PENENTUAN KOEFISIEN DIFUSI LARUTAN HCl ... - Jurnal Online UM

2 interferometri holografi dengan sistem difusi terner (Apsari R, 2008). Dalam penelitiannya, sistem tersebut memiliki kelemahan yaitu kurang peka ter...

63 downloads 502 Views 1MB Size
1

PENENTUAN KOEFISIEN DIFUSI LARUTAN HCl MENGGUNAKAN INTERFEROMETER MICHELSON BERBASIS BORLAND DELPHI 7.0

Oleh: Ari Kuswanto Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian untuk menentukan besarnya koefisien difusi pada larutan HCl dengan menggunakan Interferometer Michelson. Penelitian ini menggunakan larutan transparan yang mampu ditembus oleh sinar laser. Larutan yang digunakan adalah HCl 3M, 6 M, dan 12 M. Penelitian ini menggunakan metode Borland Delphi 7.0 untuk menentukan koefisien difusi dan tampilan animasi gejala difusinya. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menguji keakuratan dan kepraktisan dalam pengambilan dan pengolahan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefsien difusi dari masing-masing konsentrasi selama 12.720 detik antara lain: pada konsentrasi 3 M sebesar 3,44 x 10-1 cm2/s, pada konsentrasi 6 M sebesar 3,33 x 10-1cm2/s, dan pada konsentrasi 12 M sebesar 9,12 x 10-1 cm2/s. Dengan diketahuinya koefisien difusi tersebut maka penggunaan metode Borland Delphi membuktikan bahwa semakin besar konsentrasi larutan maka semakin kecil koefisien difusinya. Metode Borland Delphi memiliki dua keunggulan yaitu memudahkan pengambilan data, dan praktis untuk menghitung data yang dilengkapi dengan gambar gejala fenomena difusi larutan transparan melalui tampilan animasi. Kata kunci: koefisien difusi, interferometer michelson, borland Delphi. PENDAHULUAN Penelitian tentang penentuan nilai koefisien difusi larutan sudah beberapa kali dilakukan sebelumnya, salah satunya adalah dengan metode

2

interferometri holografi dengan sistem difusi terner (Apsari R, 2008). Dalam penelitiannya, sistem tersebut memiliki kelemahan yaitu kurang peka terhadap cahaya. Metode tersebut masih membutuhkan kerja yang maksimal di laboratorium untuk mendapatkan nilai koefisien difusi larutan transparan. Selanjutnya, muncul penyempurnaan untuk metode interferometri holografi dengan analisa rumbai secara digital dari rekonstruksi digital dengan bantuan teknik pemfilteran (Apsari dan Rachmania, 2005). Sistem difusi yang digunakan adalah sama-sama larutan encer, namun dalam perkembangannya dibutuhkan suatu larutan encer yang lebih peka terhadap cahaya seperti ammonium dihidrogen phosphate yang dipakai pada penelitian selanjutnya (Apsari R, 2008). Metode yang digunakan oleh Apsari dalam menentukan koefisien difusi adalah menggunakan sensor CCD dan interferometer Michelson. Metode ini lebih baik dari pada penelitian yang dilakukan sebelumnya. Keinginan Apsari mengukur jarak pergeseran frinjinya dengan mengkonversikan data yang berupa foto JPEG ke dalam Microsoft Word agar mendapatkan luasan cm dan bukan lagi pixels merupakan solusi yang cukup kreatif dalam metodenya. Akan tetapi dengan metode yang telah dilakukan akan lebih praktis menggunakan bantuan bahasa pemrograman untuk pengolahan data, sebab dengan menggunakan bahasa pemrograman tidak perlu lagi mengkonversi data kedalam Microsoft word tetapi cukup memasukkan data berupa gambar JPEG. Keunggulan lainnya adalah metode pemrograman ini juga bisa diperlihatkan animasi proses bergesernya frinji dari posisi awal sehingga mempermudah memahami gejala-gejala fisikanya. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kekeliruan pencatatan data ketika pengambilan data berlangsung agar dapat membuktikan perubahan atau pergeseran frinji, maka perlu dilakukan bantuan pemrograman Borland Delphi. KAJIAN PUSTAKA Laser He-Ne merupakan jenis laser gas yang ditimbulkan oleh molekul dan atom netral. Laser ini dapat berosilasi pada panjang gelombang 0,633 µm, 1,15 µm (laser gas yang pertama kali berosilasi), dan 3,39 µm. Interferensi adalah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu pada satu titik di ruang. Apabila dua gelombang yang

