PENDAHULUAN

Download Namun, pembahasan mengenai tetralogi Twilight sesungguhnya tidak hanya melulu .... Melihat fakta sejarah kepercayaan masyarakat terhadap va...

0 downloads 380 Views 382KB Size
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tetralogi Twilight merupakan empat novel buah pena seorang pengarang perempuan asal Amerika bernama Stephenie Meyer. Tetralogi bergenre romance1ini menyuguhkan tema cinta segitiga antara manusia vampir (Edward Cullen), manusia (Bella Swan), dan manusia serigala (Jacob Black).Namun, pembahasan mengenai tetralogi Twilight sesungguhnya tidak hanya melulu persoalan kisah romantisme belaka.Tetralogi ini tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai vampir. Kisah percintaan ini dibalut dalam nuansa misteri yang menghadirkan makhluk metafisis vampir. Memunculkan vampir dalam sebuah fiksi modern merupakan daya tarik tersendiri yang mampu menjaring perhatian besar. Hal ini dikarenakan vampir, yang notabene merupakan makhluk metafisis yang sangat legendaris yang dipercayai keberadaannya dalam masyarakat berabad-abad silam, kini secara terang-terangan dimunculkan kembali dalam fiksi modern, namun dalam sebuah narasi yang lebih modern dan dalam konteks yang modern pula. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan rasa keingintahuan yang mendalam mengenai bagaimana seorang pengarang memunculkan sesuatu yang berasal dari masa lalu ke dalam konteks masa kini. 1

Romance merupakan salah satu genre dalam karya sastra. Menurut Holman dalam bukunya yang berjudul A Handbook to Literature, romance merupakan sebuah tipe novel yang ditandai dengan perhatian khusus pada aksi dan penyajian episode-episode berdasarkan cinta, petualangan, dan pertempuran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa romance merupakan salah satu genre dalam sastra yang biasanya berkaitan dengan cerita percintaan.

2

Berbicara mengenai vampir, pada abad pertengahan di Eropa mulai muncul mitos-mitos mengenai makhluk metafisis penghisap darah manusia. Kepercayaan dan mitos mengenai makhluk yang kemudian dikenal dengan nama vampir ini kemudian berkembang dan mengakar yang sebetulnya telah ada selama berabadabad lamanya. Mitos-mitos tentang vampir dapat ditemukan di banyak kultur. Hampir sebagian besar budaya mempunyai legenda vampir mereka sendiri. Kebudayaan

Mesopotamia,

Yahudi,

Yunani

kuno,

dan

Romawi

kuno

menceritakan mengenai setan atau roh yang mirip dengan vampir yang kini kita kenal. Meskipun begitu, vampir yang kini kita kenal melalui fiksi-fiksi yang beredar adalah vampir yang berasal dari folklor Eropa, khususnya Eropa bagian timur. Dalam sebagian besar cerita rakyat, vampir adalah mayat hidup, korban bunuh diri, atau penyihir tetapi vampir juga bisa diciptakan dari roh jahat yang masuk ke suatu mayat dan melalui gigitan vampir lain. Legenda ini semakin lama semakin meluas dan bahkan di beberapa daerah menyebabkan histeria massal dan beberapa orang dituduh sebagai vampir. Fakta ini ditegaskan oleh Bunson, ―Historically, vampirism was most often associated with those who had sinned. Individuals who had committed suicide or who had led an immoral life were strongly suspect‖2 (Secara historis, vampir paling sering dikaitkan dengan orangorang yang telah berdosa. Individu yang telah melakukan bunuh diri atau yang telah memimpin kehidupan amoral menjadi yang paling dicurigai).

2

Bunson, Mathew. 1993. Vampire Encyclopedia. London: Thames & Hudson. Hlm

3

Apa yang dapat dikatakan berdasarkan fakta tersebut adalah bahwa vampir menjadi teror masyarakat pada masa itu. Meneruskan apa yang dikatakan Bunson, Florescu dan McNally (via Fountain, 2010) menyatakan bahwa sampai pada tahun 1823 di Inggris menekankan bahwa seluruh mayat korban bunuh diri harus didiamkan

terlebih

dahulu

sebelum

pemakaman—yang disebut

sebagai

menghindari pemakaman dini—untuk memastikan mereka tidak akan bangkit dari kematiannya lagi dan menjadi vampir.3 Ketakutan masyarakat terhadap mitos mengenai vampir ini salah satunya dipicu oleh keyakinan masyarakat bahwa vampir adalah makhluk pembunuh. Vampir dianggap sebagai perwujudan negatif yang tidak ada habisnya. Konsep masyarakat dalam memahami vampir ini nampak pada apa yang dipaparkan penyair terkenal asal Inggris Lord Byron dalam puisinya yang berjudul The Giaour (1813). But first, on earth as vampire sent, Thy corpse shall from its tomb be rent: Then ghostly haunt thy native place, And suck the blood of all thy race; There from thy daughter, sister, wife, At midnight drain the stream of life; Yet loathe the banquet which perforce Must feed thy livid living corpse: Thy victims ere they yet expire Shall know thy demon for their sire, As cursing thee, thou cursing them, Thy flowers are withered on the stem4 Tapi pertama, di bumi seperti vampir yang dikirim, Mayatmu hadir dari makam yang dipinjam: Kemudian hantu menghantui tempat aslimu, 3

Fountain, Jennifer. 2010. The Vampire in Modern American Media. Diakses pada laman http://www.dartmouth.edu/~elektra/thesis.html pada tanggal 8 Oktober 2015, pada pukul 17:00. 4 Diakses dari laman http://www.bluefat.com/Carmilla/The_Giaour.html, pada tanggal 18 Oktober, pukul 17:10.

4

Dan menghisap darah semua rasmu; Ada yang dari putrimu, adikmu, istrimu, Di tengah malam mengerikan arus kehidupan; Namun membenci perjamuan yang memaksakan Harus memberi makan mayat hidupmu yang marah: Korbanmu adalah mereka yang belum berakhir Yang akan mengetahui setanmu bagi indukan mereka, Seperti mengutuk engkau, engkau mengutuk mereka, Bunga-bungamu yang layu pada batang Dalam syair puisi tersebut sangat jelas deskripsi bagaimana vampir menghantui manusia dengan cara bangkit dari kubur dan memburu penduduk setempat. Tak hanya itu, dijelaskan pula mereka memburu penduduk untuk dihisap darahnya dengan tujuan untuk menjaga eksistensi vampir sebagai makhluk yang immortal atau abadi. Kentalnya mitos vampir yang telah mengakar dalam kepercayaan masyarakat terus berkembang dan kemudian diadopsi ke dalam cerita fiksi. Vampir sebagai tokoh yang banyak diperbincangkan, mulai muncul dalam fiksifiksi ber-genre gothic pada abad 18 dan 19. Awal abad ke delapan belas, diawali oleh puisi Lord Byron tersebut, kemudian banyak bermunculan fiksi-fiksi lain yang mengangkat mitos vampir. Sebut saja The Vampyre ( 1819) karangan John Pollidori, Varney the Vampire (1847) karangan James Malcom Rymer, dan novel Dracula (1897) karangan Bram Stroker yang kemudian disebut sebagai novel vampir terbaik sepanjang perkembangan fiksi vampir. Karakteristik utama vampir dalam fiksi-fiksi tersebut nampak digambarkan seperti apa yang diyakini oleh masyarakat, yakni sebagai monster yang menyeramkan dan memburu serta menghisap darah manusia. Seperti yang ditekankan oleh Yurguis, ―In horror

5

novels, the vampires was nothing but bloodthirsty killer‖5(Dalam novel horor, vampir hanyalah pembunuh yang haus darah), sehingga dalam cerita-cerita tersebut, tokoh vampir menjadi sasaran untuk ditumpaskan. Penggambaran vampir sebagai monster telah secara turun-temurun terwariskan dan terus dilanggengkan dalam perkembangan fiksi vampir. Gordon dan Hollinger dalam penelitiannya mengafirmasi opini tersebut, ―the literary vampire is one of the most powerful archetypes bequeathed to us from the imagination of the nineteenth century‖ (vampir sastra adalah salah satu arketip yang paling kuat yang diwariskan kepada kita dari imajinasi abad kesembilan belas).6 Selanjutnya, Gordon dan Hollinger menyatakan, ―Vampire tales have been and, in some cases, continue to be grisly nightmares that touch on the basic fears that make us all vulnerable‖7 (dongeng vampir telah dan, dalam beberapa kasus, terus menjadi mimpi buruk yang mengerikan yang menyentuh ketakutan dasar yang membuat kita semua rapuh).Genre vampir terus berkembang dan diproduksi. Salah satu negara yang disebut-sebut mengalami titik pesat perkembangan genre ini adalah Amerika Serikat.8 Melihat fakta sejarah kepercayaan masyarakat terhadap vampir dan perkembangan fiksi vampir, nampaknya ada yang berbeda dari tetralogiTwilight karya Stephenie Meyer. Melalui penggambaran kisah romantisme cinta segitiga seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Meyer hadir dengan perspektif yang 5

Yurguis, Katia. 2002. The Dark Gifts : Vampir in the AIDS Era, diakses dari laman http://www.arts.cornell.edu/knight_institute/publicationsprizes/discoveries/discoveriesfall2002/01 katiayurguis.pdf, pada tanggal 18 Oktober, pukul 17:20. Hlm 2. 6 Gordon, Joan & Veronica Hollinger. 1997. Blood Read: The Vampire as Metaphor in Contemporary Culture. Philadelphia: University on Pennsylvania Press. Hlm 1. 7 Ibid. 8 Op.cit., Fountain, Jennifer. 2010. The Vampire in Modern American Media...

