POLITIK AFIRMASI KULTURAL: STRATEGI INTELEKTUAL ORGANIK

Download Perkembangan Feminisme yang gemilang tidak lepas dari peran intelektual organik ... Islam, dikarenakan permasalahan perempuan menjadi lebih...

0 downloads 313 Views 157KB Size
Politik Afirmasi Kultural: Strategi Intelektual Organik dalam Gerakan Feminisme Islam Melawan Hegemoni Patriarki dalam Budaya Islam Nita Tri Astutik Abstrak Gerakan Feminisme Islam di Indonesia telah banyak menyedot perhatian dunia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia dinilai cukup terbuka dengan wacana Feminisme. Padahal Islam dan Feminisme mengandung banyak pertentangan paham. Perkembangan Feminisme yang gemilang tidak lepas dari peran intelektual organik dalam gerakan Feminisme Islam yang berjasa dalam menyebarluaskan wacana dan memotori gerakan Feminisme dengan menggunakan strategi-strategi yang digunakan dalam menyebarluaskan “virus gender” dalam budaya Islam. Rangkaian strategi tersebut kemudian dibingkai dalam sebuah konsep sebagai penamaan penemuan, yakni Politik Afirmasi Kultural. Artikel ini merupakan hasil penelitian deskriptif kualitatif yang memposisikan Farha Ciciek, seorang feminis muslim sekaligus intelektual organik dalam gerakan Feminisme Islam, sebagai subyek penelitian. Data penelitian bersumber dari wawancara mendalam dilengkapi dengan penelusuran hasil kajian pustaka yang berkaitan dengan gerakan Feminisme Islam. Penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah khazanah pengetahuan yang relatif baru kaitannya dengan perkembangan gerakan Feminisme Islam dalam perspektif Ilmu Politik. Kata-kata Kunci: Feminisme Islam, Intelektual Organik, Budaya Islam, Farha Ciciek

Pendahuluan Perubahan zaman rupanya membawa tantangan yang berbeda bagi aktivis perempuan Islam, dikarenakan permasalahan perempuan menjadi lebih kompleks. Upaya aktivis terdahulu dalam meraih kesetaraan dalam bidang pendidikan telah tercapai, kini para perempuan telah dapat menikmati pendidikan setinggi-tingginya sama halnya dengan laki-laki. Akan tetapi rupanya hal ini belum cukup efektif bagi kesetaraan dan keadilan dalam bidang lainnya, misalnya saja peran perempuan di ruang publik. Perempuan masih diposisikan subordinan, meskipun diberi kesempatan untuk sama-sama bersaing di ranah publik. Perempuan tidak diberi akses, atau aksesnya dibatasi. Posisi subordinan ini ditengarai bersumber dari tradisitradisi keagamaan yang masih memposisikan perempuan demikian rupa. Para intelektual muslim Indonesia yang menyadari akan permasalahan perempuan kaitannya dengan dinamika tekstual dan kontekstual keagamaan mulai bergerak dalam membongkar landasan teologis yang tidak pro kesetaraan gender dan juga mengurai benang merah permasalahan yakni tradisi keagamaan yang mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan di pesantren.

