PERAN PEMAHAMAN VARIABEL DALAM PENELITIAN

Download PERAN PEMAHAMAN VARIABEL. DALAM PENELITIAN KOMUNIKASI PENDEKATAN KUANTITATIF. Oleh Hasyim Ali Imran*. Abstract. Because of many misunders...

0 downloads 604 Views 83KB Size
PERAN PEMAHAMAN VARIABEL DALAM PENELITIAN KOMUNIKASI PENDEKATAN KUANTITATIF Oleh Hasyim Ali Imran*

Abstract Because of many misunderstanding about the variables found in the research, this paper tries to explain the substance of the discussion in term of variables. This ones focuses on the issues: 1) Definition of variables; 2) The form of variables, 3) type/group of variables, and 4) Level of Variable Measurement 5) Consequences of ideal understanding about variabel towards the use of statistics. The result shows that variable is to give certain dimension (predicate) to a concept. There are two kinds of variables, namely the categorical variables and continuous variables. Regarding the type / group of variables, it is known that according to the criteria of the type / her group, these ones include: 1. Independent variables (free / influence); 2. Dependent variable (bound / affected; 3. Variable control (suppressor - a bully); 4. Variables antecedent (antecedent variable), and 5. intervening variable. Then, Variable Level Measurement is known that it has four levels of measurement. Those ones are defined as follows: Nominal; Ordinal; interval, and Ratio. Finally, that is about the consequences of ideal understanding about the use of statistical variables. In this connection, the consequence is adjustment of statistical formula used, with variable levels of measurement of data that owned. Keywords: variable, communication studies, quantitative approach

Abstrak Dengan latar belakang masih banyaknya dijumpai kesalahan pemahaman ideal dalam riset mengenai variabel, tulisan ini mencoba memaparkan pembahasan mengenai substansi variabel. Bahasannya difokuskan pada persoalan : 1) Pengertian variabel ; 2) Bentuk variabel ; 3) Jenis/kelompok variabel ; 4) Level Pengukuran Variabel ; dan 5) Konsekuensi pemahaman ideal variabel terhadap penggunaan statistik. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa variabel yaitu pemberian dimensi (predikat) tertentu terhadap suatu konsep. Ada dua bentuk variabel, yaitu variabel kategorikal dan variabel bersambungan. Menyangkut Jenis/kelompok variabel, diketahui bahwa menurut kriteria jenis/kelompok-nya, variabel ini meliputi : 1. Variabel independen (bebas/pengaruh) ; 2. Variabel dependen (terikat/terpengaruh; 3. Variabel kontrol (penekan – pengganggu); 4. Variabel anteseden (antecedent variable); dan 5. Variabel Antara (intervening variable). Kemudian Level Pengukuran Variabel, dikenal ada empat level pengukuran variabel tersebut. Keempat level dimaksud yaitu : Nominal; Ordinal; Interval; dan Ratio. Terakhir, yakni menyangkut konsekuensi pemahaman ideal variabel terhadap penggunaan statistik. Dalam hubungan ini, maka bentuk konsekuensinya adalah berupa penyesuaian rumus statistik yang digunakan, dengan level pengukuran data variabel yang dimiliki. Kata kunci: variabel, penelitian komunikasi, pendekatan kuantitatif

1. Pendahuluan Membicarakan permasalahan variabel dalam kaitan persoalan penelitian komunikasi, secara esensial sebenarnya ini termasuk pembicaraan dalam ranah epistemologis suatu ilmu. Pembicaraan epistemologis sendiri, itu berarti membicarakan tentang bagaimana cara suatu ilmu pengetahuan dalam upaya mencari dan

memperoleh kebenaran ilmiahnya. Terkait dengan upaya-upaya dimaksud, maka secara epistemologis diantaranya termasuklah menyangkut perihal paradigma theori dan paradigma penelitian. Khusus terkait persoalan paradigma penelitian, maka persoalan ini termasuk yang sangat populis dikalangan akademisi. Populis karena persoalannya kerap

