PENGUKURAN EFISIENSI PERBANKAN SEBELUM DAN

Download hoped that after merger, banks will be more efficient than before. This article tries to ... dan Bank Permata. JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edi...

0 downloads 445 Views 179KB Size
PENGUKURAN EFISIENSI PERBANKAN SEBELUM DAN SESUDAH MERGER MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata Oleh: Irdam Ahmad dan Budi Wibowo Abstract Single Presence Policy, launched by Central Bank (BI), which will be implemented in 2010 has forced banks to merge. It is hoped that after merger, banks will be more efficient than before. This article tries to measure the efficiency level of Bank Mandiri, Bank Danamon and Bank Permata three years before and after merger, using the Data Envelopment Analysis (DEA). The results show that, on the average, the score of efficiency of Bank Mandiri has been already achieved the maximum efficiency (1,0000) after merger compared to 0,9704 before merger, while Bank Danamon and Bank Permata, although their score of efficiency has also been increase after merger, but they do not yet achieve maximum efficiency. The average score of efficiency of Bank Danamon increase from 0.6979 before merger to 0,8760 after merger, while the average score of efficiency of Bank Permata increase from 0,6390 before merger to 0,7493 after merger. Keywords ; merger, efficiency, data envelopment analysis (DEA) model

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

Pendahuluan Krisis moneter tahun 1997/98 telah memberikan pelajaran berharga kepada sektor perbankan di Indonesia ketika terjadi rush penarikan dana masyarakat secara serentak, karena mereka tidak lagi percaya menyimpan dananya di bank. Akibatnya bank mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mampu mengembalikan dana pihak ketiga. Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian melaksanakan program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan nasional secara menyeluruh sejak tahun 1998. Salah satu gagasan yang muncul ketika itu adalah menggabungkan beberapa bank menjadi satu atau merger. Untuk itu, bank Indonesia (BI) kemudian mengeluarkan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan nasional atau dikenal dengan istilah Single Presence Policy (SPP), yang menetapkan bahwa setiap pihak, perorangan atau korporasi, hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank. Tujuan dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah untuk mendorong konsolidasi perbankan dan mendukung efektivitas pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Ketentuan inilah yang akhirnya ikut mendorong perbankan melaksanakan merger, baik antar bank dengan kepemilikan yang sama maupun antar bank dengan kepemilikan berbeda. Dalam prakteknya, proses merger tidak semata-mata mendatangkan keuntungan tetapi dapat juga menimbulkan permasalahan baru karena bank nasional biasanya mengurus aset yang sangat besar dan masing-masing bank memiliki misi yang berbeda, misalnya ada bank yang misinya untuk memberikan pembiayaan pada perusahaan besar, ada yang fokus pada kredit perumahan, kredit usaha kecil, dan lain-lain. Dengan adanya perbedaan tersebut, perlu adanya penyesuaian jangka panjang dan dengan biaya besar. Goeltom (2005) menyatakan ada beberapa kendala teknis dan kendala