3

berfrekuensi dan berpanjang gelombang sama tapi berbeda fase bergabung, maka gelombang yang dihasilkan merupakan gelombang yang amplitudonya tergantung pada beda fasenya (Tipler, 1991). Hasil interferensi yang berupa pola-pola frinji dapat digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan dengan interferensi, misalnya panjang gelombang suatu sumber cahaya, indeks bias dan ketebalan bahan. Bagan dari Interferometer Michelson (Hecht, 1990). Untuk memperoleh pola-pola interferensi cahaya haruslah bersifat koheren, yaitu gelombang-gelombang harus berasal dari satu sumber cahaya yang sama (Tipler, 1991). Interferometri adalah suatu metode atau teknik yang digunakan untuk mengamati dan menginvestigasi fenomena gelombang optik dengan cara membentuk pola interferensi dari gelombang cahaya. Peralatan atau set-up peralatan untuk membentuk interferensi selanjutnya disebut interferometer. Salah satu dari beberapa konfigurasi dari interferometer adalah interferometer Michelson (Santoso, 2007). Interferometer dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu interferometer pembagi muka gelombang (wavefront splitting interferometer) dan interferometer pembagi amplitudo (amplitude splitting interferometer) (Soedojo, 2001). lnterferometer dapat digunakan mengukur selisih panjang gelombang dengan menghitung banyaknya garis interferensi yang melalui medan pandangan ketika cermin M2 digeser. Pengukuran panjang gelombang dengan cara ini akan sangat teliti, jika jumlah garis yang dihitung sangat banyak. Syarat terang pada interferensi: (1)

S  n

Dimana n adalah jumlah perubahan cincin terang-gelap (gelap-terang),  '

adalah panjang gelombang laser dan S  2 M 2  M 2 , n  n M 2  n M 2 , M2 '

adalah posisi cermin, nM2 = jumlah perubahan cincin gelap-terang (terang-gelap) '

saat posisi M2 sehingga 2 M 2  M 2 = n M 2  n M 2  . Jadi, '

'



2 M2  M2 nM 2 '  nM 2

Pola gelap – terang (frinji) inilah yang akan diamati untuk diperoleh

(2)

4

besarnya pergeseran tiap waktu. Apabila seberkas cahaya melalui suatu celah yang sempit, maka berkas cahaya tersebut akan disebarkan dengan pola tertentu, sehingga bila diproyeksikan pada layar akan terbentuk suatu pola terang-gelap yang beraturan, yang dinamakan juga pola frinji (Muchiar, 2008). La yar

A B

Pola Gelap-Tera ng-Gelap-Terang Pa da Laya r

Gambar 1 Pola Gelap-Terang-Gelap-Terang Frinji

Interferensi terjadi dengan syarat ada dua sumber gelombang yang saling kohoren. Pada Gambar 1 sumber gelombang A dan B mengalami interferensi, apabila di depan kedua sumber gelombang yang berinterferensi tersebut diletakkan layar, maka akan terbentuk pola gelap-terang-gelap-terang pada layar, yang ditunjukkan gambar di atas. Fenomena inilah yang nantinya kita lihat pada percobaan Michelson. Difusi adalah peristiwa di mana terjadi transfer materi melalui materi lain. Transfer materi ini berlangsung karena atom atau partikel selalu bergerak oleh agitasi thermal. Difusi merupakan proses irreversible. Pada fase gas dan cair, peristiwa difusi mudah terjadi, dan pada fasa padat difusi juga terjadi walaupun memerlukan waktu lebih lama (Haryanto, 2008). =−

(3)

Dengan F adalah fluks massa bahan terlarut, c konsenterasi bahan terlarut dan D adalah koefisien difusi. Hukum fick adalah suatu pernyataan yang mengkorelasikan fluks suatu massa dengan gradient konsenterasi (Haryanto, 2008).

