PEMULIAAN JAMUR TIRAM PUTIH DAN PENINGKATAN

Download (Pleurotus sajor-caju) dan tiram cokelat (Pleurotus cystidiosus). Jamur tiram putih memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai anti tumor,...

0 downloads 578 Views 21MB Size
PEMULIAAN JAMUR TIRAM PUTIH DAN PENINGKATAN PRODUKSI DENGAN MEMANFAATKAN SUBSTRAT SISA BUDI DAYANYA

EKA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemuliaan Jamur Tiram Putih dan Peningkatan Produksi dengan Memanfaatkan Substrat Sisa Budi Dayanya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016

Eka Wijayanti NIM G351124101

RINGKASAN EKA WIJAYANTI. Pemuliaan Jamur Tiram Putih dan Peningkatan Produksi dengan Memanfaatkan Substrat Sisa Budi Dayanya. Dibimbing oleh LISDAR I SUDIRMAN dan DEDY DURYADI SOLIHIN. Jamur tiram yang memiliki kisaran tubuh buah berwarna putih terdiri dari beberapa spesies diantaranya Pleurotus ostreatus, Pleurotus populinus dan Pleurotus pulmonarius. Jamur tiram putih paling populer di Indonesia dibandingkan jamur tiram spesies lain seperti tiram kuning (Pleurotus citrinipileatus), tiram merah muda (Pleurotus flabellatus), tiram abu-abu (Pleurotus sajor-caju) dan tiram cokelat (Pleurotus cystidiosus). Jamur tiram putih memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai anti tumor, antioksidan, probiotik serta dapat menurunkan kolesterol. Kemampuan pertumbuhan jamur tiram putih sangat dipengaruhi oleh suhu, dan suhu optimum untuk pertumbuhan jamur tiram putih adalah 25-28 oC untuk fase vegetatif dan untuk fase generatif berkisar antara 10-28 oC, tergantung pada spesiesnya (P. ostreatus var. Florida dan strain P.ostreatus yang lain adalah 14-18 oC; P.sajor-caju adalah 20-24 oC sedangkan P.cystidiosus adalah 26-28 oC. Suhu udara di Indonesia timur relatif lebih tinggi. Oleh karena itu untuk mendapatkan jamur tiram putih yang tahan pada suhu tinggi adalah dengan seleksi jamur tiram putih yang tahan cekaman panas hingga 35 oC atau dengan cara menyilangkan dua miselium monokarion yang tahan terhadap cekaman panas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat hibrid yang tahan pada suhu tinggi Di Indonesia, umumnya jamur tiram putih dibudidayakan menggunakan media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) (SGKS). Pada akhir produksi jamur, media sisa pertumbuhan jamur atau spent mushroom substrates (SMS) biasanya hanya dimanfaatkan untuk media tumbuh cacing dan pakan ternak, padahal SMS masih mengandung bahan organik yang cukup tinggi. Oleh karena itu, tujuan kedua dari penelitian ini adalah pemanfaatan kembali SMS untuk meningkatkan produksi tubuh buah jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat isolat yang digunakan dalam penelitian ini (BNK, AMD, BBR dan CSR), produktivitas isolat BNK dan AMD lebih unggul dibandingkan isolat BBR dan CSR. Bentuk spora isolat BNK adalah elongate, sedangkan ketiga isolat yang lain adalah cylindrical. Dari hasil isolasi spora tunggal didapatkan 9 isolat monokarion dari BNK, 0 isolat monokarion dari AMD, 6 isolat monokarion dari BBR dan 7 isolat monokarion dari CSR. Sebanyak 22 isolat monokarion tersebut diseleksi pada suhu 35 oC sebagai penampisan apakah isolat tersebut tahan terhadap panas. Didapatkan hasil hanya ada 3 isolat monokarion dari BNK (BNK2, BNK7 dan BNK8), 5 isolat monokarion dari BBR (BBR4, BBR5, BBR7, BBR15 dan BBR16) dan 1 isolat monokarion dari CSR (CSR5) yang mampu tumbuh pada suhu tinggi (35 oC). Persilangan hanya dilakukan pada isolat monokarion yang mampu tumbuh pada suhu tinggi (35 oC). Dari hasil persilangan didapatkan 10 isolat hibrid yang mampu tumbuh pada suhu tinggi (35 oC) yaitu isolat dengan kode BB47, BB57, BB157, BB167, BB48, BB58, BB158, BC55, BC155 dan BC165. Pada suhu tinggi (35 oC), isolat hibrid dengan kode BB48 memiliki laju pertumbuhan miselium pada media potato sucrose agar (PSA) paling tinggi atau paling cepat

dibandingkan dengan isolat hibrid yang lain yaitu 0.22 cm/hari. Isolat hibrid BB48 dan kedua induk dari isolat tersebut (BNK dan BBR) kemudian dibudidayakan pada suhu tinggi dan produktivitas diantara ketiganya dibandingkan. Berdasarkan data budi daya isolat hibrid BB48 dan kedua induk (BNK dan BBR) pada suhu tinggi (35 oC) diketahui bahwa produktivitas isolat hibrid BB48 lebih rendah dari produktivitas kedua induknya. Pada penelitian ini juga dilihat perbedaan produktivitas isolat BNK dan BBR pada suhu ruang (27.5-29 oC) dan suhu tinggi (35 oC). Produktivitas isolat BNK yang ditumbuhkan pada suhu ruang lebih baik dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap produktivitas isolat BNK pada 35 o C, sedangkan produktivitas isolat BBR yang ditumbuhkan pada suhu ruang dan suhu 35 oC tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa isolat BBR memiliki kisaran suhu pertumbuhan yang lebih luas dibandingkan isolat BNK. Analisis molekular dilakukan pada isolat hibrid dengan kode BC165 yang merupakan persilangan dari monokarion induk BBR16 dengan CSR5. Hasil analisis molekular menunjukkan bahwa isolat hibrid BC165 memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dengan CSR dari pada BBR. Media Spent Mushroom Substrate (SMS) masih mengandung cukup nutrisi untuk digunakan sebagai media budi daya jamur tiram, yaitu masih mengandung 10.98% lignin dan 42.20% selulosa. Oleh karena itu, SMS dari sisa media budi daya jamur tiram putih isolat BNK setelah 3 kali panen dapat digunakan kembali sebagai media budidaya jamur tiram putih isolat BNK. Penambahan SMS sebanyak 25-75% dari campuran SMS dan serbuk gergajian kayu sengon (SGKS) baru dapat meningkatkan produksi tubuh buah jamur. Kata kunci: jamur tiram putih, media sisa budi daya jamur, persilangan, produktivitas, suhu tinggi

SUMMARY EKA WIJAYANTI. White Oyster Mushroom Breeding and Production Increase Using Spent Mushroom Substrate (SMS). Supervised by LISDAR I SUDIRMAN and DEDY DURYADI SOLIHIN. Oyster mushroom species with white fruit body are among others Pleurotus ostreatus, Pleurotus populinus and Pleurotus pulmonarius which are the most popular ones in Indonesia compared to other species such as yellow oyster mushroom (Pleurotus citrinipileatus), pink oyster mushroom (Pleurotus flabellatus), gray oyster mushroom (Pleurotus sajor-caju) and brown oyster mushroom (Pleurotus cystidiosus). White oyster mushroom brings about numerous benefits, including as anti-tumor, anti-oxidant, and probiotic, in addition to its ability to decrease cholesterols. The growth of white oyster mushroom is highly influenced by temperature where the optimum temperature for which is 25-28 °C during vegetative phase and 21-28 °C during generative phase, depending on the species (P. ostreatus var. florida and other P. ostreatus strains, 14 to 18 oC; P. sajor-caju, 20 to 24 oC; and P. cystidiosus, 26 to 28 oC). Air temperature in eastern Indonesia is relatively higher than other regions. Therefore, to obtain white oyster mushroom resistant to high temperature is by screening white oyster mushroom resistant to temperature stress up to 35 °C or through fusion between two monokaryon myceliums which was resistent to high temperature stress. This study aimed to obtain hybrid isolate resistant to high temperature (35 oC). In Indonesia, white oyster mushrooms are commonly cultivated in Paraserianthes falcataria sawdust (known as SGKS) and after harvesting the spent mushroom substrate (SMS) is only used for worm growth media and livestock feed. SMS, however, still contains high organic matters. Therefore, the second study aimed to re-use SMS to increase mushroom fruit body production. Study result indicates that out of four isolates used (i.e. BNK, AMD, BBR, and CSR) isolate BNK and AMD showed higher productivity than that of BBR and CSR. The spore shape of BNK is elongate while the spore shape of the three others is cylindrical. Single spore isolation process resulted in 9 monokaryon isolates from BNK, 0 from AMD, 6 from BBR, and 7 from CSR; all of which were then screened at temperature 35 °C to determine whether the isolates are resistant to high temperature. The screening indicated that 3 monokaryon isolates from BNK (i.e. BNK2, BNK7, and BNK8), 5 from BBR (i.e. BBR4, BBR5, BBR7, BBR15, and BBR16), and 1 from CSR (i.e. CSR5) are capable of growing at high temperature (35 °C). Only monokaryon isolates capable of growing at high temperature (35 °C) were bred in this study. The result of breeding process indicates that only 10 hybrid isolates capable of growing at high temperature (35 °C), i.e. BB47, BB57, BB157, BB167, BB48, BB58, BB158, BC55, BC155, and BC165. At temperature 35 °C hybrid isolate BB48 showed the highest mycelium growing rate (0.22 cm/ days) in potato sucrose agar (PSA) media. As such, the hybrid isolate BB48 and its parents (BNK and BBR) were then cultivated at high temperature and the productivity of the three was compared.

According to BB48, BNK, and BBR cultivation data, the productivity of hybrid isolate BB48 at high temperature is not higher than its parents’. The present study also observed the difference between the productivity of both BNK and BBR at room temperature (27.5-29 °C) and at high temperature (35 °C). BNK productivity at room temperature was significantly higher (p<0.05) than that of at high temperature, while BBR productivity at room temperature and high temperature was not significantly different (p>0.05); meaning that isolate BBR has wider temperature range to grow than isolate BNK. Hybrid isolate BC165, which was the result of breeding between monokaryon isolate BBR16 and CSR5, was molecularly analyzed. The result of which indicated that BC165 is genetically closer to CSR than BBR. Spent Mushroom Substrate (SMS) still contains enough organic matters as medium for oyster muhsroom cultivation, which was contains 10.98% lignin and 42.20% celullose. Therefore, SMS of BNK white oyster mushroom cultivation after third harvest could be reused as a substrates for BNK oyster mushroom cultivation and the mixed substrates with 25-75% SMS (F2-F4) increasing the fruit body yield of BNK white oyster mushroom. Key words: breeding, high temperature, productivity, spent mushroom substrate (SMS), white oyster mushroom

.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMULIAAN JAMUR TIRAM PUTIH DAN PENINGKATAN PRODUKSI DENGAN MEMANFAATKAN SUBSTRAT SISA BUDI DAYANYA

EKA WIJAYANTI

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains Pada Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai dengan Juli 2016 ini berjudul Pemuliaan Jamur Tiram Putih dan Peningkatan Produksi dengan Memanfaatkan Substrat Sisa Budi Dayanya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Lisdar I Sudirman dan Bapak Dr Ir Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada penguji luar komisi Bapak Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA dan Ketua Program Studi Mikrobiologi Ibu Prof Dr Anja Meryandini, MS atas saran dan nasehatnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai Kepala PPSHB IPB yang telah memberikan fasilitas laboratorium. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Bapak Soenarto dan Ibu Sri Utami) dan adek (Khoriq Agung Santoso) atas doa, pengorbanan, keikhlasan, nasehat dan kasih sayangnya. Selain itu juga, ucapan terima kasih disampaikan kepada Pak Iwa, Pak Engkus, Pak Kusnadi, Pak Pras yang telah membantu selama penelitian; teman-teman satu bimbingan (Mbk Heny, Pak Heri, Septi, Mbak Nita, Mbak Lilis, Mbak Gina, dan ibu Ani) sebagai tempat bertanya dan berdiskusi; teman-teman Mikrobiologi 2012 (Genap dan Ganjil) atas kebersamaannya; teman-teman kos WISMA SEROJA; teman-teman alumni UNY di IPB; teman-teman HIMAWIPA; dan buat semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

Eka Wijayanti

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian

1 1 2 2

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Isolat Seleksi Isolat Jamur Tiram Putih Tahan Suhu Tinggi Analisis Molekular Isolat Monokarion, Dikarion dan Hasil Persilangan Pemanfaatan Substrat Sisa atau Spent Mushroom Substrat (SMS) Analisis Data Alur Penelitian

2 2 3 3 5 6 7 8

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram Putih Isolat BNK, AMD, BBR dan CSR pada Suhu Ruang Ukuran dan Bentuk Spora Isolasi Spora Tunggal Karakterisasi Pertumbuhan Miselium Isolat Dikarion dan Monokarion Persilangan (Mating) Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram Putih Isolat Hibrid (BB48) dan Isolat Induk (BNK dan BBR) pada Suhu Tinggi (35 oC) Analisis Molekular Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram Putih Isolat BNK Menggunakan Media Spent Mushroom Substrat pada Suhu Ruang

9 9 14 15 16 17 20 23 26

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran

30 30 31

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Isolat jamur tiram putih yang digunakan dalam penelitian Formula lima media yang digunakan dalam budi daya isolat BNK (% berat kering) Karakteristik pertumbuhan miselium jamur tiram putih isolat dikarion dan monokarionnya pada media PSA Persilangan antara isolat monokarion BNK dan BBR Persilangan antara isolat monokarion BNK dan CSR Persilangan antara isolat monokarion BBR dan CSR Karakteristik pertumbuhan miselium jamur tiram putih isolat dikarion hasil persilangan (hibrid) pada media PSA Jarak genetik p-distance antara keenam isolat jamur tiram putih Kandungan lignin dan selulosa pada SGKS dan SMS

3 7 16 17 18 18 19 25 27

DAFTAR GAMBAR 1 Alur penelitian 2 Bobot basah tubuh buah (BB) dan efisiensi biologi (EB) jamur tiram putih isolat induk (BNK, AMD, BBR dan CSR) pada suhu ruang 3 Fase pertumbuhan jamur tiram putih isolat induk (BNK, AMD, BBR dan CSR) pada suhu ruang 4 Laju produktivitas (LP) jamur tiram putih isolat induk (BNK, AMD, BBR dan CSR) pada suhu ruang 5 Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) jamur tiram putih isolat induk (BNK, AMD, BBR dan CSR) pada suhu ruang 6 Panjang (P), lebar (L) dan rasio P/L spora jamur tiram putih isolat induk (BNK, AMD, BBR dan CSR) 7 Spora jamur tiram putih (a) isolat BNK, (b) isolat AMD, (c) isolat BBR dan (d) ioslat CSR 8 Morfologi koloni miselium jamur tiram putih 9 Bobot basah tubuh buah (BB) dan efisiensi biologi (EB) jamur tiram putih isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu 35 oC 10 Fase pertumbuhan jamur tiram isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu 35 oC 11 Laju produktivitas (LP) jamur tiram putih isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu 35 oC 12 Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) jamur tiram putih isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu 35 oC 13 Hasil elektroforesis ekstrak DNA jamur tiram putih isolat BBR, CSR, BBR15, BBR16 dan CSR5

8 10 11 12 13 14 15 19

20 21 22

23 24

14 Hasil amplifikasi DNA jamur tiram putih isolat BBR, CSR, BBR15, BBR16 dan CSR5 dengan metode PCR menggunakan primer LR12R dan 5SRNA 15 Pohon kekerabatan jamur tiram putih isolat BBR, CSR, BBR15, BBR16 dan CSR5 16 Bobot basah tubuh buah (BB) dan efisiensi biologi (EB) jamur tiram putih isolat BNK pada 5 kombinasi media 17 Fase pertumbuhan jamur tiram putih isolat BNK pada 5 kombinasi media 18 Laju produktivitas (LP) jamur tiram putih isolat BNK pada 5 kombinasi media 19 Jumlah tudung (JT) dan diameter tudung (DT) jamur tiram putih isolat BNK pada 5 kombinasi media

