Perubahan Filosofi Perencanaan Melalui Pendekatan Berpikir Strategis dalam Kerangka Kerja KLHS Oleh Sri Hidayat1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel Email :
[email protected] Hp : 085255929708
PENDAHULUAN Perencanaan pembangunan suatu wilayah kadang mengabaikan aspek lingkungan. Lebih banyak pada peningkatan nilai ekonomi dan terwujudnya implementasi nilai-nilai sosial. Memang benar aspek lingkungan biofisik juga dipertimbangkan seperti dalam penetapan zona regulation, terdapat wilayah kawasan lindung sebagai area penyangga kualitas lingkungan dan kawasan budidaya sebagai zona pengembangan berbagai kegiatan. Namun lebih hanya pada pendekatan sainstis yang sifatnya formalitas atau pelengkap secara administrasi dalam dokumen perencanaan ruang. Belum terintegrasi sebagai pertimbangan pembangunan berkelanjutan dalam pengambilan atau keputusan kebijakan, rencana dan program (KRP). Para perencana dalam praktek mengembangkan suatu wilayah akan berangkat dari pertimbangan ekonomi, selanjutnya bagaimana wilayah itu ditata dengan menempatkan berbagai rencana kegiatan pada ruang yang terbatas diikuti dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Pada tahap selanjutnya para perencana akan mempertimbangan kondisi sosiologi spasial dari wilayah yang direncanakan, sehingga tidak sedikit dalam perencanaanya mereka harus menyediakan ruang untuk menjaga agar interaksi sosial dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Jika tidak, pada kesempatan tertentu mereka akan mengembangkan ruang sesuai dengan nilai-nilai
sosiologi yang dianut masyarakat setempat. Menjadi pertanyaan kemudian, kapan aspek lingkungan dipertimbangan?. Sebagian memahami bahwa aspek lingkungan biofisik telah dipertimbangkan pada saat penyediaan infrastruktur atau pada saat menyediakan ruangruang hijau dari wilayah atau kota yang direncanakan. Perilaku merencanakan pembangunan yang mempertemukan isu-isu ekonomi, sosial dan lingkungan itu dikenal dengan suistanability development. Berpikir secara silo antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan kadang dipertemukan pada kontra produktif kepentingan. Satu sisi pertumbuhan ekonomi diharapkan, sementara disisi lain kualitas lingkungan menjadi semakin memburuk. Pada titik ini, mulailah perencana berpikir tentang daya dukung dan daya tampung wilayah yang direncanakan. Pendekatan dampak dalam AMDAL ditapak proyek kemudian dipercaya sebagai solusi. Pada prakteknya AMDAL terbatas untuk memberikan solusi pada permasalahan yang lebih luas, diluar tapak proyek. Disadari bahwa permasalahan ditapak juga terkait dengan permasalah wilayah secara umum. Pada level ini isu ekonomi, sosial dan lingkungan tidak lagi memiliki batas yang jelas sehingga semua, satu dengan yang lainnya saling terkait membentuk isu strategis kewilayahan. Akhirnya instrumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dipandang sebagai kebutuhan untuk menjawab 1
keterbatasan AMDAL (Noble dan Nwanekezie, 2016). Evaluasi pada kebijakan, rencana, dan program (KRP) kewilayahan tentu tidak dapat dilaksanakan melalui praktek AMDAL di tapak proyek, sehingga pada prakteknya KLHS dilaksanakan sebagai AMDAL yang diperluas atau filosofi AMDAL yang diadopsi untuk mengevaluasi KRP. Pada implementasinya KLHS banyak dilaksanakan melalui kajian dampak (basic impact) KRP sebagaimana prinsip AMDAL pada level provek. Umumnya kajian dampak yang dilakukan hanya bersifat jangka pendek dan menyelesaikan permasalahan secara bagian perbagian. Sementara permasalahan yang dihadapi saling terkait satu dengan lainnya yang berinteraksi dan saling berpengaruh dalam satu sistem yang dinamis dan sifat jangka panjang. Penyelesaian masalah secara parsial-parsial dan tidak menyentuh pada akar masalah, disadari tidak strategis pada evaluasi KRP. Hanya dengan menempatkan filosofi kajian dampak untuk mengevalusi KRP dianggap belum strategis. Banyak pengalaman praktek KLHS tidak memberikan dampak perbaikan pengambilan keputusan, kecuali KLHS hanya menjadi dokumen formal. Sementara pada sisi lain KLHS diharapkan dapat menjadi instrument yang membantu rumusan dan pelaksanaan strategi inisiatif KRP dan bahkan memainkan peran politik dalam pengambilan keputusan (Partidario, 2015). Pada akhirnya KLHS dalam konteks pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat mengatasi beberapa keterbatasan pada AMDALProyek, termasuk kebutuhan untuk lebih proaktif pertimbangkan dampak lingkungan potensial pada awal pengambilan keputusan serta menghadapi dampak kumulatif dan mengatur arah yang lebih baik pada penyusunan KRP. Oleh karena itu diperlukan pendekatan baru dari KLHS yang dulunya bersifat tradisional (basic impact) menuju pendekatan strategic thingking. KLHS nantinya dapat bertujuan untuk membantu memahami konteks pengembangan KRP dan strategi
implementasinya serta metode penilaiannya. Selain itu juga digunakan untuk menilai pilihan yang layak bagi keberlanjutan lingkungan untuk mencapai tujuan akhir (Partidario, 2012). Untuk itulah artikel akan ini menguraikan bagaimana rekonstruksi teori menjelaskan perubahan paradigma perencanaan saat ini yang tidak hanya pada perubahan prosesnya namun esensi perubahan pada filosofi berpikirnya (tradisional-modern). Pada akhirnya praktek perencanaan yang lebih baik dapat diwujudkan khususnya dalam kerangka kerja KLHS. PEMBAHASAN 1. Proses Perencanaan Perencanaan pada hakekatnya adalah suatu proses terus menerus (continuous) dan berulang (cyclical) di dalam mengambil suatu keputusan yang terbaik. Dalam rangka mencapai keputusan yang ”terbaik” maka dia harus rasional yang tercermin dari rangkaian aktifitas-aktifitas yang dikelompokkan ke dalam tahapan-tahapan yang saling terkait, sistematis dan teratur (Conyers & Hills, 1984). Keputusan yang rasional tersebut baik ditinjau dari sisi ”proses” ataupun ”hasil” diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan sesuatu yang maksimum dengan usaha (in put) tertentu. Ditinjau dari sisi hasil rasionalitas diartikan dengan masukan (in put) usaha yang seminimal mungkin untuk mendapatkan keluaran (out put) semaksimal mungkin. Adapun dari sisi proses pendekatan rasionalitas di dalam pembuatan keputusan dijelaskan oleh Carley dalam Conyer dan Hills (1984) melalui serangkaian urutan tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Menemukenali dan merumuskan masalah (problem identification and definition) 2. Mengelompokkan dan mengorganisasikan tujuan-tujuan (goals), nilai-nilai (values), dan sasaran-sasaran (objectives) yang terkait dengan masalah 3. Menemukenali berbagai alternatif tindakan (alternative courses of action) untuk menjawab 2
masalah atau mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan 4. Memperkirakan berbagai dampak sebagai akibat (consequencies) dari masing-masing alternative tindakan dan kemungkinan dari hal itu akan terjadi 5. Membandingkan dari akibat-akibat yang akan terjadi dari pilihan-pilihan tindakatan dalam kaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan 6. Memilih suatu tindakan yang berakibat paling dekat dengan tujuan dan sasaran atau yang paling dapat menjawab masalah. Tentu saja pilihan tersebut juga yang paling menguntungkan: yang bisa dilihat dari sisi hasil yang lebih baik dari keluaran biaya yang sama atau dari sisi hasil yang sama dari pengeluaran biaya yang paling ringan (kecil). Dalam kaitan dengan perencanaan ruang Burkholder, Chupp, & Star (2003) menekankan sisi lain dari proses rasional di atas bahwa perencanaan ruang merupakan sebuah proses pembelajaran sosial (social learning process) dimana warga (penduduk) dan pemangku kepentingan lainnya belajar bersama tentang ruang mereka, merumuskan visi bersama, dan mengembangkan strategi-strategi untuk mewujudkan hal itu dan menjaga keberlanjutannya dalam waktu yang lama atau jangka panjang (long term strategic planning). Adapun secara fisik, produk dari kegiatan perencanaan tersebut adalah pada akhirnya menghasilkan sebuah Dokumen Rencana (plan) yang selanjutnya menjadi acuan bersama dalam mendorong dan mengarahkan investasi sosial dan ekonomi di masa yang akan datang. Tentu saja secara umum tujuan yang diharapkan adalah menuju pembangunan ruang yang lebih sehat, asri, serasi, produktif, berkelanjutan dan sebagainya. Perkembangan perencanaan ini menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi semakin penting peranannya dalam perencanaan, dimana pada era dibawah paradigma modernisasi,
aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang dapat berlaku disemua lokasi (bersumber rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid dalam perencanaan), maka pada era postmodern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen, dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks dimana mereka melakukan interaksi sosial. Karenanya perencana harus memahami bagaimana interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini perencanaan akan sulit untuk berhasil. Karena kehidupan kemasyarakatan tidak dapat dipandang homogen, maka pengertian publik pun tidak dapat dianggap tunggal yang diwakili oleh perencana (yang umumnya bekerja pada pemerintah), yang dapat menentukan apa yang terbaik bagi masyarakat. Makna publik tentunya harus dipahami sebagai sesuatu yang plural, beraneka ragam, apa yang disebutkan oleh Sandercock (1998) sebagai multiple publik. Menyadari keberagaman masyarakat, maka pengetahuan bagaimana publik yang beragam tersebut berinteraksi (interaksi sosial), memberi ruang bagi diskusi tentang arti penting modal sosial (social capital, sebagai produk dari interaksi sosial) dalam perencanaan. 2.
