PENINGKATAN KUALITAS BUNGKIL INTI SAWIT OLEH KAPANG Trichoderma reesei SEBAGAI PENDEGRADASI POLISAKARIDA MANNAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN AYAM PEDAGING
ACHMAD JAELANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PENINGKATAN KUALITAS BUNGKIL INTI SAWIT OLEH KAPANG Trichoderma reesei SEBAGAI PENDEGRADASI POLISAKARIDA MANNAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN AYAM PEDAGING
ACHMAD JAELANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul: Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Trichoderma reesei sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun
Bogor, Agustus 2007
Achmad Jaelani NIM. D016010071
RINGKASAN ACHMAD JAELANI. Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Trichoderma reesei sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, SURYAHADI dan IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO. Bungkil inti sawit (BIS) merupakan By product dari pengolahan Crude Palm Oil (CPO) yang proses produksinya dapat melalui expeller extraction atau chemical extraction. Perbedaan pengolahan inilah yang menyebabkan kualitas BIS bervariasi baik kandungan nutrisi maupun sifat fisik bahan tersebut. Pada proses pengolahan bahan pakan, diperlukan kualitas yang keragamannya rendah karena akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengolahannya. Dengan hal tersebut perlu dilakukan pengujian terhadap keragaman BIS baik dari segi fisik maupun kandungan nutrisinya dengan mengambil sampel dari beberapa pabrik yang memproduksi BIS. Sifat fisik bahan sangat diperlukan untuk menerapkan teknologi pengolahan lanjutan yang tepat agar kualitas bahan dapat ditingkatkan. Uji sifat fisik yang umum dilakukan pada bahan pakan yakni : uji berat jenis (BJ), kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, kehalusan bahan dan faktor higroskopis. Uji ini sering dilakukan pada industri pakan ternak, karena berhubungan dengan proses penggilingan, pencampuran, dan pembuatan pellet. Rancangan acak lengkap digunakan pada penelitian Tahap I ini, dengan sampel 3 sumber produksi BIS (Lampung, Langkat, dan Banten) sebagai perlakuan. Data dianalisis keragaman (anova), dan koefisien keragamannya. Dari semua sifat fisik diklasifikasikan berdasarkan koefisien keragamannya. Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman yang tinggi (diatas 10%) adalah sudut tumpukan yakni mencapai 12.79%. Sifat fisik BJ dan diameter bahan memiliki koefisien variasi berkisar antara 5-10%, dan sifat fisik yang memiliki koefisien keragaman di bawah 5% yakni daya ambang, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan tingkat kehalusan. Sifat fisik umumnya jadi pertimbangan kedua setelah kandungan nutrisi. Kandungan nutrisi BIS yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari proses produksi BIS di Lampung, dengan kandungan protein kasar 16.5%, lemak kasar 5.65%, serat kasar 24.22% dan energi bruto 3,543 Kkal/kg. Pengolahan yang sering digunakan pada bahan pakan ternak adalah pemanfaatan mikroorganisma kapang. Dalam proses fermentasi harus diketahui kemampuan kapang tersebut dalam mendegradasi suatu bahan pakan. Trichoderma reesei merupakan salah satu kapang yang mampu mendegradasi komponen polisakarida mannan yang banyak terdapat pada BIS. Sebelum kapang digunakan, diuji karakteristik pertumbuhannya yang meliputi jumlah optimum koloni, diameter koloni, pengamatan visual kemampuan perkembangan hifa disamping faktor-faktor lingkungan lain seperti pH dan temperatur media. Penelitian Tahap II tentang optimalisasi fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei dimulai dengan uji pertumbuhan kapang dan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi. Kapang Trichoderma reesei dapat tumbuh baik pada suhu ruang 28 oC dengan pH awal 5.95. Pada 24 jam umur fermentasi terjadi penurunan pH dan kenaikan temperatur. Penurunan pH terjadi karena H+ dilepaskan selama konsumsi NH4+ dan terjadinya proses metabolisme
NO3- serta penggunaan asam amino sebagai sumber karbon. Perubahan pH juga disebabkan terbentuknya asam-asam organic selama proses fermentasi berlangsung seperti asam asetat, asam laktat dan CO2. Setelah waktu tersebut terjadi kenaikan pH sampai akhir fermentasi , namun pH akhir fermentasi di bawah pH awal. Kapang Trichoderma reesei pada 24 jam pertama sudah terlihat hifa berwarna putih dan mampu tumbuh secara cepat, hingga dicapai pertumbuhan optimum pada 60 jam umur pertumbuhan dengan jumlah koloni 2.13 x 106 CFU/cc. Pengujian optimalisasi fermentasi dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor yang diukur meliputi 3 perlakuan dosis kapang(104, 105, dan 106 CFU/cc) dan 3 perlakuan ketebalan media (1, 2, dan 3 cm). Data dianalisis dengan menggunakan anova dan jika menunjukan perbedaan yang nyta dilanjutkan dengan uji jarak Berganda Duncan menggunakan program SAS ver. 6.12. Fermentasi optimum BIS oleh kapang Trichoderma reesei dibutuhkan dosis kapang 2.13 x106 CFU/cc untuk setiap 100 gram media, dengan ketebalan media 2 cm. Dosis kapang dan ketebalan media tersebut maka diperoleh produk fermentasi yang lebih baik dari BIS sebelum difermentasi. Terjadi peningkatan protein kasar, ADF dan NDF, namun terjadi penurunan kandungan hemiselulosa. Aktifitas kapang pada waktu fermentasi cenderung terjadi pembentukan selulosa daripada hemiselulosa, karena hemiselulosa bersifat lebih mudah terlarut daripada selulosa sehingga aktifitas penguraian hemiselulosa lebih tinggi dari selulosa. Penelitian Tahap III tentang degradasi polisakarida mannan BIS oleh kapang Trichoderma reesei, dapat diketahui dengan mengukur perubahan nutrisi yang erat kaitannya dengan degradasi mannan seperti retensi nitrogen, energi metabolisme sejati, total gula, kandungan mannan, dan kecernaan mannan. Data dianalisis dengan menggunakan uji t. Disini dibandingkan antara BIS dengan Bungkil inti sawit fermentasi (BISF). Proses fermentasi BIS menyebabkan terjadinya penurunan polisakarida mannan sekitar 45.85%. Hal ini disebakan kapang Trichoderma reesei yang mampu mendegradasi mannan dengan menghasilkan enzim β-mannanase. Proses fermentasi mampu meningkatkan kecernaan mannan pada ayam pedaging. BISF memiliki kecernaan mannan yang lebih baik dibanding BIS. Kecernaan mannan BIS pada ayam pedaging mencapai 8.33% sedangkan kecernaan mannan pada BISF mencapai 30.68%. Terjadi peningkatan energi metabolisme sejati disebabkan perombakan komponen serat yang masuk kategori polisakarida bukan pati menjadi komponen olisakarida dan komponen sederhana lain. Hal ini terbukti dengan peningkatan nilai total gula pada BISF dibandingkan nilai total gula pada BIS. Kandungan total gula pada BIS mencapai 5,196.27 ppm, sedangkan pada BISF mencapai 10,178.25 ppm. Kandungan total gula menunjukan apakah degradasi polisakarida mannan sudah berjalan dengan baik atau tidak. Kandungan retensi nitrogen pada BISF terjadi penurunan. Hal ini diduga ada keterkaitan dengan tingginya kadar serat kasar. Semakin tinggi serat kasar akan menurunkan kecernaan nitrogen. Penelitian Tahap IV menguji penampilan ayam pedaging yang diberi perlakuan ransum yang mengandung berbagai tingkat BIS maupun BISF. Rancangan acak lengkap digunakan pada penelitian ini dengan 7 perlakuan ransom yang terdiri atas : ransum kontrol, perlakuan BIS 10, 15 dan 20% serta
perlakuan BISF 10, 15 dan 20%. Rataan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, bobot karkas semua perlakuan masih berada di bawah perlakuan kontrol, hanya perlakuan R5 yang mampu mengimbangi penampilan perlakuan kontrol. Tingkat penggunaan BIS umumnya menunjukan penurunan performan ayam pedaging mengikuti kurva linier, sedangkan tingkat penggunaan BISF sampai 15% menunjukan kenaikan pernampilan ayam pedaging termasuk indeks prestasi, kemudian terjadi penurunan mengikuti kurva kuadratik. Pada penggunaan BIS, pemanfaatan optimum dalam ransum ayam pedaging hingga 10% saja, namun apabila BIS nya telah difermentasi (BISF) penggunaan optimum mampu mencapai 15%. Disini terdapat selisih 5% penggunaan BIS apabila dilakukan pengolahan.
ABSTRACT ACHMAD JAELANI. Improving the quality of Palm Kernel Cake by Fungi Trichoderma reesei that Degrades Mannan Polysaccharides and Its Effects on Broiler Chicken Performances. Under the supervisions of WIRANDA GENTINI PILIANG, SURYAHADI, and IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO. Palm kernel cake (PKC) is defined as what is left after oil extraction from the palm nuts. The use of PKC in poultry diet is very limited. Due to its high fiber content, PKC has caused some nutritional problems such as mannan polysaccharides and its digestability. An effort to hydrolyze mannan polysaccharides by fungi Trichoderma reesei, was conducted as to improve the PKC quality. The objective of this study was to find the capability of Trichoderma reesei to degrade mannan polysaccharides in PKC. This research consisted of four steps. The first step was to study the physical characteristics and to analyze the nutrient contents of PKC from different locations (Lampung, Langkat and Banten). The second step was to study the fermentation proccess. The third step of the research was to study the degradability of mannan polysaccharides from PKC with Trichoderma reesei by analyzing the true metabolizable energy (TME), total sugar, nitrogen retention, the mannan contents, and the digestability of mannan. The fourth step was to study the broiler performances fed either fermented or unfermented PKC at different levels in the diet (0, 10, 15 and 20%). A total of 350 day old chicks were randomly allotted to seven dietary treatments. All diets were formulated to be isonitrogenous (22% CP) and isocaloric (3 000 Kkal/kg). Data were analyzed by analysis of variance and followed by the Orthogonal Contrast Test if the treatments were significant. The result from the first step indicated that the best physical characteristics and nutrient contents of PKC was obtained from Lampung with specific gravity 1.390 g/ml, bulk density 0.582 g/ml, angle of repose 29.98°, diameter of material particles 0.285 cm, floating rate 0.594 m/sec, 16.5% crude protein, 22.4% crude fiber. Angle of repose has the highest coefficient of variation (12.79%). The second step of this research showed that the thickness of the media (2 cm) with colony 2.13 x 106 CFU/cc gave the best content of crude protein, ADF, NDF and hemicellulose, indicating the best fermentation procedure. The third step showed that the TME, total sugar, and the digestibility of mannan increased, while the retention of the nitrogen and the mannan content decreased. These results indicating that Trichoderma reesei could improve the PKC quality. The fourth step of the research indicated that the broiler performances (final live body weight, average daily gain, feed consumption, and dressing weight percentage) fed the fermented PKC were higher than that of the unfermented PKC. The level of the unfermented PKC in the diet (15%) decreased the broiler performances, while the fermented PKC in the diet gave the significantly lower than that of the control. It was concluded that Trichoderma reesei had the capability to degrade mannan polysaccharides from PKC and improve the nutrient content of the PKC. Keywords : palm kernel cake, mannan polysaccharides, broiler chicken
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Disertasi
:
Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Trichoderma reesei sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging
Nama
:
Achmad Jaelani
NIM
:
D016010071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, MSc. Ketua
Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu Hidayati S., MS. Anggota
Diketahui, Koordinator Mayor INP Ketua,
Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr
Tanggal Lulus : 22 Agustus 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Komang Gde Wiryawan, MSc.
Penguji pada Ujian terbuka
: 1. Dr. Ir. Pius Ketaren, MSc. 2. Dr. Ir. Komang Gde Wiryawan, MSc.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 7 Januari 1967 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, pasangan H. Saripudin (almarhum) dan Hj. Djuariah. Pendidikan SD Brawijaya I diselesaikan Tahun 1980, SMP Negeri 2 Tahun 1983 dan SMA Negeri 1 Tahun 1986 (yang semuanya berada) di Sukabumi. Tahun 1988 penulis menyelesaikan Diploma 2 pada Teknisi Usaha Ternak Unggas (TUTU) Fakultas Politeknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, kemudian melanjutkan pada Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung dan lulus Tahun 1993. Tahun 1993 penulis diterima sebagai staf pengajar Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Tahun 1994 penulis bertugas di Kopertis Wilayah XI Kalimantan Dpk. Fakultas Pertanian, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjary di Banjarmasin. Penulis juga pernah menjadi dosen luar biasa (DLB) pada Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan, Universitas Bung Karno (UBK) Tahun 2002-2006 (Kopertis Wilayah III DKI Jakarta) di Jakarta Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana (S2) Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001 dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Ditjen Dikti Depdiknas.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan disertasi, dengan judul Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Trichoderma reesei Sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.Dr.Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc., sebagai ketua komisi pembimbing, Dr.Ir. Suryahadi, DEA, dan Prof.Dr.Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto, MS., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, fikiran dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam proses pembimbingan selama penulis menempuh pendidikan S3. Ucapan terima kasih penulis, disampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan, Rektor Universitas Islam Kalimantan dan Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Pemerintah Daerah Propinsi TK I Kalimantan Selatan dan pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Ketua Program Studi Ilmu Ternak (PTK) beserta staf dan pegawai, atas kelancaran administrasi, serta kepada semua pihak yang telah terlibat dalam membantu penyelesaian studi. Penghargaan penulis disampaikan kepada Ibu Yani dan Bapak Rahmat yang dengan sabar membantu penelitian di Laboratorium Mikrobiologi, Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si dan Dr. Ir. Nevi Diana Hanafi, M.Si serta Ir. Yatno, M.Si yang berbagi suka dan duka serta selalu memberikan motivasi selama proses penelitian. Rasa haru dan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga atas bantuan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta kepada istri tercinta Early Yolanda dan ananda tersayang Nasywa As Salamiyah dan Itqan Athaya Al Khalily, guru kami tercinta Maulana Syeikh H. Muhammad Ma’mun dan Syeikh H. Asy’ari Al Hakim, Umi Mariah, Hj. Elida Hanum, Erwinda Eri Purnama, H. Abubakar Siddik (alm), keluarga besar H. Saripudin (alm) dan Hj. Juariah atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan, semangat dan kasih sayang yang diberikan selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan S3. Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan khususnya dalam bidang peternakan. Bogor, Agustus 2007. Achmad Jaelani
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
ii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
iii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
iv
PENDAHULUAN …………………………………………………….. Latar Belakang ………………………………………………. Tujuan Penelitian ……………………………………………. Hipotesis …………………………………….……………….. Manfaat Penelitian ………………………………………….. Kerangka Penelitian …………………………………………
1 1 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….…………. Produksi dan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit ……… Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS …………………… Polisakarida Mannan Pada BIS ……………… .………… Mikroba Pendegradasi Polisakarida Mannan …………… Kapang Trichoderma reesei ………………………………. Pemanfaatan BIS sebagai Pakan Ternak …..……..……. Upaya Meningkatkan Nilai Nutrisi BIS …………….. ....… Energi Metabolisme ……………………………………….. Retensi Nitrogen ……………………………………………. Penampilan Ayam Pedaging ………………………………. Pertambahan Bobot Badan ……………………………….. Bobot Karkas ………………………………………………… Konsumsi Ransum …………………………………..……… Konversi Ransum ………………………………….………. Mortalitas ……………………………………………………. Indeks Prestasi (IP) dan Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ……………………………………………………… Perkembangan Penelitian tentang Polisakarida Mannan dan BIS ………………………………………………………. BAHAN DAN METODE ………………………………………………. Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS …………… Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei … Penelitian Tahap III : Degradasi Polisakarida Mannan BIS oleh Kapang Trichoderma reesei … Penelitian Tahap IV : Pengaruh Tingkat BIS dan BISF dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging ………………………… HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………….. Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS ………………………….......
8 8 9 12 15 16 19 20 21 23 24 26 26 26 27 27 28 28 32 32 36 41
45 51 51
ii A. Keragaman Sifat Fisik BIS…………………………………. 1. Berat Jenis (BJ) ……………………………………. … 2. Kerapatan Tumpukan ………………………………. 3. Kerapatan Pemadatan Tumpukan ………………... 4. Daya Ambang ……………………………………….. 5. Sudut Tumpukan …………………………………… 6. Tingkat Kehalusan dan Diameter Bahan ……….. 7. Koefisien Keragaman BIS ……………..………… B. Kandungan Nutrisi BIS ……………………………………..
51 51 52 52 53 53 53 54 55
Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei …………
56
A. Karakteristik Pertumbuhan kapang Trichoderma reesei … 1. Jumlah Koloni Kapang ……………………………. 2. Diameter dan Persentase Perubahan Diameter Koloni Kapang ……………………………………… B. Pengaruh Konsentrasi kapang Trichoderma reesei dan Ketebalan Media BIS terhadap Hasil Fermentasi ……... 1. Perubahan pH Media Selama Fermentasi ……… 2. Perubahan Suhu Media Selama Fermentasi …... 3. Kandungan Bahan Kering dan Penyusutannya Selama Fermentasi …………………………….... 4. Kandungan Protein Kasar ……………… ……….. 5. Kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) …….. 6. Kandungan Acid Detergent Fiber (ADF) …….….. 7. Kandungan Hemiselulosa ………………………… 8. Penampilan Secara Visual Media BIS Selama Fermentasi ………………………………………… Penelitian Tahap III : Degradasi Polisakarida Mannan BIS oleh Kapang Trichoderma reesei ………….
56 57 59 60 61 63 65 67 68 69 70 71
73
1. Total Gula Terlarut …………………………………. 2. Kandungan Mannan pada BIS dan BISF …………. 3. Kecernaan Mannan ………………………………….. 4. Energi Metabolisme Sejati …………………………. 5. Retensi Nitrogen Semu …………………………..…
73 74 75 77 78
Penelitian Tahap IV : Pengaruh Tingkat BIS dan BISF dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging ………………………………..
79
1. Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan .. 2. Konsumsi dan Konversi Ransum …………………… 3. Persentase Bobot Karkas …………………………… 4. Mortalitas ……………………………………………… 5. Indeks Prestasi ………………………………………. 6. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ……… PEMBAHASAN UMUM …………………….…………………………… SIMPULAN DAN SARAN ………………………………….…………… DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. LAMPIRAN …………………………………………………………………
79 82 85 87 88 89 91 96 98 107
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Luas areal perkebunan dan produksi minyak sawit dan minyak inti sawit di Indonesia tahun 1990-2005 ……….
8
Tabel 2 Kandungan nutrisi BIS ………….. ……………...…….
10
Tabel 3 Komposisi asam amino BIS ……………. ……….………
11
Tabel 4 Persentase (%) komponen gula netral pada BIS …….
12
Tabel 5 Mikroba pendegradasi polisakarida mannan ……….
16
Tabel 6 Kandungan nutrisi pada beberapa bahan pakan berikut enzim yang efektifnya ………………………………………
21
Tabel 7 Perkembangan bobot badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum ayam pedaging …………………………
25
Tabel 8 Perkembangan penelitian pemanfaatan mikroba dan enzim dalam mendegradasi polisakarida mannan ……….……
29
Tabel 9 Perkembangan penelitian pemanfaatan bungkil inti sawit pada ternak ……………………………….…………….
30
Tabel 10 Susunan ransum penelitian ……….……………………..
47
Tabel 11 Kandungan nutrisi ransum perlakuan …….……………….
47
Tabel 12 Hasil uji kualitas sifat fisik BIS dari beberapa sumber produksi ……………………………………………………...
51
Tabel 13 Koefisien keragaman (%) beberapa sifat fisik BIS ………
54
Tabel 14 Hasil analisis proksimat BIS dari beberapa proses produksi BIS ………………………………………………………………
55
Tabel 15 Jumlah dan diameter koloni kapang Trichoderma reesei selama pertumbuhan ………………..……………………..
57
Tabel 16 Perbandingan kandungan nutrisi BIS dan BISF…………..
61
Tabel 17 Rataan perubahan pH media BIS selama fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei ………………………….……
61
Tabel 18 Rataan perubahan suhu media BIS selama fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei ………………………….……
63
iv Tabel 19 Rataan persentase bahan kering BISF (%) pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda …………...
65
Tabel 20 Rataan penyusutan bahan kering (g) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda …………...
66
Tabel 21 Rataan kandungan protein kasar (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ………….
67
Tabel 22 Rataan kandungan NDF (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ……………………….
68
Tabel 23 Rataan kandungan ADF (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ……………………….
69
Tabel 24 Rataan kandungan hemiselulosa (%) BISF pada ketebalan media dan konsentrasi kapang yang berbeda ……………….
70
Tabel 25 Tampilan makroskopis kapang Trichoderma reesei pada media bungkil inti sawit selama fermentasi ………………
71
Tabel 26 Kandungan total gula terlarut pada BIS dan BISF ………
74
Tabel 27 Kandungan mannan pada sampel bahan BIS dan BISF serta pada feses …………………………………….. …….
75
Tabel 28 Degradasi dan kecernaan mannan pada BIS dan BISF…
76
Tabel 29 Nilai rataan beberapa peubah dalam pengukuran energi Metabolisme ………………………………………………
77
Tabel 30 Nilai rataan beberapa peubah dalam pengukuran retensi nitrogen …………………………………………………..….
78
Tabel 31 Rataan bobot badan akhir (g) dan pertambahan bobot badan (g) ayam pedaging selama pemeliharaan 7- 42 hari
80
Tabel 32 Rataan konsumsi (g) dan konversi ransum ayam pedaging selama pemeliharaan 7-42 hari ………………………….
82
Tabel 33 Rataan bobot karkas (g) dan persentase bobot karkas (%) ayam pedaging umur pemeliharaan 7-42 hari ..……….
85
Tabel 34 Mortalitas (%) ayam pedaging umur pemeliharaan 7-42 hari
87
Tabel 35 Rataan indeks prestasi (IP) ayam pedaging selama pemeliharaan 7-42 hari …………………………………….
89
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian …………………
4
Gambar 2 Skema seluruh tahapan penelitian …………………….
5
Gambar 3 Persentase (%) bagian-bagian kelapa sawit berikut hasil ikutannya ………………………………..…………........
9
Gambar 4 Klasifikasi polisakarida non pati ………………. ……..
13
Gambar 5 Struktur kimia polisakarida mannan ………………...
14
Gambar 6 Finger print hasil analisis polisakarida mannan, glukomannan dan galaktomannan dinding sel Arabidopsis thaliana dengan karbohidrat gel-elektroforesis (PACE) …………………………………..………………
14
Gambar 7 Perbandingan mannan yang belum terdegradasi dengan mannan yang terdegradasi melalui pengamatan dengan transmission electron microscopy (TEM) Philips CM 200 CRYO ……………………………………………………………
17
Gambar 8 Rantai jalur metabolisme fruktosa dan mannosa ...………
18
Gambar 9 Skema fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei ..
40
Gambar 10 Biakan kapang Trichoderma reesei FNCC 6041 …………
57
Gambar 11 Kurva pertumbuhan jumlah koloni kapang Trichoderma reesei …………………………………………………………
58
Gambar 12 Kurva pertumbuhan diameter koloni kapang Trichoderma reesei …………………………………………………………
59
Gambar 13 Kurva persentase perubahan diameter koloni kapang Trichoderma reesei ………………………………………….
60
Gambar 14 Kuva perubahan pH media selama fermentasi oleh kapang Trichoderma reesei ………………………………………….
62
Gambar 15 Kuva perubahan suhu media selama fermentasi oleh Kapang Trichoderma reesei ……………………………….
64
Gambar 16 Penampilan mikroskopis bungkil inti sawit fermentasi yang Berasal dari sumber produksi di Lampung menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan pembesaran 1000 kali ………………………………………………………..
73
Gambar 17 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap bobot badan akhir ayam pedaging ………….. 80
vi Gambar 18 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging
81
Gambar 19 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap konsumsi ransum ayam pedaging ………..
84
Gambar 20 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap persentase bobot karkas ayam pedaging …. 86 Gambar 21 Foto pathologi anatomis ayam yang mati dalam penelitian ..
88
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Analisis varian dan uji Duncan berat jenis bungkil inti sawit
108
Lampiran 2 Analisis varian dan uji Duncan kerapatan tumpukan bungkil inti sawit ……………………………………………………….. 108 Lampiran 3 Analisis varian dan uji Duncan kerapatan pemadatan tumpukan bungkil inti sawit ………………………………….
109
Lampiran 4 Analisis varian dan uji Duncan sudut tumpukan (SDT) bungkil inti sawit ………………………………………………
109
Lampiran 5 Analisis varian dan uji Duncan daya ambang bungkil inti Sawit …………………………………………………………..
110
Lampiran 6 Analisis varian dan uji Duncan modulus of fineness (MF) bungkil inti sawit …………………………………………….…
110
Lampiran 7 Analisis varian dan uji Duncan rataan diameter (cm) bungkil inti sawit …………………………………………….
111
Lampiran 8 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan bahan kering media ………………..
111
Lampiran 9 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap penyusutan bahan kering media ………………..
112
Lampiran 10 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan Protein Kasar media ……………….
113
Lampiran 11 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan NDF media ………………………….
115
Lampiran 12 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan ADF media ………………………. 116 Lampiran 13 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan hemiselulosa media ……………. 117 Lampiran 14 Grafik kandungan mannan pada BIS ………………..……
119
Lampiran 15 Grafik kandungan mannan pada BISF……………………
120
Lampiran 16 Grafik kandungan mannan pada feses ayam pedaging yang diberi BIS ………………………………………………
121
Lampiran 17 Grafik kandungan mannan pada feses ayam pedaging yang diberi BISF ……………………………………………
122
viii Lampiran 18 Nilai absorban yang terukur pada penentuan kurva standar gula ……………………………………………………….
123
Lampiran 19 Data deskriptif tentang DOC yang digunakan dalam penelitian …………………………………………….... …..
123
Lampiran 20 Pembandingan orthogonal yang digunakan dalam Penelitian ……………………………………………………
123
Lampiran 21 Analisis varian dan uji kontras orthogonal konsumsi ransum ayam pedaging ………………………………….
124
Lampiran 22 Analisis varian dan uji kontras orthogonal pertambahan bobot badan ayam pedaging ….……………………….
125
Lampiran 23 Analisis varian dan uji kontras orthogonal bobot akhir ayam pedaging ……………………………………….
125
Lampiran 24 Analisis varian dan uji kontras orthogonal konversi ransum ayam pedaging ………………………………..
126
Lampiran 25 Analisis varian dan uji kontras orthogonal mortalitas ayam pedaging ……………………………………….
127
Lampiran 26 Analisis varian dan uji kontras orthogonal persentase karkas ayam pedaging ……………………………….
128
Lampiran 27 Rataan IOFCC (Rp) ayam pedaging umur 7-42 hari …
129
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia, Malaysia, dan Nigeria merupakan 3 negara di dunia yang memproduksi sekitar 84% minyak kelapa sawit dunia. Indonesia merupakan negara kedua terbesar setelah Malaysia dalam menghasilkan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 5 000 000 hektar dengan total produksi crude palm oil (CPO) sekitar 14 500 000 ton (LRPI, 2006). Disamping produk utama, terdapat beberapa produk ikutan yang dihasilkan. Menurut Sindu (1999), rata-rata hasil ikutan tersebut adalah bungkil inti sawit sekitar 0.3–0.6 ton, serat buah sekitar 1.5–3.5 ton dan lumpur minyak sawit sekitar 3–6 ton/ha tanaman/tahun. Bungkil inti sawit (palm kernel cake) merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh secara kimiawi (chemical extraction) atau dengan proses fisik (expeller extraction). Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein lebih rendah bila dibandingkan dengan bungkil kedele dan bungkil kacang tanah yaitu sekitar 15.73–17.19% (Chong et al. 1998). Pemberian BIS pada ternak belum optimal karena beberapa kendala diantaranya palatabilitasnya rendah, bersifat gritty, defisiensi asam amino methionin, triptophan, sistin dan mineral Zn, Se serta daya cerna yang rendah akibat tingginya kandungan serat kasar yaitu 12.47–16.09% (Chong et al. 1998). Komponen mannan pada BIS merupakan komponen polisakarida yang berbentuk linier. Formasi linier mannan berbentuk kristal yang cukup tinggi dan ikatan β-(1,4) yang sulit didegradasi, karenanya pendegradasi mannan harus secara total mampu memecah ikatan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Daud dan Jarvis (1992), jumlah persentase gula sederhana dari total dinding sel BIS yang dideteksi dengan HPLC diperoleh mannosa sebanyak 56.4% , selulosa 12% dan xylan 4%. Polisakarida mannan dan selulosa merupakan 95% dari total polisakarida bungkil inti sawit. Purwadaria (2002) menyatakan bahwa pada bahan pakan bungkil kelapa sawit, kandungan mannan dan galaktomannan merupakan yang terbesar. Adapun lebih lanjut dikatakan bahwa enzim yang efektif menguraikan komponen ini adalah β-mannanase, α-galaktosidase dan β-xilosidase.
2 Mannan merupakan polisakarida yang penyerapannya terbatas pada unggas khususnya ayam pedaging. Agar pemanfaatan BIS sebagai pakan ayam pedaging optimal, maka polisakarida mannan harus didegradasi menjadi monosakarida yang mudah dicerna dan diserap. Salah satu caranya adalah melalui hidrolisa mannan BIS dengan menggunakan mikroba yang benar-benar mampu mendegradasi polisakarida mannan. Pemilihan mikroba pendegradasi polisakarida mannan harus didasarkan pada beberapa ketentuan diantaranya tidak toksik, mudah dalam aplikasi, biaya murah, dan produksinya cukup baik. Dari beberapa ketentuan tadi, pemilihan kapang merupakan hal yang tepat karena telah memenuhi ketentuan tadi. Mikroba pendegradasi polisakarida mannan telah diteliti oleh Coulombel et al. (1981) dengan menggunakan Streptomyces olivochromogenes yang ditumbuhkan pada media yang mengandung galaktomannan. Enzim yang dihasilkan
mampu
menghidrolisa
mannan
pada
kopra
menjadi
manno
oligosakarida, mannobiosa dan mannosa. Glenn dan Roger (1988) mengisolasi mutan asporogenous kapang Aspergillus niger yang
mampu menghasilkan
enzim yang dapat mendegradasi mannan (mannanase, selulase dan βglukosidase). Dengan
dihidrolisanya
polisakarida
mannan
menjadi
beberapa
oligosakarida dan monosakarida yang mudah dicerna/diserap tubuh. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan nilai nutrisi baik dari segi kecernaan nutrisinya (kualitasnya), maupun peningkatan dari segi kuantitasnya. Penggunaan BIS pada pakan ayam pedaging masih sedikit dan umumnya tanpa pengolahan sebelumnya. Maksud pengolahan pakan adalah untuk meningkatkan kualitas pakan menjadi lebih baik, sehingga penggunaannya bisa lebih banyak. Fermentasi BIS dengan maksud mengurangi keberadaan polisakarida mannan menggunakan kapang Trichoderma reesei belum banyak dilakukan, karena biasanya kapang ini lebih diarahkan sebagai pendegradasi selulosa. Dengan hal tersebut ingin dilihat bagaimana produk BIS fermentasi (BISF) ini digunakan sebagai pakan ayam pedaging, apakah dapat memperbaiki penampilannya
atau tidak berbeda jauh dengan penampilan ayam pedaging
yang diberi ransum kontrol. Itulah sebabnya penelitian ini dilaksanakan.
3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui sifat fisik dan keragamannya serta kandungan nutrisi bungkil inti sawit 2. Optimalisasi proses fermentasi bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei 3. Mempelajari kemampuan kapang Trichoderma reesei dalam mendegradasi polisakarida mannan 4. Mempelajari penampilan ayam pedaging yang diberi bungkil inti sawit maupun bungkil inti sawit fermentasi dalam ransum. Hipotesis Berdasarkan uraian tersebut di atas diajukan hipotesis hasil fermentasi bungkil inti sawit akan optimum dengan memperhatikan karakteristik sifat fisik dan kandungan nutrisi media fermentasi BIS, kemampuan kapang yang digunakan sesuai tujuan untuk mendegradasi polisakarida mannan sehingga mampu meningkatkan nilai nutrisi BIS dan produk hasil degradasinya jika digunakan sebagai ransum, akan berpengaruh positif terhadap penampilan ayam pedaging. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini berguna dalam meningkatkan pemanfaatan by product dari minyak kelapa sawit menjadi pakan ternak unggas, sehingga dapat meningkatkan alternatif penggunaan bahan pakan lokal. Selain itu diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengolahan pakan
guna menurunkan
keberadaan polisakarida mannan, menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna pada ransum ayam pedaging. Manfaat lain yang dapat diraih adalah penerapan hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk komoditi limbah perkebunan lain yang tinggi mannannya. Kerangka Pemikiran Pemanfatan BIS bagi ternak unggas masih terbatas karena berbagai kendala diantaranya kualitas BIS dari berbagai tempat produksi sangat beragam tergantung proses produksinya. Keragaman ini akan menyulitkan dalam penyusunan ransum. Untuk mengatasi hal ini perlu mempelajari karakteristik BIS sehingga apabila dilakukan pengolahan lanjutan, produk yang dihasilkan akan berkurang keragamannya. Kendala lain adalah kandungan polisakarida mannan
4 yang sulit didegradasi. Pemilihan mikroba dalam proses pengolahan (fermentasi) dan optimalisasi proses fermentasinya, akan diperoleh hasil sesuai tujuan yang diharapkan. Trichoderma reesei merupakan salah satu kapang yang mampu-
BUNGKIL INTI SAWIT
Permasalahan :
•Pemanfaatan TIDAK optimal
UPAYA MENGATASI ?
