal dalam menciptakan kandungan lokal (The great localizers). Kecenderungan manusia sudah mulai memikirkan kegiatan ekonomi, bisnis, pendidikan maupun sosial di masa depan. Semuanya ini tidak akan mungkin terjadi apabila manusia tidak mulai mengaktifkan daya imajinasi dan kreativitasnya sehingga dalam era perekonomian kreatif ini, kreativitas diperlukan secara mutlak sebagai landasan dasar pengembangan industri kreatif. Dalam pengembangan ekonomi kreatif dipaparkan bahwa dalam Teori Hirarki Kebutuhan Maslow dinyatakan bahwa saat manusia telah berhasil
20
melampaui tingkat kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik dan kebutuhan atas keamanan maka manusia akan berusaha mencari kebutuhankebutuhannya pada tingkat lebih lanjut yaitu kebutuhan bersosialisasi, rasa percaya diri dan aktualisasi diri. Dalam konteks perdagangan, semakin lama manusia semakin menyukai barang-barang yang tidak hanya mampu memuaskan kebutuhan fungsional namun mencari produk yang bisa memberikan dirinya suatu identitas dan membuatnya dirinya lebih dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Industri fesyen adalah contoh yang bagus untuk menggambarkan kondisi ini. Konsumen tidak akan membeli barang yang tidak cantik dan tidak menarik, atau yang tidak cocok dengan tubuh si pemakai. Beberapa penelitian telah dilakukan, yakni Karsidi (1999) membagi tiga jabatan pengrajin yaitu (a) tenaga kerja terampil industri kecil, (2) pengrajin industri kecil, dan (3) pengusaha industri kecil. Sigito (2001) dalam penelitiannya menemukan dua pengrajin Industri Tas yakni pengrajin sekaligus pedagang. Wijaya (2001) menemukan pengelompokan pengrajin dalam industri kerajinan seni ukir dalam tiga kategori pengrajin yaitu (1) buruh pengrajin yang tergolong semi terampil dalam kegiatan produksi, (2) pengrajin yang tergolong terampil dalam kegiatan produksi, dan (3) pengusaha hiasan seni ukir yang ketrampilan dalam kegiatan produksi dan perdagangan. Model pengembangan ekonomi kreatif yang dikembangkan untuk Indonesia berupa bangunan yang terdiri dari komponen pondasi, lima pilar, dan atap yang saling menguatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Lembaga Keuangan
pemerintah
Institusi
Teknologi
Industri
Sumberdaya
pelaku usaha
Intelektual
Sumber Daya Manusia
Gambar 5. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif (Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025) Penjelasan komponen-komponen bangunan ekonomi kreatif adalah sebagai berikut:
PONDASI: People (Sumber Daya Insani) adalah aset utama dari ekonomi kreatif yang menjadi ciri hampir semua subsektor industri kreatif. LIMA PILAR UTAMA yang harus diperkuat dalam mengembangkan ekonomi kreatif adalah:
21
(1) Industry (Industri) yaitu kumpulan dari perusahaan yang bergerak di dalam bidang ekonomi kreatif. (2) Technology (Teknologi) yaitu enabler untuk mewujudkan kreativitas individu dalam bentuk karya nyata. (3) Resources (Sumber Daya) yaitu input selain kreativitas dan pengetahuan individu yang dibutuhkan dalam proses kreatif, misal: sumber daya alam, lahan. (4) Institution (Institusi) yaitu tatanan sosial (norma, nilai, dan hukum) yang mengatur interaksi antara pelaku perekonomian khususnya di bidang ekonomi kreatif. (5) Financial Intermediary yaitu lembaga penyalur keuangan.
ATAP: Bangunan ekonomi kreatif ini dipayungi oleh interaksi triple helix yang terdiri dari Intellectuals (Intelektual), Business (Bisnis), dan Government (Pemerintah) sebagai para aktor utama penggerak ekonomi kreatif : (1) Intellectual, kaum intelektual yang berada pada institusi pendidikan formal, informal dan non formal yang berperan sebagai pendorong lahirnya ilmu dan ide yang merupakan sumber kreativitas dan lahirnya potensi kreativitas insan Indonesia. (2) Business, pelaku usaha yang mampu mentransformasi kreativitas menjadi bernilai ekonomis. (3) Government, pemerintah selaku pelaku pemberdayaandan regulator agar ekonomi kreatif dapat tumbuh dan berkembang.
Dalam ekonomi kreatif, sistem “Triple Helix” menjadi payung yang menghubungkan antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business), dan Pemerintah (Government) dalam kerangka bangunan ekonomi kreatif, yakni ketiga helix tersebut merupakan aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang, dan bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model ekonomi kreatif akan menentukan pengembangan ekonomi kreatif yang kokoh dan berkesinambungan (Hubeis (2000); Pangestu (2008)). Berbagai kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi kelangsungan suatu aktifitas industri apabila aktivitas ekonomi memiliki banyak peluang dan para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain (Utami, 2007). Ekonomi kreatif pada hakekatnya adalah kegiatan ekonomi yang mengutamakan pada kreativitas berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda memiliki nilai dan bersifat komersial seperti yang dikemukakan oleh United Nations Conference On Trade And Development (UNCTAD) Creative Economy Report (2008 ) : “Creativity in this context refers to the formulation of new ideas and to the application of these ideas to produce original works of art and cultural products, functional creations, scientific inventions and technological innovations. There is thus an economic aspect to creativity, observable in the way it contributes to entrepreneurship, fosters innovation, enhaces productivity and promotes economic growth.”
22
Ada beberapa aspek ekonomi yang dapat diamati dari kreativitas yaitu kontribusi terhadap kewirausahaan, pendorong inovasi, peningkatan produktivitas dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Inti atau jantungnya ekonomi kreatif adalah industri kreatif (at the heart of the creative economy are the creative industries) (UNCTAD ; Creative Economy Report 2008). Inti utama ekonomi kreatif adalah industri kreatif yang melakukan proses penciptaan melalui penelitian dan pengembangan (research and development). Kekuatan industri kreatif terletak pada pada riset dan pengembangan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa baru bersifat komersial. Dengan pengetahuan yang dimiliki para intelektual melahirkan ide, gagasan, inspirasi yang diwujudkan dalam bentuk kekayaan intelektual seperti desain, merek dagang, paten, hak cipta dan royalti. Peran Ekonomi Kreatif Ekonomi kreatif berperan dalam perekonomian suatu bangsa terutama dalam menghasilkan pendapatan (income generation), menciptakan lapangan kerja (job creation) dan meningkatkan penerimaan hasil eksport (export earning), meningkatkan teknologi (technology development), menambah kekayaan intelektual (intelektual property). Oleh sebab itu, ekonomi kreatif dapat dipandang sebagai penggerak pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu bangsa. UNCTAD mendefenisikan ekonomi kreatif adalah suatu konsep berbasis asset kreativitas yang secara potensial menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Menurut UNCTAD (Creative Economy Report, 2008), secara potensial ekonomi kreatif berperan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi adalah : (1) Ekonomi kreatif dapat mendorong penciptaaan pendapatan, penciptaan lapangan kerja dan penerimaan ekspor serta dapat mempromosikan aspek – aspek budaya, ragam budaya dan pengembangan sumber daya manusia. (2) Ekonomi kreatif dapat memupuk ekonomi, budaya dan aspek-aspek sosial yang saling berhubungan dengan teknologi, kekayaan intelektual dan tujuantujuan wisata. (3) Salah satu pilihan untuk mengembangkan inovasi yang multidisiplin, respon kebijakan dan tindakan antarkementerian. (4) Di dalam jantung ekonomi kreatif terdapat industri kreatif. Peran kreativitas dipandang sebagai alat ukur untuk proses sosial. Kreativitas dapat meningkatkan nilai ekonomi seperti pendapatan, kesempatan kerja, dan kesejahteraan yang pada gilirannya dapat mengurangi permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan, kesehatan dan persoalan sosial lainnya. Oleh sebab itu terdapat erat antara kreativitas dan pengembangan sosial ekonomi yang tidak terpisahkan secara khusus (UNDP dan UNCTAD, 2008). Ekonomi kreatif dapat menciptakan kesejahteraan karena dapat menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan, menciptakan pemerataan, mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan pendorong pembaruan serta memanfaatkan bahan baku lokal (Suryana, 2012).
23
Modal Dasar Ekonomi Kreatif Menurut KEA European Affairs (2006) yang dikutip UNDP dan UNCTAD (Creative Economy Report (2008)), ada empat jenis kreativitas yang membentuk ekonomi kreatif yaitu (a) Kreativitas ilmu pengetahuan, (b) Kreativitas Ekonomi, (c) Kreativitas budaya, dan (d) Kreativitas teknologi. Keempat kreativitas tersebut saling terkait seperti terlihat pada Gambar 6. Kreatifitas Ilmu Pengetahuan
Kreatifitas Teknologi
Kreatifitas Ekonomi
Kreatifitas Budaya
Gambar 6 Kreativitas Ekonomi (UNDP dan UNCTAD, Creative Economy Report (2008))
Kreativitas ilmu pengetahuan menyangkut keingin-tahuan untuk terus melakukan penelitian dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Kreativitas ekonomi merupakan proses dinamis yang mengarah pada inovasi teknologi, praktik bisnis, pemasaran dan usaha lainnya meraih keunggulan bersaing dalam ekonomi. Kreativitas budaya dalam bentuk budaya seperti kesenian, film, artistik dan seni lainnya. Suryana (2012) mengemukakan bahwa modal intelektual dan kreativitas diperlukan oleh para pelaku utama dan usaha, industri kecil dan menengah untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing yang selama ini masih relatif rendah khususnya pengetahuan dan ketrampilan untuk menciptakan keunggulan dan meningkatkan daya saing produk. Modal yang disebutkan oleh Howkins (Suryana, 2012) adalah modal kreativitas yaitu modal intelektual, modal budaya, modal sosial dan modal struktur kelembagaan. Modal kreatif adalah modal intelektual seperti desain produk, merek dagang, hak cipta, paten dan royalti. Modal insani dalam ekonomi kreatif yang terpenting adalah modal intelektual yaitu berupa kecakapan, pengetahuan, ketrampilan dan motivasi untuk menghasilkan kekayaan intelektual seperti paten, merek dagang, royalty dan desain. Menurut David Parrish (2009), “ kekayaan intelektual merupakan modal pokok industri kreatif yang menciptakan aktivitas, ketrampilan dan bakat individual, yang berpotensi untuk menciptakan lapangan kerja dan kekayaan secara turun temurun melalui kekayaan intelektual.” Maka dari Modal Insani diperlukan investasi dalam bidang pendidikan dan pelatihan serta memperbanyak penelitian ilmiah dan pengembangan. Dengan pendidikan dan pelatihan akan meningkatkan pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan yang sangat diperlukan
24
untuk meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing (David Parris, 2009). Oleh sebab itu agar kreativitas dapat menghasilkan dan memberi dampak positif maka diperlukan empat modal yaitu (a) modal insane, (b) modal sosial, (c) modal budaya, dan (d) modal struktur kelembagaan. Keterkaitan keempat faktor tersebut menurut UNCTAD dapat dilihat pada Gambar 7. Modal Insani
Modal Budaya
Manifestasi kreatifitas (keluaran dan hasil)
Modal Struktur Kelembagaan
Modal Sosial
Gambar 7 Interelasi dari ke 5 lingkaran : hasil kreativitas + 4 modal ( Home Affairs Bureau, A Study on Creative Index, The Hongkong Special Administration Region Government, 2005 ; UNDP-UNCTAD CreativeEconomy Report, 2008)
. Modal sosial adalah modal kepercayaan dan kejujuran serta etika dalam menjalankan usaha. Individu, organisasi dan bangsa yang maju dan dipercaya adalah individu, organisasi dan bangsa yang jujur, beretika dan berbudaya. Kepercayaan, kejujuran dan etika dalam berusaha merupakan faktor kunci sukses. Modal budaya terdiri dari nilai-nilai, orientasi, kebiasaan, adat istiadat dan bentuk lain seperti kesenian, pertunjukkan film, drama, lukisan dan bisa dalam bentuk hasil karya atau dalam bentuk cagar budaya-heritage. Modal budaya adalah modal dasar yang sudah dimiliki oleh industri terutama industri kecil dan industri lokal yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Keanekaragamanbinekaan seperti etnis, suku, adat, nilai-nilai, warisan budaya dan bahasa yang tersebar diberbagai daerah merudapakan modal dasar ekonomi kreatif. Modal dasar yang potensial untuk ekonomi kreatif yaitu (1) aspek budaya seni dan warisan budaya, (2) sumber daya dan kekayaan alam, dan (3) Modal kebinekaan suku bangsa, budaya, bahasa dan agama. Berbagai jenis karya seni dan budaya daerah seperti seni tari, seni patung, seni drama, seni suara, seni lukis serta berbagai pakaian adat, makanan, minuman dan hasil kerajinan lainnya memiliki khas kedaerahan dan kesukuan seperti Bali, Sunda, Batak, Dayak, Aceh, Makassar dan suku-suku lainnya merupakan modal dasar ekonomi kreatif untuk dikembangkan secara komersial (Suryana, 2012). Ketiga modal dasar seni dan budaya merupakan modal ekonomi kreatif yang dapat dikelola secara komersial. Modal insani dikembangkan melalui investasi pendidikan, pelatihan dan pembinaan untuk mendorong modal intelektual. Sementara modal sosial, dikembangkan melalui sistem sosial yang bertumpu pada hukum sebagai rekayasa sosial. Kondisi ini penting, karena eksistensi modal sosial. Modal sosial merupakan produk pendidikan dan
25
kebijakan pemerintah. Selanjutnya Modal kelembagaan dan struktur dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mendorong, melindungi, membina dan memberikan akomodasi dalam pengembangan ekonomi kreatif. Klasifikasi Industri Kreatif Industri kreatif memiliki karakteristik yang umum yaitu : (1) Terdapat pertumbuhan nilai tambah, (2) Pertumbuhan nilai tambah diikuti oleh fluktuasi pertumbuhan jumlah perusahaan, (3) Fluktuasi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, dan (4) Memiliki teknologi dan produktivitas modal yang relatif konstan. UNCTAD membedakan pengertian industri kreatif dengan ekonomi kreatif, walaupun ada keterkaitan erat, layaknya dua sisi mata uang. Istilah ekonomi kreatif lebih luas dari industri kreatif yang merupakan fondasi atau pelaku utama dalam ekonomi kreatif. Istilah “creative economy” muncul pada tahun 2001 oleh John Howkins tentang hubungan antara kreativitas dengan ekonomi adalah : “creativity is not new and neither is economics, but what is new is the nature and the extent of the relationship between them and how they combine to create extraordinary value and wealth.” Defenisi ekonomi kreatif yang dikemukakan oleh UNCTAD adalah : “The creative industries: (a) are the cycles of creation, production and distribution of goods and services that use creativity and intellectual capital as primary inputs; (b) constitute a set of knowledge-based activities, focused on but not limited to arts, potentially generating revenues from trade and intellectual property rights; (c) comprise tangible products and intangible intellectual or artistic services with creative content, economic value and market objectives; (d) stand at the crossroads of the artisan, services and industrial sectors; and (e) constitute a new dynamic sector in world trade.” Ada beberapa klasifikasi Industri Kreatif menurut UNDP dan UNCTAD (2008) dapat dilihat dari model sektor-sektor kreatif sebagai berikut “ (1) Berdasarkan UK DCMS model terdiri atas : periklanan, arsitektur, seni dan pasar barang antik, kerajinan, desain, pakaian, film dan video, musik, pertunjukkan, kesenian, penerbitan, perangkat lunak (software), televisi dan radio, serta video dan permainan komputer (computer game). (2) Berdasarkan symbolic texts model ada beberapa kategori : (a) Kategori industri budaya inti meliputi periklanan, film, internet, musik, penerbitan, perangkat lunak (software), televisi dan radio serta video dan permainan komputer. (b) Kategori industri budaya di sekelilingnya meliputi kesenian kreatif (c) Kategori industri budaya perbatasan meliputi elektronik untuk konsumen, mode, perangkat lunak, olahraga.
26
(3) Berdasarkan concentric circles model terdiri dari empat kategori : (a) Kategori seni kreatif inti meliputi literatur, musik, seni pertunjukan dan seni visual. (b) Kategori inti industri budaya lainnya meliputi film,museum, dan perpustakaan. (c) Kategori industri budaya yang lebih luas meliputi jasa-jasa heritage, penerbitan, rekaman suara, televisi, radio, video dan permainan komputer. (d) Kategori industri yang berkaitan meliputi periklanan, arsitektur, desain dan mode. (4) Berdasarkan WIPO copyright model ada beberapa kategori yaitu (a) Kategori industri penerbitan inti seperti periklanan, film, musik dan video (b) Kategori seni pertunjukkan meliputi penerbitan, perangkat lunak, televisi dan radio serta visual dan seni grafis. (c) Kategori industri penerbitan yang saling terkait meliputi materi rekaman yang masih kosong, elektronika untuk konsumen, alat-alat musik, kertas, fotocopi dan peralatan fotografis. (d) Kategori industri secara parsial meliputi arsitektur, pakaian, alas kaki, desain, mode, dan alat-alat rumah tangga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8. 1. Model UK DCMS: Periklanan Arsitektur Seni dan pasar antik Kerajinan Desain Pakaian Film dan Video Musik Pertunjukan Kesenian Penerbitan Perangkat lunak Televisi dan radio Video dan permainan komputer
2. Symbolic texts Model:
3. Concentric circles Model:
4. WIPO Copyright Model:
Industri Budaya Inti Periklanan Film Internet Musik Penerbitan Televisi dan radio Video dan permainan komputer
Seni Kreatif Inti Literatur Musik Seni Pertunjukan Seni visual
Industri penerbitan inti Penerbitan Collecting societies Film dan video Musik Seni pertunjukan Periklanan Televisi dan radio Seni visual dan grafis
Industri Budaya Sekitar Kesenian kreatif Industri Budaya Perbatasan Elektronik konsumen Mode Perangkat lunak Olahraga
Industri Budaya Lainnya Film Museum dan Perpustakaan Industri Budaya yg lebih luas Jasa heritage Penerbitan Rekaman suara Televisi dan radio Video dan permainan komputer Industri yg berkaitan Periklanan Arsitektur Desain Mode
Industri penerbitan saling terkait Material bank recording Pengguna elektronik Instrument music Kertas Fotocopy, peralatan fotografi Industri copyright parsial Arsitektur Pakaian, alas kaki Disain Mode Alat rumah tangga Mainan
Gambar 8. Sistem Klasifikasi Industri Kreatif dari macam-macam model (UNDP, Economy Creative Report, 2008).
27
Menurut UNCTAD, industri kreatif didefinisikan sebagai persilangan dari kreativitas, budaya, ekonomi dan teknologi dalam dunia kontemporer yang didominasi oleh gambar, suara, teks serta symbol. UNCTAD dalam Creative Economy Report (2008) mengklasifikasi industri kreatif kedalam beberapa kategori berikut : (1)
(2) (3)
(4)
Heritage terdiri atas : (a) Ekspresi budaya tradisional meliputi seni dan kerajinan, festival dan perayaan pertunjukkan. (b) Situs budaya meliputi arkeologis, museum, perpustakaan dan ekshibisi Seni (arts) terdiri dari : seni visual : lukisan (painting), patung (sculputure), fotografi dan barang-barang antik Media terdiri atas : (a) percetakan dan media penerbitan meliputi buku-buku, surat kabar dan publikasi lainnya (b) audio visual meliputi film, televise, radio dan siaran lainnya Kreasi Fungsional terdiri atas : (a) Desain meliputi interior, grafik, mode dan perhiasan (b) Media baru meliputi perangkat lunak, permainan video, dan konten kreatif digital lainnya (c) Jasa-jasa kreatif meliputi arsitektur, periklanan, budaya dan rekreasional, riset dan pengembangan kreatif, digital dan jasa-jasa kreatif lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut :
Situs Budaya
Ekspresi Budaya Tradisional
Seni Visual
Penerbitan dan Media Cetak
Disain
Industri Kreatif
Jasa Kreatif
Heritage
Seni Performing
Seni
Audio Visual
Media
Media Baru
Kreasi Fungsional
Gambar 9 Klasifikasi Industri Kreatif menurut UNCTAD Klasifikasi industri kreatif menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) terdapat 14 subsektor industri yang berbasis kreativitas meliputi : (1) Periklanan, (2) Arsitektur, (3) Pasar barang seni, (4) Kerajinan, (5) Desain, (6) Pakaian, (7) Video, Film dan fotografi, (8) Permainan Interaktif, (9) Musik,
28
(10) Seni Pertunjukan, (11) Penerbitan dan Percetakan, (12) Layanan komputer dan perangkat lunak, (13) Televisi dan Radio, dan (14) Riset dan Pengembangan. Pemegang Kepentingan Ekonomi Kreatif Departemen Perdagangan secara konseptual peran actor triple helix dalam ekonomi kreatif di Indonesia, terdapat tiga pemegang kepentingan yaitu pemerintah, perusahaan dan masyarakat yaitu : (1) Pemerintah berkepentingan untuk mengarahkan perusahaan untuk mengutamakan kesejahteraan bersama, dan melalui ekonomi kreatif pemerintah juga berkepentingan untuk memberdayakan masyarakat agar semakin kreatif dan produktif serta melestarikan warisan budaya dan lingkungan. Sebagai pemegang kepentingan, pemerintah berfungsi melakukan regulasi, layanan dan kordinasi. Pemerintah berfungsi membina industri kreatif melalui pelatihan intelektual untuk meningkatkan nilai tambah. Perguruan tinggi berperan aktif untuk membina hubungan industri berdasarkan hasil-hasil risetnya. (2) Perusahaan berkepentingan untuk keberlanjutan investasi melalui keterlibatan masyarakat, pendekatan kemitraan, pola adaptasi terhadap masyarakat lokal serta mengembangkan kepemilikan dan kemandirian masyarakat. (3) Masyarakat berkepentingan untuk berpartisipasi, pemberdayaan dan kepemilikan usaha. Partisipasi masyarakat dalam industri kreatif sangat penting. Masyarakat harus bisa bermitra, mengadaptasi, mengembangkan usahanya sendiri dengan cara mengubah pola pikir mereka, bahwa apa yang harus dilakukannya harus ada nilai tambah dan berkualitas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10.
PEMERINTAH Mengarahkan perusahaan untuk mengutamakan kesejahteraan bukan sistem kapitalis yang individualistis
Regulasi, Layanan, Koordinasi
Memberdayakan masyarakat untuk semakin kreatif dan produktif serta melestarikan warisan budaya dan lingkungan
SINERGI, KEMAJUAN, DAN BERKELANJUTAN
PERUSAHAAN
MASYARAKAT
Laba, SDM, Pewirausaha, Investasi, Pasar
Partisipasi, Pemberdayaan, Kepemilikan Keberlanjutan investasi melalui keterlibatan masyarakat, pendekatan kemitraan, pola adaptasi terhadap masyarakat lokal dan mengembangkan kepemilikan dan kemandirian masyarakat lokal
Gambar 10 Pemegang Kepentingan Ekonomi Kreatif
29
Ekonomi kreatif dalam penelitian ini adalah suatu konsep dimana aktivitas usaha di tingkat pengrajin mencakup usaha yang dilakukan dengan mengubah bahan dasar menjadi barang jadi/setengah atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi dengan ide, talenta dan desain yang lebih kreatif, inovatif serta bermutu dengan fokus usaha kerajinan sutera dengan berbagai corak etnis yang ada di Sulawesi Selatan khususnya etnis Bugis dan etnis makassar. Pemberdayaan Konsep pemberdayaan berkembang di akhir tahun70-an, dan merupakan peningkatan kepentingan masyarakat untuk mengangkat kesadaran individu sehingga pemberdayaan adalah sebuah kata kunci baru. Pemberdayaan mulai dipahami dengan konsep kekuasaan dan ketidakberdayaan (Moscovitch dan Drover, 1980). Power didefinisikan oleh sebagai "kapasitas seseorang dan beberapa orang serta organisasi untuk meramalkan efek pada orang lain" (Cornell Empowerment Group, 1989). Pada tingkat individu, ketidakberdayaan sebagai harapan orang atas tindakannya sendiri dan tidak akan efektif dalam mempengaruhi hasil dari peristiwa kehidupan (Keiffer, 1984). McClelland (1975) telah menyarankan untuk mengambil kekuasaan, mereka perlu untuk mendapatkan informasi tentang diri mereka sendiri dan lingkungan dan bersedia untuk mengidentifikasi dan bekerja dengan orang lain untuk perubahan. Whitmore (1988); Uphoff (1995) mendefinisikan pemberdayaan sebagai: proses berdaya dan interaktif di mana orang mengalami perubahan pribadi dan sosial, untuk mengambil tindakan dalam mencapai pengaruh terhadap organisasi dan lembaga yang mempengaruhi kehidupan mereka dan masyarakat di mana mereka tinggal. Keiffer (1984) tentang pemberdayaan pribadi adalah salah satu studi empiris yang utama dalam mempelajari pemberdayaan pribadi sebagai suatu proses. Pemberdayaan sebagai suatu proses perkembangan yang meliputi empat tahap: masukan, kemajuan, penggabungan, dan komitmen. Tahap masuk tampaknya dimotivasi oleh pengalaman dari beberapa kejadian atau kondisi yang mengancam diri atau keluarga. Pada tahap kemajuan, ada tiga aspek utama yang penting untuk melanjutkan proses pemberdayaan: hubungan mendukung dengan organisasi kolektif dan pengembangan pemahaman yang lebih kritis terhadap hubungan-hubungan sosial dan politik. Fokus utama dari tahap ketiga tampaknya perkembangan politik yang berkembang kesadaran. Komitmen adalah tahap akhir menerapkan partisipatif dan kompetensi yang memperluas bidang kehidupan. Pendekatan partisipatif untuk pembangunan, dibentuk "petani pertama" sebagai suatu strategi (Chambers, 1989) dan keberlanjutan adalah konsep tambal sulam, bergabung dengan tiga tujuan: ekosistem, vitalitas ekonomi, dan sosial dan memainkan peran dalam reformasi lembaga (Uphoff, 1995). Pendekatan pemberdayaan terutama petani melakukan pendekatan, yang dianjurkan oleh Chambers (1989) dan asosiasi, dikenal untuk efek sinergis. Chambers menyatakan optimis berkisar manfaat pendekatan partisipatif. Hasil dari proses partisipatif tampaknya untuk melayani seperti seorang arbiter, memungkinkan para ilmuwan dan praktisi untuk menyepakati realitas lokal koheren untuk dasar program, daripada memfokuskan secara eksklusif pada kontribusi (bersaing) disiplin dan lembaga.
30
Menurut Wallerstein (1992), Rukminto (2001), dan Kamla (2010) bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses sosial-tindakan yang mempromosikan partisipasi orang, organisasi, dan masyarakat terhadap tujuan individu meningkat dan kontrol masyarakat, efikasi politik, peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, dan keadilan sosial. Whitmore (1988) konsep pemberdayaan perlu lebih jelas, yakni ada beberapa asumsi pokok umum: (a) individu diasumsikan untuk memahami kebutuhan mereka sendiri lebih baik dari orang lain dan karena itu harus memiliki kekuatan baik untuk mendefinisikan dan bertindak atas mereka, (b) semua orang memiliki kekuatan dapat membangun, (c) pemberdayaan adalah upaya seumur hidup, (d) pengetahuan pribadi dan pengalaman adalah valid dan berguna dalam mengatasi secara efektif. Menurut Rappaport, (1985) konsep tentang pemberdayaan," rasa psikologis kontrol pribadi atau pengaruh dan perhatian dengan pengaruh sosial yang sebenarnya, kekuasaan politik dan hak hukum serta pemberdayaan terjadi pada psikologis, organisasi dan tingkat masyarakat (Zimmerman, 2000) sehingga konsep pemberdayaan secara psykologis adalah ekspresi di tingkat perorangan. Dalam hal ini, pemberdayaan bisa eksis di tiga tingkat: pada tingkat pribadi, dimana pemberdayaan adalah pengalaman mendapatkan kontrol meningkat dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan partisipasi masyarakat (Keiffer, 1984); dimana pemberdayaan melibatkan bersama pengalaman, analisis, dan pengaruh pada upaya mereka sendiri (Presby et al, 1990); dan di tingkat masyarakat, dimana pemberdayaan berkisar pada pemanfaatan sumber daya dan strategi untuk meningkatkan kontrol masyarakat (Labonte, 1989). Penelitian ini difokuskan terutama pada tingkat lembaga, adalah penting untuk dicatat bahwa sulit memisahkan tiga tingkat pemberdayaan. Pemberdayaan pada tingkat ini termasuk kepercayaan tentang kompetensi dan upaya untuk memahami dan mengendalikan kekuatan yang berdampak emosional, kognitif dan perilaku aspek individu dan kelompok (Speer (2000); Zimmerman (2000); Nunan (2006), Hutchsion ( 2010)). Memahami perubahan individu dan pemberdayaan menginformasikan strategi pemberdayaan masyarakat dan kebijakan atau sebaliknya. Hal ini penting bahwa penelitian tentang pemberdayaan dimulai dengan pemahaman tentang individu, bukan dalam arti klinis, tetapi dalam pengertian experiential (Lord, 1991). Ini berarti bahwa pemberdayaan pemahaman adalah kompleks dan ekologi. Studi tentang pemberdayaan melihat "orang dalam lingkungan" dengan mencoba memahami pengalaman hidup warga negara dalam kaitannya dengan keluarga kelompok dan aspek lain dari kehidupan masyarakat. Pelayanan penyediaan dan peningkatan kapasitas, adalah bagian dari kesadaran, dan mempromosikan organisasi diri utamanya individu itu sendiri. Pemberdayaan adalah kemampuan individu untuk mendapatkan kontrol sosial, politik, ekonomi dan psikologis melalui akses (1) informasi, pengetahuan dan keterampilan; (2) keputusan; dan (3) efisiensi diri individu, masyarakat partisipasi, dan kontrol dirasakan (Zimmerman, (2000); Meggison (2000), Stephen, (2009), Roy, (2010)). Salah satu bentuk yang paling populer dari pemberdayaan ekonomi adalah keuangan mikro, menyediakan kredit bagi pengrajin, lembaga-lembaga kredit formal. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995) menyatakan bahwa :
31
”Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to „work the system,‟ and so on.” Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Definisi lain tentang pemberdayaan masyarakat dihimpun oleh Suharto (2004) : (1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung sehingga orang tersebut berdaya dan berfungsi (Ife, 1995). (2) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987). (3) Pemberdayaan adalah suatu cara dimana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1985). (4) Pemberdayaan adalah sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam pengontrolan dan mempengaruhi terhadap kejadiankejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. (5) Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et al. (1994)). (6) Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya pengrajin rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. (7) Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses kemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki „inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty” (Kartasasmita, 1997). (8) Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
32
Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Sumodiningrat (1999) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam pembangunan; dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapanketerampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004). Slamet (2003) berdaya adalah berarti tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Menurut Ife (1995) masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengakses sumberdaya dan peluang serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Mengacu pada beberapa pengertian pemberdayaan yang telah diuraikan sebelumnya dan melihat persoalan-persoalan yang ada pada usaha ekonomi kreatif maka penelitian ini mencoba menformulasikan konsep keberdayaan melalui usaha ekonomi kreatif agar proses pembelajaran yang berkesinambungan dapat tercapai yakni perilaku dan keberlanjutan usaha ekonomi kreatif. Pengrajin yang berdaya berusaha melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang mampu menciptakan ide, mengembangkan talenta, mendesain produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru, bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko. Untuk tujuan penelitian ini, pemberdayaan didefinisikan sebagai proses dimana pengrajin dapat berdaya dan berfungsi didalam mencapai peningkatan pengendalian berbagai aspek kehidupan mereka dan berpartisipasi dalam komunitas dengan martabat. Produk kerajinan sutera dapat dikatakan sebagai komoditas tradisional disamping produk-produk pertanian. Hal ini disebabkan karena produk kerajinan sutera seringkali merupakan hasil sampingan yang diproduksi oleh petani untuk mengisi waktu luang di sela-sela kegiatan pertaniannya.Oleh sebab itu manakala usaha kerajinan sutera memberikan peluang yang lebih menjanjikan banyak petani yang akan beralih untuk meluangkan waktunya dan mencurahkan tenaganya bagi usaha kerajinan sutera. Sebaliknya jika usaha kerajinan mengalami masa-masa surut petani kembali lebih mengutamakan kegiatan pertaniannya.
33
Menurut Mardikanto (2010), pengembangan usaha kerajinan khususnya sutera memerlukan pemberdayaan untuk memperbaiki beragam aksesibilitas tersebut seperti : (1) Aksesibilitas modal, pemberdayaan yang diperlukan adalah dukungan pembiayaan yang berupa modal bergulir atau pinjaman lunak dengan kata lain pengrajin memerlukan dukungan pengembangan Lembaga Keuangan Mikro yang mampu memberikan kredit secara cepat, menerapkan persyaratan yang mudah dan menerapkan bunga rendah. Hal ini dibarengi dengan upaya yang lain seperti bimbingan tehnis, perbaikan desain, ketrampilan manajemen dan sikap kewirausahaanan. (2) Aksesibilitas bahan baku, merupakan syarat vital dalam usaha kerajinan sebab sering dihadapkan pada kesulitan bahan baku. Oleh sebab itu perlu didukung oleh program kemitraan dengan pemasok bahan baku utamanya yang bergerak sebagai penyedia kredit, pemasok bahan baku, pembeli/pembesar (menentukan desain yang diminta di pasar). (3) Aksesibilitas teknologi utamanya desain (rancangan), kerajinan sangat memerlukan bimbingan teknis dan desain untuk meningkatkan nilai tambah sehingga bernilai mahal dengan produk kearifan lokal. Maka dari itu pelaku pemberdayaan harus benar-benar yang kompeten dan memahami selera pasar. (4) Aksebilitas Informasi sangat penting dalam bisnis kerajinan, hal ini tidak hanya terbatas dalam pembuatan desain, informasi pemasok, peluang pasar, event-event pameran dan kebijakan pemerintah. (5) Aksesibilitas Pasar, yang terkait dengan calon pembeli produk atau penjual bahan baku, jumlah dan karakteristik produk yang ditawarkan, tingkat harga dan sistem pembayarannya, tempat dan waktu penyerahan barang. (6) Aksesibilitas Kelembagaan, bahwa untuk mengembangkan kerajinan diperlukan dukungan kelembagaan yang efektif mencakup lembaga layanan teknis, layanan bisnis, layanan kebijakan yang berpihak pada kemajuan pengembangan dan pelestarian usaha kerajinan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup aspek-aspek bina manusia, bina usaha, bina lingkungan dan bina kelembagaan yang mencakup individu (perorangan), entitas (pengrajin sutera/organisasi) dan sistem atau jejaring. Sedang tahapan-tahapan pemberdayaan kerajinan mencakup pengenalan wilayah kerja, sosialisasi, penyadaran, pengorganisasisan, pelaksanaan kegiatan, advokasi dan politisasi. Strategi Pemberdayaan Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Ife (1995) dapat ditempuh melalui tiga strategi yaitu : (1) Kebijakan dan perencanaan Para elitis memiliki kekuasaan yang kuat untuk memberdayakan masyarakat melalui berbagai kebijakan dari perencanaan. Jika elit politik tidak memiliki kemauan politik untuk mengubah kebijakan yang cenderung melanggengkan ketidak berdayaan masyarakat, maka masyarakat dapat melakukan upaya advokasi untuk menekan elit politik sehingga mereka dapat mengubah kebijakannya.
34
(2) Aksi sosial dan politik Aksi sosial secara partisipatif yang dimulai dari tahap perencanaan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menikmati hasil. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarkat yaitu membentuk aliansi antar pengrajin. (3) Pendidikan dan pembangkitan kesadaran Faktor yang paling esensial dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah faktor pendidikan. Terjadi proses pembelajaran secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan religi, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya. Menurut Ismawan (2002) dan Amanah (2010), bahwa substansi pemberdayaan yang mengacu kepada kemampuan masyarakat yaitu (a) pengembangan sumberdaya manusia merupakan aspek pengakuan diri, percaya diri, kemandirian kemampuan kerjasama, toleransi terhadap sesamanya dengan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) peningkatan kemampuan permodalan; (c) pengembangan usaha produktif terkait dengan peluang dan kebutuhan pasar yang sedang diminati para konsumen; (d) pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi; dan (e) kemampuan akan informasi, berhubungan dengan kesempatan usaha kecil memperoleh informasi dan pengetahuan manajerial, inovasi, info pasar, kebijakan pemerintah dan kemitraan. Maka dari itu strategi pemberdayaan pada pengrajin ekonomi kreatif dalam penelitian ini adalah pola rencana kegiatan yang tepat dan bersifat lebih operasional dalam mencapai tujuan atau menyelesaikan permasalahan selaku pelaku usaha. Beberapa kajian para ahli yang mengemukakan strategi pemberdayaan usaha kecil sebagai berikut: (1) Mencari kiat-kiat yang tepat dalam peningkatan pengetahuan, semangat dan kemampuan masyarakat dalam melakukan perilaku usaha dengan cara membudayakan kebiasaan-kebiasaan berkewirausahaan pada masyarakat dalam mencari nafkah sehari-harinya. (2) Dilakukan pelatihan untuk peningkatan ketrampilan teknis dalam memproduksi, pemasaran serta manajerial. (3) Memfasilitasi kerjasama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi dan himpunan usaha kecil guna memperkuat posisi tawar. (4) Berusaha melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah/instansi terkait guna mendapatkan penyediaan prasarana umum yang dapat mendorong pertumbuhan usaha kecil seperti lokasi pasar, ruang pertokoan yang terjangkau, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat serta lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima. (5) Memberi bantuan dan memfasilitasi terbentuknya bank data jaringan informasi bisnis yang mampu menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi, desain dan mutu. (6) Memfasilitasi guna terwujudnya kemitraan usaha kecil dengan usaha menengah dan besar serta mencegah hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam transaksi bisnis melalui kemitraan tersebut. (7) Diupayakan dengan menjalin kerjasama guna memperoleh bantuan modal dari pihak swasta.
35
(8) Merumuskan dan memberikan bimbingan bagi pengembangan usaha yang benar-benar sedang produktif. (9) Memfasilitasi tersedianya informasi yang tepat guna bagi usaha kecil baik informasi perluasan pasar, bahan baku, kerjasama kemitraan, perkembangan teknologi maupun informasi kebijakan pemerintah dan perubahan perekonomian lainnya. Peranan Penyuluhan Menurut Slamet (2003), penyuluhan merupakan pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani untuk merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, ketrampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah dan mampu menolong dirinya sendiri menuju peningkatan kesejahteraan yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih layak. Lippitt et al. (1956) menyatakan bahwa peran penyuluh dapat dikembangkan menjadi beberapa peran yaitu (1) pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan pada masyarakat sasaran (2) Menggerakan masyarakat untuk melakukan perubahan, dan (3) memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran melalui kerjasama dengan masyarakat sasaran. Berdasarkan hal tersebut pemberdayaan merupakan salah satu tujuan dari penyuluhan. Penyuluhan dilakukan secara berkelanjutan yang sesuai dengan falsafah kontinyu yang dimulai dengan klien tahu, mau dan mampu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Oleh karena itu didalam penelitian ini penyuluhan yang dimaksudkan adalah perubahan perilaku yang merupakan penentu keberlanjutan usaha ekonomi kreatif terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Menurut Amanah (2005), studi tentang model penyuluhan perikanan untuk mengembangkan masyarakat pesisir menunjukkan bahwa perilaku masyarakat berhubungan positif dengan peubah dinamika sosial budaya masyarakat, peran pemimpin informal, keragaanindividu/pengrajin sutera, kualitas program penyuluhan, kompetensi pelaku pemberdayaan usaha perikanan, dan kualitas pendukung usaha perikanan. Perubahan Berencana Motivasi merupakan unsur penting dalam menggerakkan tindakan manusia, untuk itu model memotivasi sasaran dapat digunakan sebagai alternatif pendekatan individu atau komunitas lokal: menjalankan kegiatan yang sesuai dengan kaidah ekologi (tidak merusak lingkungan), secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dikehendaki, sehingga kualitas kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat dapat ditingkatkan. Secara kongkrit, harus mampu melakukan perencanaan usaha, memperkirakan hasil, menjamin terserapnya produk di pasar, dan mengawasi jalannya usaha pelaku usaha (Amanah, 2004). Penyuluhan dapat dipadukan dengan teori perubahan berencana (Lippitt et al. 1958) untuk membangun masyarakat agar mampu mengelola berbagai usaha. Dalam hubungan ini, ketujuh tahap perubahan berencana itu ialah: (a) Menimbulkan kebutuhan untuk berubah (unfreezing); (b) Menciptakan hubungan untuk berubah; (c) Diagnosis masalah klien; (d) Memilih masalah, tujuan dan
36
alternatif pemecahan masalah; (e) Transformasi menuju perubahan nyata; (f) Generalisasi dan stabilisasi perubahan (freezing); (g) Mengakhiri hubungan agen pembangunan dan klien. Hubungan baru dapat dijalin lagi dalam situasi lain. Sebuah review tentang makna mendalam yang dimiliki oleh penyuluhan dan perannya dalam menyokong perubahan perilaku individu, dan komunitas. Diharapkan, dapat menumbuhkembangkan pemahaman akan penyuluhan secara lebih tepat dan meluas, terutama peran pelaku pemberdayaan atau penggerak perubahan di masyarakat (penyuluh, peneliti, akademisi, birokrat, pegiat lembaga swadaya masyarakat, pemuka masyarakat, dan sektor swasta (Amanah, 2007). Mardikanto (1993) menyebutkan bahwa perubahan alami terjadi tanpa adanya campur tangan manusia dan bersifat lamban. Sebaliknya perubahan terencana bersifat aktif, disengaja keberadaannya oleh perilaku manusia. Terjadinya perubahan terencana tersebut, disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu: (1)
(2)
Adanya keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dirasakan, dengan memodifikasi sumberdaya dan lingkungan hidupnya melalui penerapan ilmu pengetahuan atau teknologi yang dikuasainya. Ditemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang bagi setiap manusia untuk memenuhi kebutuhannya atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus menganggu lingkungan aslinya.