24 26 27 28 29 30

DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi media pertumbuhan jamur 2 Hasil uji statistik parameter pengamatan pada produksi tubuh buah jamur tiram putih isolat BNK, AMD, BBR dan CSR pada suhu ruang 3 Terminologi kriteria bentuk spora berdasarkan ukuran rasio P/L spora 4 Hasil uji statistik panjang (P), lebar (L) dan rasio P/L spora jamur tiram putih isolat BNK, AMD, BBR dan CSR pada suhu ruang 5 Karakteristik morfologi miselium 6 Hasil uji statistik parameter pengamatan pada produksi tubuh buah jamur tiram putih isolat hibrid BB48 dan isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu 35 oC 7 Data suhu fase reproduktif isolat hibrid (Perlakuan 35 oC) 8 Pengeditan sekuen nukleotida menggunakan software MEGA 4.00 9 Urutan sekuen nukleotida isolat jamur tiram putih hasil editing 10 Hasil uji statistik parameter pengamatan pada produksi tubuh buah jamur tiram putih isolat BNK dengan menggunakan 5 formulasi media pada suhu ruang

37 38 42 43 45

46 50 52 55

58

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Jamur tiram putih adalah jamur pelapuk kayu yang merupakan jamur pangan dan telah umum dibudidayakan di banyak negara (Chang & Miles 2004). Beberapa tubuh buah jamur tiram memiliki warna putih diantaranya Pleurotus ostreatus dengan kisaran warna putih sampai abu-abu, Pleurotus populinus warna putih sampai kemerah-merahan dan Pleurotus pulmonarius memiliki warna putih pucat (MAMI 2016). Produksi jamur tiram putih menempati urutan ketiga setelah jamur kancing putih dan shiitake (Gyorfi & Hadju 2007). Selain sebagai jamur pangan, jamur tiram putih berkhasiat sebagai anti t umor, antioksidan, probiotik (Synytsya et al. 2009) dan dapat men,lurunkan kolesterol (Chang & Miles 2004). Jamur tiram putih juga mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan, tidak mudah terserang penyakit serta biaya produksinya rendah (Bonatti 2004; Synytsya et al. 2009). Di Indonesia sendiri, jamur tiram putih merupakan jamur yang paling banyak dibudidayakan, sedangkan spesies lain seperti Pleurotus citrinipileatus (tiram kuning), Pleurotus flabellatus (tiram merah muda), Pleurotus sajor-caju (tiram abu-abu), dan Pleurotus cystidiosus (tiram cokelat) kurang populer. Jamur tiram putih merupakan organisme yang kemampuan hidupnya bergantung pada faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap daya tumbuhnya adalah suhu. Umumnya jamur tiram putih tumbuh baik pada kisaran suhu 25-28 oC untuk fase vegetatif dan untuk fase generatif berkisar antara 10-28 oC, tergantung pada spesiesnya (P. ostreatus var. Florida dan strain P.ostreatus yang lain adalah 14-18 oC; P.sajor-caju adalah 2024 oC sedangkan P.cystidiosus adalah 26-28 oC (Chang & Miles 2004). Akan tetapi suhu udara di Indonesia timur relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mendapatkan jamur tiram putih yang mampu tumbuh optimal pada suhu tinggi adalah dengan cara persilangan. Persilangan jamur pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, termasuk fusi antara miselium monokarion, fusi protoplasma dan transformasi rekayasa genetika. Persilangan dengan cara fusi antara dua miselium monokarion merupakan cara yang tepat dalam pemuliaan jamur pangan secara komersial karena praktis dan terjangkau dari segi ekonomi. Kim et al. (2011) menyatakan bahwa persilangan jamur pangan untuk mendapatkan kultivar baru dalam skala besar dilakukan dengan cara fusi antara miselium monokarion. Hasil penelitian Gaitan-Hernandez & Salmones (2008) juga telah didapatkan varietas Pleurotus ostreatus yang dapat dibudidayakan pada suhu hangat (27 oC) dengan cara fusi antara miselium monokarion. Budi daya jamur tiram putih merupakan salah satu usaha pertanian yang banyak diminati masyarakat di Indonesia. Jamur tiram putih biasanya dibudidayakan pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) (SGKS). Pada akhir produksi jamur, media sisa pertumbuhan jamur yang dinamakan substrat sisa jamur atau spent mushroom substrates (SMS) biasanya dibuang ataupun dimanfaatkan untuk media budi daya cacing, makanan ternak dan pupuk organik. Medina et al. (2012) menyatakan bahwa SMS

2 merupakan produk sampingan dari budi daya jamur yang masih mengandung bahan material organik yang tinggi meliputi C organik total, N total, NH4+, NO3-, P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Cu, Mn dan Zn. Selain bahan organik, SMS juga mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin (Fujihira et al. 1995; Cheung 1997). Budi daya jamur tiram merupakan salah satu cara untuk mengolah limbah lignoselulosa yang ada dilingkungan (Sanchez 2010). Akhir-akhir ini sudah banyak penelitian mengenai pemanfaatan SMS untuk budi daya jamur, diantaranya: limbah sisa budi daya Agaricus dimanfaatkan untuk budi daya Lentinula sp (Kilpatrick et al. 2000) dan Volvariella sp. (Poppe 2000); limbah sisa budi daya Hypsizigus marmoreus dimanfaatkan untuk budi daya Pleurotus ostreatus (Wang et al. 2015) serta limbah sisa budi daya Lentinus edodes dimanfaatkan untuk budi daya Pleurotus sp. (Rinker 2002).

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat hibrid yang tahan pada suhu tinggi (35 oC) dan pemanfaatan kembali substrat sisa jamur atau spent mushroom substrates (SMS) untuk meningkatkan produksi tubuh buah jamur.

Manfaat Penelitian Pada penelitian ini diharapkan menghasilkan isolat jamur tiram putih yang dapat tumbuh optimal pada suhu tinggi (35 oC) sehingga dapat dibudidayakan secara luas di daerah-daerah lain di Indonesia. Selain itu juga, meningkatkan produksi tubuh buah jamur dengan memanfaatkan substrat sisa jamur atau spent mushroom substrates (SMS).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai dengan Juli 2016 di Laboratorium Genetika Jamur dan Bioprospek serta Labolatorium Biologi dan Molekular, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB; Rumah jamur Departemen Biologi FMIPA IPB; serta Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Bagian Teknologi dan Industri Pakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, FAPET IPB.

3 Isolat Isolat jamur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur tiram putih isolat BNK, AMD, BBR dan CSR yang merupakan koleksi Laboratorium Genetika Jamur dan Bioprospek, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB (Tabel 1). Masing-masing isolat merupakan hasil kultur jaringan dari tubuh buah jamur. Tabel 1 Isolat jamur tiram putih yang digunakan dalam penelitian Kode Nama Sumber BNK Supermarket, Bangkok, Thailand AMD Petani, Bagian Mikologi Biologi IPB BBR Petani Bibrik, Madiun CSR Petani, Cisarua, Sukabumi

Seleksi Isolat Jamur Tiram Putih Tahan Suhu Tinggi Peremajaan Isolat Jamur Empat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) diremajakan pada media potato sucrose agar (PSA) (Lampiran 1) di dalam cawan petri (diameter 9 cm), kemudian diinkubasi pada suhu ruang (27.5-29 oC) selama 7 hari. Pembuatan Bibit Jamur Bibit jamur masing-masing isolat dibuat dengan menggunakan biji jagung. Sebanyak 1 kg biji jagung direbus dengan 450 mL akuades hingga setengah keras, selanjutnya 185 g biji jagung setengah keras dimasukan dalam botol kaca dan disterilisasi menggunakan autoklaf (suhu 121 oC, tekanan 1.5 bar) selama 20 menit. Biji jagung yang telah steril diinokulasi dengan isolat setiap jamur hasil peremajaan, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang ( 27.5-29 oC) hingga seluruh media jagung dipenuhi miselium jamur. Budi Daya Jamur Tiram Putih Isolat BNK, AMD, BBR dan CSR Empat isolat jamur tiram putih dibudidayakan pada media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS) yang ditambah dengan 15% dedak padi, 1.5% gipsum dan 1.5% kapur (CaCO3), kemudian dicampur dengan air sumur hingga kadar airnya mencapai sekitar 70-75% (Sudirman et al. 2011). Sebanyak 500 g media dimasukkan ke dalam plastik polietilena (30 x 20 cm), kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf (suhu 121 oC, tekanan 1.5 bar) selama 30 menit. Setiap isolat masing-masing dibuat 10 ulangan. Media yang telah steril diinokulasi dengan bibit jamur setiap isolat sebanyak 2 sendok teh per kantong secara aseptik. Kantong plastik berisi bibit jamur diinkubasi pada suhu ruang (27.5-29 oC) dalam kondisi gelap. Parameter yang diamati dan nilai yang dihitung adalah bobot basah tubuh buah (BB), efisiensi biologi (EB), fase vegetatif (FV) atau masa pertumbuhan, fase generatif (FG) atau masa perkembangan, masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP), laju produktivitas (LP), jumlah tudung jamur (JT) dan

4 diameter tudung jamur (DT). FV dihitung sejak awal inokulasi bibit jamur sampai miselium memenuhi seluruh permukaan media sampai kantung dibuka, sedangkan FG dihitung pada saat kantong plastik dibuka (akhir FV) sampai akhir panen yang ditandai dengan tidak munculnya kembali tubuh buah jamur dan susutnya kantong media. MPP adalah total dari FV dan FG. LP dihitung berdasarkan rataan total BB dibagi MPP (Sudirman LI 2014, komunikasi pribadi). EB = (bobot basah tubuh buah/bobot basah media x 100%) x 4 (Stamets 1993). Isolasi Spora Tunggal Spora diperoleh dengan cara membuat jejak spora yang berasal dari bagian tudung jamur (pileus) dari masing-masing keempat isolat jamur tiram putih yang digunakan. Tudung jamur dipotong dari tangkainya, kemudian diletakkan dengan posisi telungkup di atas kertas karton warna hitam dan dibiarkan selama semalam hingga terbentuk jejak spora. Jejak spora yang terbentuk selanjutnya diambil sebanyak 1 ose dan diencerkan menggunakan akuades steril hingga pengenceran 10-6.Masing-masing sebanyak 1 mL suspensi spora dari pengenceran 10-5 dan 10-6 dituang ke dalam cawan petri steril (diameter 9 cm), kemudian ditambah 20 mL media potato sucrose agar (PSA) dan diputar hingga suspensi menyebar rata. Masing-masing pengenceran dari masing-masing isolat dibuat 3 kali ulangan. Campuran suspensi dan media diinkubasi pada suhu ruang (27.5 oC–29 oC) hingga tumbuh koloni miselium. Koloni miselium yang tumbuh terpisah dari setiap cawan petri dipindahkan ke dalam media PSA steril. Tiap koloni yang tumbuh terpisah diindikasikan berasal dari satu spora. Untuk memastikan koloni yang tumbuh adalah monokarion dilakukan pengamatan secara mikroskopis. Miselium monokarion ditandai dengan tidak adanya sambungan apit (clamp connections) (Choi et al. 1999). Pada tahap ini juga dilakukan pengukuran spora (panjang dan lebar) pada masing-masing isolat. Setiap isolat masing-masing diamati sebanyak 30 spora sebagai ulangan. Sebanyak 1 tetes akuades steril diteteskan di atas gelas objek, kemudian ditambah dengan 1 ose spora yang berasal dari jejek spora dan dicampur. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Karakterisasi Pertumbuhan Miselium Isolat Dikarion dan Monokarionnya Karakterisasi pertumbuhan miselium jamur tiram putih keempat isolat dikarion (BNK, AMD, BBR dan CSR) dan isolat monokarionya hasil isolasi dari spora tunggal dilakukan berdasarkan morfologi koloni miselium (Lampiran 5) dan laju pertumbuhan miselium (LPM). LPM diukur pada suhu ruang (27.5 oC–29 oC) dan suhu tinggi (35 oC). Masing-masing isolat dikarion hasil peremajaan pada media potato sucrose agar (PSA) dan isolat monokarion hasil isolasi dari spora tunggal dipotong dengan menggunakan cored borer diameter 10 mm. Setiap potongan diinokulasikan pada bagian tengah cawan petri diameter 9 cm yang berisi media PSA steril dan diinkubasi pada suhu perlakuan. Pertumbuhan koloni diamati setiap hari dan diukur diameter pertumbuhannya sampai koloni memenuhi cawan petri. Setiap perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

5 Persilangan (Mating) Persilangan menggunakan isolat monokarion hasil isolasi dari spora tunggal yang mampu tumbuh pada suhu 35 oC. Persilangan dilakukan dengan cara meletakan dua potongan isolat monokarion berbeda masing-masing berdiemeter 10 mm dan dipasangkan dengan jarak 1 cm pada media potato sucrose agar (PSA) di dalam cawan petri. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (27.5 oC–29 o C) hingga terbentuk zona pertemuan. Pada bagian zona pertemuan selanjutnya dipotong dan dipindahkan ke dalam media PSA steril dan diinkubasi pada suhu ruang. Isolat hibrid hasil persilangan ditandai dengan adanya stuktur sambungan apit (clamp connections). Sambungan apit dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Isolat hibrid hasil persilangan selanjutnya dikarakterisasi pada suhu ruang (27.5 oC–29 oC) dan suhu 35 oC. Dipilih satu isolat hibrid dengan laju pertumbuhan miselium (LPM) terbaik pada suhu 35 oC. Selanjutnya isolat hibrid tersebut dan isolat induk dari isolat hibrid tersebut dibudidayakan pada suhu 35 oC dan dianalisis secara molekuler.

Analisis Molekular Isolat Monokarion, Dikarion dan Hasil Persilangan Perbanyakan Koloni Kultur yang sudah berumur 7 hari pada media potato sucrose agar (PSA) dipotong dengan menggunakan cored borer steril diameter 10 mm. Sebanyak 1 potong inokulum isolat sampel diameter 10 mm diinokulasikan pada permukaan 100 mL media potato sucrose broth (PSB) (Lampiran 1) di dalam botol selai 500 mL dan diinkubasi pada suhu ruang selama 9 hari. Bila miselium sudah memenuhi permukaan medium maka miselium siap dipanen dan dipisahkan dari medium cair. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dari miselium jamur dengan menggunakan kit (Qiagen 2003). Sebanyak 25 mg miselium jamur dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang sudah berisi 200 µl ATL buffer dan digerus hingga homogen. Selanjutnya ditambah dengan 20 µl proteinase K, kemudian dihomogenkan dengan rotary stator dan vortek. Sampel diinkubasi pada suhu 56 oC selama 1 jam dengan tujuan jaringan lisis sempurna, dikocok dengan vortek, ditambah dengan 200 µL AL buffer, kemudian disentrifugasi sekejap dan dikocok dengan vortek. Sampel diinkubasi pada suhu 56 oC selama 10 menit, disentrifugasi 2000 rpm selama 1 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambah dengan 200 µl etanol absolut, dikocok dengan vortek dan disentrifugasi sekejap lalu disimpan di dalam freezer selama satu malam. Supernatan dikocok dengan menggunakan tangan hingga homogen, kemudian supernatan dipindahkan ke dalam spin kolom baru, disentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit, kemudian larutan dibuang ke penampung. Sebanyak 500 µl larutan AW1 ditambahkan, kemudian disentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit lalu larutan dibuang ke penampung. Sebanyak 500 µl larutan AW2 ditambahkan, disentrifuge 8000 rpm selama 3 menit lalu larutan dibuang ke penampung, kemudian disentrifuge kembali 8000 rpm selama 1 menit. Spin kolom didiamkan selama 15-30 menit untuk mengeringkan etanol. Spin kolom dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf 1.5 mL yang baru dan

6 ditambahkan 50 µL larutan AE kemudian didiamkan selama 10-15 menit, disentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit. Tabung diganti dengan yang baru untuk elusi kedua, selanjutnya disentrifugasi 13000 rpm selama 1 menit. Sampel ekstrak DNA kemudian disimpan di dalam freezer. Ekstrak DNA yang dihasilkan diuji kemurnian dan kualitasnya dengan menggunakan 1.2% gel agarose elektroforesis (Sambrook et al. 1989). Sebanyak 1.2 gram gel agarose dimasukkan ke dalam larutan penyangga 1x TBE (Tris Boric EDTA) dan didihkan. Tambahkan 2.5 μl EtBr kemudian diaduk dengan menggunakan magnet (spin) dan dipanaskan. Gel dituang ke dalam cetakan, biarkan hingga memadat. Sebanyak 1 tetes loading dye diteteskan di atas kertas parafilm, kemudian ditambah dengan 2 μl sampel DNA dan dicampur. Campuran larutan loading dye dan DNA kemudian dimasukkan ke dalam sumur. Elektroforesis dilakukan selama 30 menit dengan tegangan 80 Volt. Hasil elektroforesis selanjutnya diamati dan difoto di bawah sinar UV GelDoc dengan program Quantity One (Biorad). Amplifikasi PCR dan Sekuensing Reaksi amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan konsentrasi DNA 100 ng/µL. Amplifikasi di daerah Intergenic Spacer (IGS) dilakukan dengan membuat campuran PCR sebanyak 50 µL menggunakan bahan BioRapid MixPCR dari Bio SM yang terdiri atas: 2 µL ekstrak DNA, 19 µL ddH2O, 25 µL Rapid Mix, 2 µL 10 pmol primer LR12R (forward) (5’CTGAACGCCTCTAAGTCAGAA-3’) dan 2 µL 10 pmol primer 5SRNA (reverse) (5’-ATCAGACGGGATGCGGT-3’). Amplifikasi DNA genom menggunakan mesin sistem BIOMETRA PCR dengan tahapan sebagai berikut: tahap pertama pre-denaturasi pada temperatur 94 o C selama 5 menit; tahap kedua pemisahan utas DNA genom (denaturasi) pada temperatur 94 oC selama 45 detik, penempelan primer (anneling) pada temperatur 52 oC selama 45 detik dan elongasi pada temperatur 72 oC selama 45 detik, tahap ini berlangsung selama 35 kali siklus; selanjutnya tahap ketiga ekstensi pada temperatur 72 oC selama 5 menit; dan tahap terakhir cooling pada temperatur 4 oC selama 7 menit. Produk PCR dideteksi dengan cara dimigrasikan pada gel agarose 1.2% (Sambrook et al. 1989) dengan voltase 100 Volt selama 60 menit di dalam larutan penyangga 1x TBE (Tris Boric EDTA). Hasil elektroforesis selanjutnya diamati dan difoto di bawah sinar UV GelDoc dengan program Quantity One (Biorad). Produk hasil PCR selanjutnya disekuensing pada alat penentuan runutan DNA otomatis ABI Prism versi 3.4.1 (USA) di perusahaan jasa sekuensing 1stBASE Singapura melalui jasa sekuensing PT.Genetika Science, Jakarta.