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012

63

menuju pro dan kontra yang nota bene terkadang sampai pada penciptaan kubu-kubu di kalangan sesama akademisi. Jadi persoalan menyangkut paradigma penelitian ini, bukan sesuatu yang asing sebenarnya di kalangan akademisi. Meskipun demikian, itu bukan berarti masalah paradigma penelitian itu sudah tuntas persoalannya. Dalam arti, semua akademisi sudah fasih mengenai seluk-beluk paradigma penelitian itu, menyangkut paradigma penelitian positivistik misalnya. Terkait dengan paradigma penelitian positivistik ini, maka salah satu yang menjadi jantung persoalan di sini adalah menyangkut permasalahan variabel, yang dalam banyak kenyataan riset masih mudah dijumpai kesalahan demi kesalahan. Kesalahan itu misalnya menyangkut keterkaitannya dengan masalah : level pengukuran data, penggunaan alat-alat statistik yang tepat, atau berhubungan dengan persoalan kemampuan hasil penelitian dalam upayanya menggeneralisasi terhadap populasi. Sehubungan dengan fenomena sebagaimana dimaksudkan tersebut, kiranya membahas persoalan peran variabel dalam hubungannya dengan proses pelaksanaan penelitian komunikasi dengan paradigma positivistik melalui pendekatan kuantitatif menjadi penting untuk dilakukan. Dalam kepentingan ini, maka bahasannya dalam makalah ini akan difokuskan pada : 1) Pengertian variabel ; 2) Bentuk variabel; 3) Jenis/kelompok variabel; dan 4) Level Pengukuran Variabel; 5) Konsekuensi pemahaman ideal variabel terhadap penggunaan statistik. 2. Pembahasan 2.1. Pengertian Variabel sebenarnya adalah konsep itu sendiri dalam arti bahwa variabel itu sebenarnya bersumber dari suatu konsep. Berhubung konsep itu tidak bisa diukur, sementara dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif konsep teoritik itu dituntut harus diukur untuk kepentingan pembuktian ilmiah, maka konsep tersebut harus diubah dengan cara memberikannya predikat tertentu. Jika tidak, maka dia tidak akan pernah bisa berfungsi menjembatani dunia teoritik dengan dunia empirik. Bukti bahwa konsep teoritik itu tidak bisa digunakan untuk melakukan pengukuran fenomena empirik, misalnya menyangkut konsep badan. Terhadap konsep badan ini, dalam kehidupan sehari-haripun dia tidak akan komunikatif jika kita berdialog dengan seseorang 64

misalnya. Ketidakkomunikatifan ini karena ketidakjelasan kita menggunakan konsep ’badan’. Contoh dialog itu misalnya, sebagai berikut: Amat : Bagaimana badanmu, Jef ? Tanya Amat pada Jefri. Jefri : Maksudnya, apanya , Mat ? tanya Jefri bingung kepada Amat. Amat : Ya, badanmulah, gimana, sih ? kata amat dengan nada suara agak tinggi. Jefri : Loh, gimana, sih, Amat, nih...., nanyain orang gak jelas, malah Sewot !!! Amat : Iya, lu itu, ditanyain gitu aja kog malah nanya-nanya lagi...! Jefri : Lha, iya, dong. Kalo nanya yang jelas..... Apa beratnya, tingginya, kondisinya, gitu, loh.... !!!! jelas Jefri pada Amat. Amat : Oh iya ya, gua lupa, Jef..., Maksud gua, kondisi Lho.....!!!! Jefri : Oh itu, kalo itu, sih, gua baru konsultasi dokter kemarin. Katanya, sih, Alhamdulillah gua sehat, gitu...! Dari contoh dialog di atas sangat jelas kiranya, mana konsep badan yang murni dan mana konsep badan yang sudah diberi predikat (ciri khusus). Dialog meningkat tegang ketika muncul konsep yang tidak jelas, dan komunikasi menurun lunak ketika muncul konsep yang jelas melalui pemberian predikat. Pemberian predikat terhadap konsep ’badan’ yang berupa kondisi itu, dengan sendirinya pula menjadikan konsep ’badan’ jadi berubah status menjadi ’variabel’, yakni variabel kondisi badan. Dengan kata lain, a concept able to be variant. Disebut variabel kondisi badan karena dengan pemberian predikat tersebut, variabel kondisi badan yang berasal dari konsep badan itu dengan sendirinya jadi bisa memiliki variasi nilai. Varian nilai kondisi badan di sini yakni berupa: Sehat dan Tidak Sehat. Dari contoh ini, makanya ada pengertian bahwa variabel itu adalah konsep, namun konsep belum tentu variabel. Selanjutnya, dalam kaitan proses penelitian, karenanya agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, mereka (konsep-konsep itu) harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel, yang berarti sesuatu yang mempunyai variasi nilai. Caranya adalah dengan memilih dimensi (predikat) tertentu konsep yang mempunyai variasi nilai. Suatu konsep sederhana