Upaya untuk dapat memerangi praktek ketidakadilan, memang bukanlah perkara yang mudah. Praktik-praktik ketidakadilan tersebut telah berlangsung lama dan sulit untuk diruntuhkan akibat tameng-tameng pelindung yang begitu menghegemoni yakni tradisi agama. Hal inilah yang kemudian disadari oleh para feminis muslim, bahwasanya untuk dapat merubah tradisi keagamaan yang melanggengkan ketidak adilan gender, diperlukan strategi yang efektif guna mengubah tradisi tersebut. Tantangan Gerakan Riffat Hassan telah menyatakan dengan jelas bahwa landasan misoginis yang bersifat patriarkis dalam budaya Islam harus di bongkar apabila ingin mewujudkan keadilan gender (Hassan, 1996). Upaya pembongkaran tersebut merupakan tantangan terbesar dari perjuangan gerakan Feminisme Islam. Para feminis harus berhadapan dengan tidak hanya doktrin agama yang bias gender, akan tetapi lembaga agama yang menjadi aparatur hegemoni patriarki sekaligus budaya agama yang banyak merugikan perempuan sebab dinilai pro kekerasan terhadap perempuan. Hal-hal tersebut yang berupaya dilawan oleh para feminis muslim dalam gerakannya. Doktrin agama yang bias gender merupakan hasil cipta para ulama yang mengintepretasikan teks-teks keagamaan secara bias gender. Mereka telah mengintepretasikan al-Qur’an dan hadist dengan perspektif yang merugikan perempuan, hal inilah yang diyakini oleh para feminis muslim. Secara ringkas, doktrin keagamaan mencitrakan perempuan dalam dua aspek yakni bahwa perempuan diposisikan separuh harga laki-laki, dan juga bahwa perempuan merupakan objek sedangkan laki-laki adalah subyek (Mas’udi, 1998). Oleh sebab itu para feminis berupaya untuk membongkar intepretasi yang telah dilakukan para ulama, kemudian mengintepretasikannya kembali dengan perpektif keadilan gender. Tantangan berikutnya adalah lembaga agama yang menjadi aparatur hegemoni patriarki. Lembaga agama semacam pesantren berkontribusi besar dalam melanggengkan ketidak adilan gender di dalam masyarakat, sebab sebagaimana yang dinyatakan Farha Ciciek, bahwasanya pesantren merupakan lembaga yang memproduksi dan mereproduksi ketidakdilan gender. Oleh sebab itu pesantren menjadi medan perjuangan yang secara khusus ditangani oleh para feminis muslim dalam gerakannya. Budaya Islam yang tidak berpihak pada perempuan merupakan praktik atas pedomanpedoman yang diintepretasikan secara bias gender oleh ulama saat itu. Sehingga banyak ayatayat Al-Qur’an dan hadist-hadist yang kemudian menghalangi perempuan untuk mengembangkan dirinya, bersaing dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin, bahkan terdapat ayat yang seakan melegalkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Upaya reintepretasi atas teks-teks semacam itu dilakukan oleh para feminis muslim dalam rangka mewujudkan keadilan yang sejati dan mengembalikan kemurnian Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Intelektual Organik dalam Gerakan Feminisme Islam 1