psikologis yang biasa dihadapi dalam pelaksanaan merger. Beberapa kendala teknis yang dihadapi antara lain adalah sulit melakukan konversi nilai saham bank dengan bank lainnya terutama untuk bank yang sudah Go Public; sulit menilai atau merevaluasi aset dan kewajiban serta proses akuntansi dan perpajakan yang kompeten; piranti hukum yang kurang jelas untuk pengaturan teknis merger dan perlindungan terhadap bank yang lemah; biaya yang besar untuk memenuhi prasyarat dan perijinan yang panjang prosedurnya; dan sulit menentukan pengurus bank setelah merger. Sedangkan kendala psikologis antara lain adalah: sulit dalam penyatuan ekspektasi dan aspirasi para pemilik, penciutan formasi kepengurusan dengan hilangnya jabatan yang semakin berkurang; dan persepsi masyarakat yang masih negatif terhadap merger. Menurut Susidarto (2007), ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk melakukan merger, diantaranya, a) dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan dan menutupi kekurangan yang dimiliki oleh bank peserta, b) bank peserta perlu memiliki kemiripan budaya dan falsafah perusahaan yang tidak jauh bertolak belakang. c) bank peserta memiliki pimpinan perusahaan yang berdedikasi dan mampu menyelesaikan konflik-konflik secara cepat, bijak dan arif, serta tidak bersifat otoriter, d) bank peserta memiliki visi dan misi yang dapat dijalankan oleh bank yang telah digabung. Lebih baik lagi jika masing-masing bank memiliki kemiripan fokus bisnis, e) proses implementasi pascamerger perlu dilakukan melalui proses harmonisasi produk dan layanan baru, pemantapan dedikasi karyawan, dan pembentukan platform dan sistem prosedur yang seragam dan efisien. Namun, dalam pelaksanaan merger bank-bank Indonesia, kelima prasyarat tersebut sulit untuk dipenuhi dan membutuhkan waktu yang sangat panjang, sedangkan bank-bank di Indonesia sudah harus segera membutuhkan pertolongan. Akibatnya persiapan sebelum merger menjadi kurang matang dan terkesan tergesa-gesa. Kekhawatiran para pengamat ekonomi maupun perbankan akan keberhasilan bank hasil merger dalam mengatasi permasalahan kesehatannya adalah cukup beralasan. Merger yang dilakukan oleh semua bank peserta penyehatan berkesan dipaksakan oleh pemerintah dan harus dikerjakan secepat mungkin. Menurut Adingsih (dalam Rasyid, 2008), merger yang dipaksakan hanya akan menciptakan bank besar yang tidak sehat, lamban, dan tidak berdaya saing. Merger antar bank tidak sehat justru akan semakin memperburuk kondisi bank. Sedangkan merger antara bank sehat dengan bank yang tidak sehat justru akan menyebabkan penularan “penyakit”. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi perbankan setelah merger dibandingkan dengan sebelum merger, pada Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata. Metode Penelitian Metode pengukuran tingkat efisiensi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Data Envelopment Analysis (DEA). Metode data envelopment analysis (DEA) adalah suatu teknik pemrograman matematika yang mengukur tingkat efisiensi dari Decision Making Unit (DMU) relatif terhadap DMU yang sejenis dimana semua unit-unit ini berada pada atau di bawah “kurva” efisien frontiernya. Pendekatan ini termasuk dalam kelompok nonparametrik dan JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