• Tinggi polisakarida mannan 1)
• Palatabilitas rendah • Bersifat gritty • Tinggi serat kasar 12.47-16.09% • def. Met, tryp, Zn, Se SIFAT FISIK KAND. NUTRISI
PENGOLAHAN LANJUTAN (FERMENTASI)
PENELAAHAN KARAKTERISTIK BIS
PEMILIHAN MIKROBA
PENDEGRADASI MANNAN KUALITAS NUTRISI HASIL FERMENTASI
INVIVO
INVITRO
KAPANG TRICHODERMA REESEI
KARAKTERISTIK :
• PERTUMBUHAN • OPTIMALISASI FERMENTASI
DOSIS DAN KETEBALAN MEDIA
RANSUM
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran
PENAMPILAN AYAM PEDAGING
5
mendegradasi polisakarida mannan, sehingga diharapkan terjadi peningkatan kualitas nutrisi BIS. Kualitas hasil degradasi BIS ini selain dilihat secara invivo, perlu diamati juga secara biologis pada ternak unggas, agar hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
TAHAP I
Bungkil Inti Sawit
Sumber Produksi
Lampung (A)
3
3
3
Sifat Fisik Berat Jenis Kerapatan tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan Sudut Tumpukan Daya ambang Diameter bahan Kehalusan bahan
Langkat (B)
3
3
3
Koefisien Keragaman KV tinggi > 10% KV sedang 5-<10% KV rendah < 5%
Banten (B)
3
3
Kandungan Nutrisi Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Energi bruto
BIS Terpilih
TAHAP II BIS • • • •
3
Trichoderma reesei Karakteristik Pertumbuhan Umur fermentasi Jumlah koloni Diameter koloni
6
Optimalisasi Fermentasi
Tebal Media (cm) 1
2
Konsentrasi Kapang 2.13 x 104 CFU/cc
3
2.13 x 105 CFU/cc 2.13 x 106 CFU/cc
Fermentasi
Proses fermentasi
Kualitas produk
- Perubahan Suhu - Perubahan pH - Penampilan visual
- ADF - NDF - Hemiselulosa - Protein kasar - Bahan kering - Penyusutan BK
Kualitas Fermentasi Terbaik
TAHAP III Perbanyakan Hasil Fermentasi Optimum
Pengujian Kualitas Hasil Degradasi Mannan Secara Invivo
Kandungan Mannan
Kecernaan Mannan
Total Gula
True Metabolizable Energy (TME)
7 TAHAP IV Perbanyakan Hasil Fermentasi Optimum
Pengujian kualitas Hasil fermentasi Secara invitro
Ransum Kontrol 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
10% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
BIS 15% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
20% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
10% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
BISF 15% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
20% 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor
Penampilan ayam pedaging
Bobot badan Akhir
Pertambahan Bobot badan
Konsumsi Ransum
Konversi Ransum
Mortalitas
Gambar 2 Skema seluruh tahapan penelitian
Indeks IOFCC Prestasi
TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat yang mempunyai iklim tropis. Tanaman ini mula-mula dikembangkan oleh perusahaan besar seperti perkebunan negara dan swasta asing, kemudian diikuti perusahaan swasta nasional dan rakyat. Adapun luas areal perkebunan kelapa sawit sampai proyeksi tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 Luas areal perkebunan, produksi minyak sawit dan minyak inti sawit di Indonesia Tahun 1990-2005 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003* 2004* 2005*
Luas areal (ha) 1 126 677 1 310 996 1 467 470 1 613 187 1 804 149 2 024 986 2 049 514 2 516 079 2 779 882 2 957 079 3 180 614 3 431 000 3 718 541 4 045 012 4 409 306 4 843 205
Produksi minyak sawit (ton/tahun) 2 412 612 2 657 600 3 266 250 3 421 449 4 008 662 4 479 670 4 898 658 5 380 447 5 005 903 5 659 010 6 166 154 6 689 899 7 225 956 7 919 614 8 709 064 9 607 981
Produksi minyak inti sawit (ton/tahun) 503 803 551 345 559 274 602 229 796 537 942 063 1 084 676 1 229 333 1 175 286 1 245 202 -
Sumber : Statistik Perkebunan dalam Jakarta Future Exchange (2002) Keterangan : * angka proyeksi
Hasil utama pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil). Adapun hasil ikutannya berupa bungkil inti sawit (BIS), serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung sawit. Hasil sampingan serat perasan buah dan tempurung sawit digunakan sebagai arang bakar. Adapun tandan kosong dan lumpur sawit merupakan sumber selulosa yang dapat digunakan sebagai komponen makanan ternak (Naibaho 1990). Menurut Devendra (1977), persentase jumlah produk kelapa sawit berikut hasil ikutannya dapat dilihat pada Gambar 3. Disini terlihat bahwa BIS memiliki persentase yang sama dengan minyak inti sawit, namun apabila dibanding
9 dengan hasil ikutan kelapa sawit lainnya termasuk yang paling rendah (4–5% dari tandan buah segar).
TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT
Tandan Kosong (55–58%)
Serat Kelapa Sawit (12%)
Minyak Sawit Inti Sawit Tempurung (18–20%) (4–5%) (8%)
Lumpur Minyak sawit Kering (2%)
Minyak Inti Sawit (45–46%)
Bungkil Inti Sawit (45–46%)
Gambar 3 Persentase (%) bagian-bagian kelapa sawit berikut hasil ikutannya. Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS Proses pengolahan minyak kelapa sawit di Indonesia kebanyakan dilakukan secara expeller extraction. Proses ini ada yang dilakukan satu tahap, akan tetapi adapula yang dilakukan dua tahap ekstraksi. Proses produksi BIS yang berbeda akan menghasilkan sifat fisik dan kandungan nutrisi yang beragam. Sifat fisik adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk diketahui. Karakteristik fisik bahan dapat mencakup aspek yang sangat luas mulai dari sifat-sifat fisik itu sendiri seperti ukuran, bentuk, tekstur, warna, sifat-sifat optik dan penampakan. Sifat-sifat fisik ada juga yang menyangkut dengan panas seperti panas jenis, panas laten, konduktifitas dan difusi panas. Chung dan Lee (1985) menyatakan bahwa ukuran partikel dan kadar air merupakan salah satu
10 faktor yang mempengaruhi sifat fisik disamping distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan partikel suatu bahan. Keberhasilan teknologi pakan dalam hal homogenitas pengadukan pakan, laju aliran pakan dalam organ pencernaan, proses absorpsi dan deteksi kadar nutrisi semuanya terkait erat dengan sifat fisik bahan (Chung & Lee 1985). Secara umum sifat fisik bahan pakan tergantung dari jenis dan ukuran partikel bahan. Sekurang-kurangnya ada 6 sifat fisik pakan yang penting yaitu berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, daya ambang dan faktor higroskopis. Berat jenis juga disebut berat spesifik, yakni merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya dan memegang peranan penting dalam proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan. Berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan (Khalil 1999). BIS di Indonesia sudah ditetapkan standar kualitasnya, yakni tertera pada SNI 01-0001-1987. Adapun secara lengkap tentang kandungan nutrisi
BIS
diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan nutrisi BIS Kandungan Nutrisi
Peneliti 1
A. Analisis Proksimat Energi metabolisme, Kkal kg-1 Bahan kering, % Protein kasar, % Lemak kasar, % Serat kasar, % Abu, % Beta-N, % B. Kandungan Mineral Kalsium (Ca), % Posfor (P), % Natrium (Na), % Khlor (Cl), % Kalium (K), % Magnesium (Mg), mg kg-1 Mangan (Mn), mg kg-1 Tembaga (Cu), mg kg-1 Selenium (Se), mg kg-1 Besi (Fe), mg kg-1 Seng (Zn), mg kg-1
2
3
4
1 480* 91 14 8 23 6 49
a 86.0 12.9 9.4 16.9 5.6 41.2
b 86.0 15.4 4.6 9.6 9.6 52.8
88.57 16.86 6.82 15.12 6.58 54.62
1 480 90.30 16.10 0.80 15.70 4.00 63.50
0.29 0.79 225 28.5 4.05 77.0
0.21 0.53 0.17 0.61 290 0.10 -
0.24 0.44 0.18 0.69 310 0.11 -
-
0.29 0.79 -
Sumber : * Mustaffa et al. (1991) 1 Yeong et al. (1983), 2 Hartadi et al. (1980) (Ekstrasi : a mekanik dan b kimia), 3 Keong (2004), 4 Hew dan Jalaludin (1996)
11 Berdasarkan Tabel 2 tentang
komposisi nutrisi BIS, terlihat bahwa
kandungan serat kasarnya bervariasi mulai dari 9.6% (ekstraksi proses kimia) hingga tertinggi mencapai 23%.
Demikian pula halnya dengan protein kasar
yang dapat mencapai 21%, sedangkan terendah mencapai 12.9% (ekstraksi proses mekanik).
Kandungan energi metabolismenya cukup rendah, karena
sebagian besar minyak sawit yang menjadi sumber energinya sebagian besar sudah diambil. Beberapa mineral menjadi pembatas karena jumlahnya yang relatif kecil antara lain Se dan Zn. Komposisi asam amino BIS bisa dilihat pada Tabel 3. Dilihat dari komposisi asam aminonya, triptofan,
metionin dan serin memiliki kandungan
yang rendah. Kedua asam amino tersebut kecuali serin merupakan asam amino yang esensial bagi unggas. Tabel 3 Komposisi asam amino BIS Peneliti 4 5 6 7 a b …………………………………..….%............................................ Protein 16.06 18.63 18.70 12.90 15.40 18.7 14.51 14.8 Alanin 0.92 0.77 0.73 0.82 0.81 0.62 Arginin* 2.18 2.54 2.79 1.72 1.99 2.20 2.68 2.03 Asam aspartat 1.55 1.59 1.78 1.60 1.69 1.33 Asam 3.15 3.30 4.08 3.42 3.62 2.75 glutamat Glisin 0.82 0.88 0.92 0.52 0.57 0.84 0.91 0.70 Histidin* 0.29 0.46 0.44 0.30 0.30 0.34 0.41 0.34 Iso leusin* 0.62 0.69 0.61 0.60 0.67 0.61 0.60 0.66 Leusin* 1.11 1.17 1.19 0.80 1.03 1.14 1.23 1.04 Metionin* 0.30 0.49 0.33 0.26 0.25 0.34 0.47 0.40 Phenilalanin* 0.73 0.88 0.72 0.60 0.69 0.74 0.82 0.43 Prolin 0.62 0.61 0.61 0.60 0.96 Serin 0.69 0.89 0.99 0.77 0.90 0.74 Sistin 0.20 0.35 0.27 0.34 0.34 0.23 0.29 Treonin 0.55 0.64 0.70 0.54 0.43 0.60 0.66 0.53 Triptofan* 0.17 0.51 0.21 0.17 0.17 0.19 0.24 Tirosin 0.38 0.49 0.55 0.56 0.43 0.47 0.58 0.43 Valin* 0.93 1.04 0.98 0.90 0.69 0.80 0.43 0.86 Asam amino
1
2
3
Keterangan : * asam amino esensial untuk unggas 1 Yeong et al. (1983) 2 Hartley (1970) 3 Fetuga et al. (1973) 4. Hartadi et al. (1980) (Ekstraksi : a mekanik dan b kimia) 5 Hutagalung dan Jalaludin (1982) 6 Nwokolo et al. (1976) 7 Hutagalung (1978)
BIS
tinggi akan serat kasar yakni berkisar antara 13.0–15.7%, ADF
31.7%, dan NDF 52% (Daud et al. 1993). Adapun menurut Yeong et al. (1983),
12 kecernaan bahan kering BIS 35.2%, sedangkan kecernaan proteinnya
58%.
Keadaan seperti ini diduga bahwa bungkil inti sawit tinggi akan polisakarida. Polisakarida
yang
tidak
larut
dalam
minyak
inti
sawit
adalah
galaktomannan dan (1,4)-D-mannan yang memiliki rantai kristal linear (Alang et al. 1988, diacu dalam Hew dan Jalaludin 1996), namun terdapat sedikit galaktosa pada sisi rantainya (Daud & Jarvis 1992). Lebih lanjut dikatakan bahwa mannan dan galaktomannan diharapkan tidak berpolimerisasi pada saluran pencernaan unggas (Daud et al. 1993). Terdapat tiga metoda dalam mendeterminasi komposisi dan struktur polisakarida pada dinding sel BIS yaitu HPLC, NMR melalui pelarutan dan ekstraksi, serta secara padat. Ekstraksi BIS dilakukan dengan metoda neutral detergent dan pemurnian untuk memisahkan protein dengan phenol-acetic acid water (PAW). Komponen gula netral pada BIS dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan analisis menggunakan HPLC, komponen gula netral dari total dinding sel pada BIS yang terbesar adalah mannosa yakni sebesar 56.4% (Daud & Jarvis 1992). Tabel 4 Persentase (%) komponen gula netral pada BIS Komponen gula netral
Persentase dari dinding sel (%)
Mannosa Selulosa Xylosa Galaktosa Total
56.4 ± 7.0 11.6 ± 0.7 3.7 ± 0.1 1.4 ± 0.2 73.1 ± 7.2
Sumber : Daud dan Jarvis (1992)
Polisakarida Mannan pada BIS Polisakarida adalah polimer monosakarida yang bergabung dengan ikatan glikosidik dan klasifikasinya berdasarkan struktur : jenis monosakarida, posisi ikatan glikosidik, konfigurasi ikatan glikosidik α dan β serta ada tidaknya substituen non karbohidrat. Dalam pengelompokkan polisakarida bukan pati (Non Starch Polysaccharides), terdiri atas 3 kelompok besar yakni selulosa, polimer non selulosa, dan pektic polisakarida. Komponen polisakarida non pati atau NSP (Non Starch Polisaccharides) antara lain hemiselulosa, dimana dalam bahan akan menghalangi proses penyerapan karbohidrat, asam amino dan mineral dalam usus yang mempunyai efek penghalang (protective box effect) (Vranjes dan Wenk 1995). Polisakarida bukan pati (NSP) pada hewan non
13 ruminansia termasuk unggas mempunyai aktivitas anti nutrisi yang mempunyai pengaruh menekan pencernaan dan penyerapan serat serta
menyebabkan
kotoran menjadi basah. Adapun klasifikasi polisakarida non pati diperlihatkan pada Gambar 4.
Polisakarida Non Pati
Selulosa
Polimer non selulosa
Arabinoxylan glukan, mannan, araban, galaktan, xyloglukan
Pektic polisakarida
Asam poligalakturonik yang bergabung dengan galaktan dan arabinogalaktan
Gambar 4 Klasifikasi polisakarida non pati (Vranjes & Wenk 1995) Polisakarida mannan termasuk ke dalam polisakarida non selulosa, dengan tipe struktur utama mannan, galaktomannan dan glukomannan. Polisakarida mannan adalah polimer dari mannosa atau heteroglucans dengan α-D-mannan sebagai rantai utama (back-bone). Adapun perbedaan konfigurasi dari mannosa yaitu terdapatnya D glukosa pada C-2 (Chanzy et al. 1987). Dalam kenyataannya rantai mannan ini sangatlah panjang. Adapun rumus kimia mannan adalah (C6H10O5)n dan dapat dihidrolisa menjadi mannosa (C6H1206). Mannan ini terdapat pada fraksi hemiselulosa dari biomass BIS (Daud & Jarvis 1992). Struktur kimia polisakarida mannan bisa dilihat pada Gambar 5. Dilihat dari struktur bangunnya, mannan terdiri dari suatu inti bagian dalam, rantai sebelah luar, dan base-labile oligomannosides. Rantai sebelah luar (OuterChain) adalah daerah yang mencerminkan spesifik antigeniknya. Ikatan β-D-
14 mannan merupakan rantai linier yang memiliki ikatan β-D-mannopyranosyl. Beberapa alga hijau dan biru dilaporkan mengandung porsi yang lebih besar dari
Gambar 5 Struktur kimia polisakarida mannan. β(1,4)-D-mannan pada dinding selnya.
β-mannan terutama terdapat pada
gymnospermae (softwoods). Ukuran molekul mannan berbeda antar tanaman. Formasi linier mannan berbentuk kristal polymorphism yang cukup tinggi dan ikatan β-(1,4) sulit untuk dipecah.
Gambar 6 Finger print hasil analisis polisakarida mannan, glukomannan dan galaktomannan dinding sel Arabidopsis thaliana dengan karbohidrat gel-elektroforesis (PACE) (Goubet et al. 2002).
15 Di alam mannan murni sangatlah jarang ditemui.
Polimernya selalu
berikatan dengan galaktosa pada variabel panjang rantai α(1,6). Hal ini dapat dibedakan dari mannan dimana lebih dari 5% residu galaktosa dinyatakan sebagai galaktomannan. Sejak mannan diketahui sebagai komponen utama dalam BIS, maka dikembangkan produk degradasinya yang berupa mannosa. Kegunaan nutrisi mannosa dipertahankan kemampuannya untuk diserap pada saluran pencernaan melalui membran mucus ke dalam aliran darah dan lymph. Goubet
et
al.
(2002)
melakukan
analisis
polisakarida
mannan,
glukomannan dan galaktomannan pada dinding sel Arabidopsis thaliana dengan metoda Polysaccharide Anaysis using Carbohydrate gel Electrophoresis (PACE). Mikroba Pendegradasi Polisakarida Mannan Pada penelitian pendahuluan tentang mikroba pendegradasi polisakarida mannan dilakukan oleh Coulombel et al. (1981) dengan menggunakan Streptomyces
sp.
yang
ditumbuhkan
pada
media
yang
mengandung
galaktomannan. Streptomyces diisolasi dan dimurnikan dengan ion-exchange chromatography dan filtrasi gel. Enzim yang dihasilkan mampu menghidrolisa mannan pada kopra menjadi manno oligosakarida, mannobiosa dan mannosa akan tetapi mannobiosa bukan merupakan substrat. Reaksi transglycoylation ditemukan dengan strain Streptomyces lainnya yang mendegradasi mannotetraosa atau mannopentosa menjadi mannobiosa dan mannotriosa dalam keadaan mannosa tidak bebas. Terlihat bahwa enzim mentransfer satu unit mannosa dari mannooligosakarida ke mannobiosa (Coulombel et al. 1981). Penelitian lain Glenn dan Roger (1988)
menggunakan kapang
Aspergillus niger dengan mengisolasi mutan asporogenous Aspergillus niger dan mampu menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi mannan (mannanase, selulase dan β-glukosidase). Santiago et al. (2006) juga melakukan penelitian isolasi enzim mannanase, selulase dan xylanase dari kapang Aspergillus niger uam-gs1 mutans. Lebih lanjut Santiago et al. (2006) menyatakan bahwa produksi enzim mannanase memiliki hubungan yang positif dengan morphology kapang (panjang hifa dan diameter sporangium). Smith dan Pateman (1977) menyatakan bahwa Aspergillus niger menghasilkan enzim N-acetylglucosamine, glucose, mannose dan galactose, sedangkan Wiseman (1985) menyatakan bahwa
16 Aspergillus niger menghasilkan enzim α-amilase, glukoamilase, selulase, β-Dgalaktosidase, laktase, endo 1,3 (4) glukanase, gluko-oksidase. Beberapa mikroba pendegradasi polisakarida mannan diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 Mikroba pendegradasi polisakarida mannan Jenis mikroba
Substrat
Peneliti
A. Bakteri Bacillus sp. M50
-
Chen et al. (2000)
Thermomonospra fusca
Limbah pulp kertas
Hilge et al. (1998)
Clostridium tertium KT-5A
Methanogenic sludges
Pyrococcus furiosus
Coconuts
Kataoka dan Tokiwa (1998) Samonte (2003)
Pseudomonas fluoescens
Cellvibrio japonicus
-
Braithwaite (2001) Bolam dan Gilbert (1996)
-
Deborah et al. (2003)
B. Kapang Trichoderma reesei
Aspergillus niger Aspergillus orizae
Blue mussel Ivory nut Waste Coffee Guar gum (Cyamopsis tetragonoloba) Copra and coffee wastes
Xu et al. (2002) Hagglund et al. (2003) Regalado et al. (1995a) Kusakabe (1990) Regalado et al. (1995b)
Kapang Trichoderma reesei Kapang adalah jasad renik eukaryotik dan terdiri atas yeast, molds atau suatu kombinasi kedua-duanya. Beberapa kapang dapat menyebabkan penyakit yang berkenaan dengan kulit, subkutan, alergi atau sistemik. Yeast adalah kapang mikroskopik yang terdiri dari solitary cell yang bereproduksi dengan budding (McGinnis & Trying 2003). Molds terlihat jelas seperti kawat pijar panjang dan dikenal sebagai hyphae, yang
tumbuh dengan perluasan apikal. Hyphae dapat terbentuk dari
septat yang renggang secara teratur dan memiliki suatu jumlah variabel nukleus. Ukuran atau bentuk semua kapang adalah heterotrophic dan mampu mencerna makanan secara eksternal dengan pelepasan enzim hidrolisis ke dalam lingkungannya (McGinnis & Trying 2003).
17 Klasifikasi Trichoderma reesei menurut Frazier dan Westhoff (1978) adalah divisi Thallophyta, kelas Deuteromycetes, famili Moniliaceae dan ordo Moniliales. Koloni kapang yang tua berwarna hijau tua dan bentuknya bola-bola konidia yang berwarna hijau yang melekat satu sama lain. Ciri spesifik kapang ini adalah (1) miselium septat, (2) konidia bercabang banyak, septat dan ujung percabanganya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang dan berbentuk bola-bola (Fardiaz 1998). Sabini et al. (2000) melakukan penelitian degradasi polisakarida mannan dan hasilnya bisa dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
Ket : A bagian kiri : Mannan yang belum terdegradasi A bagian kanan : Mannan yang sudah terdegradasi B bagian insert , area yang dilingkari merupakan diagram difraksi elektron
Gambar 7 Perbandingan mannan yang belum terdegradasi (A bagian kiri) dengan mannan yang terdegradasi (A bagian kanan) melalui pengamatan dengan transmission electron microscopy (TEM) Philips CM 200 CRYO. Pada mannan yang belum terdegradasi, kristal memiliki rata-rata diagonal terpanjang 0.8 µm dan bagian yang terpendek 0.4 μm. Kristal memiliki bentuk morphologi platelet pada permukaan. Setelah terdegradasi kontur permukaan mannan tidak jelas namun masih memperlihatkan bentuk yang memanjang. Lebih lanjut jalur metabolisme mannan menjadi mannosa
secara lengkap
diperlihatkan pada Gambar 8. Pada Gambar 8 terlihat bahwa metabolisme mannan menjadi D mannosa dibantu dengan adanya enzim mannan 1,2-(1,3)-α-mannosidase dengan Enzyme Commission Number (EC) E.C. 3.2.1.77 dan enzim mannan exo-1,21,6-α-mannosidase
(E.C
3.2.1.37).
Adapun
untuk
1,4-β-mannan,
dapat
dihidrolisis menjadi D mannosa dibantu dengan enzim mannan endo-1,4-β-
18 mannosidase (E.C 3.2.1.78). D mannosa kemudian diubah menjadi D mannosa 6P dengan bantuan enzim hexokinase (E.C. 2.7.1.1), glucokinase (E.C. 1.7.1.2) dan mannokinase (E.C 2.7.1.7). D Mannosa 6P dapat dihidrolisis menjadi D mannosa 1P dengan bantuan enzim phospho mannomutase (E.C. 5.4.2.8), selanjutnya D mannosa 1P dihidrolisis menjadi GDP-D-mannosa dengan bantuan enzim nicotinamide-nukleotide denylyltransferase (E.C. 2.7.7.13).
Gambar 8 Rantai jalur metabolisme fruktosa dan mannosa (sumber : www.chem.qmul.ac.uk/iubmb/enzyme 16 Pebruari 2003).
19 Pemanfaatan BIS sebagai Pakan Ternak Pemanfaatan BIS banyak dilakukan pada ternak ruminansia. Di beberapa negara Afrika, BIS banyak diberikan pada ternak sapi pedaging. Sapi bakalan yang diberi pakan BIS tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap ratarata pertambahan bobot badan harian, konsumsi pakan, namun berpengaruh nyata terhadap efisiensi pakan. Pengaruh tingkat pemberian BIS tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering dan nitrogen. Ada kecenderungan dengan semakin tinggi tingkat pemberian BIS, maka akan menurunkan kecernaan Nitrogen. Hal ini diduga ada keterkaitan dengan tingginya kadar serat kasar (Umunna et al. 1980). Chin (2002) melaporkan bahwa BIS baik sekali untuk sapi perah
Sahiwal-Friesian karena selama 170 hari periode produksi
mampu menghasilkan 7.9 kg susu per ekor (BIS melalui proses solvent extraction) dan 4.8 kg susu per ekor (BIS melalui proses expeller extraction). Di Nigeria telah dicobakan BIS ini pada babi dan terlihat pengaruhnya terhadap
peningkatan
bobot
badan.
Hutagalung
dan
Jalaludin
(1982)
menyatakan bahwa penggunaan BIS pada babi berkisar 15–25% dengan pembagian 5% periode starter, 10% periode grower dan 20% periode finisher. Penggunaan BIS pada ayam petelur dapat mencapai 20%. Ada kecenderungan bahwa BIS lebih baik untuk petelur daripada untuk ayam pedaging, hal ini mungkin disebabkan ayam petelur membutuhkan energi lebih sedikit. Di Nigeria pemanfaatan BIS untuk menggantikan kacang tanah yang memang harganya lebih mahal (Onwudike 1986c).
BIS dapat menggantikan
kebutuhan protein kacang tanah sebesar 60% atau dapat dimanfaatkan pada petelur starter sebesar 34% tanpa memberikan efek yang merugikan terhadap laju produksi telur, bobot telur, dan konsumsi ransum (Onwudike 1986b). Penggunaan BIS pada ayam petelur disarankan tidak melebihi 40%, karena apabila diberikan melebihi dari yang disarankan akan menunjukkan penurunan produksi telur (Perez et al. 2000). Ketaren et al. (1999), menyatakan bahwa penggunaan BIS maupun bungkil inti sawit yang telah difermentasi (BISF) hingga 5% tidak menunjukkan pengaruh yang jelek terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan maupun konversi pakan. Menurut Chin (2002), pemanfaatan BIS pada unggas dapat mencapai 20%. Hal ini disebabkan tingginya dinding sel, komposisi serat yang sulit dicerna, rendahnya energi metabolisme yaitu mencapai 2 400 Kkal/kg.
20 Menurut Yeong (1983), penggunaan BIS pada pakan ayam pedaging 5– 30% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
konsumsi pakan dan
bobot badan dibandingkan kontrol, namun untuk konversi pakan mulai terjadi penurunan ketika mencapai 20%. Lubis (1980) melaporkan hasil penelitiannya yang menggunakan BIS pada tingkat penggunaan 0%, 5%, dan 10% dari ransum ayam pedaging sampai umur 8 minggu. Dalam percobaan ini terdapat pertambahan bobot badan 220.3 g, 217.7 g, dan 211.0 g, konsumsi pakan 584.6 g, 560.9 g dan 565.4 g serta konversi pakan berturut-turut 2.62, 2.46, dan 2.61. Dari hasil percobaan ini disimpulkan bahwa penggunaan BIS sampai 10% dalam ransum ayam pedaging tidak mengganggu penampilan produksi. BIS pada ayam pedaging dapat dimanfaatkan hingga 28% bahkan pada masa finisher dapat mencapai 35% tanpa memberikan efek yang merugikan serta dapat menurunkan lemak abdominal, (Onwudike 1986a). Namun berbeda halnya dengan Osei dan Josephine (1987), yang menyatakan bahwa pemberikan BIS pada ayam pedaging hingga 12.5% secara nyata dapat menurunkan konversi pakan namun untuk konsumsi dan bobot badan hingga umur 8 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan kontrol. Menurut Rizal (2000), penggunaan 10% BIS dapat menggantikan 40% bungkil kedele dalam ransum ayam pedaging, tanpa menunjukkan pengaruh yang jelek terhadap konsumsi pakan, rata-rata pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, persentase karkas dan bobot lemak abdominal. Menurut Soesanto (2000), penggunaaan BIS hingga 25% dalam ransum finisher tidak menunjukkan pengaruh yang jelek terhadap penampilan ayam hutan merah dan ayam pedaging. Lebih lanjut dikatakan bahwa bobot badan, total konsumsi ransum dan konversi ransum dari ayam hutan merah dan ayam pedaging dari umur 21 hari hingga 56 hari masing-masing adalah 241 g dan 2043 g; 956 g dan 4700 g; 3.9 dan 2.3. Ransum yang mengandung bungkil inti sawit akan menurunkan kadar lemak dan kolesterol pada otot dada dan sayap pada ayam hutan merah dan ayam pedaging (Soesanto 2000). Upaya Meningkatkan Nilai Nutrisi BIS Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam meningkatkan nilai nutrisi BIS diantaranya adalah dengan pemanfaatan jasa mikroorganisme (biofermentasi). Bahan pakan yang berkualitas rendah dapat ditingkatkan nutrisinya dengan bantuan suplementasi enzim. Adapun masing-masing enzim efektif pada bahan pakan tertentu, seperti disajikan pada Tabel 6.
21 Tabel 6 Kandungan nutrisi pada beberapa bahan pakan berikut enzim efektifnya Bahan Pakan
Kandungan nutrisi
Singkong fermentasi Bungkil kelapa sawit
Pati Mannan dan Galaktomannan
Bungkil kedelai Gandum
Stasiosa dan raffinosa Pati β - glukan Selulosa Pektin Selulosa Xylan Fitat β - glukan
Sorghum Dedak Oat
Enzim yang Efektif α - amilase β - mannanase α - galaktosidase β - xilosidase α - galaktosidase α - amilase β - glukanase Selulase Pektinase Selulase Xylanase Fitase β - glukanase
Sumber : Purwadaria (2002)
Penggunaan enzim driselase yang diproduksi dari Irpex lacteus termasuk dalam kelompok Basidiomycetes. Driselase ini mampu menghidrolisa Carob dan L-Leucocephala D-galacto-D-mannan. Penggunaan enzim ini karena pada BIS mengandung lebih dari 70% kristal mannan pada dinding selnya (Daud & Jarvis 1993). Adapun Hogg et al. (2003) menggunakan enzim β-1,4 mannanase dalam menghidrolisis mannan maupun glukomannan, yang diisolasi dari Cellvibrio japonicus. Berdasarkan hasil penelitian Daud dan Jarvis (1993) produksi gula terlarut dari BIS yang didegradasi dengan enzim driselase menghasilkan 5.30% gula terlarut pada waktu inkubasi 4 jam, dan 6.20% dengan waktu inkubasi semalam. Adapun total energi metabolismenya 2 157 Kkal/kg. Lebih jauh beliau mengemukakan
bahwa
penggunaan
enzim
driselase
meskipun
mampu
melarutkan komponen mannan pada BIS, namun dinilai kurang efektif karena yang dihasilkan masih dalam bentuk oligosakarida, sedangkan bagi unggas bentuk monosakarida yang efektif diserap tubuh.
Energi Metabolisme Energi merupakan faktor tunggal yang paling dibutuhkan dalam ransum ternak unggas (Anggorodi
1995). Kemampuan makanan atau ransum untuk
menyediakan energi adalah penting guna menentukan nilai makanannya (Tillman et al. 1998), oleh sebab itu kebutuhan energi dijadikan standar dalam penyusunan ransum ternak sehingga pengetahuan kandungan energi secara
22 kuantitatif sangat penting (McDonald et al. 1995). Adapun Scott et al. (1982) menyatakan bahwa energi bahan makanan terkandung dalam karbohidrat, lemak dan protein. Anggorodi (1995) menyatakan bahwa energi bahan makanan umumnya dibagi kedalam empat bagian : energi bruto, energi tercerna, energi metabolisme dan energi netto. Menurut NRC (1994) energi bruto adalah jumlah panas yang dilepaskan jika suatu zat makanan mengalami oksidasi sempurna menjadi karbondioksida dan air dalam bomb calorimeter dengan tekanan 25–30 atmosfer oksigen. Energi tercerna adalah energi bruto bahan pakan atau ransum dikurangi dengan energi bruto feses (NRC 1994). Menurut Ensminger et al. (1995) tidak semua energi yang terkandung dalam ransum dapat digunakan oleh ayam, akan tetapi
sebagian terbuang
melalui feses dan urine. Definisi energi metabolisme menurut Scott et al. (1982) adalah pengurangan dari energi bruto pakan dengan energi yang terbuang melalui feses dan urine, sedangkan energi netto adalah energi yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh yaitu dipergunakan untuk hidup pokok dan produksi (Blakely & Bade 1991). Energi metabolisme merupakan energi yang dapat dimanfaatkan oleh unggas (Blakely & Blade 1991). Nilai energi metabolisme antara lain dipengaruhi oleh kandungan energi bahan pakan atau ransum, jumlah ransum yang dikonsumsi dan jenis ternak (Storey & Allen
1982). Menurut Sibbald (1983)
selain dipengaruhi oleh jumlah ransum yang dikonsumsi, energi metabolisme juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam
memetabolisme ransum di
dalam tubuhnya. Energi
metabolisme
merupakan
nilai
energi
yang
paling
umum
digunakan dalam perhitungan ketersediaan energi dalam ransum unggas (NRC, 1994). Menurut Wahju (1997) nilai energi metabolisme dari bahan-bahan pakan adalah penggunaan yang paling banyak dan aplikasi yang praktis dalam ilmu nutrisi ternak unggas, karena pengukuran energi ini tersedia untuk semua tujuan, termasuk hidup pokok, pertumbuhan, penggemukan dan produksi telur. Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan dengan pengujian secara biologis pertama kali dilakukan oleh Hill et al. (1960). Metode Hill prinsipnya mengukur energi intake (konsumsi energi) dan energi ekskreta dengan menggunakan Cr2O3 sebagai indikator, sehingga penimbangan dan koleksi total ransum dan ekskreta.
tidak perlu
23 Nilai energi metabolisme dinyatakan dengan empat peubah yaitu energi metabolisme semu (EMS), energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn), energi metabolisme murni (EMM) dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) (Sibbald & Wolynetz 1985). Selanjutnya Sibbald (1983) mengatakan bahwa energi metabolisme semu adalah hasil pengurangan antara energi bruto dalam ransum dengan energi yang hilang melalui ekskreta, sedangkan energi metabolisme murni adalah selisih energi bruto pakan dan energi ekskreta yang dikoreksi oleh energi metabolik Feses dan urine endogenous, yaitu energi yang diekskresikan oleh ternak tanpa dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Nilai EMS dan EMSn bervariasi pada tingkat konsumsi pakan, sedangkan nilai EMM relatif tetap pada tingkat konsumsi pakan yang sama (Sibbald 1989). Scott et al. (1982) menyatakan bahwa perhitungan energi metabolisme terkoreksi nitrogen digunakan untuk keseragaman, maka semua perhitungan disesuaikan pada kondisi retensi nitrogen sama dengan nol, yaitu dengan menambahkan energi dari sejumlah asam urat yang setara dengan retensi nitrogen sebesar 8.22 kkal per gram nitrogen pada energi ekskreta. Retensi Nitrogen Protein
dalam
bahan
makanan
termasuk
dalam
zat-zat
yang
mengandung nitrogen. Oleh karena itu untuk mengetahui kandungan protein dari suatu bahan makanan, terlebih dahulu ditentukan kandungan nitrogennya secara kimiawi (Anggorodi 1995). Tidak semua protein yang masuk ke dalam tubuh dapat diretensi, tapi tergantung pada faktor genetik dan faktor umur (Wahju 1997). Sejumlah nitrogen dalam protein pakan yang mampu ditahan dan dipergunakan oleh tubuh ternak, inilah yang dinamakan retensi nitrogen (Sibbald & Wolynetz 1985). Menurut Scott et al. (1982), kualitas protein dapat diukur melalui retensi nitrogen atau satuan-satuan seperti nilai biologis, rasio efisiensi protein dan neraca nitrogen. Perhitungan retensi nitrogen
adalah untuk mengetahui nilai
kecernaan protein bahan organik suatu bahan makanan. Retensi nitrogen adalah jumlah konsumsi nitrogen
dikurangi dengan ekskresi nitrogen dan
nitrogen endogenous. Nitrogen endogenous menurut Sibbald (1989) adalah nitrogen ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yaitu peluruhan sel mukosa usus, empedu dan saluran pencernaan.