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012 |

adalah konsep badan, seperti dicontohkan sebelumnya. Agar konsep tersebut dapat diteliti secara empiris, konsep tersebut harus dijadikan variabel dengan mengambil dimensi tertentu dari badan, misalnya, selain berupa kondisi badan tadi, yang lain misalnya bisa juga berupa tinggi badan, berat badan, dan bentuk badan yang mengandung variasi nilai. Dari konsep penduduk dapat dirumuskan variabel-variabel jenis kelamin, suku bangsa, umur, dan variabel-variabel lainnya. Beberapa contoh variabel yang sering dijumpai dalam penelitian adalah jumlah anak, luas tanah yang dikuasai, status perkawinan, tingkat pendidikan, tingkat kematian anak, tingkat pertumbuhan ekonomi, penggunaan kontrasepsi, dan tempat tinggal. Itu di bidang demografi. Bidang lain seperti komunikasi, misalnya variabel-variabel seperti: terpaan media; literasi media, literasi visual; literasi internet; literasi informasi; frekuensi ekase; sikap; motif, dan lainlain. 2.2. Bentuk Variabel Dalam penelitian sosial dikenal ada dua bentuk variabel, yaitu variabel kategorikal dan variabel bersambungan. Variabel kategorikal adalah variabel yang membagi responden menjadi dua kategori atau beberapa kategori. Variabel yang terdiri dari dua kategori disebut variabel dikotomi, sedangkan yang memiliki banyak kategori disebut variabel politomi. Variabel dikotomi sering dijumpai dalam penelitian sosial (termasuk dalam ilmu komunikasi), misalnya jenis kelamin (pria-wanita); status pekerjaan (bekerja/tidak bekerja); status perkawinan (kawintidak kawin); dan penggunaan kontrasepsi (pakaitidak pakai). Beberapa contoh variabel politomi adalah jenis pendidikan (tidak sekolah; SD; SLTP; SLTA; D1;D2;D3; S1; S2; S3). Termasuk juga seperti jenis pekerjaan dan agama yg dianut. Variabel bersambungan adalah variabel yang nilai-nilainya merupakan suatu skala, baik bersifat ordinal maupun rasio. Beberapa contoh variabel bersambungan dalam penelitian sosial adalah: umur; jumlah pendapatan, jumlah pengeluaran rumah tangga, tingkat efektifitas, tingkat sentuhan media massa, dan tingkat kriminalitas. Dalam analisa seringkali variabel-variabel bersambungan ini diubah menjadi variabel kategorikal, agar peneliti dapat melakukan analisa-analisa kategorikal seperti tabulasi silang dan analisa varians. Sebaliknya variabel kategorikal tidak dapat langsung diubah menjadi variabel bersambungan.

2.3. Jenis/ Kelompok Variabel Menurut kriteria jenis/ kelompoknya, variabel ini meliputi: 1. Variabel independen (bebas/pengaruh); 2. Variabel dependen (terikat/terpengaruh); 3. Variabel kontrol (penekan – pengganggu); 4. Variabel anteseden (antecedent variable); dan 5. Variabel Antara (intervening variable). a. Variabel independen (bebas/ pengaruh) Variabel independen (bebas/pengaruh) yaitu suatu variabel yang dalam suatu hipotesis penelitian secara teoritis diposisikan sebagai sesuatu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi dari suatu variabel lain yang disebut sebagai variabel tergantung (variabel dependen (terikat/terpengaruh). Sebagai contoh, misalnya hipotesis yang berbunyi: 1. ”Daya beli produk rokok ditentukan oleh Status Sosial Ekonomi (SSE)”; 2. ”Relevansi persepsi iklan produk antara khalayak dan desainer iklan berhubungan dengan literasi visual khalayak”. Untuk dua contoh hipotesis di atas, maka pada hipotesis 1. variabel independennya adalah Status Sosial Ekonomi (SSE). Sedang pada contoh hipotesis 2. variabel independennya adalah ’literasi visual’. b. Variabel dependen (terikat/terpengaruh) Variabel dependen (terikat/terpengaruh) yaitu suatu variabel yang dalam suatu hipotesis penelitian secara teoritis diposisikan sebagai sesuatu faktor yang dipengaruhi oleh kondisi dari suatu faktor atau variabel lain yang disebut sebagai variabel independen (bebas/ pengaruh). Dalam kaitan dua contoh hipotesis tadi, maka pada hipotesis 1. variabel dependennya adalah ’daya beli’. Sedangkan pada contoh hipotesis 2. variabel dependennya adalah’relevansi persepsi’. Artinya, ’relevansi persepsi’ terjadi jika terdapat ’literasi visual’ yang baik di kalangan khalayak. c. Variabel kontrol (penekan-pengganggu) Variabel kontrol (penekan-pengganggu) adalah variabel yang secara teoritis/ logis diduga dapat menekan atau mengganggu hubungan antara variabel-variabel dalam hipotesis. Untuk contoh kasus pada hipotesis 1) misalnya, maka hubungan itu mungkin variabel penekanpengganggu-nya bisa berupa variabel sikap terhadap rokok. Dengan variabel ini, maka dengan sikap anti rokok misalnya, ini bisa menyebabkan gangguan terhadap hubungan antara variabel SSE dengan variabel Daya Beli. Artinya, meskipun misalnya seseorang responden memiliki SSE tinggi namun