Perkembangan Prespektif Perencanaan Berdasarkan sejarah, pengenalan teori perencanaan berkembang pada saat terjadinya perencanaan kota modern dalam konsep: Garden City, City Beautiful, dan Public Health Reforms (Allmendinger, 2001). Teori perencanaan itu sendiri merupakan subjek studi yang sulit difahami, Karena di dalamnya akan menggambarkan berbagai disiplin ilmu yang semakin dibahas akan memberi peluang pengembangan yang semakin terbuka lebar. Ada 3
pertanyaan utama dalam teori perencanaan yaitu: aturan apa yang dapat diterapkan dalam perencanaan untuk mengembangkan kota atau wilayah di antara hambatan politik, sosial, dan ekonomi? Jawabannya bukan pada membangun sebuah model perencanaan, tapi lebih pada bagaimana praktek perencanaan yang berbasis pada karakteristik masyarakat di mana perencanaan itu akan diterima dan dilaksanakan (Saraswati, 2006). Selama dekade 1970 hingga 1980an, muncul keprihatinan terhadap keterbatasan dan validitas informasi, data serta metode kuantitaf yang sering dihubungkan dengan positivisme sebagai paradigma yang berlaku saat itu. Paradigma positivisme yang menurunkan pemahaman kebenaran ilmiah melalui proses penelitian kuantitatif memang telah berlaku sejak abad ke-19, sehingga metode ilmiah menjadi berkonotasi positivis. Positivisme mengangap adanya dunia obyektif, yang kurang lebih dapat segera digambarkan dan diukur oleh metode ilmiah, serta berupaya untuk memprediksikan dan menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara variable-variable utamanya secara kuantitatif. Metode positivistik ini dikritik sebagai menghilangkan konteks dari pemaknaan dalam proses pengembangan ukuran kuantitif terhadap fenomena faktual yang diteliti (Lincoln dan Guba, 2000). Oleh sebab itu, muncul pemikiran-pemikiran baru dalam teori perencanaan yang mengarah pada komunikatif rasionalitas yang dituangkan dalam berbagai konsep yang salah satunya digagas oleh Habermas dengan Communicative Rationality, Forester melalui Communicative Planning Theory. Healey dengan Collaborative Planning, dan Allmendinger dengan Postmodern Planning nya (Almendinger, 2002). Jika dilakukan periodesasi mengenai perjalanan teori perencanaan, maka ada dua alur besar teori perencnaan, yaitu instrumental rasionalitas dan komunikatif rasionalitas. Instrumental rasionalitas merupakan konsep-
konsep pemikiran pada era Pra Modern Planning dan Modern Planning Theory, sedangkan komunikasi rasionalitas berada pada era Post Modern Planning Theory. Dalam typologinya, teori perencanaan ini berada pada filisofi Positivist dan Postpositivist (Almendinger, 2002). Konsep perencanaan komunikatif dan kolaboratif yang dituangkan dalam tipologi postmoderen tersebut, telah banyak membicarakan tentang bagaiman melakukan kolaborasi antara “knowledge of science” dengan “practical reasoning” dalam suatu perencanaan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, tidak hanya berpihak pada kelompok yang mampu melakukan ‘lobby’ dengan pihak pengambil keputusan saja. Perencanaan komunikatif dan perencanaan kolaboratif merupakan kritik terhadap Pemerintah dan Group Pelobi Bisnis dalam kapasitas dan kompetensi pemerintah lokal, melalui keadilan alokasi ruang, pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, outcome dalam perbaikan lingkungan hidup, keberpihakan, dan perhatian terhadap perilaku masyarakat dalam suatu lingkungan perumahan. Konsep komunikatif, khususnya perencanaan kolaboratif yang digagas oleh Haley (1987) berawal dari pengalamannya dalam pengendalian pembangunan ruang kota dalam bidang property dengan konsern utama pada land-use dan land development. Perencanaan dengan pendekatan keruangan (spatial plan) pada awalnya dipandang sebagai penerapan desain fisik pada lingkungan pemukiman (Friedman, 1987; Taylor, 1998). Meski perubahan ke perencanaan modern dimulai seiring dengan proses pencerahan di Eropa (Sandercock, 1998 dan Friedman, 1987); Taylor (1998) melihat bahwa penerapan tradisi othogonal design ini masih tetap dominan setelah revolusi industri sampai dengan setelah perang dunia kedua, dimana sampai dengan tahun 60-an, perencanaan lebih dipandang sebagai suatu penerapan seni pada desain fisik. Perubahan besar 4
pertama terjadi di era 60-an, yang disebut Taylor (1998) sebagai perubahan dari morphological conception of space kepada sociological conception of space. Mulai disadari bahwa perencanaan tidak mungkin dilaksanakan hanya dengan melihat aspek physical design saja, perencanaan berkenaan dengan suatu sistem dari aktivitas yang saling berkaitan yang meliputi social life dan economic activities (sebagai content) dan aspek physic (sebagai container). Perubahan besar yang terjadi pada era 60-an bermuara pada penerapan rasionalitas dan pendekatan sistem dalam merencanakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat, dapat dipandang sebagai kulminasi dari proses pencerahan. Penerapan rasionalitas dalam perencanaan dipandang sebagai cara terbaik dalam membangun kehidupan masyarakat yang stabil, daripada hanya menyerahkan pada mekanisme budaya dan keyakinan semata. Seiring dengan perkembangan proses pencerahan, rasionalitas yang diandalkan pada era ini adalah berakar pada paradigma modernisasi, yang mengedepankan objektivitas dalam mendapatkan keilmuan dan tentunya harus bersifat bebas nilai (value free). Karena penggunaan pengetahuan yang objektif dan rasional ini hanya dapat dipercayakan kepada para ahli, maka perencanaan pada era ini lebih menekankan pada perencanaan yang dilakukan oleh negara sebagai aktor utama. Model perencanaan dengan aras epistemologi modernisasi ini, oleh Sandercock (1998) disebutkan sebagai Heroic Model6, dimana model perencanaan ini dibangun dengan lima pilar, yaitu: (1) Rasionalitas; (2) Kekomprehensipan; (3) Metode ilmiah; (4) Keyakinan pada masa depan yang diarahkan oleh Negara; dan (5) Keyakinan pada kemampuan perencana untuk mengetahui apa yang terbaik buat publik. Jelaslah disini bahwa pergeseran dari perencanaan yang hanya bersifat desain lingkungan pemukiman kepada perencanaan modern, telah menempatkan aspek sosial dan
ekonomi sebagai faktor yang penting dalam perencanaan. Cakupan perencanaan telah menjadi luas, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dipandang sebagai suatu sistem. Pengambilan keputusan yang rasional dan pendekatan sistem yang dominan pada paradigma modernisasi ini, menyerahkan proses perencanaan kepada para perencana, yang menerapkan metode ilmiah yang objektif dan dipandang universal. Perencana tersebut bertindak atas nama masyarakat dan kehidupan sosial pun dipandang sebagai homogen. Perencanaan dibawah paradigma modernisasi, menggiring masyarakat pada kondisi krisis, yang oleh Friedman dalam Sandercock (1997) bahwa masyarakat (khususnya di Amerika) pasca industrialisasi ditandai dengan dua krisis, yaitu krisis nilai yang berawal dari runtuhnya absolut/kemutlakan dibawah modernisasi dan krisis pada proses mengetahui (a crisis of knowing), yang direfleksikan oleh munculnya konflik antara pengetahuan para ahli dan pengetahuan personal yang didapat dari pengalaman. Perbedaan antara pengetahuan dari sisi teori yang dipergunakan oleh perencana dan pengetahuan yang ada di masyarakat yang bersumber dari pengalaman semakin menjauh, karena terjadinya polarisasi menuju pada dua kutub ini. Salah satu kelemahan RCP adalah bahwa perencanaan disusun oleh para ahli dengan asumsi bahwa apa yang mereka rencanakan sesuai dan yang terbaik untuk masyarakat, akan tetapi masyarakat sendiri tidak berfungsi sebagaimana dipersepsikan oleh perencana (Brooks, 2002). Adanya gap antara pengetahuan perencana dengan masyarakat sebagai klien dari perencanaan ini, memperkuat bukti bahwa dalam perencanaan terdapat banyak cara, sudut pandang, nilai dan kepentingan yang mewarnai proses perencanaan, dan terkadang perbedaan tersebut tidak dapat dipertemukan. Hal ini menandai pergeseran dari penerapan rasionalitas instrumental dari paradigma modernisasi kepada rasionalitas komunikatif di 5