24 Pengukuran retensi nitrogen dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain dengan menggunakan koleksi ekskreta. Shanon dan Brown (1969) menyatakan bahwa kehilangan nitrogen pada pengeringan beku sebesar 4.8% sedangkan pengeringan dengan suhu 60 oC yaitu 4.6%. Kehilangan tersebut kecil jika dibandingkan dengan cara lain yaitu pengeringan pada suhu 40 oC, 100 o
C dan 120 oC. Dijelaskan lebih lanjut oleh Hill dan Anderson diacu dalam NRC (1994)
bahwa jika nitrogen tidak diretensi akan muncul sebagian asam urat dengan nilai koreksi sebesar 8.22 Kkal/kg retensi nitrogen yaitu nilai energi yang dihasilkan ketika asam urat dioksidasi secara sempurna. Nilai retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif yang dipengaruhi oleh konsumsi nitrogen. Akan tetapi meningkatnya konsumsi nitrogen tidak selalu disertai peningkatan bobot badan (Wahju 1997). Apabila
nitrogen yang
dikonsumsi lebih besar daripada nitrogen yang diekskresikan, berarti hewan tersebut dalam keadaaan retensi nitrogen yang positif, sedangkan retensi nitrogen yang negatif terjadi bila nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada nitrogen yang diekskresikan. Retensi nitrogen positif berarti hewan tersebut mendapatkan pertambahan bobot badan karena tenunan ototnya bertambah. Retensi nitrogen negatif menunjukkan hewan telah kehilangan nitrogen dan kejadian ini tidak selalu ditunjukkan oleh turunnya bobot badan, terutama jika energi dalam ransum tinggi (Llyod et al. 1978). Ditambahkan oleh Soeharsono (1976) bahwa nilai retensi nitrogen yang tinggi menyebabkan protein dapat dikurangi tanpa mempengaruhi pertumbuhan ternak. Menurut Wahju (1972) tingkat retensi nitrogen bergantung pada konsumsi nitrogen dan energi metabolis ransum, akan tetapi peningkatan energi metabolis ransum tidak selalu diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen. Meningkatnya konsumsi nitrogen diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen tetapi tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertambahan bobot badan bila energi ransum rendah.
Penampilan Ayam Pedaging Wahju dan Sugandi (1984) menyatakan bahwa broiler adalah ayam jantan atau betina berumur 6–10 minggu, mempunyai daging yang enak dengan timbunan daging yang baik, dada lebar serta kulit licin dan lunak. Ayam pedaging (broiler) merupakan ayam yang telah mengalami seleksi genetik sebagai
25 penghasil
daging
dengan
pertumbuhan
yang
cepat
sehingga
waktu
pemeliharaannya lebih singkat, pakan lebih efisien dan produksi daging tinggi. Ayam pedaging jantan dan betina dipasarkan dengan bobot 1.8–2.0 kg (umur < 8 minggu) dalam bentuk karkas atau potongan komersial karkas dan dijual hidup (NRC 1994). Kemajuan genetik yang terjadi selama 10 tahun terakhir pada ayam pedaging telah memperbaiki keuntungan yang didapat peternak pada saat panen. Salah satu perbaikan itu adalah pertumbuhan yang meningkat setiap tahunnya sebanyak 60 gram pada umur enam minggu. Ayam seberat 2 kg yang dipanen pada umur 49 hari pada tahun 1998 sekarang dapat dipanen pada umur 39 hari (Amrullah 2001). Pertumbuhan ayam pedaging sangat cepat dan pertumbuhan dimulai sejak menetas sampai umur 8 minggu, setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun. Tahap-tahap
pertumbuhan ternak membentuk gambaran sigmoidal
pada grafik pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran dan pertambahan berat, dalam jaringan-jaringan tubuh seperti otak, jantung, tulang, berat daging dan jaringan lainnya. Perkembangan penampilan ayam pedaging dari Tahun 1990 hingga Tahun 1999 diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum ayam pedaging Uraian Tahun 1990 * Bobot Badan (g) Konsumsi ransum (g) Konversi ransum
1 150 120 0.8
2 410 300 1.2
Minggu ke 3 4 720 1 120 470 670 1.37 1.70
5 1 540 840 1.98
6 2 010 1 090 2.29
Tahun 1994 ** Bobot Badan (g) Konsumsi ransum (g) Konversi ransum
146 133 0.91
360 282 1.15
652 467 1.35
1 025 673 1.52
1 460 849 1.65
1 915 1 071 1.81
Tahun 1999 *** Bobot Badan (g) Konsumsi ransum (g) Konversi ransum
162 135 0.83
419 319 1.08
785 562 1.29
1 258 822 1.46
1 794 1 027 1.60
2 343 1 174 1.72
Sumber : * North dan Bell (1990) ** NRC (1994) *** Amrullah (2003)
26 Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh kandungan nutrisi , kondisi ternak dan faktor lingkungan. Pertambahan bobot badan ini akan menentukan bobot akhir yang dihasilkan. Temperatur lingkungan juga bisa mempengaruhi pertambahan bobot badan. Pada temperatur lingkungan yang tinggi, ayam akan lebih banyak melakukan aktifitas panting yang akan mengurangi aktifitas makan. Penurunan konsumsi ransum ini tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan. Mahfudz et al. (1998) menjelaskan bahwa peningkatan temperatur dari 20 oC ke 33oC menurunkan pertambahan bobot badan sebesar 67 gram
selama tiga
minggu pemeliharaan (umur 3-6 minggu).
Bobot Karkas Menurut SNI 01-3924-1995 diacu dalam Deptan (2006), karkas didefinisikan
sebagai bagian dari ayam pedaging hidup, setelah dipotong,
dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki. Peneliti lain McNally dan Spicknall (1975) menyatakan bahwa persentase karkas seekor ternak dipengaruhi terutama oleh bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi fisik, sedangkan menurut Templeton (1959), faktor yang mempengaruhi karkas adalah umur, kualitas dan kuantitas ransum, pertulangan, tebal tipisnya kulit dan isi saluran pencernaan. Menurut Rose (1997) karkas broiler yang disebut eviscerated carcass merupakan 73.7% dari bobot hidup.
Adapun menurut Siregar et al. (1982) rata-rata bobot karkas ayam
pedaging berkisar antara 67–75%. Konsumsi Ransum Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan guna keperluan produksi dan reproduksi. Konsumsi pakan tiap ternak berbeda tergantung beberapa faktor. Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada ayam adalah besar tubuh ayam, aktifitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas pakan. Adapun menurut Scott et al. (1982) faktor bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat-zat nutrisi, kecepatan pertumbuhan dan stres sebagai faktor yang juga mempengaruhi konsumsi ransum. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi konsumsi ransum seperti suhu lingkungan dan kecepatan angin. Pengaruh suhu terlihat dengan menurunnya konsumsi ransum ketika suhu lingkungan di sekitar ternak
27 meningkat. Hal ini terlihat pada penelitian May dan Lott (1992) tentang pola konsumsi pakan pada temperatur lingkungan yang tinggi. Konsumsi ransum turun sebanyak 0.4% ketika suhu berubah dari 24oC menjadi 35oC. Pada suhu 24oC konsumsi pakan 9.9% dari bobot badan sedangkan pada suhu 35oC konsumsi ransum hanya sebesar 9.5%. Hasil ini diperkuat Mahfudz et al. (1998) yang menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi ransum. Faktor ransum juga tidak kalah pentingnya dengan kedua faktor di atas. Kandungan zat nutrisi maupun bahan baku yang digunakan sangat menentukan konsumsi ransum yang dihasilkan. Menurut Ensminger et al. (1995), pengolahan pakan dalam bentuk fisik, kimia, enzim mapun penambahan zat nutrisi lain dimaksudkan untuk meningkatkan palatabilitas atau kecernaan dan juga merubah komposisi nutrisi. Konversi Ransum Menurut North dan Bell (1990) konversi ransum adalah unit pakan yang diperlukan untuk menghasilkan unit pertambahan bobot badan. Dinyatakan juga bahwa dengan bertambahnya umur ayam konversi ransum ayam semakin meningkat. Semakin tinggi nilai konversi ransum menunjukkan penggunaan ransum yang tidak efisien. Konversi
ransum
berkaitan
erat
dengan
konsumsi
ransum
dan
pertambahan bobot badan. Konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau menyusun ransum yang berkualitas. Selain kualitas ransum, angka konversi banyak dipengaruhi teknik pemberian pakan. Teknik pemberian yang baik dapat menekan angka konversi pakan sehingga keuntungan banyak diperoleh. Menurut Wahju (1997) konversi ransum dipengaruhi oleh imbangan energi dan protein ransum serta pembatasan waktu makan. Namun menurut Sudiyanto (2001) konversi ransum dipengaruhi oleh frekwensi pemberian ransum, kualitas air, keadaan lingkungan, suhu kandang, pencahayaan, pengafkiran dan penyakit. Mortalitas Angka
kematian
(mortalitas)
merupakan
salah
satu
parameter
keberhasilan dalam manajemen pemeliharaan. Bahkan dalam perhitungan indeks prestasi nilai persentase mortalitas merupakan salah satu parameternya. Persentase mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ayam yang
28 mati dengan jumlah total ayam yang dipelihara. Menurut North dan Bell (1990), pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang dari 5%. Angka kematian minggu pertama selama periode pertumbuhan tidak boleh lebih dari 10%, kematian pada minggu selanjutnya harus relatif rendah sampai hari terakhir minggu tersebut dan terus dalam keadaan konstan sampai berakhirnya periode pertumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian diantaranya adalah sanitasi kandang dan peralatan, kebersihan lingkungan kandang serta penyakit (Sainsbury 1984). Menurut El Mubarak dan Abuelgasim (1990), angka kematian akibat gumboro pada ayam pedaging antara 0.9–22.7%, tetapi kemungkinan dapat mencapai 30% atau lebih, sedangkan angka kematian akibat ascites antara 5–12%, tetapi dapat mencapai 25% pada keadaan yang ekstrim (Leeson et al. 1995). Menurut Mazhar (1995) angka kematian akibat Newcastle Disease (ND) pada ayam broiler antara 25–100%, dan angka kematian akibat Cronic Respiratory Disease (CRD) dapat mencapai 30%. Indeks Prestasi (IP) dan Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) Menurut North dan Bell (1990) dalam mengukur efisiensi pertumbuhan ayam pedaging dapat dilihat dari : bobot badan siap dipotong, konversi pakan selama pemeliharaan ayam dan umur mencapai bobot badan yang dikehendaki. Penilaian efisiensi dalam mengkonversi penggunaan pakan dapat digunakan Performance Index (Indeks prestasi) yang diperoleh dari nilai bobot akhir dibagi konversi ransum dikali 100. Standar IP adalah 200, semakin tinggi nilai IP maka semakin baik efisiensi dalam mengkonversi pakan. Income over feed and chick cost (IOFCC) adalah perbedaan antara ratarata pendapatan (dalam rupiah) yang diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pedaging pada akhir pemeliharaan dengan rata-rata pengeluaran berupa pembelian satu ekor anak ayam (DOC) pada awal penelitian dan ransum yang dihabiskan selama pemeliharaan. Perkembangan Penelitian tentang Polisakarida Mannan dan BIS Rangkuman perkembangan penelitian topik BIS dapat dilihat pada Tabel 8–9.
yang sudah dilakukan
dengan
29 Tabel 8 Perkembangan penelitian pemanfaatan mikroba dan enzim dalam mendegradasi polisakarida mannan No 1.
Jenis mikroba Aspergillus niger
Jenis Perlakuan Menumbuhkan kapang Aspergillus niger pada media mengandung mannan
2.
Aspergillus niger
Menumbuhkan kapang Aspergillus niger pada media mengandung mannan
3.
Aspergillus niger
4
Aspergillus niger
Mengisolasi mutan asporogenus kapang Aspergillus niger pada media yang mengandung mannan Mengisolasi Aspergillus niger uamgs1 mutan
5.
Streptomyces sp
Penumbuhan Streptomyces sp pada media galactomannan
6.
Irpex lacteus
Isolasi enzim pendegradasi mannan
7.
Celvibrio japonicus
Isolasi enzim pendegradasi mannan dan galactomannan
8.
Trichoderma reesei
9.
Trichoderma reesei
Daya cerna kristal mannan menggunakan enzim endo-mannanse dari Trichoderma reesei Isolasi mannan pada ivory nut dan isolasi enzim mannanase dari kapang Trichoderma reesei
10.
Trichoderma reesei
11.
Marchella esculenta
Pemurnian enzim mannanase dari Trichoderma reesei yang ditumbuhkan pada beberapa media yang mengandung mannan Isolasi galaktomannan dari Marchella esculenta
Hasil Penelitian Kapang Aspergillus niger mampu mendegradasi mannan dan menghasilkan enzim Nacetylglucosamine, glucose, mannose, dan galactose Kapang Aspergillus niger mampu mendegradasi mannan dan menghasilkan enzim αamilase, glukoamilase, selulase, β-D-galaktosidase (lactase, endo 1,3 (4) glukanase, glukooksidase Kapang Aspergillus niger mampu mendegradasi mannan dan menghasilkan enzim mannanse, selulase dan βglukosidase Kapang Aspergillus niger uamgs1 mutan mampu mendegradasi galactomannan, galactoglucomannan dengan menghasilkan enzim mannanase Enzim yang dihasilkan mampu menghidrolisa mannan pada kopra menjadi mannooligosakarida, mannobiosa dan mannosa Dihasilkan enzim driselase yang mampu menghidrolisa carob dan L-leucocephaala D-galacto-DMannan Menghasilkan enzim β-1,4 mannanase yang mampu mendegradasi mannan dan galactomannan Trichoderma reesei mampu menghasilkan enzim βmannanase yang mampu mendegradasi mannan Trichoderma reesei mampu menghasilkan enzim endoglukanase, β-mannanase, yang dapat mendegradasi mannnan dan cellulose kompleks Enzim mannanase dapat dihasilkan melalui isolasi kapang Trichoderma reesei pada media galactomannan guar gum (GG), Konjac glucomannan, galactoglucomannan, Locus bean glucomannan Galaktomannan yang diisolasi dari Marchella esculenta mampu berfungsi sebagai perkursor untuk mengaktivasi macrophage
Peneliti Smith dan Patterman (1977) Wiseman (1985)
Glenn dan Roger (1988)
Santiago et al. (2006)
Coulombel et al. (1981)
Daud dan Jarvis (1993) Hogg et al. (2003) Sabini et al . (2000)
Hagglund et al. (2003)
Mikkonen et al. (2006)
Ross et al. (2002)
30 Tabel 9 Perkembangan penelitian pemanfatan bungkil inti sawit (BIS) pada ternak No 1.
Jenis ternak Babi
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
Berbagai tingkat penggunan BIS terhadap pertumbuhan babi Berbagai tingkat penggunan BIS terhadap laju pertumbuhan dan karkas
Pertumbuhan optimal pada babi diperoleh pada penggunaaan BIS 5% pada periode starter, 10% periode grower dan 20% periode finisher Penggunaan BIS hingga 400g/kg dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap laju pertumbuhan dan konversi pakan fase grower dan finisher namun terjadi penurunan terhadap persentase karkas,area mata rusuk dan potongan karkas. Selama 170 hari produksi penggunan BIS hasil solvent extraxtion mampu menghasilkan susu 7.9 kg/ekor/hari dan BIS hasil expeller 4.8 kg/ekor/hari Penggunaan BIS sampai 10% tidak mengganggu penampilan pbb, konsumsi dan konversi ransum ayam pedaging Bungkil inti sawit 10-20% dalam ransum dapat meningkatkan bobot badan ayam pedaging
Hutagalung dan Jalaludin (1982)
2.
Babi
3.
Sapi perah SahiwalFriesien
Penggunaan BIS terhadap produksi susu
4.
Ayam pedaging
Penggunan BIS terhadap pertumbuhan
5.
Ayam pedaging
6.
Ayam pedaging
Penggunaan tingkat BIs terhadap pertumbuhan Penggunan BIS terhadap pertumbuhan
BIS dapat dimanfaatkan hingga 12.5% pada ayam pedaging tanpa mengganggu konsumsi dan bobot badan hingga 8 minggu namun menurunkan konversi ransum Penggunaan 10% BIS dapat menyebabkan bobot badan dan pertambahan bobot badan lebih rendah daripada kontrol Penggunaan 5% BIS dan 5% BIS fermentasi dapat digunakan dalam ransum tanpa menimbulkan efek buruk terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan dan konversi pakan Penggunaan BIS sampai 10% mampu menggantikan 40% bungkil kedele tanpa memberikan pengaruh jelek terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, persentase karkas dan bobot lemak abdominal
Osei dan Josephine (1987)
7.
Ayam pedaging
8.
Ayam pedaging
9.
Ayam pedaging
Penggunaan tingkat BIS terhadap penampilan Penggunaan berbagai tingkat BIS fermentasi terhadap penampilan ayam pedaging Suplementasi BIS terhdap bungkil kedele
Rhule (1996)
Chin (2002)
Lubis (1980)
Kamal (1984)
Tangendjaja dan Patttyusra (1993) Ketaren et al. (1999)
Rizal (2000)
31 Perkembangan penelitian pemanfatan bungkil inti sawit (BIS) pada ternak (lanjutan) 10.
Ayam pedaging
11.
Ayam pedaging dan ayam hutan Ayam pedaging
12.
13.
Ayam Petelur
14.
Ayam Petelur
15.
Ayam Petelur
Penggunaan Hemicell pada pakan ayam pedaging yang mengandung berbagai dosis mannan Pemanfaatan BIS terhadap ayam pedaging dan ayam hutan Penggunan BIS terhadap pertumbuhan Penggunaan berbagai level BIS terhadap produksi telur Penggunan berbagai level BIS sebagai pengganti protein kacang tanah Penggunaan berbagai level BIS terhadap ayam petelur
Suplementasi Endo mannanase (Hemicell ®) 0.05% dapat meningkatkan nilai nutrisi pakan yang mengandung mannan
Daskiran et al. (2001)
Penggunaan BIS hingga 25% dalam ransum finisher tidak memberikan pengaruh jelek terhadap penampilan ayam hutan dan ayam pedaging Pemanfaatan BIS yang optimal pada ayam pedaging mencapai 20%
Soesanto (2000)
Penggunaan BIS terhadap produksi telur maksimal 20%
Yeong (1983)
BIS mampu menggantikan 60% protein kacang tanah dan dapat dimanfatkan hingga 34% pada periode starter tanpa efek merugikan terhadap produksi dan bobot telur serta konsumsi ransum BIS dapat dimanfaatkan pada periode starter tidak melebihi 40%
Onwudike (1986b)
Chin (2002)
Perez et al. (2000)
BAHAN DAN METODE Penelitian terdiri atas 4 tahap meliputi pengujian fisik, kimia dan mikrobiologis terhadap bungkil inti sawit (BIS). Uji biologis dilakukan dengan menggunakan metoda eksperimental terhadap ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung BIS dan BIS fermentasi (BISF). Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS Tujuan penelitian Tahap I ini adalah untuk mempelajari beberapa sifat fisik dan kandungan nutrisi BIS. Hal ini penting dilakukan mengingat beragamnya proses produksi BIS yang akan berpengaruh terhadap kualitas BIS. Penelitian dilakukan selama 4 minggu bertempat di Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. A. Bungkil Inti Sawit BIS yang digunakan berasal dari beberapa tempat proses produksi yaitu dari pabrik produksi BIS di Lampung, Langkat Sumatera Utara dan Banten. Sampel diambil dari beberapa bagian tumpukan BIS yang terdiri dari bagian atas, bawah, tengah, samping kiri dan kanan secara menyilang,
kemudian
dikumpulkan dan dilakukan pencampuran secara homogen (komposit). Kualitas BIS yang terpilih pada Tahap I digunakan untuk tahap penelitian berikutnya. B. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam percobaan sifat fisik BIS meliputi gelas ukur, pengaduk mika, corong plastik, kertas manila, mistar segitiga siku-siku, alumunium foil, botol semprot, stopwatch, statif, Tyler sieve Rettsch 5657 Haan; Type Vibro, W. Germany. Peralatan yang digunakan dalam analisis kandungan nutrisi adalah : oven, soxhlet, penangas air, seperangkat alat bom kalorimeter, seperangkat alat analisa protein, evaporator, tanur listrik, timbangan analitik. C. Rancangan Percobaan Rancangan penelitian yang digunakan pada uji keragaman sifat fisik BIS adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan sumber produksi BIS dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi : A1 = BIS yang berasal dari sumber produksi di Lampung A2 = BIS yang berasal dari sumber produksi di Langkat Sumut A3 = BIS yang berasal dari sumber produksi di Banten
33 Model matematis rancangan penelitian adalah : = μ + αi + εij
Yij Keterangan : Yij
= nilai pengamatan yang mendapat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= pengaruh rata-rata
αi
= pengaruh aditif dari perlakuan sumber produksi BIS ke-i (1, 2, 3)
εij
= galat percobaan dari perlakuan sumber produksi BIS ke-i, ulangan ke-j
i
= banyaknya perlakuan sumber produksi BIS (1, 2, 3)
j
= banyaknya ulangan (1, 2, 3, 4, 5)
D. Peubah yang Diukur 1. Berat Jenis (Spesific Grafitation). Diukur dengan menggunakan prinsip Hukum Archimides, yaitu suatu benda di dalam fluida, baik sebagian ataupun seluruhnya
akan memperoleh gaya Archimides sebesar fluida yang
dipindahkan ke atasnya (Kling & Woehlbier 1983). Bahan dimasukan kedalam galas ukur 100 ml dengan menggunakan sendok teh secara perlahan sampai volume 30 ml. Gelas ukur yang sudah berisi bahan ditimbang. Aquades sebanyak 50 ml dimasukan kedalam gelas ukur . Untuk menghilangkan
udara
antar
partikel
maka
dilakukan
pengadukan
menggunakan pengaduk mika. Sisa bahan yang menempel pada pengaduk dimasukan dengan menyemprotkan aquades dan ditambahkan kedalam volume awal. Pembacaan volume akhir dilakukan setelah
konstan.
Perubahan volume aquades merupakan volume bahan sesungguhnya.
BJ =
Bobot bahan pakan (g) ________________________ Perubahan volume aquades (ml)
2. Kerapatan Tumpukan (Bulk Density). Bahan dicurahkan kedalam gelas ukur dengan menggunakan corong dan sendok teh sampai volume 100 ml. Gelas ukur yang telah berisi bahan ditimbang. Pada setiap pemasukan bahan harus sama baik cara maupun ketinggian pencurahan. Selama pencurahan harus dihindari guncangan bahan. Adapun perhitungan kerapatan tumpukan adalah dengan cara membagi berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya (Chung & Lee 1985). Satuan kerapatan tumpukan adalah gram/ml.
34 3. Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density). Pengukurannya hampir sama dengan pengukuran kerapatan tumpukan, tetapi volume bahan dibaca setelah dilakukan pemadatan dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur dengan tangan selama 10 menit (Ruttloff 1981). Satuan kerapatan pemadatan tumpukan adalah gram/ml. 4. Sudut Tumpukan (Angle of Repose). Bahan dijatuhkan pada ketinggian 15 cm melalui corong pada bidang datar. Kertas manila berwarna putih digunakan sebagai alas bidang datar (lantai). Ketinggian tumpukan bahan harus selalu berada di bawah corong.
Untuk mengurangi pengaruh tekanan dan
kecepatan laju aliran bahan, pengukuran bahan dilakukan dengan volume tertentu (100 ml) dan dicurahkan perlahan-lahan pada dinding corong dengan bantuan sendok teh pada posisi corong tetap sehingga diusahakan jatuhnya bahan selalu konstan. Sudut tumpukan (tg α) bahan ditentukan dengan pengukuran diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan (Ruttloff 1981). Besarnya sudut tumpukan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : t tg α =
2t =
0.5 d
d
5. Tingkat Kehalusan (Modulus of Fineness) diukur berdasarkan Metoda Ruttloff (1981). Bahan sebanyak 300 gram dimasukan kedalam alat yang terdiri dari susunan saringan yang memiliki lubang sesuai dengan ukuran mesh. Besarnya sampel yang lolos pada setiap mesh didapat dari perhitungan : Berat sampel pada mesh tertentu (g) % sampel = _________________________________________ x 100% Total bahan (g) Setelah diketahui persentase (%) sampel pada setiap mesh, dihitung nilai konversi dengan cara : Nilai Konversi = % sampel x no perjanjian Nomor perjanjian
adalah besarnya nomor yang diberikan pada setiap
saringan berurutan dari 1 hingga 7 (dari mesh terkecil hingga mesh terbesar).
35 Jumlah total nilai konversi dibagi seratus merupakan besarnya modulus of fineness (MF). MF = Total Nilai Konversi / 100 Nilai MF menentukan katagori besar ukuran partikel bahan, dengan ketentuan yaitu : 1. Nilai MF > 4.1 - 7.0 termasuk katagori kasar (coarse) 2. Nilai MF 2.9 – 4.1 termasukl kategori sedang (medium) 3. Nilai MF 0 - < 2.9 termasuk kategori halus (fine) Dari nilai MF ini dapat dihitung rataan diameter bahan yaitu : Rataan diameter (inch) = Rataan diameter (cm)
0.00041 x 2MF
= rataan diameter (inch) x 2,54
6. Daya Ambang (Floating Rate). Sepuluh gram partikel bahan dijatuhkan pada ketinggian 3 meter dari dasar lantai, kemudian diukur lamanya waktu (detik) yang dibutuhkan sampai mencapai lantai dengan menggunakan stopwatch. Lantai tempat jatuhnya bahan diberi alas dengan alumunium foil untuk memudahkan pengamatan saat bahan jatuh. Diupayakan pengaruh udara diperkecil yaitu dengan menutup setiap lubang yang memungkinkan angin masuk (ventilasi, jendela, pintu). Daya ambang dihitung dengan cara membagi jarak jatuh (meter) dengan lamanya waktu yang dibutuhkan (detik) (Ruttloff 1981). Satuan daya ambang adalah m/detik. 7. Kandungan Bahan Kering.
Bahan ditempatkan dalam cawan porselen
kemudian dimasukan dalam oven pada suhu 105
o
C selama 24 jam.
Kandungan bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan persentase (%) kandungan air (Van Soest & Robertson 1968) 8. Kandungan Protein Kasar. Diukur dengan menggunakan metoda Kjeldahl. (AOAC 1984). Analisis ini menggunakan
asam sulfat dengan suatu
katalisator dan pemanasan. Zat organik dari sampel dioksidasi oleh asam sulfat dan nitrogen diubah kedalam ammonium sulfat. Kelebihan asam sulfat dinetralisis dengan NaOH sampai larutan menjadi basa. Dari ammonium sulfat lalu didestilasi dalam medium asam untuk mendapatkan nitrogen secara kuantitatif. Protein rata-rata mengandung 16% Nitrogen, maka 100% :
36 16% = 6.25 harus dipakai untuk mendapatkan nilai protein kasar (Protein kasar = N% x 6.25) 9. Kandungan Serat Kasar. Bahan dilarutkan
dengan larutan H2SO4 1.25%
(setara 0.255 N) mendidih selama 30 menit dan larutan NaOH 1.25% (setara 0.313 N) mendidih selama 30 menit. Bagian yang tidak larut dinyatakan sebagai serat kasar (Metoda Van Soest & Robertson 1968). 10.Kandungan Energi bruto. Satu gram bahan dibakar dalam bom kalorimeter yang sudah diisi gas O2 dengan tekanan mencapai 25–30 atm. Pada saat pembakaran bom kalorimeter terendam dalam air yang bobotnya 1 kg. Panas pembakaran akan menaikan suhu air. Panas (kalor) yang dibutuhkan untuk menaikan suhu 1 kg air sebanyak 1 oC adalah 1 kilokalori. E. Analisis Statistik Data
keragaman
sifat
fisik
yang
diperoleh
dianalisis
dengan
menggunakan analisis sidik ragam (anova) dan untuk melihat kecenderungan dari pengaruh masing-masing perlakuan dilakukan uji Jarak Berganda Duncan (Steel & Torrie 1995) dengan menggunakan Program SAS Ver. 6.12 (SAS Institute 1996). Data kandungan nutrisi dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk menguatkan hasil anova dari data keragaman sifat fisik. Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hasil fermentasi BIS yang optimum dengan mencobakan pada dosis kapang dan ketebalan media yang berbeda. Pengukuran dilakukan terhadap perubahan media selama fermentasi dan terhadap produk fermentasi. Dosis kapang dan ketebalan media yang terbaik akan digunakan untuk penelitian selanjutnya. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan bertempat di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi serta Laboratorium Teknologi Pakan. A. Kapang Trichoderma reesei Kapang yang digunakan adalah Trichoderma reesei strain FNCC 6012 yang diperoleh dari Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada Yogjakarta. Media pertumbuhan kapang yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA) FeSO4.7H2O, CuSO4.
dan nutrisi media yang terdiri atas NH4NO3, KCl,
37 B. Peralatan Alat-alat yang digunakan adalah autoclave, laminar, cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, alumunium foil, kapas, pengaduk, erlenmeyer, timbangan digital, spoit, lampu spirtus, osse, plastik tahan panas, karet tahan panas termometer, higrometer, incubator, alat penghitung, spidol transparan, jangka sorong, nampan plastik, plastik wrapp, kertas koran steril, selotip, oven. Sebelum dilakukan fermentasi, kapang Trichoderma reesei diukur karakteristik pertumbuhan kapang yang meliputi jumlah koloni, diameter koloni dan persentase perubahannya. Hal ini menjadi dasar dalam penentuan waktu yang tepat dalam menginokulasi kapang untuk perbanyakan. Perbanyakan inokulum kapang dan fermentasi BIS dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi selama 4 bulan. Pemotretan BISF dengan alat Scanning Microscope Electron (SEM) dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak. C. Rancangan Percobaan Analisis regresi digunakan untuk melihat kurva pertumbuhan kapang yang meliputi jumlah koloni dan diameter koloni. Umur pertumbuhan kapang yang diamati : 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, dan 72 jam. Model matematis rancangan penelitian adalah : Y = ax1 + bx2 Keterangan :
Y = kombinasi linier dari x1 dan x2 a dan b adalah konstanta x1 dan x2 adalah variabel bebas
Uji dosis kapang dan ketebalan media BIS menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial dengan faktor pertama konsentrasi kapang, dan faktor kedua ketebalan media BIS, dengan ulangan sebanyak 3 kali. Faktor pertama konsentrasi kapang : D4 = konsentrasi kapang 104 CFU/cc D5 = konsentrasi kapang 105 CFU/cc D6 = konsentrasi kapang 106 CFU/cc Faktor kedua ketebalan media BIS : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm Model matematis rancangan penelitian adalah :
38 Yijk
= μ + αi + βj + αi βj + εijk
Keterangan : Yijk
= nilai pengamatan satuan percobaan ke-k yang mendapat kombinasi perlakuan taraf ke-i dari konsentrasi kapang dan taraf ke-j dari faktor ketebalan media
μ
= nilai rataan umum
αI
= pengaruh taraf ke-i dari faktor konsentrasi kapang
βj
= pengaruh taraf ke-j dari faktor ketebalan media
αi βj
= pengaruh interaksi taraf ke-i (i = 1, 2, 3) dari faktor konsentrasi kapang dan taraf ke-j (j = 1, 2, 3) dari faktor ketebalan media
εijk
=
pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k (k = 1, 2, 3) yang memperoleh kombinasi perlakuan ij
D. Peubah yang Diukur 1. Jumlah koloni kapang (Pelczar & Reid 1972).
Sebelum melakukan
perhitungan koloni terlebih dahulu dibuat media Potatoe Dextrose Agar (PDA). Sebanyak 3.9 gram PDA dilarutkan dalam 100 cc air aquades steril kemudian
diaduk hingga
rata.
Larutan
tersebut
dipanaskan
hingga
seluruhnya larut. Media PDA tersebut dituangkan pada tabung reaksi sebanyak 3-4 cc yang ditutup kapas kemudian disterilkan pada suhu 121 oC selama 15 menit di dalam autoclave. Setelah dingin pada suhu 45 – 50 oC, medium yang masih cair ditempatkan dalam keadan miring dengan kemiringan 30o dan media PDA tidak mengenai kapas. Biakan murni kapang Trichoderma reesei ditanam pada media agar miring di dalam laminair, kemudian disimpan pada suhu kamar (28 oC), diinkubasi selama 48 – 72 jam. Setelah 72 jam Inokulum berupa spora ditambahkan aquades steril sebanyak 10 ml per tabung reaksi, kemudian spora dipiisahkan dengan cara permukan biakan yang berisi biakan kapang pada agar miring digores-gores dengan menggunakan pengaduk mika, selanjutnya divortex agar suspensi spora menjadi homogen dan siap dilakukan perhitungan jumlah koloni.