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012

65

sikapnya anti terhadap rokok, maka daya belinya terhadap rokok tetap tidak terpengaruh oleh SSE-nya yang tinggi tadi. d. Variabel anteseden (antecedent variable) Variabel anteseden (antecedent variable) adalah suatu variabel yang dalam suatu hipotesis penelitian posisinya mendahului posisi variabel-variabel utama dalam hipotesis penelitian. Dengan kata lain, variabel tersebut semacam menjadi pra kondisi bagi terjadinya suatu hubungan antara dua variabel dalam hipotesis. Sebagai contoh misalnya menyangkut hipotesis yang berbunyi, sebagai berikut: ”Aktivitas pemasaran produk dan jasa oleh anggota masyarakat melalui internet ditentukan oleh persoalan kualitas bandwich di lingkungan domisili anggota masyarakat”. Hipotesis di atas secara logis menetapkan ’kualitas bandwich’ sebagai penduga bagi terjadinya level ’Aktivitas pemasaran’ anggota masyarakat. Artinya, kalau kualitas bandwich di lingkungan domisili anggota masyarakat tinggal itu berkategori ’baik’, maka ’Aktifitas pemasaran’ anggota masyarakat itupun menjadi tinggi pula levelnya. Dalam kaitan variabel anteseden tadi, maka ini berarti bahwa hubungan itu tidak akan terjadi jika tidak didukung oleh suatu prakondisi yang menunjang bagi terjadinya hubungan itu. Pra kondisi dimaksud itu misalnya menyangkut ’literasi ICT/ TIK’. Jadi, sebaik apapun kualitas bandwich itu di lingkungan domisili anggota masyarakat tinggal, namun kalau tidak ditunjang oleh ’literasi ICT/ TIK’ anggota masyarakat yang tinggi, maka anggota masyarakat itu tidak akan pernah melakukan aktivitas pemasaran. Hal ini sama artinya dengan orang yang buta huruf, maka mereka tidak akan pernah kita jumpai melakukan aktivitas membaca apa saja. Sama halnya dengan aktivtas dalam kaitan hipotesis tadi, kitapun tidak akan pernah menjumpai mereka berkomunikasi dengan menggunakan internet. Jadi, inilah yang dimaksud dengan variabel anteseden itu. Yaitu suatu prakondisi yang harus terpenuhi bagi terjadinya suatu hubungan dalam hipotesis penelitian. e. Variabel Antara (intervening variable). Variabel ini hampir mirip-mirip pengertiannya dengan variabel kontrol. Variabel ini sendiri merupakan variabel yang mengantarai hubungan variabel dalam suatu hipotesis. Hal ini misalnya hipotesis yang menduga adanya hubungan antara jarak tempat tinggal dengan 66

frekuensi mengunjungi perpustakaan. Bunyinya misalnya, ”Semakin dekat jarak tempat tinggal dengan lokasi perpustakaan semakin sering mengunjungi perpustakaan”. Dengan hipotesis ini, maka hubungan positif mungkin akan terjadi apabila dimasukkan variavel yang bersifat intervening. Jika tidak maka hubungan itu mungkin tidak akan terjadi secara positip. Variabel intervening dalam hal ini mungkin variabel jenis pekerjaan. Jadi, dengan memasukkan variabel tersebut, maka secara logis memang jarak belum tentu menentukan kunjungan. Misalnya kalau responden pekerjaannya buruh/ kuli kasar, apa hubungannya dengan perpustakaan! Karena itu, terhadap orang-orang seperti ini, di samping perpustakaan sekalipun rumahnya, dia tetap tidak akan pernah mengunjungi perpustakaan. Terkait ini pula, maka orang-orang yang mengunjungi perpustakaan itu mungkin orangorang yang ada kepentingannya dengan perpustakaan, misalnya responden pelajar; mahasiswa; atau pihak-pihak lainnya yang pekerjaannya sedikit banyak ada hubungannya dengan perpustakaan, misalnya sales; ustadustazah. Oleh karena itu, di sinilah perlunya memasukkan variabel intervening itudalam pen gujian hipotesis. 2.4. Level Pengukuran Variabel Selain perlu mengenal jenis/kelompok variabel tadi, maka dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini, masalah level pengukuran variabel tersebut juga sangat vital perannya dalam proses penelitian. Kevitalan-nya terutama dalam kaitan untuk pengujian hipotesis yang memerlukan bantuan uji-uji statistik. Jika tidak dikenal dengan baik, maka seperti banyak terjadi dalam dunia akademik, terjadi banyak salah kaprah. Atau dilakukan dengan main trabas saja. Akibatnya, proses riset yang dilakukan dengan cara susah-payah, hanya menghasilkan penelitian yang invalid belaka. Jadi, tentunya mengenal dengan baik masalah level pengukuran variabel ini, menjadi sangat penting dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian sosial, termasuk tentunya ilmu komunikasi, maka dikenal ada empat level pengukuran variabel tersebut. Keempat level dimaksud yaitu: Nominal; Ordinal; Interval; dan Ratio. Atau disingkat dengan NOIR. Level pengukuran tersebut yang perlu dikenal secara hakiki adalah bahwa level pengukuran itu bisa diturunkan tingkatannya, tetapi tidak bisa