Pemanfaatan Substrat Sisa Jamur atau Spent Mushroom Substrat (SMS) Persiapan dan Karakterisasi SMS Substrat sisa jamur atau spent mushroom substrates (SMS) didapatkan dari media budi daya jamur tiram putih isolat BNK yang ditanam pada 500 g media dengan komposisi yang terdiri dari 82% sebuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) (SGKS), 15% dedak, 1.5% gipsum dan 1.5% kapur

7 (CaCO3) yang telah menghasilkan panen 3 kali dengan panen akhir sekitar 3% (Sudirman et al. 2011). Kandungan lignin dan selulosa dari SMS dianalisis menggunakan metode yang didiskripsikan oleh Van-Soest et al. (1991). Budi Daya Menggunakan SMS Jamur tiram putih isolat BNK dibudidayakan pada media tunggal dan campuran antara spent mushroom substrates (SMS) dengan serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) (SGKS) dengan 5 formula yang berbeda. Pembuatan media budi daya dilakukan berdasarkan Sudirman et al. (2011). Setiap formula ditambah dengan 15% dedak, 1.5% gipsum dan 1.5% kapur (CaCO3) (Tabel 2), kemudian diberi air leding hingga kadar air mencapai 70-75%. Sebanyak 500 g media dimasukkan ke dalam plastik polietilen (30 x 20 cm). kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf (suhu 121 oC, tekanan 1.5 bar) selama 30 menit. Setiap formula dibuat 9 ulangan sehingga total keseluruhan berjumlah 45 kantong media. Media yang telah steril diinokulasi dengan bibit jamur putih isolat BNK sebanyak 2 sendok teh per kantong secara aseptik. Kantong plastik berisi bibit jamur diinkubasi pada suhu ruang (27.5 - 29 oC) dalam kondisi gelap. Parameter yang diamati dan nilai yang dihitung adalah bobot basah tubuh buah (BB), efisiensi biologi (EB), fase vegetatif (FV), fase generatif (FG), masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP), laju produktivitas (LP), jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT). Tabel 2 Formula lima media yang digunakan dalam budi daya isolat BNK (% berat kering) Formula Bahan F1 F2 F3 F4 F5 SMS 0 25 50 75 100 SGKS 100 75 50 25 0 Dedak 15 15 15 15 15 Gipsum 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 CaCO3 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 SMS: spent mushroom substrates dari sisa budi daya jamur tiram putih isolat BNK setelah 3 kali panen, SGKS: serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria), F1-F5: Formula 1-5.

Analisis Data Budi Daya dan Laju Pertumbuhan Miselium Data parameter budi daya ditampilkan sebagai rataan ± standard error mean (SEM). Data dianalisis menggunakan analyses of variance (ANOVA). Beda nyata antar perlakuan diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%. Alat analisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS Statistics 20. Molekuler Sekuen nukleotida data dari sekuensing masing-masing sampel di alignment dengan menggunakan program MEGA 4 (Molecular Evolutionary Genetics

8 Analysis versi 4) (Tamura et al. 2011). Konstruksi pohon filogenetik dilakukan berdasarkan metode Neighbor joining. Konsistensi pohon filogenetik diuji dengan melakukan uji Bootstrap dengan 1000 ulangan.

Alur Penelitian Prosedur penelitian diringkas dalam sebuah bagan penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut: KARAKTERISASI ISOLAT INDUK: (BNK, AMD, BBR & CSR)  Kultur induk  Laju pertumbuhan miselium (suhu ruang & suhu 35 oC)  Morfologi miselium (suhu ruang)  Produktivitas (Budi daya suhu ruang)  Ukuran & bentuk spora

Produksi Spent Mushroom Substrate (SMS) dari isolat BNK (Budi daya suhu ruang) 5 FORMULASI: SMS + Serbuk Gergajian Kayu Sengon (SGKS)

SPORA ISOLAT MONOKARION: MATING (Monokarion tahan suhu 35 oC)

Budi Daya Isolat BNK (suhu ruang) FORMULASI TERBAIK

(b)

Dikarakterisasi pada:  Suhu ruang  Suhu 35 oC Parameter yang diamati:  Morfologi pertumbuhan miselium  Laju pertumbuhan miselium  Struktur miselium

    

ISOLAT HIBRID Morfologi koloni (suhu ruang) Laju pertumbuhan miselium (suhu ruang & suhu 35 oC) Struktur miselium Produktivitas (Budi Daya suhu 35 oC) Molekular

(a) Gambar 1 Alur Penelitian. (a) Mendapatkan isolat hibrid tahan suhu tinggi (35 o C), (b) Pemanfaatan Spent Mushroom Substrates (SMS) untuk meningkatkan produksi tubuh buah jamur.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini digunakan empat isolat jamur tiram putih sebagai indukan yaitu isolat BNK, AMD, BBR dan CSR. Pemilihan keempat isolat tersebut berdasarkan penelitian Ulfa (2010) yang menyatakan bahwa isolat BNK memiliki jumlah tubuh buah jamur banyak, AMD memiliki masa pertumbuhan dan perkembangan pendek, BBR memiliki bobot basah tubuh buah jamur besar dan CSR memiliki diameter tudung lebar. Selain itu juga didasarkan pada penelitian Jusuf (2010) yang menyatakan bahwa isolat BNK dan AMD dapat digunakan sebagai sumber genetik untuk meningkatkan keragaman jamur tiram putih. Budi daya jamur (produksi tubuh buah) selain bertujuan untuk mendapatkan isolat monokarion yang nantinya akan digunakan untuk pemuliaan, juga untuk mengetahui karakter fisiologi masing-masing isolat yang akan digunakan untuk pemuliaan (Sulistiany 2015). Produksi tubuh buah jamur dikatakan baik jika nilai bobot basah (BB), efisiensi biologi (EB), laju produktivitas (LP) tinggi sedangkan fase vegetatif (FV), fase generatif (FG) serta masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP) singkat. Keberhasilan dalam budi daya jamur sangat ditentukan oleh keragaman genetik isolat yang digunakan, kualitas biakan murni, kualitas bibit yang digunakan, proses sterilisasi, prinsip aseptik dalam proses budi daya serta faktor lingkungan (Chang & Miles 1982; Sulistiany 2015). Selain itu juga jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan sangat mempengaruhi produksi tubuh buah jamur tiram. Bahan baku yang umum digunakan untuk budi daya jamur tiram adalah serbuk gergajian kayu (Melo 2010), sedangkan di Indonesia serbuk gergajian kayu yang umum digunakan adalah serbuk gergajian kayu sengon segar (Paraserianthes falcataria) (SGKS) (Gunawan 2000).

Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram Putih Isolat BNK, AMD, BBR dan CSR pada Suhu Ruang (27.5-29 oC) Data parameter budi daya didapatkan berdasarkan data rataan dari 10 ulangan (baglog). Bobot basah (BB) keempat isolat tersebut berkisar antara 87.31125.71 g per kantong dengan efisiensi biologi (EB) berkisar antara 69.85%100.56% (Gambar 2). Nilai BB pada isolat BNK (125.71 g per kantong) lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap nilai BB isolat BBR (96.25 g per kantong) dan CSR (87.32 g per kantong), akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap nilai BB isolat AMD (119.7 g per kantong). Hasil yang sama diperlihatkan oleh efisiensi biologi (EB). EB tertinggi ditunjukkan oleh isolat BNK (100.56%) dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap EB isolat BBR (76.99%) dan CSR (69.85%), akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan EB isolat AMD (95.76%).

10

Bobot basah (g)

120

a

120 a

a a

b b

100

100 b

b

80

80 60 60 40

40

20

20

0

0 BNK

AMD

BBR

Efisiensi biologi (%)

140

BB EB

CSR

Gambar 2 Bobot basah tubuh buah (BB) dan efisiensi biologi (EB) empat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Berdasarkan data budi daya menunjukkan bahwa keempat isolat jamur tiram putih yang digunakan dalam penelitian ini mampu tumbuh baik pada media SGKS. Menurut Nurhayati (1988), kayu sengon memiliki kadar selulosa 48.33%, lignin 27.28%, pentosan 16.34%, dengan nisbah C/N 53.17/0.25. Media SGKS ditambah dengan nutrisi diantaranya dedak, kapur (CaCO 3) serta gipsum (CaSO4). Komposisi kimia dedak padi terdiri dari 9.7% kadar air, 13.3% kadar protein, 15.9% kadar lemak, 10.4% kadar abu, 39% karbohidrat dan 11.8% serat kasar (Houston & Kohler 1970). Kapur dan gipsum yang berupa mineral kalsium berfungsi untuk memperbaiki pH, struktur atau permeabilitas media produksi (Herliyana 2007). Isolat BNK dan AMD memiliki nilai BB dan EB lebih tinggi dibandingkan dengan isolat BBR dan AMD. Menurut Fernandes et al. (2015) nilai EB merupakan parameter yang umum digunakan untuk mengevaluasi budi daya jamur, dan produksi jamur dikatakan baik apabila nilai EB lebih dari atau sama dengan 70%. Berdasarkan Madan et al. (1987) nilai EB tinggi menunjukkan bahwa jamur mampu memanfaatkan media produksinya dengan baik. Isolat BNK, AMD dan BBR memiliki nilai EB diatas 70% sedangkan isolat CSR memiliki nilai EB dibawah 70%, dapat dikatakan bahwa isolat CSR kurang mampu memanfaatkan media SGKS dengan baik. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa faktor isolat berpengaruh terhadap BB dan EB dari hasil panen jamur. Hasil penelitian ini sama seperti yang dilaporkan Peng et al. (2000) mengenai perbedaan nilai EB dengan menggunakan media yang sama pada strain P.eryngii yang berbeda. Herliyana (2007) juga melaporkan bahwa pada media yang sama kelompok Pleurotus mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan nutrisi yang tersedia. Perbedaan kemampuan keempat isolat dalam memanfaatkan media SGKS mungkin disebabkan oleh genotip dari masing-masing strain. Hal ini didukung oleh penelitian Moonmoon et al. (2010) yang melaporkan bahwa

11 perbedaan pertumbuhan dan produksi dari Pleurotus eryngii mungkin disebabkan genotip dari strain tersebut. Selain faktor-faktor di atas, suhu dan kelembaban juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan tubuh buah jamur. Suhu optimal untuk pembentukan tubuh buah jamur tiram berkisar antara 10-28 oC tergantung pada jenis spesiesnya, suhu optimal untuk pembentukan tubuh buah P. ostreatus var. Florida dan strain P.ostreatus yang lain adalah 14-18 oC; P.sajor-caju adalah 20-24 oC sedangkan P.cystidiosus adalah 26-28 oC. Kelembaban optimal untuk pembentukan tubuh buah jamur adalah 90-100% (Chang & Miles 2004). Suhu dan kelembaban dapat diatur dengan cara penyemprotan air pada media tanam. Fase vegetatif (FV) atau masa pertumbuhan, fase generatif (FG) atau masa perkembangan, serta masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP) pada keempat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) masing-masing berkisar antara 14.8-16.7 hari. 45.5-62.7 hari dan 60.3-79.4 hari (Gambar 3). 90

80 70 Fase (hari)

b

b a

b

60

b

b

b

a

50

FV

40

FG

30

MPP

20

a

a

a

a

10 0 BNK

AMD

BBR

CSR

Gambar 3 Fase pertumbuhan empat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). FV: fase vegetatif (masa pertumbuhan), FG: fase generatif (masa perkembangan), MPP: masa pertumbuhan dan perkembangan. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Fase vegetatif (FV) keempat isolat jamur tiram putih tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan FV tercepat ditunjukkan oleh isolat AMD (14.8 hari) dan FV terlama ditunjukkan oleh isolat BBR (16.7 hari). FG isolat AMD lebih pendek dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap FG dari ketiga isolat yang lain dengan nilai 45.5 hari. sedangkan FG pada isolat BNK, BBR dan CSR secara berturut-turut adalah 59.2 hari, 62.7 hari dan 57.1 hari. Pola MPP pada keempat isolat sama dengan pola dari FG. MPP isolat AMD lebih cepat dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap MPP dari ketiga isolat yang lain dengan nilai 60.3 hari, sedangkan MPP pada

12 isolat BNK, BBR dan CSR secara berturut-turut adalah 74.2 hari, 79.4 hari dan 73.7 hari. Fase vegetatif (FV) dihitung dari awal inokulasi bibit hingga seluruh permukaan media terpenuhi oleh miselium jamur yang berwarna putih. Dari hasil penelitian terlihat bahwa faktor isolat tidak berpengaruh nyata terhadap lama FV jamur. Perbedaan lama FV dipengaruhi oleh jenis sumber karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh substrat (Herliyana 2007). Hasil ini juga didukung oleh pendapat Higley & Dashek (1998) yang menyatakan bahwa sebagian besar jamur pelapuk putih menggunakan selulosa dan hemiselulosa dalam media pertumbuhannya mendekati kecepatan yang relatif sama. Fase generatif (FG) dihitung dari mulai berakhirnya FV dengan dibukanya kantong plastik (baglog) hingga tidak terbentuk tubuh buah lagi dan susutnya baglog. Dari hasil penelitian terlihat bahwa faktor isolat berpengaruh nyata terhadap lama FG dan MPP jamur. Lama FG dan MPP jamur selain dipengaruhi oleh sumber karbon dan nitrogen dalam media pertumbuhannya juga dipengaruhi oleh kemampuan genetik masing-masing isolat jamur dalam hal menghasilkan enzim untuk memecah struktur senyawa karbon dan nitrogen (Herliyana 2007). Laju produktivitas (LP) keempat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) berkisar antara 1.18-1.99 g/hari. LP isolat AMD (1.99 g/hari) lebih besar produktivitasnya dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap LP isolat BBR (1.21 g/hari) dan CSR (1.18 g/hari), akan tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) LP isolat BNK (1.69 g/hari) (Gambar 4).