bawah paradigm post modern oleh Healey (1987) disebut sebagai communicative turn in planning. Perubahan paradigma modern menuju postmodern ini berpengaruh besar terhadap pemikiran dan praktek perencanaan, Sandercock (1998) dengan menggunakan model perencanaan heroic, melihat perubahan yang terjadi dalam perencanaan meliputi: pertama, terjadi pergeseran dari instrumental rationality ke comunicative rationality. Kedua, perencanaan tidak lagi dipandang secara eklusif konsen terhadap integrative, comprehensive dan pengkoordinasian tindakan, tetapi mengarah pada negosiasi, politis dan perencanaan terfokus. Ketiga, perencanaan tidak lagi didominasi oleh engginering mindset, yang berakar pada positivist science yang penuh dengan permodelan kuantitatif dan analisis, tetapi mulai diakui banyak pengetahuan lainnya yang sesuai dengan perencanaan, seperti hermeneustic, action research, feminist dll. Keempat, perencanaan tidak lagi sepenuhnya diarahkan oleh negara, tetapi mulai tumbuh praktek perencanaan yang berbasis masyarakat dimana perencana berperan sebagai enabler dan fasilitator. Terakhir, perencanaan tidak lagi dipandang beroperasi untuk kepentingan publik yang dirumuskan oleh perencana, tetapi perencanaan adalah untuk multiple publik atau publik yang heterogen. Oleh karenanya model-model perencanaan di era post modern yang berkembang adalah model perencanaan yang menekankan perlunya proses dialog (komunikasi), partisipasi, kolaborasi dan penciptaan konsensus. Friedman dalam Sandercock (1998), menekankan bahwa perlunya proses mutual learning untuk menjembatani antara pengetahuan teoritik dari perencana dengan pengetahuan praktis dari masyarakat melalui model perencanaan yang ia sebut sebagai transactive planning. Dengan menggunakan perspektif teori tindakan komunikatif (theory of communicative action dari Habermas), beberapa teori menekankan pentingnya proses interaktif melalui komunikasi, menekankan perlunya
memahami keunikan dari suatu lokasi perencanaan, dan perlunya pendekatan yang lebih bersifat kualitatif. Model perencanaan yang muncul dari perspektif ini adalah seperti Collaborative Planning dari Healey (1987), Consensus Planning dari Innes (1995), dan Planning as shaping attention dari Forester (1989). Perkembangan perencanaan ini menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi semakin penting peranannya dalam perencanaan, dimana pada era dibawah paradigma modernisasai, aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang dapat berlaku disemua lokasi (bersumber rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid dalam perencanaan), maka pada era postmodern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen, dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks dimana mereka melakukan interaksi sosial. Karenanya perencana harus memahami bagaimana interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini perencanaan akan sulit untuk berhasil. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa perencanaan awalnya dilakukan hanya berdasarkan pendekatan fisik keruangan, selanjutnya perencanaan berkembang melibatkan pertimbangan aspek sosial dan ekonomi. Hal ini didasarkan pada penerapan rasionalitas dan pendekatan sistem. Era ini dikenal dengan era modernisasi dalam perencanaan. Selanjutnya perencanaan era post-modern, dimana penerapan rasionalitas instrumental dari paradigma modernisasi kepada rasionalitas komunikatif di bawah paradigm post modern oleh Healey (1987) disebut sebagai communicative turn in planning diimplementasikan. Pada era ini munculah teoriteori perencanaan yang menekankan pentingnya proses interaktif melalui komunikasi. 6
3.
Perencanaan Partisipatif Sebagai suatu proses pembelajaran bersama (social learning process) maka dia harus dilakukan secara partisipatif. Pengertian partisipasi sendiri memiliki banyak perspektif. Partisipasi masyarakat dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Abers, 2000) pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dan dari sudut pandang instrumen (instrumental participation). Dari sudut pandang pemberdayaan masyarakat partisipasi dilihat sebagai proses politik yang pada akhirnya dapat membuka akses masyarakat dalam pengambilan keputusan atau memperkuat posisi masyarakat agar dapat memiliki kekuatan (borgeinig power) yang seimbang dengan pemangku kepentingan yang lain untuk ikut serta di dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan sudut pandang instrument pemahaman partisipasi diletakkan pada pelibatan masyarakat sebagai pengguna akhir (end user) untuk ikut berkontribusi dalam proses pembangunan artinya masyarakat pengguna akhir yang berkepentingan akan bahu membahu menggali dan memobilisasi segala sumber daya yang dimilikinya untuk membantu mewujudkan tujuan pembangunan atau memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya. Dari uraian dua pandangan di atas Manaf (2007) berpendapat bahwa salah satu ciri atau prinsip pokok dari pendekatan partisipatif adalah pemberian wewenang yang lebih besar kepada masyarakat sebagai pengguna akhir (end user) untuk mengelola sumber daya (resources) pembangunan yang tersedia secara lebih mandiri (autonomous). Adapun untuk mengukur partisipasi atau pemberian wewenang kepada di dalam mengelola sumberdaya pembangunan tersebut banyak peneliti hingga kini masih menggunakan tangga partisipasi yang diusulkan Arnstein (1969) sebagai kerangka untuk melakukan analisis. Bagi Arnstein partisipasi berkaitan dengan konsep relasi kekuasaan antara satu aktor dengan aktor yang lain dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam proses partisipasi tidak cukup hanya menjelaskan mengapa keputusan itu dibuat (tanpa melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan itu sendiri) apalagi hanya menginformasikan keputusan tersebut saja kepada penerima manfaat. Kekuasan di dalam pengambilan keputusan di antara aktor–aktor ini harus didasari atas adanya persetujuan atau kesepakan dari semua aktor tersebut. Sehingga secara umum dia membagi tiga tingkatan partisipasi: pertama, tingkatan tertinggi dia sebut dengan tingkatan kekuasaan penuh di tangan rakyat (degree of citizen power); kedua tingkatan partisipasi simbolik (degree of tokenism), dan ketiga tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada partisipasi (degree of manipulation or non-participation). Pada tingkatan kekuasaan penuh di tangan rakyat (degree of citizen power) Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori tingkatan: Pertama, masyarakat yang selama ini terabaikan (the havenot) mendapatkan kedaulatan penuh dalam penyusunan perencanaan, mengabil keputusan atau membuat kebijakan dan mengelola program (citizen control). Kedua, masyarakat memiliki otoritas yang lebih besar karena mereka mayoritas dalam sebuah komite pengambilan keputusan utama (delegated power). Mereka memiliki delegasi (suara) mayoritas dan mampu menjamin akuntabilitas pelaksanaan keputusan. Ketiga kekuasaan terdistribusi sebagai hasil negosiasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (partnership). Tanggungjawab perencanaan dan pembuatan keputusan dibagi secara sederajat berdasarkan hasil negosiasi di dalam komite bersama (community stakeholder council). Sementara pada kategori kedua tingkatan partisipasi simbolik (degree of tokenism) Arstein membagi lagi ke dalam sub kategori tingkatan: pertama tingkatan kooptasi dimana posisi masyarakat lebih lemah di dalam pengambilan keputusan. Hanya orang-orang yang terpandang (tokoh masyarakat) yang bisa diajak bicara dilibatkan di dalam komite. Disini masyarakat 7
seolah-oleh dilibatkan dalam perencanaan akan tetapi mereka pada hakekatknya tidak punya hak suara dalam mengambil keputusan. Sifatnya sebagai “Stempel Karet” saja (placation). Kedua, masyarakat mulai tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan akan tetapi mereka hanya diposisikan sebagai teman untuk diajak bicara atau memberikan masukan. Biasaya masyarakat dilibatkan secara fisik seperti di dalam mengumpulkan data dan iformasi pembangunan, mengawasi pelaksanaan dari segala kegiatan yang telah ditetapkan oleh pihak luar. Partisipasi masyarakat hanya sebatas mengahdiri pertemuanpertemuan dengar pendapat akan tetapi pertemuan ini biasanya hanya bersifat seremonial saja (consultation). Ketiga tingkat partisipasi yang paling rendah. Masyarakat tidak lagi diajak berdialog dua arah akan tetapi mereka hanya diberikan berbagai sosialisasi dan atau informasi dari satu arah saja (informing). Selanjutnya pada kategori ketiga tingkatan manipulasi partisipasi atau tidak ada partisipasi (degree of non-participation). Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengobati (therapy) karena masyarakat dianggap lemah, tidak berdaya, sebagai sumber masalah. Pada tingkatan ini masyarakat dianggap objek bukan subjek pembangunan. Dan subkategori terakhir adalah tidak hanya tergolong non partisipasi bahkan bisa disebut penyalahgunaan makna partisipasi. Pada tingkatan ini semua usulan perencanaan dibuat dan ditentukan dari atas (top down). Dalam hal ini penentu kebijakan melakukan berbagai bentuk kegiatan dengan tujuan seolah-olah keputusan diambil sudah melalui proses pelibatan masyarakat secara demokratis sehingga keputusan tersebut sah dan legitimate (manipulation). 4.