Kedua alasan tersebut dapat menumbuhkan motivasi pada seseorang untuk melakukan upaya-upaya tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan. Tanpa melakukan upaya apapun akan menyebabkan seseorang menjadi terbelakang. Seorang ahli pendidikan, sebagai pelaku pemberdayaan pendidikan, perencanaan, dan ahli analisis dalam menyusun perencanaan program penyuluhan, perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan belajar warga belajar. Dengan demikian ketika ahli pendidikan menyusun program tersebut harus berpedoman pada pengembangan individual, sehingga tersusun suatu proses belajar yang teratur dan sistematik. Ini berarti seorang ahli pendidikan perlu pula berperan sebagai manajer dari proses belajar. Sebagai manajer, beberapa subperanan harus dilakukannya yaitu: Evaluator (pengevaluasian) Group Facilitator (pemberi fasilitas), Instruction Writer (penulis instruksi), Instructor (pemberi instruksi/instruktur), Media Specialist (ahli media), Need analyst (penganalisis kebutuhan), Program Designer (perencanaan program), Task Analyst (penganalisis tugas), Transfer Agent (agen perubahan) (Edi, 2006). Faktor Pendukung Usaha Ekonomi Kreatif Mosher (Amanah, 2006) menyebutkan bahwa syarat pokok pembangunan pertanian agar dapat berjalan dengan baik dapat meliputi (1) tersedianya sarana produksi secara lokal, (2) pasar, (3) teknologi yang senantiasa berubah, (4) transportasi, dan (5) kredit. Pada umumnya syarat pelancar pembangunan mencakup dibidang (1) pendidikan pembangunan, (2) kegiatan bersama, (3) insentif, (4) perluasan dan perbaikan lahan, dan (5) perencanaan. Melalui pendidikan akan berkembang pengetahuan dan wawasan, sikap mental dan tindakan yang lebih matang. Adapun faktor pendukung usaha ekonomi kreatif
37
yang langsung mempengaruhi di dalam proses usaha ekonomi kreatif adalah bahan baku, pasar, teknologi, proses produksi, permodalan, pengembangan produk. Sedangkan untuk faktor pendukung yang tak langsung adalah transportasi, komunikasi, peran intelektual, bisnis dan peran pemerintah. Zhao dan Aram (1995), Haber dan Reicher (2006) menyebutkan bahwa dalam menginventarisasi beberapa dukungan yang diperoleh dari lingkungan langsung dan tidak langsung pada masa yang akan datang dengan faktor pendukung usaha kecil meliputi ekonomi, budaya, teknologi, demografi sehingga terjadi kontak personal antara pengrajin dengan orang lain yang dapat memberi dua manfaat yakni meningkatkan dukungan sosial, jaring pengaman dan sebagai alat untuk mengakses sumber daya lingkungan dan sebagai wadah untuk mewujudkan misi organisasi. Berdasarkan uraian tersebut maka faktor pendukung usaha ekonomi kreatif dalam penelitian didefinisikan sebagai individu-individu, lembaga atau sistem yang melingkupi pengrajin ekonomi kreatif dan usahanya dalam memberikan dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan pengrajin utamanya dalam hal intelektual, bisnis dan pemerintah. Pada bidang usaha ekonomi kreatif dikaitkan dengan aspek permodalan. Modal seringkali menjadikan seseorang tergantung pada pihak lain sehingga beberapa aktivitasnya menjadi subordinasi dan dikendalikan (diatur) oleh pihak pemberi modal. Zhao dan Aram (1995); Karsidi (1999); Ismawan (2002); Getz dan Peterson (2005); menemukan bahwa aktivitas memperkuat jejaring sangat penting untuk memotivasi keberlanjutan usaha. Jarak dan intensitas kontak dengan jejaring akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan usaha, penentu keberlanjutan bagi usaha baru dan keberhasilan meraih sumber daya yang dibutuhkan. Hal ini terkait dengan networking yang berperan dalam kegiatan busines mendistribusikan seminal mungkin untuk mencapai tujuan usaha dan mengatur kebutuhan sumberdaya dengan biaya seminimal mungkin. Pengrajin ekonomi kreatif dalam berusaha mempunyai percaya diri dalam mengambil keputusan secara bebas dan bijaksana serta terlihat potensi dan memiliki kerjasama dengan yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini didukung dari penelitian Purnaningsih (2006) tentang kebutuhan bermitra yang diharapkan petani/individu dapat dipenuhi melalui pola kemitraan terutama kebutuhan pemasaran, pinjaman modal dan kebutuhan pembinaan. Menurut Salkind (1989); Gibson et al. (1995), cara bertindak untuk menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis. Bird (1996) terdapat empat elemen yang membentuk perilaku usaha yaitu (1) faktor individu, (2) faktor organisasi, (3) faktor lingkungan, dan (4) faktor proses. Faktor individu yang menjalankan usaha adalah karakteristik biologis dengan latar belakang individu dan motivasi. Faktor lingkungan mencakup faktor pendukung atau yang menghambat usaha (sosial, ekonomi dan politik) dimana secara keseluruhan meliputi hak cipta, modal, keyakinan, nilai-nilai dalam hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama pengusaha, mitra dan dukungan keluarga. Faktor perilaku adalah proses yang dijalankan oleh pengrajin dalam kegiatan usahanya meliputi pemahaman usaha (conceiving), kreasi (creating), pengelolaan (organizing) dan promosi. Oleh karena itu perubahan perilaku pada individu tidak lepas dari proses pembelajaran yang
38
terjadi dengan dukungan dari lingkungan pembelajaran yang terjadi secara formal maupun informal maka akan terjadi perubahan perilaku. Usaha ekonomi kreatif berorientasi kepada tindakan dan bermotivasi tinggi di dalam mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Caranya dengan selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak serta menciptkan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovasi serta kemampuan manajemen. Peran Pelaku Pemberdayaan Tujuan pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan hal-hal mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat dan ditandai kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya, kekuatan atau kemampuan yang dimilikinya. Daya, kekuatan atau kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik material. Pencapaian tujuan tersebut tentu tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan upaya dan kerja keras yang serius dari semua pihak yang dalam penelitian ini disebut sebagai pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan harus dapat berperan sebagai motivator, mediator dan fasilitator yang baik. Pada era reformasi dan desentralisasi saat ini tuntutan terhadap pelaku pemberdayaan memiliki kemampuan yang memadai dan semakin menguat. Pelaku pemberdayaan tidak hanya dituntut untuk memperkaya pengetahuannya, melainkan mereka dituntut meningkatkan ketrampilannya dalam menrancang kualitas pemberdayaan. Lantas muncul pertanyaan, kemampuan seperti apa yang harus dimiliki oleh pelaku pemberdayaan? Lima bentuk kemampuan yang dianggapnya sangat relevan dengan kualitas pelaku pemberdayaan, yakni: (1) kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada; (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi dan tujuan yang ingin dicapai; (3) kemampuan mengidentifikasikan, memberikan input kepada sumber subyek yang mempunyai potensi bagi proses pembangunan; (4) kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin; dan (5) kemampuan memainkan peranan sebagai pelaku pemberdayaan atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri (mandiri). Keterpaduan kelima kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut dijadikan rujukan atau pedoman oleh seluruh unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat. Ada tujuh syarat kemampuan umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan yakni kemampuan untuk: (1) mempertahankan keadilan, (2) mempertahankan kejujuran,(3) melakukan problem solving, (4) mempertahankan
39
misi, (5) memfasilitasi, (6) menjual inovasi, dan (7) secara fasilitasi yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri. Keberhasilan pelaku pemberdayaan dalam memfasilitasi proses pemberdayaan dapat diwujudkan melalui peningkatan partisipasi aktif masyarakat. Pelaku pemberdayaan harus terampil mengintegrasikan tiga hal penting yakni: optimalisasi fasilitasi, waktu yang disediakan, dan optimalisasi partisipasi masyarakat. Masyarakat pada saat menjelang batas waktu harus diberi kesempatan agar siap melanjutkan program pembangunan secara mandiri. Sebaliknya, pelaku pemberdayaan harus mulai mengurangi campur tangan secara perlahan. Tanamkan kepercayaan pada masyarakat yang selanjutnya akan mengelola program. Berkaitan dengan jangka waktu keterlibatan pelaku pemberdayaan dalam mengawal proses pemberdayaan terhadap warga masyarakat, Sumodiningrat (1999) menjelaskan bahwa, pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran. Sebagai tenaga ahli, pelaku pemberdayaan sudah pasti dituntut untuk selalu trampil melakukan fasilitasi; aktif menciptakan media konsultasi; aktif menjadi mediator;aktif memberikan animasi, advokasi; dan trampil memfasilitasi pemecahan masalah. Persoalan yang diungkapkan masyarakat pada pemecahan masalah tidak secara otomatis harus dijawab oleh pelaku pemberdayaan tetapi pelaku pemberdayaan mampu mendistribusikan dan mengembalikan persoalan dan pertanyaan tersebut kepada semua pihak (peserta atau masyarakat). Upayakan bahwa pendapat masyarakatlah yang mengambil keputusan. Hal yang penting untuk diperhatikan sebagai pelaku pemberdayaan harus dapat mengenali tugasnya secara baik. Berkaitan dengan tugas pelaku pemberdayaan adalah memberikan kerangka acuan mengenai tugas sebagai berikut; (1) mendefenisikan siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan, (2) mendefenisikan tujuan keterlibatan, (3) mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan, (4) memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem : menemukan kesamaan dan perbedaan, (5) memfasilitasi pendidikan. membangun pengetahuan dan keterampilan, (6) memberikan contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah bersama mendorong kegiatan kolektif, (7) mengidentifikasi masalah-masalah prioritas yang akan dipecahkan bersama dan memfasilitasi penetapan tujuan,(8) merancang solusi-solusi alternative, (9) mendorong pelaksanaan tugas, dan (10) memecahkan konflik/masalah. Menurut Soekanto (2002), peranan merupakan aspek yang dinamis dalam kedudukan (status). Seseorang yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya menunjukkan dia telah menjalankan perannya. Hak dan kewajiban baginya harus dalam keseimbangan. Hak dan kewajiban itu merupakan dua hal yang saling berkaitan. Seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sistem sosial disebut posisi peran (role position). Kartasasmita (1996); Oxaal (1997); Suharto (2007) menyatakan bahwa pentingnya pelaku pemberdayaan karena penduduk miskin pada umumnya
40
mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan diri. Oleh karena itu diperlukan pelaku pemberdayaan untuk membimbing mereka dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pelaku pemberdayaan ini dalam konsep pemberdayaan sangat esensial, dan berfungsi sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator serta membantu mencari cara pemecahan masalah yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Pelaku pemberdayaan menurut Tilden (Jamasy, 2004), setidaknya harus mempunyai empat sifat, yakni: (1) harus trampil dalam menyesaikan masalah (problem solving), (2) harus peduli dan punya keberpihakan kepada masyarakat yang diberdayakan (sence of community), (3) harus mempunyai visi (sense of mission), dan (4) harus jujur kepada diri sendiri dan kepada orang lain (honesty with others and with self). Wrenn (Buwaethy, 2008) mengemukakan bahwa ada berapa aspek yang harus diperhatikan seorang pelaku pemberdayaan dalam melaksanakan tugasnya yaitu: (1) pelaksanaan agar didasarkan pada anggapan bahwa sasaran tugas adalah pribadi-pribadi yang berbeda dalam segala hal, (2) memandang dan beranggapan bahwa klien adalah sebagai pribadi utuh yang dalam pembentukannya lebih banyak terpengaruh oleh lingkungan masyarakatnya, (3) dalam pelaksanaan tugasnya pelaku pemberdayaan hendaknya berpandangan bahwa klien harus dilayani dengan sikap menghargai kenyataan pribadinya, (4) menerima klien sesuai kenyataannya tanpa menuntut mereka agar harus mempunyai pandangan yang sama dengan pelaku pemberdayaan itu sendiri, dan (5) pelaku pemberdayaan hendaknya dapat membawa klien kepada sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masa sekarang dan yang akan datang. Menurut Asngari (2001), pelaku pemberdayaan “sebagai agen pembaharuan dapat berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi. Lebih lanjut tentang falsafah pentingnya individu, Asngari menjelaskan bahwa sebagai “agen pembaharuan, seorang pelaku pemberdayaan harus menempatkan SDM-klien sebagai pemain atau aktor/aktris yang aktif bagi pengembangan dan perkembangan dirinya sendiri. Demikian juga dalam falsafah kerjasama yaitu antara agen pembaharuan/pelaku pemberdayaan dan sumberdaya klien harus terjalin kerjasama dalam kegiatan pelaku pemberdayaan.” Karsidi (2001) mengungkapkan bahwa pelaku pemberdayaan dalam pemberdayaan harus mampu belajar dari masyarakat; pelaku pemberdayaan adalah fasilitator, bukan guru dan tidak menggurui; saling belajar, saling berbagi pengalaman mengandung makna pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat (adanya pengakuan). Dalam pelaksanaan proses pemberdayaan, prinsipnya adalah: (1) klien tidak merasa digurui-menggurui, (2) ketika ditanya dan menjawab, seorang pelaku pemberdayaan tidak harus bersikap sebagai ahli, dalam artian tidak menjadi ”ahli,” (3) tidak memutus pembicaraan ketika klien bertanya, (4) libatkan semua klien dalam diskusi (tidak berdebat hanya satu arah), dan (5) tidak diskriminatif. Ada kekhawatiran kegagalan penanggulangan kemiskinan bukan hanya karena banyaknya faktor yang mempengaruhi, melainkan sangat erat kaitannya dengan belum terciptanya keadilan proses pemberdayaan. Menurut Jamasy (2004), dugaan keras semakin melembaga terhadap peran “ para pelaku utama
41
pemberdayaan” itu sendiri, yang belum siap atau belum mampu melakukan proses pemberdayaan secara utuh. Mereka belum menerapkan fungsi keadilan pada proses pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan masih memiliki banyak keterbatasan, misalnya keterbatasan kemampuan intelektual, keterbatasan memahani filosofi pemberdayaan, keterbatasan kemampuan material, dan keterbatasan pada aspek sikap dan perilaku/mental. Lebih lanjut dikatakan oleh Jamasy (2004), apabila kondisi tersebut terus berlangsung, maka program pemberdayaan sudah dapat dipastikan akan mengalami kegagalan, karena pemberdayaan secara utuh harus dimulai dari para pelaku utamanya, dan tidak hanya terarah kepada mereka yang diberdayakan saja. Perilaku Kewirausahaan Konsep dalam perilaku kewirausahaan adalah konsep (Entrepreneurship) yang diartikan seseorang yang mengorganisasikan, mengelola dan mengambil resiko atas suatu bisnis atau perusahaan. Menurut Bird (1996) terdapat empat elemen yang membentuk perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif yaitu (1) faktor individu, (2) faktor organisasi, (3) faktor lingkungan, dan (4) faktor proses. Faktor individu yang menjalankan usaha adalah karakteristik biologis dengan latar belakang kewirausahaan dan motivasi. Faktor lingkungan mencakup faktor pendukung atau yang menghambat kewirausahaan (sosial, ekonomi dan politik) dimana secara keseluruhan meliputi hak cipta, modal, keyakinan, nilai-nilai dalam hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama pengusaha, mitra dan dukungan keluarga. Faktor perilaku adalah proses yang dijalankan oleh kewirausahaan dalam kegiatan usahanya meliputi pemahaman usaha (conceiving), kreasi (creating), pengelolaan (organizing) dan promosi. Oleh karena itu perubahan perilaku pada individu tidak lepas dari proses pembelajaran yang terjadi baik secara formal maupun informal maka akan terjadi perubahan perilaku berdasarkan pada prinsip ekonomi kreatif. Kewirausahaan ekonomi kreatif berorientasi pada tindakan dan bermotivasi tinggi didalam mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Caranya dengan selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas, ide, talenta, desain, inovasi dan daya saing serta kemampuan manajemen. Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian perilaku usaha dalam konteks usaha ekonomi kreatif adalah perilaku yang dimiliki oleh pengrajin dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian dalam menghadapi resiko, keinovatifan dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Hasil penelitian Perry et al. (2003) bahwa pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Berpijak pada kajian tentang perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif dan definisi perilaku kewirausahaan dari Bird (1996), Meredith et al, (1996) dan Sukardi (1991) maka dapat dinyatakan bahwa perilaku kewirausahaan merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin ekonomi kreatif yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannnya untuk melakukan usaha dengan ide, talenta, inovatif, inisiatif berani mengambil resiko dan berdaya saing.
42
Konsep daya saing (competitiveness) yang berkembang sejalan dengan konsep keunggulan komparatif, daya saing produk dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan pangsa pasar (Rahmana, 2009). Kemampuan ini sangat ditentukan oleh faktor suplai yang tepat waktu dan harga yang kompetitif. Secara berjenjang, suplai tepat waktu dan harga yang kompetitif dipengaruhi oleh dua faktor penting lainnya, yaitu fleksibilitas (kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap keinginan konsumen) dan manajemen differensiasi produk. Begitu pula halnya dengan fleksibilitas dan manajemen differensiasi produk dapat dicapai sepanjang adanya kemampuan untuk melakukan inovasi dan adanya efektivitas dalam sistem pemasaran (Rahmana, 2009). Mukhyi dan Mujiyana (2008) menyatakan bahwa dalam mengukur daya saing usaha kecil menengah ada setidaknya 12 indikator yang perlu dilihat yaitu, (1) ekuitas merek, (2) orientasi pasar,(3) organisasi belajar, (4) inovasi, (5) kepuasan konsumen, (6) pemasaran, (7) jaringan, (8) komunikasi, (9) biaya, (10) kepercayaan, (11) kualitas, dan (12) penyaluran produk dan jasa tepat waktu. Dalam konteks daya saing produk pertanian, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa daya saing produk yang dihasilkan petani kecil masih rendah (Fariyanti et al. (2007)). Beberapa penyebab hal ini terkait pada persoalan sosial, ekonomi, dan teknis pengelolaan usaha. Hal ini sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan pada kelompok tani sayuran dataran rendah yang relatif baru merintis usaha taninya. Penerapan daya saing oleh petani, paling lemah pada tahap pasca panen. Penanganan pasca panen secara baik dan benar saat ini hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat tani, hal ini disebabkan keterbatasan informasi dan teknologi tentang penanganan pasca panen dan kurangnya perhatian terhadap peningkatan nilai tambah ditingkat off farm dibandingkan dengan upaya peningkatan produksi (on farm). Akibatnya, perkembangan penanganan pasca panen dewasa ini masih berjalan lambat dan masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan (Amanah,2010). Kelembagaan Kelembagaan dalam pendekatan bahasa merupakan istilah yaitu: institute, yang merupakan wujud nyata dari lembaga yang berarti organisasi dan instutition yang merupakan wujud abstrak dari lembaga yang berarti pranata yang merupakan sekumpulan norma-norma pengatur perilaku dalam aktivitas hidup tertentu. Kelembagaan dapat lebih mengarah pada segi tata nilai, norma, aturan yang mengikat setiap individu anggotanya dalam berprilaku. Suatu lembaga hanya akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik apabila didukung oleh kelembagaan yang benar dan dipatuhi bagi setiap anggotanya. Kelembagaan sosial merupakan terjemahan dari istilah social institution. Koentjaraningrat (1990) menyebut kelembagaan sosial sebagai pranata sosial yang mengatur tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi yang dimaksud dengan kelembagaan sosial adalah sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting, memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menggolongkan institusi/kelembagaan ada tiga yaitu : (1) Bureaucratic institution adalah institusi yang datangnya dari pemerintah (atas/birokrasi) dan tetap menjadi milik birokrasi, contohnya Pemerintah Desa,
43
Pemerintah Kelurahan, (2) Community based institution adalah institusi yang dibentuk pemerintah berdasarkan atas sumber daya masyarakat yang diharapkan menjadi milik masyarakat, seperti KUD, RT/RW, APKI, dan (3) Grass root institutions adalah institusi yang murni tumbuh dari masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya perkumpulan ojek, arisan. Menurut Doorn dan Lammers (Tonny (2003) tentang fungsi kelembagaan sosial adalah : (a) Memberi pedoman tentang berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhankebutuhan. (b) Menjaga keutuhan dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat terpelihara. (c) Memberi pegangan kepada masyarakat khususnya kontrol sosial yakni sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Uphoff (1995) melakukan penggolongan kelembagaan berdasarkan sektorsektor sosial ditingkat lokalitas yaitu sektor publik, sektor partisipatori, sektor swasta. Interaksi yang terdapat dalam kelembagaan organisasi kemasyarakatan memiliki kekhasan yakni adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial dalam komunitas desa. Interaksi sosial adalah fungsi kegunaan seseorang untuk melibatkan orang lain ke dalam tindakannya. Jadi tradisi kekerabatan, pertalian karena tempat tinggal yang sama dan kebutuhan bekerjasama, interaksi sosial yang akrab yang merupakan ciri masyarakat desa. Pada dasarnya setiap individu memiliki kecenderungan untuk berkumpul dan melakukan interaksi sosial dan membentuk suatu jaringan sosial. Jaringan sosial yang terbentuk telah melalui proses panjang dan telah terakumulasi nilai, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang disepakati dan bagian dari modal sosial (Syahyuti, 2003). Dengan demikian secara konseptual kelembagaan sosial menunjuk kepada seperangkat norma, peraturan-peraturan dan tata nilai yang dibentuk untuk memberikan layanan kepada pengrajin khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya melalui interaksi sosial dalam suatu komunitas untuk mengatur perilaku dalam memenuhi kebutuhannya. Kelembagaan sosial dapat pula dilihat dari Proses produksi dan pemasaran. Usaha ekonomi kreatif memerlukan pengembangan jejaring untuk mendapatkan hasil produksi dan jalur pemasaran yang memberi keuntungan maksimal bagi pengrajin ekonomi kreatif. Pengembangan kemitraan dan jejaring bagi pengrajin ekonomi kreatif dapat memperluas perolehan bahan baku, permodalan, teknik keterampilan, dan pemasaran yang lebih baik. Pengembangan usaha-usaha kecil produktif yang berbasiskan kepada komunitas,diharapkan bisa melibatkan stakeholders seperti organisasi pemerintah dan masyarakat,atau organisasi internasional. Pengembangan jejaring dalam kelembagaan tidak mengadopsi pendekatan birokrasi atau teknokrat. Keberhasilan dalam pengembangan jejaring merupakan media untuk merumuskan kebijakan menjadi sangat penting. Semua tergantung kepada komitmen stakeholders yang terlibat. Konsep usaha berbasiskan individu merupakan perpaduan dari konsep pembangunan yang berbasis masyarakat (community based developmen) dengan konsep ekonomi
44
berbasis masyarakat (community based economy). Adanya beragam institusi dalam komunitas yang bergerak dibidang usaha produktif berbasis komunitas dan melembaga, baik pada sektor pertanian dan non pertanian (pengrajin). Jejaring kelembagaan kolaboratif yang dikembangkan harus dapat menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan dengan institusi-institusi. Penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat, yang dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana bagi pemberdayaan masyarakat. Apabila dilandasi dengan respon yang baik dan prinsip-prinsip partisipatori, maka hasil pemikiran stakeholders pada tingkat lokal atau nasional perlu dikembangkan pada jejaring di tingkat komunitas dan lokal. kebutuhannya. Apabila pengrajin ekonomi kreatif dalam masyarakat suatu komunitas ingin bekerjasama dengan pihak lain (vertikal maupun horizontal), maka pengusaha kecil yang kuat yang nantinya membuka peluang besar menjadi masyarakat pengusaha menengah. Produksi merupakan proses kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap dipakai dengan semuan sistem yang manjadi faktor penunjang. Produksi adalah merupakan segala kegiatan menciptakan dan menambah kegunaan sesuatu barang atau jasa. Kegunaan proses produksi adalah : (1) Kegunaan bentuk (Utility of Form). Seperti sutera menjadi baju, topi, tas, dompet. (2) Kegunaan Waktu (Utility of Time). Tejadi proses penyimpanan setelah berbentuk barang siap pakai dengan tujuan untuk menunggu pasar memerlukan produk tersebut. (3) Kegunaan Tempat (Utility of Place). Adanya pendistribusian barang sehingga memerlukan jasa transportasi. (4) Kegunaan Milik (Utility of Ownership). Usaha perdagangan kerajinan sutera memiliki dan bebas memperdagangkan hasil produksi yang diciptakannya untuk mendapatkan hasil atau keuntungan. Menurut Anindita (2004) fungsi produksi dijalankan berupa aktifitas menciptakan barang/jasa sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan waktu, harga, dan jumlah yang tepat. Terdapat 4 fungsi produksi dalam kelembagaan sosial usaha ekonomi kreatif yaitu : (1) (2)
(3)
(4)
Proses, meliputi berbagai metode dan teknik yang digunakan dalam pengolahan bahan baku. Jasa, aktivitas yang dilakukan sehingga proses dapat dipergunakan secara efektif. Jasa sangat berhubungan dengan pengetahuan dan teknologi untuk menjamin berlangsungnya proses produksi. Perencanaan, merupakan pedoman kegiatan produksi untuk waktu tertentu. Perencanaan dilakukan untuk pencapaian tujuan produksi agar dilaksanakan secara afektif. Pengawasan, dilakukan untuk menjamin bahwa kegiatan dapat dilaksanakan semestinya. Pengawasan diperlukan untuk membandingkan antara rencana dengan kenyataan, sehingga apabila terjadi penyimpangan akan dilakukan koreksi sebelum.
Usaha kecil yang dilakukan secara individu khususnya pada usaha ekonomi kreatif , dikarenakan letak tempat tinggal yang berdekatan. Lokasi para pengrajin sutera yang berdekatan ternyata dapat membantu.
45
Tambunan (2001) pola hubungan yang mengatur perilaku pengrajin usaha kecil dari mulai pelibatan tenaga kerja, upah, keragaan produksi, perolehan bahan baku, permodalan, dan teknologi/keterampilan. Sistem kelembagaan sosial akan menjadi input bagi tercapainya hasil pemasaran yang dapat meningkatkan kesejahteraan. Sistem upah tenaga kerja dan penentuan harga produksi dapat dipengaruhi oleh pola kelembagaan produksi yang selama ini dilakukakan. Penggunaan teknologi pada proses produksi sangat memungkinkan dilakukan tetapi karena pola hidup di perdesaan yang mengutamakan kekeluargaan dan gotong royong, bukan tidak mungkin untuk menggunakan teknologi, tetapi lebih pada pentingnya penyerapan tenaga kerja di desa dan pembagian hasil (upah) yang merata. Pola hubungan dan interaksi tersebut dapat menjadi ciri khas dari sebuah desa (daerah), seperti misalnya di Kabupaten Tasikmalaya yang terkenal denga sistem perkreditan secara harian oleh pedagang keliling yang berhubungan langsung dengan konsumen. Kelembagaan sosial pada kajian ini menitik beratkan pada definisi operasional menurut Tambunan, (2001); Arif, (2009) yaitu sebagai pola hubungan yang mengatur perilaku usaha kecil dari mulai aturan main sanksi, persaingan, pola hubungan dan dasar penentuan harga, serta hubungan dengan pihak ketiga, untuk mengembangkan usaha mereka. Menurut Kotler, (1995) terdapat enam kekuatan utama yang membentuk lingkungan usaha yaitu (1) Lingkungan demografi misalnya pertumbuhan penduduk, perubahan angka harapan hidup, adat istiadat dan pola berumah tangga; (2) Lingkungan ekonomi adalah suatu kekuatan memberli konsumendari sudut ekonomi akan dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, harga, tabungan, pinjaman dan ketersediaan kredit; (3) Kondisi alam; (4) lingkungan teknologi; (5) Lingkungan politik; dan (6) Lingkungan budaya. Konsep Keberlanjutan Usaha Menurut WCED bahwa pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan generasi mendatang dengan memperhatikan kebutuhannya dapatlah dikatakan bahwa konsep ini adalah konsep Pembangunan berkelanjutan (Munasinghe, 1993). Konsep ini mencakup tiga perspektif utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis. Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia, pencapaian aspirasi kelompok dan indidvidu serta memperkuat institusi dan nilainilai sosial (Munasinghe, 2010). Pembangunan dalam kerangka berkelanjutan digambarkan sebagai proses untuk meningkatkan kesempatan manusia secara individu dan komunitas untuk mencapai aspirasinya dan seluruh potensinya dalam periode waktu yang mendukung dengan menjaga daya lenting (reseliensi) dari system ekonomi, sosial dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan peningkatan adaptif dan kesempatan untuk memperbaiki system proses perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan terjadi proses perubahan yang didalamnya terdapat upaya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
46
pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan dalam keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe, 2010). EKONOMI efisiensi, pertumbuhan, stabilitas
Pembangunan Pembangunan
LINGKUNGAN SDA, Polusi
berkelanjutan
berkelanjutan
SOSIAL pemberdayaan, kemiskinan
Gambar 11 Elemen Pembangunan Berkelanjutan Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang sehingga defenisi keberkelanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas. Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimunkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan asset (kapita) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan menintikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari system alami. Keberlanjutan sosial umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial. Masyarakat bisnis yang menginginkan bahwa usahanya dapat berkelanjutan, mereka hanya harus bersifat inovatif terhadap efektifitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya, masyarakat akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola resiko dan memanfaatkan inovasi. Hal sama dikemukakan oleh Haber dan Reichel (2006) bahwa peluang usaha bisa tetap survive dan berkelanjutan jika berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan hidup dan meningkatkan pendapatan keluarga secukupnya. Konsep usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu. Keberlanjutan usaha dapat dicapai pada pengrajin melalui usaha ekonomi kreatif jika memiliki kiat-kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Dalam penelitian ini usaha diartikan sebagai sikap proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Dalam manfaat sosial yang akan dinilai adalah seberapa besar usaha mempunyai dampak sosial terhadap masyarakat keseluruhan. Pada aspek sosial yang diperhatikan adalah kelanjutan kerjasama dan kebutuhan pembinaan serta penambahan kesempatan kerja atau pengurangan pengangguran. Aspek ini memberikan manfaat dalam hal pemerataan kesempatan kerja dan pengaruh usaha terhadap lingkungan sekitar lokasi usaha. Aspek sosial memperhatikan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat di sekitar tempat
47
usaha. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya usaha secara sosial memberikan manfaat dibandingkan kerugiannya. Suatu usaha tidak akan ditolak oleh masyarakat sekitar bila secara sosial diterima dan secara ekonomi memberikan kesejahteraan. Dengan adanya usaha maka ada dua hal yang perlu diperhatikan terhadap lingkungan apakah semakin baik atau semakin rusak. Pertimbangan tentang sistem alami dan kualitas lingkungan dalam analisis suatu usaha justru akan menunjang kelangsungan suatu usaha itu sendiri, sebab tidak akan bertahan lama apabila tidak bersahabat dengan lingkungan. Suatu kegiatan usaha yang dirancang atau dianalisis harus mempertimbangkan masalah dampak lingkungan yang merugikan (Rita, 2010). Penilaian keberkelanjutan dalam sektor usaha ataupun industri telah dipusatkan pada studi keberkelanjutan proses pengolahan dalam industri. Menurut Adams dan Ghaly (2007) penilaian berkelanjutan dalam industri spesifik umumnya berdasarkan tiga pilar keberlanjutan yaitu lingkungan ekonomi dan sosial. Menurut Reed (Adams dan Ghaly (2007)) berkelanjutan sistem lingkungan berarti : (a) kestabilan sumber daya yang menjadi basis usaha industri (b) mencegah usaha eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat pulih (c) pengurangan terhadap sumberdaya yang tidak dapat pulih apabila dapat dilakukan investasi untuk sumberdaya substitusi. Reed (Adams dan Ghaly (2007)) menekankan pentingnya kestabilan sistem sosial secara berkelanjutan agar tercapainya kesamaan dalam distribusi dan kesempatan dalam jasa sosial seperti kesehatan dan keamanan, kesamaan gender dan kekuasaan, akuntabilitas politik dan partisipasi serta laju populasi yang berkelanjutan. Keberlanjutan kelembagaan menurut UN (1992) dalam Adam dan Ghaly (2007) meliputi kerangka dan kapasitas kelembagaan yang memusatkan pada keberadaan organisasi kelembagaan dan sistem yang mendukung keberlanjutan pembangunan dan adanya efektivitas dari organisasi. Untuk lebih jelasnya dapat pada Gambar 12. Indikator teknologi dan ekologi cth. SD & energi, limbah, performances Intensitas SD produksi, pekerjaan, jasa dan perusahaan
Indikator kelembagaan cth kapasitas, efisiensi dan partisipasi stakeholder
Indikator Ekonomi cth : kemampuan dari faktor eksternal dan internal , B/C, efisiensi resiko ekonomi
Disparitas pendapatan, keberkelanjutan dan pendidikan
distribusi akses terhadap Sumberdaya lingkungan
Indikator sosial cth : Hubungan komunitas, tenaga kerja
Gambar 12 Indikator Keberlanjutan Kerangka Wuppertal Menurut Spangenberg dan Bonniot (Elida , 2012)
48
Labuschagne et al. (2005), Half (2000) dan Pauli (1998) (Adams dan Ghaly (2007)) menggariskan point berkelanjutan ekonomi meliputi: (a) sistem ekonomi yang berkelanjutan harus mampu menghasilkan barang dan jasa secara terus menerus, (b) adanya penjagaan terhadap tingkat pengelolaan oleh pemerintah dan investor luar (c) menghindari ketidakseimbangan antara sektor pertanian dan produksi industri (d) peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya alam dan (e) peningkatan nilai tambah produk dari sumber-sumber tersebut. Aspek Sosial Budaya Pengertian Nilai Budaya Nilai merupakan suatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun hal tersebut menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Menurut Saputra (2011) ada beberapa pengertian nilai yaitu : (a) Kimball Young : Mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat, (b) A. W. Green : Nilai adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek, (c) Woods : Mengemukakan bahwa nilai merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari, (d) Lawang : Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut. (e) Hendropuspito: Menyatakan nilai adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia, dan (g) C. Kluckholn : Nilai kebudayaan mencakup hal-hal berikut : Nilai mengenai hakikat hidup manusia : Ada manusia yang beranggapan bahwa hidup ini indah, Nilai mengenai hakikat karya manusia : Ada manusia yang beranggapan bahwa manusia berkarya demi harga diri, Nilai mengenai hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu : Ada manusia yang berorientasi pada masa lalu atau masa depan, Nilai mengenai hakikat hubungan manusia dengan sesamanya : Ada manusia yang berorientasi pada individualis. Nilai budaya itu sendiri sudah dirumuskan oleh beberapa ahli yakni (a) menurut Koentjaraningrat (1987) adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak, (b) Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia, dan (c) Marpaung mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai–nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam
49
masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Fungsi Nilai-Nilai Budaya Menurut Saputra (2011), nilai mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting yaitu : (1) Nilai berfungsi sebagai standart, yaitu standart yang menunjukkan tingkah laku dari berbagai cara, yaitu : (a) Membawa individu untuk mengambil posisi khusus dalam masalah social, (b) Mempengaruhi individu dalam memilih ideologi politik atau agama (c) Menunjukkan gambaran-gambaran self terhadap orang lain (d) Menilai dan menentukan kebenaran dan kesalahan atas diri sendiri dan orang lain (e) Merupakan pusat pengkajian tentang proses-proses perbandingan untuk menentukan individu bermoral dan kompeten (f) Nilai di gunakan untuk mempengaruhi orang lain atau mengubahnya (g) Nilai sebagai standart dalam proses rasionalisasi yang dapat terjadi pada setiap tindakan yang kurang dapat di terima oleh pribadi atau masyarakat. (2) Nilai berfungsi sebagai rencana umum (general plan) dalam menyelesaikan konflik dan pengambilan keputusan. (3) Nilai berfungsi motivasional. Nilai memiliki komponen motivasional yang kuat seperti halnya komponen kognitif, afektif, dan behavioral. (4) Nilai berfungsi penyesuaian, isi nilai tertentu di arahkan secara langsung kepada cara bertingkah laku serta tujuan akhir yang berorientasi pada penyesuaiam. Nilai berorientasi penyesuaian sebenarnya merupakan nilai semu karena nilai tersebut di perlukan oleh individu sebagai cara untuk menyesuaikan diri dari tekanan kelompok. Di dalam proses penyesuaiannya pertama-tama individu mengubah nilai secara kognitif ke dalam nilai yang dapat dipertahankan secara social maupun personal, dan nilai yang demikian pasti akan mudah untuk penyesuaianm diri dengan nilai yang berbeda. (5) Nilai berfungsi sebagai ego defensive. Di dalam prosesnya nilai mewakili konsep-konsep yang telah tersedia sehingga dapat mengurangi ketegangan dengan lancar dan mudah. (6) Nilai berfungsi sebagai pengetahuan dan aktualisasi diri. Nilai sebagai modal tingkah laku atau cara bertin dak secara eksplisit maupun implisit melibatkan fungsi aktualisasi diri. Fungsi pengetahuan berarti pencarian arti kebutuhan untuk mengerti, kecenderungan terhadap kesatuan persepsi dan keyakinan yang lebih baik untuk melengkapi kejelasan dan konsepsi.
50
Pengintegrasian Aspek Budaya Menurut Koentjaraningrat (1979), ada tiga wujud kebudayaan yaitu Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat (1979) mengemukaan bahwa kata „adat‟ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat. Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakantindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979). Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah pasti menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan neraka, rengkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual baik yang diadakan musiman atau setiap hari. Kemudian sistem religi juga mempunyai benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik . Definisi mengenai kebudayaan mengandung beberapa pengertian yaitu bahwa kebudayaan hanya ada pada makhluk manusia yang semula hanya kebudayaan satu aspek dari proses evolusi manusia yang menyebabkan manusia lepas dari alam kehidupan. Walaupun demikian kebudayaan berwujud tingkah laku manusia berakar dalam sistem organik yang tak lepas dari kepribadian individu melalui suatu proses yang panjang. Dalam proses itu kepribadian atau watak tiap-tiap individu mempunyai pengaruh terhadap kebudayaan dalam keseluruhan (Koentjaraningrat, 2005).
51
Dalam pandangan sosial budaya terdapat beberapa konsep kunci yaitu pengertian kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan, struktur kebudayaan, unsurunsur kebudayaan, wujud kebudyaan. (1) Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat (2005) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia untuk belajar. Hal tersebut berarti bahwa seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat memiliki beberapa tindakan yaitu tindakan naluri replek, tindakan akibat proses fisiologi. Namun demikian kebudayaan dan tindakan kebudayaan merupakan tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar. Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas ialah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Karena hasil karya manusia tidak hanya berakar kepada nalurinya tetapi melalui proses belajar. Meskipun demikian, konsep serupa itu tidak dapat muncul secara spontan, tetapi melalui serangkaian aksi dan reaksi yang lepas dari kehendak seseorang. Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung selalu mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu serta emosi dalam kepribadian individualnya. Persoalan kebudayaan menjadi menarik karena hal-hal itu orang dapat mendeduksikan pentingnya aspek kultural dalam aktivitas kolektif yang praktis. Segala aktivitas manusia dalam lingkungan menunjukkan proses yang berbeda dengan yang lainnya. Hubungan dengan lingkungan sosial menjadi lebih intensif apabila orang tersebut menguraikan isi hatinya dengan lebih jelas dan dapat lebih mudah menerima maksud dan pendirian individu-individu lain (Koentjaraningrat, 2005). Lingkungan masyarakat menjadikan manusia lebih memahami sebuah proses sosialisasi yang berbeda. Hal ini merupakan perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan internalisasi dalam kepribadiannya. (2) Bentuk-Bentuk Kebudayaan (a) Kebudayaan Materi Bagian materi dari suatu kebudayaan meliputi segala sesuatu telah diciptakan dan digunakan manusia mempunyai bentuk yang dapat dilihat dan diraba. Bentuk kebudayaan materi memberikan ciri suatu produk buatan manusia tanpa memandang apapun ukuran, kerumitan pembuatan, tujuan kebudayaan materi itu. Contoh dari kebudayaan materi itu seperti rumah, pakaian, mobil, dll. Meskipun pada kenyataannya, kebudayaan materi mudah dikenali, kebudayaan tersebut mempunyai kaitan dengan aspek-aspek non materi. Ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa benda yang sama mempunyai kegunaan atau arti berbeda dalam kebudayaan yang berlainan. (b) Kebudayaan Non Materi Aspek non materi digunakan untuk menjelaskan tindakan-tindakan dalam pikiran manusia. Dalam kebudayaan non materi memiliki kategori yang dapat didefinisikan sebagai norma individu dan kategori kelompok norma yang membentuk pranata sosial. Norma tersebut menyatakan konsepsi dari tingkah laku yang hubungannya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial dalam kebudayaan.
52
( 3) Struktur Kebudayaan Komponen struktur kebudayaan adalah suatu cara untuk meninjau isi atau susunan dari kebudayaan yang mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu. Terutama cara untuk memberikan kepada orang membuat klasifikasi kebudayaan yang semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari ide-ide (norma-norma) yang teratur dari tingkah laku manusia. Komponen struktur dari kebudayaan sebagai suatu konsep membantu seseorang untuk menghayati tingkah laku manusia. Masalah tindakan dan ide-ide berkaitan dengan suatu kebutuhan atau situasi tertentu untuk memenuhi syarat sebagai sebuah elemen kebudayaan. Suatu elemen kebudyaan mudah dikenali karena saling berkaitan antara dalam membentuk situasi atau aktivitras tertentu. Kebudayaan merupakan bagian yang mempunyai nilai penting guna memahami kebudayaan tertentu (Wahyudi, 2004). Dengan demikian kebudayaan merupakan mekanisme komplek antara komponen yang satu dengan yang lain untuk membentuk tingkah laku dalam suatu masyrakat tertentu. (4) Unsur-Unsur Kebudayaan Keseluruhan tindakan manusia tertentu dalam masyarakat yang luas dapat diperinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, analisa untuk membagi keseluruhan dalam unsur yang besar disebut unsur-unsur kebudayaan universal. Istilah universal menunjukkan semua dari kebudayaan dari semua bangsa. Koentjaraningrat (2005) mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yaitu : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Bahasa Sistem pengetahuan Organisasi sosial Sistem peralatan hidup dan teknologi Sistem mata pencaharian hidup Sistem religi Kesenian
Tiap-tiap kebudayaan universal menjelma dalam wujud kebudayaan yaitu berupa sistem budaya, berupa sistem sosial dan berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian sistem ekonomi mempunyai wujudnya sebagai konsep rencana-rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi wujudnya berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, pengecer dengan konsumen. Demikian sistem religi wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka dan surga tetapi mempunyai wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik bersifat musiman maupun yang bersifat kadangkala. Kebudayaan universal pada setiap sistem religi mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan religius. Sistem kesenian berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, adat istiadat aktivitas sosial dan sebagainya bersifat universal seperti misalnya sistem kekerabatan. Unsur itu pasti ada dalam tiap masyarakat dan kebudayaan di dunia. Namun untuk keperluan logika dalam metode perincian, sistem kekerabatan dapat dimasukkan dalam golongan adat atau komplek budaya.
53
Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan merupakan unsur khusus dalam rangka organisasi sosial. Sistem kekerabatan merupakan sistematik pemerincian dalam unsur budaya di dalam masyarakat. 5. Wujud Kebudayaan Koentjaraningrat (2005) juga menyebutkan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud ialah : (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama adalah ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup. Warga masyarakat menyatakan gagasan dalam tulisan dan kebudayaan ideal berada dalam karangan dan buku-buku hasill karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. Kebudayaan ideal disebut juga adat tata kelakuan. Maksudnya tata kelakuan menunjukkan bahwa kebudayaan ideal berfungsi sebagai tata kelaksanaan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara khusus adat terdiri dari beberapa lapisan yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma adalah lebih konkret. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas peraturan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia (seperti misalnya aturan sopan santun) merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya. (b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarkat. Wujud kebudayaan dari kebudayaan yang disebut sistem sosial yakni mengenai tindakan pola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, dari detik ke detik, hari ke hari dan tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat kelakuan.Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kehidupan manusia sehari-hari, sehingga sistem sosial bisa diobservasi dan didokumentasi. (c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan hanya karena merupakan seluruh total hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat yang sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Kebudayaan fisik yang dimiliki atau dihasilkan oleh sesuatu bangsa harus digolongkan terlebih dahulu dan tingkatan masing-masing. Sebagai pangkal penggolongan dapat dipakai unsur-unsur universal. Yang kemudian tiap unsur besar dipecah ke dalam sub unsur-unsurnya. Tiap sub unsur ke dalam sub-sub unsurnya, tiap sub-sub unsur kedalam sub-sub unsurnya. Misal aspek fisik dari suatu religi sebagai unsur kebudayaan yang universal adalah gedung (bangunan) tempat pemuja. Unsur besar itu dapat dipecah lagi ke dalam beberapa sub unsur, yaitu perabot upacara. Sub unsur tersebut dapat dibagibagi ke dalam beberapa sub-sub unsur misalnya pendeta pemuja upacara.
54
Ketiga wujud dari kebudayaan di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak dapat terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya. Budaya dan Ekonomi Kreatif Kreasi seni dan ekonomi kreatif merupakan pemahaman terhadap kreativitas yang mencakup semua hasil material yang keberadaannya menjadi bernilai karena manusia. Batas-batas seni sangat bervariasi antara satu budaya dengan budaya yang lain dengan mencerminkan perbedaan cara pandang serta bahan dan teknik yang tersedia dalam masyarakat. Dari perspektif budaya seni kontemporer, dunia bergerak menuju bentuk hubungan keluar dan tidak lagi dalam bentuk berupa hubungan pusat/pinggiran. Perluasan cara pandang seni dan ekspresi memberi sumbangan pada bentuk-bentuk penciptaan campur yang terlihat pada bermacam bentuk karya seni. Kebijakan budaya selain harus terbuka terhadap berbagai pengaruh lintas budaya ini, serta mengakui bahwa kecenderungan globalisasi tersebut bukan berarti tidak membahayakan keanekaragaman budaya. Munculnya bentuk campuran atau saling pinjam karena globalisasi dapat menjadi lebih dari sekadar stereotip, sebagaimana pasar internasional untuk seni „eksotik‟ tradisional dapat berfungsi sebagai tempat yang menghargai seni. Produk kerajinan merupakan bentuk penting dari ekspresi budaya dan ini berarti bahwa pendapatan dan peluang kerja sektor ini di banyak belahan dunia akan semakin meningkat jumlahnya. Kerajinan telah menjadi bagian dari sistem yang sangat terorganisir terdiri dari serikat pekerja, pedagang, dan sistem perbankan, yang merupakan transformasi perekonomian kerajinan tradisional demi memenuhi persyaratan pasar global. Produk kerajinan yang tetap setia kepada tradisi mengandung bentuk dan filosofi yang hanya dimiliki oleh budaya darimana produk itu berasal. Produksi massal dapat mengarah pada kemiskinan tidak melibatkan akar kreatifnya. Membanjirnya produk-produk industrial dari Barat di pasar tradisional telah mengakibatkan dampak serius pada ekonomi kerajinan. Memastikan keuntungan yang adil dari produk kerajinan dan memelihara pengetahuan tradisional tentangnya adalah dua hal yang sama pentingnya. Upaya perlindungan terhadap pembuatan kerajinan dapat dilakukan dengan peraturan perlindungan hukum untuk ekspresi budaya tradisional (folklore). Sampai pada batas tertentu, promosi keanekaragaman budaya sangat bergantung pada dukungan untuk usaha komersial yang disesuaikan dengan konteks budaya dan kendala ekonomi lokal. Kredit mikro yang berdasarkan pada mekanisme ekonomi komersial, dengan mempertimbangkan struktur koperasi dalam suatu masyarakat tertentu telah terbukti sangat berhasil, terutama di negara-negara berkembang (Laporan Dunia UNESCO, 2011).
III ASPEK SOSIAL BUDAYA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI KABUPATEN WAJO DAN BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PENDAHULUAN Persuteraan Indonesia merupakan kelompok agro-industri yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan antara lain: Geografis alam Indonesia sangat mendukung, dan ketersediaan lahan dengan ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut dapat menghasilkan murbei dan kokon yang baik. Produk sutera memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak di gemari masyarakat tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri, usaha persuteraan alam dapat dikelola masyarakat perdesaan secara luas, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara cepat untuk segera mengurangi masalah kemiskinan dan dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan. Permintaan produk sutera baik oleh pasar domestik maupun ekspor dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan persuteraan alam, baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk memenuhi pasar global yang di harapkan dalam waktu tidak terlalu lama. Usaha persuteraan alam dapat membarikan kontribusi yang berati dalam perekonomian nasional. Hal ini akan segera terwujud apabila pengembang persuteraan alam nasional dikelola dengan cermat dan konsepsional oleh instansi pembina dan para stakeholders. Kegiatan persuteraan ini sudah dikenal sejak dahulu kala, dan sudah ada sebagian daerah yang sudah mengembangkannya, kegiatan persuteraan ini memiliki prospek yang bagus sehingga harus dikembangakan. Persuteraan alam merupakan kegiatan agroindustri yang dimulai dari penanaman murbei (produksi daun), pembibitan ulat sutera (produksi bibit ulat), pemeliharaan ulat sutera (produksi kokon), penanganan kokon (processing), pemintalan (produksi benang), pertenunan (produksi kain sutera) sampai dengan pemasaran kain sutera. Sutera alam sesungguhnya telah dikenal dan diusahakan di Indonesia sejak dahulu kala oleh nenek moyang. Hal ini nampak dari kain – kain adat yang dibuat di berbagai daerah yang telah menggunakan bahan baku sutera alam, antara lain kain adat di Aceh, Palembang, Minangkabau, Bali, Samarinda dan di Sulawesi yang sampai kini masih menjadi tradisi yang kuat. Dari berbagai informasi dapat diketahui bahwa industri kerajianan sutera alam pada masa kini berkembang cukup pesat antara lain di Jawa Barat (Garut dan Sukabumi), di daerah Sulawesi Selatan (Wajo, Bulukumba, Soppeng, Enrekang dan Ujung Pandang) serta beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Pati, Candiroto dan Pare. Maka dari itu perlu dilakukan suatu penelitian tentang bagaimana aspek sosial budaya dan profil pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Kabupaten Wajo dan Bulukumba. Menurut Pelras (2006), pekerjaan menenun adalah suatu ketrampilan lokal yang dimiliki oleh nenek moyang dari berbagai suku bangsa yang ada di Nusantara termasuk etnis Bugis Makassar yang kemudian diperkaya oleh corak India dan Cina. Pekerjaan menenun adalah merupakan local genius yang dimiliki oleh etnis Bugis Makassar yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
55
56
Masalah Penelitian Ada dua faktor utama pada aspek sosial budaya dapat memberikan kontribusi dalam memanfaatkan kerajinan sutera yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari perkembangan individu dan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat seperti penguasaan teknologi, manajemen usaha, produk yang masih terbatas, peran pemimpin informal, pengalaman dan pengetahuan. Faktor eksternal berasal dari pengaruh luar individu seperti kebijakan pemerintah, layanan penyuluhan. Hal ini diharapkan mengalami perkembangan yang lebih baik dalam pemanfaatan kerajinan sutera. Maka dari itu pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana aspek sosial budaya pengrajin ekonomi kreatif kerajianan sutera di Kabupaten Wajo dan Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. (2) Mengidentifikasi profil pengrajin ekonomi kreatif berdasarkan ciri-ciri demografis. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : (1) Untuk Mengetahui aspek sosial budaya pengrajin ekonomi kreatif kerajianan sutera di Kabupaten Wajo dan Bulukumba. (2) Untuk Mengidentifikasi profil pengrajin ekonomi kreatif berdasarkan ciriciri demografis.
METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir Kabupaten Wajo dan Bulukumba merupakan penghasil tenun yang terbesar yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dengan keanekaragaman hiasan dan corak (Kahdar, 2009). Kreasi pengrajin ekonomi kreatif banyak dipengaruhi oleh budaya serta adat istiadat yang ada pada daerah tersebut yang mengandung nilai-nilai yang bermakna luhur sebagai wujud dari budaya masyarakat pada masa lampau. Nilai-nilai budaya, pengetahuan dan pengalaman yang entitas suatu individu yang digunakan oleh masyarakat dalam mengelola interaksi antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam merupakan kearifan lokal. Menurut Fukuyama, (2000); Amanah, (2007) memandang kearifan lokal sebagai modal sosial yang dipandang sebagai perkembangan pemberdayaan perekonomian masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat memicu pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang lebih luas yang tumbuh di kalangan masyarakat. Selanjutnya, dalam usaha membangun daerah perlu diberlakukan pemberdayaan budaya lokal atau kearifan lokal yang mendukung penyusunan strategi budaya (Puspa dan Czafrani, 2010).