Laju produktivitas (g/ hari)

2,5 2

b b

1,5

a

a LP

1 0,5 0 BNK

AMD

BBR

CSR

Gambar 4 Laju produktivitas (LP) empat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Laju produktivitas (LP) dihitung berdasarkan total BB dibagi dengan MPP. Nilai LP tinggi jika nilai BB besar sedangkan MPP pendek. Dari Gambar 4

13 terlihat bahwa LP keempat isolat pada media yang sama berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor isolat berpengaruh terhadap LP jamur. Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) keempat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) masing-masing berkisar antara 12.8-26 buah dan 4.67-6.48 cm (Gambar 5). 8 b Jumlah tudung (buah)

10 ab 8

b

b

6

a a

ab

7

5

6

4 a

3

4

2 2

Diameter tudung (cm)

12

JT

DT

1

0

0 BNK

AMD

BBR

CSR

Gambar 5 Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) empat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Jumlah tudung terbanyak ditunjukkan oleh isolat AMD (26 buah) dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap JT isolat CSR (12.8 buah) akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap JT isolat BNK (19.5 buah) dan BBR (25.8 buah). DT terlebar ditunjukkan oleh isolat CSR (6.48 cm) dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap DT isolat AMD (5.27 cm) dan BBR (4.67 cm) akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap DT isolat BNK (5.61 cm). Isolat CSR memiliki ciri yang berbeda dengan ketiga isolat yang lain yaitu DTnya lebar sedangkan JTnya sedikit. Sudirman et al. (2011) melaporkan bahwa teknik pembukaan kantong plastik (baglog) pada saat akhir masa FV berpengaruh terhadap JT dan DT yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan kandungan O 2 dan CO2 yang dimanfaatkan oleh jamur untuk pertumbuhannya. Adanya O2 akan menginisiasi pembentukan tubuh buah jamur, sedangkan kandungan CO 2 tinggi akan menghambat pembentukan tubuh buah jamur. Pada penelitian ini bagian permukaan atas kantong plastik (baglog) dibuka secara keseluruhan, maka JT dan DT yang dihasilkan akan berbeda jika kantong plastik (baglog) hanya dibuka seluas cincin baglog saja (diameter 4 cm) dengan membuka kapas penutupnya. Semakin luas permukaan baglog yang dibuka maka semakin banyak JT yang dihasilkan, namun DT kecil. Selain dipengaruhi oleh teknik pembukaan baglog, DT juga dipengaruhi oleh kondisi cahaya, kurangnya pencahayaan selama

14 pembentukan tubuh buah jamur akan menghasilkan DT kecil, sedangkan tangkai jamur panjang sehingga hasil panen cenderung rendah (Yildiz et al. 2002).

Ukuran dan Bentuk Spora

9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

b

b

c

c

a

3

b

b

a b

2,5 2

a

b

a

1,5 1 0,5

Rasio P/L spora (µm)

Panjang dan lebar spora (µm)

Keempat isolat jamur tiram putih memiliki ukuran spora yang berbeda-beda. Panjang (P) dan lebar (L) spora keempat isolat jamur tiram putih masing-masing berkisar antara 6.79-8.32 µm dan 3.34-3.74 µm, sedangkan rasio P/L berkisar antara 1.88-2.43 µm (Gambar 6). Isolat BBR memiliki ukuran spora (panjang dan lebar) lebih besar dibanding dengan ketiga isolat yang lain. Panjang spora isolat BBR (8.33 µm) lebih panjang dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap panjang spora isolat BNK (6.79 µm), akan tetapi tidak berbeda nyata (p>005) terhadap panjang spora isolat AMD (8.16 µm) dan CSR (8.11 µm). Lebar spora isolat BBR (3.74 µm) merupakan yang paling lebar dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap lebar spora isolat AMD (3.47 µm) dan CSR (3.34 µm), akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap lebar spora isolat BNK (3.64 µm). Rasio P/L isolat BNK berbeda nyata (P<0.05) dengan rasio P/L ketiga isolat yang lain. Rasio P/L terkecil ditunjukkan oleh isolat BNK, sedangkan rasio P/L terbesar ditunjukkan oleh isolat CSR, tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan isolat AMD.

Panjang Lebar Rasio P/L

0 BNK

AMD

BBR

CSR

Gambar 6 Panjang (P), lebar (L) dan rasio P/L spora empat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) yang diamati menggunakan media air. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Kriteria bentuk spora didapatkan berdasarkan variasi ukuran rasio P/L (Bas 1969) (Lampiran 4). Berdasarkan ukuran rasio P/L, bentuk spora keempat isolat jamur tiram putih berkisar antara elongate dan cylindrical (Gambar 7). Bentuk spora jamur tiram putih isolat BNK adalah elongate dengan rasio P/L 1.88 µm, sedangkan ketiga isolat yang lain (AMD, BBR dan CSR) adalah cylindrical dengan rasio P/L secara berturut-turut adalah 2.36 µm, 2.23 µm dan 2.43 µm.

15

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 7 Spora jamur tiram putih. (a) isolat BNK, (b) isolat AMD, (c) isolat dan (d) ioslat CSR. Karakter spora dari masing-masing isolat jamur berperan penting dalam taksonomi jamur. Ukuran spora berperan dalam membedakan setiap spesies jamur (Bas 1969). Isolat BNK yang merupakan isolat yang berasal dari Thailand memiliki ukuran dan bentuk spora yang berbeda dengan ukuran dan bentuk spora ketiga isolat (AMD, BBR dan CSR) yang berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa isolat BNK mungkin berbeda strain dengan ketiga isolat yang lain (AMD, BBR dan CSR).

Isolasi Spora Tunggal Berdasarkan hasil isolasi spora tungggal dari keempat isolat jamur tiram putih (BNK, AMD, BBR dan CSR) dengan menggunakan media potato sucrose agar (PSA) didapatkan 11 isolat monokarion dari BNK, 0 isolat monokarion dari AMD, 16 isolat monokarion dari BBR dan 7 isolat monokarion dari CSR. Setelah diremajakan pada media PSA baru ada 10 isolat monokarion dari BBR dan 2 isolat dari BNK yang tidak dapat tumbuh kembali, sehingga hanya tersisa 6 isolat monokarion dari BBR dan 9 isolat dari BNK. Kegagalan perkecambahan spora isolat AMD dan kultur miselium monokarion yang tidak dapat disubkulturkan kembali dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adanya kontaminasi pada media kultur, media yang digunakan kurang mengandung cukup nutrisi untuk perkecambahan, ataupun lingkungan tumbuh yang kurang sesuai untuk perkecambahan. Permasalahan dalam penelitian ini sama dengan yang dihadapi oleh Zaelani (2010) ketika mengisolasi spora tunggal dari Pleurotus sp. Oleh karena itu, dalam media perkecambahan spora perlu ditambah nutrien tertentu yang berfungsi untuk merangsang perkecambahan spora (Moore-Landecker 1972). Selain faktor-faktor di atas, gagalnya perkecambahan basidiospora menjadi miselium monokrion adalah spora yang

16 tidak viabel. Menurut Pisabarro et al. (2000), kombinasi antara nilai crossover yang rendah per kromosom dan polimorfisme panjang kromosom pada P.ostreatus berpengaruh terhadap penyortiran kromosom selama meosis sehingga mengurangi tingkat perkecambahan basidiospora berupa produk meotik yang aneh atau pun dihasilkannya delesi kromosom yang akan membuat basidiospora menjadi non viabel.

Karakterisasi Pertumbuhan Miselium Isolat Dikarion dan Monokarionnya Karakterisasi pertumbuhan miselium isolat dikarion dan monokarion hasil isolasi dari spora tunggal dengan menggunakan media potato sucrose agar (PSA) ditentukan berdasarkan morfologi koloni miselium (Lee et al. 2009) pada suhu ruang (27.5-29 oC) dan laju pertumbuan miselium (LPM) pada suhu ruang (27.529 oC) dan suhu 35 oC (Tabel 3). Tabel 3 Karakteristik pertumbuhan miselium jamur tiram putih isolat dikarion dan monokarionnya pada media PSA Isolat Dikarion BNK

Monokarion BNK1 BNK2 BNK3 BNK4 BNK5 BNK6 BNK7 BNK8 BNK9

AMD BBR BBR4 BBR5 BBR7 BBR13 BBR15 BBR16 CSR CSR1 CSR2 CSR3 CSR4 CSR5 CSR6 CSR7 a

Laju pertumbuhan miselium (cm/ hari) Ruang 35 oC 0.69 0.06 0.33 0.31 0.02 0.5 0.33 0.25 0.28 0.36 0.11 0.65 0.08 0.57 0.78 0.25 0.64 0.12 0.43 0.07 0.4 0.05 0.31 0.05 0.3 0.49 0.07 0.36 0.07 0.56 0.08 0.69 0.77 0.4 0.46 0.19 0.11 0.12 0.38 -

Morfologi koloni miseliuma Ruang Fluffy Comulous Streak Streak Fluffy Puffy Cumulous Streak Fluffy Fluffy Concentric Streak Concentric Concentric Puffy Cumulous Cumulous Fluffy Streak Streak Streak Fluffy Fluffy Puffy Cumulous Fluffy

Sumber : Lee et al. (2009); (-): tidak ada pertumbuhan miselium.

35 oC Streak

Streak

Cumulous

17 Morfologi koloni miselium isolat dikarion dan monokarion dari keempat isolat (BNK, AMD, BBR dan CSR) memiliki bentuk morfologi yang berbedabeda. Hasil ini didukung oleh penelitian Lee et al. (2009) yang melaporkan bahwa morfologi koloni isolat induk dikarion Pleurotus ostreastus strain “Miso” adalah fluffy, akan tetapi morfologi koloni dari monokarionnya bermacam-macam meliputi fluffy, concentric, puffy, feathery, streak sampai comulous. Berdasarkan LPM diketahui bahwa miselium isolat dikarion tumbuh lebih cepat dibandingkan miselium isolat monokarion. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Gharehaghaji et al. (2007) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.01) antara pertumbuhan koloni miselium monokarion dan dikarion Pleurotus ostreatus, isolat dikarion tumbuh lebih cepat dibandingkan isolat monokarion. Lee et al. (2009) juga menyatakan bahwa pertumbuhan dan kepadatan miselium monokarion pada Pleurotus ostreatus strain “Miso” lebih lambat dan lebih renggang dibandingkan dengan miselium dikarionnya. Hal tersebut dikarenakan dikarion yang memiliki kedua nukleus berbeda secara genetik (heterokarion) akan saling berkomplementasi dalam mengekspresikan gen-gennya, sehingga pertumbuhannya menjadi lebih cepat (Landecker 1996). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa keempat isolat dikarion dan monokarionnya dapat tumbuh dengan baik pada suhu ruang (27.5-29 oC), akan tetapi pada suhu 35 oC hanya beberapa isolat monokarion yang dapat tumbuh dan pertumbuhannya sangat lambat. Faktor suhu berpengaruh terhadap LPM koloni isolat jamur. Menurut Griffin (1994), pada isolat jamur suhu berpengaruh dalam hal mempengaruhi aktivitas enzim, organisasi dan komposisi organel-organel sel jamur, komposisi plasmalema dan jumlah lipid. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan jamur, hal ini diduga karena kerja enzim terhambat. Menurut Chang & Miles (2004) suhu optimal untuk pertumbuhan miselium jamur adalah 25-28 oC.

Persilangan (Mating) Persilangan hanya dilakukan antara isolat monokarion hasil isolasi dari spora tunggal yang mampu tumbuh pada suhu 35 oC (Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6). Secara makroskopis persilangan dikatakan berhasil ditandai dengan adanya zona kontak diantara pertumbuhan miselium kedua isolat monokarion yang dipasangkan, sedangkan secara mikroskopis ditandai dengan terbentuknya sambungan apit (clamp connection) sebagai penanda bahwa miselium tersebut adalah miselium dikarion hasil persilangan (Chang & Miles 2004). Tabel 4 Persilangan antara isolat monokarion BNK dan BBR Isolat BBR4 BBR5 BBR7 BBR15 (Mating type) (A2B2) (A2B3) (A2B4) (A2B5) BNK2 (A2B1) BNK7 (A1B1) + + + + BNK8 (A1B4) + + + BNK11 (A2B2) -

BBR16 (A2B6) + ? (+): ada sambungan apit/ terjadi mating, (-): tidak ada sambungan apit/ tidak terjadi mating, (?): tidak diketahui hasil mating.

18 Tabel 5 Persilangan antara isolat monokarion BNK dan CSR Isolat BNK2 BNK7 BNK8 (Mating type) (A2B1) (A1B1) (A1B4) CSR5 (A1B1) -

BNK11 (A2B2) ?

(+): ada sambungan apit/ terjadi mating, (-): tidak ada sambungan apit/ tidak terjadi mating, (?): tidak diketahui hasil mating.

Tabel 6 Persilangan antara isolat monokarion BBR dan CSR Isolat BBR4 BBR5 BBR7 BBR15 (A2B2) (A2B3) (A2B4) (A2B5) CSR5 (A1B1) ? + + +

BBR16 (A2B6) +

(+): ada sambungan apit/ terjadi mating, (-): tidak ada sambungan apit/ tidak terjadi mating, (?): tidak diketahui hasil mating.

Secara makroskopis, pada pasangan monokarion yang tidak serasi akan terbentuk zona kosong pada pertemuan keduanya. Ketidak serasian tersebut dikarenakan ketidak serasian tipe kawin diantara kedua monokarion yang dipasangkan. Jamur tiram putih termasuk kelompok basidiomisetes heterotalik bifaktor. Heterotalik artinya monokarion hanya dapat kawin dengan monokarion lain yang berasal dari basidiospora yang berbeda mating type, sedangkan bifaktor artinya keserasian antara dua monokarion berbeda dikendalikan secara genetik oleh dua faktor yaitu lokus A dan lokus B. Setiap lokus memiliki banyak alel (multialel) dan biasanya disimbolkan dengan angka yang ditempatkan setelah huruf lokus. Seperti contoh A1B1 dan A2B2, yang berarti lokus A dan B yang masing-masing diikuti oleh alelnya, alel inilah yang disebut dengan tipe kawin. Keserasian dalam perkawinan hanya terjadi jika monokarion yang dipasangkan memiliki tipe kawin yang berbeda, yang artinya alel-alel pada kedua lokus diantara dua monokarion yang dipasangkan harus berbeda (Pissabarro et al. 2000). Isolat hibrid hasil persilangan selanjutnya dikarakterisasi pertumbuhan miseliumnya berdasarkan morfologi koloni miselium (Lee et al. 2009) pada suhu ruang (27.5–29 oC) dan LPM pada suhu ruang (27.5–29 oC) dan suhu 35 oC dengan menggunakan media potato sucrose agar (PSA) (Tabel 7). Ada dua isolat hibrid yang tidak dapat tumbuh pada suhu 35 oC, yaitu isolat dengan kode BB77 dan BC75. Isolat dengan LPM terbaik pada suhu 35 oC ditunjukkan oleh isolat BB48 (0.22 cm/hari) yang merupakan hasil persilangan antara isolat monokarion BBR4 dengan isolat monokarion BNK8. Untuk mendapatkan isolat hibrid yang dapat tumbuh optimal pada suhu tinggi (35 oC) maka dilakukan screening pada isolat monokarion yang akan digunakan untuk persilangan. Screening dilakukan dengan cara menumbuhkan setiap isolat monokarion yang didapat pada suhu 35 oC. Diasumsikan bahwa persilangan antara dua isolat monokarion yang tumbuh optimal pada suhu 35 oC akan menghasilkan isolat hibrid yang tumbuh optimal pada suhu 35 oC juga. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan isolat hibrid yang mempunyai LPM tertinggi adalah isolat BB48 (0.22 cm/ hari). LPM isolat hibrid BB48 tinggi padahal LPM dari kedua induk dikarionnya (BBR dan BNK) maupun induk monokarionnya (BBR4 dan BNK8) rendah berkisar 0.06-0.12 cm/ hari (Tabel 3 dan Tabel 7), hasil tersebut tidak sesuai dengan asumsi awal, oleh karena itu perlu disarankan metode screening yang lebih tepat.

19

A

B

D

C

E

Gambar 8 Morfologi koloni miselium jamur tiram putih yang diinkubasi pada suhu 35 oC dengan menggunakan media Potato sucrosa agar (PSA). A: Isolat induk BNK, B. Isolat induk BBR, C. Isolat induk CSR, D. Hibrid BB48 (BBR4 X BNK8), E. Hibrid BB47 (BBR4 X BNK7). Tabel 7 Karakteristik pertumbuhan miselium jamur tiram putih isolat dikarion hasil persilangan (hibrid) pada media PSA Persilangan

BBR4 X BNK7 BBR5 X BNK7 BBR7 X BNK7 BBR15 X BNK7 BBR16 X BNK7 BBR4 X BNK8 BBR5 X BNK8 BBR15 X BNK8 BBR5 X CSR5 BBR7 X CSR5 BBR15 X CSR5 BBR16 X CSR5

Kode isolat dikarion

BB47 BB57 BB77 BB157 BB167 BB48 BB58 BB158 BC55 BC75 BC155 BC165

Laju pertumbuhan miselium (cm/ hari) Ruang 35 oC 0.57 0.18 0.32 0.08 0.28 0.44 0.1 0.41 0.13 0.61 0.22 0.31 0.11 0.32 0.1 0.61 0.11 0.38 0.35 0.13 0.32 0.07

Morfologi koloni miseliuma

Ruang Concentric Streak Concentric Streak Concentric Streak Streak Puffy Feathery Cumulous Cumulous Cumulous

35 oC Streak

Cumulous

(-): tidak ada pertumbuhan miselium.