34

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun 1978. Semenjak itu pendekatan ini semakin berkembang dengan cepat. a. b.

Sampai saat ini telah dikembangkan 2 jenis model data envelopment analysis (DEA), yaitu: Model CCR, dikembangkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun 1978. Model ini mengimplementasikan skala pengembalian usaha yang sama terhadap penambahan input, atau Constant Return to Scale (CRS). Model BCC, dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper pada tahun 1984. Model ini mengimplementasikan skala pengembalian usaha yang tidak sama terhadap penambahan input, bisa lebih tinggi (increasing) ataupun lebih rendah (decreasing), yang dikenal dengan Variable Return to Scale (VRS).

Model data envelopment analysis (DEA) yang digunakan untuk menghitung efisiensi pada penelitian ini adalah model BCC. Model BCC dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (BCC model) pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari model CCR. Tidak adanya pembobot bagi λj, secara tidak langsung menunjukkan adanya constant return to scale. Untuk memperoleh Variable Return to Scale, perlu ditambahkan batasan ∑ =1 sehingga persamaan yang terbentuk (orientasi input) adalah sebagai berikut: minΘ, Θ dengan kendala: ≥ = 1,2, … , ∑ Θ −∑ ≥0 = 1,2, … , =1

≥0 Θ adalah efisiensi teknikal (BCC) pada bank yang diukur

= 1,2, … ,

adalah banyaknya input ke-i yang digunakan pada bank yang diukur efisiensinya xij adalah banyaknya tipe ke-i dari DMU ke-j yij adalah jumlah output tipe ke-i dari DMU ke-j j adalah bank yang dijadikan benchmark bagi bank yang diukur adalah bobot (%) input bank benchmark yang digunakan untuk bank yg diukur. Θ ≤ 1. jika Θ < 1 berarti inefisien, sedangkan Θ = 1 berarti efisien. Metode data envelopment analysis (DEA) semakin luas digunakan oleh para peneliti karena mempunyai beberapa keunggulan, Hadad (2003) menyebutkan di antaranya: a. Bisa menangani banyak input dan output secara sekaligus. b. Tidak membutuhkan asumsi hubungan fungsional antara variabel input output. c. Setiap unit analisis dibandingkan secara langsung dengan sesamanya. d. Setiap variabel dapat mempunyai satuan pengukuran yang berbeda. e. Bisa digunakan sedikit data. Namun begitu, data envelopment analysis (DEA) juga mempunyai beberapa keterbatasan, di antaranya: f. Bersifat sample spesific. g. Kesalahan pengukuran dapat berakibat fatal. h. Menggunakan perumusan program linier yang terpisah untuk tiap unit analisis (perhitungan secara manual sulit dilakukan apalagi untuk masalah berskala besar). i. Tidak memasukkan random error, sehingga tidak dapat memperhitungkan faktor-faktor seperti perbedaan harga antar daerah, perbedaan peraturan, perilaku baik buruknya data, observasi yang ekstrim, dsb. DEA menggunakan teknik seperti program linier yang dapat menghitung data yang besar dengan berbagai variabel dan berbagai kendala sehingga setiap bank dapat dianalisis secara individual. Pemilihan variabel bergantung pada definisi yang menggambarkan hubungan input output dalam tingkah laku institusi finansial. Menurut Hadad, dkk. (2003), terdapat tiga pendekatan yang biasa digunakan dalam berbagai penelitian, yaitu: pendekatan produksi (the production approach), pendekatan intermediasi (the intermediation approach), dan pendekatan aset (the asset approach). Pendekatan produksi melihat institusi finansial sebagai produsen dari akun deposit dan kredit pinjaman sehingga input dihitung dari jumlah tenaga kerja, pengeluaran modal, aset tetap, dan material lainnya. Pendekatan intermediasi memandang bahwa institusi finansial sebagai intermediator yang merubah dan mentransfer aset finansial dari unit surplus ke unit defisit. Input yang digunakan pada pendekatan intermediasi adalah: biaya tenaga kerja, modal, dan pembayaran bunga deposito. Sedangkan pendekatan aset mendefinisikan institusi finansial sebagai pencipta kredit pinjaman yang outputnya diturunkan dalam bentuk aset-aset. JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

35

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

Penelitian ini menggunakan pendekatan aset, dengan pertimbangan bahwa peranan bank di Indonesia sebagai institusi yang mengumpulkan tabungan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Dari pendekatan tersebut dapat diturunkan tiga variabel input dan tiga variabel output yang digunakan pada penelitian ini (lihat Tabel 1). Tabel 1. Variabel yang Digunakan dalam Penelitian Variabel (1) Variabel Harga Input:

Definisi

Sumber

(2)

(3)

PF (Price of Funds)

Beban Bunga dibagi Total Pasiva

PL (Price of Labor)

Beban Personalia Dibagi Total Aktiva

PPC (Price of Physical Capital)

Beban Administrasi dan Umum dibagi Aktiva Tetap

Variabel Kuantitas Output: Y1

Laporan Laba Rugi dan Neraca Laporan Laba Rugi dan Neraca Laporan Laba Rugi dan Neraca Neraca

Y2

Kredit yang diberikan kepada pihak terkait dengan bank Kredit yang diberikan kepada pihak lainnya

Y3 (securities)