5

Dari hukum Fick II tentang difusi, diasumsikan difusi larutan encer 1 dimensi ke arah sumbu–z dengan konsentrasi C(x,t) memenuhi persamaan (Apsari dkk, 2008): ∁( , )

∁( , )

=

(4)

Dengan D adalah koefisien difusi, C(z,t) adalah konsentrasi pada posisi z waktu t. Menurut Crank (1970), dalam 1 D penyelesaian persamaan (4) untuk campuran larutan biner mula-mula (t = 0) yang dipisahkan pada z = 0 dengan konsentrasi C1 dan C2 adalah: ∁( , ) =





+

(∁



∁ )



(5)

Dengan erf(u) sebagai fungsi ralat:



( )=





(− )

(6)

C1 dan C2 adalah konsentrasi mula-mula dua larutan, dan D diandaikan tetap. Untuk difusi sel dengan variable konsentrasi yang rapat, maka indeks bias berubah secara linear dengan konsentrasi seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Perubahan Indeks Bias terhadap Konsentrasi

Dimana n sebagai fungsi x untuk waktu yang berbeda–beda akan mempunyai formulasi yang sama dengan persamaan (6). Perubahan indeks bias sebagai fungsi z untuk interval waktu Δt adalah: ∆ ( ,∆ ) =

∁( , ) +

(7)

6

Dengan m adalah gradien kurva antara konsentrasi dan indeks bias berdasarkan penambahan variasi konsentrasi yang ditambahkan pada sel, dan n0 adalah konstan, fungsi itu ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Variasi Indeks Bias terhadap Posisi

Gambar 4 Perubahan dalam Δn Tehadap Posisi

Plot tersebut menggunakan nilai konsentrasi yang digunakan pada eksperimen ini yaitu ∁

=





=1,546 gmol/l. Ada perubahan indeks bias pada

arah tegak lurus arah difusi terhdap waktu. Perubahan ini adalah perubahan indeks bias untuk dua perbedaan waktu t1 dan t2 yang diberikan oleh persamaan:

Δ ( , , )= ( , )− ( ,

)=







(8)

7

Plot persamaan (8) ditunjukkan pada Gambar 2.9 untuk dua interval waktu 30 - 45 dan 30 - 360 menit, dan plot tersebut mempunyai dua nilai ekstrim masing-masing zc1 dan zc2. Posisi ini dapat ditentukan dari kondisi: ∆ ( , , )=0

(9)

Dengan menggunakan persamaan (9), persamaan (8) dan persamaan (7) untuk fungsi error dari nilai ekstrim dapat ditulis:

=

=−

( ⁄ )

(10)

( ⁄ ) ( ⁄ )

( ⁄ )

(11)

( ⁄ ) ( ⁄ )

Pengurangan Zc2 dari Zc1akan dipisahkan oleh dua nilai ekstrim d:

=

( ⁄ )

(12)

( ⁄ ) ( ⁄ )

Kemudian koefisien difusi larutan didefinisikan sebagai:

=

[( ⁄ ) ( ⁄ )]

(13)

( ⁄ )

Dari Gambar 2, dapat dilihat setelah 150 menit proses difusi maka indeks bias pada sel difusi adalah konstan sehingga sangat memungkinkan untuk memunculkan pola intefernsi secara serentak. Perbedaan indeks bias yang datang pada bidang yang berbeda pada sel dan cahaya yang melaluinya akan menyebabkan adanya perbedaan jejak lintasan optis yang berbeda, dan diberikan menurut persamaan (14): ∆ ( )=