Pada
perhitungan jumlah koloni dipersiapkan media PDA yang sudah steril sama seperti diatas hanya saja tempatnya pada cawan petri. Sederetan tabung reaksi yang berisi 9.9 ml aquades steril dipersiapkan sebanyak 5 tabung dan diberi label mulai dari pengenceran 10-2 sampai 10-6. 0.1 ml larutan spora dimasukan kedalam tabung 10-2, kemudian dari tabung tersebut diambil 0,1 ml untuk dituangkan pada tabung 10-3 dan satu lagi dimasukan dalam cawan petri dan demikian seterusnya. Sebelum pengambilan larutan spora dalam
39 tabung harus dihomogenkan dengan vortex. Cawan petri disimpan pada suhu kamar
(28
o
C), dan diinkubasi selama 48 – 72 jam. Lakukan
pengamatan setiap 6 jam untuk perhitungan jumlah koloni. 1 Jumlah koloni /ml = jumlah koloni dalam cawan petri
X pengenceran
2. Perubahan diameter koloni kapang (Santiago et al. 2006). Persiapan pengukuran diameter koloni kapang hampir sama dengan perhitungan jumlah koloni. Media PDA yang sudah steril ditempatkan dalam cawan petri. Bagian bawah cawan petri dibuat garis vertikal dan horizontal tepat ditengah cawan petri. Hal ini untuk memudahkan dalam pengukuran maupun penempatan spora kapang. Osse yang sudah steril dicelupkan pada larutan spora dan ditusukan pada media PDA tepat dipersilangan garis vertikal dan horisontal. Pengamatan diameter pertumbuhan kapang dilakukan setiap 6 jam.
Perubahan Diameter Koloni (%) =
A–B A
x 100%
Keterangan : A = diameter koloni saat pengamatan B = diameter koloni saat pengamatan sebelumnya 3. Suhu media selama fermentasi. Media BIS yang difermentasi diukur suhunya setiap 24 jam. 4. pH media selama fermentasi. Media BIS yang difermentasi pada waktu tertentu diambil kemudian digerus dengan mortar dan ditambahkan aquades dengan perbandingan 1 : 5. pH diukur saat angka tidak berubah lagi. 5. Kandungan Bahan Kering (Metoda Weende). Diukur dengan cara bahan yang ditempatkan dalam cawan khusus dioven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Kandungan bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan persentase (%) air 6. Kandungan Protein Kasar (Metoda Kjeldahl). Analisis ini menggunakan asam sulfat dengan suatu katalisator dan pemanasan. Zat organik dari sampel dioksidasi oleh asam sulfat dan nitrogen diubah kedalam ammonium sulfat. Kelebihan asam sulfat dinetralisis dengan NaOH sampai larutan menjadi basa. Dari ammonium sulfat lalu didestilasi dalam medium asam untuk
40
Autoklaf 121oC selama 15 menit
Pengayakan BIS Saringan 2 mm
Inkubasi suhu Ruang 28 oC Selama 96 jam
Pemanenan
Pengeringan Oven 50 oC selama 24 jam
Penambahan Nutrient Media NH4NO3 0.5% KCl 0.05% MgSO4.7H2O 0.05% FeSO4.7H2O 0.01% CuSO4.7H2O 0.0001%
Penambahan Inokulum kapang Trichoderma reesei Konsentrasi 2.13x106 CFU/cc Dosis 1 cc/100 g BIS
Penggilingan
Penyimpanan
Gambar 9 Skema fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei mendapatkan
nitrogen
secara
kuantitatif.
Karena
protein
rata-rata
mengandung 16% Nitrogen, maka 100% : 16% = 6.25 harus dipakai untuk mendapatkan nilai protein kasar (Protein kasar = N% x 6.25) 7. Kandungan NDF (Metoda Van Soest & Robertson 1968) . Diukur dengan cara melarutkan bahan pakan dengan Neutral detergen soluble (NDS). Bagian yang tidak larut dinyatakan sebagai dinding sel atau Neutral detergen fiber (NDF) 8. Kandungan ADF (Metoda Van Soest & Robertson 1968 ). Diukur dengan cara dinding sel (NDF) dilarutkan kembali dengan larutan asam. Bagian yang tidak larut dalam larutan asam tadi dinyatakan sebagai Acid detergen fiber (ADF). 9. Kandungan Hemiselulosa (Metoda Van Soest & Robertson 1968 ). Dihitung dengan cara kandungan NDF dikurangi dengan kandungan ADF diperoleh hemiselulosa.
41 10. Penampakan visual pertumbuhan kapang. Dilihat penampakan media BIS selama fermentasi oleh kapang Trichoderma reesei setiap 24 jam dan dibandingkan perubahan setiap perlakuan. E. Analisis Statistik Data optimalisasi hasil fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (anova) dan untuk melihat kecenderungan dari pengaruh masing-masing perlakuan dilakukan uji Jarak Berganda Duncan (Steel & Torrie 1995) dengan menggunakan Program SAS Ver. 6.12 (SAS Institute 1996). Penelitian Tahap III : Degradasi Polisakarida Mannan BIS oleh kapang Trichoderma reesei Tujuan penelitian pada Tahap III ini adalah mempelajari kemampuan kapang Trichoderma reesei dalam mendegradasi polisakarida mannan BIS. Pada tahap ini terdapat peubah yang dilakukan secara in vitro pada ayam pedaging yaitu energi metabolisme, retensi nitrogen dan kecernaan mannan. Penelitian dilakukan selama 4 bulan bertempat di Laboratorium Teknologi Pakan, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Pada Tahap III ini dilakukan
isolasi
mannan
baik
dari
BIS
maupun
dari
BISF.
Adapun
pelaksanaannya meliputi proses pengayakan, penghalusan ukuran (grinding), hot water extraction, penyaringan, pemusingan, freeze dry, rehidrasi. A. Kapang Trichoderma reesei Bahan yang digunakan kapang Trichoderma reeseii strain FNCC 6012, BIS, agar powder, gula pasir, ekstrak tauge, aquades steril, NH4NO3, KCl, FeSO4.7H2O, CuSO4, alkohol 70%, spirtus, NaOH, H2SO4, aquades, pecahan kaca. B. Peralatan Alat-alat yang digunakan adalah autoclave, laminar, cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, alumunium foil, kapas, pengaduk, erlenmeyer, timbangan digital, spoit, lampu spirtus, osse, plastik tahan panas, karet tahan panas, pipet, termometer, higrometer, nampan plastik, plastik wrapp, kertas koran steril, selotip,
oven, Unico Camspec UV-Spectrophotometer,
alat filtrasi, Bio Rad
fraction collector, LC-MS Mariner Biospectrometry LC Perkin Elmer Series 200.
42 C. Rancangan Percobaan Pada tahap ini dilakukan uji t karena hanya membandingkan 2 perlakuan. Perlakuan yang diberikan meliputi : BIS
= Bungkil inti sawit
BISF = Bungkil inti sawit fermentasi Model matematis yang digunakan : t hit = Y – μ √ s2/n Keterangan : Y
= nilai rata-rata populasi
μ
= nilai tengah 2
√ s /n = simpangan baku D. Peubah yang diukur 1. Kandungan Mannan pada BIS dan BISF Disini dilakukan pemisahan beberapa komponen polisakarida yang terdapat
pada BIS. Komponen yang terbanyak,
(mannan) dipisahkan dan
diambil. Mannan yang diambil diupayakan komponen murni tanpa ikatan lignin. Pada petunjuk isolasi polisakarida dinding sel, umumnya terdiri atas tahapan penyiapan sampel, ekstraksi dari gula-gula netral, lipida dan pigmen, ekstraksi polisakarida yang larut dalam air, penghilangan lignin, ekstraksi dan fraksinasi dari polisakarida yang larut dalam alkali serta ekstraksi dari selulosanya (Southgate 1976). Adapun tahapan isolasinya adalah sebagai berikut (Metoda Southgate) : a. BIS dipersiapkan dalam keadaan kering udara b.
100 gram BIS di grinder dengan menggunakan mortar dengan penambahan 50 gram pecahan kaca selama 15 menit, kemudian ditambahkan aquades sedikit demi sedikit sebanyak 500 ml dan penggilingan dilanjutkan selama 15 menit.
c. Hot water extracted pada suhu 121 oC selama 15 menit menggunakan autoklaf. Setelah ekstraksi dingin secara perlahan dilakukan penyaringan dengan kain. d. Supernatan yang diperoleh dilakukan pemusingan dengan alat sentrifuse pada kecepatan 4 000 rpm. Supernatan hasil pemusingan dibekukan selama 24 jam untuk persiapan freeze dry. e. Freeze dry dilakukan selama 24 jam atau sampai benar-benar kering.
43 Pengujian kandungan mannan : Sebelum dilakukan pengujian dengan LC-MS sampel dipersiapkan mengikuti prosedur sebagai berikut : a. Supernatan yang sudah kering diambil sekitar 5 g dan dilarutkan dengan aquades dengan perbandingan 1 : 1. b. Larutan supernatan diambil 0.5 cc dan masukan dalam botol ampul. Tambahkan 0.5 cc Trifluoro acetic acid (TFA) 4 M. Ujung ampul dipanaskan dan diupayakan dalam keadaan hampa udara.. Simpan ampul dalam oven 105 oC selama 3 jam. c. Ujung ampul dipatahkan dan tambahkan 2-3 tetes larutan ethyl acetate 1 N untuk dinetralkan. d.
Pindahkan dalam tabung sampel kemudian lakukan freeze dry kembali.
e.
Sampel sebanyak 1 ml diambil dan diencerkan dengan acetonitril dan siap diinjeksikan pada LC-MS
2. Kecernaan Mannan Pada pengukuran kecernaan mannan, sampel yang dianalisa berupa feses dari ayam yang diberi bahan pakan BIS dan BIS fermentasi melalui pencekokan seperti halnya persiapan pada pengujian energi metabolisme. Sampel yang berupa feses diukur mannan nya mengikuti prosesedur yang sama seperti pada pengukuran mannan pada bahan pakan.
Kecernaan mannan
dihitung berdasarkan selisih antara kandungan mannan dalam bahan pakan dengan mannan pada feses. Kandungan mannan bahan – kandungan mannan feses Kecernaan mannan (%) = __________________________________________ x 100% Kandungan mannan bahan
3. Kandungan Total Gula Terlarut Prinsip penetapan kadar total gula terlarut berdasarkan Metoda Phenol (Dubois et al. 1956). Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan phenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye kekuningan yang stabil. Untuk mengukur kandungan total gula terlebih dahulu dilakukan pemisahan protein dari karbohidratnya berdasarkan berat molekulnya menggunakan filtrasi gel sephadex-50. Total gula diukur dengan
44 menggunakan metode Phenol pada panjang gelombang 490 ηm dengan Dglukosa sebagai standar. Persiapan dalam Pengukuran Total Gula terlarut Metoda Phenol : Larutan standar glukosa Pipet 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm glukosa, masing-masing kedalam tabung reaksi. Tambahkan 1 ml larutan phenol 5% dan dikocok dengan vortex. Tambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat pekat dengan cara dituangkan secara tegak lurus permukaan larutan. Biarkan selama 10 menit, homogenkan dengan vortex kemudian ditempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansnya diukur pada 490 ηm. Persamaan reaksi dari larutan standar glukosa dibuat berdasarkan nilai absorbansinya terhadap konsentrasi glukosa. Kadar glukosa sampel didapat dengan cara memasukan nilai absorbansinya ke persamaan regresi yang didapatkan.
Untuk penetapan total gula, sampel harus berupa cairan yang
jernih, saring jika ada endapan dengan kertas saring Whatman no. 2. Prosedur selanjutnya sama seperti persiapan pembuatan standar glukosa. Total gula (mg/g) = (C x S x Fp)/M Keterangan : C = Konsentrasi bahan (ppm)
S = Volume supernatan (ml)
Fp = Faktor pengenceran
M = Berat sampel (g)
4. Pengujian Energi Metabolisme Sejati (True Metabolizable Energy/TME) Pada tahap ini diuji BIS yang terfermentasi (BISF) dengan kapang pendegradasi mannan pada ternak unggas. Metode yang digunakan yaitu Metode Sibbald (1983). Hasil yang diperoleh adalah seberapa jauh peningkatan TME akibat perlakuan kapang pendegradasi mannan.
TME (kal/g)
{(a x EBp) – (b-EBf)} - (ret N x K) = _______________________________________ a
Keterangan : TME
= Energi metabolis sejati
EBp = Energi bruto bahan pakan
EBf
= Energi bruto feses ayam yang diberi pakan
45 Ret N = Retensi nitrogen a
= Jumlah konsumsi bahan pakan (gram)
b
= Jumlah ekskreta ayam yang diberi bahan pakan (gram)
K
= Energi equivalent per gram asam urat (kalori) atau sama dengan 8,22 kkal/gram asam urat
Persiapan pengujian energi metabolisme sejati Prosedur Kerja : Ayam dipuasakan selama 36 jam, kemudian
ransum perlakuan yang
sudah dibuat pellet dimasukan dengan paksa menggunakan tunnel dan plunner pada 30 ekor ayam masing-masing sebanyak 35 gram. Setelah 36 jam pemberian pakan, ekskreta dikumpulkan, dibersihkan dari bulu-bulu kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 70 oC selama 49 jam. Setelah kering dilakukan penimbangan, lalu digiling dan dianalisa energi bruto (EB) ekskreta dan jumlah ekskreta. 5. Retensi Nitrogen Semu Retensi nitrogen semu merupakan selisih antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan nitrogen endogenous (yang terdapat pada urine dan ekskreta). Pengukuran kandungan nitrogen dalam ekskreta dilakukan koleksi feses selama 1 kali 24 jam. Ekskreta ditampung, dibersihkan dari bulu-bulu, kemudian disemprotkan asam sulfat 0.3 N untuk mencegah penguapan nitrogen. Selanjutnya dikeringkan di dalam oven bersuhu 60 oC selama 24 jam. Setelah itu digiling halus dan dianalisa kandungan nitrogennya. Retensi N semu (g/hari) = Konsumsi N (g/hari) – Ekskresi N (g/hari) E. Analisis Statistik Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t (Steel & Torrie 1995) dengan menggunakan program MINITAB® Release 14 Statistical Software (MINITAB Inc. 2004). Penelitian Tahap IV : Pengaruh Tingkat BIS dan BISF dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging Tujuan penelitian pada Tahap IV ini adalah untuk mengetahui penampilan ayam pedaging yang
diberi perlakuan ransum berbagai tingkat BIS maupun
46 BISF. Penelitian ini dilakukan secara invitro untuk memperkuat hasil analisis pada penelitian Tahap III. A. Ternak Day old chick (DOC) commercial stock Cobb CP 707 digunakan sebanyak 350 ekor, tanpa pemisahan jantan dan betina (unsexed) dengan ratarata bobot DOC 42.84 ± 1.75 gram dan koefisien variasi sebesar 4.09%. B. Kandang dan Peralatan Kandang penelitian yang digunakan adalah kandang koloni ukuran 1x1x1 meter dengan alas litter menggunakan sekam padi. Masing-masing unit terdiri atas 10 ekor, sehingga seluruh unit kandang berjumlah 35 unit. Setiap unit kandang dilengkapi lampu pemanas/penerangan 40 watt, tempat pakan, tempat minum. Pada minggu pertama sekam ditutupi kertas koran. Tempat ransum menggunakan nampan plastik (feeder tray) dan tempat minum kecil ukuran 1 liter. Ruangan kandang dilengkapi 2 exhaus pan dan 1 kipas angin besar. Peralatan lain yang digunakan adalah alat pengukur temperatur dan kelembaban ruangan, timbangan digital, kantong plastik tempat pakan, sapu, dan alat tulis. C. Ransum Bahan pakan yang digunakan dalam formulasi ransum adalah tepung jagung kuning, bungkil kedele, dedak padi halus, BIS, BISF, corn gluten meal, tepung ikan, crude palm oil, CaCO3, premix, dikalsium phosfat, garam dan DLmetionin. Perlakuan terdiri atas 7 macam ransum , yaitu: R0 = Ransum kontrol (setara 0 ppm mannan BIS) R1 = Ransum dengan 10% BIS (setara 1 532.16 ppm Mannan BIS) R2 = Ransum dengan 15% BIS (setara 2 298.24 ppm mannan BIS) R3 = Ransum dengan 20% BIS (setara 3 064.32 ppm mannan BIS) R4 = Ransum dengan 10% BISF (setara 1 404.48 ppm mannan BISF) R5 = Ransum dengan 15% BISF (setara 2 106.72 ppm mannan BISF) R6 = Ransum dengan 20% BISF (setara 2 808.96 ppm mannan BISF) Formula ransum penelitian didasarkan pada kebutuhan ransum ayam pedaging fase starter, yaitu protein kasar 22% dan energi metabolisme 3 000 Kkal/kg (NRC 1994). Pada Tabel 10 disajikan komposisi ransum dan komposisi nutrisinya disajikan pada Tabel 11.
47 Tabel 10 Susunan ransum perlakuan dalam penelitian pada ayam pedaging Bahan ransum
R0
Ransum perlakuan R2 R3 R4
R1
R5
R6
………………….………….% ………..…..…………………. Tepung Jagung Bungkil Kedelai Dedak Padi Halus Bungkil Inti Sawit (BIS) Bungkil Inti Sawit Fermentasi (BISF) Corn Gluten Meal Tepung ikan CPO CaCO3 Premix A 1) Dikalsium Phosfat Garam DL-methionin Jumlah 1 )
48 17 12.8 0
47 15 5.8 10
46 14 2.8 15
44 12.8 1 20
47 15 5.8 0
46 14 2.8 0
44 12.8 1 0
0 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
0 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
0 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
0 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
10 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
15 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
20 5 10 5 1 0.5 0.33 0.25 0.12 100
Keterangan : Kandungan per kg : Vitamin A 10.0 IU, Vitamin D3 3.3 IU, Vitamin E 30 IU, Riboflavin 6.0g, Thiamin 4g, Pyridoksin 3.3g, Asam pantothenat 15.0g, Viatmin B12 0.015g, Niasin 50.0g, Vitamin K 2.0g, Asam folat 1.0g, Biotin 0.2g, mangan 70.0g, Seng 60.0g, Kuprum 8.0g, Selenium 0.3g, Besi 70.0g
Tabel 11 Kandungan nutrisi ransum perlakuan Nutrisi
R0
R1
Mannan (ppm) Protein kasar (%) 1) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) ME (kkal/kg) 2) Imbangan EM/PK Arginin (%) Glisin+serin (%) Histidin (%) Isoleusin (%) Leusin (%) Lysin (%) Methionin (%) Methionin+sistin (%) Phenilalanin (%) Threonin (%) Triptophan (%) Valin (%) Ca (%) P tersedia (%) Cl (%) Mg (mg) K (%) Na (%) Cu (mg) I (mg)
0 22.15 3.98 9.69 3 076 138.89 1.317 1.896 0.566 0.878 1.994 1.155 0.590 0.923 1.007 0.824 0.234 1.038 1.043 0.460 0.247 2 411 0.770 0.211 14.744 0.100
191.52 21.99 5.40 9.29 3 066 139.43 1.401 1.866 0.545 0.915 1.902 1.107 0.587 0.907 0.991 0.808 0.227 1.038 1.090 0.459 0.255 1 990 0.747 0.210 13.264 0.100
Kandungan Nutrisi R2 R3 R4 287.28 21.93 6.16 9.14 3 052 139.20 1.446 1.854 0.535 0.935 1.856 1.085 0.586 0.900 0.985 0.801 0.224 1.039 1.114 0.459 0.260 1 821 0.743 0.209 12.524 0.100
383.04 21.84 7.02 9.11 3 021 138.32 1.493 1.842 0.524 0.953 1.804 1.062 0.586 0.892 0.977 0.794 0.220 1.041 1.137 0.459 0.265 1 748.6 0.752 0.208 11.766 0.100
103.74 22.35 4.90 9.19 3 077 137.65 1.401 1.866 0.545 0.915 1.902 1.107 0.587 0.907 0.991 0.808 0.227 1.038 1.084 0.460 0.256 1 990 0.747 0.210 13.264 0.100
R5 155.61 22.47 5.41 8.98 3 068 136.55 1.446 1.854 0.535 0.935 1.856 1.085 0.586 0.900 0.985 0.801 0.224 1.039 1.105 0.460 0.261 1 821 0.743 0.209 12.524 0.100
R6 207.48 22.56 6.03 8.89 3 042 134.82 1.493 1.842 0.524 0.953 1.804 1.062 0.586 0.892 0.977 0.794 0.220 1.040 1.125 0.461 0.267 1 748.6 0.752 0.208 11.766 0.100
Standar NRC 1994 22* 3 000* 139.13 1.25 1.25 0.35 0.80 1.20 1.10 0.50 0.90 0.72 0.80 0.20 0.90 1.00 0.45 0.20 600 0.30 0.20 8.00 0.35
48 Kandungan nutrisi ransum perlakuan (lanjutan) Fe (mg) 120.32 104.17 96.82 Se (mg) 0.292 0.262 0.249 Zn (mg) 83.98 80.90 79.42 Vitamin A (mg) 6 003 6 003 6 003 Vitamin D (IU) 1 000 1 000 1 000 Vitamin E (IU) 25.03 20.57 18.53 Vitamin B12 (mg) 0.016 0.016 0.016 Biotin (mg) 0.157 0.120 0.104 Choline (mg) 1 228.5 1 195.8 1 182.1 Folacin (mg) 0.725 0.571 0.503 Niacin (mg) 79.454 58.774 49.779 Pantothenic acid 11.484 9.954 9.284 (mg) Pyridoxin (mg) 6.822 6.092 5.762 Riboflavin (mg) 4.283 4.390 4.451 Thiamin (mg) 6.375 4.675 3.920
91.06 0.240 78.04 6 003 1 000 16.99 0.016 0.092 1 170.2 0.454 44.002 8.818
104.17 0.262 80.90 6 003 1 000 20.57 0.016 0.121 1 195.8 0.571 58.774 9.954
96.82 0.249 79.42 6 003 1 000 18.53 0.016 0.104 1 182.1 0.503 49.779 9.284
91.06 0.240 78.04 6 003 1 000 16.99 0.016 0.092 1 170.2 0.454 44.002 8.818
80.0 0.15 40.0 1 500 200 10 0.01 0.15 1 300 0.55 35.0 10.0
5.518 4.526 3.391
6.092 4.390 4.675
5.762 4.451 3.920
5.518 4.526 3.391
3.5 3.60 1.80
Keterangan : 1) Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB (2007) 2) Hasil perhitungan dengan ME = 0.7273 GE (Farrel 1974) Vitamin, mineral dan asam amino merupakan hasil perhitungan berdasarkan Tabel-tabel dari komposisi bahan makanan ternak untuk Indonesia (Hartadi et al. 1980) *) Standar galur super broiler (1999) diacu dalam Amrullah (2003)
D. Rancangan Percobaan Rancangan
percobaan
yang
digunakan
pada
Tahap
IV
adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan 7 perlakuan dan 5 ulangan. Model matematis rancangan penelitian adalah : Yij = μ + αi + εij Keterangan : Yij
= nilai pengamatan perlakuan ransum ke-i dan ulangan ke-j
μ
= nilai rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan ransum ke-i
εij
= galat percobaan dari perlakuan ransum ke-i dan ulangan ke-j
i
= banyaknya perlakuan ransum ( 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7)
j
= banyaknya ulangan (1, 2, 3, 4, 5)
E. Peubah yang diukur 1. Bobot badan akhir (g) Diperoleh pada penimbangan bobot badan ayam (g) umur 42 hari. 2. Pertambahan bobot badan kumulatif (g/ekor/35 hari) Dihitung dari selisih bobot badan akhir percobaan pada umur 42 hari dengan bobot awal (umur 7 hari), dihitung dalam gram. Adapun rumusnya : PBB =
W2 - W1 T2 -T1
49 Keterangan : PBB = Pertambahan bobot badan W2 = Bobot badan akhir (g) W1 = Bobot badan awal minggu (g) T2
= Waktu akhir minggu
T1
= Waktu awal minggu
3. Konsumsi ransum (g/ekor/35 hari) Selisih antara ransum yang disediakan (umur 7 hari) dengan sisa ransum ransum pada akhir percobaan (umur 42 hari), dihitung dalam gram 4. Konversi ransum Konversi ransum dihitung menggunakan rumus : Konversi ransum = Rataan konsumsi ransum (umur 7-42 hari) (g) Rataan pertambahan bobot badan (umur 7 – 42 hari) (g) 5. Persentase bobot karkas (%) Dihitung dengan menggunakan rumus : Persentase karkas (%)
Bobot karkas (g) = _________________________________ x 100% Bobot hidup pada akhir penelitian (42 hari) (g)
6. Mortalitas (%) Dihitung dengan rumus : Mortalitas (%)
= Jumlah ayam yang mati selama penelitian Jumlah seluruh ayam pada awal penelitian
x 100%
7. Indeks Prestasi (IP) Ayam Pedaging Indeks prestasi broiler dihitung dengan rumus sebagai berikut :
IP
=
Rata-rata berat panen (kg) x persentase ayam hidup (%) _______________________________________________ x 100 Konversi ransum x umur panen (hari)
Standar minimal IP ayam pedaging adalah 200. 8. Analisis income over feed and chick cost (IOFCC) Dihitung berdasarkan harga jual ayam pada akhir penelitian dikurangi oleh biaya pakan dan anak ayam selama penelitian F. Analisis Statistik
50 Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis sidik
ragam (anova) dan untuk melihat kecenderungan dari pengaruh masing-masing perlakuan dilakukan uji Kontras Orthogonal (Steel & Torrie 1995) dengan menggunakan Program SAS Ver. 6.12 (SAS Institute 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap I : Uji Keragaman Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi BIS BIS diambil dari 3 lokasi yang berbeda. Sampel BIS dari langkat (B) diperoleh dari proses expeller extraction dua tahap. Sampel BIS dari Lampung dan Banten diperoleh dari proses expeller extraction satu tahap. A. Keragaman Sifat Fisik BIS Hasil uji sifat fisik BIS yang meliputi berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, tingkat kehalusan, diameter bahan dan daya ambang diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil uji kualitas sifat fisik BIS dari beberapa sumber produksi No.
Sifat Fisik A 1.359 ± 0.07 b
Sampel BIS B 1.457 ± 0.07 a
C 1.521 ± 0.06 a
1
Berat jenis (g/ml)
2
Kerapatan tumpukan (g/ml)
0.582 ± 0.03 b
0.583 ± 0.02 b
0.624 ± 0.02 a
3
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (g/ml)
0.693 ± 0.01 b
0.727 ± 0.02 a
0.725 ± 0.02 a
4
Sudut tumpukan (o)
29.71 ± 2.98 a
23.61 ± 1.17 b
23.61 ± 1.20 b
5
Daya ambang (m/dt)
0.594 ± 0.01 a
0.560 ± 0.06 b
0.606 ± 0.02 a
6
Tingkat kehalusan (MF)
4.773 ± 0.03 a
4.571 ± 0.04 c
4.654 ± 0.01 b
7
Katagori ukuran partikel bahan
Kasar
Kasar
Kasar
8
Rataan diameter bahan (cm)
0.285 ± 0.006 a
0.248 ± 0.006 c
0.262 ± 0.001 b
Keterangan : A = BIS dari sumber produksi di Lampung B = BIS dari sumber produksi di Langkat Sumut C = BIS dari sumber produksi di Banten Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
1. Berat Jenis (BJ) Hasil perhitungan analisis varian menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) diantara ketiga sampel BIS terhadap nilai BJ. Nilai BJ ketiga sampel menunjukkan nilai diatas 1 yang berarti lebih berat dari BJ air. Sampel B dan C tidak menunjukkan adanya perbedaan, namun keduanya berbeda dengan sampel A yang memiliki nilai BJ paling rendah yakni 1.359 g/ml. Perbedaan ini
52 diduga dipengaruhi oleh karakteristik permukaan partikel BIS. Sampel BIS C memiliki nilai BJ paling tinggi, hal ini disebabkan sampel C strukturnya padat dan masih banyak terdapat serpihan tempurung yang tercampur dalam BIS sehingga nilai BJ nya paling tinggi. Adapun sampel A strukturnya tidak padat dan banyak rongga antar partikel, sehingga nilai BJ nya lebih rendah. Perbedaan nilai BJ selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik permukan partikel, juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Khalil (1999) yang menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai BJ dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel. BJ berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan BJ cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali (Khalil 1999). 2. Kerapatan Tumpukan Berat jenis erat hubungannya dengan kerapatan tumpukan, semakin tinggi nilai berat jenis maka kerapatan tumpukannya semakin besar. Sampel BIS C menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) dengan sampel BIS A dan B. Pada sampel C kerapatan tumpukannya paling tinggi, demikian pula halnya dengan nilai BJ nya. Menurut Chung dan Lee (1985), kerapatan tumpukan lebih penting dari berat jenis bahan, dalam hal pengeringan dan penyimpanan bahan secara praktis. Kerapatan tumpukan mempunyai peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang pada suatu bahan dengan berat tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur, elevator dan juga silo. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya campur dan stabilitas pencampuran pakan. Kerapatan tumpukan ketiga sampel BIS di atas 0.5 g/ml. Pencampuran bahan pakan dengan ukuran partikel yang sama tetapi memiliki kerapatan tumpukan tinggi (kt >0.5 g/ml) akan sulit dicampur. Bahan yang memiliki kerapatan tumpukan rendah (kt < 0.5 g/ml) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dipindahkan (Chung & Lee 1985). 3. Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan mempunyai hubungan yang erat dengan kerapatan tumpukan. Pada kerapatan pemadatan tumpukan terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05). Sampel BIS A memiliki kerapatan pemadatan tumpukan yang berbeda dengan sampel B dan C. Disini terlihat bahwa sampel A
53 memiliki kerapatan tumpukan 0.582 g/ml dan kerapatan pemadatan tumpukan 0.693 g/ml, nilai ini merupakan
yang paling rendah dibanding perlakuan
lainnnya. Sifat fisik lain yang ada hubungannya dengan kerapatan pemadatan tumpukan adalah modulus of fineness (MF)
atau diameter partikel bahan.
Semakin kecil nilai MF atau partikel bahan maka kerapatan pemadatan tumpukannya akan semakin tinggi. Sampel BIS A memiliki diameter bahan dan nilai MF yang paling tinggi yaitu masing-masing 0.285 cm dan 4.77 sehingga berpengaruh terhadap kerapatan pemadatan tumpukannya. 4. Daya Ambang Daya ambang ketiga sampel menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05). Sampel BIS B berbeda nyata dengan sampel BIS A dan C. Hal ini berarti apabila terjadi proses penurunan bahan dari ketinggian tertentu, maka waktu bahan tersebut mencapai dasar untuk sampel BIS B adalah yang paling cepat. Daya ambang yang terlalu lama akan menyulitkan dalam proses penuangan
bahan, karena dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menuangkan bahan. Partikel bahan yang kecil akan memiliki daya ambang yang tinggi sehingga bahan lebih mudah tertiup angin (berdebu), hal ini akan menyebabkan terhamburnya bahan dan akan mengurangi jumlah bahan yang terbuang. 5. Sudut Tumpukan Sudut tumpukan merupakan kriteria kebebasan bergerak partikel dalam suatu tumpukan. Semakin kecil sudut tumpukan, semakin bebas partikel bergerak dan semakin besar daya alir (flow ability) partikel tersebut. Pada Tabel 12 terlihat bahwa sudut tumpukan sampel BIS A (29.71o) lebih besar dari sampel BIS B (23.61o) dan C (23.61o). Menurut Ruttloff (1981), diacu dalam Khalil (1999) bahan yang memiliki sudut tumpukan ≤ 29o sangat baik dan mudah diangkut secara mekanik. Hal ini berarti bahwa sampel BIS B dan C memiliki kemudahan dalam hal pengangkutan secara mekanik, karena ruangan yang diperlukan dalam penyimpanan BIS lebih kecil. 6. Tingkat Kehalusan dan Diameter Bahan Tingkat kehalusan (modulus of fineness) dari ketiga sampel menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Nilai MF tertinggi diperoleh BIS A dan terendah
54 BIS B. Tingkat kehalusan ini sangat penting untuk menentukan apakah perlu ada perlakuan lanjut sebelum BIS difermentasi. Meskipun terjadi perbedaan yang nyata nilai MF nya, namun ketiganya masuk katagori kasar (MF 4.1–7.0). Modulus of fineness erat hubungannya dengan diameter bahan. Semakin tinggi nilai MF maka diameter partikel bahan akan semakin tinggi.
Diameter
partikel bahan yang tinggi akan menyulitkan dalam pencampuran ransum yang homogen. Secara penampakan visual ketiga sampel BIS terlihat bahwa masih banyak terdapat campuran tempurung dalam BIS, karenanya perlu dilakukan pengayakan dengan menggunakan saringan ukuran diameter lubang 2 mm (saringan alumunium yang paling halus). 7. Koefisien Keragaman BIS Semua sampel BIS yang digunakan dalam pengukuran sifat fisik dihitung koefisien keragamannya (%), dan hasilnya disajikan pada Tabel 13.
Disini
terlihat bahwa urutan sifat fisik dari yang koefisien variasinya terendah hingga tertinggi adalah : tingkat kehalusan (MF), kerapatan tumpukan, daya ambang, kerapatan pemadatan tumpukan, rataan diameter bahan, berat jenis dan sudut tumpukan. Selain sudut tumpukan semua sifat fisik yang diukur memiliki koefisien variasi dibawah 10%. Ini berarti bahwa sifat fisik sudut tumpukan dari beberapa sampel BIS adalah yang paling beragam. Tabel 13 Koefisien keragaman (%) beberapa sifat fisik BIS No 1.
Sifat Fisik Berat jenis (g/ml)
2.
Kerapatan tumpukan (g/ml)
2.37
3.
Kerapatan pemadatan Tumpukan (g/ml)
4.28
o
Koefisien Variasi (%) 6.32
4.
Sudut tumpukan ( )
12.79
5.
Daya ambang (m/dt)
3.68
6.
Tingkat kehalusan (MF)
2.08
7.
Rataan diameter bahan (cm)
6.25
Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman 5–10% meliputi berat jenis dan rataan diameter bahan. Sifat fisik yang memiliki koefisien keragaman di bawah 5% adalah tingkat kehalusan, kerapatan tumpukan, daya ambang, kerapatan pemadatan tumpukan. Sifat fisik sudut tumpukan merupakan sifat fisik BIS yang sangat beragam, karena memiliki nilai keragaman di atas 10% yakni
55 12.79%.
Sifat fisik yang memiliki nilai koefisien keragamannya tinggi
menyebabkan peningkatan kewaspadaan dalam pengontrolan, karena apabila tidak diawasi akan menyebabkan kualitas hasil pencampuran dengan bahan lain akan beragam pula.