6

berbeda mengenai vampir. Ia merekonstruksi definisi vampir yang diyakini masyarakat selama ini. Dalam tetralogi Twilight, tidak ada vampir yang digambarkan menyeramkan dengan taring menjulang dari setiap sudut mulutnya, tak ada cucuran darah yang bersimbah di mukanya, serta tidak ada juga luka-luka menyeramkan lainnya yang biasanya menjadi ciri khas tersendiri dalam penampilan konvensional vampir. Sebaliknya, tetralogi ini diisi dengan tokohtokoh vampir yang digambakan menawan, baik dan mempesona. Seperti Dr. Charlisle Cullen yang digambarkan rupawan dan baik hati; ―Charlisle Cullen is an incredibly handsome, conscientious, morally-sound doctor... Charlisle is a vampire with a conscience‖9 (Charlisle Cullen sangat tampan, teliti, dokter yang sangat bermoral ... Charlisle adalah vampir dengan hati nurani yang baik). Tetralogi karya Stephenie Meyer ini ingin mengubah persepsi orang tentang vampir yang menyeramkan dan mengancam jiwa manusia. Dia menempatkan Edward si manusia vampir sebagai tokoh sentral dalam cerita tersebut yang berpenampilan layaknya manusia biasa. Edward digambarkan sebagai sosok lakilaki yang sangat menawan dan menjadi pusat perhatian teman-temannya di sekolah. Hal ini nampak melalui komentar teman-teman perempuan di sekolah mengenai penampilannya, ―That‘s Edward. He‘s gorgeous, of course, but don‘t waste your time. He doesn‘t date. Apparently none of the girls here are good looking enough for him‖10(Itu adalah Edward. Dia tampan, tentu saja, tapi jangan buang waktumu. Dia tidak berkencan. Rupanya tidak ada satupun gadis di sini yang cukup cantik baginya). Tak hanya itu, dalam dunia nyata banyak pembaca 9

Dikutip dari laman http://www.shmoop.com/twilight/carlisle-cullen.html, diakses pada 1810-2015 pukul 18:51. 10 Meyer, Stephenie. 2005. Twilight. London: Atom. Hlm 19.

7

yang juga mengidolakan Edward, sosok vampir bertampang menawan ini. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh T. J. Dawe, ia memaparkan deskripsi-deskripsi mengenai penampilan vampir Edward yang begitu mengagumkan dan seolah ―menyihir‖ pembaca untuk begitu mengidolakannya tanpa mempersoalkan sisi kevampiran-nya. Dawe mengatakan, ―...Note how often the word ―beautiful‖ is used, too. And how it's most often applied to his face. ―Angel‖ comes up a fair bit too‖11 (Perhatikan seberapa sering kata ―menawan‖ yang digunakan, juga. Dan bagaimana yang paling sering diterapkan pada wajahnya. ―Malaikat‖ muncul dengan cukup sering). Dengan kata lain, tetralogi Twilight ini menampilkan vampir yang digambarkan sedemikian berbeda dibanding sosok vampir yang telah ada sebelumnya. Ia digambarkan sangat bertentangan dengan penggambaran tradisional

vampir

sebagai

monster

penghisap

darah

manusia.

Meyer

merekonstruksi vampir terlihat lebih ―manusia‖ dibanding pendahulunya. Bahkan vampir diberikan atribut-atribut yang dimiliki manusia seperti memiliki perasaan yang penuh kasih sayang seperti layaknya manusia. Aspek yang paling menonjol dalam rekonstruksi vampir ini seperti yang terlihat dalam tetralogi tersebut adalah bahwa pada era modern ini vampir tak lagi dilihat sebagai inherently evil. Apa yang dilakukan oleh Meyer ini merupakan upaya untuk ‗membiasakan‘ pembaca terhadap sosok vampir yang selama ini dianggap menyeramkan sehingga menjadi sosok makhluk yang ditakuti. Rekonstruksi vampir melalui karya sastra berhasil membuka sebuah koneksi yang lebih dekat antara pembaca atau penonton 11

Dawe, T. J. 2011.Every Time Twilight‟s Edward Cullen is Described as Beautiful, diakeses pada laman http://beamsandstruts.com/bits-a-pieces/item/692-handsome-vampire, pada 18 Oktober 2015, pada pukul 19:00.

8

dengan sang mahkluk supranatural vampir. Hal ini membuat masyarakat, khususnya pembaca genre ini, merasakan ‗kedekatan‘ tersendiri dengan sosok vampir. Kedekatan di sini adalah dalam artian keberterimaan masyarakat terhadap sosok vampir. Melalui novel ini, masyarakat nampaknya kini tak lagi melihat vampir sebagai sosok mahkluk yang berbahaya seperti yang dipercayai sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan populernya karya ini yang secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa karya ini banyak menarik perhatian banyak orang. Tetralogi Twilight merupakan sebuah kesuksesan besar yang tak diragukan lagi. Tercatat, tetralogi Twilight telah diterjemahkan ke dalam (setidaknya) 38 bahasa berbeda di seluruh dunia, dan mencapai total penjualan lebih dari 120 juta copy di seluruh dunia, selama periode 2005-2011. Besarnya basis penggemar Twilightpun luar biasa, hingga akhirnya produser film pun berani mengangkat tetralogi ini ke layar lebar. Kesuksesan tetralogi Twilight menunjukan bahwa kisah-kisah modern (dalam tetralogi Twilight: kisah romantisme modern) yang dikemas dalam balutan mistis memang memiliki daya tarik tersendiri. Backstein (via Nayar, 2010: 60) bahkan memberi label khusus untuk tetralogi Twilight sebagai ―romance … with a paranormal twist‖12 (kisah asmara ... dengan sentuhan paranormal). Apa yang dapat dilihat dari elaborasi fakta-fakta tersebut adalah, secara tidak langsung, seorang pengarang (dalam konteks ini adalah Meyer) yang merupakan

individu

bagian

dari

masyarakat,

menawarkan

pengetahuan

subjektifnya mengenai vampir. Konsep dan mitos mengenai vampir yang dikenal 12

Nayar, Pamod. 2010. How to Domesticate a Vampire: Gender, Blood Relations and Sexuality in Stephenie Meyer‟s Twilight. Nebula Journal, diakses pada laman http://nobleworld.biz/images/Nayar3.pdf pada tanggal 18 Oktober, pukul 20:00. Hlm 60.

9

masyarakat seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dilihat sebagai sebuah kenyataan objektif, yakni definisi realitas (dalam hal ini keyakinan atau konsep vampir yang dikenal masyarakat) yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. Meyer, mengekspresikan apa yang dihayati masyarakat sebagai objective reality tersebut melalui teks sastra, tetralogi Twilight. Namun, dalam mengekspresikan apa yang disebut symbolic reality tersebut, Meyer melalui karyanya, menarik realitas objektifke dalam kesadaran subjektifnya. Kesadaran subjektif di sini merujuk pada kesadaran Meyer yang memiliki konstruksi yang berbeda dengan kesadaran sosial yang objektif. Sifat oposisional ini menciptakan sebuah ruang negosiasi antara subjek secara individual dengan masyarakat sehingga Meyer, yang secara konstruktif merupakan subjek sosial, dapat mengintegrasikan dirinya di tengah-tengah konstruksi objektif yang berlangsung. Realitas subjektif yang dimiliki Meyer ini merupakan dasar bagi proses eksternalisasi, dimana hal ini dapat dianggap sebagai proses interaksi sosial dengan individu lain (dalam hal ini pembaca) sehingga mampu menempatkan sastra dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah karya Meyer berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objective reality yang baru. Nampaknya, apa yang ingin dimunculkan oleh Meyer adalah realitas objektif mengenai konsep vampir yang baru, yakni vampir yang tak lagi menyeramkan. Bahkan, dalam novel, vampir mampu hidup berdampingan dengan manusia.

10

Hal

yang

harus

dilihat

disini

adalah

bahwa,

meskipun

Meyer

merekonstruksi vampir sedemikian rupa, namun ada beberapa aspek atau nilai yang tidak dapat direvolusi secara total; artinya adalah bahwa ada beberapa nilai yang masih dipertahankan. Pemertahanan ini dikarenakan, batasan nilai vampir yang masih tidak dapat diubah oleh Meyer, ketika terjadi perubahan totalitas, maka, objek yang diubah tersebut akan berganti bukan vampir. Oleh karena itu, secara naïf, nilai vampir harus memiliki pusat sebagai konstruksi nilai vampir itu sendiri yang tidak boleh tersentuh atau harus tetap dipertahankan. Ini yang menjadi ruang negosiasi untuk penciptaan realitas objektif yang baru terkait konsep vampir dalam masyarakat, yang berarti pergeseran sebagai rekonstruksi, bukan rekonstruksi yang merujuk pada perubahan totalitas.

1.2 Rumusan Masalah Pada akhirnya, dapat ditekankan bahwa karya yang diciptakan oleh individu anggota masyarakat ini, yaitu pengarang—dan dalam konteks permasalahan di sini adalah Stephenie Meyer—menunjukkan proses interaksi sosial. Tetralogi Twilight mencoba menarik kenyataan objektif ke kesadaran subyektif mengenai vampir yang berbeda, menjadi proses eksternalisasi, dan mengindikasikan upaya untuk membangun realitas objektif yang baru. Dalam formulasinya, permasalahan ini dapat dijabarkan melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.

Apa realitas subjektif yang terimplikasikan dari konstruksi vampir dalamnovel tetralogi Twilight?

11

2.

Mengapa realitas subjektif terkait konstruksi vampir dalam novel tetralogi Twilight berbeda dengan realitas objektif dalam pengetahuan umum?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Pada bagian ini akan dijabarkan tujuan dan manfaat penelitian ini secara singkat dan padat yang ke depannya akan memberi dampak pada pengkajian sastra. 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pergeseran penggambaran vampir dalam sebuah karya kontemporer dan mengapa pengarang melakukan pergeseran tersebut. Selain hal tersebut, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana pengarang dan karyanya yang merupakan bagian dari sebuah konstruksi sosial dalam masyarakat menawarkan sebuah pengetahuan baru sebagai dasar dari munculnya konstruksi baru kaitannya dengan isu vampir. Mengetahui hal tersebut, dirasa perlu untuk melihat apakah negosiasi atau interaksi pengetahuan berhasil merekonstruksi tatanan sosial yang baru.

1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap penelitian karya sastra, terutama dalam melihat karya sastra sebagai bagian dari konstruksi sosial yang dapat berinteraksi kembali dengan sosial dan menghasilkan konstruksi yang baru. Penelitian ini juga diharapkan dapat membuka wawasan akan

12

pentingnya meneliti karya sastra tidak hanya terbatas pada tekstual saja, namun bagaimana melihat sebuah karya sastra dalam interaksinya dengan masyarakat.