57
Produk seni kerajinan sutera tradisional dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai wahana perlengkapan upacara adat tradisional. Berbagai produk seni kerajinan sutera telah dikembangkan oleh banyak daerah khususnya di daerah Kabupaten Wajo dan Bulukumba. Perkembangan pola tingkah laku manusia dapat mengubah lingkungannya, alat-alat, masyarakat, keseniannya, agamanya serta menimbulkan perubahan atau modifikasi kebiasaankebiasaan dan lembaga sosial budaya. Hal ini sejalan dengan eksistensi seni kerajinan sutera yang merupakan salah satu produk budaya oleh masyarakat daerah Wajo dan Bulukumba (Nawawi, 2002). Sejalan dengan itu, dalam konteks pembangunan khususnya istilah Ekonomi Kreatif maka pengrajin adalah orang yang bergerak pada bidang ini. Dengan kata lain, adanya pengrajin dapat menggerakan sumber daya lokal guna mempertinggi pencapaian kesejahteraan bersama dan merupakan wahana bagi terselenggaranaya proses belajar-mengajar dan pengambilan keputusan dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi kreatif yaitu memiliki ide, talenta, desain lokal, inovatif, daya saing dan dapat mengelola resiko pada usahanya. Dari berbagai konsep pengrajin ekonomi kreatif dapat diartikan sebagai individu yang memiliki ketrampilan tenun sebagai mata pencahariannya didalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraaan keluarga dengan masih menggunakan prinsip-prinsip dasar ekonomi kreatif. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa suatu pengrajin ekonomi kreatif akan dapat mencapai tujuannya jika dalam pengrajin ekonomi kreatif tersebut saling berinteraksi satu sama lain dalam melaksanakan berbagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan tersebut (Gerungan, 2004). Didalam penelitian ini yang dimaksud dengan pengrajin ekonomi kreatif adalah ciri-ciri yang melekat pada pengrajin sebagai pelaku ekonomi kreatif yang mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi menjadi yang lebih kreatif (membedakan dirinya dengan orang lain berdasarkan ciri khas daerah tertentu). Dalam konteks karakteristik yang bersifat multifungsi yang terkait dengan interaksi sosial dengan aspek kondisi genetik (Salkind, (1989); Steward Jr et al. (1998), Haber dan Reichel (2006) yang mengadakan penelitian bahwa untuk mengukur sumber daya manusia pengusaha kecil berdasarkan pada tingkat pendidikan, ketrampilan dan pengalaman yang mana ditemukan oleh Steward bahwa faktor-faktor individu yaitu umur, pendidikan, gender, suku (race) adalah merupakan faktor individu yang menjadi faktor penentu keberhasilan kegiatan kewirausahaanan yang diawali dengan perumusan tujuan, pembentukan usaha, perencanaan strategis sampai dengan kinerja. Usaha ekonomi kreatif digerakkan oleh pengrajin sebagai pelaku utama ekonomi kreatif adalah sebagai pengelola usaha, tenaga produksi/pekerja, pengelola keuangan dan juga sebagai tenaga pemasaran. Melihat posisi pengrajin ekonomi kreatif yang multifungsi tersebut, maka perlu mendapatkan pengetahuan yang lebih dari seorang manajer yang spesialis dalam bidang tertentu khususnya dalam usaha ekonomi kreatif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pengrajin ekonomi kreatif yang mandiri dan berkelanjutan dengan kualitas sumber daya manusia dengan tingkat inovatif yang lebih baik dapat dilihat dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang pada akhirnya dapat memperbaiki kesejahteraan rumah tangganya.
58
Analisis Data Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua kabupaten merupakan daerah yang mengembangkan usaha ekonomi kreatif kerajinan sutera. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai April 2012. Sampel berjumlah 215 pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba. Penelitian ini dirancang sebagai survei deskriptif yang melakukan pengukuran secara cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik pengrajin, demografi, gambaran sosial budaya masyarakat sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari beberapa instansi terkait dengan penelitian. Adapaun karakteristik pengrajin ekonomi kreatif meliputi : (a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
Umur adalah lamanya tahun kehidupan anggota pengrajin sutera yang diukur berdasarkan jumlah tahun mulai dari lahir sampai sekarang. Parameter Muda < 30 tahun, Dewasa (30-65 tahun), Tua > 65 tahun. Pendidikan formal adalah proses belajar yang dilaksanakan secara berstruktur dan berjenjang yang ditempuh pengrajin sutera selama hidupnya. Dikategorikan SD atau tidak pernah sekolah rendah < 6 tahun, SMP – SMU kategori sedang (7 – 12 tahun), Diploma dan Sarjana katergori tinggi >12 tahun. Pendidikan Non formal adalah proses belajar di luar pendidikan formal yang berfungsi sebagai pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal berdasarkan jumlah mengikuti kegiatan. Dikategorikan rendah (<2 kali ), sedang (3-4 kali) dan tinggi (mengikuti > 4 kali). Tanggungan Keluarga adalah jumlah individu yang masuk dalam tanggungan biaya pengrajin ekonomi kreatif diukur berdasarkan jumlah jiwa yang dibiayai hidupnya. Dikategorikan sedikit <3 jiwa, sedang (3-5 jiwa), banyak >5 jiwa Pengalaman berusaha adalah lamanya waktu yang dilakukan pengrajin sutera dalam tahun, yang dalam hal ini melakukan aktivitas dalam bidang usaha ekonomi kreatif yang diukur berdasarkan jumlah tahun bekerja. Dikategorikan pemula < 10 tahun, Menengah (10-24 tahun), lanjut (>24 tahun) Tingkat kebutuhan adalah aspek fisik dan psikologis yang harus dipenuhi pengrajin dalam kehidupannya yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendididkan. Kebutuhan diukur berdasarkan keperluan yang lebih banyak dibutuhkan untuk kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan didalam menjalankan usahanya. Motivasi berusaha adalah hal yang mendorong pengrajin bekerja di bidang kerajinan saat dilihat dari alasan bekerja sebagai pengrajin.
59
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Wilayah Secara geografis, Provinsi Sulawesi Selatan berada pada 0o12‟-8o Lintang Selatan dan 116o48‟-122o36‟ Bujur Timur, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Timur. Batas Barat dan Timur berturut-turut adalah Selat Makassar dan Laut Flores. Luas wilayah Sulawesi Selatan meliputi 45.574,48 km2, memiliki 20 kabupaten dan 3 kota serta 263 kecamatan (Pemda Makassar, 2012). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Peta Provinsi Sulawesi Selatan Empat etnis suku utama di Sulawesi Selatan meliputi Suku Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Bugis-Makassar menghuni Bagian Selatan dan Tengah wilayah, Pesisir Barat dan Timur Sulawesi Selatan. Suku Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Suku Mandar mendiami Pesisir Barat, bagian Utara dan Toraja mendiami daerah pegunungan di bagian Utara Sulawesi Selatan. Suku Bugis merupakan etnis dominan di Kabupaten Wajo dan etnis Makassar di Kabupaten Bulukumba.
60
Peran sektor-sektor tersebut dalam pembentukan PDRB atas dasar harga konstan berturut-turut dari tahun 2008 – 2010 adalah sektor industri memberikan sumbangan sebesar 8,34 persen, 8,12 persen, dan 8,11 persen. Industri Tekstil memiliki jumlah yang terbesar dengan unit usaha sebanyak 7.742. Hal ini menggambarkan bahwa hampir sebagian dari mata pencaharian penduduk memilih jenis usaha dalam bidang industri khususnya mengenai bahan sutera dan pembuatan kapal Phinisi. Hal ini disebabkan karena jenis mata pencaharian ini sudah merupakan jenis usaha yang turun temurun. Jenis Industri yang tersebar di Kabupaten Bulukumba masih dalam jenis industri rumah tangga dengan jumlah unit usaha sebanyak 422 unit (Lampiran 1-2 ). Kabupaten Wajo cukup potensial sebagai daerah penghasil kerajinan sutera, memiliki cukup banyak jenis usaha sentra pertenunan Gedongan dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Di daerah ini terdapat sekitar 4.982 orang pengrajin gedongan dan 835 orang pengrajin ATBM dengan tenaga kerja 875 orang yang tersebar di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Wajo. Produksi sekitar 1.589.000 meter kain sutera pertahun. Untuk sentra pemintal benang sutera sebanyak 98 orang dengan tenaga kerja sebanyak 289 orang yang tersebar pada beberapa kecamatan di Kabupaten Wajo. Kepala keluarga yang bergerak di bidang penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 301 kepala keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan No 1
Uraian
2
Secara geografis Batasan
3
Kecamatan
4
Desa
5
Penduduk
Sulawesi Selatan Wajo Bulukumba Posisi 30o39‟-40o16‟ LS Posisi 119o58‟ 120o28‟ dan 119o53‟-120o27‟ BT BT dan 05o20‟ 05o40‟ LS Sebelah Utara : Kab. Luwu Sebelah Utara berbatasan dan Kab. Sidenreng dengan Kab. Sinjai, Rappang, Sebelah Timur : Sebelah Timur berbatasan Teluk Bone, Sebelah dengan Teluk Bone, Selatan Kab. Bone dan Sebelah Selatan Kab. Soppeng, Sebelah berbatasan dengan Laut Barat : Kab. Soppeng dan Flores. Sebelah Barat Kab. Sidrap. berbatasan dengan Kab. Bantaeng. Kec. Sabbangparu, Kec. Kec. Bonto bahari Tempe, Kec. Majauleng, Kec. Tanasitolo Kel. Mattirotapparang, Kel. Desa Bira dan Desa Attakae, Pakkana, UjungE, Darubiah Desa Tosora, Sompe Penduduk tahun 2012 penduduk tahun 2012 sebanyak 380.521 jiwa, dan sebanyak 395.268 jiwa terdiri dari penduduk laki– yang terdiri dari 186.890 laki sebanyak 184.015 jiwa laki-laki dan 208.378 dan perempuan sebanyak perempuan 196.506 jiwa.
Sumber : BPS Kabupaten Wajo dan Bulukumba, 2013
Ket. Peta Lamp. 3-4
Peta Lamp. 5-9 Transek Lamp. 1015 Lamp. 1617
61
Di Kecamatan Tempe ada 16 desa/kelurahan yaitu Wiring Palennae, Sitampae, Attakae, Madudukkelleng, Siengkang, Paduppa, Pattirosompe, Cempalagi, Bulupabbulu, Lapongkoda, Teddaopu, Salomenraleng, Laelo, Watallipue, Tempe dan Mattirotappareng. Ada dua desa yang menjadi pusat produksi sutera yaitu Kelurahan Attakae dan Mattirotappareng. Di Kelurahan Mattirotappareng terdapat beberapa toko sutera dan pengusaha sutera serta pasar umum tempat dilakukan transaksi penjualan sutera. Banyak pengrajin ekonomi kreatif dari beberapa desa yang biasanya mengirimkan atau membawa kerajinan sutera pada toko, pasar dan pengusaha tersebut untuk dipasarkan hasil kerajinan sutera. Walaupun Kelurahan Mattirotappareng berada di Ibukota Kecamatan, tetapi masih terdengar sayup-sayup orang menenun sutera di daerah tersebut. (Lampiran 10 ). Kelurahan Attakae merupakan lokasi pariwisata di Kecamatan Tempe tepatnya yaitu rumah adat Attakae. Perumahan adat Attakkae terdapat di pinggiran Danau Lampulung, Kelurahan Attakkae Kecamatan Tempe sekitar 3 km sebelah timur kota Sengkang. Pada tahun 1995 kawasan ini merupakan gambaran sebuah perkampungan Bugis dimana terdapat duplikat rumah tradisional yang dihimpun dari berbagai kecamatan sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksaan pameran, seminar dan antraksi budaya permainan rakyat. Jika akan menuju ke daerah kelurahan Attakae sepanjang jalan untuk menuju rumah adat Attakae sudah terdengar lentunan kayu pertanda pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera tengah beraktivitas melakukan pekerjaannya (Lampiran 11). Kecamatan Tanasitolo khususnya di Desa Pakkana dan UjungE permintaan dari berbagai kecamatan setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa bahan sutera tumbuh dan berkembang di daerah ini. Oleh karena itu di Desa Pakkana Kecamatan Tanasitolo dijadikan sebagai sebuah perkampungan sutera. Sebagian besar warga desa ini adalah para peternak ulat sutera sekaligus pengrajin tenun sutera. Di desa ini bisa ditemui kebun-kebun murbei sebagai lahan tumbuh bagi ulat-ulat penghasil kepompong yang nantinya menjadi bahan baku utama „lippa sa‟bbe‟ setelah sebelumnya dipintal menjadi benang. Tak jarang kebun-kebun tersebut berada di bawah rumah-rumah kayu penduduk. Suara “Tenun Bola-Bola, demikian masyarakat setempat menyebut alat tenun mereka yang dioperasikan oleh para pengrajin bisa di dengarkan di hampir seluruh wilayah Kecamatan Tanasitolo (Lampiran 12). Desa yang ada di Kecamatan Majauleng adalah Desa Tosora yang terletak sekitar 14 km di sebelah Timur Kota Sengkang. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor maupun mobil. Desa tosora adalah daerah bekas ibukota Kabupaten Wajo sekitar abad ke 17. Banyak peninggalan bersejarah dan kepurbakalaan yang terdapat di desa ini misalnya makam raja-raja Wajo, bekas gudang amunisi kerajaan (geddong) mesjid kuno yang dibangun pada tahun 1621. Di desa inilah pertama kali orang melakukan pekerjaan menenun sutera dengan alat gedongan hingga saat sekarang sudah menggunakan alat ATBM. Untuk usaha kerajinan rumah tangga di Desa Tosora sebanyak 200 unit dengan tenaga kerja 215 orang (Lampiran 13). Desa Sompe berada di Kecamatan Sabbangparu, desa ini terdapat penanaman murbei hingga proses pembuatan kain sutera. Sejak dahulu menjadi obyek yang menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Kabupaten Wajo. Lokasi penanaman murbei terletak di Kecamatan Sabbangparu sekitar 10 Km dari
62
Kota Sengkang. Di tempat ini wisatawan dapat menyaksikan proses penanaman Murbei, pemeliharaan ulat sutera, proses pemintalan benang sutera, sampai pertenunan menjadi kain sutera (Lampiran 14). Penduduk Desa Bira dan Darubiah merupakan bagian dari Suku Makassar dengan menggunakan dialek Konjo. Ditinjau dari sudut pendidikan umumnya pemuda-pemudi Desa Bira dan Darubiah memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah, sebab untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus ke ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten (Lampiran 15). Ketinggalan dalam hal fasilitas pendidikan ini boleh dikatakan sangat berpengaruh pada sektor lapangan kerja khususnya bagi yang putus sekolah sehingga dominan hanya dapat bekerja sebagai buruh kasar, nelayan, tukang kayu dan sebagian besar adalah pengrajin ekonomi kreatif. Khusus pada pekerjaan pengrajin ekonomi kreatif umumnya tersebar pada seluruh Desa Bira dan Desa Darubiah (transek) sehingga masyarakat atau pemuda-pemudi Bira dan Darubiah yang memiliki ketrampilan tersebut tidak hanya terbatas pada mereka yang putus sekolah tetapi sebahagian dari mereka yang berpendidikanpun juga dapat menenun. Hal ini disebabkan karena pengrajin ekonomi kreatif sudah menjadi pekerjaaan dan ketrampilan yang biasa dilakukan sebab pekerjaan orang tua mereka sejak dulu adalah pengrajin ekonomi kreatif. Sama halnya dengan Desa Darubiah rata-rata masyarakat tersebar pada beberapa dusun dengan tingkat mata pencaharian wanita adalah sebagai pengrajin ekonomi kreatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Denah lokasi pengrajin ekonomi kreatif di Desa Darubiah Aspek Sosial Budaya Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera Pada Klasifikasi Industri Kreatif Menurut United Nations Conference On Trade And Development (UNCTAD) menggolongkan kerajinan sutera termasuk dalam kategori heritage, karena memiliki ekspresi budaya tradisional. Kerajinan sutera ini merupakan kerajinan yang sudah diusahakan oleh masyarakat Kabupaten Wajo dan Bulukumba secara turun temurun. Kebudayaan adalah sesuatu yang bersifat dinamis. Nilai sosial budaya membentuk suatu keyakinan yang menjadi pedoman dalam perjalanan hidup
63
manusia. Geertz (1981) kebudayaan merupakan pola dari pengertian dan makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Menurut Pelras (2006) bahwa etnis Bugis Makassar selalu mendefenisikan diri mereka berdasarkan kerajaan-kerajaan Bugis yang pernah ada di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa, Luwu, Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng. Kebudayaan Bugis Makassar menunjuk pada suatu tradisi yang hidup dibeberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Terjadinya perubahan dalam kebudayaan Bugis disebabkan karena adanya kontak dengan kebudayaan dari luar seperti antara kebudayaan Bugis dengan bangsa-bangsa Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Peran agen perubahan (agen of change) sangat menentukan dalam proses perubahan kebudayaan. Agen perubahan yang turut memberikan andil terjadinya perubahan pada kebudayaan Bugis yaitu ulama, pedagang, kerajaan (para raja-raja dan bangsawan) negara atau pemerintah, media dan mausia Bugis Makassar itu sendiri. Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat beraneka ragam tenunan, hasil karya tenunan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki pengalaman historis serta penguasaan pengetahuan dan teknologi yang telah tumbuh dan berkembang. Aktivitas menenun menggunakan peralatan dari kayu yaitu “Gedokan” orang Bugis menyebutnya “ Ewangeng Tennung “ dalam bahasa makassar disebut Pa”tanning. Proses menenun hingga kini tidak banyak mengalami perubahan kecuali pada bahan baku dan ragam hias yang berkembang. Jenis tenunan Bugis Makassar yang dikenal salah satunya berasal dari Bira Kabupaten Bulukumba yang disebut Gambara, selain itu dikenal pula Sutera Makassar. Daerah Pertenunan di Kabupaten Bulukumba hanya terdapat di salah satu kecamatan yakni kecamatan Bontohari yakni Desa Darubiah dan Desa Bira. Sama halnya dengan Kabupaten Wajo yang cukup terkenal dan mengharumkan nama kota sengkang adalah sarung sutera (Lipa‟sabbe to sengkang). Kabupaten Wajo dan Bulukumba yang sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena masyarakat yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain sarung memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan didaerah lainnya sehingga tidak mengherankan jika menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan. Disamping dikenal sebagai kota niaga, sarung sutera berdasarkan etnis Bugis dan Makassar sudah sedemikian dikenal bahkan hingga ke mancanegara. Menengok ke masa yang lalu aktivitas masyarakat Wajo dan Bulukumba dalam mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga. Hampir di setiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan persuteraan dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalan menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain sutera. Untuk lebih jelasnya tentang proses pembuatan kain sutera dapat dilihat pada (Lampiran 18). Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan “Sabbe” dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedongan dan ATBM dengan corak motif yang diproduksi seperti Gambar 15.
64
Gambar 15 Corak kain sutera khas Bugis Berbeda di Kabupaten Bulukumba memakai istilah “gambara” yang mengandung nilai dan makna penting. Gambara artinya gambar dengan arti kain tenun ini memiliki gambar-gambar dengan ragam hias/motif yang melambangkan simbol-simbol yang menggambarkan kehidupan masyarakat di Kabupaten Bulukumba khususnya Desa Bira dan Darubiah. Gambara ini memiliki nilai sesuai dengan peristiwa daur hidup manusia seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Pemakainya mengekspresikan suatu penghormatan bagi pelaku-pelaku upacara dan masyarakat yang terlibat. Untuk motif dan corak dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Corak kain sutera khas Makassar Kegiatan pengrajin ekonomi kreatif merupakan kegiatan yang melekat pada sebahagian masyarakat Bugis dan Makassar. Hal ini bisa dipahami bahwa adanya kepercayaan masyarakat Bugis dan Makassar bahwa seorang perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa menenun (bisa menyelesaikan minimal satu lembar kain) maka ia sudah layak menikah. Kegiatan pengrajin ekonomi kreatif merupakan suatu bentuk ketrampilan perempuan Bugis-Makassar yang menjadi kebanggaan masyarakat Bugis-Makassar. Produksi tenunan Bugis Makassar memiliki kekhasan tersendiri dari segi warna, corak dan bahan bakunya. Pada tahun 1965 perkembangan sutera di Kabupaten Wajo dimulai dari seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan “Ranreng Tua” Wajo yaitu memperkenalkan alat tenun baru dari Thailand dan mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai Silk) dalam skala besar, beliau mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan sebagai ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan
65
kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo. Kahdar (2009) membagi tiga proses transformasi estetika kain tenun yaitu (1) Babak I (1400-1600) dikategorikan corak tidak bergambar, hanya berupa garis-garis vertikal (matetong) maupun horizontal (makkalu) atau sama sekali tidak memiliki gambar. Bahan baku yang digunakan adalah serat katun dengan menggunakan alat tenun gedongan (2) Babak II (1600-1900) dengan corak kotakkotak (palekat) produk yang dihasilkan lebih baik dengan memadukan kotakkotak dan garis-garis dengan hiasan benang emas dan perak. (3) Babak III (1900sampai saat ini ) dengan corak desain yang bergambar bunga dan bintang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan ketrampilan pengrajin ekonomi kreatif. Hal ini membuktikan bahwa etnis Bugis Makassar sangat dinamis dimana struktur tenun sudah mengenal struktur subbik (tenunan yang menyerupai hasil sulaman). Babak inilah yang terlihat perkembangan perubahan corak oleh pengrajin ekonomi kreatif. Tahun 2007 industri pertenunan telah dikembangkan sebanyak 6.787 unit usaha, yang dapat menyerap tenaga kerja sekitar 19.544 orang dengan nilai investasi ± Rp. 8.176 M dan hasil produksi ± Rp. 34.432 M produksi tersebut menggunakan ATBM dan pertenunan Gedongan. Guna pengembangan lebih lanjut hasil sutera di Kabupaten Wajo maka dibutuhkan perhatian instansi terkait dalam penyediaan bahan baku dan investasi ATBM, Input Teknologi Finishing, Batik Sutra, Pasar Grosir/Mini Mall, Deversifikasi, dan perluasan areal tanaman murbey makanan ulat sutera. Pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Kabupaten Wajo dan Bulukumba adalah bagian dari masyarakat yang bersifat terbuka dan dinamis senantiasa memiliki keinginan pribadi (self interest) untuk berkembang. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pengusaha yang menggunakan pengrajin ekonomi kreatif sebagai tenaga buruh. Namun disisi lain pengrajin ekonomi kreatif masih menggunakan tenaga kerja keluarga dan berproduksi atas dasar pesanan dari pembeli atau pedagang. Basis etika moral orang Bugis Makassar pada umumnya memiliki nilainilai utama kebudayaan Bugis Makassar yang bertumpu pada budaya siri dan pesse, hal ini yang mendorong para pengusaha tenun untuk tetap membantu para pengrajin ekonomi kreatif yang kurang memiliki modal untuk tetap membuat sarung sutera. Sistem ekonomi tenun secara perlahan mulai berubah dari bentuk produksi yang bersifat kultural menjadi produksi yang bersifat ekonomis dalam jaringan kultur struktur sosial yang tergantung satu dengan yang lainnya. Produksi yang sebelumnya hanya untuk keluarga dan adat (produk kultural) kini mulai berubah menjadi kepentingan sosial dan ekonomi. Kegiatan menenun ini bagi masyarakat Bugis mampu memberikan keuntungan yang sedikit untuk membantu pendapatan keluarga. Kondisi ini menyebabkan kegiatan menenun bukan hanya sebagai mata pencaharian sampingan untuk membantu ekonomi keluarga tetapi sebagai mata pencaharian pokok yang bisa membantu keluarga. Bertahannya budaya menenun oleh pengrajin ekonomi kreatif tidak terlepas dari kuatnya adat istiadat serta agama yang dianut sebagai falsafah hidup yang menjembatani zaman. Hasil kerajinan sutera yang dihasilkan oleh pengrajin ekonomi kreatif terlihat jelas pada tampilan hasil tenun. Corak dan warna merupakan bentuk yang menunjukkan identitas tertentu seperti tampilan
66
kebangsawan maupun umur dari si pemakai. Makin rumit corak menandakan tingkat kebangsawan, hal ini berkaitan dengan warna si pemakai, makin gelap warna kain sutera maka diperuntukkan yang berusia tua. Dari uraian diatas nampak bahwa sistem ekonomi pada masyarakat Bugis Makassar menunjukkan bahwa kegiatan pengrajin ekonomi kreatif tidak hanya terkait masalah kepentingan individu tetapi dengan aspek agama, sosial dan budaya hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sajogyo (2006) bahwa jika ingin memahami masyarakat Indonesia maka pahami sistem kebudayaannya. Profil Persuteraan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba Tanaman murbei (Morus, sp) adalah tanaman yang merupakan makanan utama ulat sutera sehingga keberadaannya mutlak dibutuhkan dalam kegiatan persuteraan alam dan pemeliharaan ulat sutera. Penanaman murbei yang sentra pengembangannya ditemui di Kecamatan Sabangparu hingga saat ini menempati luas lahan sekitar 240 hektar dengan menggunakan sistem penanaman berupa pertanaman murni, pertanaman tumpangsari dan tanaman pekarangan. Jika diasumsikan produksi 140 ton daun murbei per hektar maka lahan tanaman murbei di Kabupaten Wajo potensi produksinya bisa mencapai 33.600 ton daun murbei dan dapat memenuhi pemeliharaan 48.000 box telur ulat sutera. Adapun jenis spesies tanaman murbei yang dikembangkan meliputi : Morus nigra, Morus cathayana, Morus alba, Morus multicaulis, Kanva dan S 54. Tanaman murbei di Kabupaten Wajo untuk jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pemikiran untuk dikembangkan bukan hanya terbatas sebagai bahan makanan ulat sutera tetapi lebih jauh lagi dilakukan diversifikasi penggunaannya sebagai tanaman biofarmaka atau campuran bahan kosmetik, karena berdasarkan penelitian yang ada menunjukkan bahwa murbei mengandung banyak bioaktif, daun mudanya dapat dibuat sayur sehat yang berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi, memperbanyak ASI, mempertajam penglihatan dan baik untuk pencernaan. Sedangkan buahnya bermanfaat untuk memperkuat ginjal, meningkatkan sirkulasi darah, mengatasi sembelit dan orang tiongkok percaya bahwa buah murbei dapat mempertajam pendengaran. Disamping itu kulit pohon murbei dapat diracik sebagai obat asma, muka bengkak dan batuk serta akan pohon murbei dapat direbus sebagai penawar demam. Ulat sutera (Bombyx mori sp) merupakan sejenis ulat putih yang spesifik menghasilkan kokon untuk diolah menjadi benang sutera hingga ditenun menghasilkan kain sutera dengan tekstur yang halus, lembut dan memiliki estetika yang tinggi. Ulat sutera yang dikembangkan di Kabupaten Wajo umumnya berasal dari bibit telur ulat sutera F1 Jenis Bivoltine produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng dan bibit telur ulat sutera F1 yang diimpor dari China. Disamping itu inovasi masyarakat juga mengembangkan bibit dengan melakukan persilangan bibit ulat sutera F1 jenis Bivoltine dengan bibit ulat sutera jenis Polyvoltine. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera sangat dibutuhkan keuletan dan ketekunan terutama karena ulat sutera sangat peka dengan lingkungan dan hama seperti semut, tikus, burung maupun cecak bahkan jika penangannya tidak tepat ulat sutera dapat terserang penyakit Fibrine yang sangat merugikan. Oleh karena itu dalam pemeliharaan ulat sutera kebersihan desinfeksi dan kelembaban harus senantiasa dijaga agar menghasilkan kokon yang banyak dan berkualitas tinggi.
67
Kokon adalah produk hasil pemeliharaan ulat sutera. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera dapat dilihat dari jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan. Hingga saat ini produksi kokon yang mampu dihasilkan oleh pemelihara ulat sutera di Kabupaten Wajo berkisar dari 18-40 kg per box atau sekitar 416.771 kg kokon pertahun. Namun tantangan yang masih terjadi adalah mutu produk hasil kokon yang ada masih tergolong rendah dan berdampak pada rendahnya harga jualnya sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pemelihara ulat sutera. Walaupun demikian hampir semua produk hasil tersebut masih terserap oleh pasar disebabkan karena tingginya permintaan pasar. Oleh karena itu input teknologi yang lebih maju dan pengembangan kapasitas petani dan kelembagaannya perlu mendapat perhatian demi meningkatkan produksi dan kualitas kokon yang dihasilkan di masa yang akan datang. Usaha pemintalan sutera di Kabupaten Wajo berkembang dalam beberapa tingkatan bila dilihat dari operasionalnya yaitu menggunakan alat reeling dengan sistem manual, semi mekanis dan semi otomatis. Setidaknya terdapat 91 orang pengusaha yang menggeluti usaha ini dengan memperkerjakan 822 orang tenaga kerja. Dengan menggunakan alat mesin pemintal sebanyak 274 unit mereka mampu menghasilkan benang sutera mentah belum siap tenun sebanyak 6.389 kg per tahun dan selanjutnya benang sutera tersebut harus melalui proses penggintiran (twisting) lagi untuk mendapatkan benang sutera twist tenun. Kondisi inilah yang memberikan pilihan kepada pengusaha pertenunan sutera untuk menggunakan benang sutera dari daerah lain seperti dari Kabupaten Enrekang, Kabupaten Minahasa bahkan menggunakan benang sutera import yang sudah ada walaupun dengan harga yang lebih mahal demi memenuhi tuntutan kualitas permintaan pangsa pasar yang ada. Memperhatikan kondisi industri pemintalan sutera ini pemerintah daerah Kabupaten Wajo merespon dengan mendatangkan peralatan laboratorium satu unit pada tahun 2005 dan alat mesin pemintalan otomatis sebanyak enam unit. Pada tahun 2008 yang saat ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh pengusaha maupun pengrajin ekonomi kreatif sehingga mampu memperbaiki dan meningkatkan mutu benang sutera yang dihasilkan. Peralatan lain yang diadakan pemerintah adalah alat mesin finishing sutera satu unit, namun belum dipergunakan secara optimal hal ini disebabkan karena pengoperasionalan mesin ini membutuhkan keahlian khusus dan biaya yang tidak sedikit sehingga dalam jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pelatihan personal dan tambahan modal bagi pengusaha maupun pengrajin ekonomi kreatif. Usaha pertenunan sutera merupakan kegiatan yang paling banyak digeluti oleh pelaku persuteraan di Kabupaten Wajo, hal ini dilatar belakangi oleh produk kain sutera yang dihasilkan mempunyai nilai kegunaan yang dipadukan dengan nilai estetika budaya setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan karakteristik yang tersendiri mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang. Dalam perkembangannya pengrajin pertenunan sutera bukan saja menghasilkan kain sarung, tetapi sudah mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif tekstur dalam bentuk kain putih dan warna maupun kain yang ditenun dengan memadukan benang sutera dengan bahan serta lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk sutera. Dalam proses
68
produksinya pengrajin lebih banyak menggunakan alat pertenunan tradisional, alat ATBM dan pengembangannya namun melalui teknik, inovasi dan kerja keras pengrajin mampu menghasilkan produk yang berkualitas tinggi bahkan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan produksi mesin alat pertenunan modern. ATBM adalah semua bentuk peralatan yang dapat membuat kain tenun tidak digerakkkan oleh tenaga mesin melainkan digerakkan secara manual dengan tenaga manusia. ATBM disebut juga dengan alat tenun Model TIB berasal dari kata “Textile Incrichting Bandung“ karena lembaga inilah yang mula-mula menciptakan alat tenun ini di Indonesia sejak tahun 1912. ATBM pertama kali masuk dan dipergunakan di Kabupaten Wajo pada tahun 1950 an dimana pada awalnya hanya memproduksi sarung Samarinda. Sejak tahun 1980 an mulai diproduksi sarung sutera dengan motif Ballo Tettong hingga dalam perkembangan selanjutnya ATBM bukan saja memproduksi kain sutera tetapi lebih dikembangkan untuk memproduksi kain motif tekstur polos, selendang, perlengkapan bahan pakaian, accessoris rumah tangga, hotel, kantor dan sebagaimananya berdasarkan permintaan pasar dan konsumen. Jika diperhatikan kondisi pertenunan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan umumnya merupakan usaha kecil dengan penggunaan peralatan tenun berupa gedokan dan ATBM. Hal yang perlu mendapat perhatian dari lembagalembaga yang terkait guna meningkatkan produksi seni kerajinan tenun sutera yang berkualitas seperti kain sutera untuk keperluan tertentu misalnya keperluan pakaian adat. Selain berbagai perubahan bentuk maka pergeseran makna yang mencolok yang dapat dilihat akhir-akhir ini adalah perubahan penggunaan dan pemakaian tenun sutera wajo seperti perbaikan bentuk dan penggunaannya yang pada awalnya hanya merupakan tenunan sarung dan baju bodo namun sekarang telah berubah dengan berbagai kegunaan seperti baju, jas bluiser, dasi, kipas sutra, tempat lipstik, tempat pensil, dompet dan tas pesta. Perubahan dan pergeseran berfungsi seperti itu pada umumnya dibuat demi memenuhi permintaan pasar yang juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dari pertenunan sutera. Tenun sutra tradisional Wajo dan Bulukumba sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Wajo terlihat dari produksi petani dan pengrajin tenun sutera. Selain di Kabupaten Wajo dan Bulukumba serta daerah lainnya di Sulawesi Selatan, pemasaran kain sutera masih dilakukan bebas artinya pihak konsumen dapat langsung membeli kain sutera kepada pengrajin ekonomi kreatif. Para pengrajin ekonomi kreatif mulai memahami arti berkelompok, oleh karena itu para pengrajin selalu mengikuti perubahan-perubahan yang diikuti dengan kerjasama antara kelompok walaupun pada awalnya mereka hanya bekerja secara perorangan dirumah masing-masing. Adanya perubahan seperti ini sangat bermanfaat bagi pengrajin dalam berkelompok sehingga memungkinkah mereka untuk saling berbagi pengalaman untuk mencapai hasil yang lebih baik. Selain itu melalui kerjasama antara kelompok tersebut dapat terjadi peningkatan kualitas dan kualitas hasil produksi sehingga kompetensi diantara mereka memberikan manfaat yang saling menguntungkan. Desa Pakkana yang dari dahulu terkenal dengan industri pertenunan ATBM-nya sampai ke mancanegara menyebabkan daerah ini dijadikan sebagai ikon kota Sengkang karena itulah setiap usaha rumah tangga disini selalu
69
mengupayakan modifikasi yang baru dari tenun kain sarung sutera. Oleh karena itu masyarakat desa Pakkana sangat membutuhkan pelatihan dan informasi baik tentang cara memodivikasi tenun sutra sehingga lebih bernilai tinggi (mahal) serta ingin mengetahui manajemen usaha sehingga dalam mengatur keuangan usaha sehingga mereka lebih bijak. Demikian juga dengan kondisi permodalan yang dimiliki kecil sehingga belum mampu memenuhi permintaan pasar secara maksimal. Cara pengelolaan usaha yang tidak konsisten dalam menjaga kualitas hasil industri pertenunan juga menjadi pemicu ketidaklancaran usaha utamanya bagi pengrajin ekonomi kreatif pemula. Satu hal yang perlu diketahui oleh permintaan pasar dari Negara Jepang terhadap sutera asal desa Pakkana yaitu mensyaratkan tidak boleh mengandung zat kimia utamanya Timbal (Pb) karena itulah pengusaha sutera baik kecil maupun menengah berupaya mencari cara menghasilkan sutera yang tidak mengandung Timbal (Pb) dengan cara mengganti pewarna kimia dengan pewarna alami namun hal tersebut tidak dapat diterapkan oleh pengrajin ekonomi kreatif karena bahan pewarna kimia lebih cepat, mudah dan praktis penggunaannya. Profil Pengrajin Ekonomi Kreatif berdasarkan Ciri-ciri Demografi Pengukuran dalam penelitian ini merujuk pada Kerlinger (1996) bahwa pengukuran adalah pemberian angka pada obyek-obyek atau kejadian-kejadian menurut aturan. Aturan tersebut adalah suatu metode untuk memetakan suatu sifat atau petunjuk tentang obyek tertentu. Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa profil pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Kabupaten Wajo dan Bulukumba dapat dilihat pada Tabel 4. Umur Pengrajin Ekonomi Kreatif Pengrajin ekonomi kreatif yang mengusahakan kerajinan sutera dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur. Rata-rata pengrajin ekonomi kreatif menjalankan usaha kerajinan sutera berada pada usia 30-65 tahun, mereka adalah generasi penerus usaha kerajinan yang dijalankan oleh orang tua mereka maupun keluarganya. Usaha yang mereka jalankan adalah usaha yang secara turun temurun dari keluarga mereka sebelumnya. Sampai saat ini usaha yang dilakukan belum memiliki usaha lain, hal ini disebabkan karena kurangnya modal dan pengembangan produk yang dilakukan. Usia muda di Kabupaten Wajo lebih banyak hal ini disebabkan karena mereka tidak lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan menikah di usia muda dengan alasan ingin menambah pendapatan rumah tangga dan untuk membantu orang tua mencari nafkah. Untuk usia dewasa memiliki jumlah yang sama banyaknya di Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Wajo dengan alasan bahwa rata-rata pengrajin ekonomi kreatif ingin membantu ekonomi keluarga. Usia lanjut lebih banyak pada Kabupaten Bulukumba hal ini disebabkan karena mereka masih ingin mencari nafkah sendiri tidak tergantung pada anak dan keluarganya serta mereka tidak ingin membuang waktu luang. Usia Produktif masing-masing desa penelitian terlihat hal ini sangat menunjang untuk kegiatan ekonomi kreatif yang membutuhkan kreativitas dan ide dari pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.
70
Tabel 4 Profil Pengrajin Ekonomi Kreatif berdasarkan ciri-ciri demografi Wajo No
1
2
3
4
5
6
7
Uraian
Tempe
Kriteria
muda <30 tahun dewasa 30-65 thn Umur tua > 65 thn Jumlah rendah < 6 thn Pendidikan sedang 7 - 12 thn Formal tinggi > 12 thn Jumlah rendah 1-2 kali Pendidikan sedang 3-4 kali Non Formal tinggi > 4 kali Jumlah rendah < 3 jiwa Tanggungan sedang 3-5 jiwa keluarga tinggi > 5 jiwa Jumlah pemula < 10 thn Pengalaman menengah 10 -24 thn berusaha lanjut > 24 tn Jumlah teman pelaku Pemberdayaan Motivasi keluarga berusaha diri sendiri Jumlah sandang pangan Tingkat kesehatan kebutuhan pendidikan Jumlah
n 8 15 2 25 5 20 0 25 24 1 0 25 7 18 0 25 3 14 8 25 3 0 13 9 25 0 25 0 0 25
% 32 60 8 100 20 80 0 100 96 4 0 100 28 72 0 100 12 56 32 100 12 0 52 36 100 0 100 0 0 100
Tanasitolo n % 11 32 19 54 5 14 35 100 9 26 26 74 0 0 35 100 33 94 2 6 0 0 35 100 8 23 23 66 4 11 35 100 3 9 18 51 14 40 35 100 7 20 0 0 16 46 12 34 35 100 0 0 35 100 0 0 0 0 35 100
Majauleng n % 5 13 30 77 4 10 39 100 21 54 18 46 0 0 39 100 38 97 1 3 0 0 39 100 4 10 32 82 3 8 39 100 0 0 20 51 19 49 39 100 11 28 0 0 13 33 15 39 39 100 0 0 39 100 0 0 0 0 39 100
Sabbangparu n % 0 0 20 67 10 33 30 100 10 33 20 67 0 0 30 100 29 97 1 3 0 0 30 100 1 3 24 80 5 17 30 100 0 0 9 30 21 70 30 100 5 17 0 0 15 50 10 33 30 100 0 0 30 100 0 0 0 0 30 100
Bulukumba Bonto bahari n % 5 6 57 66 24 28 86 100 39 45 47 55 0 0 86 100 80 93 6 7 0 0 86 100 4 5 71 82 11 13 86 100 1 1 28 33 57 66 86 100 15 18 0 0 44 51 27 31 86 100 0 0 86 100 0 0 0 0 86 100
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2013
Berdasarkan data pada Tabel 4 bahwa semakin bertambah umur pengrajin sutera maka akan semakin kurang baik tingkat keinovatifan ekonomi kreatif dalam aspek frekuensi mengikuti pelatihan. Bertambahnya umur mempengaruhi motivasi pengrajin akan pentingnya mengikuti pelatihan untuk meningkatkan tingkat keinovatifan ekonomi kreatif sejalan dengan penelitian (Utami, 2007), bahwa kemampuan fisik seseorang sangat ditentukan oleh tingkatan umur, dimana pada batas umur tertentu dengan semakin bertambahnya umur maka kemampuan fisik juga melemah.
71
Pendidikan Formal Pengrajin Ekonomi Kreatif Tingkat pendidikan pengrajin ekonomi kreatif berdasarkan strata pendidikan formalnya, untuk Kabupaten Bulukumba masih terdapat pengrajin yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah pada desa Darubiah. Jumlah tingkat pendidikan kategori sedang berada pada desa Bira adalah pengrajin ekonomi kreatif dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat. Pengrajin ekonomi kreatif tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hal ini disebabkan karena orang tua mereka tidak mampu lagi membiayai sekolah sehingga rata-rata dengan umur demikian kebanyakan sudah membantu orang tua mencari nafkah dan menikah di usia muda sehingga untuk tingkat pendidikan yang tinggi di kabupaten Bulukumba tidak ada berbeda dengan Kabupaten Wajo masih memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau masih berstara SMA/sederajat. Oleh karena itu untuk pengrajin ekonomi kreatif Kabupaten Wajo masih memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik dibanding dengan Kabupaten Bulukumba (Tabel 4). Desa Bira dan Darubiah tidak memiliki tingkat pendidikan strata diploma atau sarjana, hal ini disebabkan tingkat ekonomi didaerah tersebut masih rendah, sama halnya dengan Kabupaten Wajo juga tidak memiliki pendidikan sarjana atau diploma khususnya pada Desa Sompe, Pakkana, UjungE, Mattirotapareng serta Attakae. Hal ini disebabkan tingkat ekonomi didaerah tersebut termasuk tingkat ekonomi rendah walaupun disamping mata pencaharian sebagai pengrajin ekonomi kreatif mereka masih ada pekerjaan tambahan yang bisa dilakukan secara part time yakni sebagai pemintal benang. Tingkat pendidikan yang rendah menghambat intensitas komunikasi pengrajin untuk berkomunikasi secara utuh dan objektif mengenai inovatif ekonomi kreatif. Menurut penelitian Setyorini (2000), bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pemahamannya terhadap sesuatu yang dipelajari. Tingkat pendidikan yang rendah menghambat intensitas peternak dalam menggali informasi peternakan melalui penyuluh maupun media penyuluhan. Pendidikan Non Formal Pengrajin Ekonomi Kreatif Pendidikan non formal pengrajin ekonomi kreatif baik di Kabupaten Bulukumba maupun di Kabupaten Wajo secara umum termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya tingkat pendidikan non formal pengrajin terkait penyelenggaaran pelatihan maupun magang yang tidak secara rutin dilakukan, hal ini adanya kecenderungan pengrajin yang mengikuti pelatihan hanya yang pengrajin itu saja. Selain itu banyak pengrajin yang belum ikut atau tidak aktif dalam kegiatan pelatihan maupun magang, hal ini disebabkan karena tidak mengetahui informasi tentang adanya pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun Swasta. Hampir diseluruh daerah penelitian tidak mendapatkan pelatihan maupun penyuluhan yang khusus menangani masalah pengrajin. Hal ini merupakan masalah dari pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera karena tidak adanya pendamping atau pelaku pemberdayaan yang secara khusus menangani masalah pengrajin ekonomi kreatif, penyuluh maupun pelaku pemberdayaan lebih fokus ke masalah-masalah yang ada di petani (Tabel 4). Beberapa fakta yang dikemukakan oleh Bird bahwa pendidikan bagi pengrajin sangat penting sebagai upaya pengembangan kompetensi untuk
72
keberhasilan usaha. Pendidikan non formal bertujuan untuk memperkuat dan mendorong kreatifitas, keingin tahuan dan ketrampilan yang bagus hal tersebut berkontribusi dengan usaha ekonomi kreatif terhadap keinovatian dan kemampuan mengelola sumberdaya. Maka dari itu dengan adanya pendidikan non formal maka pengrajin dapat menghadapi kesulitan dalam memperoleh materi-materi yang kreatif dan inovasi. Tanggungan Keluarga Pengrajin Ekonomi Kreatif Usaha kerajinan sutera yang diusahakan oleh pengrajin ekonomi kreatif dipergunakan untuk menghidupi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Pengrajin ekonomi kreatif memiliki tanggungan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan pengrajin ekonomi kreatif rata-rata berada antara 3-5 jiwa. Untuk Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba berbeda tanggungan keluarga; untuk Kabupaten Bulukumba lebih banyak dibandingkan dengan KabupatenWajo. Hal ini disebabkan di Kabupaten Bulukumba sebagian masyarakatnya masih memegang prinsip “banyak anak banyak rejeki” berbeda dengan Kabupaten Wajo pengrajin ekonomi kreatif selalu ditinggal oleh suami yang berlayar sehingga mereka takut memiliki banyak anak (Tabel 4). Pengalaman Berusaha Pengrajin Ekonomi Kreatif Haveclock (1969) menyatakan bahwa pengalaman seseorang mempengaruhi kecenderungannya untuk membutuhkan dan siap menerima pengetahuan baru. Pengalaman berusaha seorang pengrajin dapat berhubungan dengan kemampuan dalam menjalankan usahanya, selama masa menjalankan usaha orang tersebut akan mengalami suatu proses belajar, termasuk mendapatkan pelajaran cara mengatasi permasalahan yang mereka hadapi sendiri tanpa ada pelaku pemberdayaan maupun penyuluhan yang mereka dapatkan. Pengalaman berusaha oleh pengrajin ekonomi kreatif memiliki pengalaman yang bervariasi (Tabel 4) . Jika dikaitkan dengan pengalaman usaha dengan umur pengrajin (rata-rata umur pengrajin berumur sedang 30-65 tahun) dan dapat diketahui bahwa umur pengrajin rata-rata memulai karirnya pada usia 30 tahun tetapi dari sejak umur 16 tahun mereka sudah bisa menjalankan alat tenun yang berada dirumah pengrajin. Secara kronologis bahwa untuk memulai suatu usaha berkontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang karena wirausahawan muda cenderung akan memiliki karir yang lebih lama dan potensial untuk dapat mengembangakan karir wirausahanya (Perry et al. 2003). Dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa pengrajin akan mempengaruhi kinerja usahanya (Barham dan Clarence, (2009); Nneoyi et al. (2008). Barham dan Clarence (2009) menjelaskan bahwa kinerja pengrajin merupakan istilah untuk menggambarkan output dari tindakan pengrajin yaitu kemampuan mengakses pasar yang disebut dengan kinerja pemasaran. Dalam hal ini, kinerja pengrajin yang dipilih adalah dalam bidang pemasaran karena para pengrajin menghadapi kesulitan dalam mengakses pasar, sedangkan peran tersebut sangat besar dalam mendukung pembangunan. Berdasarkan kenyataan tersebut diperlukan upaya untuk memperkuat akses para pengrajin
73
dalam mengakses pasar serta merubah orientasi dari yang semula berorientasi produksi menjadi lebih berorientasi pasar. Hal yang sama dilakukan oleh Bird bahwa pembelajaran dari pengalaman memberikan kemampuan bagi seseorang untuk belajar dari kegagalan dan keberhasilan, merefleksikan pengalaman untuk melihat apa yang akan terjadi, mengabstraski pengalaman yang dialami dan menghubungkan dengan pengalaman orang lain membuat sebuah prediksi yang dilakukan, mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang. Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Perry et al. (2003) menemukan bahwa pengalaman usaha memiliki pengaruh terhadap keberhasilan usaha sehingga pengalaman merupakan indikator yang baik dalam pengambilan keputusan, keberhasilan usaha dan perilaku usaha ekonomi kreatif. Motivasi Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera Motivasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi berusaha merupakan alasan pokok yang mendasari pengrajin untuk berperilaku dan memutuskan untuk tetap bertahan melakukan kegiatan usaha khususnya pada kerajinan sutera. Oleh karena itu didalam mengembangkan usahanya maka seyogyanya pengrajin yang memiliki kewirausahaan dapat menggerakkan untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Motivasi dari pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba dapat dilihat pada Tabel 4. Pendorong motivasi yang paling kuat dari keempat kriteria yaitu teman, pelaku pemberdayaan, keluarga dan keinginan sendiri masih tetap didominasi oleh faktor keluarga hal ini disebabkan karena usaha yang dirintis oleh pengrajin usaha ekonomi kreatif itu adalah usaha turun temurun dari keluarga. Faktor keinginan sendiri juga memperlihatkan di dua Kabupaten memiliki nilai tinggi karena para pengrajin ekonomi kreatif menyadari bahwa manfaat dari mata pencaharian yang digeluti memberikan manfaat yang tinggi terhadap pendapatan keluarga karena dapat membantu mengatasi masalah ekonomi keluarga. Motivasi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suatu individu yang secara efektif dapat mencapai tujuannya (Nneoyi et al. (2008) ; Barham dan Clarence (2009); Redono (2006)). Pengaruh pembinaan dan pengembangan pengrajin memang sangat penting terhadap peran pelaku pemberdayaan dan pemerintah desa sangat signifikan terhadap progresivitas disamping pengaruh kepemimpinan dan kohesivitas pengrajin, peran pedagang, keberlanjutan usaha serta dorongan untuk mencapai kemajuan (Redono (2006); Barham dan Clarence, (2009)). Tingkat Kebutuhan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera Tingkat kebutuhan erat kaitannya dengan motivasi sebab motif yang besar akan menimbulkan keinginan (sifat hati nurani yang timbul karena orang berminat terhadap sesuatu dan mendorong terbentuknya motivasi untuk berbuat), minat (sifat nurani yang timbul dengan sendirinya dan memiliki daya dorong seseorang) menimbulkan motivasi. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi pengrajin usaha ekonomi kreatif dalam berusaha kerajinan sutera adalah tuntutan memenuhi
74
kebutuhan keluarganya. Untuk lebih jelas tingkat kebutuhan pengrajin ekonomi kreatif dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata pengrajin ekonomi kreatif memperlihatkan bahwa tingkat kebutuhan dari empat indikator menyatakan bahwa kebutuhan pangan yang paling diutamakan hal ini disebabkan rendahnya pendapatan pengrajin sutera dibanding dengan kebutuhan yang dibutuhkan.Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan pengrajin disebabkan karena pengrajin memiliki motivasi yang rendah. Mereka menjalankan usaha kerajinan mengikuti lebih banyak pada saran dari keluarga. Alasan ekonomi dan motivasi dari keluarga yang menjadi pertimbangan dalam memilih berusaha dan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab terhadap keluarga yang menjadi tanggungannya. Pengrajin ekonomi kreatif sebagai suatu unit sosial dapat terdiri atas pengrajin yang tidak teratur dan yang teratur. Kerumunan (crowd) adalah contoh pengrajin yang tidak teratur dan tidak terorganisasi dengan baik. Ia dapat mempunyai pimpinan, tetapi tidak mempunyai sistem pembagian kerja maupun sistem pelapisan sosial (Soekanto, 2001). Interaksi dalam sistem kerumunan bersifat spontan dan tidak terduga dan orang-orang yang berkumpul tersebut sadar bahwa ada orang lain yang mempunyai kedudukan sosial yang sama dengannya. Sedangkan pengrajin sutera teratur merupakan satu unit sosial yang saling berinteraksi satu sama lain dan saling tergantung dalam upaya untuk mencapai tujuan dan kebutuhan tertentu yang telah ditetapkan. Simpulan Simpulan penelitian ini adalah (1) Dari Aspek sosial budaya Provinsi Sulawesi Selatan memiliki hasil karya tenunan khas Bugis Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki pengalaman historis serta penguasaan pengetahuan dan teknologi yang telah tumbuh dan berkembang khususnya untuk kerajinan sutera. (2) Dari hasil penelitian karakteristik pengrajin ekonomi kreatif menunjukkan bahwa rata-rata pengrajin ekonomi kreatif menjalankan usaha kerajinan sutera berada pada usia 30 tahun, generasi penerus usaha kerajinan yang dijalankan oleh orang tua maupun keluarganya. Tingkat pendidikan formal di Kabupaten Bulukumba lebih rendah yakni SD dibanding dengan Kabupaten Wajo yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi yakni SMA sedangkan untuk tingkat pendidikan non formal masing-masing berada dikategori rendah yakni 1-2 kali mendapatkan pelatihan. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera rata-rata berada antara 3-5 jiwa. Jika dikaitkan dengan pengalaman maka rata-rata memiliki pengalaman yang sudah lanjut yakni diatas 24 tahun. Pada Pengrajin ekonomi kreatif memiliki motivasi itu masih didominasi oleh faktor keluarga sedangkan untuk tingkat kebutuhan adalah kebutuhan pangan yang masih mendominasi.