B. Kandungan Nutrisi BIS Bungkil inti sawit (BIS) yang digunakan dalam penelitian ini dianalisa kandungan nutrisinya. Adapun hasil komposisi nutrisi BIS diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil analisis proksimat BIS dari beberapa proses produksi BIS Jenis analisis Bahan Kering (%) Abu (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Beta N (%) Kalsium (%) Phosfor (%) NaCl (%) Gross energi (kkal/kg)
A 89.28 4.69 16.50 24.22 5.69 38.17 0.58 0.45 0.10 3 543
Sampel BIS B 91.75 4.33 17.69 30.50 9.46 36.02 0.26 0.60 0.17 3 688
C 91.16 4.52 14.27 24.61 7.86 38.54 0.29 0.73 0.13 3 422
Keterangan : A = BIS dari sumber produksi di Lampung B = BIS dari sumber produksi di Langkat Sumut C = BIS dari sumber produksi di Banten
Pada Tabel 14 terlihat bahwa kandungan protein kasar dan lemak kasar sampel B relatif lebih tinggi dibanding sampel A dan C, namun kelemahannya adalah kandungan serat kasarnya paling tinggi. Apabila kita bandingkan sampel A dan C, untuk kandungan protein kasar sampel A lebih baik dari sampel C, namun kandungan lemak kasarnya lebih baik kandungan sampel C, sedangkan kandungan serat kasarnya tidak begitu berbeda jauh. Dilihat dari nilai energi bruto, ternyata sampel BIS B kandungannya lebih tinggi dibanding sampel A dan C. Nilai energi bruto ini sejalan dengan kandungan protein kasarnya. Dibandingkan dengan peneliti lain pada Tabel 2, hasil analisa proksimat yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan protein kasar berkisar 14.27– 17.29%. Nilai ini tidak berbeda jauh dari hasil analisis
Keong (2004) yakni
16.86% dan penelitian Hew dan Jalaludin (1996) yakni 16.1% , namun lebih tinggi dari hasil analisis Yeong dan Mukherjee (1983) yakni 14% dan Hartadi et
56 al. (1980) 12.9% untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi mekanik dan 15.4% untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi kimia. Kandungan serat kasar ketiga sampel berkisar 24.22–30.50%, jauh lebih tinggi dari hasil analisis Hew dan Jalaludin (1996) yakni 15.7% dan Hartadi et al. (1980) 16.9% untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi mekanik dan 9.6% untuk proses produksi BIS dengan ekstraksi kimia. Diduga hal ini pada waktu proses produksi BIS banyak tercampur tempurung sehingga menyebabkan kandungan serat kasarnya tinggi. Kandungan nutrisi BIS cukup beragam, hal ini tergantung pada proses produksi BIS. Pada proses produksi BIS dengan ekstraksi mekanis, masih tinggi kandungan lemak kasarnya
dibanding dengan ekstraksi kimia, namun
kandungan serat kasarnyapun tinggi. Selain proses produksi, faktor lain yang berpengaruh terhadap kandungan nutrisi BIS adalah umur kelapa sawit. Pada kelapa sawit yang umur tua biasanya dihasilkan rendemen minyak yang tinggi dan serat kasar yang tinggi. Tempat produksi BIS biasanya tidak jauh dari lokasi perkebunan. Lokasi ini erat hubungan dengan hara tanah. Pada perkebunan kelapa sawit yang kaya hara tanah biasanya dihasilkan BIS dengan nutrisi lebih baik. Berdasarkan pertimbangan sifat fisik terutama yang lebih ditekankan pada nilai BJ, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan daya ambang serta kandungan nutrisi yang terutama meliputi protein kasar dan serat kasar, sampel BIS yang akan digunakan pada tahap-tahap berikutnya adalah BIS yang diperoleh dari sumber produksi di Lampung (sampel A). Pembagian koefisien keragaman sifat fisik BIS ini belum bisa dijadikan acuan yang tetap, karena belum mewakili sebagian besar produksi BIS seluruh Indonesia dan perlu diuji pada sumber produksi BIS yang diperoleh dari proses chemical extraction.
Penelitian Tahap II : Optimalisasi Proses Fermentasi BIS oleh Kapang Trichoderma reesei A. Karakteristik Pertumbuhan Kapang Trichoderma reesei Kultur murni kapang Trichoderma reesei FNCC 6041 diperoleh dari Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Universitas Gajah Mada Yogjakarta berupa kultur kering dalam tabung vial kecil. Kurtur murni ini dibiakkan dalam media PDA pada beberapa cawan petri, untuk selanjutnya diperbanyak pada media agar
57 miring. Biakan inokulum kapang Trichoderma reesei pada media PDA diperlihatkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Biakan kapang Trichoderma reesei FNCC 6041 1. Jumlah Koloni Kapang Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup.
Pada organisme uniseluler (bersel
tunggal) pertumbuhan adalah pertambahan jumlah sel, yang berarti juga pertambahan jumlah organisme, misalnya pertumbuhan yang terjadi pada suatu kultur mikroba (Fardiaz 1998). Adapun rata-rata jumlah koloni kapang Trichoderma reesei diperlihatkan pada Tabel 15, sedangkan gambar kurvanya disajikan pada Gambar 11. Tabel 15 Jumlah dan diameter koloni kapang Trichoderma reesei selama pertumbuhan Umur pertumbuhan (jam)
Jumlah koloni (CFU/cc)
Diameter koloni (mm)
24 30 36 42 48 54 60 66 72
Belum terlihat 2.06 x 105 2.62 x 105 3.33 x 105 1.75 x 106 2.04 x 106 2.13 x 106 2.13 x 106 2.13 x 106
13.58 27.41 38.10 48.93 54.94 66.19 73.78 76.73 80.05
Perubahan diameter koloni (%) 102.89 39.00 28.42 12.28 20.48 11.47 4.00 4.32
Jumlah koloni kapang dilakukan pengukuran setiap 6 jam dan dimulai pada 24 jam pertama, karena sampai 24 jam pertama belum terlihat
58 pertumbuhan koloni kapang yang berarti, karena masih dalam fase adaptasi dan pertumbuhan awal. Menurut Fardiaz (1998) jumlah awal sel yang tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Mulai umur pertumbuhan 30 jam, jumlah koloni kapang semakin banyak hingga pada umur 60 jam masa pertumbuhan, tercapai jumlah koloni yang maksimal. Setelah 60 jam jumlah koloni tidak bertambah lagi. Hal ini disebabkan kapang sudah memasuki fase statis. Pada fase stationary ini ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase stationary ini menjadi lebih kecil-kecil karena sel tetap membelah meskipun zat-zat nutrisi sudah habis (Fardiaz 1998). Pengamatan data koloni kapang yang setiap 6 jam diamati, akan lebih jelas dilihat pada gambar kurva pertumbuhan kapang. Selain diketahui pola pertumbuhannya, juga akan diketahui titik optimum berdasarkan persamaan yang paling tepat. 8
Jumlah Koloni (CFU/cc)
7 6 5 Pertumbuhan Koloni Poly. (Pertumbuhan Koloni)
4 3
2
y = -0,0048x + 0,5514x - 8,8239 2 R = 0,7631
2 1 0 0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Umur Pertumbuhan (jam)
Gambar 11 Kurva pertumbuhan jumlah koloni kapang Trichoderma reesei Secara keseluruhan fase pertumbuhan kapang Trichoderma reesei mengikuti persamaan kuadratik Y = –0.0048x2 + 0.5514x – 8.8239 (jumlah koloni ditranformasi dalam log) dengan nilai koefisien regresi (r) = 0.873. Berdasarkan persamaan kuadratik di atas,
fase pertumbuhan jumlah koloni kapang yang
optimum dicapai pada umur pertumbuhan 57.44 jam yakni dapat dicapai 107 CFU/cc.
59 2. Diameter dan Persentase Perubahan Diameter Koloni Kapang Diameter koloni kapang mulai 24 jam umur pertumbuhan sudah mulai terukur dan selanjutnya terjadi pembesaran diameter koloni hingga akhir pengamatan (72 jam). Kurva diameter koloni ini membentuk kurva garis linier, dan gambarnya diperlihatkan pada Gambar 12. Mulai umur pertumbuhan 60 jam kelihatannya sudah terjadi pembelokan. Untuk memastikan hal ini, biasanya disinkronkan dengan kurva persentase perubahan diameter koloni. Persentase (%) perubahan diameter koloni kapang paling besar dicapai pada umur pertumbuhan 30 jam. Disini pertumbuhan kapang memasuki fase logaritmik dengan kecepatan pertumbuhan paling tinggi. Jumlah koloni kapang mulai konstan (stationary phase), dicapai pada umur 60 jam yakni mencapai jumlah koloni 2.13 x 106 CFU/cc. Demikian pula halnya dengan perubahan diameter koloni kapang,
pada umur 60 jam
persentase perubahannya sangat kecil.
Diameter Koloni Kapang (mm)
100 90 80 70 60
Diameter Koloni (mm)
50 40
Linear (Diameter Koloni (mm))
y = 8,3743x + 11,429 2 R = 0,9671
30 20 10 0 24
30
36
42
48
54
60
66
72
Umur Pertumbuhan (jam)
Gambar 12 Kurva pertumbuhan diameter koloni kapang Trichoderma reesei Berdasarkan hasil pengolahan data pada Tabel 15 tentang diameter koloni kapang dapat diketahui persaman regresinya adalah Y = 8.3743x + 11.429 dengan nilai r = 0.983. Persaman polinomial untuk perubahan diameter koloni adalah
Y = 0.296x5 – 8.0053x4 + 81.019x3 – 375.19x2 + 759.29x – 455.13
dimana x menunjukkan umur pertumbuhan. Disini kurva yang terbentuk berupa kurva model polynomial dan diperlihatkan pada Gambar 13
60
Persentase perubahan Diameter Koloni (%)
120 100
5
4
3
2
y = 0,296x - 8,0053x + 81,019x - 375,19x + 759,29x - 455,13 2 R = 0,9197
80
Perubahan diameter (%) Poly. (Perubahan diameter (%))
60 40 20 0 24
30
36
42
48
54
60
66
72
-20
Umur Pertumbuhan (jam)
Gambar 13 Kurva persentase perubahan diameter koloni kapang Trichoderma reesei
B. Pengaruh Konsentrasi Kapang Trichoderma reesei dan Ketebalan Media BIS terhadap Hasil Fermentasi Pada percobaan ini menggunakan kultur statis (tidak dilakukan proses pengadukan selama fermentasi) yang menggunakan media padat BIS. Pada fermentasi BIS ini dicobakan konsentrasi kapang dan ketebalan substrat BIS untuk memperoleh hasil fermentasi yang optimum. Konsentrasi kapang yang dicobakan dari 2.13 x 104 hingga 2.13 x 106 CFU/cc. Adapun ketebalan media mulai dari 1 cm hingga 3 cm. Adapun perbandingan kandungan nutrisi BIS dan BISF disajikan pada Tabel 16. Pada percobaan Tahap II ini dilakukan analisis proksimat pada BIS dan BISF sebagai bahan perbandingan awal, untuk mengetahui gambaran umum peningkatan nilai nutrisi hasil fermentasi. Masalah-masalah teknis yang timbul pada kultur media statis
adalah
pemindahan panas metabolisme dan karbondioksida, pemberian oksigen yang merata dan mempertahankan kelembaban substrat, serta mempertahankan pH optimum. Untuk melihat sejauh mana perubahan panas metabolis, dan pH optimum maka media fermentasi kita ukur perubahan suhunya dan pH nya.
61 Tabel 16 Perbandingan kandungan nutrisi BIS dan BISF Nutrisi
Bahan BIS 89.28 4.69 16.50 19.24 5.69 38.17 0.58 0.45 0.10 3 543
Bahan kering (%) Abu (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Beta N (%) Kalsium (%) Phosfor (%) NaCl (%) Energi bruto (Kkal/kg)
BISF 89.45 4.18 20.12 24.22 4.97 37.43 0.62 0.49 0.12 3 968
1. Perubahan pH Media selama Fermentasi Data perubahan pH selama fermentasi disajikan pada Tabel 17. Pada penelitian ini pH awal media BIS adalah 5.94. Tabel 17 Rataan perubahan pH media BIS selama fermentasi oleh kapang Trichoderma reesei Kombinasi Perlakuan S1D4 S1D5 S1D6 S2D4 S2D5 S2D6 S3D4 S3D5 S3D6
0 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94
24 5.59 5.65 5.72 5.47 5.47 5.66 5.59 5.61 5.75
Keterangan : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm
Waktu Fermentasi (jam) 48 72 5.59 5.57 5.61 5.49 5.61 5.51 5.49 5.53 5.91 5.49 5.62 5.71 5.48 5.97 5.77 5.80 5.65 5.91
96 5.37 5.26 5.41 5.53 5.60 5.69 5.87 5.89 5.85
D4 = konsentrasi kapang 104 CFU/cc 5 D5 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc 6 D6 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc
120 5.38 5.38 5.34 5.48 5.49 5.54 5.97 5.68 5.84
Nilai pH ini sedikit diatas pH optimum yang berkisar antara pH 4.5–5.5 (Moat 1979). Secara keseluruhan dari awal hingga akhir fermentasi berkisar antara pH 5.34–5.94. Menurut Fardiaz (1998), kapang dapat tumbuh pada kisaran pH 3–8.5, namun pH optimumnya berkisar antara 5–7. Selama fermentasi terjadi perubahan pH. dimana hampir seluruh perlakuan menunjukkan pola yang sama yakni terjadi penurunan pH pada 24 jam umur fermentasi kecuali perlakuan S3D4 dan S1D5 berturut-turut pada 48 jam dan 96 jam waktu fermentasi. Penurunan selama konsumsi NH4+ dan
pH terjadi karena H+ dilepaskan
terjadinya proses metabolisme NO3-
serta
62 penggunaan asam amino sebagai sumber karbon (Rahman
1992), setelah
waktu tersebut terjadi kenaikan pH sampai akhir fermentasi. pH akhir fermentasi di bawah pH awal kecuali perlakuan S3D4. Perubahan pH akan menyebabkan perubahan aktivitas enzim, karena perubahan pH akan menyebabkan perubahan ionisasi pada protein enzim, substrat dan kompleks enzim substrat (Rehm & Reed 1981). Menurut Wang et al. (1979) perubahan pH disebabkan terbentuknya asam-asam organik selama proses fermentasi berlangsung seperti asam asetat, asam laktat dan CO2. Hubungan antara beberapa sifat fisik BIS dengan hasil fermentasi terlihat bahwa pada semua perlakuan BIS dengan ketebalan 3 cm, proses kenaikan pH terjadi lebih awal yaitu pada umur fermentasi 24 jam. Pada ketebalan 3 cm sistem aerase akan lebih sulit karena kepadatan tumpukannya tinggi. Pada kepadatan 2 cm proses kenaikan pH terjadi pada 96 jam umur fermentasi. Hal ini mengindikasikan proses fermentasinya lebih panjang.
6,2 S1D4
6
S1D5 S1D6
pH MEDIA
5,8
S2D4 5,6
S2D5 S2D6
5,4
S3D4 S3D5
5,2
S3D6
5 0
24
48
72
96
120
WAKTU FERMENTASI (JAM)
Gambar 14 Kurva perubahan pH media selama fermentasi oleh Trichoderma reesei Keterangan : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm
4
D4 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc 5 D5 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc 6 D6 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc
Tebal media berhubungan dengan kerapatan tumpukan. Semakin tebal maka pada pada bagian bawah akan lebih padat dibandingkan dengan bagian atas yang memiliki sistem aerase cukup baik. Berat jenis yang tinggi cenderung membuat tumpukan menjadi lebih padat
karena semakin padat tumpukan
63 media, semakin sedikit rongga antar partikel dan hal ini mempengaruhi sirkulasi udara dalam media. Untuk pertumbuhan kapang yang baik, dibutuhkan unsur C,H, N dan O. Kebutuhan oksigen bagi kapang yang bersifat aerobic, perlu diatur kepadatan media agar oksigen cukup tersedia. Nilai pH untuk pertumbuhan mikroba mempunyai hubungan dengan suhu pertumbuhannya. Jika suhu pertumbuhan naik, maka pH optimum untuk untuk pertumbuhan juga naik (Fardiaz 1998). 2. Perubahan Suhu Media selama Fermentasi Mikroorganisma dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan syarat harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : suhu, pH, keperluan oksigen dan air (Fardiaz 1998). Menurut Wang et al. (1979) laju pertumbuhan mikroorganisma dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempengaruhi efisiensi konversi media menjadi massa sel, yaitu konversi maksimum dicapai pada suhu sedikit di bawah suhu optimum. Shurtleff dan Aoyagi (1979), menyatakan bahwa kapang termasuk golongan mikroba mesofilik yang dapat tumbuh pada suhu 20–45 oC, dan tumbuh baik pada suhu 30–37oC. Pada uji pertumbuhan kapang Trichoderma reesei dicobakan beberapa suhu mulai 25–37 oC. Ternyata pada suhu ruang 28 o
C pertumbuhannya yang paling baik. Rataan perubahan suhu selama
fermentasi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Rataan perubahan suhu media BIS selama fermentasi oleh kapang Trichoderma reesei Kombinasi Perlakuan S1D4 S1D5 S1D6 S2D4 S2D5 S2D6 S3D4 S3D5 S3D6
0 28.00 28.00 28.00 28.00 28.00 28.00 28.00 28.00 28.00
24 29.33 29.83 30.00 29.33 30.00 31.67 30.00 30.67 31.50
Keterangan : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm
Waktu fermentasi (jam) 48 72 30.17 32.17 31.00 32.83 31.67 32.17 31.00 34.33 32.00 35.00 33.17 34.67 31.67 33.80 35.67 33.50 34.00 34.33 4
96 30.50 31.50 31.67 33.33 32.83 33.00 34.00 34.50 35.67
120 28.67 29.67 29.50 30.67 31.33 31.00 30.17 31.83 32.67
D4 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc 5 D5 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc 6 D6 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc
Pada awal fermentasi suhu ruang menunjukkan 28 oC. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa perubahan suhu tertinggi pada waktu fermentasi 24
64 jam dicapai kombinasi perlakuan S2D6 yakni 31.67 oC. Suhu tertinggi selama fermentasi terjadi pada 96 jam waktu fermentasi yakni diperoleh pada perlakuan S3D6 yakni mencapai 35.67 oC. Perubahan suhu selama fermentasi seluruh perlakuan menunjukkan pola yang sama yakni terjadi kenaikan suhu hingga pada 72 jam umur fermentasi kecuali perlakuan S3D5 dan S3D6 masing-masing pada 48 jam waktu fermentasi dan 96 jam waktu fermentasi. Kenaikan suhu media terjadi karena panas metabolisme yang dikeluarkan. Hal ini ditandai dengan terbentuknya air dan merupakan masa kritis dalam kultur media padat sehingga akan menimbulkan masalah teknis tentang cara pemindahan panas (Rahman 1992). Setelah waktu tersebut terjadi penurunan suhu sampai akhir fermentasi. Suhu akhir fermentasi berada di atas suhu awal . 40
S1D4
SUHU MEDIA (oC)
35
S1D5 S1D6 S2D4
30
S2D5 S2D6 S3D4 S3D5
25
S3D6
20 0
24
48
72
96
120
WAKTU FERMENTASI (JAM)
Gambar 15 Kurva perubahan suhu media selama fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei Keterangan : S1 = ketebalan media 1 cm S2 = ketebalan media 2 cm S3 = ketebalan media 3 cm
4
D4 = konsentrasi kapang 10 CFU/cc D5 = konsentrasi kapang 105 CFU/cc D6 = konsentrasi kapang 106 CFU/cc
Pada perlakuan ketebalan media 3 cm ternyata proses fermentasi berjalan cukup lama, hal ini diperlihatkan dengan peningkatan suhu yang cukup lama. Hal ini disebabkan jumlah media yang difermentasi cukup banyak sehingga untuk fermentasi hingga sampai bawah perlu waktu yang agak lama meskipun konsentrasinyapun lebih tingi dibanding perlakuan lainnya.
65 Untuk fermentasi optimal, semakin tebal media dibutuhkan konsentrasi kapang yang lebih besar. Suhu mempengaruhi efisiensi konversi substrat (karbon-energi) menjadi massa sel. Pada umumnya konversi maksimum terjadi pada suhu yang lebih rendah daripada suhu dimana kecepatan pertumbuhan maksimum. Hal ini penting dalam proses optimasi dimana yang diinginkan kecepatan pertumbuhan maksimum, bukan pertumbuhan maksimum. 3. Kandungan Bahan Kering dan Penyusutannya selama Fermentasi. Pada proses fermentasi umumnya terjadi peningkatan suhu. Akibat peningkatan suhu ini terjadi proses penguapan air yang terdapat pada media, sehingga akan mengurangi kandungan air. Rataan kandungan bahan kering BISF pada konsentrasi kapang dan ketebalan media yang berbeda, disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Rataan persentase bahan kering BISF (%) pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda Tebal media (cm)
Persentase bahan kering pada konsentrasi kapang (CFU/cc) 105 106 104 …………………….(%)…………………….
1 2 3
89.93 a 90.74 a 89.38 a
89.63 a 88.36 a 88.90 a
88.82 a 89.14 a 89.51 a
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
Berdasarkan hasil analisis ragam ternyata tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap kandungan bahan kering. Disinipun tidak terjadi interaksi antara tebal media
dengan konsentrasi kapang.
Semakin banyak media yang
difermentasi maka kandungan air yang ditambahkan untuk berlangsunya fermentasi (kandungan air dalam media 40–60%) akan cukup banyak, namun secara proporsi relatif sama. Apabila kita bandingkan dengan kandungan bahan kering BISF ternyata tidak terjadi perubahan yang mencolok bahkan relatif hampir sama. Bahan kering erat kaitannya dengan kandungan air. Penyusutan berat selama fermentasi akibat proses metabolisme berkisar 2.24–7.12%. Nilai ini relatif kecil dibanding penyusutan berat selama pengeringan dalam oven yang berkisar 61.39–68.64%.
66 Pertumbuhan kapang pada media padat dengan kelembaban yang tinggi (kadar air yang tinggi) akan menyerupai sifat pertumbuhannya di alam. Kadar air substrat pada awal fermentasi akan sangat menentukan proses fermentasi. Untuk fermentasi yang optimal biasanya kadar air media berkisar 60 – 70%. Peningkatan kadar air selama fermentasi terjadi karena proses aktivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme. Air yang terdapat pada substrat maupun air yang ditambahkan dalam bentuk larutan garam mineral digunakan kapang Trichoderma reesei untuk proses pertumbuhan. Hal ini bisa terlihat dari timbulnya bintik-bintik air pada penutup nampan. Bintik-bintik air yang jatuh pada media fermentasi akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan hifa, karenanya perlu diatur agar penutupnya mampu menyerap bintik-bintik air dan tidak jatuh ke media. Pada proses fermentasi selalu terjadi keseimbangan. Ada beberapa kandungan nutrisi yang meningkat, tetapi adapula yang mengalami penurunan, salah satunya adalah bahan kering.
Penyusutan bahan kering selama
fermentasi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Rataan penyusutan bahan kering (g) BISF pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda Tebal media (cm)
Penyusutan BK pada konsentrasi kapang (CFU/cc) 2.13x104 2.13x105 2.13x106 ………..……………….(g)………………………….
1 2 3
1.42 c 3.53 a 2.35 b
0.95 c 2.09 b 2.60 ab
1.42 c 3.57 a 1.75 c
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
Penguapan air pada proses fermentasi menyebabkan ternjadinya pengurangan bahan kering media. Penyusutan bahan kering terbanyak selama fermentasi terjadi pada kombinasi perlakuan S2D6 yakni 3.57 gram bahan kering dan terendah pada kombinasi perlakuan S1D5 yaitu 0.95 gram. Perlakuan S2D6 suhu puncak fermentasi dicapai pada umur fermentasi 72 jam, yakni mencapai 34.83 oC. Jadi sampai 72 jam umur fermentasi terjadi perombakan media BIS yang
dimanfaatkan
kapang
Trichoderma
reesei
sehingga
nutrisi
yang
dimanfaatkan akan menyebabkan penyusutan kandungan bahan kering pada akhir ferementasi.
67 Banyaknya penyusutan bahan kering (g) disebabkan pada proses fermentasi berlangsung kapang membutuhkan nutrisi seperti karbon, nitrogen, dan oksigen yang terdapat pada BIS. Kapang akan memanfaatkan nutrisi pada media berdasarkan mudah atau sulitnya bahan tersebut dirombak. Bahan yang sulit didegradasi, akan mendapat giliran paling akhir setelah nutrisi yang ada pada media dimanfaatkan. Selama fermentasi terjadi perombakan nutrisi dan hal ini dibuktikan dengan kehilangan air metabolik melalui penguapan cukup banyak, bahan kering, timbulnya gas-gas seperti amoniak, dan CO2. 4. Kandungan Protein Kasar. Kandungan protein kasar BISF pada konsentrasi kapang dan ketebalan media yang berbeda disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rataan kandungan protein kasar (%) BISF pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda Konsentrasi kapang (CFU/cc) 4
2.13x10 2.13x 105 2.13x 106 …………………………………………..(%) ………………………………………. 24.37 ± 0.79 a 23.39 ± 1.03 b 23.78 ± 0.47 b Tebal Media (cm) 1 2 3 …………………………………………..(%) ………………………………………. 24.30 ± 0.73 A 24.06 ± 0.74 A 23.19 ± 0.68 B Ket : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda dalam baris yang sama atau huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
Faktor konsentrasi kapang dan ketebalan media berpengaruh nyata terhadap kandungan protein kasar BISF (p<0.05). Tidak terjadi interaksi antara konsentrasi kapang dan ketebalan media terhadap kandungan protein kasar (p>0.05). Disini terlihat bahwa kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada konsentrasi kapang 106 CFU/cc. Hal ini dapat dimaklumi bahwa semakin banyak konsentrasi kapang maka kemungkinan pertumbuhan kapang pada media BIS akan lebih besar. Dilihat dari ketebalan media terlihat bahwa pada ketebalan media 1 cm dan 2 cm berbeda nyata (p<0.05) dengan ketebalan media 3 cm. Diantara ketebalan media 1 dan 2 cm tidak menunjukkan adanya perbedaan kandungan protein kasar. Hal ini menunjukkan bahwa kapang Trichoderma reesei mampu melakukan fermentasi BIS hingga ketebalan 2 cm. Pada
68 ketebalan media 2 cm diperoleh kandungan protein kasar tertinggi (24.31%). Pada ketebalan media 3 cm, kapang tidak dapat menjangkau bagian bawah sehingga tidak seluruhnya dapat dirombak dengan sempurna. Kandungan protein kasar BIS pada penelitian Tahap I diperoleh 16.5%, apabila kita bandingkan dengan protein kasar BISF pada Tabel 20 yang berkisar 23.39–24.37%, terjadi peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan nilai nutrisi seperti ini yang diharapkan pada setiap proses pengolahan pakan. Kandungan protein kasar BIS hasil fermentasi dengan kapang Trichoderma reesei ini masih di bawah kandungan protein BIS yang difermentasi dengan inokulat Trichoderma koningii selama 21 hari yang mencapai 31.27%, serat kasar 14.51%, lemak kasar 3.36% dan bahan kering 93.33% (Keong 2004). 5. Kandungan Neutral Detergent Fiber (NDF) Secara umum fermentasi dapat menyebabkan peningkatan kandungan serat kasar, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang banyak mengandung serat kasar, serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya (Shurtleff & Aoyagi 1979). Rataan kandungan NDF pada BISF diperlihatkan pada Tabel 22. Tabel 22 Rataan kandungan NDF(%) BISF pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda Tebal media (cm)
Kandungan NDF pada konsentrasi kapang berbeda (CFU/cc) 2.13x105 2.13x106 2.13x104 ………….………..…………(%)…….………………………….
1 2 3
66.38 ± 1.21 b 66.66 ± 1.32 b 65.83 ± 1.65 b
59.42 ± 1.60 cd 61.37 ± 0.90 cd 63.18 ± 1.04 c
58.57 ± 0.76 d 72.42 ± 1.53 a 68.61 ± 0,56 a
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
Ketebalan media dan konsentrasi kapang berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan NDF. Terdapat interaksi antara tebal media dengan konsentrasi kapang terhadap kandungan NDF. Hal ini berarti terdapat hubungan yang erat antara konsentrasi kapang dan tebal media BIS terhadap kandungan NDF BISF. Semakin tebal media BIS kandungan NDF semakin tinggi, namun sebaliknya semakin tinggi konsentrasi kapang, maka kandungan NDF cenderung menurun kecuali pada S2D6 dan S3D6.
69 Kandungan NDF tertinggi diperoleh pada perlakuan S2D6 yakni 72.42% dan terendah pada perlakuan S1D6 yaitu 58.57%. Menurut Daud (1995) kandungan NDF di atas 52% mengindikasikan bahwa tinggi akan komponen dinding
sel.
Semakin
tinggi
kandungan
dinding
sel,
semakin
rendah
kecernaannya (Daud 1995). Menurut Chong et al. (1998), kandungan NDF dari BIS
70.07% (67.95–
74.25%), artinya terjadi peningkatan nilai NDF BISF pada perlakuan S2D6 sebesar 2.35%, namun semua perlakuan lainnya terjadi penurunan nilai NDF. Penurunan NDF tertinggi terjadi pada perlakuan S1D6 yang mencapai 11.5%. Hal ini berarti bahwa pada kapang Trichoderma reesei mampu mendegradasi dinding sel BIS dengan memproduksi enzim yang mampu menghidrolisis dinding sel (mannanase, selulase dan β-glukosidase), menjadi oligosakarida dan monosakarida seperti manosa, glukosa, xylosa, dan galaktosa.
Hal ini sesuai
dengan pendapat Coulombel et al. (1981) bahwa enzim mannanase mentransfer satu unit mannosa dari mannooligosakarida ke mannobiosa. Pada perlakuan sebelum fermentasi, BIS dilakukan proses sterilisasi menggunakan autoklaf. Selain berfungsi untuk membunuh mikroba lain, juga proses ini adalah untuk melonggarkan ikatan serat pada BIS. Peningkatan suhu ini akan meningkatkan hidrolisis dinding sel. 6. Kandungan Acid Detergent Fiber (ADF) Kandungan ADF BISF diperlihatkan pada Tabel 23. Berdasarkan hasil penelitian Chong et al. (1998), kandungan ADF dari BIS adalah 43.08% (40.33– 45.65%). Nilai ADF BISF untuk semua perlakuan lebih tinggi dari nilai ADF BIS, kecuali perlakuan S1D6 yaitu 40.54%. ADF tertinggi diperoleh pada perlakuan S1D4 yaitu 53.00%. Tabel 23 Rataan kandungan ADF(%) BISF pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda Tebal media (cm)
Kandungan ADF pada konsentrasi kapang berbeda (CFU/cc) 2.13x105 2.13x106 2.13x104 ……………..………..……(%)………….……………………….…
1 2 3
53.00 ± 3.68 a 48.61 ± 0.78 bc 46.09 ± 0.65 c
45.27 ± 1.72 c 46.17 ± 1.79 c 49.26 ± 0.83 b
40.54 ± 4.88 d 49.45 ± 0.20 b 51.57 ± 0.98 a
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
70 Kandungan ADF menunjukkan dinding sel yang tidak larut dalam larutan asam. Kecernaanya lebih rendah dari hemiselulosa maupun selulosa. Kenaikan nilai ADF lebih banyak disebabkan komponen yang ada pada BIS yang tidak terdegradasi. Komponen serat dan nutrien yang mudah dicerna, dimanfaatkan lebih dulu oleh kapang dan yang tersisa adalah yang benar-benar tidak dapat dicerna, sehingga secara proporsional terjadi peningkatan nilai ADF. Hal ini diperkuat dengan nilai total gula terlarut terlarut pada BISF jauh lebih tinggi (2.38%) dibandingkan dengan total gula terlarut terlarut pada BIS (1.29%). Ini menunjukkan bahwa komponen serat yang memiliki daya cerna lebih baik, dimanfaatkan oleh kapang dalam proses fermentasi. 7. Kandungan Hemiselulosa Kandungan hemiselulosa BISF diperlihatkan pada Tabel 24. Kandungan hemiselulosa tertinggi diperoleh pada perlakuan S2D6 yaitu 23.39% dan terendah pada perlakuan S1D5 yaitu 12.15%. Chong et al. (1998) menyatakan bahwa hemiselulosa dari BIS 26.98% (22.57–30.46%). Hal ini berarti bahwa kandungan hemiselulosa BISF lebih rendah dari kandungan BIS. Tabel 24 Rataan kandungan hemiselulosa (%) BISF pada tebal media dan konsentrasi kapang yang berbeda Tebal media (cm)
Kandungan hemiselulosa pada konsentrasi kapang berbeda (CFU/cc) 2.13x104 2.13x105 2.13x106 ……….. ..………..….……..……(g)….…………………….…………
1 2 3
14.98 ± 2.97 cd 18.05 ± 1.06 b 19.74 ± 1.21 b
12.15 ± 1.42 d 15.20 ± 0.91 c 13.92 ± 1.02 d
18.03 ± 4.47 b 23.39 ± 1.64 a 17.04 ± 0.32 bc
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
Kombinasi semua ketebalan dengan konsentrasi kapang 105 CFU/cc (S1D5, S2D5 dan S3D5) kandungan hemiselulosanya cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadaria et al. (1998) yang menyatakan bahwa penurunan kandungan hemiselulosa
merupakan aktifitas enzim mannanase.
Aktifitas kapang pada waktu fermentasi lebih cenderung pada pembentukan selulosa daripada hemiselulosa.
Lebih lanjut Purwadaria et al. (1998)
menyatakan bahwa hemiselulosa (mannan) bersifat lebih terlarut daripada selulosa sehingga aktifitas penguraian mannanase lebih tinggi dari selullase.