Surat Berharga yang dimiliki

Neraca

Neraca

Sumber data yang digunakan adalah Neraca dan Laporan Rugi Laba dari Laporan Keuangan Perbankan Indonesia, yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Karena tahun merger pada Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata yang digunakan pada penelitian ini berbeda satu sama lain, maka periode penelitian untuk setiap bank adalah tiga tahun setelah merger dibandingkan dengan tiga tahun sebelum merger. Bank Mandiri, Bank Permata, dan Bank Danamon dipilih sebagai objek penelitian karena termasuk kategori bank beraset besar yang melaksanakan merger. Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian sebelumnya yang pernah menggunakan metode data envelopment analysis (DEA) untuk mengetahui tingkat efisiensi bank sesudah merger. Hadad, et.all (2003) melakukan penelitian pada seluruh bank di Indonesia yang melakukan merger pada tahun 1999 sampai tahun 2002, dengan menggunakan pendekatan input orientation dan pendekatan aset. Berdasarkan analisis dengan menggunakan data envelopment analysis (DEA) dihasilkan bahwa rata-rata peningkatan efisiensi bank-bank sesudah merger adalah sebesar 34,96 persen sementara rata-rata penurunan efisiensi bank sesudah merger adalah 28,96 persen. Dari seluruh kasus merger, masih terdapat tiga di antaranya yang tidak menghasilkan bank yang lebih efisien. Penelitian lainnya oleh Samosir (2003) dilakukan pada Bank Mandiri dengan menggunakan rasio keuangan perbankan baik sebelum maupun sesudah merger dan rekapitalisasi. Hasil yang didapatkan adalah bahwa sebelum terjadi merger, bank-bank peserta merger memiliki kinerja keuangan yang tidak sehat. Setelah dilakukan merger, kinerja keuangan tidak banyak berubah dan belum dapat dikatakan efisien meskipun total aktiva mencapai skala ekonomi. Penelitian dari Mardanugraha (2005) yang menggunakan pendekatan fungsi biaya parametrik, menunjukkan bahwa bank hasil merger mengalami penggunaan input yang berlebihan selama kurun waktu 3 tahun penyehatan yang akhirnya menurunkan skor efisiensi. Proses merger dalam jangka pendek mengakibatkan efisiensi bank lebih rendah, sedangkan dalam jangka panjang efisiensi menjadi lebih stabil. Penelitian yang lebih baru dilakukan oleh Viverita (2008) pada 3 bank yaitu: Bank Mandiri, Bank Danamon, dan Bank Permata baik sebelum dan sesudah merger. Metode yang digunakan untuk menghitung efisiensi adalah rasio keuangan bank dan data envelopment analysis (DEA) Malmquist Index. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan intermediasi. Variabel output yang digunakan adalah pinjaman dan investasi, sedangkan variabel inputnya dalah biaya tenaga kerja dan kapital tetap. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbaikan kondisi rasio keuangan bank dan efisiensi teknis setelah dilakukannya merger pada ketiga bank tersebut.

JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

36

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

Analisis dan Pembahasan Bank Mandiri Tabel 2 menunjukkan skor nilai efisiensi dari bank peserta merger menjadi Bank Mandiri, yang merger tahun 1998, selama tiga tahun sebelum dan sesudah merger. Selama tiga tahun sebelum merger, yaitu tahun 1995-1997, keempat bank peserta merger dapat dikatakan sudah memiliki efisiensi yang baik, dengan rata-rata skor efisiensi yang sudah mencapai lebih dari 0,92. Dengan melakukan merger antara keempat bank tersebut, diharapkan dapat menciptakan sebuah bank yang lebih efisien sekaligus memiliki ketahanan yang solid dalam penyediaan likuiditas bank. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode data envelopment analysis, terbukti bahwa Bank Mandiri sebagai bank hasil merger memiliki manajemen pengelolaan yang baik terhadap sumber daya input selama tiga tahun berturutturut setelah merger, dengan skor efisiensi maksimum sebesar 1,0000. Nama Bank

Tabel 2. Skor Efisiensi Bank Peserta Merger Bank Mandiri, 1995-2001 1995 1996 1997 1999 2000 (1)

(2)

(3)

(4)

Bank Bumi Daya

0.901

0.920

0.971

Bank Dagang Negara

1.000

1.000

1.000

Bank Ekspor Impor

1.000

0.860

1.000

Bank Pembangunan Indonesia

1.000

1.000

0.993

Rata-Rata Efisiensi

0.975

0.945

0.991

(5)

Bank Mandiri (Hasil Merger) 1.000 Sumber: Hasil Pengolahan dengan metoda data envelopment analysis (DEA)

2001

(6)

(7)

1.000

1.000

Bank Danamon Dibandingkan dengan tingkat efisiensi kelompok Bank Mandiri, tingkat efisiensi dari bank peserta merger kelompok Bank Danamon, yang merger tahun 2000, jauh lebih kecil, baik sebelum maupun sesudah merger (lihat Tabel 3). Selama periode 1997-1999 secara rata-rata kesepuluh bank peserta merger memiliki tingkat efisiensi yang kurang baik, karena skor efisiensi rata-rata mereka kurang dari 0,92, kecuali Bank Rama, RSI dan Bank Danamon pada tahuntahun tertentu. Tabel 3. Skor Efisiensi Bank Peserta Merger Bank Danamon, 1997-2003 Nama Bank/ Tahun 1997 1998 1999 2001 2002 Bank Duta 0.779 0.695 0.619 Bank Nusa Nasional

0.460

0.452

Bank Jaya Internasional

0.712

0.501

0.530

Bank Pos Nusantara

0.706

0.585

0.425

Bank Rama

1.000

1.000

1.000

Bank PDFCI

0.810

0.238

Bank Tamara

0.641

0.280

0.672

Bank Tiara Asia

0.636

0.475

0.652

Bank Risjad Salim Int.