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012 |

ditingkatkan levelnya. Secata logika sederhana ini bisa dimaklumi dengan menganalogikannya dengan kemampuan anak pelajar atau mahasiswa. Dalam kaitan ini, maka kemampuan anak SD tidak mungkin bisa dinaikkan setara dengan kemampuan anak SLTA atau mahasiswa. Tapi sebaliknya, kemampuan anak SLTA atau mahasiswa sudah tentu dapat diturunkan menjadi setara dengan kemampuan anak SD. Kemampuan ini, misalnya, menyangkut kemampuan membaca, kemampuan berhitung, kemampuan menafsirkan, dan lain-lain. Demikian halnya dengan analogi kemampuan komputer, maka kemampuan komputer dengan prosesor Pentium IV akan mampu membaca atau mengikuti sistem kerja Pentium II atau III. Sebaliknya, kemampuan prosesor Pentium II dan III tidak akan mampu membaca atau mengikuti sistem kerja Pentium IV. Beginilah analoginya. Jadi demikian pula halnya dengan masalah level pengukuran tadi. Turun boleh, naik tidak boleh. Dalam penelitian sosial seperti dalam ilmu komunikasi, level nominal itu berarti penanda yang berasal dari bahasa Yunani yaitu nomen yang berarti tanda. Jadi, dengan kata ini variabel nominal berarti hanya sekedar penanda saja bagi suatu fenomena. Hal ini misalnya menyangkut fenomena kesukuan, maka jawabannya hanya berupa penanda-penanda aja secara utuh, misalnya penandanya menjadi : Jawa, Batak, Sunda; Betawi , dan lain-lain. Hal ini berarti seorang responden hanya tertandai menjadi responden yang bersuku Jawa, Batak, Sunda; dan Betawi. Tak lebih dari itu, utuh. Artinya, walaupun seseorang itu misalnya belasteran antara suku Batak; Sunda dan Jawa, jawabannya tidak bisa terpecah menjadi 1/3 Batak, 1/3 Sunda dan 1/3 Jawa. Begitu juga jenis kelamin misalnya, walaupun seseorang itu bencong atau wadam/waria misalnya, jawabannya tetap satu, yaitu mengikuti jenis kelamin aslinya. Misalnya bencong, maka jawabannya tetap berjenis kelamin pria, bukan 1/2 pria atau 1/2 wanita. Selain contoh ini, tentunya masih banyak contoh lainnya. Dalam fenomena komunikasi, maka contohnya antara lain berupa : jenis media yang dibaca, variannya berupa: media cetak-media elektronik dan media baru. Begitu juga dengan jenis rubrik pada suratkabar yang dibaca, apakah tajuk, berita utama, opini, surat pembaca, advetorial, dan lain-lain. Selanjutnya menyangkut variabel ordinal. Untuk variabel ini, maka masudnya adalah suatu variabel yang levelnya berada lebih tinggi daripada variabel nominal. Kata dasar dari