71 Hemiselulosa adalah bagian dari dinding sel yang lebih mudah didegradasi dibandingkan selulosa dan lignin. Hemiselulosa tidak hanya terdiri dari homopolisakarida tetapi juga terdiri dari xylosa, mannosa, galaktosa, arabinosa dan glukosa (Puls & Poutanen 1981). 8. Penampilan Secara Visual Media BIS Selama Fermentasi a. Tampilan makroskopis Untuk penampilan makroskopis secara visual dari pertumbuhan kapang Trichoderma reesei diperlihatkan pada Tabel 25. Disini terlihat bahwa pada 24 jam pertama fermentasi belum terlihat pertumbuhan hifa kecuali perlakuan S2D4, S2D5 dan S2D6 hifa sudah mulai terlihat tipis. Pertumbuhan hifa yang merata pada permukan substrat terlihat setelah 72 jam. Bahkan warna permukan substrat yang ditumbuhi hifa berwana putih, sudah terlihat perubahan warna hijau muda. Pada 96 jam umur feermentasi, perubahan warna hijau menjadi hijau tua yang agak tebal terlihat pada hampir semua perlakuan kecuali S3D4, S3D5 dan S3D6. Hal ini kemungkinan besar karena ketebalan substrat yang mencapai 3 cm, belum sepenuhnya terfermentasi meskipun sudah mencapai 120 jam waktu fermentasinya. Tabel 25 Tampilan makroskopis kapang Trichoderma reesei pada media BIS selama fermentasi Perlakuan
Penampilan 24
48
72
S1 D4
Pertumbuh an hifa belum terlihat
Mulai tumbuh hifa tipis
hifa merata, belum sampai bagian bawah
S1 D5
Pertumbuh an hifa belum terlihat
Mulai tumbuh hifa tipis belum merata
S1 D6
Pertumbuh an hifa belum terlihat
Hifa hampir merata tipis
hifa merata, agak tebal belum sampai bagian bawah, warna hijau muda hifa merata, tebal, belum sampai bagian bawah, warna hijau muda
96
120
Hifa merata, warna hijau sampai bawah Hifa merata, tebal, warna hijau sampai bawah
Hifa hijau merata sampai bawah
Hifa merata, warna hijau tua sampai bawah
Hifa hijau tua, sangat tebal, merata sampai bawah
Hifa hijau merata dan tebal sampai bawah
72 S2 D4
Hifa terlihat tipis
Pertumbuh an hifa tidak merata
Hifa belum merata, warnsa hijau muda
S2 D5
Hifa terlihat tipis
Pertumbuh an hifa merata agak tipis
Hifa merata warna hijau muda
S2 D6
Hifa terlihat tipis
Pertumbuh an hifa merata agak tebal
Hifa merata warna hijau muda dan tebal
S3 D4
Pertumbuh an hifa belum terlihat
Belum terlihat pertumbuh an hifa
Hifa terlihat belum merata, warna hijau muda
Hifa merata, tidak tebal, warna hijau sampai bawah Hifa merata, tebal, warna hijau sampai bawah Hifa merata, tebal, warna hijau sampai bawah Hifa hijau tidak merata
Hifa hijau merata sampai bawah
Hifa hijau tua merata, tebal sampai bawah Hifa hijau tua merata, tebal sampai bawah
Hifa hijau tua merata, tebal tapi tidak sampai bawah S3 D5 Pertumbuh Pertumbuh hifa merata, Hifa hijau Hifa hijau an hifa an hifa agak tebal, merata tua belum merata tipis warna hijau hingga merata, terlihat muda separuh tebal tapi tebal tidak substrat sampai bawah S3 D6 Pertumbuh Pertumbuh hifa merata, Hifa hijau Hifa hijau an hifa an hifa agak tebal merata tua belum merata warna hijau tapi tidak merata, terlihat agak tebal muda sampai tebal bawah sampai ¾ bagian bawah Keterangan : Hasil pengamatan pertumbuhan kapang selama fermentasi (120 jam)
b. Tampilan Mikroskopis Penampilan BIS fermentasi secara mikroskopis dengan pembesaran 1000 kali bisa dilihat pada Gambar 14. Disini terlihat bahwa serat-serat bungkil inti sawit sudah terkoyak
dan terbuka. Hal ini menunjukkan
bahwa proses
fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei menyebabkan komponen serat BIS terhidrolisis menjadi bentuk yang lebih longgar dan terbuka. Pembesaran 1000 kali masih belum memperlihatkan perubahan pada komponen mannan. Berbeda halnya dengan penelitian Sabini et al. (2000) yang memperlihatkan
73 perubahan bentuk polisakarida mannan dengan menggunakan Transmission Electron Microscopy (TEM) Philips CM 200 CRYO. Pada mannan yang belum terdegradasi individu kristal memiliki rata-rata diagonal terpanjang 0.8 µm dan bagian yang terpendek 0.4 μm. Kristal memiliki bentuk morphologi platelet pada permukaan sedangkan setelah terdegradasi
kontur permukaan tidak jelas
namun masih memperlihatkan bentuk yang memanjang. Pada Gambar 16 terlihat bahwa kapang Trichoderma reesei
yang
berbentuk bulat dengan ukuran sekitar 2-3 μm menyelimuti sebagian besar komponen serat BIS. Di bagian lain kumpulan kapang berkumpul dan berbentuk seperti anggur.
Gambar 16 Penampilan mikroskopis bungkil inti sawit fermentasi yang berasal dari sumber produksi di Lampung menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan pembesaran 1000 kali Keterangan : menunjukkan koloni kapang Trichoderma reesei menunjukkan serat BIS yang terhidrolisis
Penelitian Tahap III : Degradasi Polisakarida Mannan BIS oleh kapang Trichoderma reesei 1. Total Gula Terlarut Pengukuran total gula terlarut dilakukan dengan menghitung total gula terlarut sebelum dan setelah fermentasi. Pengukuran ini memang tidak tertuju
74 pada gula tertentu, namun karena pada BIS tinggi akan mannan, maka diduga gula-gula monosakarida yang terukur menjadi indikasi terjadinya perombakan polisakarida. Nilai yang terukur pada spectrophotometer dengan λ 490 nm, diperoleh persamaan kurva standar Y = 0.0128x + 0.0077 dengan nilai r = 0,9857. Dengan persamaan ini diperoleh konsentrasi bahan dan selanjutnya dihitung kandungan total gula. Kandungan total gula pada BIS maupun BISF disajikan pada Tabel 26. Pada BISF kandungan total gula terlarut mencapai 2.38%. Menurut Knudsen (1996) fraksi NSP dari PKC mengandung 16 g manosa/kg dan 3 g galaktosa/kg. Imbangan galaktosa dengan mannose dapat mempengaruhi terhadap kelarutan bahan bakan, karena mannan murni umumnya sukar larut sedangkan galaktosa mudah larut. Tabel 26 Kandungan total gula terlarut BIS dan BISF Kandungan total gula terlarut BIS
BISF
…………………………(%)….. …………………. 1.29
2.38
Bila dibandingkan dengan nilai total gula pada BIS yang mencapai 1.29%, terjadi peningkatan nilai total gula 84.5%. Hal ini diduga bahwa terjadi proses degradasi polisakarida mannan. Hal ini sesuai pendapat Sabini et al. (2000)
yang
menyatakan
bahwa
kapang
Trichoderma
reesei
mampu
mendegradasi polisakarida mannan menjadi mannotriosa, mannobiosa dan mannosa. Nilai total gula terlarut ini masih lebih rendah dari hasil penelitian Daud dan Jarvis (1993) dimana produksi gula terlarut dari BIS yang didegradasi dengan enzim driselase menghasilkan 5.30% gula terlarut pada waktu inkubasi 4 jam, dan 6.20% dengan waktu inkubasi 12 jam.
2. Kandungan Mannan pada BIS dan BISF Kandungan mannan pada BIS maupun BISF diukur untuk menentukan perlakuan tingkatan konsentrasi mannan dalam ransum perlakuan. Pengukuran kandungan mannan menggunakan LC-MS. Alat ini cukup sensitif karena mampu mendeteksi komponen lain yang terdapat dalam sampel dengan berpatokan
75 pada berat molekulnya. Kandungan mannan pada BIS dan BISF baik pada bahan pakan maupun feses disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Kandungan mannan pada sampel bahan BIS dan BISF serta pada feses Jenis Sampel BIS BISF Feses BIS Feses BISF
Waktu retensi 3.78-3.82 3.84-3.88 3.75-4.19 4.07-4.11
Persen intensitas (%) 24 13 22 9
Kandungan mannan (ppm) 1 532.16 829.92 1 404.48 574.56
Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kandungan mannan pada BIS sebesar 1 532.16 ppm. Hal ini berarti kandungan mannan yang diperoleh (terekstrak) lebih sedikit dari yang diperoleh oleh Jackson (2002) bahwa kandungan mannan pada BIS
diperkirakan 30-35%.
Polisakarida mannan
sebetulnya terbagi atas mannan murni, galaktomannan, glukomannan dan galaktoglukomannan. Mannan murni merupakan polimer dari mannosa dimana mengandung lebih dari 95% mannosa. Terdapat 2 tipe mannan yaitu mannan tipe A yang memiliki bentuk high crystalline dan berat molekul yang rendah sedangkan tipe B memiliki bentuk low crystalline dan berat molekul yang tinggi (Warren 1996). Kandungan mannan pada BIS tidak dibedakan tipenya. Adapun kandungan mannan pada BISF 829.92 ppm. Terjadi penurunan kandungan mannan yang cukup besar. Pada tahap inipun dilakukan pengukuran kandungan mannan pada feses ayam pedaging yang diberi BIS maupun BISF. Kandungan mannan pada feses ayam yang diberi BIS diperoleh 1 404.48 ppm sedangkan pada feses ayam yang diberi BISF diperoleh mannan 574.56 ppm. Penurunan kandungan mannan erat kaitannya dengan tingkat degradasi mannan sewaktu terjadinya proses fermentasi. Antheunisse (1979) menyatakan bahwa degradasi serat oleh kapang
dimulai dari penetrasi hifa kedalam sel
luminae dan diteruskan dengan merombak lapisan-lapisan dari dinding sel. Perubahan kandungan mannan pada sampel bahan BIS dan BISF dengan kandungan mannan pada feses erat kaitannya dengan kecernaan mannan pada tubuh ayam pedaging. 3. Kecernaan Mannan Pengukuran hasil degradasi mannan dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana proses fermentasi dapat menurunkan kandungan mannan BIS.
76 Demikian pula halnya dengan kecernaan BIS maupun BISF pada ayam pedaging. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan kecernaan atau tidak, antara BIS dengan BISF. Hasil degradasi mannan pada BIS dan BISF disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Degradasi dan kecernaan mannan pada BIS dan BISF No
Uraian
1 2 3
Degradasi mannan pada fermentasi Kecernaan mannan BIS Kecernaan mannan BISF
Perubahan kandungan mannan (ppm) (%) 703.16 45.83 127.68 8.33 255.36 30.68
Berdasarkan data pada Tabel 28 terlihat bahwa kandungan hasil degradasi mannan BIS pada proses fermentasi adalah 703.16 ppm atau terjadi penurunan kandungan mannan BIS sebanyak 45.83%. Proses penurunan ini disebabkan terdegradasinya komponen polisakarida mannan oleh kapang Trichoderma reesei menjadi komponen oligosakarida yang lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan pendapat Sabini et al. (2000) yang menggunakan kapang Trichoderma reesei untuk mendegradasi mannan ternyata bahwa mannan yang belum terdegradasi memiliki bentuk morphologi platelet dengan kontur yang jelas, dimana
crystal masing-masing individu memiliki rata-rata diagonal
terpanjang 0.8 µm dan bagian yang terpendek 0.4 μm. Setelah terdegradasi kontur permukaan tidak jelas namun masih memperlihatkan bentuk yang memanjang. Nattorp et al. (1999) melakukan pengukuran mannan yang terdegradasi dengan memberikan perlakuan suhu (160-220 oC) pada mannan dalam larutan. Parameter yang diukur cukup detail meliputi derajat polimerisasi terhadap 6 atom karbon. Selanjutnya dibuat persamaan matematis yang meliputi dua tahap, pertama hidrolisis secara acak pada ikatan-ikatan glikosidik, kedua degradasi dan pengurangan pada molekul yang masing-masing membutuhkan energi aktivasi 5 460 kal/mol dan 4 407 kal/mol. Kecernaan mannan
BIS pada ayam pedaging
cukup rendah yakni
mencapai 8.33%. Hal ini berarti bahwa ayam pedaging tidak cukup mampu untuk mendegradasi mannan pada BIS sehingga penggunaan BIS pada ayam pedaging ini jumlahnya sedikit karena keterbatasan nilai kecernaan mannan nya. Lebih jauh, unggas memiliki keterbatasan karena tidak mempunyai enzim yang mampu menghidrolisis polisakarida mannan dalam saluran pencernaannya.
77 Proses fermentasi BIS dengan kapang Trichoderma reesei ternyata mampu meningkatkan nilai kecernaan mannan nya. Hal ini terlihat dengan nilai kecernaan mannan BISF yang mencapai 30.68%. Meskipun tidak terlampau tinggi, akan tetapi jauh lebih baik apabila kita bandingkan dengan nilai kecernaan mannan dari BIS yang tidak difermentasi. Peningkatan nilai kecernaan mannan ini bukan disebabkan ayam mampu mencerna polisakarida mannan dalam tubuhnya, akan tetapi perlakuan selama proses fermentasi yang membuat nilai ketersediaan karbohidrat yang lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari nilai total gula terlarut dan nilai energi metabolisme sejati (TME) yang meningkat akibat proses hidrolisis pada mannan BIS terjadi dengan baik. Kecernaan mannnan yang meningkat menyebabkan ketersediaan biologis yang meningkat. 4. Energi Metabolisme Sejati Faktor yang mempengaruhi kandungan energi metabolisme suatu pakan adalah kandungan pati, serat kasar, lemak dan protein.
Selain dari bahan
makanan yang banyak mengandung vitamin B kompleks, kandungan energi metabolismenya akan meningkat karena vitamin B terlibat dalam proses metabolisme energi (Amrullah 2003). Nilai rataan beberapa peubah dalam pengukuran energi metabolisme disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Nilai rataan beberapa peubah dalam pengukuran energi metabolisme Peubah yang dihitung Energi bruto pakan (kkal/kg) Berat ekskreta (g) Energi bruto ekskreta (kkal/kg) Energi metabolisme semu (kkal/kg) Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (kkal/kg) Energi metabolisme sejati (kkal/kg) Energi metabolisme sejati terkoreksi nitrogen (kkal/kg)
Jenis sampel BIS BISF 3 968 ± 145.60 b 4 100 ± 201.80 a 22.77 ± 2.29 a 23.11 ± 2.52 a 3 433 ± 285.60 a 3 436 ± 72.20 a 1 730.65 ± 331.91 b 1 836.96 ± 201.30 a 3 117.87 ± 148.21 b
3 276.29 ± 144.80 a
1 824.13 ± 205.81 b
1 930.44 ± 43.10 a
1 816.72 ± 208.27 b
1 924.69 ± 40.90 a
Tabel 29 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan energi bruto pakan BISF nyata lebih tinggi (p<0.05) dari energi bruto BIS. Demikian pula halnya kandungan energi metabolisme semu, energi metabolisme semu terkoreksi N dan energi metabolisme sejati,
baik yang terkoreksi N maupun
78 tidak, ternyata pada BISF lebih tinggi bila dibandingkan dengan BIS. Hal ini membuktikan bahwa dengan fermentasi menggunakan kapang Trichoderma reesei mampu meningkatkan kandungan energi metabolisme semu maupun energi metabolisme sejati. Berdasarkan hasil penelitian Chong et al. (1998) kandungan TME pada BIS yang diperoleh dengan screw pressed adalah 2 900 Kkal/kg, sedangkan yang BIS diperoleh dengan solvent extracted adalah 2 874 Kkal/kg. Terdapat hubungan yang positif antara kandungan energi metabolisme sejati dengan total gula terlarut. Semakin tinggi kandungan TME suatu bahan pakan, maka kandungan total gula terlarutnya pun tinggi. 5. Retensi Nitrogen Semu Berdasarkan hasil uji t test,
ternyata protein kasar feses pada ayam
yang diberi BISF (33.67%) lebih tinggi dibanding BIS (28.54%), demikian pula halnya dengan konsumsi protein ayam yang diberi BISF (11.79 g) lebih tinggi dari ayam yang diberi BIS (9.99 g). Namun ekskresi protein terkoreksi, retensi protein terkoreksi, pada ayam yang diberi BISF jauh lebih tinggi dibanding dengan ayam yang diberi BIS sehingga mempengaruhi terhadap retensi nitrogen semu, yaitu pada ayam yang diberi bahan pakan BISF memberikan nilai retensi nitrogen semu yang lebih rendah dibanding ayam yang diberi BIS.
Secara
lengkap data retensi nitrogen dan peubah yang mendukung lainnya disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai rataan beberapa peubah dalam retensi nitrogen semu Peubah yang dihitung Protein kasar feses (%) Konsumsi protein (g) Ekskresi protein endogenus (g/ekor) Ekskresi protein terkoreksi (g/ekor) Retensi protein terkoreksi (g/ekor) Konsumsi nitrogen (g) Ekskresi nitrogen endogenus (g) Ekskresi nitrogen (g) Retensi nitrogen semu (%)
Perlakuan BIS BISF 28.54 ± 0.06 a 33.67 ± 0.01 b 9.99 ± 2.16 b 11.79 ± 0.47 a 2.42 ± 0.17 a 2.42 ± 0.17 a 4.45 ± 0.85 a 5.85 ± 1.08 a 7.96 ± 0.35 a 8.36 ± 0.08 a 1.60 ± 0.14 a 1.89 ± 0.17 a 0.39 ± 0.35 a 0.39 ± 0.35 a 1.10 ± 0.12 a 1.32 ± 0.23 a 55.63 ± 6.35 a 50.79 ± 7.42 b
Menurunnya nilai retensi nitrogen mengindikasikan semakin banyak nitrogen yang tertahan di dalam tubuh ayam atau banyaknya nitrogen endogenous yang terbuang lewat ekskreta. Diduga bahwa meskipun BISF tinggi protein kasarnya namun sulit dicerna karena protein kapang tinggi nukleotidnya.
79 Selain dari itu pada proses fermentasi digunakan larutan nutrien untuk pertumbuhan kapang. Salah satunya adalah NH4NO3 sebanyak 0.5%. Diduga bahwa NH4NO3 yang diberikan dalam bentuk larutan tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh kapang Trichoderma reesei sehingga terdapat residu NH4NO3 yang pada analisa proksimat termasuk kedalam protein kasar padahal sebetulnya adalah non protein nitrogen (NPN). Hal ini terlihat dari nilai retensi nitrogen yang lebih rendah, karena memang ayam pedaging tidak dapat memanfaatkan NPN.
Penelitian Tahap IV : Pengaruh Tingkat BIS dan BISF dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Pedaging Penelitian ini dimulai pada umur ayam 7 hari. Selama 1 minggu pertama dilakukan masa adaptasi dengan menggunakan ransum komersial dan secara bertahap dilakukan pencampuran dengan ransum penelitian,
yang sesuai
perlakuan mulai dari 25% : 75%, 50% : 50% dan 75% : 25%. Adapun ransum komersial yang diberikan adalah ransum Superfeed kode MR-1 berbentuk crumble yang diproduksi oleh PT. Cheil Jedang Superfeed, Serang Banten. Adapun komposisi ransum starter sebagai berikut : kadar air 12%, protein kasar 22%, lemak kasar 6%, serat kasar 4%, abu 6.5%, calsium 0.9 -1.2%, phosfor 0.7-0.9%. 1. Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Rataan bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan serta hasil uji kontras orthogonal dapat dirangkum dalam Tabel 31. Rataan bobot badan akhir ayam yang diberi ransum yang mengandung BIS maupun BISF adalah 1 440.86 gram yang nyata (p<0.05) lebih rendah dari ransum kontrol (R0) yaitu 1 687.36 gram. Secara umum ransum yang mengandung BIS masih belum menyamai ransum kontrol, hal ini disebabkan meskipun ransum dalam keadaan isoprotein dan isokalori namun BIS belum sepenuhnya menggantikan bungkil kedele karena komposisi asam amino bungkil kedele lebih seimbang dibanding BIS. Uji banding antara bobot badan akhir ayam yang diberi ransum BIS (rataan R1, R2 dan R3 = 1 384.86 gram), nyata
(p<0.05) lebih rendah
dibandingkan ayam yang diberi BISF (R4, R5 dan R6 = 1 496.86 gram). Hal ini memberikan petunjuk bahwa penggunaan BISF dari segi memberikan manfaat.
bobot badan akhir
80 Tabel 31 Rataan bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan (g) ayam pedaging umur pemeliharaan 7-42 hari Perlakuan
Bobot badan akhir
Pertambahan bobot badan
……………….…………( g )…..……………………….. R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
1 687 ± 84.91 1 491 ± 83.11 1 464 ± 103.25 1 198 ± 85.50 1 511 ± 71.67 1 641 ± 21.95 1 338 ± 112.43
Signifikansi R0 vs R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 vs R4,R5,R6
1 558 ± 89.77 1 364 ± 77.61 1 338 ± 97.97 1 081 ± 91.56 1 373 ± 71.30 1 479 ± 31.90 1 210 ± 112.90
(1 687 vs 1 440) (p=0.0001)** (1 384 vs 1 496) (p=0.001)**
(1 588 vs 1 321) (p=0.0001) ** (1 258 vs 1 383) (p=0.006)**
(p=0.0001) **
(p=0.0001) **
(p=0.0001)**
(p=0.0004)**
BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p< 0.01) * berbeda nyata (p<0.05)
Kurva perbandingan tingkat penggunaan BIS maupun BISF
terhadap
bobot badan akhir disajikan pada Gambar 17. Berdasarkan analisis uji polynomial orthogonal diperoleh hasil bahwa peningkatan penggunaan BIS pada ransum memberikan respon penurunan bobot badan akhir secara linier dengan persamaan Y = -29.378x + 1 825.5. 2000 2
Bobot Badan Akhir (g)
y = -8,6566x + 242,42x - 47,413 1600
1200
y = -29,378x + 1825,5
Kurva Linier BIS Kurva Kuadratik BISF
800
400
0 10
15
20
Tingkat Penggunaan (%)
Gambar 17 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap bobot akhir ayam pedaging
81 Respon penggunaan BISF terhadap bobot badan akhir berbentuk kurva kuadratik, mengikuti persamaan Y = -8.6566x2 + 242.42x – 47.413. Pemberian BISF yang optimum adalah pada tingkat penggunaan 14.01% dan dapat memberikan bobot badan akhir 1 649 gram. Secara lengkap gambaran kurva pertambahan bobot badan ayam pedaging dengan tingkat penggunaan BIS maupun BISF dalam ransum diperlihatkan pada Gambar 18. 1600 Pertambahan Bobot Badan (g)
2
y = -7,7151x + 218,98x - 36,421
1500 1400 1300
y = -28,484x + 1685,5
1200 1100 1000
Kurva Kuadratik BISF Kurva Linier BIS
900 800 10
15
20
Tingkat Penggunaan dalam Ransum (%)
Gambar 18 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging Rataan pertambahan bobot badan ayam yang diberi ransum yang mengandung BIS maupun BISF adalah 1 321 gram yang nyata (p<0.05) lebih rendah dari ransum kontrol (R0) yaitu 1 588 gram. Uji banding rataan pertambahan bobot badan ayam yang diberi ransum BIS (rataan R1, R2 dan R3 = 1 258 gram), nyata lebih rendah dibandingkan ayam yang diberi ransum, yang mengandung BISF (rataan R4, R5 dan R6 = 1 383 gram). Hal ini memberikan petunjuk bahwa penggunaan BISF memberikan manfaat peningkatan pertambahan bobot badan. Berdasarkan analisis uji polynomial orthogonal diperoleh hasil bahwa peningkatan penggunaan BIS pada ransum akan dapat memberikan respon penurunan pertambahan bobot badan secara linier dengan persamaan Y = -28.484x + 1 685.5. Respon penggunaan BISF terhadap pertambahan bobot badan berbentuk kurva kuadratik, mengikuti persamaan Y = -7.7151x2 + 218.98x
82 -36.421. Pemberian BISF yang optimum adalah pada tingkat penggunaan 14.19% dan dapat memberikan bobot badan akhir 1 517 gram. Dilihat dari komposisi ransum, kandungan polisakarida mannan pada perlakuan R3 adalah yang paling tinggi yakni 3 064.32 ppm. Semakin tinggi penggunaan BIS tanpa pengolahan, semakin tinggi kandungan polisakarida mannannya. Diduga hal ini akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Tangendjaja dan Patttyusra (1993) yang
menyatakan
bahwa
penggunaan
10%
BIS
dapat
menyebabkan
pertambahan bobot badan lebih rendah daripada kontrol. 2. Konsumsi dan Konversi Ransum Rataan konsumsi dan konversi ransum serta hasil uji kontras orthogonal dapat dirangkum dalam Tabel 32. Tabel 32 Rataan konsumsi (g) dan konversi ransum ayam pedaging selama pemeliharaan 7-42 hari Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6 Signifikansi R0 vs R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 vs R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
Konsumsi ransum (g) 2 634 ± 126.22 2 315 ± 81.56 2 250 ± 66.56 1 972 ± 85.72 2 166 ± 95.69 2 614 ± 57.22 2 114 ± 38.28
Konversi ransum 1.69 ± 0.10 1.70 ± 0.09 1.68 ± 0.12 1.87 ± 0.08 1.57 ± 0.15 1.72 ± 0.05 1.68 ± 0.09
(2 634 vs 2 233) (p=0.0001) ** (2 200 vs 2 265) (p=0.0005) **
(1.69 vs 1.70) (p=0.8399) (1.74 vs 1.66) (p=0.0456) *
(p=0.001)**
(p=0.0576)
(p=0.0001)**
(p=0.0975)
Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p< 0.01) * berbeda nyata (p<0.05)
Rataan konsumsi ransum ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung BIS maupun BISF adalah 2 233 gram yang nyata (p<0.05) lebih rendah dari ransum kontrol (R0) yaitu 2 634 gram. Secara umum ransum yang mengandung BIS maupun BISF masih belum menyamai ransum kontrol. Menurut Supriyati et al. (1998), meskipun proses fermentasi dapat menurunkan kandungan serat kasar dan meningkatkan kandungan gizinya, rendahnya batas
83 penggunaan BISF dalam ransum ayam broiler mungkin terkait dengan adanya asam nukleat dan dinding sel mikroorganisme yang dihasilkan di dalam bahan tersebut selama proses fermentasi. Kompiang et al. (1994) melaporkan hal yang sama pada pemberian singkong fermentasi dalam ransum pada ayam pedaging. Uji banding antara konsumsi ransum ayam pedaging yang diberi ransum BIS (rataan R1, R2 dan R3 = 2 200
gram), nyata (p<0.05) lebih rendah
dibandingkan ayam yang diberi ransum BISF (rataan R4, R5 dan R6 = 2 265 gram). Hal ini memberikan petunjuk bahwa penggunaan BISF memberikan manfaat peningkatan bobot badan akhir. Kurva perbandingan tingkat penggunaan BIS maupun BISF
terhadap
konsumsi ransum disajikan pada Gambar 19. Berdasarkan analisis uji polynomial orthogonal diperoleh hasil bahwa peningkatan penggunaan BIS pada ransum akan dapat memberikan respon penurunan konsumsi ransum
secara linier
dengan persamaan Y = -38.36x + 2776.2 dengan nilai. Penurunan konsumsi ransum disebabkan sifat BIS yang memiliki tekstur kering dan gritty, sehingga menyulitkan ayam dalam membuang feses. Menurut Kumar et al. (1997) polisakarida mannan dapat dikatagorikan sebagai anti nutritional factor karena dapat meningkatkan viskositas dari pakan karenanya memiliki tingkat penyerapan air yang tinggi. Hal itulah yang menyebabkan ayam mengalami kesulitas dalam proses defekasi. Selain itu menurut Cadogan et al. (1999) konsumsi ransum memiliki korelasi negatif
dengan persentase
kandungan polisakarida bukan pati dalam ransum. Semakin tinggi kandungan BIS dalam ransum maka kandungan NSP nya semakin tinggi dan akan mengurangi konsumsi ransum. Komponen polisakarida non pati atau NSP (Non Starch
Polisaccharides)
antara
lain
hemiselulosa,
dalam
bahan
akan
menghalangi proses penyerapan karbohidrat, asam amino dan mineral dalam usus yang mempunyai efek penghalang (protective box effect) (Vranjes dan Wenk 1995). Lebih jauh
Hew dan Jalaludin (1996) pun menyarankan
penggunaan BIS dalam ransum ayam pedaging maksimum 15%. Respon penggunaan BISF terhadap konsumsi ransum berbentuk kurva kuadratik, mengikuti persamaan Y = -13.75x2 + 399.33x - 311.76. Pemberian BISF yang optimum adalah pada tingkat penggunaan 14.3% dan dapat mencapai konsumsi ransum 2 686 gram.
84 3000 2
y = -13,75x + 393,33x - 311,76
Konsumsi Ransum (g)
2500 2000
y = -38,36x + 2776,2
1500 1000
Kurva Linier BIS Kurva Kuadratik BISF
500 0 10
15
20
Tingkat Penggunaan dalam Ransum (%)
Gambar 19 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap konsumsi ransum ayam pedaging Konsumsi ransum berkaitan erat dengan pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Zat nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan diperoleh dari ransum yang dikonsumsi. Secara umum, semakin banyak ransum yang dikonsumsi maka pertumbuhan akan semakin baik. Terdapat kesesuaian antara konsumsi ransum dengan bobot badan akhir dimana ayam pedaging perlakuan R0 yang mengkonsumsi ransum tertinggi diperoleh bobot badan tertinggi pula. Rataan konversi ransum ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung BIS maupun BISF adalah 1.70, tidak berbeda (p>0.05) dari ransum kontrol (R0) yaitu 1.69. Secara umum ransum yang mengandung BIS maupun BISF menyamai konversi ransum kontrol. Hal ini disebabkan meskipun respon rataan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan ayam pedaging yang diberi perlakuan penggunaan BIS maupun BISF nyata lebih rendah dari kontrol, namun
secara
proporsional
(perbandingan
konsumsi
ransum
dengan
pertambahan bobot badan) tidak berbeda, disini terjadi keseimbangan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertumbuhan yang dihasilkan. Uji banding antara konversi ransum ayam yang diberi ransum BIS (rataan R1, R2 dan R3 = 1.74), nyata lebih tinggi dibandingkan ayam yang diberi ransum BISF (rataan R4, R5 dan R6 = 1.663). Hal ini memberikan petunjuk bahwa penggunaan BISF dari segi
konversi ransum
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan ransum.
memberikan manfaat
85 Dilihat dari segi peningkatan nilai nutrisi BISF yang meliputi kandungan protein kasar, total gula, energi metabolisme sejati dan kecernaan mannan yang makin meningkat, namun tidak diiringi dengan retensi nitrogen yang meningkat. Pada tingkat tertentu menyebabkan terganggunya keseimbangan pertumbuhan ayam. Hal ini diperlihatkan dengan konversi ransum yang tidak mengungguli ransum kontrol, namun sebatas tidak berbeda dengan ransum kontrol. Respon penambahan penggunaan BIS pada ransum ayam pedaging terhadap konversi ransum tidak dapat digambarkan dalam bentuk kurva linier maupun kuadratik. Begitu pula halnya dengan respon penggunaan BISF terhadap konversi ransum, juga tidak menunjukkan kurva yang tepat baik itu kurva linier maupun kuadratik, sehingga tingkat pemberian BISF yang optimum pun tidak diperoleh. 3. Persentase Bobot Karkas Rataan persentase bobot karkas serta hasil uji kontras orthogonal dapat dirangkum dalam Tabel 33. Tabel 33 Rataan bobot karkas (g) dan persentase (%) bobot karkas ayam daging umur pemeliharaan 7-42 hari Perlakuan
Bobot karkas (g)
R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
1 323 ± 120.69 1 100 ± 95.96 1 047 ± 126.70 830 ± 59.52 1 143 ± 75.76 1 229 ± 40.73 966 ± 20.12
Signifikansi R0 vs R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 vs R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
Persentase bobot karkas (%) 75.69 ± 1.09 72.43 ± 1.88 70.36 ± 2.50 68.71 ± 1.40 73.31 ± 1.42 74.63 ± 2.02 70.32 ± 3.18 (75.69 vs 71.63) (p=0.0003) ** (70.5 vs 72.75) (p=0.005) ** (p=0.007)**
(p=0.0176)*
Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p< 0.01) * berbeda nyata (p<0.05)
Rataan persentase bobot karkas ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung BIS maupun BISF adalah 71.63% yang nyata (p<0.05) lebih rendah dari ransum kontrol (R0) yaitu 75.69%.
86 Uji banding antara persentase bobot karkas ayam yang diberi ransum BIS (rataan R1, R2 dan R3 = 70.5%), nyata (p<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang diberi ransum BISF (rataan R4, R5 dan R6 = 72.75%). Hal ini memberikan petunjuk bahwa penggunaan BISF memberikan manfaat yang lebih baik dalam meningkatkan persentase bobot karkas. Dilihat dari data persentase bobot karkas yang berkisar 68.71–75.69%. Menurut Rose (1997) karkas broiler yang disebut eviscerated carcass merupakan 73.7% dari bobot hidup. Adapun menurut Siregar et al. (1982) ratarata bobot karkas ayam pedaging berkisar antara 67–75%. Produksi karkas erat hubungannya dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti dengan peningkatan bobot karkas. Dilihat dari data bobot badan akhir, terdapat kesesuaian antara bobot akhir tertinggi (R0), maka persentase bobot karkasnya pun paling tinggi. Peneliti lain McNally dan Spicknall (1975) menyatakan bahwa persentase karkas seekor ternak dipengaruhi terutama oleh bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi fisik. Kurva respon perlakuan tingkat penggunaan BIS maupun BISF terhadap persentase karkas disajikan pada Gambar 20.