Hasil penelitian Kitamoto et al. (1993) menyebutkan bahwa persilangan diantara dua monokarion kompatibel yang keduanya memiliki sifat tumbuh optimum pada suhu tinggi akan menghasilkan dikarion hibrid yang 100% dapat tumbuh optimum pada suhu tinggi. Akan tetapi, persilangan antara dua monokarion kompatibel yang satu tumbuh optimum pada suhu tinggi dan yang satu tumbuh optimum pada suhu rendah atau kebalikannya maupun persilangan

20 antara monokarion kompatibel yang keduanya memiliki sifat tumbuh optimum pada suhu rendah akan menghasilkan dikarion hibrid yang tumbuh optimum pada suhu tinggi berkisar antara 57-75%. Pada penelitian ini persilangan menggunakan monokarion yang telah diseleksi pada suhu 35 oC bukan berdasarkan suhu optimum. Persilangan dilakukan pada monokarion yang keduanya memiliki sifat tumbuh optimum pada suhu rendah, dan dihasilkan isolat hibrid yang memiliki LPM pada suhu 35 oC yang lebih besar dari induk monokarionnya. Oleh karena itu, penerapan pre-screening berdasarkan sifat genetik dari monokarion yang akan digunakan dalam persilangan akan meningkatkan efisiensi persilangan. Prescreening berdasarkan sifat genetik dapat dilakukan dengan cara mengkarakterisasi gen ketahanan terhadap suhu tinggi HSP 70 pada setiap monokarion yang akan digunakan dalam persilangan untuk mendapatkan isolat hibrid yang tahan terhadap suhu tinggi.

Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram Putih Isolat Hibrid (BB48) dan Isolat Induk (BNK dan BBR) pada Suhu Tinggi (35 oC) Data parameter budi daya didapatkan berdasarkan data rataan dari 7 ulangan (baglog). Jumlah ulangan pada budi daya isolat hibrid awalnya dari 10 ulangan, akan tetapi pada saat budi daya ada 3 ulangan (baglog) yang terkontaminasi. Suhu optimal untuk pertumbuhan isolat hibrid BB48 dan kedua isolat induk (BNK dan BBR) adalah 35 oC dengan kisaran 29.1-35.1 oC (Lampiran 7).

Bobot basah (g)

120

c

120 c b

100

b

b

b b

100 b aa

80

80 60

60

40

40

20

20 0

Efisiensi biologi (%)

140

BB EB

0 BNK suhu ruang

BBR suhu ruang

BNK suhu 35 ̊C

BBR suhu 35 ̊C

BB48 suhu 35 ̊C

Gambar 9 Bobot basah tubuh buah (BB) dan efisiensi biologi (EB) isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu 35 oC serta isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Berdasarkan data budi daya isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu 35 oC dengan menggunakan media serbuk gergajian kayu sengon

21 (SGKS) diketahui bahwa bobot basah (BB) isolat hibrid BB48 (78.98 g per kantong) lebih rendah dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap nilai BB dari kedua isolat induk BBR 35 oC (101.26 g per kantong) dan BNK 35 oC (95.29 g per kantong). Hasil yang sama diperlihatkan oleh efisiensi biologi (EB). EB terendah ditunjukkan oleh isolat hibrid BB48 (63.18%) dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kedua isolat induk BBR 35 oC (81.01%) dan BNK 35 oC (76.23%) (Gambar 9). Nilai BB dan EB isolat induk BNK 35 oC (95.29 g per kantong dan 76.23%) lebih rendah dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap nilai BB dan EB pada suhu ruang (SR) (125.39 g per kantong dan 100.32%). Akan tetapi nilai BB dan EB isolat induk BBR 35 oC (96.64 g per kantong dan 77.31%) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap nilai BB dan EB pada SR (101.26 g per kantong dan 81.01%). Hal ini membuktikan bahwa suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur, suhu tinggi akan mengganggu kerja enzim ektraseluler yang dihasilkan oleh jamur untuk pertumbuhannya (Purnomo 2010). Fase vegetatif (FV) isolat hibrid BB48 (23 hari) pada suhu 35 oC lebih lama dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kedua isolat induk BBR 35 oC (16.29 hari) BNK 35 oC (16.43 hari). Fase generatif (FG) isolat hibrid BB48 (68.43 hari) pada suhu 35 oC lebih cepat dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap isolat induk BNK 35 o C (78.57 hari), akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap isolat induk BBR 35 oC (72.43 hari). MPP kedua isolat induk (BNK dan BBR) serta isolat hibrid pada suhu 35 oC tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dengan MPP tercepat ditunjukkan oleh isolat induk BBR 35 oC (88.71 hari), sedangkan MPP terlama ditunjukkan oleh isolat induk BNK 35 oC (95 hari) (Gambar 10).

Fase pertumbuhan (hari)

120 b

100 d

a

a

80

b

b cd

c

b

60

FV a

FG

40 20

a

b

b

b

c

MPP

0 BNK suhu BBR suhu BNK suhu BBR suhu BB48 suhu ruang ruang 35 C ̊ 35 C ̊ 35 ̊C

Gambar 10 Fase pertumbuhan isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu 35 oC serta isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). FV: fase vegetatif atau masa pertumbuhan, FG: fase generatif atau masa perkembangan, MPP: masa pertumbuhan dan perkembangan. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

22 Fase vegetatif (FV), fase generatif (FG) serta masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP) isolat induk BNK 35 oC (16.43 hari, 78.57 hari dan 95 hari) lebih lama dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap FV, FG dan MPP pada SR (27.529 oC) (14.43 hari, 57.43 hari dan 71.86 hari). Berbeda dengan isolat BNK, FV isolat induk BBR 35 oC (16.29 hari) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap FV pada SR (16.14 hari), akan tetapi FG dan MPP isolat BBR 35 oC (72.43 hari dan 88.71 hari) lebih lama dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap FG dan MPP pada SR (42.43 hari dan 76.57 hari). Laju produktivitas (LP) isolat hibrid BB48 yang ditumbuhkan pada suhu 35 o C (0.88 g/hari) lebih rendah produktivitasnya dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap isolat induk BBR 35 oC (1.15 g/hari), akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap isolat induk BNK 35 oC (1.01 g/hari) (Gambar 11). Laju produktivitas (LP) isolat induk BNK 35 oC (1.01 g/hari) lebih rendah produktivitasnya dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap LP pada SR (1.73 g/hari), sedangkan LP isolat induk BBR 35 oC (1.15 g/hari) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap LP pada SR (1.27 g/hari). 2 Laju produktivitas (g/hari)

1,8

d

1,6 1,4 1,2 1

c bc ab a LP

0,8 0,6 0,4 0,2 0 BNK suhu BBR suhu BNK suhu BBR suhu BB48 suhu ruang ruang 35 C ̊ 35 C ̊ 35 C ̊

Gambar 11 Laju produktivitas (LP) isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu 35 oC serta isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Jumlah tudung (JT) dan diameter tudung (DT) isolat hibrid (BB48) dan kedua isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu 35 oC tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) (Gambar 12). JT terbanyak ditunjukkan oleh isolat hibrid (BB48) (5.57 buah) dan JT terendah ditunjukkan oleh isolat induk BBR 35 oC (5.23 buah), sedangkan DT terlebar ditunjukkan oleh isolat induk BBR 35 oC (4.20 cm) dan DT terkecil ditunjukkan oleh isolat induk BNK 35 oC (3.65 cm).

23 Jumlah tudung (JT) isolat induk BNK 35 oC dan BBR 35 oC (27.29 buah dan 26.14 buah) lebih banyak, akan tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap JT isolat BNK dan BBR pada SR (19.71 buah dan 23.14 buah). DT isolat BNK 35 o C (3.65 cm) lebih kecil dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap DT pada SR (5.52 cm), sedangkan DT isolat BBR 35 oC (4.20 cm) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap DT pada SR (4.82 cm). 7 c

30 25 20

a

a

a

6

a bc a

a

ab

5 a 4

15

3

10

2

5

1

0

Diameter ttudung (cm)

Jumlah tudung (buah)

35

JT DT

0

BNK suhu BBR suhu BNK suhu BBR suhu BB48 ruang ruang 35 ̊C 35 C ̊ suhu 35 ̊C

Gambar 12 Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) isolat hibrid (BB48) dan isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu 35 oC serta isolat induk (BNK dan BBR) yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 500 g media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS). Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Berdasarkan parameter bobot basah (BB), efisiensi biologi (EB), fase fegetatif (FV), laju produktivitas (LP), jumlah tudung (JT) dan diameter tudung (DT) antara isolat BBR SR dengan BBR 35 oC tidak berbeda nyata (p>0.05), dapat diambil kesimpulan bahwa isolat BBR memiliki kisaran suhu pertumbuhan lebih lebar dibandingkan dengan isolat BNK. Hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor suhu maupun interaksi antara faktor isolat dengan faktor suhu berpengaruh nyata terhadap produksi jamur. Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat yang berbeda membutuhkan kondisi yang berbeda untuk pertumbuhannya termasuk kondisi ingkungan, salah satunya suhu.

Analisis Molekular Kultur isolat yang dianalisis secara molekuler adalah isolat dikarion induk BBR dan CSR, isolat monokarion BBR16 dan CSR5 serta isolat hibrid BC165 yang merupakan hasil persilangan dari BBR16 dengan CSR5. Isolat hibrid yang dianalisis secara molekuler bukan isolat hibrid dengan kode BB48 yang

24 merupakan isolat dengan laju pertumbuhan miselium (LPM) terbaik pada suhu 35 o C dan telah dibudidayakan pada suhu 35 oC, hal ini dikarenakan monokarion dari isolat BB48 yang digunakan dalam persilangan untuk mendapatkan isolat tersebut tidak dapat diremajakan kembali (mati). Berdasarkan hasil foto gel elektroforesis pada ekstraksi DNA menunjukkan hasil pita yang terang dan tidak terdapat pengotor (semir) (Gambar 13). Dari hasil amplifikasi DNA dengan mengunakan primer LR12R (forward) dan 5sRNA (reverse) diketahui bahwa panjang basa dari sampel adalah 945 bp. Dari ukuran amplikon nampak kedekatan antara isolat hibrid BC165 dengan isolat monokarion CSR5 (Gambar 14). CSR

BBR

BBR15

CSR5

BC165 BBR16

Gambar 13 Hasil elektroforesis ekstrak DNA isolat induk dikarion (BBR dan CSR), isolat induk monokarion (BBR16 dan CSR5) dengan hibridnya BC165 dan isolat monokarion BBR15 sebagai pembanding dengan menggunakan 1.2% gel agarose. CSR

BBR

BBR15

CSR5

BC165 BBR16

~ 945 bp

~ 750 bp

Gambar 14 Hasil amplifikasi DNA isolat induk dikarion (BBR dan CSR), isolat induk monokarion (BBR16 dan CSR5) dengan hibridnya BC165 dan isolat monokarion BBR15 sebagai pembanding dengan metode PCR menggunakan primer LR12R dan 5SRNA.

25 Jarak genetik (p-distance) antar isolat berkisar antara 0.002-0.008 (Tabel 8). Jarak genetik antara isolat jamur tiram putih dibaca secara diagonal dari atas ke bawah. Semakin kecil angka dalam tabel jarak genetik maka semakin dekat hubungan kekerabatan antar isolat tersebut. Tabel 8 Matrik jarak genetik (p-distance) berdasarkan perbedaan sekuen nukleotida antara keenam isolat jamur tiram putih Isolat 1 2 3 4 5 6 1 Dikarion BBR 2 Dikarion CSR 0.003 3 Monokarion BBR15 0.003 0.004 4 Monokarion BBR16 0.007 0.004 0.007 5 Monokarion CSR5 0.005 0.002 0.004 0.006 6 Dikarion BC165 (hibrid) 0.008 0.005 0.007 0.008 0.003 Dari data matrik jarak genetik (p-distance) pada Tabel 8 yang kemudian direkontruksi menjadi pohon kekerabatan dengan metode Neighbor joining didapatkan hasil bahwa keenam isolat tersebut terbagi menjadi tiga kelompok (A, B dan C) (Gambar 15) dengan jumlah basa yang sama (conserved) adalah 933 basa dari 945 basa, sedangkan jumlah basa yang berbeda adalah 12 basa dari 945 basa. Kelompok pertama (A) yaitu dikarion hibrid BC165 dan monokarion CSR5 terpisah jauh dengan kelompok lainnya (B dan C) dengan jarak kekerabatan sekitar 0.3% dan kedua isolat dalam kelompok tersebut memiliki nilai p-distance 0.003 dan nilai bootstrap 84%, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua isolat dalam kelompok tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang kuat. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa isolat hibrid BC165 memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan parental CSR5 dibandingkan dengan BBR16. Monokarion BBR16 dan dikarion CSR berada dalam satu kelompok yang sama (B) dan terpisah dengan kelompok C dengan jarak kekerabatan sekitar 0.28% dan kedua isolat dalam kelompok tersebut memiliki nilai p-distance 0.004 dan nilai bootstrap 45%, berdasarkan nilai bootstrap dapat dikatakan bahwa kedua isolat dalam kelompok tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang kurang kuat. Pada Tabel 8 terlihat bahwa nilai p-distance dari dikarion induk CSR dengan monokarion induk CSR5 adalah 0.002 dan kedua isolat tersebut berpeluang menjadi satu kelompok, sedangkan pada pohon filogenetik tidak berada dalam satu kelompok. Hal ini berkaitan dengan metode yang digunakan dalam mengkontruksi pohon filogenetik, metode yang berbeda dalam mengkontruksi pohon filogenetik akan mengahasilkan bentuk pohon filogenetik yang berbeda pula. Berdasarkan nilai p-distance (0.002) terbukti bahwa monokarion induk CSR5 memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan dikaron induk CSR karena monokarion induk CSR5 merupakan spora tunggal dari dikarion induk CSR. Antara monokarion induk BBR16 dan dikarion induk CSR berdasarkan nilai p-distance (0.004) dapat dikatakan memiliki kedekatan hubungan, hal ini didukung dari bentuk spora isolat BBR dan CSR yang sama yaitu cylindrical. Menurut Bas (1969) bentuk spora sangat menentukan dalam membedakan spesies. Bentuk spora yang sama dapat dikatakan bahwa antara isolat tersebut merupakan spesies yang sama ataupun memiliki hubungan genetik yang sangat dekat.

26 Monokarion BBR15 dan dikarion induk BBR berada dalam satu kelompok yang sama (C) dan keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan nilai boostrap 71%. Dari nilai bootstrap dapat dikatakan bahwa antara isolat monokarion BBR15 dan dikarion induk BBR memiliki hubungan yang kuat dalam satu kelompok. Hal ini terbukti bahwa isolat monokarion BBR15 merupakan spora tunggal dari dikarion induk BBR. Berdasarkan pohon filogenetik, monokarion induk CSR5 dan monokarion induk BBR16 tidak berada dalam satu kelompok dengan induk dikarionnya CSR dan BBR. Hal ini dikarenakan setiap spora yang diisolasi dari basidioakarp yang sama memiliki genetik yang berbeda-beda. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Zaelani (2010) mengenai isolasi dan identifikasi genetik monokarion jamur tiram, diketahui bahwa berdasarkan analisis AFLP dengan menggunakan kombinasi primer p11-700-M51, P11-700-M53 dan P11-700-M55 isolat monokarion yang berasal dari tubuh buah yang sama terbagi menjadi dua kelompok berbeda. C B A

Gambar 15 Pohon kekerabatan isolat induk dikarion (BBR dan CSR), isolat induk monokarion (BBR16 dan CSR5) dengan hibridnya BC165 dan isolat monokarion BBR15 sebagai pembanding. Angka pada setiap kelompok merupakan nilai bootstrap (%) dengan 1000 ulangan melalui metode Neighbor joining. Isolat monokarion BBR16 dan CSR5 yang merupakan monokarion induk dari hibrid BC165 tidak berada dalam satu kelompok, selain itu juga nilai pdistance diantara keduanya cukup tinggi (0.006) yang artinya kedua isolat monokarion induk tersebut memilki variasi genetik yang jauh berbeda. Menurut Zaelani (2010) persilangan dengan menggunakan dua induk monokarion yang jauh berbeda secara genetik akan menghasilkan basidiospora hasil meiosis dengan variasi genetik yang tinggi sehingga berpeluang didapatkan galur unggul.

Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram Putih Isolat BNK Menggunakan Media Spent Mushroom Substrates (SMS) pada Suhu Ruang (27.5-29 oC) Berdasarkan data budi daya, bobot basah tubuh buah (BB) jamur tiram putih isolat BNK pada semua perlakuan media (F1-F5) secara berturut-turut berkisar antara 65.51-95.16 g per kantong dengan efisiensi biologi (EB) berkisar 52.4176.13% (Gambar 16).

27

120 c

Bobot basah (g)

100 80

c bc bc

ab ab

abab aa

60 40 20

0 F1

F2

F3

F4

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Efisiensi biologi (%)

Nilai BB dan EB jamur tiram putih isolat BNK yang ditumbuhkan pada media campuran dengan 25-75% SMS (F2-F4) lebih tinggi dari nilai BB dan EB yang ditumbuhkan pada media tunggal dari 0% SMS dan 100% SMS (F1 dan F5). Media yang dicampur dengan 25-75% SMS (F2-F4) dapat meningkatkan BB dan EB, akan tetapi nilai BB dan EB tertinggi (95.16 g dan 76.13%) diperoleh pada media yang dicampur dengan 25% SMS (F2). Nilai BB dan EB pada media yang dicampur dengan 25% SMS (F2) menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) terhadap nilai BB dan EB pada media yang lain, akan tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap media yang dicampur dengan 50% SMS (F3). Peningkatan nilai BB dan EB pada media yang dicampur dengan 25-75% SMS dikarenakan pada media tersebut mengandung selulosa tinggi dan rendah lignin (Tabel 9). Pada Tabel 9 terlihat bahwa pada media SMS mengandung lignin sebesar 39.50% dibandingkan dengan media SGKS baru, sedangkan kandungan selulosa pada media SMS masih sangat tinggi yaitu 87.37% dibandingkan dengan media SGKS baru.

BB EB

F5

Gambar 16 Bobot basah tubuh buah (BB) dan efisiensi biologi (EB) jamur tiram putih isolat BNK yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 5 kombinasi 500 g media yang berbeda antara SMS dan SGKS (F1-F5). F1: 0% SMS, F2: 25% SMS, F3: 50% SMS, F4: 75% SMS, F5: 100% SMS. SMS: spent mushroom substrates, SGKS: serbuk gergajian kayu sengon. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Tabel 9 Kandungan lignin dan selulosa pada SGKS dan SMS Bahan Lignin (%) Selulosa (%) SGKSa 27.80 48.30 SMS 10.98 42.20 SGKS: serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria), SMS: spent mushroom substrates yang berasal dari sisa budi daya jamur tiram putih isolat BNK setelah 3 kali panen. a Sumber: Sudirman et al. (2011).

Hasil ini didukung oleh penelitian Sudirman et al. (2011) dan Rizki dan Tamai (2011) yang mengatakan bahwa selulosa berperan dalam pertumbuhan

28 tubuh buah jamur sedangkan kandungan lignin yang tinggi pada media dapat menghambat pembentukan primordia jamur. Wang et al. (2015) melaporkan bahwa Pleurotus ostreatus dapat dibudidayakan dengan menggunakan media yang berasal dari sisa budi daya Hypsizigus marmoreus dengan nilai EB tertinggi dicapai pada media yang menggunakan campuran 12% SMS. Nilai EB pada penelitian Wang et al. masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai EB pada penelitian kami, sehingga ada kemungkinan dengan menggunakan campuran 12% SMS akan menghasilkan nilai EB lebih tinggi dibandingkan 25% SMS. Nilai EB menurun dengan adanya penambahan jumlah SMS diatas 25% dalam campuran media. Pola dari hasil penelitian kami sama dengan hasil penelitian Wang et al. (2015), dengan nilai EB menurun dengan adanya penambahan SMS di atas 12%. Siddant et al. (2009) melaporkan bahwa Pleurotus sajor-caju strainMalaysia dapat dibudidayakan menggunakan media yang berasal dari sisa budi daya Pleurotus eous dengan nilai EB tertinggi dicapai pada media yang menggunakan campuran 25% SMS. Nilai EB pada penelitian Siddant et al. masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai EB pada penelitian kami. Pada penelitian kami, nilai BB dan EB pada media campuran lebih tinggi dari pada media tunggal. Pola dari penelitian kami sama dengan hasil penelitian Siddant et al. (2009), bahwa susbtrat campuran memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan media tunggal. Fase vegetatif (FV) atau masa pertumbuhan, fase generatif (FG) atau masa perkembangan, serta masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP) jamur tiram putih isolat BNK pada semua perlakuan media (F1-F5) masing-masing berkisar antara 16.56-19.67 hari, 55-80.67 hari dan 73.44-97.44 hari (Gambar 17). 120 b

Fase (hari)

100

ab

ab

b

a

ab

ab

ab

80

ab

a

60

FG MPP

40 20

FV

b

a

b

a

b

0 F1

F2

F3

F4

F5

Gambar 17 Fase pertumbuhan jamur tiram putih isolat BNK yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 5 kombinasi 500 g media yang berbeda antara SMS dan SGKS (F1-F5). F1: 0% SMS, F2: 25% SMS, F3: 50% SMS, F4: 75% SMS, F5: 100% SMS. SMS: spent mushroom substrates, SGKS: serbuk gergajian kayu sengon, FV: fase vegetatif atau masa pertumbuhan, FG: fase generatif atau masa perkembangan, MPP: masa pertumbuhan dan perkembangan. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

29 Masa pertumbuhan dan perkembangan (MPP) terpanjang ditunjukkan oleh media dengan perlakuan 0% SMS (F1). MPP pada media yang dicampur dengan 0% SMS (F1) berbeda secara nyata (p<0.05) dengan MPP pada perlakuan media yang dicampur dengan 100% SMS (F5). Sedangkan MPP pada perlakuan media yang dicampur dengan 75% SMS dan 100% SMS (F4 dan F5) lebih pendek dibandingkan dengan perlakuan media yang lain, hal ini dikarenakan kondisi media yang sudah terdekomposisi. Kandungan lignin yang tinggi (28.17%) pada 0% SMS menyebabkan MPP menjadi lebih panjang, hal ini dikarenakan proses dekomposisi masih berlangsung seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Hasil penelitian ini didukung oleh laporan dari Baysal et al. (2003) dan Naraian et al. (2009), bahwa penambahan SMS dalam media budidaya jamur dapat meningkatkan hasil panen, mempercepat pertumbuhan miselium dan mempercepat pembentukan primordia. Laju produktivitas (LP) jamur tiram putih isolat BNK pada semua perlakuan media (F1-F5) berkisar antara 0.82-1.17 g/hari dengan LP tertinggi diperoleh dari perlakuan media F2 (1.17 g/hari) (Gambar 18). Pola pada LP sama dengan pola pada BB dan EB, yaitu LP dari media campuran dengan 25-75% SMS (F2-F4) lebih cepat dibandingkan LP dari media tunggal. 1,4 Laju produktivitas (g/ hari)

c 1,2 1

bc ab a

a

0,8 LP

0,6 0,4 0,2 0 F1

F2

F3

F4

F5

Gambar 18 Laju produktivitas (LP) jamur tiram putih isolat BNK yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 5 kombinasi 500 g media yang berbeda antara SMS dan SGKS (F1-F5). F1: 0% SMS, F2: 25% SMS, F3: 50% SMS, F4: 75% SMS, F5: 100% SMS. SMS: spent mushroom substrates, SGKS: serbuk gergajian kayu sengon. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) pada kelima media (F1-F5) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05) dengan kisaran masing-masing 11.44-14.11 buah dan 5.28-6.27 cm (Gambar 19). Jamur tiram putih isolat BNK memiliki JT terbanyak (14.11 buah) pada media yang

30 mengandung 50% SMS (F3), sedangkan DT terbesar (6.27 cm) diperolah media yang mengandung 25% SMS (F2). a a

Jumlah Tudung (buah)

16 14

7

a

a a

a

a

a

6

a

a

5

12 10

4

8

3

6

2

4

Diameter Tudung (cm)

18

JT

DT

1

2

0

0 F1

F2

F3

F4

F5

Gambar 19 Jumlah tudung jamur (JT) dan diameter tudung jamur (DT) tiram putih isolat BNK yang ditumbuhkan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan 5 kombinasi 500 g media yang berbeda antara SMS dan SGKS (F1-F5). F1: 0% SMS, F2: 25% SMS, F3: 50% SMS, F4: 75% SMS, F5: 100% SMS. SMS: spent mushroom substrates, SGKS: serbuk gergajian kayu sengon. Huruf yang berbeda pada gambar yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Produktivitas isolat hibrid (BB48) yang merupakan hasil persilangan antara BBR4 dengan BNK8 lebih rendah dari produktivitas kedua tetuanya (BBR dan BNK) pada suhu 35oC. Produktivitas dikarion induk BBR pada suhu 35 oC tidak berbeda nyata terhadap produktivitas BBR pada suhu ruang. Isolat hibrid yang lain yaitu BC165 yang merupakan hasil persilangan antara monokarion induk BBR16 dengan monokarion induk CSR5 berdasarkan analisis molekular lebih dekat kekerabatannya dengan CSR dari pada BBR. Media sisa budi daya atau spent mushrom substrat (SMS) dari sisa media budi daya jamur tiram putih isolat BNK setelah 3 kali panen dapat digunakan kembali sebagai media budidaya jamur tiram putih isolat BNK. Penambahan SMS sebanyak 25-75% dari campuran SMS dan serbuk gergajian kayu sengon (SGKS) baru dapat meningkatkan produksi tubuh buah jamur.

31 Saran Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keempat isolat induk yang digunakan dalam persilangan (BNK, AMD, BBR dan CSR), produktivitas isolat AMD dan laju pertumbuhan miselium isolat AMD pada suhu 35 oC yang paling baik. Sehingga penelitian selanjutnya dalam melakukan persilangan untuk mendapatkan isolat hibrid yang tahan pada suhu tinggi (35 oC) disarankan untuk mengisolasi isolat monokarion dari isolat induk AMD sebanyak mungkin. Selain itu juga, perlu dilakukan pre-screening berdasarkan sifat genetik terhadap isolat monokarion yang akan digunakan dalam persilangan supaya persilangan menjadi lebih efisien. Hasil analisis molekular, kekerabatan isolat hibrid BC165 lebih dekat dengan isolat induk CSR, oleh karena itu perlu dilakukan budidaya isolat hibrid BC165 untuk membuktikan apakah produktivitasnya sama dengan isolat induk CSR.

DAFTAR PUSTAKA Bas C. 1969. Morphology and subdivision of Amanita and a monograph of its section Lepidella. Persoonia. 5(4):285-579. Baysal EH, Peker MK, Yalinkilic, Temiz A. 2003. Cultivation of oyster mushroom on waste paper with some added supplementary materilas. Bioresour Technol. 89:95-97. Bonatti M. 2004. Evaluation of Pleurotus ostreatus and Pleurotus sajor-caju nutritional characteristics when cultivated in different lignocellulosic wastes. Food Chem. 88(3):425-428.doi:10.1016/j.foodchem.2004.01.050. Chang ST, Miles PG. 1982. Introduction to mushroom science. Di dalam: Chang ST dan Quimo TH, editor. Tropical Mushrooms: Biological Nature and Cultivation Methods. Hong Kong (HK): The Chinese University Press. Hlm 3-10. Chang ST, Miles PG. 2004. Mushrooms: Cultivation, Nutritional Value, Medicinal Effect and Environmental Impact. Ed ke-2. Washington DC (US): CRC Pr. Cheung PCK. 1997. Chemical evaluation of some lesser known edible mushroom mycelia produced in submerged culture from soy milk waste. Food Chem. 60:61–65. Choi YW, Hyde KD, Ho WH. 1999. Single spore isolation of fungi. Fungal Divers. 3:29-38. Fernandes A, Barros L, Martins A, Herbert P, Ferreira ICFR. 2015. Nutritional characterization of Pleurotus ostreatus (Jacq. ex Fr.) P. Kumm, produced using paper scraps as substrates. Food Chem. 169:396-400.doi:10.1016/ j.foodchem.2014.08.027. Fujihara S, Kasuga A, Aoyagi Y, Sugahara T. 1995. Nitrogen to protein conversion factors for some common edible mushroom. J Food Sci. 60:10451047.

32 Gaitan-Hernandez R, Salmones D. 2008. Obtaining and characterizing Pleurotus ostreatus strains for commercial cultivation under warm environmental conditions. Sci Hortic. 118:106-110. Gharehaghaji AN, Goltapeh EM, Masiha S, Gordan HR. 2007. Hybrid production of oyster mushroom Pleurotus ostreatus (Jacq: Fries) Kummer. Pakistan J Biol Sci. 10:2334-2340. Gunawan AW. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Griffin D. 1994. Fungal Physiology. New York (USA): John Wiley and Sons. Gyorfi J, Hajdu C. 2007. Casing-material experiments with Pleurotus eryngii. Int J Hortic Sci. 13(2):33-36. Herliyana EN. 2007. Potensi ligninolitik jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Higley TL, Dashek WV. 1998. Biotechnology in the study of brown and white root decay. Di dalam: Bruce A, Palfreyman JW, editor. Forest Product Biotechnology. London (GB): Taylor and Francis Ltd. hlm 15-36. Houston DF, Kohler GO. 1970. Nutritional Properties of Rice. Washington DC (USA): National Academy of Science. Jusuf M. 2010. Amplified fragment length polymorphism diversity of cultivated white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus). Hayati 17:21-26. Kilpatrick M, Murray DJ, Wars F. 2000. Influence of substrate formulation and autoclave treatment on Lentinula edodes production. J Mushroom Sci. 15:803-810. Kim MK, Ryu JS, Yoo YB. 2011. Characterization of a new cultivar “Dan Bi” by mono-mono hybridization in Pleurotus eryngii. Kor J Mycol. 39:39-43. Kitamoto Y, Nakamata M, Masuda P. 1993. Production of novel white Flammulina velutipes by breeding. Di dalam: Chang ST, Buswell JA, Miles PG, editor. Genetic and Breeding of Edible Mushroom. Amsterdam (NL): Gordon and Breach Science Publishers. Landecker EM. 1996. Fundamental of The Fungi (4th ed). New Jersey (US): Prentice-Hall. Lee BJ, Kim YG, Kim HK, Yang ES, Lim YP. 2009. Tetrapolar incompatibility system of Pleurotus ostreatus new strain ‘Miso’. J Mushroom Sci Prod. 7(4):141-149. Madan M, Vasudevan P, Sharma S. 1987. Cultivation of Pleurotus sajor-caju on different wastes. Biol Wastes. 22(4):241-250.doi:10.1016/0269-7483(87) 90110-8. [MAMI] Midwest American Mycological Information. 2016. Pleurotus ostreatus, Pleurotus populinus, Pleurotus pulmonarius. Michigan (USA): MAMI. [diunduh 2016 Juli 22]. Tersedia pada: http://www.midwestmycology.org/Mushrooms/Species%20listed/Pleurotus %20species.html. Medina E, Parades C, Bustamante MA, Moral R, Moreno-Caselles J. 2012. Relationships beetwen soil physico-chemical, chemical and biological properties in a soil amanded with spent mushroom substrate. Geoderma. 152-161. Melo de CCS, Ceci CS, Nogueira de AMC. 2010. Mushrooms of the genus Pleurotus: a review of cultivation techniques. Interciencia. 35: 177-182.