1.4 Tinjauan Pustaka Beberapa tahun setelah munculnya tetralogiTwilight, kepopularitasan yang meledak menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah peneliti untuk mengkaji karya Stephenie Meyer tersebut. Dari beberapa referensi yang ditemukan oleh peneliti, tetralogi Twilight telah banyak diteliti terutama pembahasan mengenai isu gender dan vampir namun sejauh ini belum ada penelitian yang mengkaji rekonstruksiimage vampir kaitannya dengan konstruksi yang hendak ditawarkan oleh pengarang seperti yang dilakukan dalam tesis ini. Beberapa penelitian yang akan dipaparkan berikut memperlihatkan perbedaannya dengan tesis ini sekaligus merupakan pijakan bagi peneliti yang mempengaruhi mengapa peneliti memilih fokus penelitian rekonstruksi vampir kaitannya dengan konstruksi sosial. The Dark Gift: Vampires in the AIDS Era, sebuah penelitian yang dilakukan Katia Yurguis13 terhadap fenomena vampir yang ramai ditampilkan dalam karya sastra berusaha mengaitkan fenomena vampir dengan isu hangat mengenai kemunculan wabah penyakit yang tengah marak diperbincangkan pada pertengahan tahun 80-an, AIDS. Yurguis mempertanyakan apakah ada sebuah makna paralel antara makhluk immortal vampir dengan khayalan masyarakat pada era AIDS, era dimana sebuah ketakutan akan infeksi penyakit tersebut mengendalikan interaksi orang-orang, dalam hal aktifitas seksual.

13

Op.cit., Yurguis, 2002,The Dark Gifts …,

13

Fenomena ini mengindikasikan bahwa pada masa tersebut, konsep-konsep mengenai seksualitas dan darah diasosiasikan dengan kematian. Dalam melakukan analisis, Yurguis mengkaji beberapa aspek dalam beberapa novel dalam TheVampire Chronicles karya Anne Rice. Dalam analisisnya, ada tiga konsep yang terkandung dibalik popularitas fenomena vampir yang maknanya dapat diparalelkan dengan perjangkitan epidemik AIDS. Yang pertama, ketakutan orang terhadap vampir sebagai sosok yang other dan alien dimaknai sebagai refleksi ketakutan masyarakat terhadap penderita AIDS yang diparalelkan dengan vampir, yaitu sebagai seorang yang karena penyakitnya dianggap other yang secara tidak langsung mengindikasikan bahwa orang dengan vonis positif AIDS dianggap other, bukan bagian dari kami (baca: masyarakat). Orang dengan positif AIDS mengalami symbolic death seperti vampir, yaitu kondisi dimana ia secara fisik masih hidup namun mati secara sosial. Ia diberi label ―sakit‖ oleh sosial sehingga menjadikannya seseorang yang asing, tidak diterima, dan bukan bagian dari sosial. Seperti orang dengan positif AIDS, vampir yang karena darahnya yang ―normal‖ (baca: darah murni manusia) menjadi darah yang ―terkontaminasi‖ (baca: darah vampir), korban berhenti menjadi ―manusia‖. Ia bukan lagi menjadi bagian dari ―kita‖, sehingga dengan demikian ia mengalami symbolic death. Yang kedua, masyarakat juga ditakutkan oleh pemahaman bahwa melakukan kontak dengan korban AIDS, seperti melakukan kontak dengan vampir, dalam hal pertukaran cairan tubuh (darah), tak hanya akan menjadikan mereka sebagai korban, namun juga sebagai bagian dari mereka yang terasing dari

14

sosial. Yang ketiga, dalam fenomena vampir, ―dark gift‖, yaitu proses menjadikan vampir melalui gigitan oleh vampir terhadap korban sehingga darah korban menjadi terkontaminasi yang kemudian menjadikannya vampir, dipandang sebagai bentuk ungkapan cinta namun sekaligus memisahkan korban dari kategori manusia. Pada era AIDS, pertukaran cairan darah baik melalui kontak seksual maupun donor juga dipandang demikian. Melalui elaborasi pemaknanan konsep vampir dengan memparalelkan terhadap cultural fear pada era AIDS, penelitian ini menyimpulkan bahwa kemunculan kembali fenomena vampir melalui novel-novel pada masa itu secara jelas merefleksikan kekhawatiran sosial mengenai epidemik AIDS yang sedang menjangkit.Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Yurguis mengkaji objek material yang berbeda dengan penelitian pada tesis ini, namun dirasa penting untuk melihat bagaimana fenomena vampir yang dihadirkan melalui karya sastra sebetulnya masih dipercayai masyarakat dan bahkan merefleksikan suatu fenomena sosial yang tengah terjadi. Informasi yang ada dalam penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam melihat bagaimana mitos seputar vampir masih hidup dalam masyarakat modern. Jessica Bellingham, dalam tesisnya yang berjudul The Vampire Metaphor in US Cinema,14 mencoba melihat tokoh-tokoh protagonis vampir dalam film BramStoker‟s Dracula dan The Twilight Saga sebagai metafora other, the East, dan imigran. Dalam analisisnya, Bellingham berpijak pada teori konsep

14

Bellingham, Jessica. 2014. The Vampire Metaphor in the US Cinema (ed. Guido Rings). Cultures and Organisational Leadership. Create Space Independent Publishing Platform.

15

orientalisme Edward Said sebagai alat eksekusi untuk melihat vampir sebagai metafora racial-other. Salah satunya, liminal space tempat vampir hidup dan tinggal nampak seperti third-space yang dalam konsep orientalisme merupakan tempat individu yang dikategorikan sebagai racial-other tinggal. Dalam membandingkan kedua film tersebut, Bellingham berpendapat bahwa protagonis vampir dalam BramStoker‟s Dracula sebagai metafora untuk segregated-other. Sebaliknya, protagonis vampir dalam film The Twilight Saga merupakan metafora dari integrated-other. Dalam analisisnya, mulanya Bellingham mengeksplorasi perkembangan vampir dalam budaya populer dan perubahan stereotype dengan menggunakan referensi

orientalisme,

gothic,

dan

the

uncanny.

Dalam

menganalisis

BramStoker‟s Dracula sebagai produk orientalisme, ia menjelaskan bagaimana drakula menjadi simbol untuk segregated-racial other. Argumen ini dihasilkan dari analisis karakteristik drakula di dalam karya tersebut yang cenderung negatif dan dapat diasosiasikan dengan asal-usulnya dalam semesta ketimuran. Sedangkan analisis terhadap The Twilight Saga menghasilkan argumen yang berbeda, yaitu bahwa hubungan-hubungan yang dapat dieksplorasi melaluinya, salah satunya hubungan keluarga dalam The Twilight Saga, merupakan simbol dari keluarga bi-racial. Oleh karena itu, hal ini menjadi metafora terkait integrated-racial other dimana permasalahan ras dan other disini merupakan sesuatu yang cair. Sehingga, menurut Bellingham, vampir dalam BramStoker‟s Dracula merupakan produk orientalisme, sedangkan vampir dalam The Twilight Saga merupakan produk hibriditas.

16

Senada dengan apa yang ditemukan Bellingham terkait kecairan dalam memandang perbedaan ras, Pramod Nayar15 dalam penelitiannya yang berjudul How to Domesticate Vampire: Gender, Blood Relation, and Sexuality in Stephenie Meyer‟s Twilight juga berargumen melalui analisisnya terhadap bagaimana vampir memanusiakan diri mereka, seperti prinsip-prinsip vegetarian yang mereka tekuni, gaya hidup yang sedemikian miripnya seperti gaya hidup manusia pada umumnya, serta hubungan keluarga yang kental, yang menunjukkan bahwa Meyer mendatangkan vampir-vampir dari berbagai ras dan dijadikan terintegrasi dalam satu garis keluarga- walaupun keluarga yang dimaksud disini adalah keluarga bentukan vampir yang bukan berasal dari satu garis keturunan darah, yang merupakan sebuah pemaknaan terhadap konsep bahwa perbedaan bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti. Nayar menekankan, Twilight merupakan mimicry atas hubungan interasial masyarakat kosmopolitan dan Twilight menghasilkan sebuah gambaran kultur yang baru terkait percampuran harmonis antar ras, komunitas, dan budaya.Ada dua faktor penting yang berkontribusi terhadap maraknya penelitian yang mengkaji Twilight; sebagian besar penggemar Twilight adalah perempuan,16 dan kepopularitasaan yang diraih Twilight menjadikannya diangkat ke dalam layar lebar dan meraup kesuksesan luar biasa. Maka tak heran jika kemudian banyak sekali peneliti yang berbondong-bondong memfokuskan penelitiannya dalam kajian feminisme.

15

Op. cit., Nayar, Pamod. 2010. Bedoya, Paula A. 2011. Team Edward or Team Jacob? The Portrayal of Two Versions of the "Ideal" Male Romantic Partner in the Twilight Film Series. Department of Communication: Georgia State University. 16

17

Sebut saja Paola A. Bedoya,17 yang juga tertarik dengan fakta kepopularitasan Twilight sehingga ia melakukan penelitian atas dasar pertanyaan bagaimana Twilight menyajikan ciri-ciri maskulinitas melalui tokoh Edward dan Jacob, serta bagaimana pembaca melihat maskulinitas yang dipresentasikan oleh Edward dan Jacob tersebut menjadi sesuatu yang di idealkan oleh pembaca. Menurutnya, baik Edward maupun Jacob sama-sama mempunyai karakteristik maskulin yang kuat yang mampu membuat pembaca sangat mengidolakan sosok mereka. Bahkan, kuatnya nilai maskulinitas yang diidealkan tersebut dapat menutup karakteristik buruk yang ada padanya, seperti misalnya berkuasa, melakukan opresi, dan bahkan membatasi ruang gerak tokoh perempuan dalam narasi tersebut. Dari penemuannya ini, hal yang dikhawatirkan oleh penulis adalah dampak buruk yang bisa saja ditelan mentah-mentah oleh pembaca, terutama yang tergabung dalam dua kubu penggemar, yaitu Team-Edward dan Team-Jacob. Berdasarkan Social Cognitive Theory yang diajukan oleh Bandura, Bedoya berpijak pada konsep bahwa masyarakat belajar melalui proses pengamatan terhadap apa yang ada di sekitarnya. Ada dua tipe dasar pembelajaran; pertama adalah melalui tindakan –misalnya perintah atau hukuman- secara langsung, yang kedua adalah melalui model kekuatan sosial. Yang dimaksud disini adalah, proses pembelajaran yang diambil dari kesuksesan atau kegagalan pihak lain. Film, dalam hal ini, menjadi tipe pembelajaran yang kedua. Sehingga, apa yang tertuang dalam Twilight jelas berdampak pada pola pikir basis penggemar terutama

17

Ibid.