Perencanaan Kolaboratif Beberapa pendekatan perencanaan, perencanaan transaktif (Friedman, perencanaan kolaboratif (Healey, perencanaan komunikatif (Sager, 1994;
yaitu 1973), 1996), Innes,
1997), perencanaan deliberatif partisipatif (Forester, 2000), dan perencanaan konsensus (Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang relatif sama dalam hal menekankan pentingnya kerjasama dengan didasari komunikasi antarpemangku kepentingan. Proses kerjasama tersebut akan berlangsung dengan baik jika terdapat komunikasi dalam bentuk dialog didalamnya. Dalam perencanaan transaktif, dialog yang terjadi adalah life dialogue, yang dipertegas oleh Innes dan Booher (1997) sebagai authentic dialogue. Dalam hal ini, setiap aktor yang duduk bersama saling menghargai, empati, terjadi hubungan timbal balik dan saling menguntungkan. Dengan demikian, dialog hanya akan terjadi jika para pemangku kepentingan berpartisipasi dan duduk bersama dalam memecahkan permasalahan. Partisipasi sendiri hanya akan terjadi jika mereka memiliki kepentingan dan memiliki kesempatan untuk menyuarakan kepentingannya, dan partisipasi tersebut hanya akan terjadi jika ada saling ketergantungan dan kepercayaan. Kerjasama melalui dialog dan partisipasi diarahkan pada pembentukan konsensus (Woltjer, 2000; Innes, 1996). Proses yang memuat aktivitas dialog, partisipasi, dan berorientasi kepada keputusan bersama, terangkum dalam suatu proses kolaboratif. Dengan demikian, dalam suatu pendekatan perencanaan berbasis komunikasi, terjadi proses kolaboratif (Gambar Perencanaan kolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998). Proses kolaboratif merupakan suatu proses adaptive system dimana pendapat-pendapat yang berbeda dari berbagai pihak yang akhirnya menghasilkan suatu konsensus. Anshell dan Gash (2008) berupaya memetakan suatu model yang menggambarkan bagaimana proses kolaboratif terjadi. Proses kolaboratif menurut model ini terdiri dari berbagai tahapan yaitu dimulai dari adanya dialog secara tatap muka (face-to-face dialogue), membangun kepercayaan (trust building), membangun komitmen terhadap proses (commitment to the process), berbagi pemahaman 8
(shared understanding), dan kemudian terbentuknya hasil sementara (intermediate outcome). Tahapan ini merupakan suatu siklus sehingga terjadi proses pembelajaran didalamnya. Innes dan Booher (2010) mengembangkan model DIAD Network Dynamic untuk memerlihatkan bahwa proses kolaborasi menggambarkan jejaring kolaboratif dimana terdapat keragaman, saling ketergantungan dan dialog otentik didalamnya. Hal ini berarti bahwa: pertama, jejaring kolaboratif memiliki keragaman agen-agen, kedua, agen-agen berada dalam situasi mampu untuk saling memenuhi kepentingan masing-masing dan menyadari adanya saling ketergantungan diantara mereka, dan ketiga, terdapat dialog otentik (authentic dialogue) dimana komunikasi mengalirmelalui jejaring secara akurat dan dapat dipercaya diantara para peserta. Dalam dialog otentik, terdapat timbal balik (reciprocity), hubungan (relationship), pembelajaran (learning), kreatifitas (creativity), dan menghasilkan adaptasi dari sistem yang ada. Hal ini berarti bahwa para peserta (aktor) berbicara mewakili kepentingan kelompoknya, saling menghormati, dan berbicara dengan akurat. Tentu saja hal ini membutuhkan kepercayaan, komitmen, dan pemahaman diantara para aktor. Dengan memperhatikan bagaimana proses kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan (Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer,2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen power seperti dikekukakan dalam tangga partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam masyarakat yang sudah menjalankan sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008; Dengan memerhatikan bagaimana proses
kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat (Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1) Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan (Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer, 2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen power seperti dikekukakan dalam tangga partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam masyarakat yang sudah menjalankan sistem demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008). Proses kolaboratif akan dapat berjalan dengan baik dengan partisipasi aktif masyarakatnya diwakili oleh aktor-aktor yang memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya dapat terjadi di negara-negara maju dan sudah demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas, maka proses kolaboratif tidak dapat dengan mudah terwujud pada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang rendah, serta kepemimpinan yang tidak mendukung. Kondisi seperti ini masih mudah dijumpai pada masyarakat tertentu, umumnya di negara-negara berkembang. Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan dengan masalah budaya dan tingkat Pendidikan masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses perencanaan pembangunan masih terdapat banyak kelemahan terutama melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011), dan konsep pembangunan yang partisipatif perlu dirumuskan dalam suatu strategi yang menyeluruh (Djoeffan, 2002). Inti kegiatan pada tahap ini adalah membangun kolaborasi perencanaan, dimana antar berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka berbagi informasi, melakukan dialog dan konsultasi, dan bersepakat terhadap aturan bangunan setempat dan pokok-pokok perencanaan dan pembangunan. Para pemangku kepentingan tersebut kemudian 9
berupaya menyusun berbagai pengaturan yang diperlukan, dan melembagakannya melalui organisasi masing-masing untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governace). Dasar pijakannya tetap konsisten pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value based development), prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Manaf, 2011). 5. Konsep Strategi Dalam Perencanaan Pendekatan strategic thingking (berpikir strategis) dalam perencanaan menjadi pilihan saat ini yang diyakini dapat membuka rute-rute yang mungkin untuk mewujudkan sebuah keberlanjutan dimasa akan datang dari pembangunan yang dilaksanakan saat ini. Perkembangan pendekatan strategic thingking tidak dapat dipisahkan dari teori-teori klasik sebelumnya. Salah satu teori klasik strategis adalah teori strategi perang menurut Sun Tzu. Menurut Sun Tzu terdapat 5 hal yang sangat menentukan kemenangan dalam sebuah peperangan. Hal pertama adalah kemampuan untuk memahami dan menilai situasi yang ada. Hal kedua adalah memahami kapan dan bagaimana pasukan akan diturunkan dalam sebuah pertempuran atau peperangan. Hal ketiga ialah betapa pentingnya memiliki bawahan yang memiliki visi yang sama. Hal keempat adalah memikirkan serta menyusun sebuah perencanaan yang matang. Hal terakhir ialah mengenai kecakapan jenderal yang dimiliki dalam sebuah peperangan. Selain 5 hal di atas, Sun Tzu juga mengemukakan 5 faktor penting yang menentukan kemenangan dalam perang. Faktor pertama adalah politik. Faktor penting selanjutnya adalah faktor cuaca. Faktor ketiga merupakan medan yang berarti jarak, dan mengacu pada kemudahan atau kesulitan medan untuk dihadapi. Faktor keempat dan kelima berturut-turut adalah doktrin dan komandan perang. Doktrin perlu dipahami sebagai penyelenggaraan suatu organisasi yakni tentara.