IV ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PENDAHULUAN Industri memiliki peran yang sangat besar terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke industri adalah merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada keberlanjutan aktivitas manusia dan pemanfaatan sumberdaya. Menurut WCED (Munasinghe, 1993) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan generasi mendatang dan memperhatikan kebutuhannya dapatlah dikatakan bahwa konsep ini adalah konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini mencakup tiga perspektif utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis. Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia, pencapaian aspirasi kelompok dan individu serta memperkuat institusi dan nilai-nilai sosial (Munasinghe, 2010). Pembangunan dalam kerangka berkelanjutan digambarkan sebagai proses untuk meningkatkan kesempatan manusia secara individu dan komunitas untuk mencapai aspirasinya dan seluruh potensinya dalam periode waktu yang mendukung dengan menjaga daya lenting (reseliensi) dari sistem ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan terjadi proses perubahan yang didalamnya terdapat upaya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan dalam keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe, 2010). Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang sehingga defenisi keberkelanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas. Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimunkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan asset (kapital) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari sistem alami. Keberlanjutan sosial dan kelembagaan umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial. Untuk keberlanjutan perilaku, masyarakat memiliki sikap perilaku yang menginginkan bahwa usahanya dapat berkelanjutan, mereka hanya harus bersifat inovatif terhadap efektifitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya, masyarakat akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola resiko dan memanfaatkan inovasi. Hal sama dikemukakan oleh Haber dan Reichel (2006) bahwa peluang usaha bisa tetap berkelanjutan jika berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan hidup dan meningkatkan pendapatan keluarga. Maka dari itu konsep usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi secara terus menerus dan
75
76
mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu. Keberlanjutan usaha dapat dicapai pada pengrajin sutera melalui usaha ekonomi kreatif jika memiliki kiatkiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Dalam penelitian ini usaha diartikan sebagai sikap proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan kerajinan sutera hendaknya didasarkan pada kriteria pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan suatu alat analisis, yang mampu melakukan penilaian dan menjadi panduan bagi pemegang kebijakan atau stakeholder terkait. Kerangka penilaian berkelanjutan adalah salah satu alat untuk melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan suatu aktivitas. Kerangka ini disusun berdasarkan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam KTT Bumi di Rio Jenero tahun 1992. Novita (2012); Tunstall (1992,1994); Syers et al. (1995); Cuoghlan (1996) dan Gallopin (1977), mengemukakan indikator berkelanjutan berfungsi untuk (a) menilai suatu kondisi dan perubahan, (b) membandingan antara tempat dan situasi, (c) menilai kondisi dan trend yang terkait dengan tujuan dan target, (d) menyediakan informasi lebih dini, dan (e) mengantisipasi kondisi dan trend di masa mendatang. Faktor keberlanjutan secara operasional memiliki dimensi yang luas, untuk penelitian ini keberlanjutan ekonomi yang dimaksudkan adalah mencari untuk memaksimunkan pendapatan dengan upaya menjaga keberadaan asset (kapita) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan yang dimaksudkan yakni menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari sistem alami. Keberlanjutan sosial dan kelembagaan dimaksudkan pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial. Keberlanjutan perilaku yang dimaksudkan adalah memiliki sikap perilaku yang bersifat inovatif terhadap efektivitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya, dengan membutuhkan mekanisme mengelola risiko dan memanfaatkan sumberdaya lokal. Konsep Ekonomi Kreatif berkembang di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis sumber daya alam sekarang menjadi berbasis sumber daya manusia, dari era pertanian ke era industri dan informasi (Tim Design Indonesia, 2008). Perkembangan sutera di Provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki kendala sehingga tingkat keberlanjutan sentra industri sutera dari permintaan pasar belum mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data Dinas Kehutanan tentang perkembangan sutera alam Sulawesi Selatan terjadi penurunan jumlah bibit telur dari 8.491 boks pada tahun 2008 menjadi 4.183 pada tahun 2009. Penyebab utama anjloknya produksi sutera alam Sulawesi Selatan karena adanya gangguan penyakit seperti virus dan bakteri. Produksi benang sutera alam Sulawesi Selatan mengalami penurunan drastis. Pada tahun 2008 SulSel masih mampu menghasilkan 36,7 ton. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi tahun 2009
77
yang mencapai 15,8 ton, sedangkan pada tahun 2010 menunjukan produks benang sutera di Sulawesi Selatan hanya mencapai 14,9 ton (Dinas Kehutanan, 2011). Salah satu alasan kerajinan sutera tumbuh dan berkembang di daerah ini mengingat peminat kain sutera bukan hanya di kalangan wanita tetapi kalangan pria pun gemar menggunakan bahan sutera. Terlebih pada setiap perhelatan acaraacara adat, baik acara pengantin maupun pesta adat lainnya masih didominasi oleh bahan sutera, sehingga tak heran jika permintaan pasar sangat tinggi meskipun harga bahan baku sutera cukup tinggi. Masalah Penelitian Kenyataan yang ada bahwa pengrajin ekonomi kreatif memiliki variasi produk dengan corak yang tradisional dengan kreativitas khas budaya. Permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas dan inovasi produk yang tinggi (Tim Brown, 2008). Hal ini terkait pula dengan rendahnya kapasitas perencanaan dan rendahnya kepihakan pada lingkungan. Maka dari itu secara khusus permasalahan penelitian adalah : (1) Bagaimana tingkat keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ? (2) Faktor-faktor pengungkit apakah yang mempengaruhi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif ? Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk menganalisis keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. (2) Untuk menganalisis faktor-faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif.
METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir Kerajinan sutera memiliki peran yang cukup penting dalam menunjang perekonomian agroindustri. Ekonomi kreatif akan berkembang apabila kegiatan pengembangan persuteraan dimulai dari hulu hingga hilir. Tantangan industri hilir sangat membutuhkan produksi benang yang lebih baik untuk pertenunan benang kain sutera sedangkan industri hulu juga membutuhkan sentuhan teknologi untuk memenuhi permintaan global yang tinggi dan sesuai dengan keinginan konsumen. Kegiatan pengembangan persuteraan industri hulu meliputi persuteraan alam dengan penanaman tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera (Bombyx mori, sp), dan produksi kokon. Industri hilir meliputi pemintalan benang sutera, pertenunan kain sutera, hingga pengembangan diversifikasi produk. Dalam pengembangan ekonomi kreatif dipaparkan bahwa dalam Teori Hirarki Kebutuhan Maslow dinyatakan bahwa saat manusia telah berhasil melampaui tingkat kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik (physical needs) serta kebutuhan atas keamanan (security/safety needs), maka manusia
78
akan berusaha mencari kebutuhan-kebutuhannya pada tingkat yang lebih lanjut yaitu kebutuhan bersosialisasi (social needs), rasa percaya diri (esteem needs) dan aktualisasi diri (self actualization). Maka dari itu hal yang perlu diperlakukan adalah memperbaiki posisi usaha ekonomi kreatif dengan memilih usaha yang tidak sesaat (Pangestu, 2008). Pengrajin dan pengusaha merupakan kewirausahaan yang bergaya hidup (lifestyle entrepeneur) usahanya dikelola secara kekeluargaan, kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa rata-rata pengrajin dan pengusaha kurang dapat memanfaatkan kemajuan usahanya untuk mengarahkan ke usaha ekonomi kreatif dan peningkatan daya saing produk (Hubeis, (1997); Getz dan Peterson, (2005)). Upaya keberlanjutan ekonomi kreatif memperlihatkan bahwa peningkatan kebutuhan pengrajin sutera sangat penting untuk mendorong kesejahteraan. Dalam konteks perkembangan berkelanjutan diartikan sebagai proses pembelajaran. Tujuannya untuk memberikan kekuatan kepada pengrajin ekonomi kreatif agar memiliki kesadaran dan rasa percaya diri dalam menjalani kehidupannya, mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan untuk bekerjasama, membina hubungan lingkungan usaha dan sosial sehingga mampu mengakses sumber daya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang. Proses berkelanjutan diharapkan dapat berkembang lebih jauh dengan pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga pengrajin ekonomi kreatif mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan berfungsi serta mampu melakukan kegiatan pembangunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17.
Kebijakan pemerintah Karakteristik Pengrajin ekonomi kreatif
Pendekatan pemberdayaan
Faktor pendukung langsung usaha pengrajin ekonomi kreatif
Faktor pendukung tidak langsung usaha pengrajin ekonomi kreatif
Pelaku pemberdayaan
Perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif
Keberlanjutan usaha ekonomi kreatif
Kelembagaan sosial
Daya Saing
Gambar 17 Alur berpikir proses penelitian keberlanjutan ekonomi kreatif
79
Hipotesis penelitian Faktor keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif dipengaruhi profil pengrajin sutera, faktor pendukung langsung dan tidak langsung, peran pelaku pemberdayaan, kelembagaan sosial, perilaku kewirausahaan serta analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif berdasarkan pada dimensi sosial, lingkungan, kelembagaan, ekonomi dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Analisa Data Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan daerah pengembangan usaha ekonomi kreatif kerajinan sutera. Ada delapan desa yang mewakili lima kecamatan dari dua kabupaten. Desa-desa tersebut adalah Attakae, Mattirotappareng, UjungE, Pakkana, Tosora dan Sompe yang terletak di Kabupaten Wajo dan Desa Darubiah dan Desa Bira di Kabupaten Bulukumba. Pengumpulan data berlangsung dari bulan Januari hingga April 2012. Penelitian ini dilakukan terhadap semua pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif. Alasan dipilihnya pengrajin ekonomi kreatif untuk daerah Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba adalah (1) memiliki perkembangan desain berciri khas budaya, dan (2) menghasilkan produk dari seluruh usaha ekonomi kreatif yang bercirikan etnis Bugis dan etnis Makassar. Populasi penelitian adalah pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba berjumlah 300 orang yakni seluruh pengrajin ekonomi kreatif yang masih rutin mengusahakan kerajinan sutera yang bercirikan etnis Bugis dan makassar di delapan desa. Jumlah populasi adalah 190 orang untuk Kabupaten Wajo dan 110 orang untuk Kabupaten Bulukumba. Sampel ditentukan dengan menggunakan formulasi Slovin (Umar, 2002) dengan derajat kesalahan 5%. sebagai berikut : N n = 1 + N (e)2 Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persen kelonggaran sebesar 5 % Berdasarkan rumus Slovin tersebut pengrajin ekonomi kreatif yang menggunakan alat ATBM dapat dilihat pada matriks kerangka sampel disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kerangka Sampel Penelitian Kabupaten Wajo Bulukumba Total
Jumlah Populasi (orang) 190 110 300
Sumber : Data Primer yang diolah, 2013
Jumlah Sampel (orang) 129 86 215
80
Penentuan sampel berdasarkan wilayah dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling yang berdasarkan wilayah Timur dan Selatan dengan Kabupaten Wajo dengan jumlah sampel sebanyak 129 orang pengrajin ekonomi kreatif dan Kabupaten Bulukumba sebanyak 86 orang. Unit-unit analisis populasi digolongkan ke dalam desa-desa (clusters) yang diambil secara acak dan menjadi satuan asal sampel yang akan diambil (Singarimbun, 1989). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil survei, wawancara, indepth interview, kuesioner dan hasil pengamatan. Adapun data sekunder berasal dari instansi yang terkait. Analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif pengrajin dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan “RapUEK” (Rapid Appraisal-Usaha Ekonomi Kreatif) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assesment Tehnique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh dan Pitvher 2001, Fauzi dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi terhadap setiap dimensi dan multidimensi keberlanjutan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan studi literatur dan diskusi dengan pakar (indepth interview) dapat ditentukan variabel atau indikator berkelanjutan yang meliputi dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta perilaku. Penentuan indikator berkelanjutan usaha didasarkan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai kerangka penilaian berkelanjutan (Budiharsono, 2002). Indikator keberlanjutan yang telah ditetapkan menjadi ukuran penilaian berkelanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif. Langkah-langkah analisis data meliputi tahapan sebagai berikut : (1) Penentuan indikator keberlanjutan berdasarkan analisis kualitatif interpretatif dengan pemangku kepentingan (stakeholder). (2) Melakukan penilaian keberlanjutan sesuai indikator berdasarkan diskusi dengan pengrajin ekonomi kreatif, survei lapangan dan studi literatur. (3) Analisis keberlanjutan menggunakan metode Multi-Dimensional Scalling (MDS) dan analisis Monte Carlo yang terintegrasi dalam modifikasi softwarae Rapfish menjadi RAP-UEK (usaha ekonomi kreatif). MDS dapat digunakan untuk membangun sebuah “peta” yang menunjukkan hubungan antara sejumlah objek berdasarkan tabel jarak antara objek. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduce space) (Budiharsono, 2008). Simulasi Monte Carlo menunjukkan indikasi variabilitas dari penilaian yang dilakukan sehingga simulasi monte carlo dapat menunjukkan keandalan analisis. Berdasarkan studi literatur dan penilaian di lapangan, konsultasi pakar dan pengrajin maka dapat disusun indikator penilaian keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Indikator penilaian keberlanjutan disusun dalam 5 dimensi (ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan serta perilaku) yang masing-masing memiliki peringkat nilai sebagai dasar Kerangka Penilaian Keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 19 – 28.
81
Mulai
Penentuan atribut (meliputi berbagai kategori )
Kondisi kawasan saat ini
Skoring kawasan (mengkontsruksi angka referensi untuk good, bad dan anchor) Multidimensional Scalling Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo (analisa ketidakpastian )
Leveraging Factor (analisis anomaly)
Analisis Keberlanjutan
Gambar 18 Prinsip analisis MDS menggunakan modifikasi software Rap UEK Penentuan atribut pada setiap dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan dan perilaku diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapang dan data sekunder. Rentang skor berkisar 1-4 tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari tidak baik sampai sangat baik. Nilai tidak baik mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera secara berkelanjutan sebaliknya nilai sangat baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Skala indeks keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera mempunyai selang 0-100%. Dalam studi ini disusun empat kategori status keberlanjutan antara lain : (1) nilai indeks 0,00-25,00 status keberlanjutan buruk (tidak baik); (2) nilai indeks 25,01–50,00 status keberlanjutan kurang; (3) nilai indeks 51,01–75,00 status keberlanjutan cukup dan (4) nilai indeks 75,01–100,00 status keberlanjutan baik seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kategori status berkelanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera berdasarkan indeks hasil analisis Rap-UEK. Indeks
Kategori
Status keberlanjutan
00,00 – 25.00 25,01 – 50,00 51,01 – 75,00 75,01 – 100,00
Tidak baik (buruk) Kurang Cukup Baik
Tidak berkelanjutan Kurang berkelanjutan Cukup berkelanjutan Berkelanjutan
Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan
82
sutera maka digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2001), analisis Monte Carlo berguna untuk mempelajari hal-hal sebagai berikut : (a) Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut. (b) Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda. (c) Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). (d) Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data). (e) Tingginya nilai “stress” hasil analisis Rap-UEK (nilai stress dapat diterima jika <25 %). Melalui MDS posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi, yaitu sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Sumbu horizontal menunjukkan perbedaan sistem yang dikaji dalam ordinasi “buruk (tidak baik) “ (0%) sampai “baik” (100%) untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sumbu vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut di antara sistem yang dikaji. Analisis menghasilkan suatu nilai dimana nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji. Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi-dimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik tidak baik (bad). Untuk membuahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 19. Buruk (tidak baik) 0%
baik 100 %
Gambar 19 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pemberdayaan pelaku usaha ekonomi kreatif kerajinan sutera pada skala 0 -100 % Analisis ordinasi ini dapat juga digunakan untuk menganalisis seberapa jauh status keberlanjutan untuk masing-masing dimensi yang digambarkan dalam diagaram layang-layang (kite diagram). Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti tertera pada Gambar 20.
Gambar 20 Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan
83
HASIL DAN PEMBAHASAN Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Pengrajin Ekonomi kreatif. Atribut tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari empat belas atribut. Pertama, biaya angkutan umum tidak terjangkau. Kedua, Kurang menggunakan jasa pengiriman. Ketiga, Harga peralatan yang tidak terjangkau. Keempat, Kurang melakukan pengembangan produk. Kelima, Kurang paham terhadap sumber permodalan. Keenam, Kurang paham tentang cara pengelolaan modal. Ketujuh, Cara mengakses sumber permodalan. Kedelapan, Penjualan pada satu tempat. Kesembilan, Kurangnya promosi produk UEK. Kesepuluh, Konsumen kurang setia pada produk UEK. Kesebelas, Kurang komunikasi pada telpon rumah. Keduabelas, Harga bahan baku kurang terjangkau. Ketigabelas, Bahan baku kurang tersedia. Keempatbelas, Bahan baku sulit didapat dan Kelimabelas Jangkauan pemasaran produk UEK. Untuk dimensi ekonomi menunjukkan status cukup berkelanjutan sebesar 53,36% (Hasil Rap-UEK Gambar 21).
Gambar 21 Hasil analisis Rap-UEK Dimensi Ekonomi Dari analisis leverage terdapat tiga faktor pengungkit yang perlu diperhatikan yaitu: Pertama, Penjualan pada satu tempat, memiliki skor yang tertinggi dimana pola penjualan pada satu tempat dilakukan karena sarana dan prasarana yang menunjang belum tersedia di desa sehingga pengrajin hanya menjual pada pasar kecamatan terdekat dengan tempat tinggalnya. Penjualan yang dijual itu sebagian diserahkan oleh pengusaha (selaku pemilik modal) dan sebagian lagi diberi tanggung jawab dari pengusaha untuk menjualkan produknya kepada pedagang pengumpul atau pedagang yang ada di pasar kecamatan.
84
Kedua, UEK kurang melakukan pengembangan produk, disebabkan keterbatasan modal yang dimiliki dan sulit serta tingginya harga bahan baku. Salah satu langkah pengembangan produk yang dibutuhkan oleh UEK adalah pembentukan bisnis baru (modal kewirausahaan) dan kreativitas seperti telah dikemukakan oleh Kacerauskas (2012). Ketiga, Pengrajin kurang melakukan promosi pada produk kerajinan sutera karena keterbatasan dana seperti halnya pihak Pemda Kabupaten Wajo dan Bulukumba kurang maksimal melakukan promosi, disebabkan kurangnya anggaran yang memprioritaskan hasil produk kerajinan sutera pada pengrajin ekonomi kreatif. Promosi lebih banyak dilakukan oleh para pengusaha. Hal ini terlihat dari beberapa kegiatan yang sudah dilakukan pengusaha yakni bekerjasama dengan para designer yang berada di ibukota melalui suatu pameran atau acara talk show malam sutera. Pengrajin sutera sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali dengan mengharapkan dari para pengusaha. Promosi dalam UEK merupakan salah satu pesan utama yang harus ditawarkan (Alex, (2009), Roofthooft, (2009); Wyer, (2009); Arroyo, (2009)). Untuk lebih jelasnya keseluruhan atribut berdasarkan hasil analisis leverage dapat disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22 Hasil analisis Leverage Dimensi Ekonomi Keberlanjutan Dimensi Sosial Pengrajin Ekonomi Kreatif Atribut tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial terdiri dari dua belas atribut. Pertama, Proses swadaya. Kedua, Materi pemberdayaan kurang relevan. Ketiga, tenaga kerja dari keluarga. Keempat, Usaha turun temurun. Kelima, Kurang pertemuan dengan pemimpin non formal. Keenam, Kurangnya kunjungan dari organisasi. Ketujuh, Pelatihan dari organisasi. Kedelapan, Pelatihan dari pemerintah. Kesembilan, Kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Kesepuluh
85
Mentransformasikan kreativitas nilai ekonomi kreatif. Kesebelas Bekerjasama dengan pengusaha. Keduabelas, Pengetahuan tentang cara berbisnis. Untuk dimensi sosial menunjukkan status cukup berkelanjutan sebesar 50,75% (Hasil Rap-UEK Gambar 23).
Gambar 23 Hasil analisis Rap-UEK Dimensi Sosial Dari analisis leverage terdapat empat faktor pengungkit yang perlu diperhatikan yaitu: Pertama, Merupakan usaha sendiri (turun temurun) adalah atribut yang harus dipertahankan karena merupakan warisan dari orang tua dan keluarganya yang sudah seharusnya dilestarikan. Menurut Gertz dan Peterson (2005), usaha yang dikelola secara kekeluargaan dapat memunculkan jiwa kewirausahaan (lifestyle entrepeneur) bagi seorang pengrajin. Kedua, Kurang sosialiasi pemerintah merupakan faktor pengaruh kedua yang memegang peranan penting terhadap status keberlanjutan dimensi sosial. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang kerajinan sutera membuat para pengrajin ekonomi kreatif kecewa, satu-satunya harapan yang dibebankan kepada pengusaha maupun pedagang untuk mensosialisasikan hasil kerajinan sutera yang memiliki corak budaya daerah. Wahyuni (2013) menegaskan gagasan dari semua industri akan mendapat manfaat melalui budaya untuk disosialisasikan. Untuk Kabupaten Bulukumba pengrajin ekonomi kreatif biasanya melakukan promosi melalui pedagang yang datang dari Provinsi Kalimantan dan Provinsi Sumatera. Pedagang biasanya memesan sarung maupun kain untuk dibawa di Kota Samarinda, Palembang, Banjarmasin serta kota-kota yang berada di Provinsi Kalimantan dan Provinsi Sumatera. Ketiga, Kurang pelatihan dari pemerintah, dari hasil wawancara dengan para pengrajin ekonomi kreatif mengemukakan bahwa pelatihan yang dilakukan masih minim, hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh pihak pemerintah khususnya pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang mengemukakan bahwa kurangnya anggaran yang diberikan sehingga pelatihan untuk para
86
pengrajin masih minim dilakukan. Piergiovanni (2012) menyatakan bahwa sosialisasi dan modal serta pelatihan diperlukan untuk keberhasilan dan mengembangkan ide-ide. Keempat, Pengrajin kurang mendapatkan pelatihan dari organisasi. Perhimpunan Dekranasda sebagai salah satu organisasi kerajinan sutera Kabupaten dan Provinsi masih minim melakukan kegiatan-kegiatan yang melibatkan pengrajin ekonomi kreatif. Hal ini karena keterbatasan dana yang didapatkan oleh pihak organisasi dan kurang aktif dari para pengurus organisasi untuk memajukan organisasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Hasil analisis Leverage pada Dimensi Sosial Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Pengrajin Ekonomi Kreatif Atribut tingkat keberlanjutan pada dimensi lingkungan terdiri dari lima atribut. Pertama, Pengrajin kurang mendapatkan pelatihan terkait lingkungan. Kedua, Kurangnya pengetahuan tentang dampak perwarnaan pada lingkungan. Ketiga, Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan. Keempat, Penyediaan sumber bahan baku berdampak pada usaha ekonomi kreatif. Kelima, Kurangnya pengetahuan tentang dampak polusi udara. Untuk dimensi lingkungan menunjukkan status kurang berkelanjutan sebesar 33,31 % (Hasil Rap-UEK Gambar 25). Dari hasil leverage diperoleh empat faktor pengungkit yang perlu diperhatikan yaitu : Pertama, Kurangnya pelatihan terkait dampak lingkungan disebabkan para pengrajin belum pernah mengikuti pelatihan maupun penyuluhan terkait masalah lingkungan. Pihak pemerintah maupun pihak swasta belum menyadari adanya masalah-masalah lingkungan pada pengrajin ekonomi kreatif. Kedua, Kurangnya pengetahuan tentang dampak perwarnaan pada lingkungan karena pengrajin ekonomi kreatif belum memahami tentang dampak penggunaan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pewarnaan bahan sutera.
87
Gambar 25 Hasil analisis Rap-UEK Dimensi Lingkungan Pengrajin ekonomi kreatif melakukan pewarnaan dengan menggunakan bahan sintetis yakni dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang dibeli ditoko dan setelah melakukan pewarnaan langsung menumpahkan air pewarnaan itu ke tanah, yang berakibat kurang baik terhadap tanah. Pewarnaan alami sudah berkurang digunakan oleh pengrajin ekonomi kreatif baik konsumen, pengusaha maupun pedagang kurang berminat membeli kerajinan sutera dari pewarnaan alami hal ini disebabkan karena warnanya yang buram sehingga pihak konsumen kurang menyukai warna alami, lebih banyak berminat dengan warna yang corak agak terang. Ketiga, Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan disebabkan belum mendapatkan pengetahuan tentang cara-cara melestarikan lingkungan baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Keempat, Penyediaan sumber bahan baku berdampak pada usaha ekonomi kreatif karena sulit dan tingginya harga bahan baku. Pada Kabupaten Bulukumba, petani murbei kurang melakukan penanaman murbei hal ini disebabkan karena ulat dari Perumtani sering mati dan kualitasnya kurang baik. Oleh karena itu para pengrajin ekonomi kreatif langsung memesan dari luar kabupaten seperti Soppeng dan Sengkang. Berbeda dengan Kabupaten Wajo petani murbei masih bersemangat untuk melakukan penanaman murbei tetapi lahan yang dimiliki masih minim untuk ditanami dan lamanya proses pembuatan kokon sutera menjadi benang mengakibatkan petani murbei banyak yang beralih menanam jagung karena rendahnya nilai jual tanaman murbei dibandingkan dengan tanaman jagung yang pemasarannya jauh lebih menjanjikan dibanding sebagai petani murbei. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 26.
88
Gambar 26 Hasil analisis Leverage Dimensi Lingkungan Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Atribut tingkat keberlanjutan pada dimensi kelembagaan terdiri dari sembilan atribut. Pertama, Hubungan secara vertikal. Kedua, Norma-norma mempengaruhi kegiatan usaha. Ketiga, Nilai-nilai sosial mempererat interaksi sosial. Keempat, Nilai budaya mendukung kreativitas UEK. Kelima, Nilai-nilai sosial ikut berperan UEK. Keenam, Pola hubungan bandar pemasaran. Ketujuh, Penentuan harga di lembaga. Kedelapan, Aturan main belum berlaku di lembaga. Kesembilan, Kerjasama secara horizontal. Pada dimensi kelembagaan status UEK menunjukkan kurang berkelanjutan sebesar 43,25% (Hasil Rap-UEK Gambar 27).
Gambar 27 Hasil analisis Rap-UEK Dimensi Kelembagaan
89
Dari hasil analisis leverage diperoleh tiga faktor pengungkit yang perlu diperhatikan yakni: Pertama, Belum dilakukan penentuan harga di lembaga karena belum ada pihak yang menjembatani tentang perlunya penentuan harga di lembaga dan para anggota belum mengetahui bagaimana ketentuan yang akan diberlakukan pada pengrajin ekonomi kreatif. Hal ini sesuai pendapat Tambunan, (2001) dan Arif (2009) tentang peran kelembagaan sosial dalam mengatur perilaku ekonomi kecil, mulai aturan main, sanksi, persaingan, pola hubungan dan dasar penentuan harga. Kedua, Aturan main belum berlaku di lembaga sosial karena para pengurus dan anggota belum memahami bagaimana aturan yang harus berlaku dilembaga. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pelaku pemberdayaan maupun penyuluh yang menangani masalah yang ada dilembaga, baik pengurus dan anggota masing-masing berjalan dengan sendirinya sehingga aturan ini belum dilaksanakan dilembaga sosial. Komitmen dari semua pemangku kepentingan merupakan prasyarat penting untuk pengembangan ekonomi sutera (Tarigan, 2008). Ketiga, Kurangnya hubungan secara vertikal yakni belum membina hubungan kemitraan dengan para stakeholder. Para pengrajin hanya melakukan hubungan sebatas transaksi dengan beberapa pengusaha dan pedagang yakni melakukan pemesanan kain sutera atau sarung sutera tetapi tidak berlangsung secara kontinyu tergantung dari selera dari pengusaha dan pedagang, jika para pengusaha menyukai hasil tenun dari pengrajin ekonomi kreatif maka akan berlanjut tetapi jika tidak akan beralih pada pengrajin ekonomi kreatif lainnya. Purnaningsih (2006) menemukan bahwa kebutuhan bermitra yang diharapkan petani dapat dipenuhi melalui pola kemitraan terutama kebutuhan pemasaran, pinjaman modal dan kebutuhan pembinaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Hasil analisis Leverage Dimensi Kelembagaan
90
Keberlanjutan Dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Atribut tingkat keberlanjutan pada dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif terdiri dari dua belas atribut. Pertama, Sikap dalam menghadapi resiko UEK. Kedua, Sikap dalam menghindari resiko UEK. Ketiga Mengetahui sumber informasi inovatif. Keempat, Ingin mengembangkan sesuai dengan ide terbaru. Kelima, Menjalankan peluang UEK dengan tepat. Keenam, Memahami cara menjalankan peluang. Ketujuh, Melakukan identifikasi secara telitik UEK. Kedelapan, Memahami cara membuat corak sutera (desain modern). Kesembilan, Tertarik dengan penerapan desain UEK. Kesepuluh, Mengatur strategi bersaing. Kesebelas, Mengetahui etika persaingan UEK. Keduabelas, Membutuhkan pembinaan. Untuk dimensi Perilaku Kewirausahaan menunjukkan status kurang berkelanjutan sebesar 48,38% (Hasil Rap-UEK Gambar 29).
Gambar 29 Hasil analisis Rap-UEK Perilaku Kewirausahaan UEK Dari hasil analisis leverage diperoleh tiga faktor pengungkit yang perlu diperhatikan yakni: Pertama, Belum Memahami cara menjalankan peluang UEK, rata-rata pengrajin ekonomi kreatif belum memahami bagaimana menjalankan peluang usaha ekonomi kreatif. Hal ini karena kurangnya pendampingan yang dilakukan oleh pihak pelaku pemberdayaan dan penyuluh ataupun pemerintah yang terkait dengan kegiatan pengrajin. Amanah dan Hamida(2006) telah mengemukakan bahwa perilaku nelayan dipengaruhi oleh hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal sebagai bentuk pendampingan. Kedua, Belum Memahami cara membuat corak sutera baru (desain yang modern). Hal ini karena tidak semua pengrajin memiliki pengetahuan dan kesempatan untuk belajar memadukan antara corak batik dengan sutera. Beberapa pengrajin ekonomi kreatif sudah melakukan pemagangan dengan pengusaha di Kabupaten Wajo tetapi membutuhkan waktu yang lama yakni 3 bulan. Pentingnya kerjasama dengan pengusaha karena mereka terbukti mempunyai kemampuan menjalankan kepemimpinan yang efektif di kalangan pekerja seperti yang dikemukakan oleh Andriani (2008).
91
Ketiga, Belum melakukan identifikasi secara teliti UEK. Hal ini karena belum adanya pengetahuan dan pelatihan yang diberikan kepada pengrajin ekonomi kreatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30 Hasil analisis Leverage Dimensi Perilaku Kewirausahaan UEK Penilaian Multidimensi Keberlanjutan Analisa Monte Carlo yang terintegrasi dalam Rap-UEK merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi kesalahan secara acak (random error) yang mungkin terjadi selama proses komputerisasi didalam menentukan nilai ordinasi dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Analisa Monte Carlo bermanfaat untuk mengevaluasi stabilitas hasil penilaian MDS dan kesalahan pemasukan data (Pitcher dan Preikshot, 2001). Hasil Rap-UEK menunjukkan bahwa setiap atribut cukup akurat. Analisis keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif mempunyai nilai stress yang berkisar antara 0,13 – 0,15 dan nilai determinasi R2 antara 0,94 -0,95 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Analisis keberlanjutan nilai Stress dan R2 pada pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. No
Dimensi
Nilai Analisis
Kategori
Stress
R2
1
Ekonomi
53,36
Cukup berkelanjutan
0,13
0,95
2
Sosial
50,75
Cukup berkelanjutan
0,14
0,95
3
Lingkungan
33,31
Kurang berkelanjutan
0,15
0,94
4
Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif
43,25
Kurang berkelanjutan
0,15
0,95
48,38
Kurang berkelanjutan
0,14
0,95
5
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2013
92
Hasil simulasi Rap-UEK untuk gabungan kelima dimensi menunjukkan status kurang berkelanjutan sebesar 48,97 %. Gambaran keterkaitan antara dimensi keberlanjutan pada kegiatan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera di Kabupaten Wajo dan Bulukumba secara skematis disajikan pada Gambar 31. Ekonomi 100 80 60 40
Kelembagaan
Sosial
20 0
Perilaku Ekonomi Kreatif
Lingkungan
DIAGRAM LAYANG-LAYANG
Gambar 31 Gabungan Penilaian Analisis Keberlanjutan Adapun validasi terhadap hasil simulasi Rap-UEK untuk masing-masing dimensi menunjukkan nilai kofisien determinasi (R2) yang cukup tinggi antara 0,94 – 0,95. Nilai stress rata-rata sebesar 0,13 yang lebih rendah dari 0,25 menunjukkan bahwa goodness of fit hasil simulasi Rap-UEK dapat mempresentasikan model dengan baik (Alder et al. 2003). Analisis ini diperkuat dengan selisih hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo pada tingkat kepercayaan 95 % yang lebih kecil dari 1 yaitu antara 0,06 – 0,79 menunjukkan bahwa perhitungan MDS menggunakan Rap UEK memiliki tingkat presisi tinggi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8 (Pitcher and Preikshot, 2001). Tabel 8 Perbedaan analisis keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera dengan analisis Monte Carlo No
Dimensi
Analisis Keberlanjutan MDS Monte carlo Selisih
1
Ekonomi
53,36
52.57
0.79
2
Sosial
50,75
50.37
0.38
3
Lingkungan
33,31
33.68
0.37
4
Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif
43,25
43.19
0.06
48,38
48.11
0.27
5
Sumber : Data Primer yang telah diolah, 2013 Validasi data (Analisis Monte Carlo) diperoleh pada dimensi ekonomi adalah 52,57 % hal ini menunjukkan bahwa data yang diolah dapat dilanjutkan untuk dianalisis MDS. Hasil analisis MDS status keberlanjutan menunjukkan
93
cukup berkelanjutan 53,36 % sehingga selisih yang didapatkan sebesar 0,79 lebih kecil dari 1 pada tingkat kepercayaan lebih kecil dari 95 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32 Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Ekonomi Untuk analisis Monte Carlo pada dimensi Sosial sebesar 50,37 % yang tidak jauh berbeda dengan hasil analisis MDS yang didapatkan yakni 50,75 % sehingga selisih yang didapatkan adalah sebesar 0,38 lebih kecil dari 1 sehingga tingkat kepercayaan lebih kecil dari 95 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 33.
Gambar 33 Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Sosial
94
Analisis Monte Carlo pada dimensi Lingkungan sebesar 33,31 % yang tidak jauh berbeda dengan hasil analisis MDS yang didapatkan yakni 33,68 % sehingga selisih yang didapatkan adalah sebesar 0,37 lebih kecil dari 1 sehingga tingkat kepercayaan lebih kecil dari 95 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34 Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Lingkungan Analisis Monte Carlo pada dimensi Kelembagaan sebesar 43,19 % yang tidak jauh berbeda dengan hasil analisis MDS yang didapatkan yakni 43,25 % sehingga selisih yang didapatkan adalah sebesar 0,06 lebih kecil dari 1 sehingga tingkat kepercayaan lebih kecil dari 95 % . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Kelembagaan
95
Dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif analisis Monte Carlo sebesar 48,11 % dan analisis MDS sebesar 48,11 hasil yang diperoleh dari selisih adalah 0,27 lebih kecil dari 1 sehingga tingkat kepercayaan lebih kecil dari 95 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36 Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Simpulan (1) Status keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera termasuk kategori kurang berkelanjutan sebesar 48,97%. (2) Faktor-faktor pengungkit yang perlu diperhatikan berdasarkan hasil analisis leverage pada Dimensi Ekonomi: (1) penjualan pada satu tempat, (2) kurang melakukan pengembangan produk, dan (3) kurang melakukan promosi produk UEK; pada Dimensi Sosial tampak bahwa UEK (1) Merupakan usaha turun temurun, (2) Kurangya sosialisasi dari pemerintah, (3) Terbatasnya pelatihan dari pemerintah, dan (4) Kurangnya pelatihan dari organisasi; pada Dimensi Lingkungan: (1) pengetahuan tentang dampak pewarnaan, (2) dampak penyediaan bahan baku, (3) kurangnya pelatihan tentang lingkungan, dan (4) Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan; Dimensi Kelembagaan: (1) penentuan harga di lembaga, (2) Membenahi mekanisme tata pengaturan atau aturan main di lembaga sosial, dan (3) Hubungan secara vertikal; dan pada Dimensi Perilaku Kewirausahaan UEK: (1) pemahaman cara menjalankan peluang UEK, (2) pemahaman cara membuat corak sutera terbaru, dan (3) identifikasi secara teliti UEK.
V FAKTOR PENENTU KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PENDAHULUAN Produk kerajinan merupakan ekspresi budaya yang dapat meningkatkan pendapatan dan peluang kerja pada sektor ini. Menurut Depatemen Perdagangan (Pagestu, 2008) Ekonomi kreatif ini memberikan kontribusi PDB periode 20022009 mampu menyerap tenaga kerja dengan rata‐rata sebesar 5,4 juta pekerja dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8% serta dengan produktivitas tenaga kerja mencapai 19,5 juta perpekerja tiap tahunnya. Produktivitas tenaga kerja pada sektor ini lebih tinggi dari produktivitas nasional yang hanya mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahunnya. Kerajinan telah menjadi bagian dari sistem yang terorganisir yang merupakan transformasi kerajinan tradisional demi memenuhi persyaratan pasar global karena adanya hubungan tindakan ekonomi. (Granovetter (1985, 1992); Biggart (2002) ; Kahdar (2009)). Menenun sutera adalah salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia. Menenun adalah pekerjaan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan tidak hanya digunakan untuk melatih menenun, tetapi memiliki makna pendidikan yang terkandung di dalamnya khususnya mengenai kombinasi warna serta corak yang digambarkan oleh pengrajin ekonomi kreatif. Usaha pengrajin ekonomi kreatif adalah merupakan usaha yang turun temurun dan merupakan budaya dari masyarakat Bugis yang dijaga kelestariannya dan tidak akan hilang karena pengrajin kerajinan sutera sudah mempertahankan secara terus menerus dan mewariskan keahlian dan keterampilan menenun kepada anak cucunya yang ikut serta menjaga dan melestarikan sutera. Hal ini sesuai dengan penelitian Sitorus, (1999); Nawawi et al. (2002); Yukitmasu et al. (2008); Kahdar (2009); Idris (2009); Fitria (2011) bahwa kegiatan penenunan senantiasa mengalami adaptasi terhadap kondisi waktu tertentu. Pentingnya peranan usaha kecil dalam mengembangkan perekonomian nasional ditunjukkan dengan ditetapkannya Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2008 tentang usaha kecil dan selanjutnya diikuti dengan peraturan pemerintah RI nomor 32 tahun 1998 tentang pembinaan dan pengembangan usaha kecil. Inti dari peraturan ini adalah adanya pengakuan dan upaya untuk memperdayakan mereka. Hal ini sebagaimana yang terungkap dalam Peraturan Pemerintah tersebut: "bahwa usaha kecil merupakan bagian integral dari perekonomian nasional yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peranan yang penting dan strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional yang kokoh, usaha kecil perlu diberdayakan agar dapat menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang dan menjadi usaha menengah." Salah satu dari kerajinan yang perlu dikembangkan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah sutera yang merupakan warisan budaya dari nenek moyang sejak zaman dahulu. Sutera terlahir sebagai seni karya yang mempunyai filosofi terhadap makna kehidupan dari budaya suku Bugis dan Makassar. Oleh karena itu pengembangan usaha kerajinan sutera sangat memerlukan suatu kreativitas dan inovasi. Kreatifitas dan inovasi tersebut senantiasa terus dikembangkan oleh
96
97
pengrajin sutera. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Fitria (2011) bahwa setiap daerah memiliki desain dan motif yang berbeda sesuai dengan kreativitas. Masalah Penelitian Permasalahan penelitian ini didasari oleh kewajiban untuk melestarikan warisan-warisan budaya nasional dan kesadaran untuk ikut membangun kehidupan para pengrajin ekonomi kreatif yang lebih baik. Oleh karena itu didalam keberlanjutan usaha dibutuhkan faktor penentu keberlanjutan usaha guna pengembangan potensi usaha pengrajin ekonomi kreatif. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini menganalisis faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Kabupaten Wajo dan Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.
METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir Indonesia merupakan negara penghasil seni tenunan terbesar di dunia khususnya dalam hal budaya dengan ciri khas daerah (Kahdar, 2009). Kreasi dari pengrajin ekonomi kreatif banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya asing akibat pengaruh hubungan perdagangan. Kerajinan sutera memiliki ragam hias corak yang bervariatif dan mengandung nilai-nilai yang bermakna luhur dari wujud budaya masyarakat pada masa lampau. Menurut Forrest (Pelras, 2006) mengemukakan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan sangat terampil menenun kain umumnya menggunakan benang kapas. Kabupaten Wajo dan Bulukumba adalah Kabupten yang memiliki wisata budaya berbasis industri kerajinan tenun sebagai industri jasa yang bertumpu pada ekonomi rakyat dan kualitas sumber daya manusia yang mengelolanya, maka usaha kerajinan sutera yang dikelola oleh pengrajin yang ada di dua Kabupaten umumnya adalah usaha yang bersifat informal (industri rumahan) dan berskala kecil/mikro (Susilo (2004); Kuncora (2011); Limosti (2013)). Kerajinan khas sutera yang menjadi potensi yang menarik karena memadukan antara kebudayaan dan mata pencaharian, maka dari itu sangat cocok sebagai daerah industri penghasil tenun dengan kombinasi antara pariwisata dan ekonomi kreatif. Namun, proses pengembangan tersebut sebatas proses dalam membentuk sumber daya yang memiliki daya saing tinggi, akibatnya pengrajin sutera hanya mampu beroperasi di daerahnya, belum melebar meluas sampai ke tingkat nasional apalagi tingkat ASEAN, walaupun demikian banyak keterbatasan pengrajin/usaha kecil saat ini, namun mampu menunjukkan kontribusi dan jati dirinya sebagai pilar utama penopang perekonomian bangsa dengan ikut mendorong proses pemulihan ekonomi Indonesia (Reswanda, 2011). Oleh karena itu, perlunya suatu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya pada pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba.