76 2
y = -0,1126x + 3,079x + 53,78
Persentase Karkas (%)
75 74 73
Kurva Kuadratik BISF Kurva Linier BIS
y = -0,372x + 76,08
72 71 70 69 68 10
15
20
Tingkat Penggunaan dalam Ransum (%)
Gambar 20 Kurva perbandingan perlakuan berbagai tingkat BIS dan BISF terhadap persentase bobot karkas ayam pedaging Respon penggunaan BIS pada ransum ayam pedaging terhadap persentase bobot karkas dapat digambarkan dalam bentuk kurva linier dengan persamaan Y = -0.372x + 76.08. Respon penggunaan BISF terhadap persentase
87 bobot karkas dapat digambarkan dalam bentuk kurva kuadratik dengan persamaan Y = -0.1126x2 + 3.079X + 53.78. Penggunaan BISF yang optimum dicapai pada tingkat penggunaan 13.67% dalam ransum dengan persentase karkas sebesar 74.83%. Mountney (1976) menyatakan bahwa penentuan berat hidup ayam tidak seakurat penentuan berat karkas, sebab tubuh ayam tertutup oleh bulu-bulu ayam. Terdapat hubungan yang erat antara bobot hidup dengan bobot karkas yakni semakin berat bobot hidup maka bobot karkasnya pun semakin besar. Pada penelitian Ketaren et al. (1999), penggunaan BIS
maupun BISF tidak
menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap persentase karkas ayam yang dihasilkan tetapi pemberian BISF hingga 5% dapat menurunkan kadar lemak abdomen. 4. Mortalitas Data mortalitas yang diperoleh tidak menyebar normal dan hal ini berakibat pada nilai standar deviasi (SD) yang lebih tinggi dari nilai rataan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan
tingkat BIS dan
BISF tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas. Secara keseluruhan angka mortalitas semua perlakuan kurang dari 5%. Tabel 34 Mortalitas (%) ayam pedaging umur pemeliharaan 7-42 hari Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
Mortalitas (%) 4.0 0 0 0 0 0 2.0
Berdasarkan penelitian Lubis (1980) kematian ayam pedaging yang diberi BIS sebesar 8.3%, dan umumnya hal ini bukan disebabkan pengaruh pemberian BIS, akan tetapi terjepitnya ayam di sekat-sekat cages. Menurut North dan Bell (1990), pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang dari 5%. Angka kematian minggu pertama selama periode pertumbuhan tidak boleh lebih dari 10%, kematian pada minggu selanjutnya harus relatif rendah sampai hari terakhir minggu tersebut dan terus dalam keadaan konstan sampai berakhirnya periode pertumbuhan
88 Ayam yang mati sesegera mungkin dilakukan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematianya. Foto ayam yang dibedah dalam pemeriksaan pathologi anatomis diperlihatkan pada Gambar 21. Berdasarkan hasil patologi anatomis dari Laboratorium Histopatologi FKH IPB, ayam yang mati memiliki tanda-tanda luar sebagai berikut : muka lebam berwarna kebiru-biruan, bulu kusut dan kusam, badan masih hangat. Adapun setelah dibedah memiliki tandatanda sebagai berikut : terdapat perbarahan pada kedua sisi kiri dan kanan organ caecum, serta terdapat material kasar dan terlihat seperti sekam yang lebih lembut
pada
kedua
organ
caecum.
Berdasarkan
tanda-tanda
tersebut
disimpulkan bahwa kematian ayam bukan disebabkan penyakit tertentu, namun ayam memakan sekam dan ayam tidak dapat mencerna sekam. Hal ini terlihat dari sisa sekam yang tidak tercerna pada caecum yang terasa kasar dan menimbulkan luka pada caecum.
Gambar 21 Foto pathologi anatomis ayam yang mati dalam penelitian Berdasarkan hasil pathologis anatomis ternyata kematian pada ayam tidak disebabkan oleh ransum perlakuan. Ayam yang mati dari perlakuan kontrol (R0) yang dalam ransumnya sama sekali tidak mengandung BIS maupun BISF. Secara keseluruhan tingkat mortalitas masing masing perlakuan berada dibawah 5%. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen yang dilakukan pada penelitian ini yang meliputi pencegahan penyakit, vaksinasi, pemberian ransum dan air minum, pemberian vitamin dan anti stress, sanitasi kandang sudah cukup baik terbukti dengan tingkat mortalitas yang rendah. 5. Indeks Prestasi (IP) Hasil perhitungan IP dari masing-masing perlakuan terlihat pada Tabel 35. IP untuk ayam pedaging pada dasarnya merupakan nilai produksi
89 (penampilan) yang dihasilkan sebagai respon terhadap ransum yang dikonsumsi. Faktor penentu nilai IP pada ayam pedaging adalah : bobot hidup rata-rata, persentase ayam yang hidup, konversi ransum dan rata-rata umur panen. Semua perlakuan kecuali R3 dan R6 nilai IP nya di atas 200 yang merupakan standar minimal IP ayam pedaging (North & Bell 1990). Nilai IP dibawah 200 menunjukkan bahwa secara produksi tidak layak untuk diteruskan atau diusahakan. Hal ini berarti bahwa perlakuan 20% BIS mapun 20% BISF dalam ransum, secara produksi tidak layak untuk diusahakan. Tabel 35 Rataan indeks prestasi (IP) ayam pedaging selama pemeliharaan 7-42 hari Komponen Indeks Prestasi Rata-rata bobot akhir (kg/ekor)
R0 1.687
R1 1.491
R2 1.464
Perlakuan R3 1.198
R4 1.511
R5 1.641
R6 1.338
Persentase ayam hidup (%)
96
100
100
100
100
100
98
Umur panen (hr)
42
42
42
42
42
42
42
Rata-rata Konversi ransum
1.693
1.705
1.688
1.873
1.574
1.729
1.686
Indeks prestasi
227.76
208.21
206.50
152.29
228.56
225.98
185.17
6. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) Analisis ekonomi ditujukkan untuk melihat keuntungan dari pendapatan yang diterima dalam usaha budidaya ayam pedaging. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi. Harga ransum dihitung berdasarkan harga yang berlaku saat penelitian, sedangkan perbedaan harga ransum yang timbul ditentukan oleh persentase atau komposisi bahan penyusun ransum percobaan masing-masing perlakuan.
Nilai ekonomis ransum setiap
perlakuan dihitung sebagai biaya ransum per kilogram daging dihasilkan. Angka tersebut adalah hasil perkalian konversi ransum dengan harga ransum masingmasing perlakuan setiap kilogramnya. Berdasarkan Lampiran 32 terlihat bahwa urutan nilai IOFCC dari yang tertinggi hingga terendah adalah R0, R4, R5, R2, R1, R6 dan R3. Nilai IOFCC tertinggi diperoleh pada perlakuan ransum kontrol (R0) yakni Rp. 7 903.24/kg
90 dan terendah diperoleh pada perlakuan R3 yaitu Rp. 5 388.6/kg.
Hasil ini
memperlihatkan bahwa ransum BISF 10–15% memberikan nilai IOFCC cukup baik dibandingkan dengan ransum yang mengandung 10–15% BIS. Namun pada tingkat BISF 15% memberikan nilai IOFCC yang menurun, akan tetapi masih lebih bagus bila dibandingkandengan ransum perlakuan 15% BIS. Nilai IOFCC yang paling tinggi menunjukkan nilai keuntungan yang paling tinggi. Dengan semikian meskipun R4 dan R5 bukan yang paling menguntungkan, akan tetapi dari segi ekonomis termasuk yang mampu menyaingi ransum kontrol yang memiliki nilai IOFCC tertinggi. Nilai IOFCC memiliki keseuaian dengan IP, dimana pada nilai IP yang cukup tinggi yakni R4, R0 dan R5 hampir sama dengan nilai IOFCC yang cukup baik yakni R0, R4 dan R5. Demikian pula dengan yang perlakuan R3 dan R6 yang sama-sama memiliki nilai IOFCC dan IP yang rendah.
PEMBAHASAN UMUM Bungkil inti sawit (BIS) merupakan by product pengolahan Crude Palm Oil (CPO) yang diperoleh dari proses extraction maupun expeller. Pengolahan CPO yang berbeda sangat berpengaruh terhadap kualitas BIS. Kelebihan dari proses extraction adalah kandungan lignin dan serat kasar jauh lebih sedikit karena tempurung yang tercampur dalam BIS lebih sedikit, sedangkan pada proses expeller kandungan lemak kasar dan vitamin yang larut dalam lemak masih tinggi. Sifat fisik BIS yang biasa digunakan dalam pengujian pakan meliputi berat jenis (BJ), kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, sudut tumpukan, tingkat kehalusan, diameter bahan. Dari data sifat fisik ini, ada 2 hal yang dapat dimunculkan. Pertama adalah koefisien keragamannya bisa digunakan dalam klasifikasi keragaman sifat fisik BIS dari yang keragamannya tinggi, menengah hingga rendah. Kedua, diantara sifat fisik yang diperoleh dapat diketahui keeratan hubungannya, sehingga apabila memiliki waktu terebatas tidak perlu dilakukan semua uji, akan tetapi sifat-sifat fisik yang memiliki keeratan yang tinggi dapat diwakili dengan sifat lainnya. Sumber produksi BIS yang berbeda berpengaruh terhadap keragaman sifat fisik. Koefisien keragaman (%) sifat fisik BIS di bawah 5% adalah tingkat kehalusan, kerapatan tumpukan, daya ambang, dan kerapatan pemadatan tumpukan. Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman 5-10% meliputi berat jenis dan rataan diameter bahan. Sudut tumpukan merupakan sifat fisik BIS yang sangat beragam, karena
memiliki nilai keragaman di atas 10% yakni
12.79%. Sifat fisik bisa menjadi pendukung kualitas nutrisi BIS. Sehubungan dengan waktu dan efisiensi dalam pengujian, lebih diutamakan pada pengujian berat jenis karena memiliki hubungan erat dengan sifat daya ambang, kerapatan tumpukan, dan sudut tumpukan. Selain dari itu pengujian BJ dapat menduga ada atau tidaknya pemalsuan BIS, apabila hasil analisis nutrisi hasilnya meragukan. Pengelompokan keragaman sifat fisik BIS memang belum mewakili dari seluruh sumber produksi di Indonesia, terutama pada sumber produksi dengan prose chemical extraction yang jarang diusahakan dalam produksi BIS di Indonesia. Perlu dilakukan uji dari beberapa sumber produksi di seluruh Indonesia agar hasilnya bisa dijadikan standar BIS yang lebih lengkap.
92
Pertumbuhan kapang umumnya mengikuti
kurva sigmoid termasuk
Trichoderma reesei, yang membedakan adalah waktu pencapaian fase-fase pertumbuhannya. Fase akselerasi Trichoderma reesei dicapai pada umur inkubasi 24-30 jam, dengan jumlah optimum koloni 2.13x106 CFU/cc. Jumlah koloni Trichoderma reesei masih dibawah koloni optimum kapang Neurosphora sitophila yang juga mampu mendegradasi serat sawit yang mencapai 1.8x107 CFU/cc (Irawadi 1991). Jumlah optimum koloni sangat ditentukan oleh nutrisi yang tersedia pada media. Semakin lengkap nutrisi yang dibutuhkan mikroba tersedia pada media, semakin mudah dicapai optimum koloni. Pada umumnya limbah pertanian termasuk BIS miskin akan nutrisi yang dibutuhkan mikroba seperti
karbon
dan
nitrogen,
karenanya
untuk
pertumbuhan
optimum
ditambahkan nutrisi media NH4NO3, KCl, FeSO4 dan CuSO4, meskipun menurut Xiong (2004) untuk menstimulasi enzyme xylanase yang dihasilkan Trichoderma reesei lebih tepat digunakan ammonium sulfat. Diameter koloni kapang biasanya digunakan pada uji tantang mikroba terhadap material yang dapat menghambat laju pertumbuhan, dengan mengukur diameter zona beningnya. Pengukuran diameter koloni kapang secara langsung memiliki kesulitan tertutama dalam pengukuran pertumbuhan kapang yang tidak simetris (Santiago 2006). Hal ini terlihat dari kurva pertambahan diameter koloni kapang yang mengikuti kurva polinomial Y = 0.296x5 – 8.0053x4 + 81.019x3 – 375.19x2 + 759.29x – 455.13. Dengan persamaan seperti itu agak sulit untuk menentukan titik optimumnya. Pertumbuhan kapang Trichoderma reesei dilakukan pada temperatur awal 28 oC, sesuai dengan yang dilakukan oleh Haltrich et al.(1996) dan pH 5.94. pH pada semua perlakuan ketebalan media 1 cm penurunannya cukup lama yakni sampai 96 jam, adapun perlakuan lain umumnya berkisar 24-48 jam. Diduga bahwa pada ketebalan 1 cm kapang belum jenuh melakukan perombakan, sedangkan pada ketebalan media BIS 2 dan 3 cm sudah menuju proses akhir fermentasi. Namun pola perubahan pH ini berbeda dengan pola perubahan temperatur, dimana hampir seluruh perlakuan kecuali S3D5 mengikuti pola kenaikan
temperatur hingga umur fermentasi 72 jam kemudian turun
kembali hingga mencapai suhu akhir sedikit di atas suhu awal. Disini kita mendapat gambaran bahwa pada saat temperatur maksimum, penguapan air cukup tinggi. Karenanya penanganan penyerapan air harus diwaspadai sebelum
93
mencapai umur fermentasi 72 jam agar air tidak membasahi hifa yang dapat mengganggu pertumbuhan kapang. Fase akselerasi pertumbuhan kapang Trichoderma reesei terjadi mulai umur pertumbuhan 24-30 jam. Pada fase ini pertumbuhan hifa sangat cepat dan terlihat berwarna putih. Pada fase inilah inokulum yang digunakan dalam fermentasi pada BIS. Pertimbangannya adalah miselium kapang masih memungkinkan untuk berkembang
dengan kecepatan pertumbuhan paling
tinggi. Perlakuan tebal media dan dosis kapang tidak menunjukkan adanya interaksi terhadap kandungan protein. Menurut Xiong (2004) Trichoderma reesei merupakan salah satu kapang yang produktif dan mampu menghasilkan protein sampai tingkat 100g/l. Untuk mendapatkan hasil fermentasi yang optimum diperlukan dosis kapang dan tebal media yang tepat. Semakin tebal media fermentasi, semakin banyak dosis kapang yang diperlukan. Pada fermentasi BIS oleh
Trichoderma
reesei
ternyata
masing-masing
faktor
mempengaruhi
kandungan protein kasar tanpa terkait dengan faktor lain. Diduga kapang Trichoderma reesei tidak mampu menjangkau media BIS yang terlampau tebal (lebih dari 2 cm). Media yang terlampau tebal akan menyulitkan dalam sirkulasi udara (aerase system) proses fermentasi. Ketersediaan
BIS
dalam
jumlah
besar
menjadi
kendala
dalam
pengolahan dengan fermentasi, terutama menyangkut ketebalannya. Ketebalan media 1 cm akan sangat menyulitkan karena perlu tempat yang lebih luas, meskipun hasil fermentasi lebih merata. Ketebalan 3 cm membutuhkan tempat yang sedikit lebih, namun hasilnya tidak merata. Dengan hal tersebut perlu pemikiran kedepan pemanfaatan BIS dengan menggunakan kapang (fermentasi) dalam skala industri yang terintegrasi. Pada proses pengepresan BIS digunakan proses termal. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri dimana BIS yang akan difermentasi tidak perlu di autoklaf lagi dan langsung pencampuran inokulum dalam chamber yang besar dengan pengaturan pH dan suhu secara otomatis sehingga BIS tidak sempat terkontaminasi karena
langsung masuk kedalam
proses fermentasi. Retensi nitrogen semu pada BISF nyata lebih rendah dari BIS. Umumnya bahan pakan hasil pengolahan dengan fermentasi,
meskipun
tinggi protein
kasarnya namun sulit dicerna karena protein mikrobial tinggi asam nukleotid. Hal
94
ini berarti bahwa protein mikrobial dari fermentasi belum bisa mengoreksi kekurangan keseimbangan asam amino yang terdapat pada BISF walaupun terjadi peningkatan kandungan protein. Degradasi komponen serat terlihat dari kandungan hemiselulosa yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadaria (2002) yang menyatakan bahwa fermentasi dapat menurunkan kandungan hemiselulosa. Dilihat dari kelarutannya ternyata hemiselulosa yang mudah larut dibanding komponen serat lain seperti selulosa dan lignin (Purwadaria 2002). Proses fermentasi BIS sebagaimana dilakukan peneliti-peneliti lain dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik (Darwis 1991), kandungan protein (Ketaren 1999), energi metabolisme sejati, total gula terlarut (Xiong 2004), sebagaimana yang diperlihatkan pada percobaan Tahap ke-2 dan Tahap ke-4. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa fermentasi akan memberikan manfaat terutama dalam penurunan kandungan polisakarida mannan yang merupakan polimer dari mannosa. Uji
lebih
lanjut
manfaat
fermentasi
dilaksanakan
secara
invitro,
memperlihatkan bahwa penggunaan BISF dibandingkan dengan BIS mampu memperbaiki bobot badan akhir (8.09%), pertambahan bobot badan (9.98%), konsumsi ransum (2.93%), dan persentase bobot karkas (3.19%). Konsumsi ransum ayam pedaging yang diberi BIS lebih rendah dibanding perlakuan BISF.
Hal ini disebabkan sifat gritty BIS yang menyulitkan ayam
dalam membuang kotoran (defekasi). Kesulitan ayam dalam defekasi akan merangsang ayam lain untuk mematuk (Kanibalisme) kloaka ayam yang berwarna agak kemerahan. Selain dari itu, palatabilitas BIS yang rendah menyebabkan
ayam
menurunkan
konsumsinya,
terlebih
pada
tingkat
penggunaan BIS 20%. Fermentasi BIS (BISF) dapat meningkatkan palatabilitas, sehingga meningkatkan konsumsi ransum. Konversi ransum semua perlakuan tidak berbeda dengan kontrol, namun konversi ransum ayam pedaging yang diberi BISF nyata lebih rendah dibanding BIS (terjadi penurunan konversi ransum 4.64%. Pada ayam yang konsumsi ransumnya tinggi, diperoleh pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Namun dilihat dari konversi ransum ternyata tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga erat hubungannya dengan proses fisiologis ayam yang memiliki keseimbangan dalam pertumbuhan. Secara proporsional (perbandingan antara jumlah makanan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan) memiliki
95
keseimbangan pertumbuhan, baik pada ayam yang konsumsinya tinggi maupun yang rendah konsumsinya. Indeks prestasi (IP) ayam pedaging hampir seluruhnya di atas 200, kecuali perlakuan R3 dan R6. Hal ini berarti penggunaan BIS maupun BISF pada taraf 20%, secara produksi tidak layak untuk diusahakan. Nilai IP ini merupakan gabungan dari beberapa parameter penampilan produksi, sehingga
hasilnya
lebih tepat karena menyangkut berbagai aspek kecuali ekonomi. Aspek ekonomi digunakan penilaian IOFCC. Nilai IOFCC ini sebagai gambaran
keuntungan
kasar
yang
diperoleh.
Perlakuan
R5
mampu
mengimbangi keuntungan yang diperoleh dari perlakuan kontrol. Ada keterkaitan antara nilai IP dengan IOFCC. Ternyata perlakuan yang memiliki nilai IP rendah, nilai IOFCC nya pun paling rendah. Hal ini memperkuat bahwa perlakuan yang secara produksi tidak layak diusahakan (R3 dan R6), karena keuntungan yang diperoleh paling sedikit. Penggunaan BISF 15% dalam ransum
ayam pedaging mampu
menghasilkan respon yang terbaik dan menyamai respon ransum kontrol yang mutunya baik dengan harga lebih mahal. Akibat dari perbaikan mutu BIS melalui fermentasi baik pada komposisi nutrisi, ketersediaan energi maupun manfaat biologisnya tidak mengakibatkan mortalitas yang tinggi (di bawah 5%). Penggunaan BISF memberikan manfaat ekonomi yang ditunjukkan dengan nilai IOFCC yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan BIS. Dengan demikian penggunaan BISF memberi peluang dapat dimanfaatkan oleh industri pakan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Bungkil inti sawit (BIS) yang terpilih berasal dari Lampung memiliki sifat fisik berat jenis
1.359 g/ml, kerapatan tumpukan 0.582 g/ml, kerapatan
pemadatan tumpukan 0.693 g/ml, sudut tumpukan 29.71o, daya ambang 0.594 m/dt, tingkat kehalusan 4.773 MF, rataan diameter bahan 0.285 cm dan kandungan protein kasar 16.5%, serat kasar 24.22% dan energi metabolis 3 543 Kkal/kg. 2. Sifat fisik BIS yang memiliki koefisien keragaman di bawah 5% adalah tingkat kehalusan, kerapatan tumpukan, daya ambang, kerapatan pemadatan tumpukan, adapun yang memiliki koefisien keragaman 5-10% meliputi berat jenis dan rataan diameter bahan. Sifat fisik sudut tumpukan merupakan sifat fisik BIS yang sangat beragam, karena memiliki nilai keragaman 12.79%. 3. Pada fermentasi BIS oleh kapang Trichoderma reesei, hasil optimal diperoleh pada ketebalan media 2 cm dengan dosis kapang 2.13 x 106 CFU/cc. Fermentasi BIS oleh Trichoderma reesei menyebabkan kenaikan kandungan ADF, dan protein kasar namun terjadi penurunan NDF dan hemiselulosa serta penyusutan bahan kering. Terdapat interaksi antara ketebalan media dengan dosis kapang terhadap kandungan NDF, ADF dan hemiselulosa BIS fermentasi. 4.
Kemampuan kapang Trichoderma reesei dalam upaya peningkatan nilai nutrisi BIS melalui degradasi polisakarida mannan diperlihatkan dengan meningkatnya kandungan energi metabolisme sejati, total gula, dan kecernaan mannan yang lebih baik, akan tetapi retensi nitrogen semu dan kandungan mannan terjadi penurunan.
5.
Pemberian BIS dalam ransum dapat menurunkan penampilan ayam pedaging, namun apabila BIS telah di fermentasi (BISF) penggunaannya dapat mencapai 15% tanpa mengganggu bobot badan, konsumsi dan konversi ransum, persentase bobot karkas, indeks prestasi dan IOFCC ayam pedaging.
97 Saran Untuk dapat digunakan sebagai bahan pakan, BIS sebaiknya dilakukan pengolahan dengan fermentasi agar nutrisinya bisa lebih baik dan dapat dimanfaatkan hingga 15% dalam ransum ayam pedaging.
DAFTAR PUSTAKA Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Bogor : Lembaga Satu Gunung Budi. Anonimous 2003. Fructose and mannose www.chem.qmul.ac.uk/iubmb/enzyme. Pebruari 16th 2003
metabolism.
Anggorodi HR. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Antheunisse J. 1979. Observation on the decomposition of coconut fiber. J Gen Appl Microbiol 25: 177-181 A.O.A.C. 1984. Methods of Analysis. 13th Ed. Washington D.C : Association of Official Agricultural Chemist.. Blakely J and Blade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Terjemahan Edisi 4. Yogjakarta : Gajah Mada University Press. Bolam DN, and Gilbert HJ. 1996. Mannanase from Pseudomonas fluorescens sp. cellulosa is a retaining glycosyl hydrolase in which E212 and E320 are the putative catalytic residues. J Biochem 35: 16195–16204. Braithwaite KL, Black GW, Hazlewood GP, Ali BR, Gilbert HJ. 2001. A nonmodular endo-beta-1,4-mannanase from Pseudomonas fluorescens subspecies cellulosa. J Biochem 305: 1005–1010. Cadogan DJ, Choct M, Campbell RG, and Kershaw S. 1999. Effects new season wheats on the growth performance of young male pigs. In: Manipulating pig production VII. Werribe : Australian Pig Science Association. Chanzy H, Pérez S, Miller DP, Paradossi G, Winter WT. 1987. An electron diffraction study of mannan I. Crystal and molecular structure. J Macromol 20: 2407–2413. Chen Y, Long J, Liao L, Zhang Y, Yang J . 2000. Study on the production of beta-mannanase by Bacillus M50. Wei Sheng Wu Xue Bao ; 40(1):62-8. Chin FY. 2002. Utilization of palm kernel cake (PKC) as feed in Malaysia. Asian Livestock. Vol. XXVI No. 4. FAO Regional Office. Bangkok, Thailand. Chong CH, Blair R, Zulkifli I, and Jelan ZA. 1998. Physical and chemical characteristics of Malaysian palm kernel cake (PKC). Proc. 20th MSAP Conf. 27-28 July. Putrajaya. Malaysia. Chung, D.S and Lee CH. 1985. Grain physical and thermal properties related to drying and aeration. ACIAR Proceeding No. 71 Australian Centre for International Agricultural Research, Australia Coulombel, Clermont CS, Foglietti M, and Pherceron F. 1981. Transglycosylation reactions catalysed by two β-mannanases. J Biochem 195:333-335.
99 Darwis AA, Sukara E, Amirroenas DE, Purwanti E. 1991. Optimasi proses biokonversi pod kakao sebagai makanan ternak oleh Trichoderma viridae. Makalah Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer untuk Industri. Bogor;10-11 Desember 1991 Daskiran M, Teeter RG, Fodge D, and Hsiao HY. 2004. An evaluation of endoβ-D-Mannanase (Hemicell®) effects on broiler performance and energy use in diets varying in β-Mannan content. J Poult Sci 83:662-668. Daud MJ, Jarvis MC, and Rasidah A. 1993. Fibre of PKC and its potential as poultry feed. Proceeding. 16th MSAP Annual. Conference. Kuala Lumpur, Malaysia. Daud MJ, and Jarvis MC. 1992. Mannan of palm kernel. J Phytochem 31:463464. Daud MJ, and Jarvis MC. 1993. Effect of driselase on the nutritive value of PKC for poultry diets. Proceeding. 16th MSAP Annual. Conference. Penang, Malaysia. Daud MJ. 1995. Technical innovation in the utilization of local feed resources for more efficient animal production. Proceeding. 17th MSAP Annual. Conference. Kuala Lumpur, Malaysia. Deborah H, Pell G, Dupree P, Goubet F, Martin-Orue SM, Armand S, and Gilbert HJ. 2003. The modular architecture of Cellvibrio japonicus mannanases in glycoside hydrolase families 5 and 26 points to differences in their role in mannan degradation. J Biochem 371: 10271043. [Deptan] Departemen Pertanian 1995. Pedoman umum penanganan pasca panen produk peternakan. Subdit Pascapanen Peternakan. Direktorat Penanganan Pascapanen. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Devendra L. 1977. The Utilization of feedingstuffs from the oil palm feedingstuffs for livestock in South East Asia. Malaysia Agricultural Research and Development Institute. Serdang-Selangor, Malaysia. Dubois, M., Giles KA, Hamilton JK, Reber PA and Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. Anal Chem 28: 350-356 El Mubarak AK, and Abuelgasim AI. 1990. The occurrence of infectious bursal disease in major poultry producing area in Sudan. Bulletin Animal Health and Production in Africa 38:293-296. Ensminger ME, Oldfield JE and Heineman WW. 1995. Feeds and Nutrition 2nd Ed. California : The Ensminger Publishing Company. Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Bogor : Pusat Antar Universitas – Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
100 Farel DJ. 1974. General Principles and Assumtion of Calorimetry in Energy Requirements of Poultry. British Poultry Science Ltd. Great Britanian. Frazier WC, and Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New Delhi : Tata McGraw Hill Book Publ. Co. Glenn RD, and Roger PL. 1988. A Solid substrate fermentation process for an animal feed product studies of fungal strain improvement. Aust J Biotechnol 2:50-57. Goubet F, Jackson P, Deery M, and Dupree P. 2002. Polysaccharide analysis using carbohydrate gel electrophoresis (PACE): a method to study plant cell wall polysaccharides and polysaccharide hydrolases. J Anal Biochem 30: 53-68. Hagglund P, Eriksson T, Collen A, Nerinckx W, Claeyssens M, Stalbrand H. 2003. Cellulose-binding module of the Trichoderma reesei betamannanase Man5A increases the mannan-hydrolysis of complex substrates. J Biotechnol 27(1):37-48. Haltrich D, Nidetzky B, Kulbe KD, Steiner W, Fiesher A. 1996. Pectinase from Trichoderma reesei QM9414. Biotechnol Bioeng 25:1985-1990 Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman AD, Kearl AC, and Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Yogjakarta : Gajah Mada University Press. Hartley CWS. 1970. The Oil Palm. London : Longman Group. Hew VF, and Jalaludin S. 1996. Palm product and by-products for monogastrics in Malaysia. First International Symposium on the Integration of Livestock to Oil Palm Production. Kuala Lumpur. Malaysia. Hilge M, Gloor SM, Rypsniewski W, Sauer O, Heightman TD, Zimmermann W, Winterhalter K, Piontek K. 1998. High-resolution native and complex structures of thermostable-mannanase from Thermonospora fusca– substrate specificity in glycosyl hydrolase family 5. Biomednet Vol. 6 no. 11. Hill
FW, Anderson DL, Renner R and Carew LB. 1960. Studies of the metabolizable energy of grain and grain products for chicken. J Poult Sci 39:573-583.
Hogg D, Pell G, Dupree P, Goubet F, Martin-orue S, Armand S and Gilbert HJ. 2003. The modular architecture of Cellvibrio japonicus mannanases in glycoside hydrolase families 5 and 26 points to different in their role in mannan degradation. J Biochem 371:1027-1043. Hutagalung R. 1978. Non-tradisional feedingstuffs for livestock. Proceeding of Symposium on Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. Malaysian Society of Animal Production. Serdang. Malaysia.
101 Hutagalung R, and Jalaludin S. 1982. Feeds for farm animal from the oil palm. University Pertanian Malaysia, Serdang Publication No. A.49. Malaysia. Irawadi TT. 1991. Produksi enzim ekstraseluler dan xilanase dari Neurosphora sitophila pada substrat limbah padat kelapa sawit. [disertasi]. Bogor; Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Jackson ME. 2002. Hemicell feed enzyme – field and penn trial data for swine, broiler, duck, laying hen and turkeys. ChemGen Corp. Helmswood Cir. Marietta, GA USA [JFE] Jakarta Future Exchange. 2002. Perkembangan produksi minyak goreng sawit di Indonesia. www.bbj-ifx.com. Kamal. 1984. Pemanfaatan bungkil inti sawit sebagai pakan ayam. Proceeding Seminar Lembaga Kimia Nasional LIPI. Bandung. Kataoka N, and Tokiwa Y. 1998. Isolation and characterization of an active mannanase-producing anaerobic bacterium, Clostridium tertium KT-5A, from lotus soil. J Appl Microbiol 84(3):357-367. Keong NW. 2004. Researching the use of palm kernel cake in aquaculture feeds. Penang : Fish Nutrition Laboratory, School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia, Malaysia Ketaren PP, Sinurat AP, Zainuddin, Purwadaria T, dan Kompiang IP. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging.J Ilmu Ternak dan Vet 4(2):107-112 Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal : Sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis, daya ambang dan faktor higroskopis. Media Peternakan 22 (1):1-11. Kling M, und Woehlbier. 1983. Handelstuttermittel. Stuttgart : Band 2A. Verlaq Eugen Ulmer, Knudsen KEB. 1997. Carbohydrate and lignin contents of plant materials used in animal feeding. Animal Feed Science Technology, 67:319-338 Kompiang IP, Sinurat AP, Kompiang S, Purwadaria T, dan Darma J. 1994. Nutritional value of enriched cassava: Casapro. Ilmu dan Peternakan. 7:22-25 Kumar A, Dingle JG, Wiryawan KG and Cresswell DC. 1997. Enzyme for improved nutritional value of layer diets In: Queendsland Poultry Science Symposium. The University of Queendsland, Gatton Kusakabe I. 1990. A simple method for elucidating structures of galactomannooligosaccharides by sequential actions of b-mannosidase and agalactosidase. J Agric Biol Chem 54:1081-1083.
102 Leeson S, Diaz G, and Summers JG. 1995. Poultry Metabolic Disorders and Mycotoxin. Guelph : University Book. Llyod LE, McDonald BE, and Crampton EW. 1978. Fundamentals of Nutrition. 2nd Ed. San Francisco : WH. Freeman and Company. [LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2006. Pemanfaatan oleokimia berbasis minyak sawit. Media Komunikasi Lingkup Unit Kerja LRPI . Vol.2 No. 2. Bogor. Lubis DA. 1980. Pengaruh pemberian bungkil inti biji kelapa sawit terhadap pertumbuhan anak ayam pedaging. [thesis]. Bogor; Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mahfudz LD, Srigandono B, Sarengat W, Lingganingrum FS, Widayati A. 1998. Effecs of temperature and energy-protein ration on the performance of broiler chicken. Bulletin of Animal Science, Supplement Edition page 446-449. May JD, and Lott BD. 1992. Feed and water consumption patterns of broiler at high environmental temperatures. J Poult Sci 71:331-336. Mazhar AM. 1995. Newcastle disease and homeopathy. World Poultry. 11:61. McDonald P, Edwards RA, Greenhalg JFD, and Morgan CA. 1995. Animal Nutrition. 5th Ed. New York : Longman Scientific and Technical. McGinnis MR, and Trying SK. 2003. Introduction to Mycology. San Diego : Academic Press. McNally EH, and Spicknall NH. 1975. Meat Yield from live, dressed and eviscerated RIR chicken during growth and maturity. J Poult Sci 34:145148 Mikkonen K, Helen H, Talja R, Willfor S, Holmbom B, Hyvonen L, Tenkanen M. 2006. Biodegradable film from mannans. Helsinki : Department of Food Technology, University of Helsinki FIN-00014 Finland. MINITAB. 2004. MINITAB® Release 14 Statistical Software for Window. MINITAB Inc. Moat AG. 1979. Microbial Physiology. New York : John Willey and Sons Inc. Mountney GJ. 1976. Poultry Production Technology. Wesport : The Avi Publishing Company Inc. Connecticut Mustaffa AB, Zairi M, and Hawari H. 1991. Palm kernel cake in cattle feedlotting. J ASEAN Food 6(3):102-103. Naibaho. 1990. Prospek pengembangan industri hilir kelapa sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. Pekanbaru.
103 Nattorp A, Martin G, Christian S, and Albert R. 1999. Model for random hydrolysis and degradation of linear pollysaccharides: Aplication of the thermal treatment of mannan in solution. Int Eng Chem Res 38 (8): 2919-2926 North MO, and Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. New York : Chapman and Hall. [NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Ed. Washington : National Academy Press. Nwokolo EN, Bragg DB, and Kitts WO. 1976. The availability of amino acid from palm kernel meal, soybean meal, cotton seed meal and rapeseed meal for growing chick. J Poult Sci 55:2300-2304 Onwudike OC. 1986a. Palm Kernel Meal as a Feed for Poultry 1. composition of palm kernel meal and availability of its amino acid to chicks. In: Animal Feed Science and Technology. Elsevier Science Publisher BV. Amsterdam. 16:179-186. Onwudike OC. 1986b. Palm Kernel Meal as a Feed for Poultry 2. Diet containing palm kernel meal for starter and grower. Animal feed Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam 16:187-194 Onwudike OC. 1986c. Palm Kernel Meal as a Feed for Poultry 3. Replacement of groundnut cake by palm kernel meal in broiler diets. Animal feed Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam 16:195-202 Osei SA, and Josephine A. 1987. Palm kernel cake as a broiler feed ingredient. J Poult Sci 66:1870-1873. Pelczar MJ, and Reid RD. 1972. Microbiology. New York : McGraw Hill Book Co. Perez JF, Gernat AG, and Murillo JG. 2000. The effect of different level of palm kernel meal in layer diets. J Poult Sci 79:77-79 Power R. 1997. The bioscience center concept: A guideline for cooperation between universities and industry. Proc. Alltech 11 th Annual Asia Pacific Lecture Tour. 133-148. Puls
J, and Poutanen K. 1981. Mechanism of Enzyme Hydrolosid of Hemicelulose (Xylan) and Procedure for Determination of Enzyme Activities Involved. Hamburg : BHF Institut of Wood Chemistry Leuchnecster.