Kemudian perlu dipahami pula sebagai suatu hal yang memadukan para perwira dan prajurit yang berbeda pangkat, dibutuhkan kombinasi dari kualitas, kebijakan, dan keberanian seorang komandan (Tzu, 1998:20). Namun, secara lebih jauh, Sun Tzu menyatakan bahwa kemenangan yang sejati adalah sebuah kemenangan tanpa berperang. Mengapa kemenangan terbaik adalah kemenangan tanpa berperang? Karena peperangan hanya akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, Sun Tzu berasumsi bahwa strategi diplomasi merupakan salah satu cara yang terbaik dalam menyelesaikan sebuah konflik (Van Cleverd, 2000). Mengapa diplomasi? Karena melalui diplomasi, pihak-pihak yang berkonflik dapat menghindari pertumpahan darah dengan adanya berbagai solusi yang dapat menjadi sebuah jalan tengah bagi semua pihak yang berkonflik. Bagi Sun Tzu, peperangan adalah sebuah jalan terakhir ketika berbagai negosisasi dan diplomasi yang dilakukan menemui sebuah jalan buntu. Strategi bagi Sun Tzu adalah sebuah kombinasi dari wisdom, tradisi, idealisme, filosofi dan unsur-unsur seni di dalamnya. Menurutnya, setiap bidang kehidupan manusia memerlukan sebuah strategi demi tercapainya tujuan tertentu sebab strategi merupakan seni dalam berpikir untuk menilai, merencanakan, dan melakukan aksi yang benar dalam mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Karenanya, Sun Tzu juga mengutarakan arti penting strategi itu sendiri : “Not in winning every battle, but in defeating the enemy without ever fighting. The highest form of warfare is to attack strategy itself.” (Tzu dan Minford, 1990). Terdapat 3 inti dari strategi yang dipaparkan oleh Sun Tzu. Pertama, ketahuilah musuhmu juga dirimu. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya sebuah informasi. Kedua, lumpuhkan lawan tanpa perkelahian karena Sun Tzu mengutamakan pengukuran momen yang tepat untuk melakukan penyerangan. Ketiga, fokus 10
pada kelemahan lawan bukan pada kelebihannya karena merencanakan serangan pada titik lemah akan lebih efektif dibandingkan dengan memaksakan tenaga pada kekuatan yang besar (Tzu, 1994: 6-26). Teori strategi yang digagas oleh Sun Tzu merupakan grand teori yang dikemudian harinya melahirkan berbagai teori-teori tentang strategi. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat 4 (empat) teori tentang strategi yang masing-masing memiliki asumsi tersendiri untuk menjelaskan peristiwa yang menyangkut tentang strategi. Keempat teori tersebut adalah Classical, Evolutionary, Processual, dan Systemic. Teori Klasik menekankan pada perencanaan dalam suatu strategi, Evolutionary theory menekankan pada keterbukaan dan tetap menjaga low cost. Processual theory beranggapan bahwa strategi bersifat dinamis dan biasanya terlahir secara spontan dari langkah-langkah atau tindakan yang telah dilakukan. Sedangkan Systemic Theory lebih melihat bahwa strategi berhubungan dengan sosiologi dan perilaku manusia. Teori yang pertama ialah classical theory atau Teori Klasik yang muncul pada tahun 1960-an di dasarkan pada tradisi militer dimana didunia internasional merupakan suatu keadaan yang anarkis serta menganggap bahwa keberadaan jenderal sangat diperlukan sebagai penentu keputusan. Karena ditentukan oleh pemikriran jenderal maka cenderung menekankan pada perencanaan maka tersirat adanya analisis rasional, pemisahan konsep dari eksekusi dan komitment pada maksimalisasi keuntungan atau profit (Whittington, 2001 : 11). Selain bidang militer pemikiran teori kalsik juga mengacu pada ekonomi dimana adanya pandangan teori klasik dalam kontrol strategi terletak pada manajer atas sedangkan implementasi dibebankan pada manajer operasional yang memiliki divisi khusus. Layaknya jenderal, manajer juga menyusun rancangan yang matang dan bersifat jangka panjang dengan mempertimbangkan pula segala
kemungkinan yang akan terjadi, resiko yang mungkin timbul serta rumusan pemecahan masalah. Sehingga teori klasik menekankan pada kemampuan manajer dalam optimalisasi strategi untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara rasional. Namun manajer atas memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan bahwa strategi untuk mencapai sebuah kesesuaian yang efektif atau sejalan antara kapabilitas sumberdaya organisasi dengan lingkungan eksternal sehingga mampu mengeksploitasi kesempatan yang ada. Tahun 1960-an terdapat tiga pemikir yang sangat mempengaruhi teori ini yaitu, Alfred Chandler, Igor Ansoff, dan Alfred Sloan. Mereka memberikan tiga point penting dalam kesuksesan pembuatan suatu strategi bisnis, dimulai dari melakukan analisis rasional, memisahkan konsep dan pelaksanaan, dan komitmen untuk mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya. (Whittington,2001:11). Jadi dalam teori klasik tersirat adanya spesialisasi kerja secara rasional untuk mencapai keuntungan. Teori yang kedua ialah proccessual theory yang muncul pada tahun 1970-an, berbeda dengan teori klasik dimana teori ini menganggap strategi lebih pada sebuah seni dan menekankan pada negosiasi dan tawar menawar. Dengan kompleksitas dunia maka strategi suatu proses yang berkelanjutan dan adaptif (Mintzberg dalam Whittington, 2001 : 23). Hal inilah yang menjadikan teori processual mengesampingkan analisis rasional karena membatasi fleksibilitas strategi dan mengurangi pencapaian kesuksesan. Pendukung dari teori ini percaya bahwa pembelajaran sebagai alat yang efektif dalam mengembangkan strategi dalam kehidupan yang tergolong sulit dan berubah-ubah. Oleh karena itu teori prosesual ini adalah proses belajar dan beradaptasi secara tiba-tiba dengan penyesuaian lingkungan. Teori yang ketiga ialah systemic Theory yang muncul pada 1980-an. Asumsi dari teori ini berbeda dengan teori klasik, perbedaanya ialah 11
bagaimana bertahan dalam situasi yang ada (Whittington, 2001:16). Dalam bidang bisnis teori sistemik ini sendiri berpandangan bahwa kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari hubungan sosial seperti keluarga, negara atau agama. Faktorfaktor sosial mempengaruhi cara dan menentukan strategi apa yang cocok untuk menghadapi keadaan. Hal ini sinkron dengan ucapan Henderson yakni keselamatan bisnis dalam lingkungan yang kompetitif bergantung pada pembedaan strategi. (Henderson dalam Whittington, 2001 : 18). Jadi dalam kondisi yang sama aktor harus memiliki strategi yang berbeda oleh karena itu terciptanya kompetisi di pasar menjadikan banyak aktor untuk bersaing hingga pada akhirnya aktor yang kuat akan tetap bertahan dan aktor yang lemah tersingkirkan. Selain itu penganut teori sistemik beranggapan bahwa dalam pendekatan sistemik, organisasi tidak hanya terdiri dari individu tetapi kelompok-kelompok sosial dengan kepentingan. Variabel teori sistemik adalah bersaing dengan kelas dan profesi, bangsa dan negara, keluarga dan gender. Teori ini menganut pemikiran strategi yang fleksibel dalam meraih keuntungan karena keformalan seperti teori klasik akan membuat stagnan dalam menanggapi evolusi dunia. Sehingga pembuatan strategi tidak harus menunggu kehadiran manajer. Teori yang terakhir ialah evolutionary theory atau teori evolusi yang muncul pada tahun 1990an. Teori evolusi tudak bergantung kepada keterampilan manajemen puncak dalam upaya perencanaan strategi dan atau untuk bertindak secara rasional. Pemikiran teori evolusi tidak terlalu bergantung pada pemikiran manajer, didasari suatu keyakinan bahwa pasar dengan sendirinya akan menentukan maksimalisasi laba, bukan akibat pemikiran manajer. Berbeda dengan teori klasik, dalam teori evolusi suatu persaingan tidak diatasi dengan perhitungan terpisah, akan tetapi dengan suatu perjuangan secara terus menerus untuk mampu bertahan hidup (survive) di kehidupan yang sesungguhnya. Esensi dari teori
evolusi sebenarnya adalah prinsip biologis seleksi alam sebagaimana yang digagas oleh Charles Darwin bahwa yang tidak mampu bertahan, maka akan tersingkir. Sedangkan kaitannya dengan pemikiran strategis, hal ini dijelaskan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan pihak-pihak dengan performa terbaik akan bertahan dan mengalir bersama arus kemajuan, sedangkan yang lemah akan berangsung-angsur keluar dari pasar. Pendekatan Klasik berdasarkan pendapat Mintzberg (dalam Whittington 2001: 15) menyatakan bahwa strategi berasal dari proses pemikiran yang kuat dari dalam diri. Yang mana strategi dihasilkan dari decision making yang kemudian dapat diimplementasikan. Perumusan strategi harus melalui analisis rasional yang kemudian menghasilkan rencana-rencana untuk penentuan tujuan jangka panjang (Whittington, 2001:13). Pendekatan Proses yang mana menurut teori proses suatu strategi itu dibuat, dan bukan dipilih (Whittington, 2001:23). Pendekatan ini menjelaskan bahwa strategi muncul dari kekacauan keadaan. Selain itu, pendekatan proses menekankan pada sikap indivu untuk menerapkan strategi dalam organisasi sehingga strategi dapat diterapkan dalam kehidupan setiap harinya. Pendekatan Sistemik, pendekatan ini memiliki perbedaan dengan tiga pendekatan yang lainnya. Menurut Shrivastava (1986 dalam Whittington, 2001:30) hal ini dikarenakan pendekatan ini memasukkan unsur sosiologi di dalamnya. Pendekatan ini dibuat atas dasar pertimbangan sosial seperti struktur masyarakat. Selain itu, struktur masyarakat yang ada dimungkinkan mengubah tujuan awal dari seseorang, yang kemudian berakibat pada penyesuaian kembali atau perubahan strategi yang telah disusun untuk mencapai tujuan. Apabila struktur sosial telah tertanam diperlukan strategi yang efisien secara sosiologis struktur sosial yang telah tertanam kuat sulit untuk diubah (Whittington, 2001:10). Sedangkan pendekatan evolusioner memberikan gambaran bahwa kemampuan untuk survive atau 12
tetap bertahan hidup merupakan kunci dalam sebuah kompetisi, (Whittington, 2001:17). Keempat teori diatas memiliki titik temu yang pada dasarnya menyatakan bahwa strategi itu bergantung pada kepemimpinan, pilihan yang dibuat, jalur yang mungkin, dan adaptif terhadap kondisi yang berubah. Hal ini telah diuraikan dalam teori strategi menurut Partidario (2012), yang menyatakan bahwa strategi adalah sarana yang dikehendaki yang bertujuan untuk mencapai tujuan jangka panjang yang di dorong oleh sebuah visi, yang menampung jalur dalam kondisi yang berubah. Berdasarkan teori strategi menurut Partidario tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi itu harus memuat sesuatu yang akan diwujudkan pada waktu yang berjangka panjang. Sesuatu yang akan diwujudkan itu dinyatakan sebagai visi. Dalam perjalanannya mewujudkan visi tersebut, strategi harus mampu menyediakan jalur-jalur yang mungkin untuk sebuah kondisi yang berubah. Pada dasarnya strategi harus mampu mengarahkan sarana yang dikehendaki sehingga tetap fokus pada visi yang dibangun ketika menghadapi kondisi yang berubah dalam perjalanan mewujudkan visi. Visualisasi konsep strategi tersebut diperlihatkan pada gambar dibawah ini :
Konsep strategi dalam teori ini sejalan sebagaimana yang diungkapkan oleh Mintzberg (1994), bahwa strategi tidak dimaksudkan untuk menemukan apa yang mungkin terjadi di masa mendatang tetapi untuk merencanakan dan mengarahkan tindakan yang dapat membuat rute/jalur yang mungkin untuk masa depan yang diinginkan.