18

penggemar perempuan mengenai tipe laki-laki idaman seperti yang digambarkan dalamTwilight. Yang menjadi kekhawatiran tersendiri adalah bahwa secara umum, maskulinitas yang dihadirkan dan dikaji disini mengarah pada kesimpulan bahwa apa yang terlihat adalah pengagungan prinsip-prinsip patriarki. Sehingga, terkait dengan basis penggemar dalam Team-Edward dan Team-Jacob yang hampir seluruhnya adalah perempuan remaja, hal ini menjadi sangat dikhawatirkan ketika mereka menginternalisasi nilai-nilai tersebut bersamaan dengan masa-masa remaja dimana mereka tengah dalam tahap pencarian jati diri. Hal ini juga diamini oleh Zoe Snider.18Meskipun berbeda fokus penelitian dengan Bedoya, yakni dengan mengkaji isu feminitas yang ada dalam Twilight ia memfokuskan analisisnya pada tokoh perempuan dalam novel, yaitu Bella. Snider berargumen bahwa Twilight mempertontonkan gambaran perempuan sebagai pihak yang teropresi dan lemah. Dengan menunjukkan adanya tendensi kekerasan serta domestikasi yang dilakukan oleh tokoh laki-laki dalam Twilight, Snider menyimpulkan hal tersebut sebagai perwujudan stereotype perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dan tidak menguntungkan. Dari hasil yang ia peroleh, satu suara dengan Bedoya, ia mengafirmasi bahwa Twilight tak dapat diremehkan terutama dampaknya terhadap pembaca. Sebagai produk populer, bukan hal sepele melihat bahwa Twilight adalah bagian dari fenomena budaya yang lebih luas yang menggambarkan subordinasi dan opresi

18

Snider, Zoë. 2012. Vampires, Werewolves, and Oppression:Twilight and Female Gender Stereotypes.Lexington: Transylvania University.

19

terhadap perempuan. Sehingga menurutnya, popularitas Twilight menjadi lebih problematis terkait dampaknya terhadap masyarakat. Sependapat dengan Snider, penelitian Smulton Rydstedt19 yang berjudul Feminity in Twilight: A Literary Analysis of Stephenie Meyer‟s Twilight from a Gender Perspective juga menyuarakan hal sama, mengenai penggambaran stereotype perempuan. Tidak hanya tokoh perempuan utama, namun ia juga memaparkan bagaimana tokoh-tokoh perempuan lain yang terdapat dalam Twilight menunjukkan stereotype perempuan yaitu traditional feminine traits sesuai dengan skema feminitas John Stephen yang ia gunakan sebagai pisau analisisnya. Tak ubahnya dengan beberapa penelitian tersebut, Justin Charlebois,20 melalui penelitiannya yang berjudul The Construction of Gender in The Twilight Saga, berpegang pada konsep hegemonic masculinitydanemphasized feminity milik Connel juga menemukan bahwa Twilight justru semakin mengukuhkan kembali wacana patriarki. Ia memaparkan bagaimana Edward mengkonstruksi maskulinitasnya melalui praktik-praktik hubungan heteroseksual dan praktikpraktik heroik atas Bella. Sebaliknya, Bella ditengarai sebagai perwujudan emphasized feminity yang menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk feminitas dalam masyarakat dikonstruksi dalam konteks subordinasi penuh perempuan terhadap laki-laki. Ia didefinisikan sebagai kepatuhan terhadap subordinasi

19

Rydstedt, Smultron. 2012. Femininity in Twilight: A Literary Analysis of Stephenie Meyer‟s Twilight from a Gender Perspective. Goteborgs: Goteborgs Universitet. 20 Charlebois, Justin. The Construction of Gender in The Twilight Saga,diakses pada laman http://aska-r.aasa.ac.jp/dspace/bitstream/10638/5480/1/0041-004-201404-053-063.pdf, pada tanggal 18 Oktober, pukul 20:00.

20

tersebut dan diorientasikan untuk mengakomodasi kepentingan dan keinginan dari kekuatan patriarki. Pandangan yang sedikit berbeda nampak terlihat dari penelitian Claudia Linden.21 Ia melakukan analisis terhadapTwilight dan di-intertekstual-kan dengan novel Jane Austen dan the Bronte‘s Sister dalam semesta pembicaraan gender. Ia mengemukakan bahwa novel-novel tersebut sama-sama mendobrak norma gender. Dalam Twilight, Linden melihat Edward mengafirmasi dan sekaligus mendobrak maskulinitas tradisional dalam narasi vampir modern. Menurut data yang ia paparkan, selama 200 tahun sejak vampir Lord Ruthven karya John Pollidori masuk dalam literatur, vampir laki-laki terus-menerus digambarkan menakklukkan perempuan (perempuan sebagai korban vampir). Namun dalam vampir kontemporer telah terjadi tradisi perubahan terhadap norma gender tersebut. Dalam Twilight, Edward merupakan salah satu contoh tradisi tersebut. Makulinitas yang disematkan dalam diri Edward, sebagai contohnya kekuatan fisik dan naluri penyelamat yang ia miliki merupakan gambaran pengukuhan dominasi maskulin namun juga secara bersamaan terdapat naluri-naluri yang merupakan pendobrakan terhadap pengagungan maskulinitas tersebut, misalnya adalah naluri Edward sebagai vampir yang notabene buas namun ia menahan diri dari darah manusia dan menolak hubungan seksualitas dengan kekasihnya. Melihat fakta mengenai banyaknya minat penelitian terhadap Twilight, baik novel maupun film, yang condong serempak melihat karya ini dalam kacamata 21

Lindén, Claudia. 2013. Virtue as Adventure and Excess: Intertextuality, Masculinity, and Desire in the Twilight Series. Culture Unbound Jourmal, Volume 5, 2013: 213–237. Hosted by Linköping University Electronic Press: http://www.cultureunbound.ep.liu.se.

21

kajian gender, peneliti tesis ini berusaha keluar dari lingkaran tersebut dan menemukan sebuah kajian yang berbeda, yaitu mengkaji tetralogiTwilightsebagai bentuk-bentuk rekonstruksi terhadap vampir terkait dengan konstruksi sosial yang melingkupinya, dimana tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana seorang pengarang, Stephenie Meyer, menawarkan sebuah konstruksi baru terkait pembahasan mengenai vampir.Oleh karena itu, dapat ditekankan bahwa sejauh penelusuran yang dilakukan peneliti dalam tinjauan pustaka mengenai penelitian-penelitian yang pernah ada, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah ada tersebut. Peneliti berharap apa yang dihasilkan dari tesis ini nantinya dapat memberikan manfaat dan pengetahuan yang baru.

1.4 Landasan Teori Bagian ini akan menjabarkan hal-hal teoritis yang berkaitan dengan penelitian ini dan sekaligus menopang penelitian ini menjadi lebih kredibel dan teoritis.

1.5.1 Sosiologi Sastra Seperti yang dikutip Faruk, menurut Plato karya sastra dianggap sebagai tiruan terhadap dunia kenyataan.22Akan tetapi, dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refraksi. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian

22

Faruk. 2012. Metode dan Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 47.

22

rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dapat dipahami bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan produk masyarakat yang sangat sarat dengan fenomenafenomena dinamika sosial budaya yang diserap ke dalam karya sastra tersebut. Dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra dipandang pula sebagai produksi masyarakat. Dalam hal ini, para ilmuwan memperlakukan karya sastra sebagai produk yang dikondisikan oleh suatu keadaan dan tuntutan pada zaman itu.23 Berkenaan dengan hal tersebut, meminjam istilah dari Swingewood bahwa karya sastra adalah suatu jagat yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, terlebih karena disamping sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial, maka dinamika sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra.24 Dengan demikian, maka nampaklah sebuah korelasi yang dapat dibangun antara konsep sosiologi sastra dengan konsep konstruksi sosial atas realitas yang diusung oleh Peter L. Berger dan Luckman.Dari apa yang sudah disinggung, dapat diasumsikan bahwa paradigma Berger (dan Luckmann) cenderung fenomenologis, artinya adalah ketika Berger mengisolasi pemahaman sosial sebagai suatu dinamika konstruktif (antara individu personal dengan individu komunal atau sosial), maka di sanalah Berger melihat adanya proses kesadaran untuk saling menimpal. Proses ini yang nantinya akan menjadi terminology internalisasi dan eksternalisasi, individu dan masyarakat melakukan interaksi yang menghasilkan konstruksi sosial yang baru. Kesadaran individu yang dapat mempengaruhi

23

Abrams, M. H. 1953. The Mirror of the Lamp, Romantic Theory and Critical Tradition. New York: Oxford University Press, hlm. 76. 24 Swingewood, Alan. 1972. ―Theory‖ dalam Laurenson & Swingewood, The Sociology of Literature. London: Paladin, hlm. 15.