Puls J, Poutanen K, Komer HU, Viikari L. 1985. Biotechnical utilization of wood carbohydrates after steaming pre-treatment. J Appl Microbiol Biotech 22:416-423 Purwadaria T. 2002. Optimation of mannanase production. [research report] Animal Research Institute. Ciawi Bogor.
104 Purwadaria T, Sinurat AP, Haryati T, Sutikno I, Supriyati dan Darma J. 1998. Korelasi antara aktivitas enzim mannanase dan selulase terhadap kadar serat lumpur sawit hasil fermentasi dengan Aspergillus niger.[laporan penelitian]. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Rahman A. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta : Penerbit Arcan. Regalado C, Barrera LMV, Almendárez GBE, Huerta-Ochoa S, López G. 1995a. Production and properties of β-mannanase by solid substrate fermentation of soluble coffee industry wastes using Trichoderma reesei IMI 192656. [research report]. Departement of Food Research and Postgraduate Studies. Facultad De Química. Universidad Autónoma De Querétaro. C.U. Cerro De Las Campanas. Querétaro Qro. 76010. Mexico. Regalado C, Barrera LMV, Almendárez GBE, Huerta-Ochoa S, López G. 1995b. Production and partial characterization of b-mannanase obtained from solid substrate fermentation of copra and coffee wastes using Aspergillus orizae. [research report]. Departement of Food Research and Postgraduate Studies. Facultad De Química, Universidad Autónoma De Querétaro. C.U. Cerro De Las Campanas. Querétaro Qro. 76010. Mexico. Rehm HJ, and Reed G. 1981. Microbial Fundamentals. Biotech. I. Weibheim : Verlgchemic Gmbh. Rhule SWA. 1996. Growth rate and carcass characteristics of pigs fed on diets containing palm kernel cake. Animal Feed Science Technology. Amsterdam : Elsevier Science B.V. Rizal Y. 2000. Response of broiler chickens on the substitution of palm kernel cake for soybean meal in rations. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Vol. 6(2):15-20. Rose SP. 1997. Principles of Poultry Science. . London : CAB International. Ross SAC, Duncan JG, Pasco DS, and Pugh N. 2002. Isolation of a galactomannan that enhances macrophage activation from the edible fungus Morchella esculenta. J Agric Food Chem 50:5683-5685. Ruttloff C. 1981. Technologis Mischfuttermittel. Leipzig : VEB Fachbuchverlag, Sabini E, Wilson KS, Siika-aho M, Boisset C, Chanzy H. 2000. Digestion of single crystals of mannan I by an endo-mannanase from Trichoderma reesei. Eur J Biochem 267: 2340-2344 Sainsbury D. 1984. Poultry Health and Management. 2nd Ed. New York : Granada Technical Books. Samonte JL. 2003. β-Mannosidase Activity in Germinating Coconuts. Cavite : De La Salle University-Dasmarinas.
105 Santiago SD, Gonzalez CR, Almendarez BG, Fernandez FJ, Jurado AT, Huerta-Ochoa S. 2006. Physiological, morphological, and mannanase production studies on Aspergillus niger uam-gs1 mutans. Elec J of Biotechnol. 9(1):217-226. http://www.ejbbiotechnology-info/content/vol19/ issue1/full/2 [SAS Institute]. 1996. The SAS System for Windows Software Release 6.12. SAS® Users Guide. SAS Institute Inc. Cary. NC. United State Scott ML, Nesheim MC, and Young RJ. 1982. Nutrient of The Chicken. 3rd Ed. ML. Scott and Associates. Itacha. New York. Shannon DWF, and Brown WO. 1969. Losses of energy nitrogen of drying poultry excreta. J Poult Sci 48:41-43 Shurtleff W, and Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh: A Super Soy Food from Indonesia. New York : Harper and Row. Sibbald IR. 1983. The T.M.E System of Feed Evaluation. Animal Research Centre. Canada. Sibbald IR. 1989. Metabolizable energy evaluation of poultry diets. In Cole, DJA. and Haresign W (ed). Recent Development in Poultry Nutrition. London : University of Nottingham School of Agriculture. Butter Worths. Sibbald IR. and Wolynetz MS. 1985. Estimates of retained nitrogen used to correct estimates of bioavailable energy. J Poult Sci 64:1506-1513 Sindu A. 1999. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 1(3):82-86. Smith JE, and Pateman JA. 1977. Genetics and Physiology of Aspergillus. . London : Academic Press. Soeharsono. 1976. Respon broiler terhadap berbagai kondisi lingkungan. [disertasi]. Bandung; Universitas Padjadjaran Bandung Soesanto IRH. 2000. Comparative Studies on The Responses of Red Jungle Fowl and Commercial Broiler to Nutritional Manipulattions. [disertation].Malaysia; University Putra Malaysia. Southgate DAT. 1976. Determination of Food Carbohydrates. London : Applied Science Publisher Ltd. Steel RGD, and Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah Bambang S. Edisi ke-2. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Storey ML, and Allen NK. 1982. Apparent and true metabolizable energy of feedingstuffs for mature, non laying female ambden geese. J Poult Sci 60:747-752.
106 Supriyati , Pasaribu T, Hamid H, Sinurat AP. 1998. Fermentasi Bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. J Ilmu Ternak dan Vet 3(3):165-170 Tangendjaja B. dan Pattyusra P. 1993. Bungkil inti sawit dan pollard gandum yang difermentasi dengan Rhizophus oligosphorus untuk ayam pedaging. Ilmu dan Peternakan 6(2):30-33. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, dan Lebdosukodjo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogjakarta : Gajah Mada University Press. Umunna NN, Yusuf AA, and Aganga AA. 1980. Evaluation of brewers dried grains and palm kernel meal as major sources of nitrogen for growing cattle. J Trop Anim Prod 5(3):239-247 Van Soest P.J, and Robertson JB. 1968. System of analysis for evaluating fibrous feeds. In: Standarization of Analytical Methodology for Feed. Pigdem JW, Balch CC, dan Graham M (eds). IDRC Canada Vranjes V, and Wenk C. 1995. The influence of extruded vs untreated barley in the feed, with or without dietary enzyme supplement on broiler performance. J Anim Feed Sci and Tech 54:21-32 Wahju J. 1972. Feed formulation pattern for growing chick based on nitrogen retention, nitrogen consumed and metabilizable energy. [disertation]. USA; Wisconsin University Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogjakarta : Gajah Mada University Press. Wahju J, dan Sugandi D. 1984. Penuntun Praktis Beternak Ayam. Cetakan ke-3. Bogor : Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Wang DIC, Connel CL, Demain AL, Dunhill P, Humpherey AF, Lily MD. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. New York : John Wiley and Sons. Warren RAJ. Microbial hydrolysis of polysaccharides. Annual review of Microbiology, 50:183-212 Wiseman, 1985. Hanbook of Enzyme Biotechnology. New York : John Willey and Sons. Yeong SW, and Mukherjee TK. 1983. The effect of palm oil supplementation in palm kernel cake-based diets on the performance of broiler chickens. MARDI Ress. Bull. 11:378-384 Xiong H. 2004. Production and characteristization of Trichoderma reesei and Thermomyces lanuginosus xylanases.[dissertation].Helsinki; Helsinki University of Technology Xu BV, Hägglund P, Stålbrand H, and Janson JC. 2002. Endo-beta-1,4Mannanases from blue mussel, Mytilus edulis: purification, characterization, and mode of action. J Biotechnol 92:267-277.
LAMPIRAN
108 Lampiran 1 Analisis varian dan uji Duncan berat jenis bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: Berat Jenis (BJ) Source DF Model 2 Error 12 Corrected Total 14
Sum of Squares 0.06652853 0.05038440 0.11691293
R-Square 0.569043 Source TRTMENT
Mean Square 0.03326427 0.00419870
C.V. 4.481973
DF 2
F Value 7.92
Root MSE 0.06479738
Anova SS 0.06652853
Pr > F 0.0064
BJ Mean 1.44573333
Mean Square 0.03326427
F Value 7.92
Pr > F 0.0064
Duncan's Multiple Range Test for variable: Berat Jenis (BJ) Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 0.004199 Number of Means 2 3 Critical Range .08929 .09346 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A A B
1.52120 1.45680 1.35920
5 5 5
TRTMENT c b a
Lampiran 2 Analisis varian dan uji Duncan kerapatan tumpukan bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: Kerapatan Tumpukan (KRPT) Source DF Model 2 Error 12 Corrected Total 14
Sum of Squares 0.00820213 0.00047760 0.00867973
R-Square 0.944975 Source TRTMENT
DF 2
Mean Square 0.00410107 0.00003980
F Value 103.04
C.V. 1.052975
Root MSE 0.00630872
Anova SS 0.00820213
Mean Square 0.00410107
KRPT Mean 0.59913333 F Value 103.04
Duncan's Multiple Range Test for variable: KRPT Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 0.00004 Number of Means 2 3 Critical Range .008693 .009100 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B B
Mean 0.6240 0.5830 0.5822
N 5 5 5
TRTMENT c b a
Pr > F 0.0001
Pr > F 0.0001
109 Lampiran 3 Analisis varian dan uji Duncan kerapatan pemadatan tumpukan bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: Kerapatan Pemadatan Tumpukan (KRPTUM) Source DF Model 2 Error 12 Corrected Total 14
Sum of Squares 0.00362013 0.00041720 0.00403733
Mean Square 0.00181007 0.00003477
C.V. 0.824277
Root MSE 0.00589633
R-Square 0.896664 Source TRTMENT
DF 2
Anova SS 0.00362013
F Value 52.06
Pr > F 0.0001
KRPTUM Mean 0.71533333
Mean Square 0.00181007
F Value 52.06
Pr > F 0.0001
Duncan's Multiple Range Test for variable: KRPTUM Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 0.000035 Number of Means 2 3 Critical Range .008125 .008505 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
TRTMENT
A A B
0.727400 0.725200 0.693400
5 5 5
b c a
Lampiran 4 Analisis varian dan uji Duncan sudut tumpukan (SDT) bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: SDT (sudut tumpukan) Source DF Model 2 Error 12 Corrected Total 14
Sum of Squares 124.19609333 26.45700000 150.65309333
R-Square 0.824385 Source TRTMENT
C.V. 5.790506
DF 2
Anova SS 124.19609333
Mean Square 62.09804667 2.20475000
F Value 28.17
Root MSE 1.48484006
SDT Mean 25.64266667
Mean Square F Value 62.09804667 28.17
Duncan's Multiple Range Test for variable: SDT Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 2.20475 Number of Means 2 3 Critical Range 2.046 2.142 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N TRTMENT A 29.7120 5 a B 23.6100 5 b B 23.6060 5 c
Pr > F 0.0001
Pr > F 0.0001
110 Lampiran 5 Analisis varian dan uji Duncan daya ambang bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: Daya Ambang (DYAM) Source DF Sum of Squares Mean Square Model 2 0.00336000 0.00168000 Error 12 0.00324000 0.00027000 Corrected Total 14 0.00660000 R-Square 0.509091 Source TRTMENT
DF 2
C.V. 2.785030
F Value 6.22
Root MSE 0.01643168
Anova SS 0.00336000
Pr > F 0.0140
DYAM Mean 0.59000000
Mean Square 0.00168000
F Value 6.22
Pr > F 0.0140
Duncan's Multiple Range Test for variable: DYAM Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 0.00027 Number of Means 2 3 Critical Range .02264 .02370 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N TRTMENT A 0.60600 5 c A 0.59400 5 a B 0.56000 5 b Lampiran 6 Analisis varian dan uji Duncan modulus of fineness (MF) bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: Modulus of Finenes Source DF Model 2 Error 12 Corrected Total 14 R-Square 0.920500 Source TRTMENT
DF 2
Sum of Squares 0.10327387 0.00891939 0.11219326
Mean Square 0.05163693 0.00074328
C.V. 0.584301
F Value 69.47
Root MSE 0.02726321
Anova SS 0.10327387
MF Mean 4.66595333
Mean Square 0.05163693
F Value 69.47
Duncan's Multiple Range Test for variable: MF Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 0.000743 Number of Means 2 3 Critical Range .03757 .03932 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B C
Mean 4.77286 4.65440 4.57060
N 5 5 5
Pr > F 0.0001
TRTMENT a c b
Pr > F 0.0001
111 Lampiran 7 Analisis varian dan uji Duncan rataan diameter (cm) bungkil inti sawit Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: Rata-rata diameter bahan Source DF Sum of Squares Mean Square Model 2 0.00353318 0.00176659 Error 12 0.00030332 0.00002528 Corrected Total 14 0.00383650 R-Square 0.920938 Source TRTMENT
C.V. 1.898255
DF 2
Anova SS 0.00353318
F Value 69.89
Root MSE 0.00502759
Pr > F 0.0001
RATDIAM Mean 0.26485333
Mean Square 0.00176659
F Value 69.89
Pr > F 0.0001
Duncan's Multiple Range Test for variable: Rata-rata diameter bahan Alpha= 0.05 df= 12 MSE= 0.000025 Number of Means 2 3 Critical Range .006928 .007252 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B C
Mean
N
0.284820 0.262240 0.247500
TRTMENT
5 5 5
a c b
Lampiran 8 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan bahan kering media Factor TEBAL SU DOSIS KA
Type fixed fixed
Levels 3 3
Values 123 123
Analysis of Variance for BK, using Adjusted SS for Tests Source TEBAL SU DOSIS KA TEBAL SU*DOSIS KA Error Total
DF Seq SS 2 1.007 2 4.444 4 10.454 18 22.436 26 38.340
Adj SS 1.007 4.444 10.454 22.436
Unusual Observations for BK Obs BK Fit 16 85.5000 87.9433 18 90.4300 87.9433
SE Fit Residual St Resid 0.6446 -2.4433 -2.68R 0.6446 2.4867 2.73R
Adj MS 0.503 2.222 2.614 1.246
F 0.40 1.78 2.10
P 0.674 0.197 0.123
112 Lampiran 9 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap penyusutan kandungan bahan kering media Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
Replican
3
123
A
3
123
B
3
123
Number of observations in data set = 27 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: PENYUSUTAN BAHAN KERING Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8
20.43425185
2.55428148
217.69
0.0001
Error
18
0.21120000
0.01173333
Corrected Total 26
20.64545185
R-Square
C.V.
0.989770
4.955361
Source
DF
A B A*B
2 2 4
Root MSE 0.10832051
Anova SS 1.41656296 14.59378519 4.42390370
PENYUSUTAN BK Mean 2.18592593
Mean Square
F Value
Pr > F
0.70828148 7.29689259 1.10597593
60.36 621.89 94.26
0.0001 0.0001 0.0001
Duncan's Multiple Range Test for variable: PENYUSUTAN BAHAN KERING Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.011733 Number of Means 2 Critical Range .1073
3 .1126
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A
A
2.43111
9
1
B
2.24667
9
3
C
1.88000
9
2
113 Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: RESPONSE Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.011733 Number of Means 2 Critical Range .1073
3 .1126
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
B
A
3.06111
9
2
B
2.23444
9
3
C
1.26222
9
1
Level of Level of A B N 1 1 1 2 2 2 3 3 3
Lampiran 10
1 2 3 1 2 3 1 2 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3
-----------RESPONSE---------Mean SD 1.41666667 3.52666667 2.35000000 0.95333333 2.08666667 2.60000000 1.41666667 3.57000000 1.75333333
0.01527525 0.09291573 0.06244998 0.05033223 0.08386497 0.06244998 0.02516611 0.26057628 0.10408330
Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan Protein Kasar media Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class Levels Values replication 3 123 A 3 123 B 3 123 Number of observations in data set = 27
Dependent Variable: Kandungan Protein Kasar Source DF Sum of Squares Model 8 11.34289630 Error 18 5.42380000 Corrected Total 26 16.76669630
Mean Square 1.41786204 0.30132222
F Value 4.71
Pr > F 0.0031
114 R-Square 0.676513 Source
C.V. 2.301622
Root MSE 0.54892825
DF
Anova SS
2 2 4
4.45791852 6.18498519 0.69999259
A B A*B
RESPONSE Mean 23.84962963
Mean Square 2.22895926 3.09249259 0.17499815
F Value
Pr > F
7.40 10.26 0.58
0.0045 0.0011 0.6804
Duncan's Multiple Range Test for variable: Kandungan Protein kasar Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.301322 Number of Means 2 3 Critical Range 0.5436 0.5704 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B B
Mean
N
A
24.3767 23.7844 23.3878
9 9 9
3 2 1
Duncan's Multiple Range Test for variable: Protein Kasar Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.301322 Number of Means 2 Critical Range 0.5436
3 0.5704
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A B Level of Level of A B N 1 1 1 2 2 2 3 3 3
1 2 3 1 2 3 1 2 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3
Mean
N
B
24.3033 24.0578 23.1878
9 9 9
2 3 1
-----------RESPONSE---------Mean SD 22.6300000 23.6466667 23.8866667 23.1600000 24.2466667 23.9466667 23.7733333 25.0166667 24.3400000
0.77155687 0.43408908 0.23501773 0.62553977 0.87323155 0.24214321 0.67337459 0.13316656 0.43508620
115
Lampiran 11 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan NDF media Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
Replication
3
123
A
3
123
B
3
123
Number of observations in data set = 27 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: NDF Source Model Error Corrected Total
DF 8 18 26
R-Square 0.923748
Sum of Squares 330.20773333 27.25733333 357.46506667
C.V. 1.904445
Mean Square 41.27596667 1.51429630
Root MSE 1.23056747
F Value 27.26
Pr > F 0.0001
NDF Mean 64.61555556
Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Pr > F
A B A*B
2 2 4
101.05646667 95.95815556 133.19311111
50.52823333 47.97907778 33.29827778
33.37 31.68 21.99
0.0001 0.0001 0.0001
Duncan's Multiple Range Test for variable: NDF Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 1.514296 Number of Means 2 3 Critical Range 1.219 1.279 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A B Level of Level of A B N 1 1
1 2
3 3
Mean 66.2833 65.6600 61.9033
N 9 9 9
A 3 1 2
-----------RESPONSE NDF---------Mean SD 65.2633333 65.1733333
1.20864938 1.32428597
116 1 2 2 2 3 3 3
3 1 2 3 1 2 3
3 3 3 3 3 3 3
66.5433333 61.2100000 61.2933333 63.2066667 59.4133333 70.6833333 68.7533333
1.65001010 1.60221721 0.89745938 1.04025638 0.75857322 1.53265565 0.55895736
Lampiran 12 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan ADF media Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
3 3 3
123 123 123
Replicates A B
Number of observations in data set = 27 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: ADF Source Model Error Corrected Total
DF 8 18 26
R-Square 0.668287
Sum of Squares 186.25247407 92.44880000 278.70127407
C.V. 4.694512
Mean Square 23.28155926 5.13604444
Root MSE 2.26628428
Source
DF
Anova SS
A B A*B
2 2 4
32.57934074 10.44058519 143.23254815
F Value 4.53
ADF Mean 48.27518519
Mean Square 16.28967037 5.22029259 35.80813704
F Value
Pr > F
3.17 1.02 6.97
0.0661 0.3817 0.0014
Duncan's Multiple Range Test for variable: ADF Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 5.136044 Number of Means Critical Range
2 2.244
3 2.355
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A A
Mean 49.139 47.987 47.700
Pr > F 0.0037
N 9 9 9
B 3 1 2
117 Level of Level of A B N 1 1 1 2 2 2 3 3 3
1 2 3 1 2 3 1 2 3
-----------RESPONSE ADF---------Mean SD
3 3 3 3 3 3 3 3 3
52.8700000 48.2533333 46.7433333 46.1033333 45.7400000 48.4033333 44.9866667 49.1066667 52.2700000
3.68370737 0.77886670 0.65002564 1.71884651 1.79407358 0.82682122 4.87542135 0.19655364 0.98000000
Lampiran 13 Hasil analisis varian pengaruh dosis dan ketebalan media terhadap kandungan Hemiselulosa media Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
Replicates
3
123
A
3
123
B
3
123
Number of observations in data set = 27 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: HEMISELULOSA Source Model Error Corrected Total
DF 8 18 26
R-Square 0.629667 Source A B A*B
Sum of Squares 168.09304630 98.86245000 266.95549630 C.V. 14.34291
DF 2 2 4
Anova SS 22.72269657 79.82036296 65.54998676
Mean Square 21.01163079 5.49235833
Root MSE 2.34357810
F Value 3.83
Pr > F 0.0086
HEMISELULOSA Mean 16.33962963
Mean Square
F Value
11.36134829 39.91018148 16.38749669
2.07 7.27 2.98
Pr > F 0.1554 0.0049 0.0472
Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: HEMISELULOSA Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 5.492358 Number of Means 2 3 Critical Range 2.321 2.435
118 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A B Level of Level of A B N 1 1 1 2 2 2 3 3 3
1 2 3 1 2 3 1 2 3
3 2 3 3 3 3 3 4 3
Mean
N
B
18.014 17.029 13.976
9 9 9
2 3 1
-----------RESPONSE HEMISELULOSA---------Mean SD 12.3933333 17.3950000 19.8000000 15.1066667 15.5533333 14.8033333 14.4266667 20.1700000 16.4833333
2.97372382 0.92630988 1.21111519 1.42141948 0.91281616 1.02021240 4.46609822 3.11649376 0.53200877
119 Lampiran 14 Grafik kandungan mannan pada BIS
BPI=>NR(2.00) T3.9
100
546.8
90 T5.7
80
T9.1
% In te n s ity
70 T2.9
60
T4.6 50 40 30 20 10 0
0
3.2
6.4
9.6 Retention Time (Min)
Keterangan : LC MS –ESI pos ion Vol injection 20 ul Flo 1 ml/min Consentration : 2500 ppm Eluent MeOH+Water = 60 + 40 LC-MS : Mariner Biospectrometry LC: Perkin Elmer Series 200 System ESI (Electrospray Ionisation) Positive ion mode Kolom C18 (RP 18) Vydac Column length : 250 mm ID : 2 mm Particle size : 5 μm Operating by : Puspa D N Lotulung Pusat Penelitian Kimia - LIPI
12.8
0 16.0
120 Lampiran 15 Grafik kandungan mannan pada BISF
BPI=>NR(2.00) T5.7
100
458.6
90 80
T1.3
70 % In te n s i ty
T3.4 60
T3.8
50 40 30 20 10 0
0
3.2
6.4
9.6 Retention Time (Min)
Keterangan : LC MS –ESI pos ion Vol injection 20 ul Flo 1 ml/min Consentration : 2500 ppm Eluent MeOH+Water = 60 + 40 LC-MS : Mariner Biospectrometry LC: Perkin Elmer Series 200 System ESI (Electrospray Ionisation) Positive ion mode Kolom C18 (RP 18) Vydac Column length : 250 mm ID : 2 mm Particle size : 5 μm Operating by : Puspa D N Lotulung Pusat Penelitian Kimia - LIPI
12.8
0 16.0
121 Lampiran 16 Grafik kandungan mannan pada feses BIS
BPI=>SM15=>NR(5.00) T3.6
100
260.9
% Inte nsity
90
80
70 0.5
2.3
4.1
5.9 Retention Time (Min)
Keterangan : LC MS –ESI pos ion Vol injection 20 ul Flo 1 ml/min Consentration : 2500 ppm Eluent MeOH+Water = 60 + 40 LC-MS : Mariner Biospectrometry LC: Perkin Elmer Series 200 System ESI (Electrospray Ionisation) Positive ion mode Kolom C18 (RP 18) Vydac Column length : 250 mm ID : 2 mm Particle size : 5 μm Operating by : Puspa D N Lotulung Pusat Penelitian Kimia - LIPI
7.7
9.5
122 Lampiran 17 Grafik kandungan mannan pada feses BISF
BPI=>NR(2.00) T4.1
100
238.7
T3.7
90 80
% In te n s ity
70 60 50 40 30 20 10 0 0.15129
1.13270
2.11411
3.09552
Retention Time (Min)
Keterangan : LC MS –ESI pos ion Vol injection 20 ul Flo 1 ml/min Consentration : 2500 ppm Eluent MeOH+Water = 60 + 40 LC-MS : Mariner Biospectrometry LC: Perkin Elmer Series 200 System ESI (Electrospray Ionisation) Positive ion mode Kolom C18 (RP 18) Vydac Column length : 250 mm ID : 2 mm Particle size : 5 μm Operating by : Puspa D N Lotulung Pusat Penelitian Kimia - LIPI
4.07693
0 5.05834
123 Lampiran 18 Nilai absorban yang terukur pada penentuan kurva standar gula Standar gula (ppm) 0 10 20 30 40 50
Nilai terukur pada spectrofotometer 0.093 0.127 0.297 0.364 0.506 0.661
Dari hasil pengukuran nilai standar gula diperoleh kurva standar Y = 0.0128x + 0.0077 dengan nilai r2 = 0.9857.
Lampiran 19 Data Deskriptif tentang DOC yang digunakan dalam penelitian Nilai
Keterangan DOC 350 42.84 42.793 43 40 48 1.753 3.075 4.09
Jumlah Sampel Rata-rata (g) Nilai tengah (g) Median (g) Minimum (g) Maksimum (g) Standar deviasi (g) Variance (g) Koefisien variasi (%)
Ayam umur 7 hari 350 232.09 217.7 233.6 185.1 263.1 19.39 375.99 8.35
Lampiran 20 Pembandingan orthogonal yang digunakan dalam penelitian Pembandingan
Koefisien
R0 VS R1,R2,R3,R4,R5,R6
6
1
1
1
1
1
1
R1,R2,R3 VS R4,R5,R6
0
-1
-1
-1
1
1
1
Linier
0
-1
0
1
0
0
0
Kuadratik
0
-1
2
-1
0
0
0
Linier
0
0
0
0
-1
0
1
Kuadratik
0
0
0
0
-1
2
-1
BIS (R1, R2, R3)
BISF (R4, R5, R6)
124 Lampiran 21 Analisis varian dan uji kontras orthogonal konsumsi ransum ayam pedaging General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
PERLK
Values
7
R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
Number of observations in data set = 35 Dependent Variable: KONSUMSI PAKAN (KONPKN) Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
6
1863197.280
310532.880
45.04
0.0001
Error
28
193048.576
6894.592
Corrected Total 34
2056245.856
R-Square 0.906
C.V.
Root MSE
KONPKN Mean
3.617
83.033
2295.480
Mean Square
F Value
Pr > F
45.04
0.0001
F Value
Pr > F
45.04
0.0001
Source
DF
Type I SS
PERLK
6
1863197.280
Source
DF
Type III SS
PERLK
6
1863197.280
Contrast R0 VS R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 VS R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
310532.880 Mean Square 310532.880
DF
Contrast SS
Mean Square F Value
Pr > F
1 1
669423.636 106302.721
669423.636 97.09 106302.721 15.42
0.0001 0.0005
1 1
295152.400 37495.745
295152.400 37495.745
0.0001 0.0271
1 1
6692.569 748130.208
6692.569 0.97 748130.208 108.51
42.81 5.44
0.3329 0.0001
125 Lampiran 22 Analisis varian dan uji kontras orthogonal pertambahan bobot badan ayam pedaging General Linear Models Procedure Dependent Variable: PERTAMBAHAN BOBOT BADAN (PBB) Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
6
761832.890
126972.148
17.46
0.0001
Error
28
203653.650
7273.345
Corrected Total 34
965486.540
R-Square
C.V.
Root MSE
0.789
6.346
85.284
PBB Mean 1343.820
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
PERLK
6
761832.890
126972.148
17.46
Source
DF
Mean Square
F Value
Pr > F
PERLK
6
126972.148
17.46
0.0001
Type III SS 761832.890
Contrast
DF
R0 VS R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 VS R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
Contrast SS
Mean Square
Pr > F 0.0001
F Value
Pr > F
1 1
269845.103 64423.722
269845.103 64423.722
37.10 0.0001 8.86 0.0060
1 1
200137.609 43739.008
200137.609 43739.008
27.52 6.01
0.0001 0.0207
1 1
67089.205 116598.243
67089.205 116598.243
9.22 16.03
0.0051 0.0004
Lampiran 23 Analisis varian dan uji kontras orthogonal bobot akhir ayam pedaging General Linear Models Procedure Dependent Variable: BOBOT AKHIR (BAKH) Source
DF
Model
6
Error
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
848807.695
141467.949
20.24
0.0001
28
195659.052
6987.823
Corrected Total 34
1044466.747
126 R-Square 0.813
C.V.
Root MSE
BAKH Mean
5.663
83.593
1476.075
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
PERLK
6
848807.695
141467.949
20.24
0.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
PERLK
6
848807.695
141467.949
Contrast R0 VS R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 VS R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
Pr > F
20.24
0.0001
DF Contrast SS
Mean Square
F Value
Pr > F
1 260411.990 1 94086.222
260411.990 94086.222
37.27 0.0001 13.46 0.0010
1 215763.457 1 47785.130
215763.457 47785.130
30.88 6.84
0.0001 0.0142
1 74641.920 1 156118.976
74641.920 156118.976
10.68 22.34
0.0029 0.0001
Lampiran 24 Analisis varian dan uji kontras orthogonal konversi ransum ayam pedaging General Linear Models Procedure Dependent Variable: KONVERSI RANSUM (KONVER) Source
DF
Sum of Squares
Model
6
0.180
0.030
Error
28
0.311
0.011
Corrected Total 34
0.491
R-Square
C.V.
0.366
6.194
Source
DF
Type I SS
PERLK
6
0.180
Source
DF
PERLK
6
Type III SS 0.180
Mean Square F Value
Root MSE 0.105 Mean Square 0.030 Mean Square 0.030
2.69
Pr > F 0.0342
KONVER Mean 1.702 F Value 2.69 F Value 2.69
Pr > F 0.0342 Pr > F 0.0342
127 Contrast
DF
R0 VS R1&R2&R3&R4&R5&R6 R1&R2&R3 VS R4&R5&R6 R1 VS R3 Linier Kuadratik R4 VS R6 Linier Kuadratik
Contrast SS
Mean Square F Value
Pr > F
1 1
0.000462 0.048649
0.000462 0.048649
0.04 4.38
0.8399 0.0456
1 1
0.043551 0.022965
0.043551 0.022965
3.92 2.07
0.0576 0.1616
1 1
0.031331 0.032666
0.031331 0.032666
2.82 2.94
0.1043 0.0975
Lampiran 25 Analisis varian dan uji kontras orthogonal mortalitas ayam pedaging General Linear Models Procedure Dependent Variable: MORTALITAS (MORTAL) Source
DF
Sum of Squares
Model
6
74.286
12.381
Error
28
200.000
7.143
Corrected Total 34
274.286
R-Square 0.271
Mean Square
F Value
Pr > F
1.73
0.1501
C.V.
Root MSE
MORTAL Mean
311.805
2.673
0.857
Source
DF
Type I SS
Mean Square
PERLK
6
74.286
12.381
1.73
0.1501
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
PERLK
6
12.381
1.73
0.1501
74.286
Contrast SS
F Value
Mean Square
Pr > F
Contrast
DF
F Value
Pr > F
R0 VS R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 VS R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
1 1
57.619 3.333
57.619 3.333
8.07 0.47
0.0083 0.5001
1 1
0.000 0.000
0.000 0.000
0.00 0.00
1.0000 1.0000
1 1
10.000 3.333
10.000 3.333
1.40 0.47
0.2467 0.5001
128 Lampiran 26 Analisis varian dan uji kontras orthogonal persentase karkas ayam pedaging General Linear Models Procedure Dependent Variable: PERSENTASE KARKAS (PERKAS) Source
DF
Sum of Squares
Model
6
194.008
32.335
Error
28
116.430
4.158
Corrected Total 34
310.439
R-Square
C.V.
0.625
2.824
Mean Square
Root MSE
F Value
Pr > F
7.78
0.0001
PERKAS Mean
2.039
72.201
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
PERLK
6
194.008
32.335
7.78
0.0001
Source
DF
PERLK
6
Type III SS 194.008
Mean Square 32.335
Contrast SS
F Value 7.78
Pr > F 0.0001
Contrast
DF
Mean Square F Value
Pr > F
R0 VS R1,R2,R3,R4,R5,R6 R1,R2,R3 VS R4,R5,R6 BIS (R1, R2, R3) Linier Kuadratik
1 1
71.074 38.692
71.074 38.692
17.09 0.0003 9.30 0.0050
1 1
35.269 0.123
35.269 0.123
8.48 0.0070 0.03 0.8647
BISF (R4, R5, R6) Linier Kuadratik
1 1
22.380 26.470
22.380 26.470
5.38 6.37
0.0279 0.0176
129 Lampiran 27 Rataan IOFCC (Rp) ayam pedaging umur 7-42 hari Uraian Harga DOC (Rp/kg) Harga ransum (Rp/kg) Rataan konsumsi (kg/ekor) Biaya konsumsi ransum (Rp) Biaya konsumsi ransum+ DOC (Rp) Rataan bobot hidup (kg/ekor) Harga ayam (Rp/kg) Hasil penjualan (Rp/ekor) IOFCC (Rp/kg)
Perlakuan R0 1 100
R1 1 100
R2 1 100
R3 1 100
R4 1 100
R5 1 100
R6 1 100
3 434.95
3 334.95
3 279.95
3 209.95
3 399.95
3 377.45
3 339.95
2.634
2.315
2.250
1.972
2.166
2.614
2.114
9 047.66
7 720.41
7 379.89
6 330.02
7 364.29
8 828.65
7 060.65
10 147.66
8 820.41
8 479,89
7 430.02
8 464.29
9 928.65
8 160.65
1.687
1.491
1.464
1.198
1.511
1.641
1.338
10 700
10 700
10 700
10 700
10 700
10 700
10 700
18 050.9
15 953.7
15 664.8
12 818.6
16 167.7
17 558.7
14 316.6
7 903.24
7 133.29
7 184.91
5 388.6
7 703.4
7 630.1
6 155.9