Gambar 1. Visualisasi Konsep Strategi, Partidario (2012)
Gambar 2. Teori Kearifan, Russel Ackhoff (1989) Teori kearifan ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Triarko Nurlambang, (2016)
6. Determinasi Teori Sistem Pada Konsep Strategi dalam Perencanaan. Merujuk pada teori strategi yang telah diungkap sebelumnya, mengarahkan pada upaya memahami konsep berpikir dalam sistem. Teori Kearifan, Russel Ackhoff (1989) telah menyatakan bahwa sistem bukanlah hasil penjumlahan dari perilaku masing-masing bagian; sistem adalah produk interaksi dari masing-masing bagian. Teori ini menerangkan bahwa dalam berpikir sistem bagian-bagian tidak dapat dilihat secara terpisah, akan menjadi berarti ketika bagian-bagian tersebut telah berinteraksi. Kaitannya dengan konsep strategi bahwa sarana yang dikehendaki sebagai keputusan strategis tidak diambil dari informasiinformasi yang terpisah, namun informasi tersebut harus dibuat berinteraksi untuk menghasilkan pengetahuan yang selanjunya melahirkan kearifan. Kearifan itu menjadi keputusan yang penting dalam konsep strategi.
13
tentang piramida dari data menuju keputusan. Data tidak dapat langsung menjadi keputusan, namun ada tahapan proses dari data menjadi informasi, informasi menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi kearifan, dan kearifan menjadi keputusan. Data hanya berisikan signal-signal tentang kenyataan, belum dapat diketahui sesuatu. Selanjutnya data akan mengungkap hubungan setelah menjadi informasi. Selanjutnya informasi mula terorganisir sifatnya, terstruktur dan bermanfaat. Informasi akan membentuk pola yang selanjutnya melahirkan pengetahuan. Pengetahuan sifatnya kontekstual dan dapat disintesis. Selanjutnya pengetahuan akan mengungkap prinsip-prinsip masa lalu, tentang apa yang terbaik. Tentang yang terbaik itu adalah kearifan atau hikmah berupa pemahaman terpadu yang dapat dilaksanakan. Pada akhirnya tindakan apa yang dipilih untuk mewujudkan masa depan itulah keputusan. Keputusan pada dasarnya merupakan perubahan pergerakan. Gambaran piramida dari data menuju keputusan diperlihatkan pada gambar 3. Dalam konsep strategi yang sebelumnya diuraikan, dinyatakan bahwa terdapat sarana yang dikehendaki yang bertujuan untuk mencapai tujuan jangka panjang yang di dorong oleh sebuah visi. Implementasi dari penetapan sarana yang dikehendaki itulah yang dijelaskan dalam teoriteori perencanaan. Teori perencanaan mulai berkembang pesat setelah terjadinya revolusi industri sebagai akibat adanya respon industrialisasi dan urbanisasi. Degradasi lingkungan yang terjadi membuat pakar kota menginginkan suatu reformasi Hal ini merupakan sebuah perubahan yang sangat besar dalam kehidupan kota. Revolusi industri sendiri telah menciptakan kota-kota industri baru yang sebelumnya tidak ada yaitu terjadi perpindahan penduduk dari daerah pertanian ke daerah industri. Lalu kota itu sendiri menjadi kepentingan yang sangat besar bagi buruh, karena penduduk yang pindah dari desa ke kota tidak memiliki
pengetahuan tentang industri baru atau kebutuhan sosial dan teknis untuk hidup di kota. Setelah itu, mulai muncul sebuah gagasan dari Patrick Geddes tentang analisa terperinci dari pola pemukiman dan lingkungan ekonomi lokal yang merupakan awal dari lebih berkembangnya sebuah teori perencanaan. Teori perencanaan mengalami perkembangan pada 3 dimensi reformasi yaitu reformasi politik, sosial, dan lingkungan.
KEPUTUSAN Perubahan Pergerakan
Gambar 3. Piramida Data Menjadi Keputusan, (2016). Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun dalam perkembangannya perencanaan tidak dikembangkan berdasarkan teori perencanaan, tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan kehidupannya. Oleh karena itu, ilmu ini sangat diperlukan dalam merencanakan sebuah kota, karena daam teori perencanaan membahas definisi, pemahaman konteks, praktek-praktek, dan prosesproses dalam perencanaan kota, dan bagaimana pertumbuhannya dari asal-usul sejarah dan kebudayaan masing-masing. Secara umum dari 14
berbagai defenisi menurut teori, perencanaan adalah serangkaian proses penentuan tindakan masa depan yang disertai pertimbangan yang logis dan kontinu untuk memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa perencanaan merupakan bagian dari implementasi konsep teori strategi. Hal ini menegaskan bahwa konsep strategi itu berada diatas perencanaan. Berarti memahami konsep strategi mengharuskan untuk memahami konsep perencanaan, namun memahami konsep perencanaan saja tidak memadai untuk memahami konsep strategi yang lebih luas. Konsep strategi tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk fokus pada persoalan tertentu, seiring tanpa menentukan bentuk yang jelas. Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun dalam perkembangannya perencanaan tidak dikembangkan berdasarkan teori perencanaan, tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan kehidupannya. Oleh karena itu, ilmu ini sangat diperlukan dalam merencanakan sebuah kota, karena dalam teori perencanaan membahas definisi, pemahaman konteks, praktek-praktek, dan prosesproses dalam perencanaan kota, dan bagaimana pertumbuhannya dari asalusul sejarah dan kebudayaan masing-masing. Secara umum dari berbagai defenisi menurut teori, perencanaan adalah serangkaian proses penentuan tindakan masa depan yang disertai pertimbangan yang logis dan kontinu untuk memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal ungkin guna mencapai
tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa perencanaan merupakan bagian dari implementasi konsep teori strategi. Hal ini menegaskan bahwa konsep strategi itu berada diatas perencanaan. Berarti memahami konsep strategi mengharuskan untuk memahami konsep perencanaan, namun memahami konsep perencanaan saja tidak memadai untuk memahami konsep strategi yang lebih luas. Konsep strategi tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk fokus pada persoalan tertentu, seiring tanpa menentukan bentuk yang jelas. 7. Ruang Lingkup Keberlanjutan Dalam Konsep Strategi. Konsep strategi juga berkaitan dengan teori keberlanjutan. Hal ini dapat dipahami karena dalam konsep strategi terdapat upaya mengarahkan tindakan yang dapat membuat rute/jalur yang mungkin untuk masa depan yang diinginkan. Menurut Gibson (2005), keberlanjutan pada dasarnya sebuah konsep terpadu dan hasil irisan antara kepentingan dan inisiatif ekologi, sosial dan ekonomi.