( ) ,∆ ( ) =

( )

(14)

8

Dengan Δ adalah beda jejak lintasan optik antara dua sinar laser yang melalui bidang sel pada z1, z2, … dan n1, n2,… adalah kebergantungan indeks bias pada bidang sel, dan L adalah ketebalan sel. Sejak beda lintasan optis melalui bidang yang berbeda, maka indeks bias akan berubah bergantung waktu. Pola interferensi berupa rumbai yang terbentuk juga akan bergeser dengan waktu. Pergeseran rumbai akan equivalen dengan pergeseran titik – titik ekstrim, zc1 dan zc2 (Gambar 4). Ketika proses difusi berjalan terhadap waktu, karakteristik titiktitik ekstrim akan bergeser menjauh terhadap waktu sampai pola interferensi kedua rumbai terbentuk. Penghitungan koefisien difusi larutan didasarkan pada pengukuran jarak pergeseran rumbai antara pusat – pusat kedua pola rumbai pada interferogram pada waktu t1 dan t2. Nilai d kemudian disubtitusikan pada persamaan (13) untuk mendapatkan nilai koefisien difusi larutan (Apsari, 2008). Borland Delphi merupakan program aplikasi database yang berbasis object Pascal dari Borland. Selain itu, Borland Delphi juga memberikan fasilitas pembuatan aplikasi visual. Borland Delphi memiliki komponen-komponen visual maupun non visual berintegrasi yang akan menghemat penulisan program. Terutama dalam hal perancangan antarmuka grafis (Graphical User Interface), kemampuan Borland Delphi untuk menggunakan Windows API (Application Programming Interface) ke dalam komponen-komponen visual menyebabkan pemrograman Borland Delphi yang bekerja dalam lingkungan Windows menjadi lebih mudah. Karena program dikembangkan berdasarkan bahasa Pascal yang telah dikenal luas, maka untuk pengembangan program akan lebih mudah. Borland Delphi juga mempunyai kemampuan bekerja untuk pengolahan gambar dengan tersedianya unit GRAPHICS. METODOLOGI PENELITIAN Pengambilan data dalam peneltian ini adaalah mencari besarnya pergeseran frinji d setelah meneteskan sampel pada aquades dan waktu t ketika pengambilan gambar posisi frinji sebelum dan sesudah aquades ditetesi oleh sampel. Langkah awalnya adalah meletakkan gelas kaca pada salah satu lengan interferometer yang berisi aquades dengan volume 9,36 cm3. Kemudian pada tabung laser He-Ne dikondisikan dalam keadaan On hingga cahaya dari Laser dijatuhkan pada cermin

9

separuh mengkilat M (beam splitter) yang memiliki lapisan perak. Di M (beamsplitter) cahaya terbagi menjadi dua bagian. Yang satu oleh refleksi menuju cermin M1, yang lain oleh transmisi menuju ke M2. Oleh masing-masing cermin kedua sinar ini direfleksikan kembali ke arah datangnya dan akhirnya masuk ke mata. Lamanya waktu setiap perpindahan 0,1 cm dari posisi frinji sebelumnya akan direkam oleh sensor CCD yang nantinya akan diolah oleh Borland delphi. Kemudian dari seluruh data yang diperoleh dari masing-masing sampel akan dimasukkan ke dalam tabel sebelum dilakukan analisis dan pembahasan. Layar Pengamatan