33 Moonmoon M, Uddin MN, Ahmed S, Shelly NJ, Khan MA. 2010. Cultivation of different strains of king oyster mushroom (Pleurotus eryngii) on sawdust and rice straw in Bangladesh. EJBS. 2(1):13-18. Moore-Landecker E. 1972. Fundamental of The Fungi. USA (US). Prentice-Hall, Inc. Naraian R, Sahu RK, Kumar S, Garg SK, Singh CS, Kanaujia RS. 2009. Influence of diff erent nitrogen rich supplements during cultivation of Pleurotus florida on corn cob substrate. Environmentalis. 29:1-7. Nurhayati T. 1988. Analisis kimia 75 jenis kayu dari beberapa lokasi di Indonesia. JPHH. 5(10):6-11. Peng JT, Lee CM, Tsai YF. 2000. Effect of rice bran on the production of different king oyster mushroom strains during bottle cultivation. J Agric Res China. 49(3):60-67. Pissabarro AG, Larraya LM, Ramirez L. 2000. Molecular tools for breeding basidiomycetes. Int Microbiol. 3:147-152. Poppe J. 2000. Use of agricultural waste materials in the cultivation of mushrooms. J Mushroom Sci. 15:3-22. Purnomo AS, Mori T, Kamei I, Nishii T, Kondo R. 2010. Aplication of mushroom waste medium from Pleurotus ostreatus for bioremidiation of DDT-contaminated soil. Int Biodeter Biodegr. 64:397402.doi:10.1016/j.ibiod.2010.04.007. QIAGEN. 2003. QIAamp DNA Mini Kit and QIAamp DNA Blood Mini Kit Handbook. Jerman (DE): QIAGEN Handbook. Rinker DL. 2002. Handling and using spent mushroom substrate around the world. Mushroom Biol Mushroom Prod. 43-60. Rizki M, Tamai Y. 2011. Effects of different nitrogen rich subtrates and their combination to the yield performance of oyster muhroom (Pleurotus ostreatus). World J Microbiol Biotechnol. 27:1695-1702. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning, a Labolatory Manual. New York (US): Cold Spring Harbor Labolatory. Sanchez C. 2010. Cultivation of Pleurotus ostreatus and other edible mushrooms. Appl Microbiol Biotechnol. 85:1321-1337. Siddhant, Singh CS. 2009. Recycling of spent oyster mushroom substrate to recover additional value. Kathmandu University J of Sci Engineering and Technol. 5(2):66-71. Stamets P. 1993. Growing Gourmet and Medicinal Mushrooms. Hong Kong (HK): Ten Speed Press and Mycomedia. Sudirman LI, Sutrisna A, Listiyowati S, Fadli L, Tarigan B. 2011. The potency of oil palm plantation wastes for mushroom production. Di dalam: Savoie JM, Oriol MF, Largeteau M, Barroso G, editor. Proceedings of the 7th International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products (ICMBMP7); 2011 Oktober 4-7; Arcachon, France. Arcachon (FR): World Society for Mushroom Biology and Mushroom Products (WSMBMP). hlm 378-384. Sulistiany H. 2015. Produksi tubuh buah dan aktivitas antioksidan miselium dan tubuh buah isolat tropis Lentinus dan Pleurotus [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

34 Synytsya A, Mickova K, Synytsya A, Jablonsky I, Spevacek J, Erban V, Kovarikova E, Copikova J. 2009. Glucans from fruit bodies of cultivates mushrooms Pleurotus ostreatus and Pleurotus eryngii: structure and potential prebiotic activity. Carbohyd Polym. 76(4):548-556. doi:10.1016/j.carbpol.2008.11.021. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol. 28(10):2731-2739. Ulfha SM. 2010. Seleksi isolat jamur tiram putih (Pleurotus spp.) berdasarkan sifat pertumbuhan dan perkembangan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Van-Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and nonstarch polysaccarides in relation to animal nutrition. J Diary Sci. 74:3583-3597. Wang S, Xu F, Li Z, Zhao S, Song S, Rong C, Geng X, Liu Y. 2015. The spent mushroom substrates of Hypsizigus marmoreus can be an effective component for growing the oyster mushroom Pleurotus ostreatus. J Sci Hort. 186:217-222. Yildiz S, Yildiz UC, Gezer ED, Temiz A. 2002. Some lignocellulosic wastes used as raw material in cultivation of the Pleurotus ostreatus culture mushroom. Process Biochem. 38(3):301-306.doi:10.1016/S0032-9592(02)00040-7. Zaelani FA. 2010. Isolasi dan identifikasi genetik monokarion jamur tiram (Pleurotus sp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

35

LAMPIRAN

36

37

Lampiran 1 Komposisi media pertumbuhan jamur (Al-Doory 1980)

1. Potato Sucrose Agar (PSA) Kentang segar Gula pasir Agar-agar Akuades Sterilisasi 121 oC selama 20 menit

200 g 20 g 20 g 1L

2. Potato Sucrose Broth (PSB) Kentang segar Gula pasir Akuades Sterilisasi 121 oC selama 20 menit

200 g 20 g 1L

38 Lampiran 2 Hasil uji statistik parameter pengamatan pada produksi tubuh buah jamur tiram putih isolat BNK, AMD, BBR dan CSR yang dibudidayakan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS)

Bobot basah (BB) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

1126.684 1507.951 2634.635

Mean square 3 36 39

375.561 41.888

F 8.966

Sig. .000

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 CSR 10 29.1050 BBR 10 32.0830 Duncana AMD 10 39.9000 BNK 10 41.9017 Sig. .310 .494 Efisiensi biologi (EB) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

6489.699 8685.796 15175.496

df

Mean square 3 36 39

2163.233 241.272

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 CSR 10 69.8520 BBR 10 76.9992 a Duncan AMD 10 95.7600 BNK 10 100.5640 Sig. .310 .494

F 8.966

Sig. .000

39 Fase Vegetatif (FV) atau Masa Pertumbuhan Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

29.300 138.200 167.500

Mean square 3 36 39

9.767 3.839

F 2.544

Sig. .071

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 AMD 10 14.8000 BNK 10 15.0000 a Duncan CSR 10 16.5000 BBR 10 16.7000 Sig. .053 Fase Generatif (FG) atau Masa Perkembangan Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

1665.275 3313.100 4978.375

Mean square 3 36 39

555.092 92.031

F 6.032

Sig. .002

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 AMD 10 45.5000 CSR 10 57.1000 a Duncan BNK 10 59.2000 BBR 10 62.7000 Sig. 1.000 .226 Masa Pertumbuhan dan Perkembangan (MPP) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

1993.400 3422.200 5415.600

df

Mean square 3 36 39

664.467 95.061

F 6.990

Sig. .001

40 Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 AMD 10 60.3000 CSR 10 73.7000 Duncana BNK 10 74.2000 BBR 10 79.4000 Sig. 1.000 .226 Laju Produktivitas (LP) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

5.185 7.116 12.301

Mean square 3 36 39

1.728 .198

F 8.743

Sig. .000

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 BBR 10 1.2171 CSR 10 1.2308 Duncana BNK 10 1.6976 AMD 10 2.0831 Sig. .946 .060 Jumlah Tudung Jamur (JT) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

1175.275 2219.700 3394.975

df

Mean square 3 36 39

391.758 61.658

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 CSR 10 12.8000 BNK 10 19.5000 19.5000 a Duncan BBR 10 25.8000 AMD 10 26.0000 Sig. .064 .088

F 6.354

Sig. .001

41 Diameter Tudung Jamur (DT) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

17.027 36.808 53.835

df

Mean square 3 36 39

5.676 1.022

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 BBR 10 4.6720 AMD 10 5.2713 a Duncan BNK 10 5.6147 5.6147 CSR 10 6.4757 Sig. .055 .065

F 5.551

Sig. .003

42 Lampiran 3 Terminologi kriteria bentuk spora berdasarkan ukuran rasio P/L spora (Bas 1969)

Bentuk Globose Subglobose Broadly ellipsoid Ellipsoid Elongate Cylindrical Bacilliform

Rasio P/L 1.0-1.05 1.05-1.15 1.15-1.3 1.3-1.6 1.6-2.0 2.0-3.0 >3.0

43 Lampiran 4 Hasil uji statistik panjang (P), lebar (L) dan rasio P/L spora jamur tiram putih isolat BNK, AMD, BBR dan CSR yang dibudidayakan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS)

Panjang Spora Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

Df

44.960 50.759 95.719

3 116 119

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N

Duncana

BNK CSR AMD BBR Sig.

30 30 30 30

Mean square 14.987 .438

F

Sig.

34.249

.000

Subset for alpha = 0.05 1 2 6.7967 8.1067 8.1600 8.3267 .228

1.000

Lebar Spora Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

Df

2.799 11.841 14.640

3 116 119

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N

Duncana

CSR AMD BNK BBR Sig.

Mean square

30 30 30 30

.933 .102

F

Sig.

9.140

Subset for alpha = 0.05 1 2 3.3433 3.4700

.127

3.6400 3.7400 .228

.000

44 Rasio P/L Spora Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

Df

5.393 4.467 9.860

Mean square

3 116 119

1.798 .039

F 46.677

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat

Duncana

BNK BBR AMD CSR Sig.

N 30 30 30 30

Subset for alpha = 0.05 3 1 2 1.8800 2.2349 2.3586 2.4319 1.000 1.000 .151

Sig. .000

45 Lampiran 5 Karakteristik morfologi miselium (Lee et al. 2009)

Keterangan : A : Streak B : Fluffy C : Puffy D : Feathery E : Cumulous F : Concentric

46 Lampiran 6 Hasil uji statistik parameter pengamatan pada produksi tubuh buah jamur tiram putih isolat hibrid BB48 dan isolat induk (BNK dan BBR) yang dibudidayakan pada suhu tinggi (35 oC) serta isolat induk (BNK dan BBR) pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan media serbuk gergajian kayu sengon (SGKS) Bobot Basah (BB) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

Df

7844.756 5606.887 13451.643

Mean square 4 30 34

1961.189 186.896

F 10.493

Sig. .000

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat

Duncana

Subset for alpha = 0.05 3 1 2 78.9786 95.2871 96.6386 101.2610 125.3943 1.000 .448 1.000

N

BB48 suhu 35 BNK suhu 35 BBR suhu ruang BBR suhu 35 BNK suhu ruang Sig.

7 7 7 7 7

Efisiensi Biologi (EB) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

5020.644 3588.408 8609.052

Mean square 4 30 34

1255.161 119.614

F 10.493

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat

Duncana

BB48 suhu 35 BNK suhu 35 BBR suhu ruang BBR suhu 35 BNK suhu ruang Sig.

N 7 7 7 7 7

Subset for alpha = 0.05 3 1 2 63.1829 76.2297 77.3109 81.0088 100.3154 1.000 .448 1.000

Sig. .000

47 Fase Vegetatif (FV) atau Masa Pertumbuhan Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

306.971 29.714 336.686

Mean square 4 30 34

76.743 .990

F 77.481

Sig. .000

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat

Duncana

N

BNK suhu ruang BBR suhu ruang BBR suhu 35 BNK suhu 35 BB48 suhu 35 Sig.

7 7 7 7 7

Subset for alpha = 0.05 3 1 2 14.4286 16.1429 16.2857 16.4286 23.0000 1.000 .618 1.000

Fase Generatif (FG) atau Masa Perkembangan Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

5679.714 2186.571 7866.286

Mean square 4 30 34

1419.929 72.886

F 19.482

Sig. .000

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 4 BBR suhu ruang 7 42.4286 BNK suhu ruang 7 57.4286 BB48 suhu 35 7 68.4286 Duncana BBR suhu 35 7 72.4286 72.4286 BNK suhu 35 7 78.5714 Sig. 1.000 1.000 .388 .188 Masa Pertumbuhan dan Perkembangan (MPP) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

2789.429 1713.714 4503.143

df

Mean square 4 30 34

697.357 57.124

F 12.208

Sig. .000

48 Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 BNK suhu ruang 7 71.8571 BBR suhu ruang 7 76.5714 7 88.7143 a BBR suhu 35 Duncan BB48 suhu 35 7 91.4286 BNK suhu 35 7 95.0000 Sig. .252 .152 Laju Produktivitas (LP) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

3.100 .910 4.010

Mean square 4 30 34

.775 .030

F 25.544

Sig. .000

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 4 BB48 suhu 35 7 .8756 BNK suhu 35 7 1.0106 1.0106 BBR suhu 35 7 1.1463 1.1463 Duncana BBR suhu ruang 7 1.2655 BNK suhu ruang 7 1.7430 Sig. .157 .155 .210 1.000 Jumlah Tudung Jamur (JT) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

321.543 1575.429 1896.971

Mean square 4 30 34

80.386 52.514

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05

Duncana

BNK suhu ruang BBR suhu ruang BBR suhu 35 BNK suhu 35 BB48 suhu 35 Sig.

7 7 7 7 7

1 19.7143 23.1429 26.1429 27.2857 27.8571 .068

F 1.531

Sig. .218

49 Diameter Tudung Jamur (DT) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

17.574 17.539 35.114

df

Mean square 4 30 34

4.394 .585

F 7.515

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Isolat N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 BNK suhu 35 7 3.6543 BB48 suhu 35 7 3.6986 BBR suhu 35 7 4.2014 4.2014 Duncana BBR suhu ruang 7 4.8224 4.8224 BNK suhu ruang 7 5.5167 Sig. .216 .139 .100

Sig. .000

50 Lampiran 7 Data suhu fase reproduktif isolat hibrid (Perlakuan 35 oC)

Tanggal 6 Maret 2016 7 Maret 2016 8 Maret 2016 9 Maret 2016 10 Maret 2016 11 Maret 2016 12 Maret 2016 13 Maret 2016 14 Maret 2016 15 Maret 2016 16 Maret 2016 17 Maret 2016 18 Maret 2016 19 Maret 2016 20 Maret 2016 21 Maret 2016 22 Maret 2016 23 Maret 2016 24 Maret 2016 25 Maret 2016 26 Maret 2016 27 Maret 2016 28 Maret 2016 29 Maret 2016 30 Maret 2016 31 Maret 2016 1 April 2016 2 April 2016 3 April 2016 4 April 2016 5 April 2016 6 April 2016 7 April 2016 8 April 2016 9 April 2016 10 April 2016 11 April 2016 12 April 2016 13 April 2016 14 April 2016 15 April 2016 16 April 2016 17 April 2016

Pagi 29 29 28 29.5 29.5 29.5 28.5 29.5 30 28.5 28.5 29.5 29 29.5 30 30 29.5 29 29.5 29 28 28.5 28.5 29 28.5 28.5 28 28.5 29 29 29 29 28 30 29 29 30 30 30 29 29 29 29

Suhu (oC) Siang 35 35 34 36 36 35 34 35 34 36 34 36 34 35 35 34 36 35 36 35 35 35 35 35 34 34 34 35 35 35 34 35 34 36 35 35 36 35 36 36 35 35 35

Sore 30 30 29 31 31 30 29 30 29 31 29 31 29 30 30 29 31 30 31 29 29 30 30 30 29 29 30 30 30 30 29 30 28.5 31 30 30 31 30 31 31 30 30 30

51 18 April 2016 19 April 2016 20 April 2016 21 April 2016 22 April 2016 23 April 2016 24 April 2016 25 April 2016 26 April 2016 27 April 2016 28 April 2016 29 April 2016 30 April 2016 1 Mei 2016 2 Mei 2016 3 Mei 2016 4 Mei 2016 5 Mei 2016 6 Mei 2016 7 Mei 2016 8 Mei 2016 9 Mei 2016 10 Mei 2016 11 Mei 2016 12 Mei 2016 13 Mei 2016 14 Mei 2016 15 Mei 2016 16 Mei 2016 17 Mei 2016 18 Mei 2016 19 Mei 2016 20 Mei 2016 21 Mei 2016 22 Mei 2016 Rata-rata

27 29 29 29 29 30 29 29 29 29 28 29 29 29 29 30 29 29 29 29 29 29 29 29 30 29.5 29 30 29.5 29.5 29 30 29 29 29 29.1

Keterangan : Perlakuan suhu 35 oC pada siang hari.

34 35 35 36 35 36 35 35 34 35.5 35 35 35 34 35 35 36 35 35 36 36 36 35 36 36 35 35 36 35 35 35 36 35 35 35 35.1

28 29 29 31 30 31 30 30 29.5 31 30 30 30 30 31 30 31 30 30 31 31 31 30 31 32 30 30 31 30 30 30 31 30 30 30 30.1

52 Lampiran 8 Pengeditan sekuen nukleotida menggunakan software MEGA 4.00

1. Hasil alignment DNA forward dan reverse-complement a. Dikarion BBR

b. Dikarion CSR

c. Monokarion BBR15

d. Monokarion BBR16

e. Monokarion CSR5

f. Dikarion BC165 (hibrid)

53 2.