Gerakan Feminisme Islam bertujuan untuk melawan hegemoni patriarki dalam agama, yang telah terlanjur mengakar dalam hukum-hukum agama dan dipraktikkan melalui ritualritual tradisi keagamaan. Di dalam sebuah gerakan, lazim terdapat kalangan intelektual yang menjadi motor gerakan. Mereka bertugas untuk menyusun ide-ide dan menggerakkan masyarakat dalam mencapai tujuan gerakannya. Sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Gramsci, intelektual organik muncul dari kalangan masyarakat yang menginginkan adanya perubahan, melakukan perlawanan terhadap rezim patriarki dengan menjadi pencetus ide dan penggerak masyarakat untuk sama-sama melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut berangkat dari kesadaran atas posisi subordinan perempuan yang bersumber dari akar teologis yang menyebabkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan (Hassan, 1996). Upaya-upaya yang bertujuan untuk mengangkat kedudukan perempuan untuk setara dengan laki-laki, baik itu dibidang pendidikan, hukum, sosial dan politik tidak akan efektif apabila landasan teologis yang bersifat misoginis dalam budaya Islam tidak dibongkar (Hassan, 1996). Pembongkaran tersebut dilakukan dengan cara membedah kembali intepretasi ulama-ulama atas Al-Qur’an dan sumber-sumber keagamaan lainnya seperti hadist. Feminis muslim mencurigai bahwasanya ulama memiliki andil besar dalam mengakarnya ketidak adilan gender di dalam masyarakat. Mereka cenderung menggunakan metode yang bias gender dalam mengintepretasi teks-teks suci keagamaan. Akibatnya pola hubungan masyarakat menjadi sangat bias gender sebab praktik-praktik keagamaan yang dilakukan setiap hari berdasar pada pedoman yang diintepretasikan secara bias gender. Gerakan Feminisme Islam di Indonesia merupakan perkembangan dari gerakan perempuan Islam yang terjadi di era awal reformasi. Asimilasi wacana feminisme dalam gerakan perempuan Islam dikaitkan dengan misi lembaga donor internasional dalam menyebarkan wacana feminisme di negara-negara berkembang seperti Indonesia. The Asia Foundation dan Ford Foundation adalah lembaga yang aktif dalam memberikan suntikan dana bagi berbagai lembaga pemberdayaan masyarakat (LSM) yang menyelenggarakan kegiatan penyuluhan maupun pelatihan yang mengangkat isu keadilan gender. Muslimat NU sebagai organisasi perempuan Islam yang aktif dalam melakukan pemberdayaan perempuan kemudian turut serta menerima donor lembaga asing dan mengadopsi cara kerja LSM (Burhanudin, 2004). NU juga dianggap paling bertanggung jawab dalam menjamurnya LSM di Indonesia, sebab tokoh-tokoh jebolan NU banyak yang mendirikan LSM yang bergerak untuk menyebarkan wacana keadilan gender. Para aktivis dan akademisi NU yang terlibat aktif dalam menentukan strategi penyebaran wacana keadilan gender dengan mendirikan berbagai LSM dan mengadakan berbagai kegaiatan untuk membumikan keadilan gender di Indonesia, sesuai dengan penggambaran Gramsci atas intelektual organik. Penggambaran tersebut terdapat pula dalam diri Farha Ciciek, salah satu aktivis dan akademisi NU yang kiprahnya dalam menyebarkan wacana keadilan gender dalam masyarakat sudah diakui baik secara nasional maupun internasional. Melalui kiprahnya dapat ditelusuri peran intelektual organik di dalam gerakan Feminisme Islam. Peran-peran tersebut diantaranya adalah menentukan paradigma gerakan, merancang strategi gerakan dan mendirikan serta mengabdi ke berbagai LSM. 2

Gerakan Feminisme Islam di Indonesia mengadopsi berbagai prinsip baik itu feminisme liberal maupun teologi Feminisme Islam. Akan tetapi terdapat perbedaan yang menjadikan gerakan Feminisme Islam tidaklah identik dengan feminisme liberal. Feminisme Islam lebih menitikberatkan pada asas kemitrasejajaran (Siregar, 2002), dimana dalam perjuangan untuk mencapai keadilan gender, pelibatan laki-laki dalam upaya-upaya tesebut merupakan hal yang lazim. Sehingga tidaklah mengherankan ketika dijumpai kyai dan ulama laki-laki yang terlibat aktif dalam gerakan Feminisme Islam. Sebut saja nama-nama seperti kyai Hussein Muhammad, Faqihuddin Abdul Kadir dan yang belakangan tersingkir karena berpoligami yakni Masdar F. Mas’udi yang telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan kritis berkaitan dengan permasalahan gender di dalam masyarakat Islam di Indonesia. Gerakan Feminisme Islam di Indonesia menggunakan strategi gerakan berupa perang posisi yang menurut pengertian Gramsci adalah strategi yang menitikberatkan pada upaya penanaman nilai dan norma baru sebagai ganti atas nilai dan norma lama yang dianggap tidak sesuai, sebagaimana yang di nyatakan oleh Gramsci bahwa strategi perang posisi adalah upaya penanaman ideologi, nilai, norma, dan mitos dari kelompok yang berkuasa kepada kelompok subordinat (Warsono, 2003). Strategi perang posisi tersebut terwujud dalam dua aspek strategi yakni reintepretasi teks-teks keagamaan dan sosialisasi keadilan gender. Kedua aspek tersebut kemudian di implementasikan ke dalam berbagai keagiatan yang melibatkan masyarakat umum berbagai lapisan, baik itu kalangan pesantren maupun masyarakat umum melalui berbagai aktivitas berbasis grassroot. LSM sebagai mesin gerakan merupakan komponen inti dalam sutau pergerakan. Perkembangan gerakan feminisme dalam suatu negara dapat diukur dari kiprah lembagalembaga yang bergerak dalam bidang tersebut. Banyaknya LSM perempuan Islam yang tanggap dengan isu-isu ketidakadlian gender dan wacana kritis feminisme di Indonesia mengindikasikan perkembangan gerakan Feminisme Islam di Indonesia cukup pesat. LSMLSM yang tergabung dalam gerakan Feminisme Islam di Indonesia pada umumnya bergerak dalam upaya penyebaran wacana feminisme, sosialisasi keadilan gender, serta pemberdayaan perempuan melalui pelatihan dan seminar. Politik Afirmasi Kultural Politik Afirmasi Kultural merupakan strategi yang digunakan oleh feminis muslim sebagai intelektual organik dalam rangka memperkenalkan dan membudayakan kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat muslim Indonesia melalui budaya. Budaya menjadi bidikan khusus dalam perjuangan feminis sebab budayalah yang melanggengkan ketidak adilan gender di dalam masyarakat. Dengan menggunakan sarana budaya, para feminis berniat merubah tatanan lama. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan mudah, oleh karena itu startegi semacam ini dibutuhkan. Patriarki sebagai tatanan lama tidak mudah atau bahkan dapat dikatakan mustahil untuk diruntuhkan. Kenyataan ini sudah disadari oleh feminis sejak awal, sebab hegemoni kekuasaan Patriarki dalam masyarakat berlegitimasikan teks-teks keagamaan yang bernilai dan berkedudukan absolut. 3