98
Kerajinan Sutera di Kabupaten Wajo dan Bulukumba menitik beratkan pada pengembangan dan keberlanjutan yakni (1) Mempertahankan dan mengembangkan produk sutera sebagai salah satu ciri khas Propinsi Sulawesi Selatan. (2) Pengembangan produk sutera mengarah pada peningkatan nilai tambah yang tinggi atau pengembangan ke sektor yang lebih modern. Oleh karena itu sangat penting dilakukan suatu penelitian tentang faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Faktor penentu keberlanjutan usaha dapat meningkatkan pendapatan pengrajin atau petani. (Karsidi,( 2004); Sukesih ,( 2007); Utami, (2007); Supomo, (2007); Murtadlo, (2013)). Penyusunan strategi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di masa yang akan datang. Hal ini dilakukan dengan cara menentukan faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Beberapa peubah yang diharapkan mampu menjelaskan faktor penentu keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera yakni karakteristik pengrajin sutera, faktor pendukung langsung dan tidak langsung, strategi pemberdayaan, kelembagaan sosial, perilaku kewirausahaan serta analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif berdasarkan pada dimensi sosial, lingkungan, kelembagaan, ekonomi dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 37. Profil pengrajin ekonomi kreatif a. Umur b. Pendidikan formal c. Pendidikan non formal d. Tanggungankeluarga e. Pengalaman berusaha f. Tingkat kebutuhan g. Motivasi berusaha
Faktor pendukung langsung a. Bahan baku b. Pasar c. Teknologi d. Proses Produksi e. Permodalan f. Pengembangan Produk g. Komunikasi h. Transportasi
Dukungan tak langsung a. Keluarga b. Pemerintah daerah c. Intelektual d. Bisnis e. Bimbingan organisasi non pemerintah
Pelaku pemberdayaan a. Proses dan pendekatan b. Kompetensi pelaku pemberdayaan c. Peran pelaku pemberdayaan
Perilaku Kewirausahaan Ekonomi kreatif a. Inovatif b. Ide c. Desain d. Talenta e. Inisiatif f. Pengelolaan resiko g. Daya saing
Keberlanjutan usaha ekonomi kreatif a. dimensi ekonomi b. dimensi sosial c. dimensi lingkungan d. dimensi kelembagaan e. dimensi Perilaku
Kelembagaan sosial a. Pola hubungan b. Pranata c. Aturan main
Gambar 37 Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian
Faktor penentu keberlanjutan ekonomi Kreatif
99
Hipotesis Penelitian Faktor penentu keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif dipengaruhi profil pengrajin ekonomi kreatif, faktor pendukung langsung dan tidak langsung, peran pelaku pemberdayaan, kelembagaan sosial, perilaku kewirausahaan serta analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif berdasarkan pada dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan, dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Analisis Data Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan yakni bulan Januari sampai April 2012. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba. Untuk responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih sesuai memiliki kepakaran sesuai dengan bidang kajian (Marimin, 2002). Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden pakar dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan berikut : (a) Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji (b) Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan kompetensi sesuai bidang kajian (c) Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia dan atau berada pada lokasi yang dikaji. Jumlah responden ada 30 orang yang terdiri dari 15 orang dari Kab. Wajo dan 15 orang dari Kab. Bulukumba (Singaribun, 1989; Marimin, 2002) yang berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bulukumba dan Wajo, Dekranasda Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Pemda Tingkat II Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Penyuluh Pertanian Kecamatan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba, Tokoh Masyarakat, LSM, Fasilitator, Koperasi, Lembaga Keuangan, Lembaga Litbang, PT dan Eksportir dan Tokoh Pemuda. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil survei, wawancara, indepth interview, kuesioner dan hasil pengamatan serta FGD. Adapun data sekunder berasal dari instansi yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan adalah analisis prospektif. Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk memperoleh komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan penting dalam keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif dari seluruh stakeholders yang terlibat. Setelah mendapatkan data pendukung untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh berdasarkan analisis kebutuhan stakeholder. Analisis Prospektif untuk menentukan faktor-faktor penting dalam keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Analisis prospektif dapat memprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi di masa yang akan datang baik yang bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif ini adalah untuk : (1) mempersiapkan
100
tindakan strategis yang perlu dilakukan dan (2) melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan (Bourgoise, (2004, 2007) ; Budhiharsono, 2008) Dari analisis prospektif diketahui informan mengenai faktor kunci keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera sesuai kebutuhan stakeholders. Menurut Hardjomidjojo (2004) tahapan dalam analisis prospektif adalah: (1) Definisi dari tujuan sistem yang dikaji. Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. (2) Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut, biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta mengindentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut. Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders sistem yang dikaji sehingga semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Integrasi pendapat pakar dilaksanakan dengan mengambil nilai modus. (3) Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Seluruh faktor yang teridentifikasi akan dilakukan penilaian terhadap pengaruh langsung antar faktor, sebagaimana di sajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Pedoman penilaian analisis prospektif Skor Keterangan 0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat Sumber : Bourgeois (2007) Analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dominan (faktor kunci) yang berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Analisis dilakukan dengan tiga tahapan yaitu : (a) Analisis peubah dominan dan pengungkit diperoleh dari analisis status berkelanjutan (b) Analisis peubah dominan dan analisis kebutuhan stakeholders dari responden yang representative (c) Analisis peubah gabungan yang berada pada kuadran satu atau dua dari analisis yang prospektif di point a dan b, hasil peubah kuadran satu dan dua yang akan digunakan dalam analisis. Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks Tabel 10. Mekanisme pengisian tabel tersebut adalah dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar faktor sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar faktor kecil dan skor 0 jika tidak ada pengaruh langsung antar faktor.
101
Tabel 10 Pengaruh langsung antar faktor Dari/terhadap
A
B
C
faktor D E
F
G
H
A B C D E F G H Sumber : Bourgeois (2007) Keterangan : Skoring
A-H 0 1 2 3
= faktor penting dalam sistem = Tidak ada pengaruh = Berpengaruh kecil = Berpengaruh sedang = Berpengaruh sangat kuat
Setelah diperoleh faktor-faktor kunci dari Tabel 10, selanjutnya dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap faktor dengan menggunakan software analisis prospektif, tampilan seperti pada Gambar 38.
Faktor penentu INPUT
Faktor Bebas UNUSED
Faktor Penghubung STAKE
Faktor Terikat OUTPUT
Gambar 38 Penentuan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor keberlanjutan usaha Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda sehingga untuk memperoleh skenario strategis (Bourgeois et al. 2004) sebagai berikut : (a) Kuadran pertama faktor penentu atau penggerak (driving variables) memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori faktor yang paling kuat dalam sistem yang dikaji. (b) Kuadran dua faktor penghubung (leverage variables) menunjukkan faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar
102
faktor, faktor-faktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. (c) Kuadran tiga faktor terikat (output variables) : mewakili faktor output dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi. (d) Kuadran empat faktor bebas (marginal variables) merupakan faktor marginal yang pengruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah sehingga faktor-faktor ini dalam sistem bersifat bebas. Lebih lanjut Bourgeois (2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan yaitu (a) Tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran empat ke kuadran dua. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal (leverage variable). Hal ini menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang. (b) Tipe sebaran yang mengumpul di kuadran satu ke kuadran tiga sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat, dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain itu dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. HASIL DAN PEMBAHASAN Kendala, Pengembangan serta Peluang Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif Perjalanan persuteraan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba mengalami berbagai tantangan dan masa-masa sulit seperti yang dialami oleh sektor usaha lainnya. Namun karena prinsip yang selalu dipegang dan dipertahankan oleh pengrajin ekonomi kreatif yang dibarengi dengan keuletan dan konsisten dalam mempertahankan profesinya menjadikan mereka selalu berupaya melakukan pengembangan, inovasi dan kreativitas sehingga mampu tetap bertahan. Namun demikian dalam menjalankan usahanya bukanlah berarti bahwa kesulitan dan permasalahan tidak pernah didapatkan. Beberapa permasalahan yang masih dijumpai diantaranya belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengrajin ekonomi kreatif; belum tertatanya dengan baik sistem pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran keluar daerah dan Pulau Jawa sehingga menimbulkan persaingan usaha yang kurang sehat; Belum maksimalnya upaya dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan design yang tentunya berakibat merugikan pengrajin ekonomi kreatif atau pengusaha. Masih sering ditemuinya kesulitan dalam mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya benang produksi lokal sehingga memerlukan upaya pembinaan dan inovasi teknis dari pihak yang berkompeten dalam mengatasi persoalan tersebut; Disisi lain belum terciptanya klasifikasi harga ditingkat kualitas produk sehingga sering menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera yang dihasilkan. Hal ini tercermin dari wawancara salah satu responden yaitu :
103
“Dalam sehari kita harus kasih makan lima kali. Baru kalau malam dikasih lampu biar terang," ujar Minintang, salah seorang pengrajin ekonomi kreatif yang ikut membantu memelihara ulat sutra, Benang sutra yang dihasilkan dijual dengan harga Rp 340.000 per kilogram. selain membantu menjual benang, dia juga memanfaatkan benang hasil pintalannya ini dengan bertenun. Alat tenun yang digunakan disebut alat "bola-bola"(ATBM) oleh masyarakat setempat dengan menggunakan kedua tangan serta kaki. "Kalau 'bola bola' caranya digunakan gampang dan cepat. Tapi kalau yang 'bola' (gedongan) susah dan lama bikinnya, tapi bagus kualitasnya harganya juga mahal," ujar Nurmi salah seorang perajin ekonomi kreatif "Bola-bola" mampu menghasilkan satu sarung selama empat hari dengan harga berkisar Rp 60.000- 70.000 per helai. Selain corak dan motif yang unik, proses pembuatan hingga pewarnaan masih menggunakan bahan alami dan sintesis tergantung dari pemesan. Menurut Nurmi, kain sutera memungkinkan pembelinya untuk mengkreasikan hasil tenunan sesuai dengan selera. Mereka bisa menjadikannya baju, aksesoris atau bahkan tas. Sayangnya, hingga kini, produk natural yang membanggakan ini masih terganjal masalah pemasaran. Umumnya, barang-barang istimewa ini dijajakan oleh para perajinnya di pasar-pasar tradisional. Selebihnya, tak ada pilihan lain, kain-kain istimewa itu dijual dengan harga murah kepada pengusaha lokal. Para pengusaha itu yang kemudian mengeruk keuntungan besar dengan mamasarkannya ke mancanegara. Harga kain pun melambung, namun keuntungan besar didapat oleh pemodal.” Pengembangan usaha yang lebih luas bagi pengrajin ekonomi kreatif tidak bisa dilakukan karena keterbatasan kemampuan finansial yang belum didukung oleh keyakinan perbankan atau lembaga perekonomian lainnya untuk mendanai kegiatan persuteraan; dan masih ada sebagian pengusaha atau pengrajin tidak konsisten mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan pengembangan persuteraan baik Industri Hulu yang meliputi persuteraan alam dengan penanaman Tanaman Murbei, Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori, sp), dan produksi kokon. Industri Hilir meliputi pemintalan benang sutera, pertenunan kain sutera, hingga pengembangan deversifikasi produk asal sutera dapat di jumpai di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba. Hal ini memberikan peluang bagi orang Wajo dan Bulukumba yang dikenal memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi berdampak pada tingginya motivasi mereka untuk mengembangkan komoditas sutera dengan berkreasi dan selalu mencari inovasi baru serta menciptakan berbagai macam produk asal sutera seperti menciptakan peluang bisnis kerajinan yang ramah lingkungan, memanfaatkan limbah kokon ulat sutera menjadi beragam kerajinan tangan, seperti rangkaian bunga, vas bunga, anting, kalung, hiasan untuk pensil, gantungan kunci, hiasan meja, bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha Pertekstilan dari Pulau Jawa termasuk designer-designer ternama Indonesia . Maka dari itu diperlukan upaya dari segenap stakeholder persuteraan yang ada baik pengrajin ekonomi kreatif maupun pengusaha persuteraan dan instansi pemerintah serta lembaga pemberdayan lainnya untuk berkomitmen untuk menentukan keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif.
104
Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif Dari hasil penelitian diperoleh bahwa indeks keberlanjutan menunjukkan bahwa hasil simulasi Rap-UEK secara keseluruhan menunjukkan status kurang berkelanjutan pada usaha pengrajin ekonomi kreatif sebesar 48,97% dan faktorfaktor pengungkit yang perlu diperhatikan berdasarkan hasil analisis leverage yakni : Berdasarkan analisis keberlanjutan pengrajin usaha ekonomi kreatif diperoleh atribut-atribut yang memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi yang menjadi faktor pengungkit kondisi saat ini adalah Pertama, penjualan pada satu tempat, Kedua, Kurang melakukan pengembangan produk. Ketiga, Kurang melakukan promosi produk UEK, pada dimensi Lingkungan yang menjadi faktor pengungkit adalah Pertama, pengetahuan tentang dampak pewarnaan, Kedua dampak penyediaan bahan baku Ketiga, kurangnya pelatihan yang terkait dengan lingkungan, Keempat, Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan, Dimensi Sosial yang menjadi faktor pengungkit adalah Pertama, Merupakan usaha turun temurun, Kedua Kurangya sosialisasi dari pemerintah. Ketiga, Kurangnya pelatihan dari pemerintah, Keempat, Kurangnya pelatihan dari organisasi, Untuk dimensi kelembagaan yang paling berpengaruh adalah Pertama, penentuan harga di lembaga. Kedua Aturan main belum berlaku di lembaga sosial, Ketiga Hubungan secara vertikal sedangkan untuk Dimensi Perilaku Kewirausahaan yang berpengaruh adalah Pertama, memahami cara menjalankan peluang UEK, Kedua Memahami cara membuat corak sutera terbaru, Ketiga Melakukan identifikasi secara teliti UEK. Oleh karena itu untuk mendapatkan faktor kunci dalam menyusun model dilakukan dengan beberapa tahapan antara lain : (1) Menentukan faktor kunci yang diperoleh dari atribut-atribut yang mempengaruhi indeks keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif (2) Mengidentifikasi faktor kunci di masa depan yang diperoleh dari analisis (3) Kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan dan (4) Melakukan kombinasi tahap satu dan dua untuk memperoleh faktor kunci gabungan antara kondisi saat ini (existing condition) dan analisis kebutuhan (need analysis). Faktor pengungkit tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci yang mempengaruhi strategi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Hasil analisis prospektif faktor penentu pada keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera dipaparkan pada Gambar 39. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa dari tujuh belas atribut yang memberikan pengaruh diperoleh sepuluh faktor kata kunci yakni : Pertama, Sumber permodalan. Kedua, Penjualan pada satu tempat, Ketiga Telepon rumah. Keempat. Produk Usaha ekonomi kreatif. Kelima, Pengembangan Produk. Keenam, Aturan main di lembaga. Ketujuh, Penentuan Harga di Lembaga. Kedelapan,Pelatihan Pemerintah. Kesembilan, Sosialisasi Pemerintah. Kesepuluh, Hubungan vertikal. Pada Gambar 39 masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda yakni : Untuk kuadran yang pertama faktor penentu memiliki atribut yakni : Pertama, Sumber permodalan. Kedua, Tempat penjualan pada satu tempat. Ketiga, Telepon rumah. Keempat, Produk UEK ini merupakan menjadi faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat namun
105
ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor di kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori yang paling kuat dalam sistem yang dikaji.
Gambar 39 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif Faktor penentu ini merupakan faktor penggerak didalam melakukan usaha ekonomi kreatif tetapi ketergantungannya tidak kuat seperti sumber permodalan jika pengrajin ekonomi kreatif tidak memiliki modal masih ada alternatif yang dilakukan yakni meminjam kepada tengkulak atau pedagangpedagang yang biasa membeli produk jadi dari pengrajin usaha ekonomi kreatif. Tempat penjualan pada satu tempat saja dilakukan ketergantungannya karena para pengusaha maupun pedagang biasanya langsung ketempat pengrajin ekonomi kreatif sehingga tidak tergantung pada satu tempat. Pengrajin ekonomi kreatif kurang menggunakan telepon rumah walaupun sinyal masih kurang baik tetapi pada pengrajin tetap melakukan penggunaan HP didalam melakukan pemasaran produk. Produk Usaha ekonomi kreatif tidak menggantungkan usahanya dari produk yang berkualitas tetapi tergantung dari pemesan sehingga produk yang dihasilkan tergantung dari pemesan dari konsumen, jika konsumen menginginkan lebih murah harganya maka produk yang dibuat tidak dari bahan baku yang berkualitas tetapi yang sesuai dengan keinginan konsumen. Pada kuadran yang kedua yang menjadi faktor penghubung: pengembangan produk. Ini merupakan faktor yang menunjukkan mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antara faktor. Hal ini disebabkan bahwa untuk keberlanjutan usaha ekonomi kreatif diperlukan pengembangan produk dan kerjasama dengan stakeholders melalui pola kemitraan. Faktor-faktor dalam kuadran ini dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. Pada kuadran yang ketiga adalah faktor terikat yaitu Pertama, Kurang dilakukan Pelatihan dari pemerintah. Kedua usaha yang dilakukan dari usaha
106
turun temurun. Ketiga kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Keempat Kurang dapat melakukan corak sutera yang baru. Kahdar (2009) bertahannya budaya menenun sampai saat ini tidak terlepas dari kuatnya adat istiadat serta agama yang dianut tetapi penyesuaian corak, warna dan bahan baku terlihat jelas pada tampilan hasil tenun secara visual. Corak dan warna merupakan suatu bentuk yang menunjukkan identitas tertentu seperti tampilan status kebangsawanan, makin rumit corak, makin tinggi tingkat kebangsawanan dan makin gelap warnanya maka makin tua usia si pemakai. Oleh sebab itu corak merupakan aspek yang paling mudah dikenali penyesuaiannya pada proses adaptasi estetika yang terjadi pada kain tenun Bugis Makassar. Kelima, Kurangnya hubungan vertikal (kerjasama) yang dapat mewakili faktor output dimana pengaruhnya faktor kecil tetapi tergantungannya tinggi. Pada kuadran empat adalah faktor bebas (marginal variables) atribut yakni Pertama, Harga dilembaga. Kedua, aturan main di lembaga. Ketiga Kurangnya Pengetahuan pewarnaan. Keempat, Kurangnya pengetahuan lingkungan. Ini merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungan juga rendah sehingga faktor-faktor ini dalam sistem bersifat bebas. Kebutuhan Stakeholders Hasil wawancara dengan responden pakar menunjukkan bahwa dalam menentukan strategi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di masa yang akan datang, faktor-faktor penting yang harus diperhatikan adalah (1) Perluasan lapangan usaha, (2) Penyerapan tenaga kerja meningkat, (3) Kordinasi instansi pemerintah dan swasta, (4) Peningkatan ekspor, (5) Peningkatan pendapatan meningkat, (7) Iklim usaha yang kondusif, (8) Kualitas SDM meningkat, (9) Kerjasama antara pelaku usaha semakin baik, (10) Tersedianya modal usaha, (11) Pasar dan Usaha berkembang, (12) Bunga pinjaman sesuai dengan pasar, (13) Meningkatnya kualitas teknologi, (14) Harga yang sesuai, dan (15) Adanya kelembagaan yang mendukung. Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan stakeholders diperoleh lima faktor kunci yang menjadi strategi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor-faktor kunci yang perlu diperhatikan pada Gambar 40 di masa yang akan datang adalah Pertama, lapangan usaha. Kedua, Peningkatan ekspor. Ketiga, Penyerapan tenaga kerja. Keempat, kordinasi dengan instansi lain. Kelima, Produk meningkat. Pada Gambar tersebut masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda yakni : Untuk kuadran yang pertama faktor penentu memiliki atribut yakni : Pertama, Peningkatan ekspor. Kedua, Lapangan Usaha. Ketiga, Penyerapan Tenaga Kerja. Ini merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor di kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori yang paling kuat dalam sistem yang dikaji. Faktor penentu ini yakni peningkatan ekspor, sangat dibutuhkan oleh para pengusaha sehingga secara tidak langsung pemberdayaan dapat dilakukan melalui pengusaha terhadap pengrajin ekonomi kreatif, karena dengan adanya peningkatan ekspor maka pengrajin termotivasi untuk melakukan kegiatan yang lebih baik dan lebih inovatif didalam melakukan pekerjaan menenun, hal ini bisa berdampak
107
dengan membutuhkan lebih banyak penyerapan tenaga kerja jika peningkatan ekspor dapat ditingkatkan baik dari pihak pemerintah maupun swasta, sehingga lapangan usaha dapat tercapai karena adanya penyerapan tenaga kerja.
Gambar 40 Pengaruh dan ketergantungan antarfaktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholder Pada kuadran yang kedua yang menjadi faktor penghubung: Pertama. Kordinasi dengan Instansi, Kedua, Peningkatan Produk. Ini merupakan faktor yang menunjukkan mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antara faktor. Faktor-faktor dalam kuadran ini dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. Pada kuadran yang ketiga adalah faktor terikat yaitu Pertama, Peningkatan Pendapatan. Kedua Kerjasama antara pelaku utama dan pelaku usaha. Ketiga Usaha yang kondusif. Keempat Kualitas Teknologi. Kelima, Modal Usaha, Keenam, Usaha Berkembang, Ketujuh, Adanya kelembagaan pengrajin yang dapat mewakili faktor output dimana pengaruh faktor kecil tetapi tergantungannya tinggi. Pada kuadran empat adalah faktor bebas (marginal variables) atribut yakni Pertama, Mendapatkan Bunga Pinjaman. Kedua, Peningkatan Sumber Daya Manusia, Ketiga. Harga yang sesuai. Ini merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungan juga rendah sehingga faktor-faktor ini dalam sistem bersifat bebas. Faktor Penentu Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif Skenario dari strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif tersebut diperoleh faktor kunci keberlanjutan berdasarkan hasil analisis Rap-UEK yang menggambarkan kondisi saat ini (eksisting) dan analisis kebutuhan stakeholders yang menggambarkan kondisi yang diharapkan pada masa yang akan datang.
108
Faktor-faktor kunci tersebut diperoleh berdasarkan integrasi (penggabungan) antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan stakeholders. Hasil analisis gabungan berdasarkan tingkat kepentingan antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan diperoleh faktor kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kerja sistem yaitu lima faktor kunci dari analisis keberlanjutan dan lima faktor kunci hasil analisis kebutuhan stakeholders. Faktor atau atribut dari kedua hasil analisis yang mempunyai kesamaan digabung sehingga diperoleh sepuluh faktor kunci. Selanjutnya dilakukan analisis prospektif untuk memperoleh atau menentukan faktor yang paling dominan seperti pada tercantum pada Tabel 11. Tabel 11 Gabungan faktor-faktor penentu yang mempunyai pengaruh besar Faktor Penentu (atribut) No 1 2 3 4 5
Analisis Keberlanjutan
No
Sumber permodalan Penjualan pada satu tempat Menggunakan telepon rumah Meningkatkan produk UEK Pengembangan produk
6 7 8 9 10
Analisis kebutuhan stakeholders Layanan usaha Peningkatan ekspor Penyerapan tenaga kerja Kordinasi instansi Peningkatan produk UEK
Deskripsi keadaan dari masing-masing faktor dominan berdasarkan hasil analisis gabungan antara analisis keberlanjutan (pengaruh antar faktor) dan analisis kebutuhan (perubahan yang diinginkan) dapat dilihat pada Gambar 41 adalah sebagai berikut : Penjualan pada Satu Tempat Rata-rata pengrajin ekonomi kreatif pada kedua kabupaten melakukan penjualan kerajinan sutera pada satu tempat saja, hal ini diakibatkan karena pada tempat mereka tinggal biasanya tidak terdapat pasar sentral sehingga para pengrajin melakukan penjualan dengan membawa kerajinan sutera pada pasar sentral yang terdekat. Tetapi biasanya pengrajin lebih menyukai jika ada konsumen yang langsung mengambil ditempat mereka tinggal. Tempat tinggal pengrajin ekonomi kreatif berada didesa sehingga kadang-kadang jangkauan kendaraan ke ibukota kecamatan agak sulit utamanya di Kabupaten Bulukumba, maka dari itu pengrajin disarankan untuk membentuk suatu wadah (kelompok) untuk memudahkan pemasaran suatu produk (Limostin, 2013). Pihak pemerintah sebaiknya dengan memperbaiki sarana dan prasarana utamanya kendaraan yang menuju ibukota Kecamatan sehingga pemasaran kerajinan tenun dapat lebih terjangkau. Penjualan pada satu tempat ini merupakan faktor penentu (Kuadran pertama) dalam menentukan keberhasilan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dan menjadi faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Kedepan hal yang dapat dilakukan untuk kegiatan penjualan ini adalah (a) penjualan pada satu tempat pada saat ini masih dilakukan (b) melakukan penjualan pada tempat yang ada di Kabupaten (c) Melakukan penjualan pada tempat-tempat yang strategis baik di Luar Kabupaten maupun Luar Provinsi.
109
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1,80 1,60 Penjualan satu tempat
Sumber permodalan
1,40 Lapangan usaha
1,20
PUEK
Pengaruh
Koordinasi instansi
1,00
Pengembangan produk
0,80 0,60
Tenaga kerja Telepon rumah Peningkatan ekspor
0,40 0,20 -
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
Ketergantungan
Gambar 41 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis gabungan keberlanjutan dan kebutuhan stakeholder Kordinasi dengan Pihak Instansi Kordinasi antara instansi baik pemerintah dan swasta belum berjalan maksimal, hal ini terlihat dari kurangnya kordinasi antara pengrajin ekonomi kreatif dengan pihak pemerintah dan swasta baik itu dari segi program yang dijalankan oleh pihak pemerintah maupun swasta. Sesuai dengan penelitian Kuncoro (2008) berbagai pola kemitraan antara usaha kecil dan besar pun perlu dikembangkan. Pelatihan maupun magang yang diadakan tidak sepenuhnya diketahui oleh pengrajin karena kurangnya kordinasi dan tidak adanya pelaku pemberdayaan dan penyuluh yang menjembatani. Kordinasi dengan pihak instansi merupakan faktor penentu (Kuadran Pertama) dalam menentukan keberhasilan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan adalah melakukan kordinasi dengan pihak pemerintah dan swasta melalui pelaku pemberdayaan atau penyuluh lapangan. Tujuannya agar program yang dilakukan pemerintah maupun swasta dapat diketahui oleh para pengrajin ekonomi kreatif . Hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci kordinasi dengan instansi baik pemerintah dan swasta yaitu (a) kordinasi antara instansi baik pemerintah dan swasta ssat ini tidak jelas, (b) kordinasi antara instansi pemerintah dan swasta berjalan dengan cukup baik, dan (c) kordinasi antara instansi pemerintah dan swasta berjalan dengan baik dan didukung oleh adanya tugas pokok dan fungsi yang jelas dari masing-masing instansi. Sumber Permodalan Pada keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif ditemukan beberapa kendala salah satunya adalah sumber permodalan. Para pengrajin ekonomi kreatif
110
melakukan penenunan dalam bentuk upah sehingga dia lebih dikenal dengan sebutan penenun upahan karena para pengrajin tidak memiliki modal yang banyak untuk melakukan kegiatan penenuan dimana bahan baku sulit didapatkan dengan harga yang mahal, sehingga mereka hanya menggantungkan harapannya melalui pengusaha yang memberdayakan pengrajin. Lemahnya akses permodalan pada pengrajin kepada lembaga keuangan (bank) disebabkan oleh belum berfungsinya kelembagaan pengrajin. Walaupun tersedia umumnya masih sangat lemah, dimana institusi kelompok dan gabungan kelompok (gapoktan) atau koperasi yang diharapkan menjadi fasilitiator belum berfungsi sebagaimana mestinya. Faktor ini merupakan faktor penghubung (kuadran dua) dan faktor yang menunjukkan mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antara faktor. Pada masa yang akan datang hal yang akan dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci adalah melakukan (a) pengrajin tidak mempunyai akses sumber permodalan seperti saat ini, (b) pengrajin mempunyai akses dan sumber permodalan melalui lembaga keuangan, dan (c) pengrajin mempunyai akses dan sumber yang kuat terhadap permodalan pada lembaga keuangan. Peningkatan Produk Usaha Ekonomi Kreatif Faktor ini merupakan faktor penghubung (kuadran dua) dan faktor yang menunjukkan mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antara faktor. Produk Usaha ekonomi kreatif tidak menggantungkan usahanya dari produk yang berkualitas tetapi tergantung dari pemesan jadi produk yang dihasilkan tergantung dari pemesan dari konsumen jika konsumen menginginkan lebih murah harganya maka produk yang dibuat tidak dari bahan baku yang berkualitas tetapi yang sesuai dengan keinginan konsumen. Semestinya hal ini tidak terjadi pada pengrajin, mereka harusnya tetap mempertahankan produk berkualitas agar bisa diekspor ke mancanegara walaupun demikian produk yang kurang berkualitas tetap dilakukan sesuai dengan pesanan. Pengrajin ekonomi kreatif dihadapkan pada kesulitan bahan baku dengan harga yang tinggi, pengrajin beranggapan bahwa tidak semua konsumen bisa membeli dengan harga yang relatif tinggi dengan bahan baku berkualitas (hanya orang tertentu) maka dari itu pengrajin tetap menerima atau melakukan penenunan dengan bahan baku dari benang sintesis dengan harga yang relatif murah sehingga konsumen bisa memilih apakah menginginkan produk yang berkualitas atau tidak. Hal ini sejalan yang dikemukakan Lemhanas (2012) bahwa diperlukan kolaborasi antara berbagai aktor yakni cendekiawan, dunia usaha dan pemerintah dalam rangka meningkatkan peningkatan produk ekonomi kreatif. Pada masa yang akan datang hal yang dapat dilakukan adalah (a) Peningkatan produk masih terkendala dengan bahan baku pada saat ini, (b) Peningkatan bahan baku perlu didukung dengan pemasok bahan baku, dan (c) Peningkatan bahan baku perlu didukung oleh program kemitraan dengan pemasok bahan baku. Pengembangan Produk Faktor ini merupakan faktor penghubung (kuadran dua) dan faktor yang menunjukkan mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antara faktor. Pengembangan produk sangat diharapkan pengrajin ekonomi kreatif yakni tidak hanya menenun yang dilakukan tetapi lebih dari membuat produk lebih
111
kreatif seperti membuat dasi, dompet, tempat lisptik, tempat pencil walaupun pihak pengrajin sudah diberdayakan oleh para pengusaha tetapi keinginan dari para pengrajin adalah membuat produk yang lebih dari sekedar menenun, tetapi hal ini terkendala dari akses permodalan hal ini sejalan yang dikemukakan Yuli et al. (2006) dengan adanya diversifikasi produk yang dihasilkan dan dukungan modal usaha telah membantu terwujudnya keberlangsungan usaha yang selama ini menjadi masalah. Fitria (2011) menyatakan bahwa setiap daerah memiliki desain, ciri khas, serta makna yang berbeda dalam motif tenunannya tergantung pada masingmasing daerah seperti daerah Payakumbuh dan Pandai Sikek di Sumatera Barat, unsur spiritualisme lebih mendominasi dalam bentuk desain diantaranya pucuk rebung yang melambangkan suatu kekuatan. Unsur moralitas terdapat dari daerah Palembang seperti bunga melati yang melambangkan kesucian dan sopan santun ataupun bunga tanjung. Didaerah lain seperti Kalimantan terdapat desain yang berkaitan dengan spiritualisme magis misalnya motif burung elang dan aneka reptile. Motif ini dianggap suci oleh orang Kalimantan terutama suku Dayak yang mengganggap suara burung-burung tertentu yang didengar di hutan merupakan suara gaib yang memberikan pertanda dari Dewa. Sedangkan di Pulau Bali kain tenun dipengaruhi oleh unsur kepercayaan agama Hindu lebih mendominasi, hal ini dapat dilihat pada bentuk yang menyerupai relief pura serta seni ukir Bali ataupun motif wayang yang berasal dari legenda Hindu Bali. Sama halnya dengan kain tenun Bugis dan Makassar penggunaan sangat terkait dengan adanya peristiwa daur kehidupan (life cycle) seperti kelahiran, perkawinan dan kematian yang disakralkan dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya masyarakat Bugis Makassar akan merasa malu jika tidak memakai kain tenun Bugis sebagai kegiatan daur kehidupan. Pada masa yang akan datang hal yang dapat dilakukan adalah (a) pengrajin belum pengembangan produk pada saat ini (b) melakukan pengembangan produk pada usaha sendiri dengan akses pemodalan yang memadai (c) melakukan pengembangan produk pada usaha sendiri dengan akses permodalan dengan penerapan kemitraan. Lapangan Usaha Faktor ini merupakan faktor penghubung (kuadran dua) dan faktor yang menunjukkan mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antara faktor. Keberadaan lapangan usaha yang bertambah adalah sangat penting dalam pengelolaan ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Terdapat perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pengrajin, dimana pengrajin menginginkan adanya lapangan usaha yang baru hasil dari kegiatan penenun itu seperti dengan kegiatan membuat kue daerah maupun kerupuk hasil dari buatan pengrajin, berbeda dengan pengusaha yang tidak memikirkan adanya keberlanjutan dari usaha pengrajin, para pelaku usaha hanya menginginkan bagaimana supaya pengrajin tetap melakukan kegiatan penenunan dengan upah yang lebih rendah. Getz (1989) mengemukakan bahwa kehidupan sosial di Bali didasarkan pada kelompokkelompok yang disebut seka. Nilai kesetiaan seka menempatkan kebutuhan kelompok di atas kepentingan pribadi, meskipun kewirausahaan sangat dihargai dalam komunitas ini, harapan bahwa keputusan ekonomi akan mengarah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan.
112
Kelembagaan pengrajin adalah salah satu jalan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi keadaan ini sehingga produk kerajinan sutera yang dihasilkan oleh pengrajin dapat ditentukan harga berdasarkan aturan-aturan yang disepakati pada lembaga pengrajin dan akses permodalan pada lembaga keuangan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh pengrajin. Maka dari itu pengembangan sektor industri harus diarahkan dalam rangka menerapkan konsep ekonomi kreatif. Pemberdayaan pengrajin sutera hendaknya diikuti oleh pembangunan konsep ekonomi kreatif dengan menciptakan produk yang memiliki nilai tambah dan pemasaran yang baik sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang besar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suandi et al. (2011) sumberdaya alam dan talenta masyarakat merupakan peluang untuk membuka lapangan usaha baru. Pada masa yang akan datang hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor kunci lapangan usaha adalah (a) Perluasan lapangan usaha pada saat ini belum dilakukan (b) Perluasan lapangan usaha sudah dilakukan melalui dukungan kelembagaan pengrajin (c) Perluasan lapangan usaha sudah dilakukan melalui dukungan kelembagaan pengrajin dengan konsep ekonomi kreatif dan menjalin hubungan kemitraan. Peningkatan ekspor dan Telepon rumah Faktor ini merupakan faktor terikat yang mewakili faktor output dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi yakni Pertama adalah peningkatan ekspor, faktor ini pengaruhnya kecil tetapi memiliki ketergantungan yang tinggi sebab jika peningkatan ekspor dilakukan oleh pengusaha maka peningkatan pekerjaan penenun akan terus menerus secara kontinyu dilakukan karena adanya peningkatan ekspor terhadap kerajinan sutera khususnya pada kain sutera putih sangat berpeluang dan diminati. Kedua telepon rumah. Telepon rumah dibutuhkan apabila HP dalam keadaan tidak berfungsi maka telepon rumah yang berfungsi sebagai tempat komunikasi khususnya antara pengusaha dan penenun sehingga faktor ini memiliki ketergantungan yang tinggi. Tenaga Kerja Kuadran empat faktor bebas (marginal variables) merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah sehingga faktor-faktor ini dalam sistem bersifat bebas. Pengrajin ekonomi kreatif bebas menentukan apakah memerlukan tenaga kerja untuk membantu didalam persiapan penenun, ataupun tidak tetapi pada dasarnya tenaga kerja dibutuhkan pada saat ini adalah tenaga kerja yang tidak diupah mengingat pengrajin belum mampu memberi upah pada tenaga kerja dari luar karena keterbatasan modal. Simpulan Simpulan dari hasil penelitian adalah ada enam faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif adalah Pertama, penjualan pada satu tempat. Kedua, Kordinasi intansi. Ketiga, Sumber permodalan. Keempat, Meningkat Produk Usaha Ekonomi Kreatif. Kelima, Lapangan usaha. Keenam, Pengembangan Produk.
VI STRATEGI PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PENDAHULUAN Keterlibatan dan peran pengrajin ekonomi kreatif di bidang pembangunan masih belum optimal. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan dalam bidang pendidikan, ketrampilan dan pengetahuan mereka yang masih sangat terbatas. Keterbatasan ini mengakibatakan mereka kurang mengetahui peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kebutuhan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan dan bimbingan di bidang pengembangan industri masih relatif dibutuhkan untuk melakukan model pemberdayaan melalui strategi yang dilakukan. Strategi pemberdayaan pengrajin sutera adalah pola rencana kegiatan yang tepat dan bersifat lebih operasional dalam mencapai tujuan atau menyelesaikan permasalahan selaku pelaku usaha ekonomi kreatif. Menurut Streiner (Dirlanuddin, 2010) mengemukakan bahwa strategi merupakan respon yang secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman ekternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Secara rinci dapat dikemukakan Welch, (2007); Sriyana, (2010); Ahyani, (2012) bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus serta dilakukan yang menyangkut : (1) pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral, (2) menentukan dan menampilkan tujuan jangka panjang, program aksi dan prioritas sumberdaya, (3) menyeleksi bidang yang akan digeluti (4) mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal serta kekuatan dan kelemahannya, dan (5) melibatkan semua tingkatan hirarkhi dari organisasi. Berbagai permasalahan yang masih dijumpai di Kabupaten Wajo dan Bulukumba yaitu sulitnya mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya benang produksi lokal sehingga membutuhkan upaya dari pihak yang berkompeten untuk terus berupaya mengatasi hal tersebut; Belum adanya klasifikasi harga terhadap produk sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera yang dihasilkan; belum bisa mengembangkan usahanya lebih luas karena kekurangan dana di sebabkan karena tingkat keyakinan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya untuk mendanai kegiatan usahanya masih rendah; belum berjalannya dengan baik kelembagaan yang menghimpun pengrajin sutera; belum tertatanya dengan baik pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran luar daerah dan Pulau Jawa sehingga sering menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat; belum adanya upaya maksimal dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan desain yang mengakibatkan kerugian bagi pengrajin sutera yang berorientasi terhadap usaha ekonomi kreatif. Telaahan tentang permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin ekonomi kreatif maka diperlukan suatu alternatif penyelesaian masalah yakni mendesain suatu rancangan strategi dan model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif yang
113
114
relevan. Tanpa adanya strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif akan makin tertinggal. Masalah Penelitian Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Dalam pengembangan usaha pengrajin ekonomi kreatif diperlukan suatu strategi sebagai suatu peningkatan keberlanjutan usaha. Pertanyaan yang akan muncul bagaimana menyusun strategi dan model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain suatu rancangan strategi dan model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan
METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir Pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahannya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Menurut Comte dan Spencer (1958), perkembangan masyarakat bermula dari kesederhanaan hingga akhirnya menuju pada masyarakat positif, dengan pembagian struktur yang juga semakin kompleks, dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004). Menurut Slamet (2003), berdaya adalah berarti tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Menurut Ife (1995), masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengakses sumberdaya dan peluang serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi yang dapat ditempuh melalui tiga strategi yaitu : (1) Kebijakan dan perencanaan, (2) Aksi sosial dan politik, dan (3) Pendidikan dan pembangkitan kesadaran.
115
Persoalan-persoalan yang ada pada usaha ekonomi kreatif maka penelitian ini mencoba menformulasikan konsep keberdayaan melalui usaha ekonomi kreatif agar proses pembelajaran yang berkesinambungan dapat tercapai melalui perilaku dan keberlanjutan usaha ekonomi kreatif berdasarkan terminologi masyarakat berdaya maka ciri-ciri perilaku usaha ekonomi kreatif merupakan ciri-ciri yang ada pada masyarakat yang berdaya. Oleh karena itu dalam konteks usaha ekonomi kreatif bahwa pengrajin sutera yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciriciri yang ada pada perilaku usaha ekonomi kreatif. Pengrajin sutera yang berdaya berusaha melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang mampu menciptakan ide, mengembangkan talenta, mendesain produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru, bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko. Untuk tujuan penelitian ini, pemberdayaan didefinisikan sebagai proses dimana pengrajin sutera dapat berdaya dan berfungsi didalam mencapai peningkatan pengendalian berbagai aspek kehidupan mereka dan berpartisipasi dalam komunitas dengan martabat. Menurut Ismawan (2002); Amanah (2010) substansi pemberdayaan yang mengacu kepada kemampuan masyarakat yaitu (a) pengembangan sumberdaya manusia merupakan aspek pengakuan diri, percaya diri, kemandirian kemampuan kerjasama, toleransi terhadap sesamanya dengan menyadari potensi yang dimilikinya, (b) peningkatan kemampuan permodalan, (c) pengembangan usaha produktif terkait dengan peluang dan kebutuhan pasar yang sedang diminati para konsumen, (d) pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi, dan (e) kemampuan akan informasi, berhubungan dengan kesempatan usaha kecil memperoleh informasi dan pengetahuan manajerial, inovasi, info pasar, kebijakan pemerintah dan kemitraan. Pemberdayaan dan penyuluhan memiliki tujuan yang sama yakni meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya pada pengrajin ekonomi kreatif. Penyuluhan dilakukan secara berkelanjutan yang sesuai dengan falsafah kontinyu yang dimulai dengan klien tahu, mau dan mampu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Maka dari itu usaha ekonomi kreatif banyak ditekuni masyarakat perdesaan. Perubahan perilaku yang menjadi penentu keberlanjutan usaha ekonomi kreatif terkait dengan kualitas sumberdaya manusia dan perilaku usaha ekonomi kreatif. Oleh karena itu suatu program penyuluhan yang dapat merubah perilaku usaha ekonomi kreatif dengan pelatihan terhadap materi-materi, pelaku pemberdayaanan, kredit/modal (bantuan langsung masyarakat). Kegiatan penyuluhan tidak hanya sampai pada peningkatan usaha tetapi sampai pada membuat pengrajin sutera dalam usaha ekonomi kreatif yang ditekuninya berdaya. Berdaya dalam konteks usaha ekonomi kreatif seperti (1) berdaya dalam usaha memproduksi, (2) berdaya dalam mengambil keputusan, dan (3) berdaya dalam keberlanjutan usaha. Maka dari itu sejalan dengan kegiatan penyuluhan yang menggunakan prinsip-prinsip orang dewasa yang didukung oleh falsafah-falsafah penyuluhan yakni (1) Falsafah pendidikan, (2) Falsafah pentingnya individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5) Falsafah membantu klien untuk membantu dirinya sendiri, (6) Falsafah Kontinyu, dan (7) Falsafah
116
membakar sampah yakni membantu menyelesaikan permasalahan dengan memilah-milah keadaan individu klien (Gani, 2011). Penyuluhan menerapkan teori perubahan berencana (Lippitt et al, 1958) untuk membangun masyarakat agar mampu mengelola berbagai usaha. Dalam hubungan ini, ketujuh tahap perubahan berencana itu ialah: (a) Menimbulkan kebutuhan untuk berubah (unfreezing), (b) Menciptakan hubungan untuk berubah (c) Diagnosis masalah klien, (d) Memilih masalah, tujuan dan alternatif pemecahan masalah, (e) Transformasi menuju perubahan nyata, (f) Generalisasi dan stabilisasi perubahan (freezing), dan (g) Mengakhiri hubungan agen pembangunan dan klien. Hubungan baru dapat dijalin lagi dalam situasi lain. Sebuah review tentang makna mendalam yang dimiliki oleh penyuluhan dan perannya dalam menyokong perubahan perilaku individu, dan komunitas. Diharapkan, penelitian ini dapat menumbuhkembangkan pemahaman akan penyuluhan secara lebih tepat dan meluas, terutama peran pelaku pemberdayaan atau penggerak perubahan di masyarakat (penyuluh, peneliti, akademisi, birokrat, pegiat lembaga swadaya masyarakat, pemuka masyarakat, dan sektor swasta) (Amanah, 2007). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 42.
Karakteristik pengrajin ekonomi kreatif usaha ekonomi kreatif a. Umur b. Pendidikan formal c. Pendidikan non formal d. Tanggungankeluarga e. Pengalaman berusaha f. Tingkat kebutuhan g. Motivasi berusaha
Faktor pendukung langsung a. Bahan baku b. Pasar c. Teknologi d. Proses Produksi e. Permodalan f. Pengembangan Produk g. Komunikasi h. Transportasi
Dukungan tak langsung a. Keluarga b. Pemerintah daerah Intelektual c. Bisnis d. Bimbingan organisasi non pemerintah
Pelaku pemberdayaan a. Proses dan pendekatan b. Kompetensi pelaku pemberdayaan c. Peran pelaku pemberdayaan
Perilaku Kewirausahaan Ekonomi kreatif a. Inovatif b. Ide c. Desain d. Talenta e. Inisiatif f. Pengelolaan resiko g. Daya saing
Keberlanjutan usaha ekonomi kreatif a. Ekonomi b. Sosial c. Lingkungan d. Kelembagaan e. Perilaku
Faktor penentu keberlanjutan usaha ekonomi Kreatif
Kelembagaan sosial a. Pola hubungan b. Pranata c. Aturan main
Gambar 42 Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian
Model Pemberdayaan pengrajin ekonomi Kreatif
117
Hipotesis Penelitian Model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dipengaruhi profil pengrajin sutera, faktor pendukung langsung dan tidak langsung, kelembagaan sosial, perilaku kewirausahaan serta analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif strategi pemberdayaan berdasarkan pada dimensi sosial, lingkungan, kelembagaan, ekonomi dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Analisis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil survey, wawancara, indepth interview, kuesioner dan hasil pengamatan. Adapun data sekunder berasal dari studi literature. Jumlah responden sebanyak 215 orang dan jumlah pakar sebanyak 30 orang (15 kabupaten Wajo dan 15 Kabupaten Bulukumba) yang berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bulukumba dan Wajo, Dekranasda Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Pemda Tingkat II Kabupaten Wajo dan Bulukumba, Penyuluh Pertanian Kecamatan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba. Untuk analisa data tahapan berikutnya menentukan faktor keberlanjutan maka dari analisis prospektif adalah analisis morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan masa depan agar skenario strategis yang diperoleh konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini dilakukan dengan mendefenisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua variabel kunci yang terpilih. Variabel-variabel (faktor) kunci dengan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa depan kemudian dicantukan dalam sebuah Tabel 12. Tabel 12 Variabel-variabel kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Faktor 1 2 3 ….. n
Keadaan yang mungkin terjadi 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C …… …… nA nB nC
Analisis morfologis diteruskan dengan analisis konsistensi untuk mengurangi dimensi kombinasi variabel-variabel kunci dalam merumuskan skenario di masa yang akan datang melalui identifikasi saling ketidaksesuaian di antara keadaan-keadaan variabel kunci (incompatibility identification). Pelaksanaan tahapan ini dengan mencantumkan keadaan yang tidak dapat atau sangat tidak mungkin terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan pasangan yang tidak sesuai. Tahapan akhir dari analisis prospektif adalah membangun skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Skenario ini merupakan kombinasi dari
118
beberapa keadaan variabel-variabel kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih terdiri dari 3 skenario yaitu mengelompokkan skenario yang mirip kedalam satu kelompok skenario. Berdasarkan peluang terjadinya keadaan di masa datang maka skenario dikelompokkan ke dalam cluster skenario pesimis (I), cluster skenario medium (II) dan skenario optimis (III) seperti tercantum pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil analisis skenario Skenario 1
Uraian Urutan Faktor Melakukan perbaikan minimal pada atribut …………………. yang kurang berkelanjutan
2
Melakukan perbaikan pada seluruh atribut …………………… dan dilakukan secara optimal
3
Melakukan perbaikan maksimal pada …………………… seluruh atribut secara menyeluruh dan terintegrasi
Strategis yang dihasilkan berupa instrument sarana penunjang keputusan yang dapat digunakan oleh berbagai pihak, terutama para perencana dan pengambil kebijakan untuk menentukan perioritas kebijakan yang tepat dalam mewujudkan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Skenario Strategi Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dilakukan dengan pendekatan analisis keberlanjutan kondisi eksisting dan analisis kebutuhan stakeholder . Untuk mengetahui indeks dan status keberlanjutan digunakan metode multi dimensional scalling (MDS) yang disebut dengan Rap_UEK. Indikator yang dianalisis mencakup lima dimensi yaitu dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Analisis Rap Usaha Ekonomi Kreatif diperoleh indeks dan status keberlanjutan pada masing-masing dimensi serta faktor-faktor pengungkit atau atribut kunci. Hasil analisis tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis prospektif untuk menentukan faktor kunci atau dominan. Faktor-faktor tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem yang akan dibangun dalam upaya untuk pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif secara berkelanjutan. Analisis kebutuhan stakeholder dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor berdasarkan preferensi kebutuhan pada masa yang akan datang. Faktor-faktor atau atribut-atribut kebutuhan stakeholder tersebut kemudian dilakukan analisis prospektif untuk memperoleh faktor-faktor kunci atau dominan terhadap pencapaian pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif.