Gambar 4. Konsep Keberlanjutan Menurut Gibson, (2005) 15
Teori Keberlanjutan menuntut pemikiran terintegrasi di mana semua aspek kehidupan dipertimbangkan dalam hubungan satu sama lain. Dimana masyarakat dibantu untuk mengambil keputusan dan kekuasaan atas perubahan di lingkungan mereka ini dapat bertindak sebagai katalis untuk membantu menciptakan koneksi baru di dalam masyarakat, melepaskan energi dan mengembangkan potensi, yang dapat mengubah kondisi ekonomi serta sosial. Pada akhirnya teori keberlanjutan sebagai irisan kepentingan sosial, ekonomi dan ekologi menjadi kurang dapat dipahami bila dikaitkan dengan pendekatan berpikir dalam sistem sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dalam teori kearifan. Bahwa keberlanjutan itu bukan merupakan penjumlahan dari bagian-bagian sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun interaksi dari bagian-bagian itu. Irisan bukanlah interaksi yang sesungguhnya namun hanya upaya menghubunghubungkan melalui penanganan dampak jangka pendek pada permasalahan yang dihadapi saat ini. Belum menjadikan visi dimasa yang akan datang sebagai fokus yang akan dicapai, kemudian merunut kekondisi saat ini dan melangkah perlahan-lahan dengan menetapkan jalur yang mungkin untuk mewujudkan visi. Pada akhirnya keberlanjutan itu harus diarahkan oleh konsep strategi. Dimana sarana yang dipilih harus tetap mampu mengarahkan pada rute atau jalur yang mungkin untuk mewujudkan kondisi masa akan datang yang diinginkan. Keberlanjutan itu diwujudkan, mulai dengan tujuan akhir di kepala, kemudian mundur dari titik visi ke masa kini. Selanjutnya bergerak selangkah demi selangkah menuju visi tadi. Konsep ini menjelaskan bahwa betapapun kondisi berubah selalu ada rute atau jalur kembali untuk mewujudkan visi. Bukan hanya fokus pada upaya mengurangi dampak atau pengaruh jangka pendek dari pilihan sarana-sarana yang mungkin jadi telah
menyimpang dari rute atau jalur yang mungkin untuk mewujudkan visi.
Gambar 5. Visualisasi Keberlanjutan Dalam Kerangka Konsep Strategi 8. Perubahan Filosofi Berpikir dalam Konsep Perencanaan. Definisi perencanaan sebagai disiplin sangat luas, mulai dari yang pragmatikal seperti perencanaan adalah apa yang perencana lakukan (Vicker dalam Alexander: 1992) sampai pada skala yang luas. Meski bervariasi, terlihat bahwa fokus utama dari perencanaan adalah orientasi tentang masa depan dan cara-cara atau metode untuk mencapainya. Walau perencanaan berorientasi ke masa depan, perencanaan juga berorientasi pada masa sekarang. Berorientasi pada masa depan, berarti melakukan pemikiran tentang kondisi masa sekarang sebagai hasil dari masa lalu, dan melihat kemungkinan apa yang bisa dicapai pada masa depan (Dempster, 1998). Karenanya, merencana berarti melakukan pemikiran tentang kondisi sekarang dan lalu melihat kemungkinan yang dapat dicapai pada masa depan, dan menyusun rangkaian tindakan untuk mewujudkan apa yang dipikirkan. Kenyataan ini memberikan pemahaman bahwa pada tataran general dan abstrak, perencanaan adalah menyusun apa yang kita pikirkan ke dalam 16
tindakan, sebagaimana yang disimpulkan Friedman (1987) bahwa perencanaan adalah upaya untuk menghubungkan pengetahuan ilmiah dan teknis kepada tindakan-tindakan di domain publik. Dalam melihat bentuk-bentuk perencanaan sebagai upaya mewujudkan apa yang dipikirkan dalam tindakan nyata (to link knowledge and action) ini, beberapa teori berfokus pada bentuk kegiatan, seperti pengambilan keputusan (Conyers, 1984; Faludi dalam Almendinger 2002), sedangkan sebagian teori lainnya berfokus pada proses (Brooks, 2001; Healey, 1987; Forester, 1989). Dalam perkembangannya teori perencanaan diatas hanya fokus pada perkembangan prosesnya. Pada era post-modern teori-teori perencanaan telah mengadopsi pendekatan berpikir dalam sistem, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Teori Kearifan, Russel Ackhoff (1989). Komponen dalam perencanaan telah diberdayakan dalam pengambilan keputusan. Namun teori-teori perencanaan tersebut belum mengakomodir konsep strategi atau belum berada pada wilayah berpikir strategis. Hal ini dikarenakan perkembangannya hanya pada proses melalui pelibatan multipihak dalam perencanaan. Perencanaan masih dipandang pada bagaimana mencari kajian dampak melalui upaya melihat ke belakang (backwards looking), kemudian mengkaji dampak dari nilai yang sudah ada, dan memperbaiki situasi. Sementara esensi dari pola pikir untuk menciptakan konteks keberlanjutan pada perencanaan melalui upaya melihat kedepan (forward looking), membuka peluang, mengeksplorasi nilai baru belum diwujudkan. Oleh karena itu perencanaan hari ini tidak hanya dikembangkan pada prosesnya namun juga pada filosofi berpikirnya. Berpikir strategis akan menambah rantai nilai pada perencanaan yang dilakukan. Berpikir strategis menuntut untuk berpikir kreatif dan ketidakstabilan, berpikir kompeksitas, berpikir dalam sistem. Menciptakan
konteks untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada pengintegrasian isu-isu sosial dan lingkungan dalam penyusunan strategi dan membantu perumusan jalan/jalur menuju keberlanjutan, bukan sekedar melihat pengaruh kebijakan, rencana dan program (Partidário, 2007). 9. Kerangka Kerja KLHS. Kerangka kerja KLHS dengan pendekatan strategic thingking dipercaya menjadi pilihan untuk memfasilitasi model perencanaan yang lebih strategis dan sistemik (Vicente dan Partidario, 2006). Dalam model berpikir strategis KLHS dimaksudkan untuk membantu memahami konteks pembangunan, mengindetifikasi dengan tepat, mengetahui akar masalah, membantu menemukan opsi yang layak untuk lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dalam rangka mencapai strategi objektif. Mekanisme dilaksanakan melalui berpikir dalam sistem, proses pengambilan kebijakan, berbagi pengetahuan, jaringan antara stakeholder, dialog, kerjasama antar-sektoral dan pemerintah. Latar belakang scientific tidak akan dikembangkan dalam proses ini, namun prinsip-prinsip utama scientific menjadi model dalam pendekatan ini, yaitu : • Aksi strategis yang dihasilkan merupakan hasil dari siklus pengambilan keputusan, sangat terkait dengan formulasi kebijakan dan dikembangkan dalam konteks proses perencanaan serta pengembangan program. • Strategis adalah karakteristik dari keyakinan akan ketidakpastian dan model aksi sebagai fungsi dari munculnya kejadian tak terduga pada jalur yang dipilih. • Kompleksitas dari sistem alam dan sosial menuntut untuk memperhatikan kedua prespektif sistem tersebut dan mengakui bahwa perilaku sistem tidak bias diketahui hanya dengan mengetahui unsur-unsur yang membangun sistem.
17
Sebuah peristilahan baru adalah penting untuk mengubah prespektif dari berpikir strategis dengan berpikir dampak pada evaluasi program. Kebanyakan istilah yang digunakan dalam AMDAL yaitu dampak, baseline, dan mitigasi yang kesemuanya terkait untuk proyek berpikir pada dimensi fisik serta pendekatan deskriptif yang biasa dalam AMDAL. Berpikir strategis melibatkan nilai, tidak terstruktur secara fisik, namun lebih fokus pada kolaborasi berdasarkan dialog dan pemikiran jangka panjang. Oleh Karena itu terminologi yang digunakan pada KLHS harus menggambarkan perbedaan dengan AMDAL. Adapun istilah baru yang digunakan pada KLHS berpikir strategis adalah sebagai berikut : Terminologi Tradisional AMDAL
Model Strategis Dalam KLHS
Pelingkupan
Faktor Penting Pengambilan Keputusan
Fase Perencanaan
Jendela Keputusan
Baseline
Konteks dan Kecenderungannya
Alternatif
Opsi Strategis
Dampak
Peluang dan Resiko
Mengapa digunakan peristilahan tersebut Memastikan diskusi pengambilan keputusan fokus pada permasalahan tidak melebar pada persoalan lingkungan yang luas. Kunci yang penting saat KLHS memberikan hasil yang lebih baik bukan hanya bersifat normatif. Melakukan analisis yang sifatnya lebih dinamis bukan hanya mengetahui kondisi saat ini. Opsi jalur strategis untuk memenuhi objektifitas bukan hanya pilihan operasional Penilaian yang lebih dinamis dan berupa pilihan yang lebih baik dari pada hanya mempertimbangkan
Mitigasi
Pedoman (perencanaan, manajemen)
efek dari terbatasnya pilihan. Mengasumsikan perubahan dan peningkatan dimasa yang akan datang bukan hanya mengurangi bahaya.