23

masyarakat serta kesadaran objektif (masyararakat) yang turut mempengaruhi kesadaran individu, mengkalkulasikan konstruksi sebagai suatu proses kesadaran yang imanen, yang tidak dapat dihapus dan dihilangkan. Fenomena yang merupakan hasil kesadaran yang keluar dari pra-eksistensi suatu noumena, pada akhirnya harus dilihat sebagai dasar dari bagaimana konstruksi sosial terbentuk dan menjadi kesadaran objektif. Jika dilihat dari sisi sastra, apa yang harus ditekankan di sini adalah posisi pengarang atau status imanen pengarang yang selalu terhimpit dan terjepit dalam konstruksi sosial. Berger memang tidak membicarakan permasalahan sastra dalam isu kepengarangan secara langsung, namun ketika Berger membicarakan permasalahan mengenai konstruksi sosial yang dapat dipengaruhi oleh kesadaran individu, maka pengarang kemudian memiliki jalan masuk menuju labirin teoritis yang dirumuskan oleh Berger. Pengarang adalah individu, individu dari masyarakat. Sama seperti individu lainnya, pengaranag memiliki fantasi dan mimpi yang nantinya ditawarkan melalui karya (simbolik); karya dipublikasikan dan dikonsumsi oleh masyarakat, masyarakat ―bernegosiasi‖ dengan kesadaran subjektif pengarang melalui karyanya, dan pada akhirnya kesadaran pengarang menjadi krusial dalam bergesernya pola-pola konstruksi sosial karena di dalam karya, terdapat realitas yang belum terjamah oleh kesadaran objektif sosial. Terlebih, pokok masalah pengarang di sini sebenarnya terlibat dalam konteks pendekatan ekspresif yang nantinya menjadikan karya sastra sebagai ekspresi pengarang sementara, seperti yang sudah ditekankan sebelumnya, pengarang merupakan bagian dari masyarakat dan segala konstruksinya. Inilah

24

yang dapat dikatakan dalam permasalahan sosiologi sastra Bergerian, bahwa antara teks, pengarang dan masyarakat seperti sebuah jaringan kesadaran yang dialektis yang mempengaruhi pergeseran konstruksi sosial. NovelTwilight,sebagai sebuah karya sastra, lahir ditengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang dan merupakan refleksi terhadap gejala-gejala sosial disekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Karya sastra tidak hanya dapat dipandang sebagai suatu struktur statis, tetapi juga merupakan struktur dinamis yang baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan pengarangnya.25Meskipun novel Twilight hanyalah merupakan cerita fiktif bergenre vampire-romance sebagaimana anggapan sebagian orang, fungsi dan makna yang ada dalam cerita tersebut tidak kalah pentingnya dengan karya lain. Fakta-fakta sosial dan perspektif yang ditampilkan tidak mengurangi respon masyarakat, baik sebagai penikmat maupun pengamat, sehingga apa yang akan dilakukan melalui penelitian ini menjabarkan serta mensintesakan kajian teoritis Berger dalam permasalahan kesadaran subjektif Meyer terhadap pergeseran nilai vampir.

1.5.2 Konstruksi Sosial dalam Perspektif Berger& Luckmann Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami 25

Goldman, Lucien. 1970. The Sociology of Literature Status and Problems of Method, dalam Milton C. Albrecht cs (eds). The Sociology of Art and Literature. New York: Praeger Publisher, hlm. 584.

25

bersama secara subyektif. Bagi Berger dan Luckmann, masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan sekaligus kenyataan subjektif. Society is a human product. Society is an objective reality. Man is a social product. It may also already be evident that an analysis of the social world that leaves out any one of these three moments will be distortive. One may further add that only with the transmission of the social world to a new generation (that is, internalization as effectuated in socialization) does the fundamental social dialectic appear in its totality. To repeat, only with the appearance of a new generation can one properly speak of a social world.26 Masyarakat adalah produk manusia. Masyarakat merupakan realitas objektif. Manusia adalah produk sosial. Hal ini juga mungkin sudah jelas bahwa analisis dunia sosial yang menyisakan salah satu dari tiga momen yang akan menjadi kabur. Ada yang menambahkan bahwa hanya dengan transmisi dunia sosial untuk generasi baru (yaitu, internalisasi sebagai dampak dalam sosialisasi) dialektika sosial yang mendasar muncul dalam totalitasnya. Untuk menegaskannya, hanya dengan munculnya generasi baru lah dapat membuat seseorangmenjadi benar ketika berbicara tentang dunia sosial. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa apa yang disebut masyarakat merupakan produk manusia sementara manusia juga merupakan produk masyarakat. Ada hal yang saling megikat di sini bahwa apa yang membentuk individu dan masyarakat adalah hubungan konstruktif keduanya. Dengan begitu, apa yang ada di dalam tubuh masyarakat adalah realitas objektif yang dikonstruksi dari konvensi kenyataan subjektif yang ditarik dalam satu horizon dan pada akhirnya menciptakan pohon sosial atau pengetahuan objektif akan suatu realitas. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan antara individu dan masyarakat merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam kaitannya untuk menciptakan kenyataan objektif.

26

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. London: Penguin Books, hlm.79.

26

Sebagai kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Individu adalah pembentuk masyarakat; dan masyarakat adalah pembentuk individu. Dengan kata lain, ada semacam silogisme yang bertautan yang menciptakan logika bahwa, kenyataan sosial bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan sekaligus subjektif.27 Dalam kontekspembahasanmengenai konstruksi sosial, ada suatu istilah yang dinamakan institusi, namun akan dibahas lebih detail pada bagian lain dalam landasan teori ini. Hal yang akan digaris bawahi disini adalah, dalam perspektif Berger dan Luckmann, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi antar manusia. Meskipun demikian, masyarakat dan institusi sosial akan selalu nampak terlihat nyata secara objektif, namun tetap saja, pada kenyataannya semuanya dikonstruksi dalam terminologis subjektif dan melalui proses interaksi yang subjektif. Objektivitas baru dapat terjadi melalui penegasan yang repetitif yang diberikan oleh individu lain yang memilikiterminologis subjektif yang sama. Penyamaan ini lah yang menciptakan konvensi, dan konvensi tersebut dihabitualisasikan sehingga kemudian menjadi familiar dan nyata. All human activity is subject to habitualization. Any actionthat is repeated frequently becomes cast into a pattern, which can then be reproduced with an economy of effort and which,ipso facto, is apprehended by its performer as that pattern.Habitualization further implies that the action in questionmay

27

Ibid., hlm. 149.

27

be performed again in the future in the same manner andwith the same economical effort. This is true of non-social aswell as of social activity.28 Semua aktivitas manusia adalah subjek pada habitualisasi (pembiasaan). Setiap tindakan yang diulang sering dilemparkan ke dalam pola, yang kemudian dapat direproduksi dengan usaha ekonomi yang secara faktual, yang ditangkap oleh pelaku sebagai pola tersebut. Habitualisasi selanjutnya menyiratkan bahwa tindakan tersebut dapat dilakukan lagi di masa depan dengan cara yang sama dan dengan upaya yang sama ekonomisnya. Hal ini berlaku dari hal yang non-sosial sampai kegiatan sosial. Poin utama yang harus dilihat disini adalah proses pembiasaan karena suatu perubahan (anggap saja nilai simbolik dari kehidupan ekonomi manusia setelah masuk pada era kapital—uang). Pada mulanya habitalisasi di sini merujuk pada kenyataan objektif yang diterima dan menjadi sebuah pengetahuan umum, sementara pengetahuan umum ini secara tidak langsung membuat individuindividu yang tidak terlibat membiasakan dengan pola tersebut. Dengan kata lain, ada fungsi institusi di sini yang sangat erat kaitannya dengan pembiasaan ini karena institusi menjadi wadah yang mematerialisasikan pengetahuan objektif tersebut menjadi realitas objektif yang tidak dapat diabaikan. Dari sini, interaksi terjadi dan dalam interaksi ini proses konstruksi berlangsung. Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckmann berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga matriks realitas yang menjadi entry concept; yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu, ketiganya berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen yang simultan; eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi; a.

Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah 28

Ibid., hlm. 70-71.

28

mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. Objective reality can readily be 'translated' into subjective reality, and vice versa. Language, of course, is the principal vehicle of this ongoing translating process in both directions. It should, however, be stressed that the symmetry between objective and subjective reality cannot be complete.29 Realitas objektif sederhananya dapat diterjemahkan menjadi kenyataan subjektif dan sebaliknya. Bahasa, tentu saja, adalah kendaraan utama proses menerjemahkan ini yang sedang berlangsung di kedua arah. Bagaimanapun juga, ini harus ditekankan bahwa simetri antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif tidak bisa lengkap. Ketidaklengkapan ini dikarenakan keduanya saling mengisi dalam prosesnya sehingga sifatnya bukan menjadi himpunan besar dan himpunan kecil yang di dalamnya secara total, melainkan dua himpunan yang saling menyebrang dan menyisakan himpunan gabungan di dalamnya. b.

Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai objective reality misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di filmfilm. … reality may be defined as a symbol, and the linguistic mode by which such transcendence is achieved may be called symbolic language. On the level of symbolism, then, linguistic signification attains the maximum detachment from the 'here and now' of everyday life, and language soars into regions that are not only de facto but a priori unavailable to everyday experience.30 … realitas dapat didefinisikan sebagai simbol, dan modus linguistik dimana transendensi yang dicapai tersebut dapat disebut bahasa simbolik. Pada tingkat simbolisme, maka, makna linguistik mencapai 29 30

Ibid., hlm. 153. Ibid., hlm. 55.

29

detasemen yang maksimal dari ―di sini dan sekarang‖ dari kehidupan sehari-hari, dan bahasa menjulang ke wilayah yang tidak hanya de facto tapi sebuah apriori yang tidak tersedia pada pengalaman seharihari. Apa yang menjadi catatan dalam kutipan tersebut adalah bahwa realitas yang dikonstruksi oleh interaksi invidu-masyarakat merupakan realitas yang tidak dapat dilepaskan oleh nilai simbolik (yang representatif) terlebih setiap entitas tercakup dalam bahasa sementara bahasa adalah simbol-simbol dalam representasi. Oleh karena itu, ada semacam realitas yang memberi ruang ekslusif pada dunia simbol yang pada akhirnya menjadi realitas simbolik; menawarkan pengalaman apriori (yang tidak utama) dalam realitas yang nyata, yang lebih mengutamakan de facto yang eksperimental dan praktis, sehingga posisi pengarang dan novel adalah pivot dari bagaimana realitas simbolik terbentuk. Artinya adalah realitas simbolik akan selalu tergantung dari bagaimana pengarang menguraikan mimpi serta fantasi individualnya melalui karya. c.

Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objektifikasi, memunculkan sebuah konstruksi objective reality yang baru. … the same body of knowledge is transmitted to the next generation. It is learned as objective truth in the course of socialization and thus

30

internalized as subjective reality. This reality in turn has power to shape the individual.31 ... Tubuh pengetahuan yang sama ditransmisikan ke generasi berikutnya. Hal ini dipelajari sebagai kebenaran objektif dalam perjalanan sosialisasi dan dengan demikian dihayati sebagai realitas subjektif. Kenyataan ini pada gilirannya memiliki kekuatan untuk membentuk individu. Poin utama kutipan tersebut adalah penjelasan hubungan antara realitas objektif dan subjektif yang tidak dapat dipisahkan. Jika realitas objektif berasal dari akumulasi dari proses transmisi dari generasi ke generasi berikutnya, maka realitas subjektif adalah partikularitas dari proses sosialisasi yang objektif tersebut. Dunia kehidupan dalam sehari-hari merupakan sesuatu yang berasal dari pikiran dan tindakan manusia, dan dipelihara sebagai yang nyata dalam pikiran dan tindakan. Semuanya menjadi subur dalam pengendapan dan dari pengendapan tersebut hadir tradisi yang menjadi sebuah bentuk kompleks dari apa yang masyarakat permanenkan sebagai nilai kehidupan sosial mereka. Dari sini, kemudian Berger dan Luckmann menyatakan bahwa dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah objektivasi (pengobjektivan) dari prosesproses (dan makna-makna) subjektif dengan mana dunia akal-sehat intersubjektif dibentuk. Intersubjective sedimentation also takes place when several individuals share a common biography, experiences of which become incorporated in a common stock of knowledge. Intersubjective sedimentation can be called truly social only when it has been objectivated in a sign system of one kind or another, that is, when the possibility of reiterated objectification of the shared experiences arises.32 31

Ibid., hlm. 84. Ibid., hlm. 85.

32

31

Sedimentasi intersubjektif juga terjadi ketika beberapa individu berbagi biografi umum, pengalaman yang menjadi tergabung dalam gudang pengetahuan umum. Sedimentasi intersubjektif bisa disebut benar-benar sosial hanya ketika telah diobjektifasikan dalam sistem tanda satu atau jenis lain, yaitu, ketika kemungkinan objektifikasi yang menegaskan pengalaman bersama muncul. Dari kutipan tersebut,

maka dapat

dilihat

bahwa

interaksi

dari

intersubjektifitas harus selalu memuncak pada kolektifitas pengetahuan yang pada akhirnya menjadi pengetahuan umum secara general. Sifat umum ini tentu merujuk pada proses objektifikasi. Dalam proses objektifikasi, Berger dan Luckmann menekankan adanya kesadaran, dan kesadaran itu selalu intensional karena ia selalu terarah pada objek. Dasar kesadaran (esensi) memang tidak pernah dapat disadari, karena manusia hanya memiliki kesadaran tentang sesuatu (fenomena); baik menyangkut kenyataan fisik lahiriah maupun kenyataan subjektif batiniah. Seperti halnya manusia, yang juga memiliki kesadaran tentang dunia kehidupan sehari-harinya sebagaimana yang dipersepsinya. Since society exists as both objective and subjective reality, any adequate theoretical understanding of it must comprehend both these aspects. As we have already argued, these aspects receive their proper recognition if society is understood in terms of an ongoing dialectical process composed of the three moments of externalization, objectivation and internalization.33 Karena masyarakat ada, baik sebagai realitas objektif dan subjektif, setiap pemahaman teoritis yang memadai harus memahami kedua aspek tersebut. Seperti yang telah kita argumentasikan, aspek-aspek ini menerima pengakuan yang tepat jika masyarakat dipahami dalam proses dialektis yang berkelanjutan yang terdiri dari tiga momen; eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi. Pada akhirnya, seperti yang telah disinggung sebelumnya, dalam memahami teori konstruksi sosial Bergerian, ada tiga momen penting yang harus dipahami 33

Ibid., hlm. 149.

32

secara simultan dan ketiga momen itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang akan dipaparkan pada bagian setelah ini.

1.5.2.1 Proses Sosial dalam Momen Eksternalisasi Produk aktivitas manusia--yang berupa produk-produk sosial terlahir dari eksternalisasi manusia. Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis; keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa-gerak.34

Keberadaannya

harus

secara

konstan

mencurahkan

independensinya dalam aktivitas. Keharusan secara antropologis itu bermuara dalam kelengkapan biologis manusia yang tidak stabil untuk berhadapan dengan lingkungan sekitarnya yang eksternal. ... externalization produces an objective world. It objectifies this world through language and the cognitive apparatus based on language, that is, it orders it into objects to be apprehended as reality. It is internalized again as objectively valid truth in the course of socialization. Knowledge about society is thus a realization in the double sense of the word, in the sense of apprehending the objectivated social reality, and in the sense of ongoingly producing this reality.35 ... Eksternalisasi menghasilkan dunia objektif. Dunia objektif ini hadir melalui bahasa dan aparat kognitif yang berdasarkan bahasa, yaitu, sesuatu yang menatanya ke dalam objek yang akan ditangkap sebagai realitas. Hal ini diinternalisasi lagi sebagai kebenaran objektif yang berlaku dalam perjalanan sosialisasinya. Dengan demikian, pengetahuan tentang masyarakat adalah realisasi dalam arti ganda dari kata, dalam arti menangkap realitas sosial yang diobjektifikasikan, dan dalam arti memproduksi kenyataan yang masih berlangsung ini. 34

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1994. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (Terj. Hartono). Jakarta: Pustaka LP3ES, hlm. 5-6. 35 Op.cit., Berger & Luckmann, 1966., hlm. 84.

33

Independensi manusia adalah dengan melakukan eksternalisasi yang terjadi dari semula, karena subjek dilahirkan dengan model yang belum selesai, berbeda denganhewan yang dilahirkan dengan organisme yang kompleks. Untuk menjadi manusia, ia harus bearda pada wilayah perkembangan kepribadian dan perolehan budaya.36 Dunia manusia adalah dunia yang dibentuk (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam relasinya dengan dunia (yang eksternal)37 Dunia

manusia

yang

dikonstruksitersebut

adalah

kebudayaan

denganmaksuduntuk menawarkan struktur-struktur yang stabil yang mana sebelumnya tidak dimiliki oleh manusia secara biologis atau alamiah. Sebagai sifat konstruktif manusia yang elementer dan fundamental, struktur-struktur tersebut bersifat dinamis, tidak stabil, dan selalu memiliki kemungkinan untuk mengalami desatagnansi. Oleh karena itu, kebudayaan selalu dihasilkan dandireproduksi oleh manusia dan menjadi nilai yag melebihi manusia itu sendiri secara individual. Kebudayaan sendiri terkonstruksi dari totalitas produk-produk manusia, baik yang berupa material maupun non-material.38 Manusia menciptakan dan mereproduksi berbagai jenis alat dan dengan alat-alat tersebut, manusia mengubah lingkungan fisikal dan alam sesuai dengan kehendaknya yang tentu saja searah dengan fungsi dasar dari bagaimana alat tersebut diciptakan; untuk membantu dan meringankan serta memperlancar tujuan manusia. Manusia mengkonstruksidan sekaligus dikonstruksi oleh bahasa dengan membangun simbol-simbol yang menjangkiti semua aspek kehidupan dengan 36

Op.cit., Berger, 1994., hlm. 5-6. Ibid., hlm. 6-7. 38 Ibid., hlm. 8. 37

34

makna-makna yang tersebar di sekitarnya. Dengan alat ini, maka manusia juga pada akhirnya menyentuh apa yang disebut konsep mengenai suatu hal yang kemudian menjadi pengetahuan umum. Pada mulanya adalah sebuah kenyataan subjektif kemudian dilakukan penetrasi pada kenyataan objektif yang kemudian menjadi sebuah konvensi karena kenyataan subjektif yang terkumulasikan. Dengan kata lain, yang objektif adalah yang subjektif dalam akumulasi serta kesepakatannya. Jika

hal

tersebut

berkaitan

dengan

kebudayaan

material

yang

dimanifestasikan secara simbolis oleh bahasa, maka hal ini juga berlaku pada pembentukan kebudayaan non-material, yang selalu sejalan dengan aktivitas manusia yang secara fisikal mengubah lingkungannya. Sebagai dampaknya, masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan non-material tersebut karena sifat candu dari fungsi kebudayaan non-material tersebut yang mengakomodasi manusia untuk tetap berada di jalur pengejaran makna dari konsep-konsep yang diciptakan. Pada akhirnya, masyarakat adalah aspek dari kebudayaan non-material yang membentuk hubungan kesinambungan antara manusia dengan sesamanya, sehingga ia menghasilkan suatu dunia, yakni dunia sosial.39 Masyarakat (society) adalah konstruksi formasi sosial manusia yang paling istimewa dan hal ini lekat dengan keberadaan manusia sebagai homo sapiens (makhluk sosial) yang saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu, manusia selalu hidup dalam kolektivitas, unit dan suatu sistem kebersamaan yang akan

39

Ibid., hlm. 8-9.

35

kehilangan kolektivitasnya,hanya jika individu terisolir dari individu lainnya yang sudah kolektif. Aktivitas manusia dalam mengkonstruksi dunia pada dasarnya merupakan aktivitas kolektif sehingga justrukolektifitas itulah yang melakukan pengkonstruksiandunia, yang merupakan dan akan selalu menjadirealitas sosial. Manusia menciptakan alat-alat, bahasa, menganut nilai-nilai, dan membentuk lembaga-lembaga. Manusia juga yang melakukan proses sosial sebagai pemelihara aturan-aturan sosial.40

1.5.2.2 Proses Sosial dalam Momen Objektivasi Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi. Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya, menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun semua produk kebudayaan berasal dari (berakar dalam) kesadaran manusia, namun produk bukan berarti produk tersebut dapat dengan mudahnyamasuk kembali begitu saja ke dalam kesadaran, terutama kesadaran subjektif (individu). Lokus kebudayaan berada di luar subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri dimana dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif.41 Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut

Berger

dan

Luckmann,

dapat

mengalami

proses

pembiasaan

(habitualisasi) yang kemudian mengalami pelembagaan (institusionalisasi).

40

Ibid., hlm. 9-10. Ibid, hlm. 11-12.