119
Hasil analisis keberlanjutan di integrasikan dengan analisis kebutuhan stakeholders menggunakan analisis prospektif. Hasil yang diperoleh digunakan untuk menyusun strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Hasil integrasi yang diperoleh faktor-faktor kunci yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Skenario merupakan gambaran kondisi masa depan dari setiap dimensi dan setiap faktor kunci keberlanjutan. Skenario yang ditetapkan, kemudian disimulasikan untuk menilai indeks dan status keberlanjutan pada masa yang akan datang dengan menggunakan analisis MDS. Perubahan kondisi (state) masing-masing faktor di masa yang akan datang memiliki sejumlah kemungkinan yang berbeda (Tabel 14) Tabel 14
Uraian masing-masing skenario strategi
Skenario
Uraian
I
Melakukan perbaikan pada faktor-faktor pengungkit dengan cara peningkatan skoring pada beberapa atribut kunci pada dimensi yang tidak berkelanjutan
II
Melakukan perbaikan pada faktor-faktor pengungkit dengan cara peningkatan skoring pada beberapa atribut kunci pada seluruh dimensi secara optimun
III
Melakukan perbaikan pada faktor-faktor pengungkit dengan cara peningkatan skoring pada beberapa atribut kunci pada secara maksimal
Perubahan kondisi yang akan datang terhadap faktor kunci pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dicantumkan pada Tabel 15. Tabel 15 Perubahan kondisi faktor-faktor dominan pada pengrajin ekonomi kreatif secara berkelanjutan. No
Faktor dominan
Keadaan pada masa yang akan datang A B C
1
Penjualan pada satu tempat
Penjualan hanya pada satu tempat
2
Kordinasi dengan instansi pemerintah dan swasta
Kordinasi dengan instansi saat ini tidak jelas
3
Sumber permodalan
Pengrajin tidak mempunyai akses sumber permodalan saat ini
Penjualan dilakukan pada tempat yang strategis yang ada di Kabupaten Kordinasi dengan instansi berjalan cukup baik
Pengrajin mempunyai akses dan sumber permodalan melalui lembaga keuangan
Penjualan dilakukan pada tempat yang strategis yang ada di luar kabupaten dan Provinsi Kordinasi dengan instansi berjalan baik dan didukung oleh adanya tugas pokok dan fungsi yang jelas dari masing-masing instansi Pengrajin mempunyai akses dan sumber yang kuat terhadap permodalan pada lembaga keuangan
120
Tabel 15 (lanjutan) No 4
5
6
Faktor dominan
Keadaan pada masa yang akan datang A B C
Produk UEK
Peningkatan produk masih terkendala dengan bahan baku pada saat ini Pengembangan Pengrajin belum produk melakukan pengembangan produk pada saat ini Perluasan usaha
Perluasan lapangan usaha pada saat ini belum dilakukan
Peningkatan bahan baku perlu didukung dengan pemasok bahan baku Melakukan pengembangan produk pada usaha sendiri dengan akses permodalan yang memadai Perluasan usaha sudah dilakukan melalui kelembagaan pengrajin
Peningkatan bahan baku perlu didukung oleh program kemitraan dengan pemasok bahan baku Melakukan pengembangan produk pada usaha sendiri dengan akses permodalan dengan penerapan kemitraan Perluasan lapangan usaha sudah dilakukan melalui kelembagaan pengrajin dengan konsep ekonomi kreatif dan menjalin hubungan kemitraan dengan lembaga keuangan mikro
Implementasi strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dilakukan dengan mengintegrasikan faktor dominan yaitu penjualan pada satu tempat, kordinasi dengan instansi, sumber permodalan, produk UEK, pengembangan produk dan perluasan usaha. Strategi peningkatan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario I, II, III. Pendekatan integratif faktor ekonomi, sosial, kelembagaan, lingkungan dan perilaku kewirausahaan menjadi pertimbangan dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sehingga pemanfaatan sumber daya lokal dapat dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan perubahan kondisi faktor-faktor dominan dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif secara berkelanjutan maka disusun beberapa skenario seperti tercantum pada Tabel 16. Tabel 16 Skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif secara berkelanjutan Kondisi eksiting 1A,2A,3A,4A,5A,6A
Susunan faktor (atribut) Skenario I II III 1B,2B,3B,4A, 1B,2B,3B,4B, 1C,2C,3C,4C. 5A,6A 5B,6B 5C,6C
Secara operasional penerapan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dapat dilakukan seperti yang dipaparkan pada Tabel 17.
121
Tabel 17 Penerapan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif Susunan Atribut Penjualan pada satu tempat
Kordinasi dengan instansi pemerintah dan swasta
Sumber permodalan
Peningkatan produk UEK
Pengembangan produk
Perluasan usaha
Pemberdayaan Pengrajin ekonomi kreatif Berusaha mendapatkan penyediaan prasarana umum yang dapat mendorong pertumbuhan usaha kecil seperti lokasi pasar, ruang pertokoan yang terjangkau, lokasi sentra industri sutera. Melakukan kordinasi dengan pihak pemerintah agar dapat memfasilitasi kerjasama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi dan himpunan usaha kecil guna memperkuat posisi tawar dan Melakukan kemitraan usaha kecil dengan usaha menengah dan besar serta mencegah hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam transaksi bisnis melalui kemitraan tersebut. Diupayakan dengan menjalin kerjasama guna memperoleh bantuan modal dari pihak swasta Dukungan pembiayaan yang berupa modal bergulir atau pinjaman lunak Pengrajin memerlukan dukungan pengembangan Lembaga Keuangan Mikro yang mampu memberikan kredit secara cepat, menerapkan persyaratan yang mudah dan menerapkan bunga rendah. Hal ini dibarengi dengan upaya yang lain seperti bimbingan tehnis, perbaikan desain, ketrampilan manajemen dan sikap kewirausahaanan. Program kemitraan dengan pemasok bahan baku yang bergerak sebagai penyedia kredit, pemasok bahan baku, pembeli/pembesar (menentukan desain yang diminta di pasar), informasi pemasok,. Dilakukan pelatihan untuk peningkatan ketrampilan teknis dalam memproduksi, pemasaran. Melakukan penyuluhan dan pendampingan oleh pelaku pemberdayaan atau penyuluh lapangan Memberi bantuan dan memfasilitasi terbentuknya bank data jaringan informasi bisnis yang mampu menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi, desain dan mutu. Pengrajin sangat memerlukan bimbingan teknis dan pembuatan desain untuk meningkatkan nilai tambah sehingga bernilai mahal dengan produk kearifan lokal. Pelaku pemberdayaan harus benar-benar yang kompeten dan memahami selera pasar., peluang pasar, event-event pameran dan kebijakan pemerintah. Perluasan usaha diperlukan dukungan kelembagaan pengrajin yang efektif mencakup lembaga layanan teknis, layanan bisnis, layanan kebijakan yang berpihak pada kemajuan pengembangan dan pelestarian usaha kerajinan Peningkatan pengetahuan, semangat dan kemampuan dalam melakukan perilaku usaha dengan cara membudayakan kebiasaan-kebiasaan berkewirausahaan.
122
Skenario disusun berdasarkan pada pertimbangan karakteristik pengrajin ekonomi kreatif , potensi, kendala dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan. Bagan alir skenario pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif secara berkelanjutan tertera pada Gambar 43. Keadaan saat ini (existing)
Faktor Dominan 1. Penjualan pada satu tempat 2. Kordinasi dengan instansi pemerintah dan swasta 3. Sumber permodalan 4. Produk UEK 5. Pengembangan produk 6. Perluasan usaha
Skenario I Melakukan perbaikan pada faktor pengungkit dengan cara peningkatan scoring pada beberapa atribut pada dimensi yang tidak berkelanjutan
Skenario II Melakukan perbaikan pada faktor dominan dengan cara peningkatan skoring pada beberapa atribut pada seluruh dimensi secara optimun
Analisis MDS
Analisis Prospektif
Skenario III Melakukan perbaikan dengan cara peningkatan skoring pada seluruh atribut secara maksimal
Indeks Keberlanjutan Ekonomi Sosial Lingkungan Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan ekonomi kreatif
Gambar 43 Skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Pada Skenario I upaya dilakukan adalah pada kondisi eksisting dan dilakukan sedikit perbaikan yakni melalui peningkatan skoring pada beberapa atribut (yang mempengaruhi) pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Perubahan skoring atribut-atribut pada skenario I selengkapnya dicantumkan pada Tabel 18.
123
Tabel 18 Perubahan skoring atribut pada skenario I No A 1 2 3 B 1 2 3 4 C 1 2 3 4 D 1 2 3 E 1 2 3
Faktor Kunci Dimensi ekonomi Penjualan pada satu tempat melakukan pengembangan produk Kurang melakukan promosi pada produk Dimensi Lingkungan Pengetahuan tentang dampak perwarnaan Dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif Kurang pelatihan terkait dampak lingkungan Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan Dimensi Sosial Merupakan industri sendiri (turun temurun) Kurangnya sosialisasi dari pemerintah Kurangnya pelatihan dari pemerintah Kurangnya pelatihan dari organisasi Dimensi Kelembagaan Penentuan harga dilembaga Aturan main belum berlaku dilembaga sosial Hubungan secara vertical. Dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Memahami cara menjalankan peluang UEK Memahami cara membuat corak sutera baru Melakukan identifikasi secara teliti UEK
Skoring Saat ini Skenario (eksisting) I 4 3 3
4 3 3
3 1 3 2
4 1 3 2
4 2 3 3
4 2 3 3
3 3 2
4 3 2
3 3 3
4 3 3
Untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan perubahan skernario dilakukan analisis MDS dengan menggunakan Rap UEK. Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut kunci pada setiap dimensi menjadi dasar analisis MDS. Atribut kunci yang mengalami perubahan skoring adalah pada dimensi ekonomi adalah penjualan pada satu tempat, pada dimensi lingkungan yakni pengetahuan tentang dampak perwarnaan, pada dimensi sosial yakni industri sendiri (turun temurun), pada dimensi kelembagaan adalah penentuan harga dilembaga, pada dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif adalah memahami cara menjalankan peluang UEK. Perubahan nilai yang terjadi akibat perubahan skor pada beberapa atribut kunci dicantumkan pada Tabel 19. Perubahan skoring pada beberapa atribut kunci mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing dimensi (Tabel 19) dan peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif antara 0,00 – 4,99. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan dengan melakukan perubahan skenario I pada beberapa atribut kunci menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Pada keseluruhan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan masih dalam kateogri cukup berkelanjutan. Dimana hanya pada dimensi ekonomi yang tidak mengalami perubahan hal ini disebabkan nilai atribut yang tetap karena kondisi eksisting tidak dapat dirubah kecuali jika sarana
124
dan prasarana dari pemerintah dilakukan atau program2 pemberdayaan yang dilakukan atau dengan melakukan pengembangan kawasan seperti pusat bisnis tenun sutera yang berada pada satu lokasi. Tabel 19
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario I
No
Dimensi Keberlanjutan
1 2 3 4 5
Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif
Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Eksisting Skenario Perbedaan 53,36 33,31 50,75 43,25 48,38
53,36 38,30 52,33 46,20 50,40
0,00 4,99 1,58 2,95 2,02
Secara rinci bagan peningkatan indeks berkelanjutan berdasarkan skenario I tertera pada Gambar 44. Skenario I Indeks Keberlanjutan Gabungan Eksisting ( 48,97 % )
Ekonomi ( 53,36 %)
Sosial (50,75% )
Lingkungan (33,31% )
Kelembagaan (43,32%)
Perilaku kewirausahan EK ( 48,32 % )
Faktor Dominan Penjualan pada satu tempat
Merupakan usaha turun temurun
Kurangnya pelatihan terkait dampak lingkungan
Penentuan harga dilembaga
Kurang memahami cara menjalankan
Indeks keberlanjutan skenario I
(53,36 %)
(52,33 %)
(38,3 %)
(46,2 %)
(50,4 %)
Indeks Keberlanjutan Gabungan ( 50,49 % )
Formulasi Rekomendasi Skenario I
Gambar 44 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I
125
Pada skenario II upaya yang dilakukan adalah perbaikan pada seluruh dimensi melalui peningkatan skoring pada atribut kunci di setiap dimensi yang tidak berkelanjutan. Perubahan skoring atribut-atribut pada skenario II selengkapnya dicantumkan pada Tabel 20. Tabel 20 Perubahan skoring atribut pada skenario II No A 1 2 3 B 1 2 3 4 C 1 2 3 4 D 1 2 3 E 1 2 3
Faktor Kunci Dimensi ekonomi Penjualan pada satu tempat Kurang melakukan pengembangan produk Kurang melakukan promosi pada produk Dimensi Lingkungan Pengetahuan tentang dampak perwarnaan Dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif Kurang pelatihan terkait dampak lingkungan Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan Dimensi Sosial Merupakan industri sendiri (turun temurun) Kurangnya sosialisasi dari pemerintah Kurangnya pelatihan dari pemerintah Kurangnya pelatihan dari organisasi Dimensi Kelembagaan Penentuan harga dilembaga Aturan main belum berlaku dilembaga sosial Hubungan secara vertical. Dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Memahami cara menjalankan peluang UEK Memahami cara membuat corak sutera baru Melakukan identifikasi secara teliti UEK
Skoring Saat ini Skenario (eksisting) II 4 3 3
4 4 2
3 1
4 2
3 2
3 2
4 2 3 3
4 3 3 3
3 3 2
4 4 2
3 3 3
4 4 3
Untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan perubahan skenario dilakukan analisis MDS dengan menggunakan Rap-UEK. Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut kunci pada setiap dimensi menjadi dasar analisis MDS. Atribut kunci yang mengalami perubahan skoring pada dimensi ekonomi adalah kurang melakukan pengembangan produk, pada dimensi lingkungan dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif, pada dimensi sosial kurangnya sosialisasi dari pemerintah, pada dimensi kelembagaan aturan main belum berlaku dan pada dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif adalah memahami cara membuat corak sutera baru. Perubahan nilai yang terjadi akibat perubahan skor pada beberapa atribut kunci dicantumkan pada Tabel 21. Perubahan skoring pada beberapa atribut kunci mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing dimensi (Tabel 21) dan peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif antara 2,00 12,38. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan dengan melakukan perubahan skenario II pada beberapa atribut kunci menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Pada keseluruhan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan
126
perilaku kewirausahaan masih dalam kategori cukup. Dimana hanya pada dimensi lingkungan yang mengalami perubahan dari tidak berkelanjutan menjadi cukup berkelanjutan. Tabel 21 Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario II Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Eksisting Skenario Perbedaan
No
Dimensi Keberlanjutan
1 2 3 4 5
Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif
53,36 33,31 50,75 43,25 48,38
55,36 45,69 54,95 48,95 52,36
2,00 12,38 4,20 5,70 3,98
Secara rinci bagan peningkatan indeks berkelanjutan berdasarkan skenario II tertera pada Gambar 45. Skenario II Indeks Keberlanjutan Gabungan Eksisting ( 48,97 % )
Ekonomi ( 53,36%)
Sosial (50,75%)
Lingkungan (33,31%)
Kelembagaan (43,32%)
Perilaku kewirausahan EK (48,32%)
Faktor Dominan - Penjualan pada satu tempat - Kurang melakukan pengemb produk - Kurang melakukan promosi pada produk
- Merupakan usaha turun temurun - Kurangnya sosialisasi dari pemerintah - Kurangnya pelatihan dr pemerintah dan organisasi
- Kurangnya pelatihan terkait dampak lingkungan - Dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif - Kurang pelatihan dampak lingkungan - Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan
- Penentuan harga dilembaga - Aturan main belum berlaku - Hubungan secara vertikal
- Kurang memahami cara menjalankan - Memahami cara membuat corak sutera baru - Melakukan identifikasi secara teliti UEK
Indeks keberlanjutan skenario II (53,36 %)
(54,95 %)
(45,69 %)
(48,95 %)
(52,36 %)
Indeks Keberlanjutan Gabungan ( 53,25 % )
Formulasi Rekomendasi Skenario II
Gambar 45 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II
127
Pada skenario III upaya yang dilakukan melalui perbaikan pada seluruh atribut secara maksimal. Peningkatan skoring pada atribut kunci disetiap dimensi dengan dasar peningkatan pada skenario II. Perubahan skoring atribut-atribut pada skenario II selengkapnya dicantumkan pada Tabel 22. Tabel 22 Perubahan skoring atribut pada skenario III No A 1 2 3 B 1 2 3 4 C 1 2 3 4 D 1 2 3 E 1 2 3
Faktor Kunci Dimensi ekonomi Penjualan pada satu tempat Kurang melakukan pengembangan produk Kurang melakukan promosi pada produk Dimensi Lingkungan Pengetahuan tentang dampak perwarnaan Dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif Kurang pelatihan terkait dampak lingkungan Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan Dimensi Sosial Merupakan industri sendiri (turun temurun) Kurangnya sosialisasi dari pemerintah Kurangnya pelatihan dari pemerintah Kurangnya pelatihan dari organisasi Dimensi Kelembagaan Penentuan harga dilembaga Aturan main belum berlaku dilembaga sosial Hubungan secara vertikal. Dimensi Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Memahami cara menjalankan peluang UEK Memahami cara membuat corak sutera baru Melakukan identifikasi secara teliti UEK
Skoring Saat ini Skenario (eksisting) III 4 3 3
4 4 4
3 1
4 2
3 2
4 3
4 2 3 3
4 3 4 4
3 3 2
4 4 3
3 3 3
4 4 4
Untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan perubahan skenario dilakukan analisis MDS dengan menggunakan Rap-UEK. Perubahan nilai skoring pada beberapa atribut kunci pada setiap dimensi menjadi dasar analisis MDS. Atribut kunci yang mengalami perubahan skoring pada dimensi ekonomi adalah kurang melakukan promosi pada produk, pada dimensi lingkungan kurang pelatihan terkait dampak lingkungan dan kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif, pada dimensi sosial kurangnya pelatihan dari pemerintah dan pemerintah, pada dimensi kelembagaan hubungan secara vertikal dan pada dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif adalah melakukan identifikasi secara teliti UEK. Perubahan nilai yang terjadi akibat perubahan skor pada beberapa atribut kunci dicantumkan pada Tabel 23. Perubahan skoring pada beberapa atribut kunci mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing dimensi (Tabel 23) dan peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif antara 4,62 – 46,54. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan dengan melakukan perubahan
128
skenario III pada beberapa atribut kunci menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Pada keseluruhan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan masih dalam kategori cukup berkelanjutan. Tabel 23 Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario III
1 2 3 4 5
Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Eksisting Skenario Perbedaan
Dimensi Keberlanjutan
No
Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif
53,36 33,31 50,75 43,25 48,38
57,98 79,85 61,48 51,44 57,68
4,62 46,54 10,73 8,19 9,30
Secara rinci bagan peningkatan indeks berkelanjutan berdasarkan skenario III tertera pada Gambar 46. Skenario III Indeks Keberlanjutan Gabungan Eksisting ( 48,97 % )
Ekonomi ( 53,36 %)
Sosial (50,75% )
Lingkungan (33,31% )
Kelembagaan (43,32%)
Perilaku kewirausahan EK ( 48,32 % )
Faktor Dominan - Penjualan pada satu tempat - Kurang melakukan pengemb produk - Kurang melakukan promosi
- Merupakan usaha turun temurun - Kurangnya sosialisasi dr pemerintah - Kurangnya sosialisasi dr pemerintah dan organisasi
- Kurangnya pelatihan terkait dampak lingkungan - Dampak penyediaan bahan baku terhadap ekonomi kreatif - Kurang pelatihan dampak lingkungan - Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan
- Penentuan harga dilembaga - Aturan main belum berlaku - Hubungan secara vertikal
- Kurang memahami cara menjalankan - Memahami cara membuat corak sutera baru - Melakukan identifikasi secara teliti UEK
Indeks keberlanjutan skenario III
(57,98%)
(61,48%)
(79,85%)
(51,44%)
(57,68%)
Indeks Keberlanjutan Gabungan (60,39 % )
Formulasi Rekomendasi Skenario III
Gambar 46 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III
129
Strategi Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Berdasarkan hasil analisis MDS, laverage, kebutuhan (need analysis) dan prospektif dapat diformulasikan strategi pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan melalui nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario selengkapnya tertera pada Tabel 24. Tabel 24
No 1 2 3 4 5
Indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario I, II, III pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Skenario Skenario Skenario Eksisting I II III
Dimensi Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif
53,36 33,31 50,75 43,25 48,38
53,36 38,3 52,33 46,2 50,4
55,36 45,69 54,95 48,95 52,36
57,98 79,85 61,48 51,44 57,68
Tingkat keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif dapat ditingkatkan dari kondisi eksisting saat ini dengan melakukan perubahan pada atribut kunci (sensitif) pada setiap dimensi akan mampu meningkatkan nilai indeks berkelanjutan. Melalui strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dengan penerapan skenario I, II dan III akan diperoleh suatu tingkat pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif yang berkelanjutan dari masing-masing dimensi. Peningkatan nilai indeks berkelanjutan pada skenario III memberikan perubahan yang terbesar pada tingkat keberlanjutan pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario pada setiap dimensi berkelanjutan berdasarkan pada diagram layang-layang selengkapnya dapat dipaparkan pada Gambar 47. Ekonomi 100 80 60 40
Kelembagaan
Sosial
20 0
Lingkungan Indeks
Skenario I
Perilaku Ekonomi Kreatif Skenario II Skenario III
Gambar 47 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan
130
Peningkatan nilai indeks keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif sangat ditentukan oleh interaksi antara komponen pada setiap dimensi. Gambaran mengenai interaksi antara atribut dapat dipaparkan pada Gambar 48 Pengrajin ekonomi kreatif Kurang melakukan promosi
Penjualan pada satu tempat
Usaha turun temurun
Kurangnya sosialisasi dari pemerintah
Kurangnya hubungan secara vertikal (stakeholder)
Kurang melakukan pengembangan produk
Kurangnya pelatihan dari pemerintah dan swasta
Kurang memahami corak sutera baru
Kordinasi dengan instansi
Kurangnya pelatihan dampak lingkungan
Kurang memahami cara menjalankan UEK
Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan
Kurang mengidentifikasi secara teliti UEK
kemitraan
Lembaga keuangan mikro
Kelembagaan pengrajin
Aturan belum berlaku dilembaga
Belum ada penetapan harga dilembaga Kelompok pengrajin
Peningkatan produk
PENYULUHAN
Pemberdayaan pengrajin yang berkelanjutan
Perluasan usaha
Peningkatan pendapatan
Gambar 48 Bagan interaksi antar atribut dalam keberlanjutan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
131
Strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario I, II dan III. Pada skenario I dilakukan seperti kondisi eksisting dan sedikit perbaikan pada beberapa atribut kunci pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Pada skenario II peningkatan skoring pada beberapa atribut sensitif pada seluruh dimensi tetapi tidak maksimal. Pada skenario III peningkatan skoring pada seluruh atribut kunci setelah skenario II. Dengan demikian strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di masa yang akan datang dilakukan dengan implementasi faktor penting tersebut. Strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di perdesaan ditentukan oleh pesan atribut dominan yang akan menjadi pertimbangan dalam penentuan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di masa yang akan datang. Penjualan pada satu tempat, kordinasi dengan instansi pemerintah, sumber permodalan, peningkatan produk UEK, pengembangan produk dan perluasan usaha menjadi atribut-atribut yang utama yang akan menjadi pertimbangan dalam penentuan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dimasa yang akan datang. Penjualan pada satu tempat akan berkaitan dengan komponen sarana dan prasarana yang didapatkan pengrajin ekonomi kreatif dan kordinasi dengan instansi pemerintah dan pihak swasta adalah merupakan kemitraan yang harus dilakukan sebagai suatu sumber dan akses permodalan untuk pengrajin ekonomi kreatif untuk peningkatan produk dan pengembangan produk sehingga pengrajin ekonomi kreatif dapat melakukan perluasan usaha. Peningkatan pendapatan pengrajin ekonomi kreatif dapat diupayakan melalui program pemberdayaan yang melibatkan stakeholder. Kelembagaan pengrajin yang kuat dan didukung oleh lembaga keuangan mikro dengan pemberian kredit usaha akan memperkuat kemampuan pengrajin ekonomi kreatif dalam mengelola usahanya. Model Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Penyusunan model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif diperdesaan dilakukan dengan menganalisis antara komponen-komponen ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif. Permasalahan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif bersifat kompleks dengan banyak atribut yang mempengaruhi pada kondisi lapangan. Untuk itu dilakukan pembatasan pada atribut kunci yang mempengaruhi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Model dibangun berdasarkan pendekatan holistik terhadap seluruh atribut kunci yang berpengaruh terhadap pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Hasil analisis diperoleh enam faktor kunci dominan atau utama yaitu (1) penjualan satu tempat, (2) kordinasi dengan instansi pemerintah dan pihak swasta, (3) sumber permodalan, (4) peningkatan produk UEK, (5) pengembangan produk, dan (6) perluasan usaha. Hal ini terlihat dari perubahan yang diberikan pada atribut kunci mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan gabungan eksisting sebesar 48,97 % menjadi 60,39 %. Penerapan konsep ekonomi kreatif yang sesuai dengan karakteristik dan sosial ekonomi pengrajin ekonomi kreatif setempat. Penggabungan dan penerapan konsep ekonomi kreatif dan kearifan lokal (local wisdom) yang dapat menjadi
132
alternatif dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Teknologi lokal yang tersedia dan cocok dalam pengelolaan usaha diharapkan mampu mempertahankan keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif. Strategi yang ditempuh dalam pemberdayaan harus memperhatikan faktor kunci yakni enam atribut sebagai faktor kunci dominan. Pengetahuan lokal pengrajin terhadap teknologi tradisional menjadi pertimbangan dalam pengelolaan usahanya. Sumberdaya lokal yang dilakukan pengrajin dalam memanfaatkan teknologi alat tenun yang sederhana memberikan bukti bahwa pengrajin ekonomi kretif mampu mempertahankan produk ekonomi kreatif. Program kemitraan antara pemerintah dan pihak swasta berpengaruh pada peningkatan pendapatan dan kemampuan pengrajin ekonomi kreatif. Kondisi ini dapat menciptakan harmonisasi antara pemerintah dan pihak swasta sehingga konflik yang akan muncul dapat dicegah. Kemitraan yang kuat dapat didukung melalui program pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Pemberdayaan merupakan faktor penting bagi pengrajin ekonomi kreatif karena didalam pemberdayaan program kemitraan antara pemerintah dan pihak swasta merupakan faktor yang penting dan merupakan salah satu alternatif dalam mempercepat pengembangan usaha pengrajin ekonomi kreatif. Interaksi antara lembaga yang terkait akan sangat mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Secara simultan lembaga pemerintah akan mendorong berperan aktif baik secara individu maupun secara berkelompok, yang akan memperkuat terciptanya kemandirian masyarakat. Dukungan lembagaan keuangan mikro dalam pemberian kredit usaha akan mempercepat struktur dan akses permodalan pengrajin ekonomi kreatif. Dengan demikian diperoleh keterpaduan (integrated) program pemberdayaan. Strategi yang mengkombinasikan dan mengikutsertakan dan mendorong pengembangan kemitraan merupakan prioritas untuk mewujudkan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Pengembangan usaha pertenunan dengan strategi pemberdayaan dilakukan dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang antara investor dengan pengrajin serta petani murbei yang berhimpun dalam suatu badan yakni koperasi. Pola ini dapat mengimplementasikan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif melalui penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan. Untuk itu model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di perdesaan dapat dipaparkan pada Gambar 49. Rancangan Strategi Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Dalam strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif ada tiga pihak yang perlu dipersiapkan dalam keberlanjutan usaha yaitu (1) penyuluh sebagai agen perubahan (2) pemerintah dan swasta yang terkait dengan pengembangan pertenunan sutera (3) pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama. Ketiga pihak ini memiliki peran masing-masing dan saling bersinergi satu sama lain didalam melakukan suatu strategi penyuluhan yang tepat dan sesuai dengan paradigm baru penyuluhan pertanian.
.
INPUT
133
Pengrajin ekonomi kreatif
Sumberdaya lokal Karakteristik pengrajin Sosial ekonomi
Usaha turun temurun
Sarana dan prasarana pengrajin
Kebijakan pemerintah UU No 16 /2006 InPres No. 6 Thn 2009
Konsep ekonomi kreatif
USAHA EKONOMI KREATIF
Kordinasi dengan instansi pemerintah dan pihak swasta, PT, stakeholder
Pelatihan
Sumber dan akses permodalan
P R
Peningkatan Produk UEK
pendampingan
Pemasok bahan baku
O S
Lembaga keuangan mikro
kemitraan
Kredit usaha
Lembaga pengrajin
Pengembangan produk UEK
E S
Pelaku pemberdayaan O U T P U T
Penyuluhan yang menberdayakan pengrajin
Perluasan usaha
Penyuluh lapangan
Produk Ekonomi Kreatif (Kerajinan Sutera) yang khas dan kelembagaan kelompok menguat
OUTCOME
Pendapatan Pengrajin meningkat dan usaha ekonomi kreatif berkelanjutan
Gambar 49 Model Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif di Perdesaan
134
Menurut Slamet (2003) bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan yang menyatakan bahwa melayani berbagai kebutuhan informasi sesuai dengan kondisi lokal masyarakat setempat, berorientasi agribisnis diperlukan peran agen perubahan. Menurut Amanah (2007 ) peran penyuluhan sebagai transformasi perilaku manusia melalui suatu pendidikan dapat tercapai, maka itu rancangan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif sangat dibutuhkan untuk keberlanjutan usaha sutera dapat ditunjukkan pada Tabel 25. Tabel 25 Rancangan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif No
Kegiatan (What)
A 1
Tahap Persiapan Penyiapan penyuluh dan pelaku pemberdayaan Pendataan pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba yang masih aktif
2
Pelaksana (Who)
Pelatihan, Kursus dan Dinas Pertanian Magang Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Desa, Membuat pengembangan Kecamatan dan kawasan pengrajin ekonomi Kabupaten kreatif Dinas Statistik Dinas Pariwisatan dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Desa, Pelatihan, Kursus dan Kecamatan dan Magang Kabupaten Studi Banding pada usaha Dinas Pariwisata dan yang telah berhasil Ekonomi Kreatif menerapkan Konsep Ekonomi Kreatif Dinas Koperasi dan UKM Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Desa, Sosialiasi pentingnya Kecamatan dan kelembagaan pengrajin Kabupaten Inisiasi pembentukan Tokoh2 Masyarakat kelembagaan pengrajin dan pemuda LSM
3
Pemantapan Konsep Ekonomi Kreatif
4
Penyiapan Kelembagaan pengrajin
B 1
Tahap Pelaksanaan Pengembangan kawasan tenun sutera dan Peningkatan sarana dan prasarana pada lokasi pengrajin ekonomi kreatif Peningkatan dukungan sumber permodalan
2
Pelaksanaan (How)
Pemerintah Kabupaten dan Program2 pemberdayaan yang mendorong pertumbuhan usaha Pemerintah Kabupaten Perbankan, BUMN, Koperasi BUMD
Membangun pusat kawasan tenun sutera. Membangun lokasi pasar desa Lokasi pertokoan Lokasi sentra industri sutera Menyiapkan dana bergulir atau pinjaman Menyusun prosedur penyaluran dana dengan bunga rendah
135
Tabel 25 (lanjutan) Kegiatan No (What)
Pelaksana (Who)
Pelaksanaan (How)
Penyuluh Pelaku pemberdayaan
Melakukan kerjasama dan kemitraan
4
Melakukan kordinasi dengan instansi pemerintah dan swasta Peningkatan produk dan pengembangan usaha ekonomi kreatif
Pemerintah kabupaten Dinas Pariwisata dan ekonomi kreatif Dinas Perindustrian dan perdagangan Dinas Koperasi dan UKM Perguruan Tinggi Penyuluh dan pelaku pemberdayaan
5
Perluasan usaha
Penyuluhan dan pelatihan tentang a. Peningkatan kuantitas produk b. Pasar dan Promosi produk c. Bimbingan tehnis d. Peningkatan desain corak baru e. Peningkatan teknologi dan mutu f. Perilaku kewirausahaan g. Keberlanjutan usaha Penyuluhan dan pelatihan tentang peningkatan pengetahuan cara penanggulangan resiko dan berbisnis
C 1
Tahap Hasil Pengembangan desain dan akses teknologi ekonomi kreatif
2
Penyadaran pentingnya akan fungsi organisasi dewan kerajinan (dekranasda) Penyadaran pentingnya HAKI
3
3
Pemerintah kabupaten Perbankan BUMN BUMD Koperasi
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi dan UKM Asosiasi, PT Dinas penyuluhan dan tanaman pangan Pemerintah Kabupaten LSM Penyuluh dan pelaku pemberdayaan
Melakukan pelatihan tentang cara membuat corak perpaduan antara tradisional dan modern Melakukan kemitraan khusus dalam akses teknologi
Pemerintah kabupaten, provinsi Dinas Pariwisata dan ekonomi kreatif Dinas Perindustrian dan perdagangan Dinas Koperasi dan UKM Perguruan Tinggi Penyuluh dan pelaku pemberdayaan
Sosialisasi tentang pentingnya HAKI
Sosialisasi tentang pentingnya organisasi dewan kerajinan (dekranasda)
136
Tabel 25 (lanjutan) Kegiatan No (What)
Pelaksana (Who)
4
Penguatan kemampuan diri pengrajin ekonomi kreatif
Penyuluh Pelaku pemberdayaan
5
Menjaga keberlanjutan usaha Pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif Berkelanjutan Monitoring dan evaluasi
Penyuluh Pelaku pemberdayaan Semua pihak yang terlibat
6
7
Semua pihak yang terlibat
Pelaksanaan (How) Penyuluhan dan pelatihan tentang kemampuan memecahkan masalah, mencari dan memanfaatkan peluang dan menyusun perencanaan usaha Penyuluhan dan pelatihan tentang upaya menjaga keberlanjutan usaha Penyuluhan Kursus Magang Pelatihan Menilai pelaksanaan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dan keberlanjutan usaha
Program Aksi Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Nielsen dan Christian (2003) menjelaskan bahwa empowerment memasukkan penyebaran informasi, memberikan pengetahuan dan kinerja seluruh elemen-elemen yang dibutuhkan bagi semuanya. Maka dari itu dibutuhkan suatu penguatan individu khusunya pada pengrajin ekonomi kreatif dan masyarakat pada umumnya yakni dengan : Melakukan Penyuluhan Perkembangan persuteraan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba sudah mengalami tantangan khususnya pada sektor usaha pertenunan sutera namun karena prinsip yang selalu dipertahankan dengan keuletan dan loyalitas mempertahankan profesinya dengan melakukan upaya pengembangan dan inovasi Maka dibutuhkan melakukan penyuluhan di sektor usaha pertenunan mengingat masih belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengusaha persuteraan dan belum tertatanya dengan baik pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa serta sulitnya bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi sehingga membutuhkan upaya dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan berupaya mengatasi masalah tersebut dengan melakukan penyuluhan dari hulu hingga hilir. Kebutuhan pengrajin ekonomi kreatif perlu diidentifikasi agar tidak terjadi bias dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan. Penyuluhan diharapkan dapat
137
bermanfaat bagi pengrajin ekonomi kreatif. Pokok-pokok pikiran mengenai proses penyuluhan merupakan paradigm baru penyuluhan pembangunan (Slamet, 2003). Maka dari itu pengembangan usaha didasarkan untuk menumbuhkan ekonomi yang kreatif dimana pemerintah belum menyentuh aspek afektif pengrajin sebagai pelaku utama didalam menggerakkan pengrajin untuk bertindak. Kegiatan penyuluhan tidak hanya terfokus pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas pada teknologi dan informasi yang dianjurkan tetapi pada teknologi dan informasi yang dibutuhkan oleh pengrajin hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarno (2010); Purnaningsih (2012); Sawitri (2008); Suhendar et al. (2006) bahwa kendala utama didalam pengelolaan usaha kecil adalah jaringan pasar, informasi, teknologi, modal dan kualitas SDM. Konteks penyuluhan bagi pengrajin perlu difokuskan pada kawasan sikap pengrajin untuk berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengembangkan usaha kerajinannya sesuai dengan kebutuhan riilnya, oleh karena itu untuk dapat mewujudkan harapan tersebut maka proses penyadaran pengrajin akan kebutuhan riilnya menjadi salah satu prioritas kegiatan penyuluhan. Penyuluhan bagi pengrajin ekonomi kreatif merupakan proses perubahan perilaku individu pengrajin dan keluarganya melalui kapasitas yang memegang prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. Pengrajin dibantu penyuluh untuk mengakses informasi, menganalisis situasi dan menemukan masalah-masalah, melakukan perkiraan pada masa depan, melihat peluang dan tantangan serta dapat menyusun alternatif pemecahan masalah yang mereka hadapi. Menurut Zulaikha Ellya (2006); Karsidi ( 2007,2001); Mardikanto (2010), perlunya pendamping menyadari perannya dan bersikap rendah hati serta menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu Pengrajin ekonomi kreatif diposisikan sebagai subyek pengembangan yang diharapkan keterlibatannya dalam proses penyuluhan karena pengrajin sebagai subyek pembangunan memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil termasuk tujuan, situasi, pengetahuan serta pengalaman mereka dengan teknologi dan struktur sosial masyarakat mereka. Sitohang (2009) melalui penempatan tenaga fungsional Penyuluh Industri baik di lingkungan sentra maupun non sentra maka para pengusaha akan mendapatkan bimbingan dan penyuluhan serta pendampingan tentang cara-cara untuk melakukan analisis dan merumuskan tindakan yang akan datang, meningkatkan pengetahuan dan pengembangan wawasan usaha yang berorientasi pasar global, membantu pengusaha dan pelaku utama untuk memonitoring, mengevaluasi dan menganalisis ekonomi usahanya serta membantu dalam penerapan pilihan usaha. Berdasarkan hasil temuan dilapangan yang menunjukkan rendahnya perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif dan kecilnya kesempatan pengrajin untuk memperoleh pendidikan non formal maka didirumuskan materi penyuluhan untuk memberdayakan pengrajin ekonomi kreatif. Kegiatan penyuluhan lebih menekankan pada upaya perubahan perilaku yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berhubungan dengan konsep ekonomi kreatif. Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan dalam konsep dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif dapat dilihat pada Tabel 26. Model pemberdayaan ini merupakan upaya meningkatkan keberdayaan pengrajin melalui proses pembelajaran yang menggunakan prinsip-prinsip
138
pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan secara berkelanjutan. Kegiatan penyuluhan yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa perlu memegang teguh falsafah penyuluhan yang dapat menyukseskan keberhasilan penyuluhan (Asngari, (2008); Gani (2011)) yaitu (1) Falsafah pendidikan, (2) Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5) Falsafah Membantu Klien untuk dirinya sendiri, (6) Falsafah Kontinyu, (7) Falsafah Membakar Sampah secara tradisional yaitu membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan keadaan individu klien. Tabel 26 Materi Pokok Penyuluhan pada dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif Perilaku Inisiatif
Ranah
Materi penyuluhan
Teknik penyuluhan
Pengetahuan Peluang usaha Pendidikan/pelatihan Cara mengidentifikasi peluang Magang Bimbingan usaha usaha Cara menjalankan peluang usaha Sikap Ketertarikan thd peluang usaha Ketertarikan melakukan identifikasi usaha Sikap dalam menjalankan peluang usaha Ketrampilan Kecermatan menemukan peluang usaha Ketelitian melakukan identifikasi peluang usaha Ketepatan menjalankan peluang usaha
Kegiatan penyuluhan tentang keberlanjutan usaha bertujuan untuk meningkatkan perubahan perilaku yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berhubungan dengan sumber permodalan, kerjasama, peningkatan dan pengembangan produk (pemasaran) selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 27. Dalam program penyuluhan bagi pengrajin ekonomi kreatif, warga belajarnya adalah orang dewasa, mereka mempraktekkan langsung hal yang ingin dikembangkan pada dirinya, terutama kemampuan untuk mengelola usaha serta dalam mengubah diri sendiri. Memperhatikan kondisi tersebut maka teknik penyelenggaraan penyuluhan menekankan pada cara berfikir dengan konsep aksi yaitu: (1) pendidikan/pelatihan yang menggunakan tehnik diskusi kelompok, simulasi atau demonstrasi, (2) pemagangan pada badan usaha sesuai dengan kebutuhan, dan (3) bimbingan usaha oleh penyuluh/fasilatator secara berkelanjutan dalam membantu pemecahan masalah pengrajin ekonomi kreatif. Materi belajar yang diberikan merupakan alternatif pemecahan masalah agar warga belajar dapat memecahkan masalah secara langsung sehingga mereka mampu menghubungkan antara masalah dengan pemecahan masalah melalui penyuluhan.
139
Tabel 27 Materi Penyuluhan tentang keberlanjutan usaha Perilaku Sumber permodalan
Ranah
Materi penyuluhan
Pengetahuan
Cara mengakses sumber permodalan Cara mengelola modal Ketertarikan terhadap sumber permodalan Ketertarikan mengakses sumber pemodalan Kecermatan mencari sumber modal Ketepatan mengakses sumber permodalan Kecermatan mengelola modal Cara melakukan produk berkualitas Memahami cara untuk peningkatan produk Ketertarikan atas setiap produk berkualitas Ketertarikan atas cara kerja produk berkualitas Ketetapan menjalankan produk berkualitas Ketepatan memenuhi persyaratan mutu produk berkualitas Memahami pentingnya pengembangan produk Memahami teknik pengembangan produk Tertarik akan pengembangan produk Tertarik akan perkembangan produk Kecermatan mempromosikan pengembangan produk Kecermatan melakukan pengembangan produk Memahami bentuk kerjasama Memahami cara melakukan kerjasama Sikap mengutamakan kemitraan Sikap percaya diri dalam bekerjasama Kecermatan memilih bentuk kerjasama Ketelitian bekerjasama dengan pihak lain
Sikap
Ketrampilan
Peningkatan produk
Pengetahuan
Sikap
Ketrampilan
Pengembangan produk
Pengetahuan
Sikap
Ketrampilan
Kordinasi/ kerjasama
Pengetahuan
Sikap
Ketrampilan
Teknik penyuluhan Pendidikan/ pelatihan Magang Bimbingan permodalan
Pendidikan/ pelatihan Magang Bimbingan produk berkualitas
Pendidikan/ pelatihan Magang Bimbingan pengembang an produk
Pendidikan/ pelatihan Magang Bimbingan kerjasama
140
Tabel 27 (lanjutan) Perilaku
Ranah
Materi penyuluhan
Perluasan usaha
Pengetahuan
Memahami cara perluasan usaha Melakukan perluasan usaha Sikap menginginkan perluasan usaha Tertarik atas perluasan usaha Ketepatan menjalankan perluasan usaha Kecepatan melakukan perluasan usaha
Sikap
Ketrampilan
Teknik penyuluhan Pendidikan/ pelatihan Magang Bimbingan perluasan usaha
Pengembangan Desain Ekonomi Kreatif Menurut Sawitri (2008) Pengembangan desain tekstil tradisional bertujuan mengembangkan kemampuan para pengrajin dalam desain dan kegunaan produksinya untuk meningkatkan kualitas produk dan daya pemenuhan terhadap selera pasar atau konsumen. Oleh karena itu pengembangan desain pada pengrajin ekonomi kreatif menjadi salah satu penentu untuk meningkatkan nilai jual produk yang sesuai nilai-nilai budaya pada masyarakat Bugis dan makassar hal ini sesuai yang diutarakan oleh Suhendar et al. (2006) nilai-nilai luhur yang menjadi karakteristik masyarakat Tasikmalaya yang secara tidak langsung mempengaruhi dalam perancangan dan proses pembuatan dan perkembangan ragam hias desain bordir. Program ini diharapkan adanya kerjasama dengan pihak yang terlibat untuk melatih para pengrajin ekonomi kreatif untuk membuat corak sutera tradisional dan modern sehingga tumbuh kesadaran oleh pengrajin tidak hanya menghasilkan desain yang bercorak tradisional tetapi corak modern juga dapat dihasilkan sehingga akan dapat menambah kemampuan bersaing dalam merebut pasar internasional hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan Zulaikha (2006) yakni desain produk yang dihasilkan industri kecil cenderung monoton, sehingga diperlukan desain produk yang lebih baik untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai jual produk. Menyadarkan pentingnya Organisasi Dewan Kerajinan (Dekranasda) Organisasi sosial masyarakat pada umumnya mengacu kepada masyarakat lokal dan kemampuan struktur masyarakat untuk merealisasikan nilai umum dari penduduknya dan mempertahankan kontrol sosial yang efektif. Aplikasi kumpulan sumber daya dibutuhkan masyarakat untuk merealisasikan keunggulan kolektif melalui aktivitas interlocking dari sekumpulan jaringan formal dan informal, institusi dan organisasi secara lokal. Dimensi intervening organisasi sosial berfokus kepada kemampuan masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol kelompok, jaringan persahabatan lokal, dan partisipasi lokal dalam organisasi formal dan sukarela (Voydanoff (2001); Uphoff (1995); Van de Ban et al. (1999)).