Laser M2 ( M/Beam-splitter) HCl

Aquades

M1 Gambar 5 Skema Rangkaian Set Interferometer Michelson

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: set alat Interferometer Michelson, gelas kaca dengan ukuran 2,4 cm x 1,3 cm x 7,6 cm, gelas ukur (10 : 0,2 ml), pipet tetes, kertas berwarna hitam, pencil zaitic warna hijau, penggaris berukuran panjang 30 cm : 0,1 cm, laptop, kamera digital SLR merk Canon EOS 40 D, software Irfan View, dan stop watch. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: larutan HCl 3M, larutan HCl 6M, larutan HCl 12M, Aquades 1 liter, dan Alkohol 96%. Metode ini menggunakan beberapa langkah, antara lain: 1. Pengambilan gambar Pengambilan gambar dimaksudkan untuk mengambil gambar sebagai data penelitian dengan sebanyak mungkin pada layar pengamatan. 1. Pemotongan gambar

10

Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan program Irfan View. Hasilnya didapatkan suatu gambar yang lebih fokus pada objek yang dituju. Selain itu Irfan View juga mampu untuk mengubah bentuk file dalam bentuk JPG menjadi file dalam bentuk bitmap (BMP). Pada program ini juga didapatkan gambar hasil pemotongan sebagai berikut:

Gambar 6 Data sebelum di lakukan

Gambar 7 Data setelah di lakukan

pemotongan

pemotongan

2. Pencitraan Tahapan ini dikerjakan dalam media Borland Delphi bertujuan untuk menentukan nilai pergeseran frinji d (cm) pada gambar. Dengan besarnya selisih jarak antara garis pada gambar pertama dengan garis pada gambar kedua maka diperoleh nilai pergeseran frinji. Satuannya diubah dari pixel menjadi cm. Cara yang dilakukan adalah mengalikan dengan 0,5 / 70. Angka perbandingan tersebut diperoleh dari hasil uji pengukuran besarnya jarak kedua garis bantu pada permukaan layar pengamatan sebelum penelitian dilakukan dan kemudian dikonversikan dalam skala pixel pada Borlan Delphi. Berikut ini adalah dua gambar hasil pencitraan yaitu, gambar yang diberikan tanda satu garis dan tanda dua garis:

Gambar 8 Gambar dengan Tanda Satu

Gambar 9 Gambar dengan Tanda Dua

Garis

Garis

3. Perhitungan koefisien difusi Persamaan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah persamaan (13) dengan input tawal (detik), takhir (detik), dan d (cm). 4. Pengolahan tampilan animasi

11

Penampilan animasi memiliki tujuan untuk mengolah gambar yang telah diberi garis oleh pencitraan untuk ditayangkan dalam sebuah tampilan gerakan pergeseran frinji seperti proses sebenarnya yang nampak pada layar pengamatan. Sebelum menginputkan gambar yang akan dijadikan tampilan animasi terlebih dahulu diberi 2 tanda garis yang menunjukkan adanya jarak pergeseran frinji. Dalam pembuatan animasi ini dibutuhkan 2 gambar yang akan dijadikan pasangan yakni gambar dengan keterangan alokasi waktu tawal dan takhir. Berikut adalah salah satu gambar dari beberapa pasangan gambar yang akan ditampilkan pada animasi.

Gambar 10 Gambar Pada Saat tawal

Gambar 11 Gambar Pada Saat takhir

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Koefisien difusi adalah suatu kemampuan bahan terlarut yang melewati suatu luasan tertentu tiap unit waktu yang sebanding dengan gradien konsenterasi bahan terlarut pada arah tersebut (Haryanto, 2008). Larutan yang paling mudah untuk diamati proses difusinya adalah larutan transparan karena mudah ditembus oleh sinar laser. Peristiwa difusi ditunjukkan oleh pola-pola gelap - terang pada layar pengamatan akibat adanya interferensi atau perpaduan dua gelombang yang koheren. Dengan memperhatikan pergeseran rumbai terhadap fungsi waktu, maka nilai koefisien difusi larutan transparan dapat ditentukan. Koefisien difusi larutan didefinisikan sebagai:

=

[( ⁄ ) ( ⁄ )] ( ⁄ )