41

36

Pelembagaan hanya ada dalam setiap situasi sosial yang tidak lekang oleh waktu (Institutionalization is incipient in every social situation continuing in time).42 Kelembagaan berasal dari proses pembiasaan atas aktivitas manusia. Setiap tindakan yang mengalami proses repetisi akan menjadi pola dan pola ini akan menjadi dasar dari bagaimana pembiasaan terpatenkan. Pembiasaan, yang berupa pola, dapat dilakukan kembali di waktu mendatang dengan cara yang sama, dan juga dapat dilakukan di mana saja tanpa menimbang aspek eksternal lainnya seperti konteks sosial dan budaya. Akan tetapi, bukan berarti pembiasaan ini menjadi hal yang stagnan dan mutlak tanpa pergeseran atau perubahaan karena di balik pembiasaan ini, inovasi dapat terjadi. Adapun proses-proses pembiasaan tersebut pasti selalu mendahului sikap pelembagaan. Pelembagaan, bagi Berger dan Luckmann, terjadi apabila ada tipifikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang terbiasakan bagi berbagai tipe pelaku. Tiap tipifikasi semacam itu merupakan suatu lembaga kecuali hubungan timbal balik yang hanya terjadi pada dua invidu; ―While this reciprocal typification is not yet institutionalization (since, there only bemg two individuals, there is no possibility of a typology of actors), it is clear that institutionalization is already present in nucleo‖43 (Sementara pemberian tipe timbal balik ini masih belum menjadi pelembagaan (karena, sejauh di sana hanya ada dua individu, maka tidak ada kemungkinan dari sebuah tipologi pelaku), jelas bahwa pelembagaan sudah hadir di dalam intinya).

42

Op.cit., Berger & Luckmann, 1966., hlm. 73. Ibid., hlm. 74.

43

37

Tipifikasi

tindakan-tindakan

yang

sudah

dijadikan

kebiasaan

(habitualization), yang membentuk lembaga-lembaga (institution), merupakan milik komunal karena diciptakan dalam konstruksi sosial atau saling membangun. Tipifikasi-tipifikasi itu tersedia bagi semua anggota kelompok sosial tertentu dan lembaga-lembaga tersebut menciptakan tipifikasi bagi para pelaku-pelaku individual ataupun tindakan-tindakannya. Tipifikasi-tipifikasi timbal-balik itu terjadi secara diakronik, bukan sinkronik yang menunjukkan gejala temporal karena hal ini berlangsung bukan karena masa yang menentukan, melainkan konteks sosial dan budaya dalam interaksinya yang menentukan. Lembaga-lembaga menciptakan

pola-pola

juga

mengendalikan

perilaku

dan

perilaku

pola-pola

inilah

manusia yang

dengan kemudian

mengendalikan serta mendikte apapun yang melekat pada pelembagaan. Setiap kegiatan manusia yang telah dilembagakan berarti telah dilokasikan di bawah kendali sosial. Contohnya adalah,di dalam masyarakat Bali, lembaga hukum adat dapat memberikan sanksi kepada anggota masyarakat yang melanggar adat. Dengan kata lain, adat lebih besar dari individual karena adat mendapatkan legitimasinya dari lembaga yang menaunginya, sehingga hal ini mengontrol serta membiasakan manusia secara invidual untuk tetap dalam lingkup sosial Produk-produk

aktivitas

manusia

yang

dieksternalisasi

dan

yang

memperoleh sifat objektif inilah yang disebut dengan objektivasi. Dengan kata lain, objektivasi dapat berarti disandangnya produk-produk aktivitas (baik fisikal maupun mental) suatu realitas yang berhadapan dengan produsennya awal dalam bentuk kefaktaan (faktisitas) yang bersifat eksternal. Artinya adalah bahwa ada

38

perjumpaan antara individu dan nilai otentis dari kelembagaan tersebut yang didamaikan melalui proses sosial. Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi dimana dunia sosial yang telah memperoleh sifat objektif, namun tetap tidak dapat dilepaskan dari status ontologisnya dari aktivitas manusia yang memproduksinya.44

1.5.2.3 Proses Sosial dalam Momen Internalisasi Masyarakat juga dipahami sebagai kenyataan subjektif, yang dilakukan melalui internalisasi. Internalisasi adalah suatu pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Berger

dan

Luckmann

menyatakan,

dalam

internalisasi,

individu

mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial agar individu dapat menjadi anggotanya.45 Internalisasi merupakan realisasi kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari strukturstruktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif.46 Internalisasi berlangsung karena adanya upaya untuk identifikasi. Si anak mengoper

peranan

dan

sikap

menginternalisasi

serta

mengidentifikasi

orang-orang

orang-orang

menjadikannya yang

yang

peranan berpengaruh

berpengaruh,

sikap itulah

dan

dirinya.

Dengan

anak

mampu

mengidentifikasi dirinya sendiri, untuk memperoleh suatu identitas yang secara subjektif koheren dan masuk akal. Diri merupakan suatu entitas yang

44

Ibid., hlm. 78. Ibid., hlm. 150. 46 Op.cit., Berger, 1994., hlm. 5. 45

39

direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula-mula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri itu. Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Hanya dengan mengalihkan dunia sosial kepada generasi baru maka dialektika sosial yang mendasar dapat tampil dalam totalitasnya. Hanya dengan munculnya satu generasi baru, kita benar-benar dapat berbicara tentang suatu dunia sosial. Apa yang dapat disimpulkan di sini adalah dalam memahami teori konstruksi sosial Bergerian, ada tiga momen penting yang harus dipahami secara simultan. Ketiga momen itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang bagi Berger dan Luckmann, memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika (interplay) satu sama lain. Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia; melalui objektivasi, masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat.47 Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri. Dari sini Berger dan Luckmann melihat bahwa apa yang disebut sebagai

47

Ibid., hlm. 5.

40

masyarakat adalah proses dialektika antara individu dengan ruang eksternalnya yang disebut sebagai masyarakat. … to be in society is to participate in its dialectic. The individual, however, is not born a member of society. He is born with a predisposition towards sociality, and he becomes a member of society. In the life of every individual, therefore, there is a temporal sequence, in the course of which he is inducted into participation in the societal dialectic.48 ... untuk ada di masyarakat adalah untuk berpartisipasi dalam dialektikanya. Individu, bagaimanapun juga, tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Individu lahir dengan kecenderungan terhadap sosialitas, dan ia (pada akhirnya) menjadi anggota masyarakat. Dalam kehidupan tiap individu, oleh karena itu, ada sebuah urutan temporal, dalam perjalanan dimana ia dilantik menjadi partisipan(anggota) dalam dialektika sosial. Dari sini dapat diasumsikan bahwa masyarakat selalu konstruktif, berasal dari proses dialektika yang menciptakan ruang negosiasi bagaimana realitasrealitas serta pengetahuan umum menjadi konvensi dan membentuk masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, perspektif ini begitu signifikan untuk menopang kaitan antara realitas subjektif dari seorang pengarang yang menggeser realitas objektif yang diniscayakan oleh masyarakat.

1.5.2.4 Situasi Marginal: Kontestasi Rekonstruksi Sosial Apa yang harus dipahami secara fundamental adalah bahwa semua aktifitas manusia yang terjadi dalam proses eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan (yang bersifat repetitif) yang kemudian mengalami pengendapan untuk distabilkan melalui pelembagaan. Setiap tindakan yang mengalami proses repetisi ini selanjutnya akan mengakar menjadi pola dan pola ini akan menjadi dasar dari bagaimana pembiasaan terpatenkan. Dengan kata lain, pola ini 48

Op.cit., Berger & Luckmann, 1966, hlm. 149-150

41

menopangkan realitas objektif menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi, bukan berarti pembiasaan ini menjadi hal yang stagnan dan mutlak tanpa pergeseran dan perubahan, karena dibalik pembiasaan ini, terdapat inovasi yang memungkinkan segala bentuk perubahan. Perubahan di sini bersifat partikular, bukan penggantian yang cenderung bersifat total. Sifat perubahan yang partikular tersebut merupakan sifat alami dari segala perubahan, semisal dalam teori Darwin; nenek moyang manusia sama berasal dari nenek moyang kera, kemudian mengalami proses bertahan hidup sehingga menjadi manusia seperti saat ini. Dalam durasi perubahan tersebut, dari kera menuju manusia, ada yang berubah dan perubahan ini bergerak dalam lintasan tertentu yang menunjukkan adanya proses. Proses ini pula yang menjelaskan

perlunya

partikularitas

dalam

perubahan

tersebut

untuk

menggerakkan dinamo perubahan itu sendiri. Perubahan dari kera menuju manusia bukan terjadi seperti trik sulap jalanan yang mengubah kelinci menjadi mawar, namun perubahan di sini harus dilihat melalui ruang familiar antara yang subjektif dan objektif sehingga yang ter-marjinal dapat meleburkan realitas subjektif mereka. Realitas subjektif yang termanifestasikan melalui semesta simbolik dipahami sebagai matriks untuk semua makna yang diobjetifikasi secara sosial dan menjadi objektif yang nyata. Sejarah masyarakat serta biografi individu yang adaharus dilihat sebagai peristiwa yang terjadi dalam ini alam semesta, termasuk konstruksi atau tatanan sosial. Hal yang harus dilihat di sini, dalam proses ini adalah adanya situasi marjinal dari kehidupan individu. Apa yang marjinal adalah

42

apa yang tidak dilibatkan dalam realitas kehidupan sehari-hari di masyarakat yang juga dicakup oleh semesta simbolik. Such situations are experienced in dreams and fantasies as provinces of meaning detached from everyday life, and endowed with a peculiar reality of their own. Within the symbolic universe these detached realms of reality are integrated within a meaningful totality that ‗explains‘, perhaps also justifies them (for instance, dreams may be ‗explained‘ by a psychological theory, both ‗explained‘ and justified by a theory of metempsychosis, and either theory will be grounded in a much more comprehensive universe—a ‗scientific‘ one, say, as against a ‗metaphysical‘ one). The symbolic universe is, of course, constructed by means of social objectivations. Yet its meaning-bestowing capacity far exceeds the domain of social life, so that the individual may ‗locate‘ himself within it even in his most solitary experiences.49 Situasi (marjinal) dialami dalam mimpi dan fantasi sebagai wilayah makna yang terlepas dari kehidupan sehari-hari, dan diberkahi dengan kenyataan yang asing bagi mereka sendiri. Di dalam semesta simbolik ini, dunia yang terpisah dari realitas yang terintegrasi dalam suatu totalitas yang bermakna yang ‗menjelaskan‘, mungkin juga membenarkan mereka (misalnya, mimpi dapat ‗dijelaskan‘ oleh teori psikologi, baik ‗dijelaskan‘ dan dibenarkan oleh teori metempsychosis, dan baik teori yang akan didasarkan pada semesta yang jauh lebih komprehensif—sebuah ‗hal ilmiah‘, katakanlah, terhadap suatu hal yang ‗metafisik‘). Semesta simbolik, tentu saja, dibangun dengan cara objektifikasi sosial. Namun, kapasitas makna jauh melebihi domain kehidupan sosial, sehingga individu dapat ‗menemukan‘ dirinya di dalamnya bahkan dalam pengalaman yang paling personal. Dengan kata lain, apa yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa situasi marjinal merupakan situasi yang cenderung individual, atau paling tidak bersifat oposisional dengan situasi yang dinyatakan secara objektif oleh realitas sosial. Apa yang harus ditekankan di sini adalah kondisi subjektif dari situasi marjinal yang cenderung menunjukkan sifat individual dari individu(-individu) yang tidak terinklusi oleh masyarakat. Eksklusi yang mereka hadapi merupakan bagian dari seleksi sosial, sehingga mereka yang tidak terseleksi berarti tidak terlibat dalam

49

Ibid., hlm. 114.