141
Pentingnya organisasi dekranasda sebagai salah satu organisasi yang mendukung kerajinan sutera di setiap provinsi sebagai media yang dapat menjembatani antara pengrajin beserta produk yang dihasilkan dengan para desaigner ternama. Di Kabupaten Wajo dan Bulukumba organisasi Dewan Kerajinan belum berfungsi secara maksimal didalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Organisasi ini belum melakukan hubungan kerjasama secara langsung dengan pengrajin tetapi melalui pengusaha sebagai pelaku usaha pertenunan sutera maka dari itu dibutuhkan suatu penyadaran tentang peranan organisasi ini hal ini sesuai dengan penelitian Amanah (2010) sumber daya dibutuhkan masyarakat untuk merealisasikan keunggulan kolektif melalui aktivitas dari sekumpulan jaringan formal dan informal, institusi dan organisasi secara lokal. Penyadaran Pentingnya HAKI Memberdayakan adalah merupakan suatu proses yang dilakukan oleh siapa saja baik Pemerintah dan/atau kelompok berbasis komunitas untuk mengelola sekaligus melindungi hak kekayaan intelektual yang dimilikinya. Salah satu strategi yang dapat dikembangkan dalam memberdayakan masyarakat dalam mengelola dan melindungi hak kekayaan intelektual yang dimilikinya. Di Kabupaten Wajo dan Bulukumba kesadaran akan pentingnya HAKI belum terlihat baik itu dari para pengusaha dan pengrajin ekonomi kreatif, oleh karena itu sangat dibutuhkan dari berbagai pihak utamanya dengan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kecamatan serta beberapa instansi terkait untuk ikut memikirkan tentang penyadaran akan pentingnya HAKI. Kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh para pengrajin ekonomi kreatif yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing industri untuk melindungi karya pengrajin ekonomi kreatif. Hal ini bermanfaat untuk dapat menimbulkan motivasi dan dorongan dari para pengrajin ekonomi kreatif untuk dapat lebih berkreasi dan berinovasi di bidang produk dan teknologi yang digunakan. Pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif dalam pemberdayaan dalam bidang ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan serta perilaku yang semuanya akan difokuskan pada pelestarian dan perlindungan karya tradisionalnya. Purnaningsih (2012) bahwa para pengrajin batik tulis memerlukan uluran tangan dan perhatian pemerintah dalam bentuk pinjaman modal, perlindungan hukum, pelatihan hak cipta dan hak merek, serta pelatihan lain yang relevan yakni pemasaran, desain, manajemen dan transaksi dengan lisensi (sehingga memperoleh royalti) dan terkenal di mancanegara. Kemudahan dalam Akses Permodalan Salah satu permasalahan yang dihadapi pengrajin ekonomi kreatif adalah aspek permodalan. Lambannya laju perkembangan usaha dan rendahnya surplus usaha di sektor usaha mikro. Faktor modal menjadi salah satu sebab dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif maka dari itu pemecahan dalam aspek modal ini penting dan memang harus dilakukan. Hal yang perlu dicermati dalam usaha pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif melalui aspek permodalan ini adalah: (1) bagaimana pemberian bantuan
142
modal ini tidak menimbulkan ketergantungan, (2) bagaimana pemecahan aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang kondusif baru untuk mendapatkan akses di lembaga keuangan, (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan pengalokasian modal ini tidak terjebak pada perekonomian subsisten. Tiga hal ini penting untuk dipecahkan bersama. Inti pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat. Pemberian hibah modal pada pengrajin ekonomi kreatif , selain kurang mendidik masyarakat untuk bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, juga akan dapat mendistorsi pasar uang sesuai dengan yang dikemukakan oleh Astuti (2008) bahwa perlu dilakukan pendekatan terhadap lembaga yang dapat mendukung pemberdayaan, khususnya dalam penyediaan fasilitas pendukung : aksesibilitas pasar, modal, informasi, jalan, fisik, dll) dengan cara mengkomunikasikan dan mendiskusikan bersama semua elemen pemangku kepentingan stakeholder dan pemerintah. Oleh sebab itu, cara yang cukup elegan dalam memfasilitasi pemecahan masalah permodalan untuk usaha mikro adalah dengan menjamin kredit mereka di lembaga keuangan yang ada, dan atau memberi subsidi bunga atas pinjaman mereka di lembaga keuangan. Cara ini selain mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap pengembalian kredit, juga dapat menjadi wahana bagi mereka untuk terbiasa bekerjasama dengan lembaga keuangan yang ada, serta membuktikan kepada lembaga keuangan bahwa tidak ada alasan untuk diskriminatif dalam pemberian pinjaman. Pengembangan Kawasan Tenun Sutera dan Peningkatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Usaha mendorong produktivitas dan mendorong tumbuhnya usaha, tidak akan memiliki arti penting pengrajin ekonomi kreatif, kalau hasil produksinya tidak dapat dipasarkan, atau kalaupun dapat dijual tetapi dengan harga yang amat rendah. Oleh sebab, itu komponen penting dalam usaha pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif adalah membangun pengembangan kawasan tenun sutera yang didukung dengan pembangunan prasarana produksi dan pemasaran seperti yang dikemukakan oleh Irdayanti (2012); Tambunan (2001) bahwa pengrajin usaha kecil memiliki peran penting dalam proses percepatan ekonomi dan untuk itu upaya pengembangan Usaha kecil sebagai sektor yang sangat penting dalam perekonomian negara perlu dilakukan oleh pemerintah. Tersedianya prasarana pemasaran dari lokasi produksi ke pasar, akan mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pengrajin ekonomi kreatif. Hal ini merupakan salah satu komponen yang menjadi faktor dominan yakni para pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba hanya melakukan penjualan kerajinan sutera pada satu tempat yakni pada pasar kecamatan sebab prasarana pasar ditempat tinggal pengrajin belum ada. Artinya, dari sisi pemberdayaan ekonomi, maka proyek pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal, memang strategis. Perluasan Usaha Pemberdayaan ekonomi pada masyarakat kecil, pada mulanya dilakukan melalui pendekatan individual. Pendekatan individual ini tidak memberikan hasil yang memuaskan, hal ini terlihat pada pengrajin ekonomi kreatif yang ada di
143
Kabupaten Bulukumba dan Wajo maka dari itu salah satu alternatif yang akan dilakukan adalah pendekatan kelompok. Alasannya adalah, akumulasi kapital akan sulit dicapai di kalangan orang miskin, oleh sebab itu akumulasi kapital harus dilakukan bersama-sama dalam wadah kelompok atau usaha bersama. Demikian pula dengan masalah distribusi, pengrajin ekonomi kreatif tidak dapat mengendalikan distribusi hasil produksi dan input produksi, secara individual. Melalui kelompok, mereka dapat membangun kekuatan untuk ikut menentukan distribusi. pengelompokan atau pengorganisasian ekonomi yang diarahkan pada kemudahan untuk memperoleh akses modal ke lembaga keuangan yang telah ada, dan untuk membangun skala usaha yang ekonomis hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Yusar (2006) yakni usaha kecil akan mampu memainkan peran strategis dalam perekonomian nasional, akan menyerap banyak tenaga kerja, dan memperluas lapangan usaha apabila diberi peluang untuk maju. Aspek kelembagaan yang lain adalah dalam hal kemitraan antar skala usaha dan jenis usaha, pasar barang, dan pasar input produksi. Aspek kelembagaan ini penting untuk ditangani dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pengembangan Jaringan Usaha dan Kordinasi, Pemasaran dan Kemitraan Usaha Pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba melakukan pengembangan jaringan usaha hanya sebatas pada pengusaha dan pedagang saja, maka dari itu ada dua pendekatan yang dapat dilakukan yakni (1) pola jaringan usaha melalui sub kontrak dapat dijadikan sebagai alternatif bagi eksistensi pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Kabupaten Wajo dan Bulukumba dan (2) pola pengembangan jaringan melalui pendekatan kluster, diharapkan menghasilkan produk oleh produsen yang berada di dalam klaster bisnis sehingga mempunyai peluang untuk menjadi produk yang mempunyai keunggulan kompetitif dan dapat bersaing di pasar global. Selain jaringan usaha, jaringan pemasaran juga menjadi salah satu kendala yang selama ini juga menjadi faktor penghambat bagi pengrajin ekonomi kreatif. Upaya pengembangan jaringan pemasaran dapat dilakukan dengan berbagai macam strategi misalnya kontak dengan berbagai pusat-pusat informasi bisnis, asosiasi-asosiasi dagang baik di dalam maupun di luar negeri, pendirian dan pembentukan pusat-pusat data bisnis serta pengembangan situs-situs di seluruh kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, hal ini sejalan Ahyani et al. (2012) bahwa Selain pengembangan produk dan pemasaran, usaha kerajinan bordir melakukan pengembangan kemitraan yang sangat menunjang untuk pemberdayaan usaha kecil. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah penguatan bersama, dimana yang besar hanya akan berkembang kalau ada yang kecil dan menengah, dan yang kecil akan berkembang kalau ada yang besar dan menengah. Daya saing yang tinggi hanya ada jika ada keterkaiatan antara yang besar dengan yang menengah dan kecil. Oleh sebab itu, melalui kemitraan dalam bidang permodalan, kemitraan dalam proses produksi, kemitraan dalam distribusi, masing-masing pihak akan diberdayakan seperti yang dikemukakan oleh Saparuddin et al. (2011). Aspek akses pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia merupakan aspek yang memberikan kontribusi paling besar
144
berpengaruh terhadap kinerja usaha finansial pada usaha kecil menengah dan koperasi. Penguatan Kapasitas Pengrajin Ekonomi Kreatif Penguatan kapasitas pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba merupakan faktor penting bagi setiap usaha kecil. Keberhasilan usaha pengrajin ekonomi kreatif untuk menembus pasar global atau menghadapi produkproduk impor di pasar domestik ditentukan oleh kemampuan pelaku-pelaku dalam usaha kecil tersebut untuk mengembangkan produk-produk usahanya sehingga tetap dapat eksis. Kelemahan utama pengembangan usaha manajemen yang ada relatif masih tradisional. Oleh karena penguatan kapasitas pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Bulukumba dapat dilakukan dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti penyuluhan, pelatihan, kursus pemagangan dan kerja sama usaha hal yang sama dikemukakan oleh Lippit, (1938). Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan (Irdayanti, (2012); Saparuddin, ( 2011); Lukiastuti, (2012)). Selain itu, salah satu bentuk penguatan kapasitas pengrajin ekonomi kreatif adalah melalui Pendampingan. Pendampingan pengrajin ekonommi kreatif memang perlu dan penting. Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses belajar atau refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan baik antara usaha menengah dengan usaha besar. Oleh sebab itu, untuk menjamin keberlanjutan pendampingan, sudah saatnya untuk dipikirkan pendamping permanen, bukan pendamping yang sifatnya sementara. Sebab proses pemberdayaan bukan proses satu dua tahun, tetapi proses yang membutuhkan waktu agak panjang untuk mencapai tujuan tersebut. Peningkatan Akses Teknologi Penguasaan teknologi merupakan salah satu faktor penting bagi pengembangan kerajinan sutera. Di Kabupaten Wajo dan Bulukumba perkembangan teknologi untuk pengrajin ekonomi kreatif masih dalam taraf dari tradisional ke ATBM. Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha kecil ditentukan oleh kemampuan akan penguasaan teknologi, hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kacerauskas, (2012). Strategi yang perlu dilakukan dalam peningkatan akses teknologi bagi pengembangan usaha kecil adalah memotivasi berbagai lembaga penelitian teknologi yang lebih berorientasi untuk peningkatan teknologi sesuai kebutuhan pengrajin ekonomi kreatif, pengembangan pusat inovasi desain sesuai dengan kebutuhan pasar, pengembangan pusat penyuluhan dan difusi teknologi yang lebih tersebar ke lokasi-lokasi usaha kecil dan peningkatan kerjasama antara asosiasi-asosiasi Kerajinan Sutera dengan perguruan Tinggi atau pusat-pusat penelitian untuk pengembangan teknologi usaha kecil.
145
Simpulan Simpulan yang dapat dicapai adalah : (1) Strategi pemberdayaan adalah memberdayakan pengrajin ekonomi kreatif dengan meningkatkan faktor yang dominan yaitu penjualan pada berbagai tempat (tdk pada satu tempat), kordinasi dengan instansi pemerintah, sumber permodalan, peningkatan produk UEK dan pengembangan produk serta perluasan usaha sedangkan faktor penentu keberlanjutan usaha melakukan perbaikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan serta perilaku kewirausahaan. (2) Model pemberdayaan dapat memberikan penguatan mekanisme lembaga organisasi pengrajin ekonomi kreatif yang didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah (lembaga keuangan) perusahaan, perguruan tinggi, LSM, lembaga penelitian dan koperasi.
VII PEMBAHASAN UMUM Kerajinan sutera di Kabupaten Wajo dan Bulukumba memiliki khas yang berbeda, yakni untuk Kabupaten Wajo dengan etnis khas Bugis sedangkan untuk Kabupaten Bulukumba dengan etnis Makassar. Untuk kain sutera di Kabupaten Wajo menyediakan berbagai macam motif kain sutera yang berkualitas seperti motif tradisional dan non tradisional. Motif tradisional atau dikenal dengan motif Bugis terdiri dari motif Sobbi, Balorinni, Baliare, Cobo serta motif yang menyerupai ukiran-ukiran Toraja sedangkan motif non tradisional ada yang berbentuk batik, bergaris-garis. Untuk motif khas bira menyerupai gambar perahu yang sedang berlayar melambangkan ke khasan pulau Bira yang penduduknya bermata pencaharian sebagai pelaut. Dengan khas baju bodo Sulawesi Selatan dan sarung yang berbahan dasar sutera, Sulawesi Selatan menjadi penghasil tenun sutera terbesar di Indonesia. Hal ini karena bahan sutera digunakan sebagai busana keseharian, pesta pernikahan, atau pesta adat bahkan busana bagi kaum muslim baik laki-laki maupun perempuan yang berbahan dasar sutera dan saat ini menjadi trend karena pengelolaan secara tradisional oleh masyarakat setempat. Harganya pun bervariasi, tergantung dari pewarnaan dan bahannya. Satu hal yang membedakan tenun sutera Sulawesi dengan tenun lainnya seperti tenun ikat Flores atau tenun songket Sumatera yaitu benang tenun menggunakan benang ulat sutera hasil perkawinan silang ulat sutera China dan ulat sutra Jepang. Dengan perkawinan silang ini, tenun sutera Sulawesi memiliki pesona sendiri, halus dan tahan lama. Keistimewaan lainnya kain sutera adalah proses pembuatannya. Dari menunggu ulat membuat kokon (rumah larva), kemudian pemintalan benang, pewarnaan hingga tenun, dibutuhkan sedikitnya memakan waktu selama 3 bulan. Ulat Sutera baru mampu membuat kokon setelah berusia 20 hari dan kokon baru dapat di panen setelah berusia 8 hari. Satu kain sarung dikerjakan selama 1-2 minggu tergantung motif kain. Kain tenun sutera Sulawesi tidak hanya dipakai orang Bugis. Masyarakat Indonesia dari kepulauan lain maupun turis mancanegara banyak meminati kain sutera ini. Selain bahannya yang lembut, warna-warni kain sutra yang menjadi ciri khas Sulawesi ini memiliki daya tarik tersendiri. Meski jumlah ekspor Sutera ke luar negeri seperti Jepang, China, dan Malaysia, belum terlalu besar, namun peminat khusus sutera dari berbagai negara cukup banyak. Ini terbukti dengan banyaknya turis dari mancanegara yang datang berkunjung ke Sulawesi, selalu mencari kain sutera. Nilai artistik kain sutera termasuk salah satu faktor yang mendukung tiap acara yang diadakan, terutama pada acara-acara adat masyarakat Sulawesi Selatan. Corak yang digunakan juga terlihat begitu serasi dengan warna yang di padukan, sehingga baik bentuk, warna, garis dan motif kain sutera itu sendiri terlihat begitu selaras. Nilai Budaya bagi masyarakat Sulawesi Selatan begitu identik dengan upacara adat, upacara perkawinan serta upacara-upacara penting yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Keindahan yang diciptakan oleh kain sutera, dapat menimbulkan banyak keuntungan, terutama di bidang ekonomi, karena pasalnya hasil tenun berupa sutera polos, biasanya dijual seharga Rp 45.000 hingga Rp 75.000 per meter, sedangkan untuk yang bermotif, harganya lebih mahal. Untuk stelan, seperti sarung, selendang dan baju, harganya mulai dari Rp 400.000 bahkan sampai ratusan juta tergantung pada bahan dan motif.
146
147
Sepanjang perjalanan persuteraan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba berbagai tantangan dan masa-masa sulit sudah pernah dialami sebagaimana dengan sektor usaha lainnya. Namun karena prinsip yang selalu dipegang dan dipertahankan oleh para pelaku persuteraan yang dibarengi dengan keuletan dan konsistensi dalam mempertahankan profesinya menjadikan mereka selalu berupaya melakukan pengembangan, inovasi dan kreativitas sehingga mampu tetap eksis sampai saat sekarang ini. Namun demikian dalam menjalankan usahanya bukanlah berarti bahwa kesulitan dan permasalahan tidak pernah didapatkan. Beberapa permasalahan yang masih dijumpai diantaranya belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengusaha sutera; belum tertatanya dengan baik sistem pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran keluar daerah dan Pulau Jawa sehingga menimbulkan persaingan usaha yang kurang sehat; belum maksimalnya upaya dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan design yang tentunya berakibat merugikan pengrajin atau pengusaha yang berorientasi terhadap bidang tersebut. Masih sering ditemui kesulitan dalam mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya benang produksi lokal sehingga memerlukan upaya pembinaan dan inovasi teknis dari pihak yang berkompeten dalam mengatasi persoalan tersebut. Di sisi lain belum terciptanya klasifikasi harga terhadap tingkat kualitas produk sehingga sering menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera yang dihasilkan. Pengembangan usaha yang lebih luas bagi sebagian pengusaha persuteraan tidak bisa dilakukan karena keterbatasan kemampuan finansial yang belum didukung keyakinan perbankan atau lembaga perekonomian lainnya untuk mendanai kegiatan persuteraan; dan masih ada sebagian pengusaha atau pengrajin tidak konsisten mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan; serta hal-hal lain yang biasa dijumpai oleh pengusaha atau kegiatan di bidang lainnya. Indikator faktor yang berpengaruh langsung yakni kurangnya bahan baku karena petani/pemelihara ulat sutera tidak mempunyai lahan yang cukup serta nilai tambah yang diperoleh petani kurang menjanjikan sehingga sebagian para petani mengambil langkah untuk tidak memelihara ulat sutera tetapi menanam jagung yang diekspor. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan akan sandang pangan yang tidak bisa dihindari dengan waktu yang tidak terlalu lama maka jagung tersebut sudah bisa dipanen. Ini merupakan salah satu kendala akan berkurangnya bahan baku ulat sutera. Terjaminnya kualitas bahan baku sutera akan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan stakeholders. Pencapaian kualitas yang tinggi dimungkinkan apabila ada bantuan teknologi dan kemampuan SDM ditingkatkan. Oleh karena itu pengrajin ekonomi kreatif sebagian besar adalah usaha kecil yang kebanyakan masih menggunakan teknologi yang sederhana dan tingkat pendidikan yang relatif rendah, maka bantuan teknologi dan peningkatan ketrampilan para pengrajin perlu dilakukan. Untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut maka pihak pemerintah maupun swasta mepunyai peran yang penting. Keterbatasan modal mengakibatkan kurangnya kemampuan pengrajin ekonomi kreatif untuk melakukan revitalisasi peralatan yang sudah tua sehingga
148
berdampak terhadap rendahnya kualitas kain yang diproduksi. Selain itu terbatasnya modal yang digunakan sebagai modal kerja berpengaruh terhadap kelancaran usaha. Untuk mengatasi kendala tersebut pemerintah perlu memfasilitasi usaha pengrajin ekonomi kreatif dengan memberikan bantuan permodalan sesuai kebutuhan. Begitupula pada indikator kelembagaan sosial yaitu belum adanya lembaga khusus di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba yang bisa menopang dan memasarkan hasil industri pertenunan sehingga harga produk dapat terus dijaga; dengan demikian baik produsen maupun konsumen masih lebih nyaman dengan keadaan seperti itu. Ditambah dengan bahan baku untuk membuat kain sutera belum bisa tersedia secara maksimal di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba. Untuk pengembangan kelembagaan, diperlukan keterkaitan sarana dan prasarana yang mendukung terbentuknya hubungan antara kelembagaan dan teknologi yang dapat memberi manfaat kepada kedua belah pihak. Pengembangan kelembagaan menuntut adanya pengaturan hak dan kewajiban yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang mengikat. Agar sistem kelembagaan dapat berjalan secara efektif dan produktif maka pihak-pihak yang berhubungan harus saling memahami dan menghargai kepentingan masing-masing pelaku. Dengan demikian untuk merancang sistem kelembagaan yang efektif perlu meramu berbagai kepentingan secara harmonis dan sinergis, keberadaaan peran pemerintah daerah memudahkan kordinasi pada suatu kelembagaan pengrajin. Untuk mendukung terlaksananya berbagai program tersebut diperlukan peranan institusi secara sinergi antara pengrajin ekonomi kreatif, pengusaha Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta institusi yang terkait. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adanya peran Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sehingga pengembangan program ini dapat menjadi peluang bagi perkembangan perdagangan tenun tradisional khususnya pada Kabupaten Wajo dan Bulukumba yang dampaknya dapat meningkatkan pendapatan daerah pada kesejahteraan hidup pengrajin ekonomi kreatif. Melihat permasalahan dan tantangan tersebut maka diperlukan upaya dari segenap stakeholder persuteraan yang ada baik pengrajin pengusaha persuteraan maupun instansi pemerintah dan lembaga pemberdayaan lainnya untuk menegaskan komitmen dalam menemukan jalan keluar permasalahan yang tentunya dengan satu persepsi yaitu mengutamakan kepentingan persuteraan dan kebanggaan Kabupaten Wajo dan Bulukumba sebagai daerah penghasil produk sutera yang berkualitas. Berdasarkan hasil analisis MDS terdapat kecenderungan bahwa dimensi ekonomi menjadi dasar bagi pemenuhan kebutuhan pengrajin ekonomi kreatif. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis keberlanjutan yang menggambarkan masih besarnya dimensi ekonomi dalam pengembangan ekonomi kreatif, hal ini terlihat bahwa analisis MDS sebelum dilakukan skenario memberikan hasil yang cukup berkelanjutan. Meskipun demikian dimensi sosial ternyata memberikan pengaruh yang dominan sebagai ukuran keberhasilan pengembangan usaha ekonomi kreatif karena konsep ini harus dibarengi dengan kearifan lokal masyarakat dan budaya. Pengrajin ekonomi kreatif sebagai penggerak utama harus mempunyai jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan yang tinggi menjadi faktor yang penting
149
dalam mengelola usaha yang berkelanjutan. Begitu pula dengan penyuluh lapangan atau fasilitator pemberdayaan secara mandiri maupun bersama pemerintah dapat membantu memfasilitasi maupun mengkoordinir pelaksanaan konsep ekonomi kreatif yang lebih baik. Dalam Faktor penentu ada enam faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif adalah Pertama, penjualan pada satu tempat. Kedua, Kordinasi intansi. Ketiga, Sumber permodalan. Keempat, Meningkat Produk Usaha Ekonomi Kreatif. Kelima, Lapangan usaha. Keenam, Pengembangan Produk. Secara keseluruhan membutuhkan perbaikan pada enam faktor untuk keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif, dengan demikian maka diharapkan dengan model pemberdayaan yang ada maka keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif dapat tercapai. Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut langkah-langkah dasar dari hasil analisis yang perlu atau perioritas diperbaiki untuk melakukan program aksi pemberdayaan pengrajin ekonomi yakni : (1)
(2) (3)
(4) (5) (6)
(7)
Peranan lembaga perbankan/koperasi/stakeholder dibutuhkan dalam ketersedian bahan baku sutera dengan menyediakan bibit telur ulat sutera yang berkualitas dan sumber modal dari dalam memberikan jaminan bunga yang relatif rendah Peranan Dekranasda dibutuhkan dalam pengembangan kawasan pusat bisnis dan wisata edukasi tenun sutera. Dibutuhkan penyuluhan dan pendampingan tentang budidaya ulat sutera yang berkualitas dan memberikan pelatihan, kursus atau magang pada petani dan pengrajin ekonomi kreatif sesuai dengan kebutuhan serta dibutuhkan bimbingan tehnis dari stakeholder yang terkait tentang cara mendesain dan mewarnai yang berkualitas Dibutuhkan pengembangan media informasi dan promosi serta pemasaran tentang kerajinan sutera yang difasilitasi oleh pemerintah. Melakukan studi banding untuk meningkatkan motivasi dan ide-ide pada tempat-tempat yang sudah berhasil. Memberikan pinjaman dengan konsep tanggung renteng untuk pembelian mesin pemintal dan melakukan diversifikasi produk kerajinan sutera. Dibutuhkan peningkatan keberlanjutan usaha dan penguatan kelembagaan pengrajin.
VIII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan dari hasil penelitian ini adalah (1) Dari Aspek sosial budaya Provinsi Sulawesi Selatan memiliki hasil karya tenunan khas Bugis Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki pengalaman historis serta penguasaan pengetahuan dan teknologi yang telah tumbuh dan berkembang khususnya untuk kerajinan sutera. Bertahannya budaya menenun pada pengrajin ekonomi kreatif sampai saat ini tidak terlepas dari kuatnya adat istiadat yang berlaku pada komunitas pengrajin dengan kapasitas produksi kain sutera untuk alat ATBM sekitar 4.063.687 meter/tahun. (2) Profil pengrajin ekonomi kreatif menunjukkan bahwa rata-rata pengrajin ekonomi kreatif menjalankan usaha kerajinan sutera berada pada usia 30 tahun, generasi penerus usaha kerajinan yang dijalankan oleh orang tua maupun keluarganya. Tingkat pendidikan formal di Kabupaten Bulukumba lebih rendah yakni SD dibanding dengan Kabupaten Wajo yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi yakni SMA, sedangkan untuk tingkat pendidikan non formal masing-masing berada di kategori rendah yakni 1-2 kali mendapatkan pelatihan. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera ratarata berada antara 3-5 jiwa. Jika dikaitkan dengan pengalaman maka ratarata memiliki pengalaman yang sudah lanjut yakni di atas 24 tahun. Pada pengrajin ekonomi kreatif memiliki motivasi itu masih didominasi oleh faktor keluarga sedangkan untuk tingkat kebutuhan adalah kebutuhan pangan yang masih mendominasi. (3) Analisis keberlanjutan menggunakan MDS menunjukkan bahwa usaha pengrajin termasuk pada kategori kurang berkelanjutan sebesar 48,97 %. (4) Faktor-faktor pengungkit yang perlu dipertahankan pada dimensi sosial adalah usaha turun temurun, sedangkan yang menjadi kelemahan pada dimensi ekonomi adalah penjualan pada satu tempat, dimensi lingkungan kurang pelatihan terkait dampak lingkungan dan dimensi kelembagaan penentuan harga di lembaga serta dimensi kewirausahaan cara menjalankan peluang usaha ekonomi kreatif. (5) Faktor penentu terhadap keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif ada enam faktor yaitu: penjualan pada satu tempat, Kordinasi intansi, Sumber permodalan, Meningkat Produk Usaha Ekonomi Kreatif, Lapangan usaha, Pengembangan Produk. (6) Strategi pemberdayaan adalah memberdayakan pengrajin ekonomi kreatif dengan meningkatkan faktor yang dominan yaitu penjualan pada berbagai tempat (tidak pada satu tempat), kordinasi dengan instansi pemerintah, sumber permodalan, peningkatan produk UEK dan pengembangan produk serta perluasan usaha sedangkan faktor penentu keberlanjutan usaha melakukan perbaikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan serta perilaku kewirausahaan.
150
151
(7) Model pemberdayaan memberikan penguatan mekanisme lembaga dalam organisasi dan didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah (lembaga keuangan) perusahaan, perguruan tinggi, LSM, lembaga penelitian dan koperasi.
Saran (1)
(2)
(3)
(4)
Rendahnya faktor keberlanjutan diperlukan kepedulian seluruh pihak yang terkait baik pemerintah maupun swasta untuk memfasilitasi pengrajin ekonomi kreatif dalam hal pengadaan bahan baku yang berkualitas dan peningkatan kerjasama yang diharapkan kualitas produk semakin baik dan daya saing akan semakin meningkat. Penguatan kelembagaan penyuluhan diperlukan untuk mendorong perilaku kewirausahaan yang lebih inovatif dan kreatif sesuai prinsip ekonomi kreatif. Pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil (LSM), Badan Usaha dan Lembaga Pendidikan perlu menggalang upaya-upaya penguatan usaha ekonomi kreatif dari sisi sosial, ekonomi, dan memperhatikan dampak lingkungan serta kelembagaan dan perilaku kewirausahaan. Pemerintah Pusat perlu mendesain suatu kebijakan berdasarkan faktor penentu keberlanjutan usaha untuk pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif seperti kebijakan bantuan peralatan tenun, pelatihan teknis desain dan pewarnaan serta bantuan permodalan berupa Kredit Usaha Persuteraan.
DAFTAR PUSTAKA Adams M, AE Ghali, 2007. An Integral Framework for Sustainability Assesment in Agro-industries :”Application to The Costa Rican Coffee Industry.” International Journal of Sustainable Development and World Ecology 13(1) : 83-102. Ahyani Rahmania, Widowati, Urip Wahyuningsih, 2012. “Upaya Pengembangan Usaha Kerajinan Bordir.” Journal Fashion and Fashion Education 1 (1) : 24–26. Alder J, TJ Pitcher, D Preikshot, K. Kaschner, B Ferrias. 2003. How Good as Good A Rapid Appraisal Tehnique for Evaluation of the Sustainability status of Fisheries of the North Atlantic. Sea Around US : Method Rev P :136-14 Alex, Koutsouris, 2008. Innovating Towards Sustainable Agriculture: “A Greek Case Study Department of Agricultural Economics and Rural Development, Agricultural University of Athens, Athens, Greece.” The Journal of Agricultural Education and Extension Publication details, including instructions for:http://www.informaworld.com/smpp/title 23 Agustus 2011. Amanah, S dan Hamidah. 2006. “Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Buleleng Bali.” Jurnal Penyuluhan 2(2) : 1- 7. Amanah, S. 2007. “Pendekatan Pembelajaran dan Perilaku Masyarakat Pesisir.” Jurnal Teknodik. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pendidikan dan Informasi dan Komunikasi Pendidikan 20 (11) : 10 – 17. ______2007. “Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia.” Jurnal Penyuluhan 3 (1) : 1 -12. ______2007. Kearifan Lokal dalam Pengembangan Komunitas Pesisir. Bandung: CV. Citra Praya. ______2010. Strategi Pemberdayaan Nelayan Berbasis Keunikan Agroekosistem dan Kelembagaan Lokal. Prosiding: ”Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil.” 18 (11) : 23-27. ______2010, Pengembangan Kelembagaan Komunikasi Inovasi Kelompok Tani Hortikultura Dataran Rendah dalam Meningkatkan Daya Saing, Bogor. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor. Andriani, ID, 2008. “Kepemimpinan dan Tingkah Laku Kewirausahaan dalam Industri Skala Kecil dan Menengah (Kasus Industri sepatu skala kecil dan Menengah di Desa Ciomas dan Desa Pagelaran, Kec Ciomas, Kab Bogor, Propinsi Jawa Barat).” Jurnal Solidarity IPB 2 (2) : 1 – 7. Anindita, Ratya. 2004, Pemasaran Hasil Pertanian, Surabaya, Papyrus. Arif,
2009. “Kapasitas dan Keberlanjutan Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat Mandiri.” Jurnal Litbang Jawa Tengah 7 ( 2 ) : 20-27.
Arroyo M, 2009. “Innovative and creative entrepreneurship support services at universities.” Journal of Springer-Verlag 4 (2) : 20-22. 152
153
Asngari, Pang S, 2008. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat, Bogor. Pustaka Bangsa Press. Astuti Dwi Ismi, Rara Sugiarti, Gerarda Sunarsih, Sarah Rum H, Warto, 2008. “Model Pemberdayaan perempuan perdesaan di bidang Pembangunan Pariwisata”. Jurnal Spirit Publik 4 (1) 51 : 68. Barham, J., Clarence, C.2009. Collective Action Initiatives to Improve Marketing Performance: Lessons from Farmer Groups in Tanzania. Elsevier: Food Policy 34 (2009) 53–59. Bartin, Tasril, 2010. “Pengembangan Kompetensi dan Kinerja Pamong Belajar dalam pembinaan Industri Kecil di Provinsi Sumatera Barat.” [Disertasi] Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bank Dunia, 2012. Laporan PNPM-Perkotaan. Provinsi Sulawesi Selatan. Biggart, Nicole Woolsey, 2002. Readings in Economic Sociology. Malden, Massachussetts, USA: Blackwell Publishers. Bird, MJ 1996. Entrepreneurial Behavior. Singapore Irwin Mc. Graww Hill. Bourgeois R dan F Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty throught Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Research Centre for International Development Bourgeois R, 2007. Analisis Prospektif. Bahan Lokakarya Training of Trainer, ICASEPS. Bogor. Budiharsono, S, 2002. Penentuan Status dan Faktor Pengungkit PEL Direktorat Perekonomian Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ________, 2008. Peningkatan Ketahanan Pangan melalui Pengembangan Lokal. Bogor. Bappeda Kabupaten Bogor. Bustang, Basita G. Sugihen, Slamet M, dan Susanto S. 2008. “Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Pemebrdayaan Keluarga Miskin di Perdesaan. Studi Kasus Kabupaten Bone. “Jurnal Penyuluhan 4 (1): 39-46. Buwaethy A. 2008. Penyuluhan Agama Salah Satu Bentuk Pembinaan Masyarakat. http://bimasislam.depag.go.id/. Diakses 8 Mei 2011. Chambers, Robert 1989. Methods for analysis for Analysis Farmers. The professional Challenge. Brighton IDS Discussion Paper 311. Comte, Auguste, 1958). The Positive Philosophy of Auguste Comte, Terjemahan Harriet Martineau, New York: Calvin Blancahard. Cornell Empowerment Group (1989). “Empowerment and family support.” Networking Bulletin (2) 1 : 1 – 10. Coughland, K, 1996. Assessing The Sustainability of Cropping Systems in Pacificland Countries : Biophysical Indicators of Sustainability In Sustainable Land Management in The South Pacific. Howlet D. (ed) Network Document No. 19 Thailand : International Board for Soil Research and Management.
154
Departemen Perdagangan RI, 2008. Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025. Jakarta : Departemen Perdagangan. Dinas Kehutanan, 2011. Fasilitasi Penelitian Persuteraan Alam di Provinsi SulSel Tahun 2011. Sulawesi Selatan. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama Institute for Social and Political Economics Issues. Dirlanuddin, 2010. Perilaku Kewirausahaan dan Keberdayaan Pengusaha Kecil Industri Agro. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Fariyanti A, Kuntjo, Hartoyo S dan Daryanto, A. 2007. “Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran pada Kondisi Risiko Produksi dan Harga di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung.” Jurnal Agro Ekonomi 25 (2) : 178-206. Fauzi A dan S. Anna, 2002. “Evaluasi Status Berkelanjutan Pembangunan Perikanan, Aplikasi RAPFISH, Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta.” Jurnal Pesisir dan Lautan 4 (3) : 7 -15. Fitria, Dwi, 2011. “Antara Kearifan Lokal dan Modernitas.” Jurnal Nasional. http://nasional.jurnas.com. 9 (11) : 8 – 15. Florida, R. 2003. The Rise of Creative Clas: And How It‟s Tranforming Work, Leisure, Community and Everyday Life. Basic Books Publisher. Fukuyama F. 2000. The Great Disruption ; Human Nature and The Reconstituion of Social Order. New York Simon dan Schuster. Gallopin G. 1997. Indicators and Their Use : Information for Decision Making. Didalam Moldan B, Biliharz S editor. Report on The Project on indicators of Sustainable Development. Chichester : John Wiley and Sons. Gani, Darwis 2011. Filsafat Pendidikan dan Penyuluhan.Bogor. Institut Pertanian Bogor. Geertz, Cliford, 1989. Penjaja dan Raja. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Gerungan, 2004. Psikologi Sosial Ed. Ke 2 Cet. Ke 13. Bandung PT. Eresco. Getz D dan T. Peterson 2005. “Growth and Profit Oriented Entrepreneurship Among Family Business Owners In The Tourism and Hospitally Industri Int.” Journal of Hospitally Management New York Elseiver Science Inc.1(1): 245-247. Gibson, JL JM Ivancevich dan JH Doonelly, 1995 Organisasi dan Manajemen Perilaku, Struktur dan Proses. Edisi Keempat. Dialihbahasakan oleh Djoerban Wahid. Jakarta Penerbit Erlangga. Granovetter, M, 1985. “Economi action and Social Structure; The Problem of Embeddedness” American Journal of Sociology. 91 (1) : 481-510. Granovetter, M, dan Sweddberg, Richard (edit). 1992. The Sociology of Economic Life. Boulder, San Fransisco, Oxford : Westview Press.
155
Haber S dan A Reichel 2006. “The cumulative Nature of The Entrepreneurial Process : The Contribution of Human Capital, Planning and Environment Resources to Small Venture Perfomance. Journal of Business Ventuzing. New York : Elseviers Science Inc. 8 (2) : 25-32. Hardjomidjojo H. 2004. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Harijati, 2007. “Potensi dan pengembangan Kompetensi Agribisnis Petani Berlahan Sempit.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Haveclock, R.G. 1969. Planning for Innovation : Theory the Dissimination and Utilization of Knowledge. Institute for Social Research. The University of Michigan. Home Affair Bureau, 2008. A Study on Creativity Index. Hong Kong. The Hong Kong : Special Administrative Region Government. Howkins, J. 2001. The Creative Economy : How Peoplel Make Money From Ideas. London-England : Penguin Books LTd. 80. Strand. Hubeis M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melui Pemberdayaan Manajemen Industri. Bogor. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Manajemen Industri. Institut Pertanian Bogor. _______, 2000. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah. Prosiding Seminar Pemberdayaan Manusia Menuju Masyarakat Madani Bogor 25-26 September 2000. Hutchsion. 2010. The process of Empowerment : Implications for theory and Practise.Medicine/Social medicine and public health. Volume 29 number 1/Spring 20. Idris, Rabihatun, Hasmawi, Haris dan Suraidah, Hading, 2009. Perpaduan Tenun Tradisional Bugis-Malaysia (Penelusuran Tenun Tradisional BugisMalaysia yang mencerminkan Hubungan Antar Bangsa). Laporan Hasil Penelitian Fundamental, Makassar : LPM-UNM. Ife, JW. 1995. Community Development : Creating Community Alternative (Vision Analysis and Practice) Australia : Logman Press. Indrawanto, Chandra. 2009. “Kajian Pengembangan Industri akar wangi menggunakan Interpretative Struktural Modelling.” Jurnal Informatika Pertanian 18 (1) : 1 - 7. Irdayanti, 2012. “Peran Pemerintah dalam Pengembangan UKM Berorientasi Ekspor Studi Kasus: Klaster Kasongan dalam Rantai Nilai Tambah Global.” Jurnal Transnasional 3 (2) : 1 -17. Ismawan, B. 2002.Masalah UKM dan Peran LSM Jakarta. www.binaswadaya.org 23 Juli 2011. Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemebrdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan. Bandung: Belantika.
156
Kacerauskas Thomas. 2012. “Creative Economy and Technologies : Social, Legal and communicative Issues.” Journal of Bussiness Economics and Management 13 (1): 71-80. Kahdar, Kahfiati, 2009. “Adaptasi Estetik Pada Corak Lippa Bugis,” [Disertasi] Bandung. Institut Teknologi Bandung. Kamla, Nikhak Raj, 2010. The Role of NGO in Promoting Empowerment for Sustanainble Community Development. Human Ecologi. Karsidi R, 1999. “Kajian keberhasilan Transformasi Pekerjaan dari petani ke Pengrajin Industri kecil.”[Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. _______,2001. Paradigma Baru Pendampinganan Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Pambudy dan A.K.Adhy (ed.): Pemberdayaan Sumber daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani, Bogor. Pustaka Kewirausahaan Muda. _______,2004. “Mobilitas Sosial Petani di Sentra Industri Kecil Kabupaten Surakarta,” Jurnal UNS 1 (2) : 1 - 10. _______ 2007. “Pemberdayaan Masyarakat untuk Usaha Kecil dan Mikro.” Jurnal Penyuluhan 3 (2) : 136-145. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Power dan Empowerment: Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat. http:// www.ginanjar.com. Kavanagh dan Pithcher, 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project, University of British Columbia. Fisheries Centre. Keiffer, C. 1984. “Citizen empowerment: A developmental perspective.” Prevention in Human Services 3 (6) : 9-35. Kerlinger FN. (1996). Asas-Asas Penelitian Behaviour. Terjemahan. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Kuncoro, Mudrajad, 2008. “Usaha Kecil di Indonesia : Profil, Masalah dan Strategi Pemberdayaan.” Jurnal Ekonomi 7 (2 ) : 1-10. Koentjaraningrat. 1987.Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta. UI Press. ______1990. Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta. Rineka Cipta. ______2005. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi.Jakarta: Rineka Cipta. Kotler 1995. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Terjemahan Ancella Anitawati Hermawan. Jakarta. Salemba Empat. Labonte, R. 1990. “Empowerment: Notes on Professional and Community Dimensions.” Journal of Social Policy. 26 (4) 75 - 85. Laporan Dunia UNESCO, 2011. Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antar Budaya. Jakarta. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization.
157
Lembaga Ketahanan Nasional, 2012. “Pengembangan Ekonomi Kreatif.” Jurnal Kajian Lemhanas Jakarta 14 (1) : 1 – 7. Limostin, T, 2013. “Perkembangan Industri Kerajinan Kulit dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi di Kabupaten Magetan.” Jurnal Candi FKIP UNS 5 (1) : 1-10. Lippitt R, Jeanne W., dan Bruce W. 1956 . The Dynamics of Planned Change. Harcourt, Brace& World, Inc. Lord, J. 1991. .Lives in transition: The process of personal empowerment. Kitchener: Centre for Research and Education in Human Services. Lukiastuti Fitri, 2012. “Pengaruh Orientasi Wirausaha dan Kapabilitas Jejaring Usaha terhadap Peningkatan Kinerja UKM dengan Komitmen Peubah sebagai Variabel Interviening.” Jurnal Organisasi dan Manajemen 8 (2) 155-176. Machfud. 2001. “Rekayasa Model Penunjang Keputusan Kelompok untuk sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Mardikanto, Totok, 1993. Penyuluhan Maret University Press, Surakarta.
Pembangunan
Pertanian. Sebelas
Mardikanto, Totok, 2010. Model-model pemberdayaan masyarakat. UNS Press. Jawa Tengah. Marimin, 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor. IPB Press. Marliany, V. 2006. “Penguatan Kelembagaan Produksi dan Pemasaran Anyaman Didesa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta.” [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Meggison WL MJ Byrd dan LC Megginson, 2000. Small Business Management An Entrepenurs Guidebook Singapore : Irwin Mc Graw Hil. McCelland, D. C. 1975. Power The inner experience. New York : Irvington Press. Moscovitch, A. and Drover, G. 1980. Inequality: Essays on the political economy of social welfare. Toronto: University of Toronto Press. Mukhyi, M. Abdul dan Mujiyana, 2008. Penerapan Teknologi Sistem Informasi dan Teknologi Tepat Guna pada Usaha Kecil Menengah. Makalah dalam Processing Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen. Auditorium Universitas Gunadarma, Depok. 20-12 Agustus 2008. Munashinge, M, 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. Washington DC. Environmental Departemen of The World Bank. _______, 2010. Sustainomic Framework and Practical Application. MIND Press. Srilangka : Munasinghe Institute for Development. Murtadlo Arif, 2012. “Upaya Pengembangan Usaha Pengrajin Batik Malangan (Studi Kasus di Desa Druju Kecamatan Sumbermanjing Weta Kabupaten Malang).” Jurnal Ilmiah 20 (1): 1 – 13.
158
Nauman, Shazia, Azhar Mansyur Khan and Nadeem Ehsan. 2009. Patterns of empowerment and leadership style in project environment. International Journal of Project Management 1 (1) : 2-12. Nawawi, 2002. “Seni Kerajinan Tenun Sutera Tradisional Bugis Wajo Sulawesi Selatan.”Jurnal Program Studi Pengkajian Seni Rupa Universitas Gajah Mada 6 (2) : 253 -260. Nawawi, Muhammad dan SP, Gustami, 2002. “Seni Kerajinan Tenun Sutera Tradisional Bugis Wajo Sulawesi Selatan Antara Tantangan dan Harapan.”Jurnal Sosiohumanika Yogyakarta: Fakultas Sastra-UGM 15 (1 ): 1-14. Nielsen, John Flohr and Christian Preuthun Pedersen. 2003. “The consequences and limits of empowerment in financial services.” Scandinavian Journal of Management 19 (1) : 63–83. Nneoyi, I. O., M.N. Henry., A. M. Walter., dan E. E. Ebingha. 2008. “Group Dynamics and Technology Use among Female Cassava Farmers in Akpabuyo Local Government Area, Cross River State, Nigeria.” Agricultural Journal 3 (4): 292-298. Novita, Elida, 2012. “Desain Proses Pengolahan pada agroindustry kopi robusta menggunakan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih.”[Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Nunan, Fionna, 2006. “ Empowerment and Instituions : Managing Fisheries in Uganda, Implementation of a Fisheries Management Plan, Lake Victoria Fisheries Organisation, Jinja, Uganda.” Journal World Bank 34 (7) : 13161332. Oxaal dan Baden, 1997. Gender and empowerment : Definitions Approaches and Implication for policy. Report 40 for the Sweedish International Development Cooperation Agency (CIDA), Institute of Development Studies, University of Sussex Brihton UK. Pangestu Mari, 2008. Pengembangan Industri Kreatif menuju visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Parrish, D. 2009. A Guide to The Business of Creativity. Terjemahan Izi Ibrahim. Liverpol Inggris : Marseyside ACME. Penerbit Rumpun. Pelham AM, 1999. “Influence of Environment Strategy and Market Orientation on Perfomance in Small Manufacturing Firms.” Journal of Business Reseach New York Elsevier Science Inc 3 (3) : 322 -330. Pelras, Christian, 2006. Manusia Bugis. Jakarta. Nalar Bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO. Pemda Makassar 2011. Makassar dalam Angka, Propinsi Sulawesi Selatan. Perry, GC.Baststone, P. Pulsarum, 2003. The Determinants of Retail SME Success in Thailand : Makalah International Seminar Graduates Studies Program UMM Malang.
159
Piergiovanni R. 2012. “Creative Economies New Business Formation and Regional Economy Growth.” Journal Springer Science. 39 (22) : 539-560. Pitcher TJ, Preikshot DB. 2001. “Rapfish : A Rapid Appraisal Tehnique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries.” Journal Fisheries Research 49 (3) : 255-270. Presby, J., Wandersman, A., Florin, P., Rich, R., & Chavis, D. 1990. “Benefits, costs, incentive management and particpation in voluntary organizations: A means to understanding and promoting empowerment. “American Journal of Community Psychology, 18(1) : 117-148. Purnaningsih, Ninuk. 2006 “Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Purwaningsih Endang, 2012. “Pemberdayaan Pengrajin Batik Tulis Yogyakarta dalam upaya melestarikan dan melindungi karya cipta budaya tradisional.” Jurnal Media HKI Ditjen KHI Kementerian Hukum dan HAM RI 9 (5) :1 38. Puspa Rini dan Czafrani Siti, 2010. “Pengembangan ekonomi berbasis kearifan lokal oleh pemuda dalam rangka menjawab tantangan ekonomi global.” Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora 5 (1) : 1 – 7. Rahmana, A. 2009. Peranan Teknologi Informasi dalam Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah. Makalah dalam Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Yogyakarta 20 Juni 2009. Rappaport, J. 1985. “The power of Empowerment Language.” Policy, 16 (2) : 15-21.
Journal Social
Redono, C. 2006. “Beberapa Faktor yang Berpegaruh Terhadap Progresivitas Pengrajin Lahan Pantai di Kabupaten Kulon Progo.” Jurnal Ilmu- ilmu Pertanian 2 (1) : 8 -16. Refina, 2006. “Strategi Peningkatan Keswadayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan di Kota Cimahi.”[Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Reswanda, 2011. “Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Pembelajaran Organisasi, Keunggulan Daya Saing Berkelanjutan dan Kinerja Usaha pada UMKM Kerajinan Kulit Berorientasi Ekspor di Sidoarjo.” Journal of Small Business Management 2 (1) : 5 - 28. Rifai, Bahtiar, 2013. “Efektifitas Pemberdayaan Usaha Mikro dan Menengah (UMKM) Krupuk Ikan dalam Program Pengembangan Labsite Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sidoarjo.” Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik 1 (1) :130 - 136. Rini, 2010. “Kebijakan Pengembangan Ekonomi Lokal Industri Alas Kaki Berkelanjutan di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Roofthooft, W, 2009. “Customer equity: a creative tool for SMEs in the services industry, How small and medium enterprises can win the battle.” Journal of Springer-Verlag 10 (4) : 255-260.