variabel ini yaitu ordo, yang berarti kelompok. Jadi dalam kaitan terminologi metiodologi peneltian, ordinal dimaksudkan suatu pengelompokan atas suatu fenomena tertentu. Hal ini misalnya menyangkut fenomena mengakses situs jejaring sosial dalam internet. Terhadap fenomena tersebut, maka fenomenanya antara lain dapat diordinalkan menjadi : Sangat Sering; Sering; Jarang; dan Tidak Pernah. Selanjutnya terkait dengan variabel dengan level pengukuran interval. Untuk variabel dimaksud, maka suatu fenomena itu dimasukkan ke dalam ke dalam satuan interval tertentu. Hal ini misalnya dengan satuan interval 4 dari suatu kontinum nilai 25 atas suatu penilaian tertentu, misalnya target penjualan barang atas suatu tenaga sales dari suatu produk. Terkait ini maka intervalnya menjadi: 1-5 6-10 11-15 16-20 21-25 Dengan interval yang memiliki range 24 tersebut, maka fenomena yang diamati dimasukkan ke dalam masing-masing kelompok interval. Misalnya sales yang berhasil menjual 8, maka dia dimasukkan ke dalam interval antara 610. Demikian seterusnya. Terakhir yaitu menyangkut skala ratio. Variabel ini merupakan level tertinggi dalam ilmu sosial. Hasil amatannya bermakna memiliki nilai mutlak. Fenomena menyangkut hal ini misalnya terkait dengan pendapatan per bulan; jumlah pengeluaran individu per hari; jumlah sedekah yang dikeluarkan dalam sebulan; termasuk jumlah rakaat sholat yang dilaksanakan dalam sebulan. Hasil amatan terhadap gejala ini dimunculkan secara ratio melalui jumlah angka-angka. Sebagai contoh misalnya menyangkut jumlah pengeluaran individu dalam sehari. Hasil pengamatan terhadap gejala ini selanjutnya dimasukkan ke dalam data antara lain berupa, sebagai berikut:

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012

67

Tabel 1: Jumlah Pengeluaran Individu dalam Sehari No. Responden 1 2 3 4 5 6 7 Dan seterusnya

Jumlah Pengeluaran Per Hari Per Individu (Dalam Rupiah) 0 5000 2500 90 000 100 000 8000 7000

Selanjutnya, guna memudahkan pemahaman mengenai konsep dan variabel tersebut, ini dapat dilakukan dengan melatih diri kita sendiri. Bentuk pelatihan itu misalnya melalui pengisian kolomkolom tabel sebagai mana dicontohkan di bawah ini, sebagai berikut: Tabel 2: Praktik Membuat Contoh Konsep, Variabel dan Level Pengukuran Konsep

Variabel

Level Pengukuran

2.5. Konsekuensi Pemahaman Ideal Variabel Terhadap Penggunaan Statistik Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya pada bagian awal tulisan ini, masalah pemahaman terhadap variabel secara ideal sangat penting dimiliki dalam kaitan proses pelaksanaan penelitian melalui paradigma positivistik dengan pendekatan kuantitatif. Kepentingan itu karena masalah ini berkonsekuensi dengan persoalan pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah (konsekuensi epistemologis). Dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif, terutama yang berupaya menemukan kebenarannya itu melalui metode korelasi, maka ini dengan sendirinya akan sarat berhubungan dengan masalah variabel. Dalam kaitan kesaratan itu, maka langkah pertama yang dilakukan biasanya melakukan uji normalitas data. Ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran data yang kita kumpulkan melalui pengumpulan data lapangan melalui 68

kuesioner. Hal ini terutama menyangkut data dari variabel yang akan kita uji melalui uji hipotesis. Kegunaan pengetahuan ini sendiri berkaitan dengan masalah uji statistik yang akan kita lakukan yang tentunya berkonsekuensi nantinya pada hasil penelitian. Jika hasil uji normalitas data misalnya menghasilkan sebaran data yang normal, maka konsekuensinya adalah bahwa uji statistik yang kita lakukan terhadap variabel-variabel dalam hipotesis, bisa dilakukan dengan statistik inferensial. Karenanya, sesuai dengan nama uji statistik itu, hasilnyapun bisa kita generalisasikan terhadap populasi. Sebaliknya, jika hasil uji normalitas data dari variabel itu menunjukkan hasil yang tidak normal sebarannya, maka kitapun tidak bisa menggunakan uji statistik inferensial terhadap variabel-variabel dalam hipotesis yang kita rumuskan. Sejalan dengan itu, maka uji statistik yang kita lakukan hanya sebatas uji statistik deskriptif. Dengan begitu, kita pun tidak bisa melakukan generalisasi terhadap hasil penelitian yang kita lakukan karena dengan statistik deskriptif, itu berarti keberlakuannya hanya sebatas pada sampel yang kita ambil saja dalam penelitian. Mengikuti langkah sebelumnya, maka langkah selanjutnya adalah mengenal level pengukuran variabel. Seperti sudah disinggung sebelumnya, menyangkut level pengukuran variabel ini secara terminologis terdiri dari lima, yaitu : Nominal; Ordinal; Interval; dan Ratio. Biasanya disingkat dengat akronim NOIR. Sifat level pengukuran ini yaitu : bisa diturunkan tapi tidak bisa dinaikkan. Pengenalan terhadap level pengukuran ini sangat penting karena berkonsekuensi dengan alat-alat uji statistik yang akan kita terapkan. Terhadap alat-alat uji statistik yang akan diterapkan pada pengujian variabel-variabel dalam hipotesis ini, kalangan ahli statistik, setelah melalui proses ilmiah yang kompleks sebenarnya sudah menetapkan kaidah-kaidahnya untuk itu. Jadi, kita akademisi komunikasi, dengan sendirinyapun harus mengikuti kaidah-kaidah itu tentunya. Dengan ketaatazasan itu, tentunya kita tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip epistemologis dalam proses penelitian. Kemudian, dalam upaya mengetahui apa bentuk konsekuensi pengetahuan tentang level pengukuran variabel terhadap pengujian statistik itu, maka salah satu diantaranya dapat dilacak melalui pengetahuan tentang ukuran asosiasi di antara dua variabel sebagaimana dikemukakan Champion (1981 : 354). (lihat tabel).