KLHS bukan hanya tentang studi teknis. Namun KLHS juga tentang bagaimana mengatur platform untuk dialog antar stakeholder dan proses fasilitasi dalam pengambilan keputusan. Terdapat setidaknya empat komponen yang berkontribusi dalam model KLHS strategic thingking : • Komponen Teknis. Meliputi pengetahuan para pakar atau ahli dan studi khusus untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan pengetahuan tentang hal-hal perioritas dan isu strategis. Menentukan perioritas, analisis trend, penilaian, pedoman tindak lanjut yang akan dilaksanakan bersama, termasuk pilihan stakeholder yang akan dilibatkan dalam tim, sumber informasi yang tersedia, teknis dan metode yang digunakan. Komponen teknis juga harus menyediakan metode komunikasi yang dipilih untuk menggerakkan berbagai stakeholder pada saat mengambil keputusan penting dalam proses perencanaan. • Komponen Proses. Sangat vital dalam membangun dialog antara KLHS dengan proses pengambilan keputusan sebagai suatu siklus. KLHS harus dipastikan lebih fleksibel dan mampu beradaptasi pada banyak kasus. Hubungan antara proses KLHS dan proses perencanaan serta proses penyusunan program dipastikan melalui jendela keputusan, tata aturan pemerintahan yang diadopsi untuk mengintegrasikan proses yang ada. • Komponen Kelembagaan. Komponen ini penting untuk memahami peran kelembagaan dalam pengambilan keputusan. Hal ini terkait dengan analisis hubungan kelembagaan dan perubahannya, sesuai dengan kebutuhan atau akibat dari dinamika kebijakan dan 18
meningkatkan kapasitas kebijakan yang dihasilkan sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan KLHS. Hubungan antara kelembagaan dapat berlangsung secara formal dan nonformal. Untuk hubungan yang sifatnya formal diharapkan dapat meningkatkan responsibilitas, kapasitas keputusan, tata aturan yang digunakan dalam pengambilan keputusan, termasuk juga kerangka hukum dan peraturan. Analisis kelembagaan juga diperlukan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih tanggung jawab, kesenjangan, dan posisi yang tidak tepat serta memberdayakan inisiasi yang sifatnya sukarela. • Komponen Komunikasi dan Pelibatan Multipihak. Komunikasi penting dilakukan untuk mengetahui sumber informasi yang tepat, jaringan dan pelibatan publik. Hal ini akan memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan, berbagi prespektif, merumuskan pendapat, dan mengintegrasikan visi dengan membangun partisipasi dalam proses pengambilan keputusan penting.
KESIMPULAN Perkembangan teori perencanaan telah mengarah dari alur instrumental rasionalitas ke alur komunikatif rasionalitas, yaitu suatu pemahaman bahwa perencanaan perlu melibatkan berbagai aspek yang terlibat di dalam perencanaan, termasuk di dalamnya adalah masyarakat sebagai bagian penting dalam proses perencanaan. Teori perencanaan sebagai suatu perspektif, ternyata telah mengantarkan perlunya pelibatan masyarakat dalam perencananaan melalui berbagai bentuk konsep baik teoritis maupun praktek, seperti partisipatif dan colaboratif. Namun perkembangan teori perencanaan tersebut hanya pada prosesnya tidak mengubah keseluruhan pada filosofinya. Perencanaan masih dipandang pada bagaimana mencari kajian dampak melalui upaya melihat ke belakang (backwards looking), kemudian mengkaji dampak dari nilai
yang sudah ada, dan memperbaiki situasi. Sementara esensi dari pola pikir untuk menciptakan konteks keberlanjutan pada perencanaan melalui upaya melihat kedepan (forward looking), membuka peluang, mengeksplorasi nilai baru belum diwujudkan. Berpikir strategis akan menambah rantai nilai pada perencanaan yang dilakukan. Berpikir strategis menuntut untuk berpikir kreatif dan ketidakstabilan, berpikir kompleksitas, berpikir dalam sistem. Menciptakan konteks untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada pengintegrasian isu-isu sosial, ekonomi dan lingkungan dalam penyusunan strategi dan membantu perumusan jalan/jalur menuju keberlanjutan, bukan sekedar melihat pengaruh kebijakan, rencana dan program. Oleh karena itu perencanaan harus melibatkan pendekatan berpikir strategis. Pendekatan yang tidak hanya dimaksudkan untuk menemukan apa yang mungkin terjadi di masa mendatang tetapi untuk merencanakan dan mengarahkan tindakan yang dapat membuat rute/jalur yang mungkin untuk masa depan yang diinginkan. Kerangka kerja KLHS dengan pendekatan strategic thingking dipercaya menjadi pilihan untuk memfasilitasi model perencanaan yang lebih strategis dan sistemik di era-modern.
DAFTAR PUSTAKA Abbott, J.,1996. Sharing the city: community participation in urban management (1sted.). London: Earthscan Publication Ltd. Akadun., 2011. “Revitalisasi Forum Musrenbang sebagai Wahana Parttisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan”, MIMBAR, Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. XXVII,No.2 (Desember 2011): hal. 183-191 ‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 19
64a/DIKTI/Kep/ 2010. http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mim bar/article/view/327. Diunduh pada tanggal 8 September 2013 Allmendinger, Philip, 2002, Toward PostPositivist Typology of Planning Theory, SAGE Publication, 1 (1). 77-99. Alexander, Ernest (1996), After Rationality: Towards a Contingency Theory of Planning, dalam Mandelbaum et.al.eds, (1996), Explorations in Planning Theory, Rutgers, The State University of New Jersey, New Jersey. Burkholder, S. H., Chupp, M., & Star, P.(2003). Principles of spasial planning for community development. Cleve and: Maxine Goodman Levin College of Urban Affairs. Conyers, D., 1984. “Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar” (Susetiawan, Trans.). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Conyers, D., & Hills, P., 1984. An introductionto development planning in the Third Wolrd. New York: John Wiley & Sons Ltd. Day, C., & Parnell, R., 2003. Consensus Design: Socially inclusive process. Oxford: Architectural Press. Djoeffan, S., 2002. “Strategi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia”. MIMBAR, Jurnal Sosial dan Pembangunan, 18, mar.http://ejournal.unisba.ac.id/index.php /mimbar/article/view/63>. Diunduh pada tanggal 18 Januari 2014. Ernawi, I. S., 2010. Morphology – Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan. Paper presented at the Seminar Nasional “Morfologi –
Transformasi Dalam Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan”. Forester, John, 1989, Planning in The Face of Power, University of California Press California. Friedman John, 2003, Why Do Planning Theory?, Planning Theory vol. 2(1): 7-10, Sage Publications, London. Friedman, John, 1987, Planning in The Public Domain, Princeton University Press, Okford. Healey, P., 2006. Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societies. New York: Palgrave Macmillan. Hanzhang, Tao. 1998. “General Tao Hanzhang’s Commentary on the Art of War, dalam Sun Tzu, the Art of War. Hertfordshire: Wordworth Classic of World Literature, pp. 63-130. Keraf, A., Sonny. “Etika Lingkungan”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002. Lincoln, Y. S. & Guba, E. G., 2000. “Paradigmatic controversies, contradictions, and emerging confluences”. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (2nd ed., pp. 163-188). London: Sage Publications. Partidário, M., 2012. Strategic Environmental Assessment Better Practice Guidemethodological guidance for strategic thinking in SEA. Lisboa, Portugal: Portuguese Environment Agency and Redes Energéticas Nacionais SA. Partidário, M.R., 2003. STRATEGIC ENVIRONMENTAL ASSESSMENT (SEA) current practices, future demands and capacity-building needs. International
20
Association for Impact Assessment IAIA Training Courses. Partidário, M.R., 2007. Scales and associated data—What is enough for SEA needs?. Environmental Impact Assessment Review, 27(5), pp.460-478.
Tzu, Sun, 1998. the Art of War. Hertfordshire: Wordworth Classic of World Literature, pp. 10- 53 Tzu, Sun and John Minford, 2002. “the Art of War”, New England Review, Vol. 23, No. 3, pp. 5-28.
Partidário, M.R. and Arts, J., 2005. Exploring the concept of strategic environmental assessment follow-up. Impact Assessment and Project Appraisal, 23(3), pp.246-257.
Van Creveld, Martin. 2000. “Chinese Military Thought”, dalam the Art of War: War and Military Thought. New York: Harper Collins Books, pp.22-41.
Saraswati, 2006. “Kearifan Budaya Lokal Dalam Prespektif Teori Perencanaan”, Jurnal PWK Unisba.
Wee, Chow-Hou. 2006. Sun Tzu Art of War. Jakarta: BIP.
Soerjodibroto, G., 2007. Upaya menuju tata ruang yang efektiv: masalah dan tantangan. Paper presented at the Seminar Tata Ruang UNDIP Semarang.
Whittington, Richard. 2001. “Theories of Strategy”, dalam What is Strategy –and does it matter?, London: Thompson, pp. 940.
Sufianti, E., dkk, 2012. “Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi Pada Masyarakat Non Kolaboratif”. Mimbar. Volume 29, Nomor 2, Desember 2013, hal. 133-144. Saragih, T.M, 2011. ”Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan”. Jurnal Sasi. Volume 17, Nomor 3, Juli-September 2011, 11-20. Sofyan, A., 2007. Mengkritisi Perencanaan Pembangunan, Online: (https://khazanaharham. wordpress.com/2007/09/04/menkritisiperencanaan-pembangunan), diakses 27 Juli 2017. Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
21