160
Rukminto, Adi, 2001. Pemberdayaan, Pengembanga Masyarakat dan, Intervensi Komunitas (Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis). Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, UI. Roy, Parama, 2010. “Analyzing Empowerment : An Ongoing Process of Building State-Civil Society Relation-The Case of Walnut Way in Milwaukee.” Journal of Geoforum 41 (1) : 337-348. Sadapotto, 2010. “Penataan Institusi Untuk Peningkatan Kinerja Persuteraan Alam di Sulawesi Selatan.”[Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Sajogyo, 2006. Ekososiologi : Deideologist Teori Rekstrukturisasi Aksi (Petani dan Pedesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta. Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas. Salkind,NJ. 1989. Theories of Human Development. New York: John Willey and Sons Saparuddin, Basri Bado, 2011. “Pengaruh Kemitraan Usaha terhadap kinerja usaha pada UKM dan Koperasi di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan.” Jurnal Econosains 9 (2) : 161-191. Saputra, Wira. 2011. Nilai Budaya, Sistem Nilai, dan Orientasi Nilai Budaya. Diperoleh dari http://wirasaputra.wordpress.com/2011/10/13/nilai-budayasistem-nilai-dan-orientasi-nilai-budaya/ (diakses tanggal 13 Nopember 2013). Sawitri Sicilia, 2008. “Pengembangan Produk Tekstil pada INdustri Kecil Menengah Batik Tradisional dan Sutera di Jawa Tengah.” Jurnal Teknobuga 1 (1) : 25- 30. Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Raja Grafindo. Soekanto S. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta. Raja Grafika Persada. Setyorini. 2000. “Hubungan karakteristik penyuluh dengan motif serta penggunaan mereka terhadap warta penelitian dan pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor.”[Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Sidu, Dasmin, 2006. “Pemberdayan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Sigito,SP. 2001. “Pengembangan Model Pendaftaran Merek secara Massal sebagai Sarana Pemberdayaan Kalangan Pengusaha Industri Kecil di Bidang Haki Menghadapi Era Pelaksanaan Trips”s di Indonesia.” Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Univeristas Brawijaya Malang 13 (2) : 79 – 89. Singarimbun, M dan S. Effendy. 1989.Metodologi Penelitian Survey. Jakarta. Sitorus, MT, Felix, 1999. “Pembentukan Pengusaha Lokal di Indonesia; Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Sitohang, 2009. “Penyuluhan serta peranannya terhadap industri Mikro dan Kecil di Indonesia.” Jurnal Akuntasi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik 6 (1) : 106-128.
161
Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat dalam membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor. Institut Pertanian Bogor Press. Soekanto S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta; PT Grafika Persada. Speer, 2000.” Youth Empowerment and High School Gay-Straight.” Jurnal Of Youth and Adolescence 38 (7) 891-903. Sriyana, Jaka, 2010. Simposiun Nasional 2010. Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif : 79 – 103. Steward Jr. WH WE Watson JC Carland dan JW Carland.1998.” A Proclivity for Entrepreneurship: A Comparison of Enterpreneurs, Small Business Owners and Corporate Managers.” Journal of Business Venturing, New York Elsevier Science Inc 1 (2) : 230-237. Septhen, Rusell, 2009. “Youth empowerment and High School Gay-Straight Alliances.” Journal of Youth and Adolescence 38 (7) : 891-903. Suandi Edi Hamid dan Y.Sri Susilo, 2011. “Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (1) : 45-55. Suhendar Hendar, Biranul Anas, Yanyan S (2006) “Kajian Estetik Ragam Hias Bordir Kawalu Tasikmalaya Jawa Barat.” Jurnal Rekacipta 2 (2) : 40-68. Suharto, 2004. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Penerbit Alfabeta Bandung. Suharto, 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Penerbit Alfabeta Bandung. Sukesih, 2007. “Analisis Implementasi Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).” Jurnal Ekonomi Pendidikan 4 (2) :1 – 25. Sulistiyani, 2004. Kemitraan dan Model-model pembinaan. Yogyakarta. Penerbit Gava Media. Sumarno, 2010. “Tingkat adopsi Inovasi Teknologi Pengusaha Sentra Industri Kecil Kerajinan Gerabah Kasongan Kabupaten Bantul.” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 12 (1) : 1 – 10. Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Pemberdayaan Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Masyarakat
dan
JPS,
Supomo, 2007. “Meningkatkan Kesejahteraan Pengrajin Gula Kelapa di Wilayah Kabupaten Purbalingga.” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (2) : 149 - 162. Supardi. 2011. Perkembagan Nilai Budaya. Diperoleh dari http://meyadnya.blogspot.com/2011/10/perkembangan-nilai-budaya.html (diakses tanggal 13 Nopember 2013). Suryana, 2012. Ekonomi Kreatif, Ekonomi Baru Mengubah Ide dan Menciptakan Peluang. Jakarta. Salemba Empat. Susilo, 2004. “Masalah dan Dinamika Industri kecil Pasca Krisis Ekonomi.” Jurnal Ekonomi Pembangunan 9 (1) : 79 - 40.
162
Suwondo, 2011. “Model pengelolaan berkelanjutan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Syers JK, Hamlin A, Pusparajah E. 1995. Development of Indicators and Thresholds for the Evaluation of Sustainable Land Management. 15 th World Congress of Soil Science, Acapulco, Mexico. Commision 5 (6a) : 138 – 148. Syahyuti, 2003, Bedah Konsep Kelembagaan dan Penerapannya dalam Penelitian. Bogor. Balitbangtan.
Strategi Pengembangan Puslitbang Sosektan
Tambunan, Tulus, 2001, Pengembangan UKM dalam Persaingan Pasar Bebas, Jakarta, Salemba Empat. Tampubolon, Joyakin, 2006. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Usaha Bersama KUBE.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Tarigan, Joni. 2008. “Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam melalui pendekatan Klaster.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Tim Brown, 2008. Desain Berpikir. Harvard Bussiness School. Penerbitan Corporation. Tim Design Indonesia 2008. Pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 20092025. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Tunstall D, 1992. Developing Environmental Indicators : Definitions Framework and Issues. Draft paper. Background Materials for the World Resoures Institute Workshop on Global Environmental Indicators. Washington. DC. _______, 1994. Developing and Using Indicators of Sustainable Development in Africa : An Overview (Draft Paper) Prepared for the Network For Environment and Sustainable Development in Africa (NESDA). The Gambia. Thematic Workshop on Indicators of Sustainable Development Banjul. Tonny, Fredian, 2003. Sosiologi Umum. Bogor. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Umar, 2002. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta. Gramedia. Undang-Undang RI Nomor 16. Tahun 2006 Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (SP3K). UNCTAD, 2008. Summary Creative Economics Report. USA. United Nations. UNDP-UNCTAD, 2008. Summary Creative Economics Report. hlm 3, 11-12. UNDP-UNCTAD, 2008. Summary Creative Economics Report. USA. United Nations. Uphoff, 1995 Local Institutional Development : An Analytical Source Book With Cases. West Hartford City : Kumarian Press. Utama, Suwigna, 2009. “Pemberdayaan Masyarakat sekitar Hutan melalui Pendekatan Kelompok.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
163
Utami, Hamidah, 2007. “Keberdayaan Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha Industri Kecil. Kasus Kabupaten Magetan Propinsi Jawa Timur,” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, A, 2013. “Motif Lipa Sabbe (sarung sutera) Kabupaten Wajo. Provinsi Sulawesi Selatan.” eJournal 2(2) : 47 – 53. Wallerstein, N. 1992. “Powerlessness, empowerment and health: Implications for health promotion programs.” American Journal of Health Promotion, 6 (3) : 197-205. Welch, Mark. 2007. Business models for competitive success in The United Stated Textile Industry 4 (4) : 1 – 3. Whitmore, E. 1988. “Participation, Empowerment and Welfare.” Review of Social Policy 22 (1) : 51-60.
Canadian
Widjajanti, Kesi, 2011. “Model Pemberdayaan.” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (1) : 15 -27. Wijaya, M. 2001 Prospek Industrialisasi Perdesaan. Surakarta. Pustaka Cakra Surakarta. Wyer, P, 2009. “Fostering strategic learning capability to enhance creativity in small service businesses.” Journal of Springer-Verlag 10 (4) : 106-113. Van de Ban, AW dan HS Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Kanisius. Voydanoff, Patricia. 2001. “Conceptualizing community in the context of work and family. Community,” Journal Work and Family 4 (2) : 133-156. Yasar O,O Neczan, 2010 Analyzing The Barriers Encountered in Innovation Process through Interprelive Struktural Modelling : Evidence from Turkey. Yonetim Ekonomi Young R. 2005. “Sustainability from Rhetoric to Reality Through Market.” Journal of Cleaner Production New York Elsevier Science Inc. 9(2): 55–63. Yukimatsu, Keiko, Chantachon, Songkoon, Pothisane, Souneth, Kobsiripha, Wissanu. 2008. “The Added Values of Local Silk Textile; Thai-Lao Matmill and Japanese Tumugi Katsuri, SOJOURN.” Journal of Social Issues in Southeast Asia 23 ( 2 ) : 234-251Yuli Sri., Enny Zuhny K., Nanie Asri Yuliati, 2006. “Pengembangan Desain Produk Kerajinan Tekstil pada Usaha Jasa Konfeksi.” Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta 20 (1) : 1 -10. Yusnani, 2005. “Analisis Pembentukan Unit Pelayanan Usaha Industri Kecil Berprespektif Gender di Kabupaten Bengkalis.” [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Yuzar. 2006. “Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan menggunakan Kompetensi Inti Daerah Kabupaten dan Kelembagaan.” [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Zhao L dan JD Aram 1995. “Networking and Growth of Young Tehnologi Intensive Ventures in China.” Journal of Busineess Venturing New York Elsevier Science Inc 4 (1) : 79 – 89.
164
Zimmerman, M. A. 2000. Empowerment theory: Psychological,organizational, and community levels of analysis. In J. Rappaport & E. Seidman (Eds.), Handbook of community psychoogy (pp. 43–64). Zulaikha Ellya, 2006. “Diversifikasi desain untuk Pengembangan Industri Kerajinan Manik.” Jurnal Ilmu Desain 1 (3) : 191 – 202.
165
Lampiran 1 Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Investasi menurut Jenis Sentra Industri Kecil di Kabupaten Wajo. Jenis Tenaga kerja Usaha (orang) (Unit) 1 Sentra Pengeringan Ikan 36 61 2 Sentra Pembuatan Gula merah 27 27 3 Sentra Pembuatan Gula Tebu 12 25 4 Sentra Pembuatan Pisang 22 91 5 Sentra Pengolahan Tembakau 12 74 6 Sentra Pemintalan Sutera 98 289 7 Sentra Pencoletan Benang 82 282 8 Sentra Pertenunan Gedogan 1.070 1.070 9 Sentra Pertenunan ATBM 835 875 10 Sentra Bata Merah 40 261 11 Sentra Anyam-Anyaman 25 55 12 Sentra Meubel Kayu 19 65 13 Sentra Pembuatan Tampah 17 50 14 Sentra Gerabah 30 58 15 Sentra Kerang-kerangan 16 Sentra Meubel besi 17 Sentra Elektronik 13 36 18 Sentra Perbengkelan 45 96 Jumlah 2,383 3,415 Sumber : Dinas Koperasi, UMKM, Perindag Kabupaten Wajo, 2013 No
Jenis Sentra Industri
Investasi (Rp) 5,541 15,000 870 2,300 46,350 170,00 10,383 846,400 1,830,450 131,612 2,300 1,113,415 4,550 480,00 867,200 546,868 6,073,739
Lampiran 2 Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Investasi menurut Jenis Sentra Industri Kecil di Kabupaten Bulukumba No
Jenis Sentra Industri
1 2 3 4 5
Sentra Pertenunan Tanjung Bira Sentra Pembuatan Jagung Marning Sentra Pembuatan Kapal Rakyat Sentra Pembuatan Bordir Sentra Pembuatan Gula Merah Jumlah
Jenis Usaha (Unit) 334 10 35 12 31 422
Tenaga kerja (orang) 668 57 191 30 86 1032
Investasi (Rp) 14,547 7,20 870 2,70 1,65 34,797
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bulukumba, 2013
166
Lampiran 3. Peta Administrasi Kabupaten Wajo
Lampiran 4 Peta Administrasi Kabupaten Bulukumba
167
Lampiran 5 Peta Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba
Lampiran 6 Peta Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo
Lampiran 7 Peta Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo
168
Lampiran 8 Peta Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
Lampiran 9 Peta Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo
Lampiran 10 Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Kelurahan Mattirotappareng
169
Lampiran 11 Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Kelurahan Attakae
Lampiran 12 Denah lokasi pengrajin ekonomi kreatif di kelurahan Pakkana dan UjungE
Lampiran 13 Denah lokasi pengrajin ekonomi kreatif di kelurahan Tosora
170
Lampiran 14 Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi Kreatif di Desa Sompe
Lampiran 15
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi Kreatif di Desa Bira LAUT
DUSUN KASUSO sekolah lapangan
mesjid
sekolah Kebun
sekolah
DUSUN DAUHE
BATAS DESA BIRA
Kantor Desa
SMK 6
JL .K E AR DES A A
POROS T. BIRA
JA
S KE T. BIR LAN PORO
A TK
DUSUN BIRALOHE TOWER
Makam
mesjid
171
Lampiran 16 Jumlah Penduduk di Kabupaten Wajo Luas wilayah, Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Wajo No
Kecamatan
Luas Area(Km2)
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk
1.
Sabbang Paru
132.75
25.737
193,78
2.
Tempe
38,27
55.598
1452,78
3. 4. 5.
Pammana Bola Takkalalla
162,10 220,13 179,76
31.266 119.496 20.030
192,88 88,57 111,43
6.
Sajoangin
167,01
19.280
115,44
7.
Penrang
154,9
15.430
99,61
8.
Majauleng
225,92
31.535
139,58
9. 10. 11.
Tanasitolo Belawa Maniangpajo
154,60 172,30 175,96
40.121 31.001 15.817
259,51 179,92 89,89
12. 13. 14.
Gilireng Keera Pitumpanua Jumlah
147,00 368,36 207,13 2.506,19
11.321 21.536 42.353 380.521
77,01 58,46 204,48 151,83
Sumber :BPS Kabupaten Wajo, 2012
Lampiran 17 Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bulukumba No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gantarang Ujung Bulu Ujung Loe BontoB ahari Bonto Tiro Herlang Kajang Bulukumpa Rialau Ale Kindang Jumlah
Laki-laki 34 116 23 243 18 699 10 797 10 016 10 921 22 405 24 364 17 812 14 517 186 890
Penduduk Perempuan 37 042 24 883 20 834 13 179 12 792 13 207 24 675 26 471 19 997 15 298 208 378
Sumber : Data BPS Kabupaten Bulukumba, 2012
Jumlah 71 158 48 126 39 533 23 976 22 808 24 128 47 080 50 835 37 809 29 815 395 268
Sex ratio 92 93 90 82 78 83 91 92 89 95 90
172
Lampiran 18
Proses Pembuatan Kain Sutera
BAHAN BAKU/ BENANG MENTAH KELOS (Pali)
RANGKAP
TWIST/GINTIR (Gatti)
LUSI
POLOS PUTIH
DEGUMMING (Pemutihan/Pemasaka n)
POLOS WARNA
PEWARNAAN
PAKAN
MOTIFIKASI
PEWARNAAN
PENGANJIAN
KELOS (Pali)
POLOS WARNA
KELOS (Pali)
GANDRA
PENGAHANIAN (Sau)
MOTIF/COLET/IKAT
PEWARNAAN PENCUCUKAN (apparisi) PEMBUKAAN
PENGURAIAN/ PENCAR
PERTENUNAN MENJADI KAIN SUTERA
Keterangan :
PALET
POLOS PUTIH
173
(1) Langkah pertama yang dilakukan dalam proses pengolahan benang sampai menjadi kain tenun yaitu benang sutera yang dihasilkan dari ulat sutera harus dikelos (pali) yaitu memintal benang dengan menggunakan alat yang disebut yang tradisional (ganra). (2) Benang tersebut melalui proses kelos (pali) yaitu memasukkan benang kedalam pedati setelah sebelumnya juga melewati proses twist/gittir (galli). Benang yang sudah digintir selanjutnya memasuki proses pemasakan dan pencucian (degumming) untuk pemutihan benang. (3) Filamen sutera mentah terdiri dari dua filament fibroin yang terbungkus dalam serisin. Komposisi serat sutera tersebut antara lain serisin 22- 25 persen, fibroin 62-67 persen, air 10 -11 persen dan garam mineral 1 -1,5 persen. Serisin adalah protein albumin yang tidak larut dalam air dingin tetapi menjadi lemah didalam air panas, larut didalam alkali lemah dan sabun. (4) Proses degumming ini dilakukan melalui perebusan atau pemasakan benang sutera yang sudah dipintal. Proses pemutihan benang pada masa lalu menggunakan mayang kelapa yang dibakar menjadi arang, lalu diberi air bersih dan diamkan selama tiga hari. Sekarang ini proses pemutihan menggunakan sabun dan soda api. (5) Serat sutera mempunyai warna agak kekuning-kuningan atau kecoklatcoklatan. Untuk mendapatkan warna yang putih perlu proses pemutihan sutera dapat dilakuang dengan menggunakan zat pemutih jenis natrium Hidrosulfit atau oksidator Hidrogen pemutihan, maka benang tersebut bisa digunakan untuk keperluan benang lungsi maupun benang pakan. (6) Sebelum proses pertenunan pada umumnya benang lungsi dikanji terlebih dahulu untuk memperkuat benang supaya tidak mudah putus karena gesekan selama proses pertenunan. Kanji yang ada pada kain perlu dihilangkan karena kanji yang ada akan menghalangi penyerapan zat warna atau zat-zat kimia lain pada bahan untuk proses selanjutnya. (7) Benang pakan dan benang lungsi diberi zat asam, zat pewarna atau kimia lainnya. Benang lungsi terdiri dari dua warna yaitu putih dan warna polos lainnya (misalnya merah, kuning biru dan lain-lain). Sedangkan untuk benang pakan terdiri warna putih polos, dan warna polos lainnya. Benang pakan untuk jenis benang polos warna selanjutnya kelos (pali) lalu selanjutnya melalui proses pencolekan untuk membuat motifikasi. (8) Sebelum proses pencolekan benang pakan disusun satu persatu dan diatur secara berkelompok pada sebuah bingkai kayu dan selanjutnya diberi motif pada proses pencolekan. (9) Tenun ikat yaitu benang sutera setelah melalui proses degumming atau pengelantagan kemudian benang tersebut diikat sesuai dengan motif yang diinginkan (ikat lungsi, ikat pakan atau keduanya) kemudian dicelup. Bahan yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun akan memberikan motif. Jumputan bahan-bahan diikat setelah proses degumming. Pencelokan dan pemberian motif sesuai dengan yang diinginkan adalah untuk kain ikat khas pakan. (10) Benang yang sudah dicolek dan diberi warna dasar selanjutnya akan diadakan proses penguraian yaitu benang dipisahkan satu persatu untuk
174
keperluan proses selanjutnya. Proses pencelupan bahan sutera banyak mempergunakan zat warna direk, asam, kationik, naftol dan reaktif. (11) Benang yang sudah diberi motif/colet selanjutnya melalui proses pembukaan untuk selanjutnya dilakukan penguraian pencar. Selanjutnya memasuki proses palet yaitu benang digulung pada sebuah palet lalu dimasukkan kedalam teropong atau pedati.
175
Lampiran 19 Indikator Dimensi Ekonomi (pendukung usaha langsung) Peubah Pendukung usaha ekonomi kreatif
Indikator Bahan baku
pasar
Ketersediaan tehnologi Permodalan
Parameter
Proses produksi
Pengembangan produk
Ketersediaan Sarana Transportasi Ketersediaan Alat Komunikasi khususnya telepon
Kualitas bahan baku Ketersediaan bahan baku Keterjangkauan harga bahan baku Permintaan pasar Jangkauan pasar Tingkat kesetiaan konsumen Cara memperoleh Terjangkauan harga peralatan Perkembangan peralatan Pengetahuan sumber pemodalan Pemahaman cara mengakses sumber permodalan Pemahaman pengelolaan modal Tanggapan terhadap sumber pemodalan Ketertarikan mengakses sumber permodalan Sikap hemat dalam pengelolaan modal Ketetapan mengakses sumber permodalan Pengetahuan tahapan produksi Pembahaman cara kerja peralatan produks Pengetahuan persyaratan mutu produksi Ketetapan menjalankan tahapan produksi Kecermatan menggunakan peralatan produksi Produk harga tempat promosi dan informasi manajemen yang dilakukan Kemudahan memperoleh angkutan Keterjangkauan ongkos angkutan Keamanan angkutan
Kekerapan pemakaian telepon rumah untuk usaha Kekerapan pemakaian telepon seluler untuk usaha Kekerapan pemakaian telepon di Wartel untuk usaha
Skala Data Ordinal
176
Lampiran 20 Indikator Dimensi Sosial (pendukung usaha tak langsung) Peubah
Indikator Keluarga Pemerintah Intelektual
Tak langsung
Parameter
Bisnis
Bimbingan Organisasi Non Pemerintah Peran pelaku pengembangan
Dukungan keluarga Kesesuaian jenis usaha dengan keluarga Kegiatan Pelatihan Kegiatan Kunjungan petugas dinas Dukungan pemimpin informal dan non formal Pertemuan pemimpin informal dan non formal dengan masyarakat Terjalin kerjasama dengan pengusaha Adanya penghubung pemasaran didalam memasarkan kegiatan usahanya Kegiatan Pelatihan Kegiatan Kunjugan Organisasi Non Pemerintah Proses pendekatan Kompetensi pelaku pengembangan Peran Pelaku pengembangan
Skala Data Ordinal
Lampiran 21 Indikator Dimensi Kelembagaan Peubah
Indikator
Kelembagaan
Pola hubungan
Pranata Aturan Main
Parameter
Skala Data
Secara horisontal Secara Vertikal Penentuan Harga Bandar Pemasaran Nilai-nilai sosial budaya Norma-norma dalam pengrajin sutera Aturan lokal yang berlaku
Ordinal
Lampiran 22 Indikator Dimensi Lingkungan Peubah
Indikator
Parameter
Skala Data
Lingkungan
Cara melestarikan lingkungan
Cara melestarikan lingkungan Ketertarikan pentingnya melestarikan lingkungan Pengetahuan tentang dampak lingkungan Pemahaman dampak lingkungan Pengetahuan tentang dampak pengurangan polusi lingkungan Pemahaman cara tentang cara pengurangan polusi udara Ketertarikan pentingnya persediaan bahan baku Ketertarikan terhadap persediaan bahan baku yang berdampak pada UEK Pengetahuan tentang pewarnaan lingkungan Pemahaman tentang pewarnaan yang berdampak lingkungan sumber permodalan
Ordinal
Pelatihan terkait dampak lingkungan Dampak pengurangan polusi udara Penyediaan sumber bahan baku berdampak pada UEK Pengetahuan tentang pewarnaan yang berdampak lingkungan
177
Lampiran 23 Indikator Perilaku Kewirausahaan Ekonomi Kreatif Peubah
Indikator
Parameter
Skala Data
Perilaku Kewirausahaan ekonomi kreatif
Keinovatifan
Pengetahuan sumber informasi inovatif Pemahaman tentang penciptaan inovasi Pemahaman tentang penerapan inovasi Ketertarikan terhadap sumber informasi inovatif Ketertarikan untuk menciptakan inovasi Ketertarikan menerapkan inovasi Kecepatan mencari sumber informasi inovatif Kecepatan menghasilkan inovasi Kecermatan menerapkan inovasi Pengetahuan tentang cara menuangkan ide Pemahaman tentang cara menjalankan ide Ketertarikan terhadap ide yang dihasilkan Ketertarikan melakukan identifikasi motif yang dihasilkan dari ide Kecermatan menemukan ide Ketelitian melakukan ide yang dihasilkan Ketepatan menjalankan ide yang kreatif Pengetahuan tentang cara mengembangkan bakat Pemahaman cara menjalankan bakat yang menghasilkan suatu motif Sikap terhadap usaha yang dilakukan melalui bakat Kecermatan menjalankan usaha yang berbakat Ketepatann melakukan usaha berdasarkan bakat yang ada Pengetahuan tentang mendesain Pemahaman cara melakukan desain yang kreatif Pemahaman tentang desain yang kreatif Sikap untuk menghadapi persaingan desain yang kreatif Sikap terhadap etika persaingan usaha dalam desain yang kreatif Ketertarikan terhadap penerapan desain yang kreatif Kemampuan menghasilkan desain yang kreatif Kecepatan merumuskan desain yang kreatif Pengetahuan tentang peluang usaha Pemahaman tentang cara menjalankan peluang usaha Ketertarikan terhadap peluang usaha Ketertarikan melakukan identifikasi peluang usaha dan sikap dalam menjalankan peluang usaha Kecermatan menemukan peluang usaha Ketelitian melakukan ident. peluang usaha Ketepatan menjalankan peluang usaha
Ordinal
ide
talenta
Desain
Inisiatif
178
Pengelolaan resiko
Daya saing
Pengetahuan tentang cara memprediksi resiko Pengetahuan cara menghindari resiko Pemahaman cara menjalankan usaha yang beresiko Sikap menghadapi kemungkinan terjadinya resiko Sikap menghindari resiko Sikap terhadap usaha yang beresiko Ketetapan memprediksi terjadinya resiko Kecermatan menjalankan usaha yang berisiko Ketetapan menghindari risiko Pengetahuan tentang strategi bersaing Pemahaman cara menghadapi persaingan Pemahaman tentang etika persaingan Sikap untuk menghadapi persaingan Sikap terhadap etika persaingan usaha Ketertarikan terhadap penerapan strategi usaha Kemampuan menghasilkan keunggulan bersaing Kecepatan merumuskan strategi bersaing Ketepatan memenangkan persaingan
179
Lampiran 24 Dimensi Ekonomi dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Skor
Buruk
Baik
1
No
Bahan baku sutera sulit didapat
3
1
4
2
Bahan baku kurang tersedia
1
1
4
3
Harga bahan baku kurang terjangkau
2
1
4
4
Komunikasi melalui Telepon rumah
3
1
4
5
Konsumen kurang setia pada produk UEK
3
1
4
6
Jangkauan pemasaran produk UEK
3
1
4
7
Promosi produk UEK
2
1
4
8
Penjualan pada satu tempat
4
1
4
9
Paham Cara mengakses sumber permodalan UEK Paham ttg cara pengelolaan modal
2
1
4
2
1
4
paham terhadap sumber permodalan
3
1
4
12
melakukan pengembangan produk
4
1
4
13
Harga Peralatan teknologi yang tidak terjangkau
2
1
4
10
11
Atribut
Kriteria (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
Tidak sulit Kurang sulit Sulit Sangat sulit Tidak tersedia Kurang tersedia Tersedia Sangat Tersedia Tidak terjangkau Kurang terjangkau Terjangkau Sangat terjangkau Tidak melakukan Sulit melakukan Kurang Melakukan Selalu melakukan Tidak setia Kurang setia Setia Sangat setia Tidak terjangkau Kurang terjangkau Terjangkau Sangat terjangkau Tidak melakukan Kurang melakukan Melakukan terbatas Selalu melakukan setiap ada produk baru Hanya satu tempat Dua tempat Tiga tempat Banyak tempat Tidak paham Kurang paham Paham Sangat paham Tidak paham Kurang paham Paham Sangat paham Tidak paham Kurang paham Paham Sangat paham Tidak melakukan Kurang melakukan Melakukan pengembangan Sangat melakukan pengembangan Tidak terjangkau Kurang terjangkau Terjangkau Sangat terjangkau
180
Skor
Buruk
Baik
14
No
Kurang Mengggunakan jasa pengiriman
Atribut
2
1
4
15
Biaya angkutan umum tidak terjangkau
3
1
4
Kriteria (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
Tidak mudah Kurang mudah Mudah Sangat mudah Tidak dijangkau Kurang dijangkau Dijangkau Sangat dijangkau
181
Lampiran 25 Dimensi Sosial dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Skor
Buruk
Baik
1
No
Pengetahuan tentang cara berbisnis
Atribut
1
1
4
2
Bekerjasama dengan pengusaha
3
1
4
3
Mentranformasikan kreativitas nilai EK
3
1
4
4
Sosialisasi oleh pemerintah
2
1
4
5
pelatihan dari pemerintah
2
1
4
6
pelatihan dari organisasi
2
1
4
7
Kunjungan dari organisasi
2
1
4
8
pertemuan dgn pemimipin non formal
3
1
4
9
Merupakan usaha sendiri (turun temurun)
4
1
4
10
Tenaga kerja dari keluarga
3
1
4
Materi pemberdayaan kurang relevan
3
1
4
11
12
Proses swadaya
2
1
4
Kriteria (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
Tidak mengetahui Kurang mengetahui Mengetahui Sangat Mengetahui Tidak tertarik Kurang tertarik Tertarik Sangat tertarik Tidak mampu Kurang mampu Mampu Sangat Mampu Tidak ada sosialisasi Kurang sosialisasi Ada Selalu Tidak melakukan Kurang melakukan Melakukan kegiatan Sering melakukan kegiatan Tidak ada Kurang Ada Selalu ada Tidak ada Kurang Ada Selalu ada Tidak ada pertemuan Kurang pertemuan Melakukan pertemuan Selalu mengadakan pertemuan Tidak Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak mendapat dukungan Kurang mendapat dukungan Mendapatkan dukungan Sangat mendapatkan dukungan Tidak relevan Kurang relevan Relevan Sangat relevan Tidak melakukan Kurang melakukan Melakukan Selalu melakukan
182
Lampiran 26
Dimensi Lingkungan dan atribut keberlanjutan usaha Pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
No 1
Atribut Mengetahui Cara melestarikan lingkungan
Skor 2
Buruk 1
Baik 4
2
Pelatihan terkait dampak lingkungan
1
1
4
3
Keberhasilan UEK berdampak pada pengurangan polusi udara
4
1
4
4
Penyediaan sumber bahan baku berdampak pada UEK
4
1
4
5
Pengetahuan ttg pewarnaan berdampak pada lingkungan
2
1
4
(1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
Kriteria Tidak mengetahui Kurang mengetahui Mengetahui Sangat Mengetahui Tidak Kurang Mengikuti Selalu Tidak berdampak Kurang berdampak Berdampak Sangat berdampak Tidak berdampak Kurang berdampak Berdampak Sangat berdampak Tidak mengetahui Kurang mengetahui Mengetahui Sangat mengetahui
183
Lampiran 27 Dimensi Kelembagaan dan atribut keberlanjutan usaha Pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Skor
Buruk
Baik
1
No
Kerjasama secara horizontal
Atribut
3
1
4
Kriteria
2
Aturan main belum berlaku dilembaga sosial
2
1
4
3
Penentuan harga dilembaga
1
1
4
4
Pola hubungan bandar pemasaran
3
1
4
(1) (2) (3) (5)
5
Nilai-nilai sosial ikut berperan UEK
4
1
4
6
Nilai budaya mendukung kreativitas UEK
4
1
4
7
Nilai sosial mempererat interaksi sosial
3
1
4
8
Norma2 mempengaruhi kegiatan usaha
3
1
4
9
Hubungan secara vertikal
1
1
4
(1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
(1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
Tidak kerjasama Kurang kerjasama Melakukan kerjasama Sangat bekerjasama Tidak ada aturan Kurang aturan Ada aturan Sangat ketat aturan Tidak melakukan Kurang melakukan Melakukan Sangat melakukan penentuan harga Tidak hubungan Kurang hubungan Melakukan hubungan Sangat melakukan hubungan Tidak berperan Kurang berperan Berperan Sangat berperan Tidak mendukung Kurang mendukung Mendukung Sangat mendukung Tidak mempererat Kurang mempererat Mempererat Sangat mempererat Tidak berpengaruh Kurang berpengaruh Berpengaruh Sangat berpengaruh Tidak kerjasama Kurang kerjasama Melakukan kerjasama Sangat bekerjasama
184
Lampiran 28 Dimensi Perilaku Ekonomi Kreatif dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan Skor
Buruk
Baik
1
No
Membutuhkan pembinaan
Atribut
4
1
4
2
Mengetahui Etika persaingan UEK
2
1
4
3
Mengetahui Strategi bersaing
2
1
4
4
Tertarik dengan penerapan desain UEK
3
1
4
5
Memahami cara membuat corak sutera batik
4
1
4
6
Melakukan Identifikasi secara teliti UEK
2
1
4
7
Memahami cara menjalankan peluang UEK
2
1
4
8
Menjalankan peluang UEK dgn tepat
2
1
4
9
Ingin Mengembangkan sesuai ide terbaru
4
1
4
10
Mengetahui sumber informasi inovatif
2
1
4
11
Sikap dalam menghindari resiko UEK
2
1
4
12
sikap dalam menghadapi resiko UEK
2
1
4
Kriteria (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
Tidak membutuhkan pembinaan Kurang membutuhkan pembinaan Membutuhkan pembinaan Sangat membutuhkan pembinaan Tidak mengetahui Kurang mengetahui Mengetahui Sangat mengetahui Tidak mengetahui Kurang mengetahui Mengetahui Sangat mengetahui Tidak tertarik Kurang tertarik Tertarik Sangat tertarik Tidak memahami Kurang memahami Memahami Sangat memahami Tidak teliti Kurang teliti Teliti Sangat teliti Tidak memahami Kurang memahami Memahami Sangat memahami Tidak tepat Kurang tepat Tepat Sangat tepat Tidak ingin Kurang ingin Tidak ingin lepas dr budaya Sangat tidak ingin lepas dari budaya Tidak mengetahui Kurang mengetahui Mengetahui Sangat mengetahui Tidak melakukan penanganan Kurang melakukan penanganan Melakukan penanganan Sangat melakukan penanganan
(1) bersikap biasa saja (2) kurang menanggapi (3) menghadapi kemungkinan yang terjadi (4) Mencegah terjadinya resiko yang besar
185
Lampiran 29 No 1
2
3
4
5
6
7 8
9
Kebutuhan Stakeholder sebagai pelaku industri sutera
Pelaku
Kebutuhan
Pemerintah Kordinasi dengan instansi terkait Provinsi semakin baik Penyerapan tenaga kerja meningkat Perluasan lapangan usaha Peningkatan ekspor Pemerintah Pendapatan daerah meningkat Daerah Penyerapan tenaga kerja meningkat Kabupaten Lapangan usaha semakin luas Kordinasi dengan instansi lain semakin baik Assosiasi Peningkatan penyerapan tenaga kerja Peningkatan lapangan usaha Kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta semakin baik Kerjasama antar pelaku usaha semakin baik Peningkatan pendapatan pengrajin Meningkatnya saling kepercayaan sesama pengrajin Koperasi Peningkatan penyerapan tenaga kerja Peningkatan pendapatan meningkat Tersedianya modal usaha Kerjasama antara pelaku usaha dengan pengrajin Fasilitator Meningkatnya kerjasama antar pelaku usaha Meningkatnya kordinasi antar instansi Lembaga Berkembangnya usaha Keuangan Terpenuhinya modal usaha
Lembaga Litbang Perguruan tinggi
Meningkatnya kualitas teknologi produksi Meningkatnya jiwa kewirausahaan pengrajin
Eksportir
Kualitas produk semakin meningkat Ekspor meningkat
Kualitas SDM meningkat Iklim usaha yang kondusif Peningkatan ekspor
Kualitas SDM Meningkat Iklim usaha yang kondusif Peningkatan ekspor Kualitas produk meningkat Kesadaran terhadap lingkunga semakin meningkat Iklim usaha yang kondusif Peningkatan ekspor
Kesadaran terhadap lingkungan akan semakin meningkat
Adanya pelatihan dan magang untuk pengrajin Pengembalian kredit lancar Bunga pinjaman yang sesuai pasar Pasar dan usaha berkembang Meningkatnya temuantemuan teknologi baru Meningkatnya temuantemuan baru khususnya dalam pewarnaan Pasokan barang terjamin
Dari hasil diskusi dengan berbagai stakeholders disepakati hal-hal yang perlu diperioritaskan adalah : 1. Kualitas Produk meningkat 2. Perluasan lapangan usaha 3. Penyerapan tenaga kerja meningkat 4. Kordinasi instansi pemerintah & swasta 5. Peningkatan ekspor 6. Peningkatan pendapatan meningkat 7. Iklim usaha yang kondusif 8. Kualitas SDM meningkat
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kerjasama antara pelaku usaha semakin baik Tersedianya modal usaha Pasar dan Usaha berkembang Bunga pinjaman sesuai dengan pasar Meningkatnya kualitas tehnologi Harga yang sesuai Adanya kelembagaan yang mendukung
186
Lampiran 30 Sekilas Pandang pengrajin ekonomi kreatif dari Desa Bira SEKILAS PANDANG PENGRAJIN EKONOMI DARI DESA BIRA Lampiran 21 Foto Lokasi PenelitianKREATIF di Kabupaten Wajo dan Kabupaten
Bulukumba
Matahari mulai menyinari lautan biru yang membentang di kampong tua yang secara administrasi berada antara Desa Bira dan Darubiah, Kecamatan Bontohari. Menyelusuri desa kasuso tampak menemukan ibu-ibu rumah sibuk menenun kain sutera dikolong rumah mereka. Ketika saya menanyakan kepada salah satu pelaku dengan bahasa konjo dialek khas didaerah itu mengatakan bahwa dia sudah puluhan tahun melakukan aktivitas ini dengan memakai alat tenun gedokan. Melakukan aktivitas ini sangat disenangi karena menambah pendapatan rumah tangganya dan waktu tidak terbuang percuma, sambil menunggu suaminya pulang dari melaut. Pintuusaha gerbang memasuki Kabupaten Wajo dan Bulukumba Pelaku ekonomi kreatif di kampung ini Kabupaten memasarkan kain tenun sutera di luar kampung kasuso bahkan ada diluar wilayah Sulawesi Selatan dengan dibawa oleh pedagang-pedagan atau pelaut yang berlabuh di kampung tersebut. Kampung kasuso berjarak 33 kilometer dari kota bulukumba, menurut salah seorang tokoh masyarakat menyampaikan bahwa sejarah penamaan kampung ini diduga karena dikampung ini banyak binatang sejenis Suso (sejenis siput/biri-biri laut). Kampung Kasuso ini terletak di Pantai Pasir Putih Bira sepanjang pantai tersebut tertambat atau berlabuh perahu-perahu warga Kasuso. Bukan hanya perahu nelayan, akan tetapi berlabuh pula perahu-perahu yang digunakan oleh warga Kasuso untuk berlayar ke daerah Sumatera, Maluku ataupun wilayah Pulau Jawa dan Sulawesi Tenggara. Penduduk yang ada disepanjang jalan tampak ramah dan menyapa kami. Mata pencaharian penduduk adalah nelayan dan pelaut serta pedagang lokal. Pedagang lokal Lokasi Kecamatan Bontohari Lokasi usaha Beberapa Kecamatan inilah yang memasarkan hasil tenun para pelaku ekonomi kreatif Di Kabupaten Bulukumba Kabupaten Wajo dengan ikut pada pelaut yang berlayar di luar Sulawesi Selatan. Hal inilah yang membuat sistem perekonomian penduduk utamanya ibu-ibu rumah tangga sangat tergantung pada aktivitas menenun untuk membantu pendapatan rumah tangganya (suami berlayar) dan juga pada saat musim barat (ombak dan angin besar) tidak memiliki penghasilan kecuali dengan menenun. Pendapatan dari yang bisa menambah hanyalah tangkapan ikan terbang (juku Tuing-Tuing) ikan tersebut menjadi tangkapan yang disenangi oleh penduduk setempat karena telur ikan tersebut juga sangat mahal.
187
Di Kampung Kasuso terdapat sebuah batu yang menyerupai payung raksasa yang berdiri kokoh di dalam laut. Batu tersebut disebut dengan Batu Taha (Batu berpohon) yang dikeramatkan dan dianggap symbol kampung tersebut. Sekitar 300 meter kearah timur terdapat mata air tawar yang terletak tepat di bibir pantai yang airnya hanya bisa dinikmati pada saat surut dan jika pasang tampak mata air tersebut bersambung dengan laut. Oleh karena itu kampung kasuso sangat potensi untuk dikembangkan sebagai salah satu tujuan wisata agar para pelaku ekonomi kreatif kerajinan sutera lebih termotivasi untuk mengembangkan diri jika banyak wisata yang datang kedaerah tersebut dan membeli hasil tenun yang dihasilkannya.
188
Lampiran 31 Sekilas Wajah Pengrajin Ekonomi Kreatif di Kabupaten Wajo SEKILAS WAJAH PENGRAJIN EKONOMI KREATIF DI KABUPATEN WAJO Cuaca pada siang itu tampak mendung dan kurang bersahabat, Hujan akan segera datang, namun beberapa pengrajin sutera tampak dikolong rumah panggung masih asyik dengan aktifitasnya menenun kain sutera tanpa memperdulikan kedatangan kami. Tangannya terus mengayun alat tenun, sekali-kali dipungutnya beberapa benang yang tersangkut pada alat tenunnya, diangkat perlahan dan diletakkan dengan benar. Saya terkesimak mendengar bunyi alat tenun yang disebut dengan alat tenun bukan mesin atau lebih dikenal dengan ATBM. Saya hanya berpikir alat itu sama dengan alat tradisional gedokan yang tidak mengeluarkan suara, ternyata tidak demikian justru dengan alat tersebut kadang-kadang terdengar irama pedesaan yang menyentuh hati. Saya tidak bisa membayangkan rangkaian dari alat yang sederhana dan keahlian tangan pelaku usaha ekonomi kreatif bisa menghasilkan kain tenun yang begitu indah dipandang mata. Dari hasil wawancara dengan ibu jennang mengemukakan bahwa sebelum menenun ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dulu seperti dengan benang sutera disusun satu persatu dengan hati-hati dan teliti kemudian mulai mengaplikasikan motif yang disusun dengan menggunakan alat khusus dari bambu yang diletakkan berselang seling sesuai keinginan dan kebutuhan motif yang akan ditenun. Dengan tangan yang cekatan menghentak-hentak alat tenun maka benang-benang yang sudah dirangkai akan mengikuti alurnya lalu mengikat benang-benang itu menjadi satu bagian, hal itu dilakukan terus menerus hingga menjadi sebuah kain tenun yang halus. Beberapa gadis tetangganya ikut bergabung memainkan alat tenun yang ada. Mereka berusia antara 20 sd 25 tahun. Tamat SMP mereka tidak melanjutkan ke SMU dengan alasan ekonomi yakni tak ada biaya. Mereka akan segera mewarisi keahlian orang tuanya menenun sutera. Oleh karena itu mereka giat belajar untuk melakukan aktivitas menenun yang baru seumur jagung. Pekerjaan yang dilakukan nampak tidak terbebani oleh kegiatan aktivitasnya melainkan dilakukan dengan gelak tawa dengan para tetangga atau keluarganya yang ikut belajar menenun. Saya salut melihat anak-anak muda bisa meniadakan perasaan malu untuk memilih pekerjaan menenun di masa modernisasi sebagai langkah awal untuk membantu pendapatan orang tua mereka yang terpuruk. Mereka lebih memilih pekerjaan ini dibanding harus kekota untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil tenun yang dihasilkan. Matahari mulai kelihatan terbenam menunjukkan waktu pukul 17.00 sore seluruh kegiatan dihentikan mengingat pekerjaan rumah tangga akan menunggu untuk dikerjakan
.
189
Lampiran 32 Lokasi Penelitian Kabupaten Wajo dan Bulukumba
Desa Darubiah
Kel. Sompe
Desa UjungE
Desa Bira
Desa Tosora
Kel. Atakkae
190
Kel. Mattirotappareng
Desa Pakkana
Lampiran 33 Lokasi Penanaman Daun Murbei dan Ulat Sutera
Murbey nama latinnya Moros Alba L dan nama Cinanya San Yee, daunnya dipergunakan bagi kesehatan yakni berkhasiat peredam demam, menurunkan tekanan darah tinggi, buahnya berkhasiat memperkuat ginjal, kulitnya berkhasiat mengobati sesak napas. Dalam kitab sejarah kuno tiongkok (Cina) Huang Din dan Yan Din yang membudayakan murbei ini.
Ulat sutera inilah yang akan menghasilkan serat benang sutera dengan air liurnya yang membungkus dirinya sampai menjadi kokon. Pada zaman kuno di Negara Cina (tiongkok) Huang Din dan Yan Din membudidayakan murbei ini.
Lampiran 34 Ulat sutera yang telah menjadi kokon dan pemintalan benang
191
Konon awal ceritera tentang ulat sutera ini mulai dikenal pada saat putri raja tiongkok makan siang tiba-tiba ada kokon yang jatuh tepat dipiring sang putri, kokon ini mulai diteliti oleh pihak istana dan ternyata itulah adalah ulat sutera yang membungkus dirinya. Saat itulah ulat sutera mulai dikenal dan berkembang hingga kini.
Sebelum kokon dipintal kokon terlebih dahulu dimasak agar ulat yang ada didalamnya mati dan tidak berkembang menjadi kupu-kupu. Serat kokon ditarik ujungnya menjadi satu lembar benang sutera. Satu butir kokon seratnya bisa mencapai 800 s/d 1200 m panjangnya. Pekerjaan ini memerlukan ketekunan dan kesabaran.
Lampiran 35 Perangkapan Benang
Perangkapan benang ini bertujuan untuk memperbesar lebaran benang supaya benang menjadi kuat.
192
Benang setelah diperangkapan menjadi bagian yang lebih kecil
Lampiran 36 Pewarnaan sutera
Pewarnaan ini boleh dilakukan tergantung pada kebutuhan pengrajin sutera, jika memerlukan sutera putih maka tidak dilakukan pewarnaan tetapi jika memerlukan benang yang berwarna maka dilakukan pewarnaan sesuai dengan kebutuhan.
193
Lampiran 37 Melakukan Tous Benang Sutera
Proses ini bertujuan agar benang yang dirangkap (digandakan) dapat menjadi lebih kuat. Lampiran 38 Persiapan menenun oleh Pengrajin Ekonomi Kreatif
194
Memperbaiki sisir pada penenun sebelum benang yang sudah didesain dimasukkan sebagai langkah awal untuk menenun.
Memasukkan desain benang dan mulai menenun Lampiran 39 Pembuatan Corak pada Sutera
195
Lampiran 40 Alat ATBM yang digunakan oleh pengrajin ekonomi kreatif
Alat ini yang digunakan pengrajin ekonomi kreatif untuk menenun kain sutera Lampiran 41 Benang Sintetis
196
Benang ini biasanya digunakan oleh pengrajin ekonomi kreatif jika bahan baku sulit didapatkan dan tergantung pada pesanan dari konsumen dan pengusaha
Lampiran 42 Hasil Tenun Pengrajin Ekonomi Kreatif
197
Lampiran 43 Kerajinan Sutera yang dipasarkan oleh Pengusaha
198
Lampiran 44 Kerajinan Sutera Batik yang mulai diproduksi
199
Bahan dasar sutera putih yang didesain menjadi batik sutera oleh salah satu pengusaha sutera di Kabupaten Wajo
Lampiran 45 Foto bersama Tokoh Masyarakat, Penyuluh Lapangan dan Pengusaha
200
201
Lampiran 46 Pemasaran Kerajinan Sutera di Provinsi Sulawesi Selatan
202
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 12 Mei 1969 dari Ayah H. Ibrahim (Alm) dan Ibu Hj. Rannu sebagai anak keempat dari empat bersaudara. Setelah lulus dari SMA, pada tahun 1988 diterima di Universitas Hasanuddin pada Program Studi D3 Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi kemudian transfer ke S1 Jurusan Sosial Ekonomi pada tahun 1991 dan selesai pada tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 2000 dengan dukungan beasiswa dari BPPS Kemendiknas RI, penulis diterima pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada Program Studi Magister Agribisnis dan selesai pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang program doktor pada Program Studi Penyuluhan Pembangunan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2009 juga dengan dukungan beasiswa dari BPPS Kemendiknas Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar (UIM) sejak tahun 1998. Minat keilmuan penulis adalah bidang kajian Agribisnis dan Penyuluhan Pembangunan. Selama mengikuti Program S3 penulis menjadi anggota Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI), Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia (PAPPI) dan Forum Wacana IPB Mahasiswa Provinsi Sulawesi Selatan. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari program S3 penulis adalah sebuah Artikel dengan judul “ Analisis Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor ISSN: 0216-3160 Vol.23 Tahun 2013, dan sebuah artikel Internasional yang berjudul “The Determinant Factors of Creative Economy Craftsmen Sustainability in South Sulawesi Province” pada International Journal of Science and Engineering (IJSE) ISSN:2086-5023. Vol.5 No.2, Oktober 2013.
`