43

konstruksi sosial. Konstruksi sosial di sini merupakan realitas objektif dan hal tersebut merupakan hasil dari interaksi dengan realitas subjektif yang mana konstruksi yang menjadi eksternalisasi. Situasi marjinal di sini berada pada bayang-bayang keterpisahannya dalam proses eksternalisasi ini, sehingga ada semacam integrasi realitas dari situasi marjinal yang membayangi bangunan realitas objektif tersebut; ―This integration of the realities of marginal situations within the paramount reality of everyday life is of great importance, because these situations constitute the most acute threat to taken-forgranted, routinized existence in society‖50(Integrasi realitas situasi marjinal dalam realitas dari kehidupan sehari-hari merupakan hal yang sangat penting, karena situasi ini merupakan ancaman yang paling akut yang diambilbegitu saja, keberadaannya dirutinkan hadir dalam masyarakat). Untuk memahaminya dengan lebih mudah, dapat dilihat analogi mengenai ‗sisi terang‘ dari kehidupan manusia, maka situasi marjinal merupakan ‗sisi gelap‘ yang mengintai dan mengancam dari pinggiran kesadaran sosial sehari-harinya. Hanya karena ‗sisi gelap‘ memiliki realitasnya sendiri, hal tersebut dianggap sebagai ancaman konstan untuk fakta sosial serta realitas yang ‗waras‘ yang diambil dan diberikan pada kehidupan di masyarakat. Pikiran untuk menganggap situasi marjinal sebagai ancaman tersebut justru menjelaskan adanya kecemasan metafisis dari ancaman yang tidak pernah hadir sebagai sesuatu yang nyata, yang terjadi justru menjadikan realitas ‗yang terang‘ tersebut menjadi ilusi.Ilusi tersebut ditelan setiap saat oleh mimpi buruk yang melolong dari sisi lain yang mereka

50

Ibid., hlm. 115.

44

anggap ancaman. Pikiran serta ketakutan tersebut seperti kegilaan dan teror sehingga semua realitas yang dibayangkan tidak pernah terjadi. Hal utama yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa situasi marjinal bukan serta merta ancaman atau suatu negasi yang mencoba meruntuhkan konstruksi sosial atau pengetahuan objek. Hal yang harus selalu diingat adalah bahwa pada kenyataannya, setiap kenyataan merupakan kenyataan konstruktif, sisi konstruktif di sini hadir karena kenyataan dibentuk oleh interaksi bukan hadir secara otentis. Dengan kata lain, situasi marjinal hanya merupakan hantu yang dicurigai akan menghancurkan kenyataan objektif, terutama pada sistem atau fungsi tatanan dalam semesta simbolik (yang objektif). This nomic function of the symbolic universe for individual experience may be described quite simply by saying that it 'puts everything in its right place'. What is more, whenever one strays from the consciousness of this order (that is, when one finds oneself in the marginal situations of experience), the symbolic universe allows one ‗to return to reality‘-namely, to the reality of everyday life. Since this is, of course, the sphere to which all forms of institutional conduct and roles belong, the symbolic universe provides the ultimate legitimation of the institutional order by bestowing upon it the primacy in the hierarchy of human experience.51 Fungsi tatanan semesta simbolik bagi pengalaman individu dapat digambarkan hanya dengan mengatakan bahwa itu ‗menempatkan segala sesuatu di tempat yang tepat‘. Apa yang lebih, setiap kali salah satu menyimpang dari kesadaran urutan ini (yaitu, ketika orang menemukan diri dalam situasi marjinal pengalaman), semesta simbolik memungkinkan seseorang ‗untuk kembali ke realitas‘-yaitu, dengan realitas kehidupan sehari-hari. Karena ini adalah, tentu saja, wilayah dari segala bentuk perilaku kelembagaan dan peran kepemilikan, semesta simbolik memberikan legitimasi akhir dari urutan kelembagaan dengan melimpahkan atasnya keutamaan dalam hirarki pengalaman manusia. Terlepas dari pentingnya integrasi realitas marjinal, semesta simbolik memberikan tingkat tertinggi dari integrasi tersebut pada makna yang tidak sesuai 51

Ibid., hlm. 116.

45

untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Secara umum, dapat dilihat bagaimana integrasi (penggabungan dari interaksi) yang berarti menegaskan diskrit etik yang dilembagakan yang berlangsung dengan cara merefleksi, baik pra-teoritis maupun secara teoritis. Integrasi bukan seperti mengandaikan posisi semesta simbolik sebagai permulaan (ab-initio), melainkan sebagai konstruksi dari interaksi, sementara situasi marjinal hadir sebagai bayangbayang yang terkonstruksi dari mimpi dan fantasi dari kebenaran identitas subjektif individu. Kebenaran identitas subjektif individu memiliki fungsi seperti fungsi legitimasi karena jika dikaitkan dengan sifat sosialisasi, identitas subjektif adalah entitas yang berbahaya. Hal ini tergantung pada hubungan individu dengan orang lain yang signifikan, yang dapat berubah atau hilang, dan hal ini akan lebih meningkatkan pengalaman diri dalam situasi marjinal tersebut. Jerat-jerat nilai‗waras‘pada diri berfungsi sebagai penegasan identitas yang pasti, stabil dan diakui secara sosial meskipun akan selalu terancam oleh metamorfosis ‗surealistik‘ mimpi dan fantasi, bahkan jika itu masih relatif konsisten dalam interaksi sosial sehari-hari. Dengan begitu, identitas subjek termarjinal tersebut akhirnya disahkan dengan ditempatkan dirinyadi dalam konteks semesta simbolik yang objektif.

1.6 Metode Penelitian Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana proses menentukan dan mendapatkan data untuk penelitian serta klasifikasinya sehingga data-data tersebut

46

dapat dianalisis dan disajikan. Sebagai informasi penting, objek materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tetralogi Twilightkarya Stephenie Meyer. Keempat novel tersebut masing-masing berjudul Twilight, Newmoon, Eclipse, dan yang terakhir

adalah

BreakingDawn.

Adapun objek formalnya

adalah

mengenairekonstruksi vampir dalam interaksinya pada pe-re-konstruksian sosial, sementara sumber data yang dapat dielaborasikan di sini adalah; 1.

Sumber data mengenai realitas subjektif yang terimplikasikan dari konstruksi vampirberasal dari tetralogi novel serta berbagai bukti empiris; sosial, kultural, historis, dan lain sebagainya yang terkait novel-novel ini.

2.

Sumber data realitas subjektif terkait konstruksi vampir dalam novel tetralogi Twilightyang berbeda dengan realitas objektif dalam pengetahuan umum berasal dari wawancara, komentar, ulasan koran dan majalah, dan lain sebagainya yang terkait dengan sejarah dan mitos sebagai kenyataan objektif. Dari sumber data yang diambil, kemudian data-data tersebut dikumpulkan

dan diklasifikasikan sesuai kebutuhan dan keterkaitan dengan masalah yang dibahas. Adapun pengumpulan dan klasifikasi data dapat diurai sebagai berikut; 1.

Data mengenai realitas subjektif yang terimplikasikan dari konstruksi vampir dalam novel dikumpulkan dalam bentuk kutipan yang dapat berupa paragraf, kalimat, klausa, frase, serta percakapan, diklasifikasikan berdasarkan sosial, kultural dan historis.

2.

Data mengenai realitas subjektif terkait konstruksi vampir dalam novel tetralogi Twilightyang berbeda dengan realitas objektif dalam pengetahuan

47

umumdikumpulkan dalam bentuk kutipan yang dapat berupa paragraf, kalimat, klausa, frase, serta percakapan, diklasifikasikan berdasarkandata terkait pengarang dan fakta sosial. Setelah

itu,

dapat

dilanjutkan

bahwa

proses

analisis

data

akan

mengoperasikan data-data tersebut.Adapun hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; 1.

Langkah pertama adalah mengelaborasikan fakta-fakta tekstual novel sehingga di sini akan didapatkan realitas subjektif yang terimplikasikan dari konstruksi vampir dalam novel

2.

Langkah kedua adalah mengelaborasikan realitas subjektif terkait konstruksi vampir dalam novel tetralogi Twilightyang berbeda dengan realitas objektif dalam pengetahuan umum

1.7 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang fakta tekstual novel-novel mengenai realitas subjektif yang terimplikasikan melalui vampir dalam konstruksi Stephenie Meyer. Bab III berisi gagasan mengenai realitas subjektif tentang vampirdalam konstruksi Meyer tersebut yang dikaitkan dengan situasi marjinal sehingga didapatkan jawaban atas perbedaannya dengan

realitas

objektif.

Selanjutnya,

bab

IV

adalah

berupakesimpulan yang memuat temuan dari penelitian ini.

penutup

yang