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012 |

Tabel 3: Ukuran Asosiasi Di Antara Dua Variabel Nominal Pearson’s Lambda Cramer’s Tschuprow’st Phi Tetrachoric

Nominal

Ordinal

Ordinal

Interval/Ratio

Wilcoxon’s Theta

Eta the correlation ratio Jaspen’s M

Kruskal’s Gamma Kendall’s Somer’s dyx

Interval/Ratio

Spearman’s rho Pearson’s

Kemudian, dalam upaya mengetahui apa bentuk konsekuensi pengetahuan tentang level pengukuran variabel terhadap pengujian statistik itu, maka salah satu diantaranya dapat dilacak melalui pengetahuan tentang ukuran asosiasi di antara dua variabel sebagaimana dikemukakan Champion (1981 : 354). (lihat tabel). Jadi, dengan melihat tabel di atas kiranya sudah jelas bagi kita, bahwa ada konsekuensinya dari pengetahuan kita mengenai level-level pengukuran variabel itu. Konsekuensinya yaitu berupa penggunaan rumus-rumus statistik yang relevan. Sebagai contoh di sini akan dikemukakan mengenai penggunaan rumus yang relevan dengan level pengukuran variabel yang dimiliki oleh data hasil penelitian (fiksi), sebagai berikut : 1) Contoh masalah Penelitian: Apakah ada hubungan antara kosmopolitanisme dengan kecepatan menerima gagasan baru ? 2) Hipotesis : Hipotesis 1 : Makin kosmopolit, makin cepat menerima gagasan baru Hipotesis Nol: Tidak ada hubungan antara kosmopolitanisme dengan kecepatan menerima gagasan gagasan baru 3) Hasil penelitian, setelah diolah/ditabulasi disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4

Hubungan Kosmopolitanisme dengan Kecepatan Menerima Kosmopolitanisme n: 150 Rendah

Cukup

Tinggi

25 a

18 b

10 c

Kecepatan Menerima Gagasan Cepat Cukup Lambat

12 d 8g

45

13 e

15 f

17 h

32 i

48

57

4) Prosedur Analisis: Dengan mengacu pada ketentuan Champion sebelumnya, maka kita menghitung koefisien korelasi Kruskal’s Gamma, . Rumusnya,  =  fa - fi  fa + fi Dimana :

fa = frekuensi kesepakatan (agreements) fi = frekuensi inverse (inversions)

Secara operasional, dengan melihat lambanglambang huruf pada tabel 1. fa = a (e +f + h + i ) + b (f + i) + d (h +i) + (e) (i) fi = c (d + e + g + h) + b (d + g) + f (g + h) + (e) (g)

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012

69

5) Langkah-langkah perhitungan: 1. Hitung dahulu fa dan fi fa = (25) (13 +15 + 17 + 32) + 18 (15 + 32) + (12) (17 + 32) + 13 (32) fa = 1925 + 846 + 588 + 416 fa = 3775 fi = (10) (12 + 13 + 8 + 17) – 18 (12 + 8) + (15) (8 + 17) + (13) (8) fi = 500 + 300 + 375 + 104 fi = 1339 2. Masukkan hasil perhitungan pada langkah pertama ke dalam rumus :  = 3775 - 1339 3775 + 1339 = 2436 5114 = 0,48 3. Tinhgkat significansi  dapat dinilai dengan menghitung nilai Z Z = ()  fa-fi N (1-)