Koreksi primer sekuen DNA (forward dan reverse-complement) a. Dikarion BBR  Forward



Reverse-complement

b. Dikarion CSR  Forward



Reverse-complement

c. Monokarion BBR15  Forward



Reverse-complement

d. Monokarion BBR16  Forward



Reverse-complement

54 e. Monokarion CSR5  Forward



Reverse-complement

f. Dikarion BC165 (hibrid)  Forward



Reverse-complement

55 Lampiran 9 Urutan sekuen nukleotida isolat jamur tiram putih hasil editing

1. Dikarion BBR CTGAACGCCTCTTAAGTCAGAATCCGTGCTAGAAACGATGATGTTGGT CCCCGCACATGTAACTAGTGTTAAAATAGAGCTTTGCTCGTAAACCAA ATCAGGTGGACTCGGTTGACCTTGCGGAAATGCTGGGTTGGCTCGTCT ACGAATTGTAATAATTATATGCGCGGGGGTGAATCCTTTGCAGACGAC TTGAATGGGAACGGGGTACTGTAAGCGGTAGAGTAGCCTTGTTGCTAC GATCCGCTGAGGTTAAGCCCTTGTTCTAAAGATTTGTTCAACTTTGTTG AACTCTTTCTTTTCTTGACGGAATAAATACCTGAGGGCCGGCTCCAGA GAACTTGGAATATGTGAGTGTTCTGTTCTTTGGATGGTCACTGTGATGA CTCGCATTCTCTTCCCCGTCTTACACGACCATGAGGAGGTATAAGAGTT GTCTATTGTTCGCGCAATAGACTCTATAACAGTGCACTTGCCAGTGCC ATTCAGTCTGACTCTTTTATCAATGAAGTCACAAGCAATGAAGCTGAC TTGATCTTTTGATAGAGTCTTAATTGGAGGAGGATCACATTAGACCGG TGAGTTGACTGTGTTTAAATTGGATTGTGTACGGATGAAACACTTCCTA CATTCGCAGTTTCTAACTCTAGTGTTCTCCGTGACCGGGGTACTCCTCC AATACCTGATGTCTATATTCCCCCTTTGTGATGTTGAACCCATTGACTC ACAAAGCTTGTGGGCCGCCATTAAGGTGCGCTGGGCAAAAGGTGGGG GTCAACACAGTGAGAGCTCAATGTGACCTTCCTTTGGATGTCTGATCTT TGATGATGTGCTCGGAAATTGAAGTCAGTTTACTGACTACAAAGGTTT AGGTCAAAACCTGGTCACAAAGTGTACTGGTATCCACGGCCATAGGAC TCTGAAAGCACCGCACCCCCGTCTGAT 2. Dikarion CSR CTGAACGCCCTCTAAGTCAGAATCCGTGCTAGAAACGATGATGTTGGT CCCCGCACATGTAACTAGTGTTAAAATAGAGCTTTGCTCGTAAACCAA ATCAGGTGGACTCGGTTGACCTTGCGGAAATGCTGGGTTGGCTCGTCT ACGAATTGTAATAATTATATGCGCGGGGGTGAATCCTTTGCAGACGAC TTGAATGGGAACGGGGTACTGTAAGCGGTAGAGTAGCCTTGTTGCTAC GATCCGCTGAGGTTAAGCCCTTGTTCTAAAGATTTGTTCAACTTTGTTG AACTCTTTCTTTTCTTGACGGAATAAATACCTGAGGGCCGGCTCCAGA GAACTTGGAATATGTGAGTGTTCTGTTCTTTGGATGGTCACTGTGATGA CTCGCATTCTCTTCCCCGTCTTACACGACCATGAGGAGGTATAAGAGTT GTCTATTGTTCGCGCAATAGACTCTATAACAGTGCACTTGCCAGTGCC ATTCAGTCTGACTCTTTTATCAATGAAGTCACAAGCAATGAAGCTGAC TTGATCTTTTGATAGAGTCTTAATTGGAGGAGGATCACATTAGACCGG TGAGTTGACTGTGTTTAAATTGGATTGTGTACGGATGAAACACTTCCTA CATTCGCAGTTTCTAACTCTAGTGTTCTCCGTGACCGGGGTACTCCTCC AATACCTGATGTCTATATTCCCCCTTTGTGATGTTGAACCCATTGACTC ACAAAGCTTGTGGGCCGCCATTAAGGTGCGCTGGGCAAAAGGTGGGG GTCAACACAGTGAGAGCTCAATGTGACCTTCCTTTGGATGTCTGATCTT TGATGATGTGCTCGGAAATTGAAGTCAGTTTACTGACTACAAAGGTTT AGGTCAAAACCTGGTCACAAAGTGTACTGGTATCCACGGCCATAGGAC TCTGAAAGCACCGCACCCCCGTCTGAT 3. Monokarion BBR15

56 CTGAAAGCCCCTTAAGTCAGAATCCGTGCTAGAAACGATGATGTTGGT CCCCGCACATGTAACTAGTGTTAAAATAGAGCTTTGCTCGTAAACCAA ATCAGGTGGACTCGGTTGACCTTGCGGAAATGCTGGGTTGGCTCGTCT ACGAATTGTAATAATTATATGCGCGGGGGTGAATCCTTTGCAGACGAC TTGAATGGGAACGGGGTACTGTAAGCGGTAGAGTAGCCTTGTTGCTAC GATCCGCTGAGGTTAAGCCCTTGTTCTAAAGATTTGTTCAACTTTGTTG AACTCTTTCTTTTCTTGACGGAATAAATACCTGAGGGCCGGCTCCAGA GAACTTGGAATATGTGAGTGTTCTGTTCTTTGGATGGTCACTGTGATGA CTCGCATTCTCTTCCCCGTCTTACACGACCATGAGGAGGTATAAGAGTT GTCTATTGTTCGCGCAATAGACTCTATAACAGTGCACTTGCCAGTGCC ATTCAGTCTGACTCTTTTATCAATGAAGTCACAAGCAATGAAGCTGAC TTGATCTTTTGATAGAGTCTTAATTGGAGGAGGATCACATTAGACCGG TGAGTTGACTGTGTTTAAATTGGATTGTGTACGGATGAAACACTTCCTA CATTCGCAGTTTCTAACTCTAGTGTTCTCCGTGACCGGGGTACTCCTCC AATACCTGATGTCTATATTCCCCCTTTGTGATGTTGAACCCATTGACTC ACAAAGCTTGTGGGCCGCCATTAAGGTGCGCTGGGCAAAAGGTGGGG GTCAACACAGTGAGAGCTCAATGTGACCTTCCTTTGGATGTCTGATCTT TGATGATGTGCTCGGAAATTGAAGTCAGTTTACTGACTACAAAGGTTT AGGTCAAAACCTGGTCACAAAGTGTACTGGTATCCACGGCCATAGGAC TCTGAAAGCACCGCATCCCCGTCTGAT 4. Monokarion BBR16 CTGAAGGCCCTCTAAGTCAGAATCCGTGCTAGAAACGATGATGTTGGT CCCCGCACATGTAACTAGTGTTAAAATAGAGCTTTGCTCGTAAACCAA ATCAGGTGGACTCGGTTGACCTTGCGGAAATGCTGGGTTGGCTCGTCT ACGAATTGTAATAATTATATGCGCGGGGGTGAATCCTTTGCAGACGAC TTGAATGGGAACGGGGTACTGTAAGCGGTAGAGTAGCCTTGTTGCTAC GATCCGCTGAGGTTAAGCCCTTGTTCTAAAGATTTGTTCAACTTTGTTG AACTCTTTCTTTTCTTGACGGAATAAATACCTGAGGGCCGGCTCCAGA GAACTTGGAATATGTGAGTGTTCTGTTCTTTGGATGGTCACTGTGATGA CTCGCATTCTCTTCCCCGTCTTACACGACCATGAGGAGGTATAAGAGTT GTCTATTGTTCGCGCAATAGACTCTATAACAGTGCACTTGCCAGTGCC ATTCAGTCTGACTCTTTTATCAATGAAGTCACAAGCAATGAAGCTGAC TTGATCTTTTGATAGAGTCTTAATTGGAGGAGGATCACATTAGACCGG TGAGTTGACTGTGTTTAAATTGGATTGTGTACGGATGAAACACTTCCTA CATTCGCAGTTTCTAACTCTAGTGTTCTCCGTGACCGGGGTACTCCTCC AATACCTGATGTCTATATTCCCCCTTTGTGATGTTGAACCCATTGACTC ACAAAGCTTGTGGGCCGCCATTAAGGTGCGCTGGGCAAAAGGTGGGG GTCAACACAGTGAGAGCTCAATGTGACCTTCCTTTGGATGTCTGATCTT TGATGATGTGCTCGGAAATTGAAGTCAGTTTACTGACTACAAAGGTTT AGGTCAAAACCTGGTCACAAAGTGTACTGGTATCCACGGCCATAGGAC TCTGAAAGCACCCACCCCCCGTCTGAT

5. Monokarion CSR5 CTGAACGCCCTCTAAGTCAGAATCCGTGCTAGAAACGATGATGTTGGT CCCCGCACATGTAACTAGTGTTAAAATAGAGCTTTGCTCGTAAACCAA ATCAGGTGGACTCGGTTGACCTTGCGGAAATGCTGGGTTGGCTCGTCT

57 ACGAATTGTAATAATTATATGCGCGGGGGTGAATCCTTTGCAGACGAC TTGAATGGGAACGGGGTACTGTAAGCGGTAGAGTAGCCTTGTTGCTAC GATCCGCTGAGGTTAAGCCCTTGTTCTAAAGATTTGTTCAACTTTGTTG AACTCTTTCTTTTCTTGACGGAATAAATACCTGAGGGCCGGCTCCAGA GAACTTGGAATATGTGAGTGTTCTGTTCTTTGGATGGTCACTGTGATGA CTCGCATTCTCTTCCCCGTCTTACACGACCATGAGGAGGTATAAGAGTT GTCTATTGTTCGCGCAATAGACTCTATAACAGTGCACTTGCCAGTGCC ATTCAGTCTGACTCTTTTATCAATGAAGTCACAAGCAATGAAGCTGAC TTGATCTTTTGATAGAGTCTTAATTGGAGGAGGATCACATTAGACCGG TGAGTTGACTGTGTTTAAATTGGATTGTGTACGGATGAAACACTTCCTA CATTCGCAGTTTCTAACTCTAGTGTTCTCCGTGACCGGGGTACTCCTCC AATACCTGATGTCTATATTCCCCCTTTGTGATGTTGAACCCATTGACTC ACAAAGCTTGTGGGCCGCCATTAAGGTGCGCTGGGCAAAAGGTGGGG GTCAACACAGTGAGAGCTCAATGTGACCTTCCTTTGGATGTCTGATCTT TGATGATGTGCTCGGAAATTGAAGTCAGTTTACTGACTACAAAGGTTT AGGTCAAAACCTGGTCACAAAGTGTACTGGTATCCACGGTCATAGGAC TCTGAAAGCACCGCATCCCCGTCTGAT 6. Dikarion BC165 (hibrid) CTGAACGCCCTCTAAGTCAGAATCCGTGCTAGAAACGATGATGTTGGT CCCCGCACATGTAACTAGTGTTAAAATAGAGCTTTGCTCGTAAACCAA ATCAGGTGGACTCGGTTGACCTTGCGGAAATGCTGGGTTGGCTCGTCT ACGAATTGTAATAATTATATGCGCGGGGGTGAATCCTTTGCAGACGAC TTGAATGGGAACGGGGTACTGTAAGCGGTAGAGTAGCCTTGTTGCTAC GATCCGCTGAGGTTAAGCCCTTGTTCTAAAGATTTGTTCAACTTTGTTG AACTCTTTCTTTTCTTGACGGAATAAATACCTGAGGGCCGGCTCCAGA GAACTTGGAATATGTGAGTGTTCTGTTCTTTGGATGGTCACTGTGATGA CTCGCATTCTCTTCCCCGTCTTACACGACCATGAGGAGGTATAAGAGTT GTCTATTGTTCGCGCAATAGACTCTATAACAGTGCACTTGCCAGTGCC ATTCAGTCTGACTCTTTTATCAATGAAGTCACAAGCAATGAAGCTGAC TTGATCTTTTGATAGAGTCTTAATTGGAGGAGGATCACATTAGACCGG TGAGTTGACTGTGTTTAAATTGGATTGTGTACGGATGAAACACTTCCTA CATTCGCAGTTTCTAACTCTAGTGTTCTCCGTGACCGGGGTACTCCTCC AATACCTGATGTCTATATTCCCCCTTTGTGATGTTGAACCCATTGACTC ACAAAGCTTGTGGGCCGCCATTAAGGTGCGCTGGGCAAAAGGTGGGG GTCAACACAGTGAGAGCTCAATGTGACCTTCCTTTGGATGTCTGATCTT TGATGATGTGCTCGGAAATTGAAGTCAGTTTACTGACTACAAAGGTTT AGGTCAAAACCTGGTCACAAAGTGTACTGGTATCCACGGTCATATGAC TCTGATAGCACCGTATCCCCGTCTGAT

58 Lampiran 10 Hasil uji statistik parameter pengamatan pada produksi tubuh buah jamur tiram putih isolat BNK yang dibudidayakan pada suhu ruang (27.5-29 oC) dengan menggunakan media campuran antara media sisa budi daya atau spent mushroom substrates (SMS) dan serbuk gergajian kayu sengon (SGKS) baru. Bobot basah (BB) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

4572.374 12909.045 17481.420

Mean square 4 40 44

1143.094 322.726

F 3.542

Sig. .014

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Media N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 0:100 9 65.5122 100:0 9 75.2556 75.2556 9 77.1089 77.1089 a 25:75 Duncan 50:50 9 86.1311 86.1311 75:25 9 95.1600 Sig. .204 .233 .293 Efisiensi biologi (EB) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

2926.320 8261.789 11188.109

df

Mean square 4 40 44

731.580 206.545

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Media N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 0:100 9 52.4098 100:0 9 60.2044 60.2044 25:75 9 61.6871 61.6871 Duncana 50:50 9 68.9049 68.9049 75:25 9 76.1280 Sig. .204 .233 .293

F 3.542

Sig. .014

59 Fase Vegetatif (FV) atau Masa Pertumbuhan Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

71.911 154.667 226.578

Mean square 4 40 44

17.978 3.867

F 4.649

Sig. .004

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Media N Subset for alpha = 0.05 1 2 50:50 9 16.5556 100:0 9 16.7778 75:25 9 18.8889 Duncana 25:75 9 19.0000 0:100 9 19.6667 Sig. .812 .435 Fase Generatif (FG) atau Masa Perkembangan Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

3831.244 17230.667 21061.911

Mean square 4 40 44

957.811 430.767

F 2.224

Sig. .084

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Media N Subset for alpha = 0.05 1 2 25:75 9 55.0000 0:100 9 62.4444 62.4444 75:25 9 66.2222 66.2222 Duncana 50:50 9 75.8889 75.8889 100:0 9 80.6667 Sig. .056 .096 Masa Pertumbuhan dan Perkembangan (MPP) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares

df

Between groups 2989.556 4 Within groups 17694.222 40 Total 20683.778 44 Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)

Mean square 747.389 442.356

F 1.690

Sig. .171

60

Media Duncana T5 T4 T2 T3 T1 Sig.

Subset for alpha = 0.05 1 2 73.4444 74.0000 74.0000 85.1111 85.1111 92.4444 92.4444 97.4444 .112 .050

N 9 9 9 9 9

Laju Produktivitas (LP) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

df

.875 1.960 2.835

Mean square 4 40 44

.219 .049

F 4.463

Sig. .004

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Media N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 0:100 9 .8157 100:0 9 .8185 9 .9410 .9410 a 50:50 Duncan 25:75 9 1.0700 1.0700 75:25 9 1.1697 Sig. .265 .224 .345 Jumlah Tudung Jamur (JT) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

40.756 694.444 735.200

df

Mean square 4 40 44

10.189 17.361

F .587

Sig. .674

61 Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Media N Subset for alpha = 0.05 1 75:25 9 11.4444 100:0 9 11.7778 9 12.1111 a 0:100 Duncan 25:75 9 12.8889 50:50 9 14.1111 Sig. .235 Diameter Tudung Jamur (DT) Uji Analyses of variance (ANOVA) Sum of squares Between groups Within groups Total

1.873 46.783 48.655

df

Mean square 4 40 44

Uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) Subset for alpha = 0.05 Media N 1 a Duncan T3 9 5.2867 T5 9 5.6800 T1 9 5.7533 T4 9 5.8044 T2 9 6.2756 Sig. .057

.468 1.170

F .400

Sig. .807

62

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 05 Januari 1991 sebagai anak pertama dari 2 bersaudara pasangan Soenarto dan Sri Utami. Tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 3 Pati dan pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) melalui jalur ujian tulis gelombang 2 (UTUL2) dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Mikrobiologi (MIK) Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mendapatkan Beasiswa Fresh Graduate dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) tahun 2013. Tulisan karya ilmiah ini dipublikasikan dalam jurnal Brazillian Archives of Biology and Technoloy (BABT) dengan judul “Increasing and Pattern of White Oyster Mushroom Production Using Paraserianthes Spent Substrate”.