Penghitungan koefisien difusi larutan didasarkan pada pengukuran jarak pergeseran rumbai antara pusat – pusat kedua pola rumbai pada interferogram

12

pada waktu t1 dan t2. Nilai d kemudian disubtitusikan pada persamaan (13) untuk mendapatkan nilai koefisien difusi larutan (Apsari, 2008). Berikut adalah tabel hasil perhitungan koefisien difusi yang telah diperoleh dari pengolahan Borland Delphi: Tabel 1 Data Koefisien Difusi untuk Konsentrasi 3 M Menggunakan Borland Delphi No

t1(s)

1

0,010002

2

20,01

3

600,01

d(cm)

D (cm2/s)

0,457

3,43 x 10-1

600,01

0,2

3,71 x 10-4

12720,01

0,057

4,81 x 10-6

t2(s) 20,01

Tabel 2 Data Koefisien Difusi untuk Konsentrasi 6 M Menggunakan Borland Delphi No 1

t1(s)

t2(s)

0,010002 360,01

d(cm)

D (cm2/s)

0,52857

3,33 x 10-1

2

360,01

4440,01

0,157

3,55 x 10-5

3

4440,01

12720,01

0,171

4,86 x 10-6

Tabel 3 Data Koefisien Difusi untuk Konsentrasi 12 M Menggunakan Borland Delphi No 1

t1(s)

t2(s)

0,010002 660,01

d(cm)

D (cm2/s)

0,9

9,12 x 10-1

2

660,01

11820,01

0,0286

5,02 x 10-5

3

11820,01

12720,01

1,536

8,26 x 10-6

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa untuk mengukur koefisien difusi larutan transparan menggunakan Borland Delphi lebih unggul daripada metode sebelumnya karena metode tersebut dilakukan dengan cara yang lebih praktis digunakan walaupun input dan data hasil penelitian dalam jumlah banyak dan memiliki ketelitian hasil yang lebih akurat. Hasil pada penelitian ini diperoleh data berbentuk gambar yang di dalamnya terdapat garis-garis halus dengan jarak antar garisnya sebesar 0,1 cm.

13

Saat pengambilan data berlangsung, celah atau jarak antar garis terlihat nampak kecil dan sukar dilihat oleh mata secara langsung. Hasil gambar yang diperoleh dapat diamati dengan jelas setelah diolah menggunakan pencitraan dengan program Borland Delphi. Selain itu, Borland Delphi mampu menampilkan animasi yang terlihat cukup jelas mengenai proses pergeseran frinji dari posisi sebelumnya. Maka total dari koefisien difusi selama 12720 detik pada masing-masing konsentrasi di atas antara lain: pada konsentrasi 3 M sebesar 3,44 x 10-1 cm2/s, pada konsentrasi 6 M sebesar 3,33 x 10-1cm2/s, dan pada konsentrasi 12 M sebesar 9,12 x 10-1 cm2/s. Di bawah ini adalah grafik hubungan antara koefsien difusi D (cm2/s)dengan waktu difusi t (detik):

1,00E+00 8,00E-01 6,00E-01 D

(cm2/s)

3M

4,00E-01

6M

2,00E-01

12 M

0,00E+00 -5000 -2,00E-01 0

5000 t (detik)

10000

15000

Gambar 12 Grafik Hubungan antara D (cm2 /s) dengan t (detik)

Dengan melihat data pada grafik di atas maka terjadi penyimpangan besarnya koefisien difusi pada konsentrasi 12 M yang disebabkan kesalahan pada saat pengambilan data yang dilakukan secara tidak on-line. Karena setelah data terkumpul akan dipilih gambar mana yang tidak berubah posisi/goyang, namun pada saat pengambilan data pada penelitian ini banyak sekali terjadi perubahan posisi/ bergoyang sehingga data yang benar-benar bisa diaplikasikan ke dalam pencitraan hanya beberapa saja dan kurang bisa menunjukkan kronologis proses difusi berlangsung. Menurut penelitian sebelumnya hubungan antara koefisien difusi D dengan konsentrasi adalah berbanding terbalik. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang menggunakan metode Borland Delphi yang menyebutkan bahwa semakin besar konsenterasi maka semakin kecil nilai koefisien difusinya. Tetapi pada