Nilai  hasil perhitungan = 0,48 fa = 3775 fi = 1339 N = 150 Jadi, Z = (0,48)  3775 -1339 (150) (1-0,48) = (0,48)  21,04 = (0,48) (4,592) = 2,20 Untuk tingkat signifikansi 0,05 dengan uji dua arah (two tail test), nilai kritis adalah sekitar 1,96. Dengan demikian, nilai gamma hasil perhitungan, sebesar 2,20, lebih besar daripada 1,96. Karena itu hipotesis nol dapat ditolak. Artinya, makin kosmopolit responden, memang makin cepat mereka dalam menerima gagasan baru. Demikianlah sebagai salah satu contoh penggunaan rumus statistik yang relevan dengan level pengukuran data variabelnya. Sederet contoh bisa saja dilakukan di sini, namun karena keterbatasan ruang hal ini tidak mungkin dilakukan. Tetapi yang penting di sini adalah, bahwa kita sudah menemukan standar ideal dalam kaitan penggunaan rumus-rumus statistik yang ideal dalam kaitan penggunaan uji hipotesis sesuai 70

dengan level data variabel yang kita miliki, yaitu mengacu pada ketentuan yang dikemukakan Champion sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya. 3. Kesimpulan Demikianlah sebagai salah satu contoh penggunaan rumus statistik yang relevan dengan level pengukuran data variabelnya. Sederet contoh bisa saja dilakukan di sini, namun karena keterbatasan ruang hal ini tidak mungkin dilakukan. Tetapi yang penting di sini adalah kita sudah menemukan standar ideal dalam kaitan penggunaan rumus-rumus statistik yang ideal dalam kaitan penggunaan uji hipotesis sesuai dengan level data variabel yang kita miliki, yaitu mengacu pada ketentuan yang dikemukakan Champion sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya. Sebagaimana sudah dikemukakan pada bagian pendahuluan tulisan ini, bahwa bahasan dalam makalah ini difokuskan pada : 1) Pengertian variabel ; 2) Bentuk variabel ; 3) Jenis/kelompok variabel ; dan 4) Level pengukuran variabel ; 5) Konsekuensi pemahaman ideal variabel terhadap penggunaan statistik. Dari hasil pembahasan dapat dikemukakan bahwa menyangkut pengertian variabel, maka diketahui bahwa variabel yaitu pemberian dimensi (predikat) tertentu terhadap suatu konsep. Mengenai bentuk variabel , maka dalam penelitian sosial dikenal ada dua bentuk variabel, yaitu variabel kategorikal dan variabel bersambungan. Variabel kategorikal adalah variabel yang membagi responden menjadi dua kategori atau beberapa kategori. Variabel yang terdiri dari dua kategori disebut variabel dikotomi, sedangkan yang memiliki banyak kategori disebut variabel politomi. Kemudian menyangkut jenis/kelompok variabel, maka diketahui bahwa menurut kriteria jenis/kelompoknya, variabel ini meliputi : 1. Variabel independen (bebas/pengaruh) ; 2. Variabel dependen (terikat/terpengaruh; 3. Variabel kontrol (penekan – pengganggu); 4. Variabel anteseden (antecedent variable); dan 5. Variabel antara (intervening variable). Kemudian, terkait dengan level pengukuran variabel, maka dikenal ada empat level pengukuran variabel tersebut. Keempat level dimaksud yaitu : Nominal; Ordinal; Interval; dan Ratio. Atau disingkat dengan NOIR. Terakhir, yakni menyangkut konsekuensi pemahaman ideal variabel terhadap penggunaan statistik. Dalam hubungan ini, maka bentuk konsekuensinya

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012 |

adalah berupa penyesuaian rumus statistik yang digunakan dengan level pengukuran data variabel yang dimiliki. Sejalan dengan kuatnya peran pemahaman variabel dalam proses rises dengan pendekatan kuantitatif dalam tradisi paradigma positivistik, maka seyogyanya perihal tersebut harus mendapat perhatian serius dari peneliti-peneliti awal. Sementara di tingkat akademis, proses pengajarannya di kalangan mahasiswa sudah seharusnya mendapat perhatian serius dari kalangan tenaga edukatif. Bentuk keseriusan itu misalnya dengan menerapkan kurikulum yang berbasiskan kompetensi atau yang akrab dikenal dengan akronim KBK.

REFERENSI Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Triputra, Pinckey, dkk. 2001-2002. Metodologi Penelitian Komunikasi Terapan. Jakarta: Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia.

“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

(Nelson Mandela, Mantan Presiden Afrika Selatan, Peraih Nobel Perdamaian)

* Hasyim Ali Imran Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika

| INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO. 13/2/Desember 2012

71