1.000

1.000

0.897

Bank Danamon

0.885

0.797

1.000

Rata-rata Efisiensi

0.797

0.603

0.694

Bank Danamon (Hasil Merger)

1.000

0.797

2003

0.831

Sumber : Hasil Pengolahan Dengan Metoda data envelopment analysis (DEA) Melihat skor rata-rata efisiensi kesepuluh bank peserta merger tiga tahun sebelum merger tersebut, diragukan apakah bank hasil merger akan mencapai tujuan yang diinginkan yaitu bank yang lebih sehat dan efisien. JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

37

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

Perjalanan Bank Danamon pasca merger (2001-2003) menjadi perhatian yang menarik, karena satu tahun setelah merger bank ini sanggup mencapai efisiensi maksimum, namun dua tahun berikutnya, Bank Danamon tidak dapat mempertahankan tingkat efisiensi maksimum tersebut. Bank Permata Tabel 4 menunjukkan skor efisiensi dari bank peserta merger kelompok Bank Permata, yang merger tahun 2002, sebelum dan sesudah merger. Selama tiga tahun sebelum merger (1999-2001), skor efisiensi bank peserta merger tampak berfluktuasi. Pada tahun 1999, rata-rata skor efisiensi untuk kelima bank tersebut adalah 0,82. Setelah turun drastis menjadi 0,349 tahun 2000, skor efisiensi bank peserta merger tahun 2001 tampak membaik menjadi 0,924, bahkan tiga dari lima bank peserta merger mampu mencapai efisiensi maksimum (1,0000). Dilihat dari rata-rata efisiensi bank peserta merger yang berfluktuasi sebelum merger, diharapkan dengan adanya merger dapat menciptakan bank baru yang lebih efisien. Tiga tahun setelah merger, Bank Permata sebagai bank hasil merger belum dapat mencapai tingkat efisiensi yang memadai, walaupun skor nya tampak terus semakin membaik. Pada tahun 2003, skor efisiensi Bank Permata adalah 0,668, meningkat menjadi 0,784 tahun 2004 dan 0,796, pada tahun 2005. Namun, karena skor efisiensinya selalu meningkat dari tahun ke tahun, diharapkan pada tahun-tahun berikutnya tingkat efisiensi Bank Permata bisa semakin baik dan mencapai tingkat efisiensi yang maksimum, seperti Bank Mandiri. Tabel 4. Skor Efisiensi Bank Peserta Merger Bank Permata, 1999-2005 Nama Bank 1999 2000 2001 2003 2004 (1) (2) (3) (4) (5) (6) Bank Prima Express 0.763 0.222 0.666 Bank Bali

1.000

0.287

1.000

Bank Universal

0.636

0.201

1.000

Bank Patriot

1.000

0.774

1.000

Bank Arta Media 0.699 0.262 0.956 Rata-rata Efisiensi 0.820 0.349 0.924 Bank Permata (Hasil Merger) 0.668 0.784 Sumber : Sumber : Hasil Pengolahan Dengan Metoda data envelopment analysis (DEA)

2005 (7)

0.796

Untuk mengetahui perbandingan rata-rata dan varians skor efisiensi sesudah dan sebelum merger, dari Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata, dapat diketahui pada Tabel 5. Dari ketiga bank tersebut, Bank Mandiri terlihat yang paling baik kinerjanya, dimana rata-rata skor efisiensinya telah mencapai skor maksimum, yaitu 1,0 dan variansnya turun dari 0,0005 menjadi 0,0000. Bank Danamon, walaupun rata-rata skor efisiensinya meningkat dari 0,6979 sebelum merger menjadi 0,8760 sesudah merger, tetapi varians skor efisiensinya tampak meningkat dari 0,0094 menjadi 0,0118. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber input dan output pada Bank Danamon belum stabil selama tiga tahun setelah merger. Sedangkan Bank Permata, walaupun rata-rata skor efisiensi sesudah merger belum menunjukkan peningkatan yang significant, tetapi variansnya terlihat turun dari 0,0939 sebelum merger menjadi 0,0050 sesudah merger, yang berarti pengelolaan sumber input maupun output-nya sudah membaik selama tiga tahun sesudah merger. Tabel 5. Rata-rata dan Varians Skor Efisiensi Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata Sebelum merger Sesudah merger Nama Bank Rata2 Varians Rata2 Varians (1) (2) (3) (4) (5) Bank Mandiri 0.9704 0.0005 1.0000 0.0000 Bank Danamon 0.6979 0.0094 0.8760 0.0118 Bank Permata 0.6390 0.0939 0.7493 0.0050 Sumber : Hasil Pengolahan Dari Tabel Sebelumnya

JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

38

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

Simpulan Secara umum, merger dapat meningkatkan efisiensi bank yang dilihat dari naiknya skor efisiensi teknis setelah merger dari Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata. Bank Mandiri yang berasal dari merger antara bank-bank yang sudah baik efisiensinya, maka pergerakan skor efisiensi setelah merger selalu berada pada tingkat maksimum. Bagi Bank Danamon, walaupun pada tahun pertama setelah merger tingkat efisiensinya pernah mencapai angka maksimum, tetapi pada tahun kedua dan ketiga, skor efisiensi Bank Danamon tampak menurun. Untuk Bank Permata, dimana rata-rata tingkat efisiensi bank-bank pembentuknya sebelum merger masih relatif rendah, ternyata setelah merger juga belum pernah menunjukkan tingkat efisiensi yang maksimum, walaupun rata-rata skor efisiensinya menunjukkan angka yang terus meningkat setiap tahun. Saran

Karena merger secara empiris terbukti dapat meningkatkan efisiensi pada Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata, maka Bank Indonesia disarankan agar terus mendorong bank-bank yang belum mencapai efisiensi teknis untuk melakukan merger. Namun, bagi bank yang mau melakukan merger perlu terlebih dahulu melakukan identifikasi berbagai kendala teknis dan psikologis pada masing-masing bank sebagai early warning untuk mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi setelah merger.

Daftar Acuan Bank Indonesia [BI]. Berbagai Publikasi, dan berbagai tahun. Budianto, Agus. 2004. Merger Bank di Indonesia (Beserta Akibat-akibat Hukumnya). Bogor: Ghalia Indonesia Coelli, Tim. 1996. A Guide to data envelopment analysis (DEA) P Version 2.1 : A Data Envelopment Analysis (Program) Computer. Armidale : CEPA __________. 1996. data envelopment analysis data envelopment analysis DEAP Version 2.1. The Centre for Efficiency and Productivity Analysis. 2 September 2009. http://www.uq.edu.au/economics/cepa/deap.htm Goeltom, Miranda S. 2005. Strategi Merger Bank Pembangunan Daerah dalam Era Globalisasi, Kliping Bank Indonesia, situs offline Perpustakaan Bank Indonesia. Hadad, Muliaman D, dkk. 2003. Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia : Penggunaan Metode Non Parametrik Data Envelopment Analysis (DEA), Bank Indonesia. Mardanugraha, Eugenia. 2005. Efisiensi Perbankan di Indonesia Dipelajari Melalui Pendekatan Fungsi Biaya Parametrik [Disertasi]. Depok : FE UI Rasyid, Arwin. 2008. 180 Derajat, Inside Story Transformasi Bank Danamon. Jakarta. Samosir, P. Agunan. 2003. Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger Dan Sebagai Bank Rekapitalisasi. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 7, Nomor 1, Maret. Jakarta : Departemen Keuangan Susidarto. 2007. Wacana : Kunci Sukses Merger Bank. Suara Merdeka Viverita. 2008. The Effect of Mergers of Bank Performance: Evidence from Bank Consolidation Policy in Indonesia. International Review of Business Research Papers, Vol 4, No. 4, 368-380 Yolanda, Ervina. 2008. Kinerja Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sebelum dan Setelah Implementasi Kebijakan Privatisasi, Serta Perbandingannya dengan Bank Besar Lain di Indonesia [Skripsi]. Jakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

39

Pengukuran Efisiensi Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA): Studi Kasus Bank Mandiri, Bank Danamon dan Bank Permata

HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN

JURNAL EKUBANK, Volume 2 Edisi Juli 2009

40