14

konsentrasi 12 M tepatnya pada waktu antara tawal = 11820,01 detik dan takhir = 12720,01 diperoleh nilai koefisien difusi D yang menyimpang yaitu 8,26 x 10-6 cm2/s sehingga menyebabkan sedikit kesalahan dengan teori yang ada dan penelitian sebelumnya. Hal ini terjadi dikarenakan dalam pengambilan data masih belum dilakukan secara on-line yaitu pengambilan gambar dilakukan secara bertahap, serta posisi kamera pada saat pengambilan gambar sering goyang walaupun sangat lemah. Hal tersebut mengakibatkan hasil gambar yang didapat menjadi berubah posisinya dari pengambilan gambar sebelumnya sehingga mengakibatkan ketaksamaan posisi dari gambar sebelumnya. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa penelitian ini menghasilkan nilai koefisien difusi yang telah sesuai teori yaitu semakin besar konsentrasi larutan semakin kecil nilai koefisien. Metode Borland Delphi merupakan suatu metode yang lebih baik dari segi ketelitian dan kepraktisan sebagai cara untuk mengukur koefisien difusi jika dibandingkan dengan metode sebelumnya yaitu metode penentuan koefisien difusi dengan cara pengkonversian ke dalam Microsoft Word. Pada konsentrasi 12 M nilai koefisien difusi menyimpang lebih besar. B. Saran Pengambilan data belum dilakukan secara on-line sehingga mengakibatkan terjadinya kekeliruan ketika mencari waktu dan jarak pergeseran frinji. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya agar memperbaiki pemrograman dengan pengambilan data secara online sehingga lebih praktis dan tepat dalam pengambilan data. DAFTAR RUJUKAN Carr, Joseph J. & John, M. Brown. 2010. Introduction to Biomedical Equipment Technology, Third Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc., A Pearson Education Company, Upper Saddle River. Harrison, George R., Lord, Richard R. & Loofbourow, John R. 1955.Practical

15

Spectroscopy. USA: Prentice-Hall Inc. Laud, B.B. 1988. Laser dan Optik Non Linier. Jakarta: Universitas Indonesia. Pikata, Sugata. 1991. Laser. Surabaya: FT Ubaya. Wigajatri, R., Handoyo, A., Kurniawan, H & Prihatin, N. B. 2005. Dioda Laser sebagai Sumber Cahaya pada Sensor Optik untuk Mengukur Konsentrasi Phytoplankton. Jurnal Instrumentasi, 29 (1): 29-37. Halliday, R. dan Resnick, R.1990. Fisika, jilid 2, Edisi ke-3 (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Soedojo, P. 1992. Azas-Azas Ilmu Fisika Jilid 3 Optika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Tipler, P. 1991. Fisika untuk Teknik dan Sains. Jakarta: Erlangga. Heacht, B. B. 1992. Optics. 2nd edition. Addison Wesley. Santoso Prajitno S. 2007. Interaksi getaran dengan interferometer Michelson. PPI-KIM. Damunir. 2007. Aspek Kinetika Reaksi Kernel U3O8 dengan Gas H2. Akred-LIPI. Retna Apsari dkk. 2008. Pemanfaatan Sensor CCD dan Interferometer Michelson untuk Menentukan Koefisien Difusi Larutan Transparan. Jurnal Fisika Dan Aplikasinya, 4 (8): 2-5. Haryanto Budi. 2008. Pengaruh Pemilihan Kondisi Batas, Langkah Ruang, Langkah Waktu, dan Koefisien Difusi pada Model Difusi. Jurnal APLIKA, 4 (1): 2.