Menyadari bahwa dalam masyarakat Islam patriarki tidak dapat diruntuhkan bahkan dengan cara-cara yang selama ini telah berhasil dicoba oleh para feminis sekuler di seluruh dunia dengan menggunakan “resep” liberal, radikal, sosialis-marxis, dan sebagainya, para intelektual organik dalam hal ini adalah motor pergerakan Feminisme Islam di Indonesia, kemudian mencoba merancang strategi dan menerapkannya sekaligus. Strategi tersebut berupa upaya yang peneliti sebut sebagai afirmasi, sebuah upaya alternatif ketika upaya untuk meruntuhkan tatanan lama terlampau sulit untuk dilakukan. Afirmasi tersebut merupakan sebuah tindakan politis sebab memakai strategi yang memanfaatkan budaya sebagai sebuah sistem sosial untuk dijadikan instrumen dalam upaya menyisipkan pemahaman baru dalam tatanan lama. Dalam menghadapi tantangan-tantangan pergerakannya, para intelektual organik merumuskan ide-ide yang menjadi strategi pergerakan. Strategi yang ditentukan oleh intelektual organik dalam gerakan Feminisme Islam Indonesia adalah strategi perang posisi. Strategi perang posisi dalam gerakan Feminisme Islam Indonesia secara garis besar berkisar pada upaya reintepretasi teks-teks keagamaan dan sosialisasi keadilan gender di lembagalembaga yang melestarikan budaya diskriminasi terhadap perempuan. Kedua hal tersebut tersebut kemudian dituangkan ke berbagai aktivitas-aktivitas diantaranya: 1) reintepretasi kitab kuning dan mensosialisasikannya di pesantren-pesantren, 2) reintepretasi ayat al-Qur’an dan mensosialisasikannya ke masyarakat berupa sebuah shalawat gender, 3) mengkader ulama perempuan, dan 4) menjadikan pesantren sebagai women crisis center. Upaya reintepretasi kitab kuning dilakukan sebab sebagaimana yang dinyatakan oleh Riffat Hassan bahwa sumber-sumber doktrin Islam, terutama al-Qur’an, hadist, dan fiqih semuanya ditafsirkan oleh hanya laki-laki, yang menggenggam tugas untuk mendefinisikan baik secara ontologis, teologis, sosiologis, maupun eskatologis tentang kedudukan perempuan di dalam Islam (Hassan, 1996). Hasil reintepretasi tersebut diwujudkan dalam berbagai hal seperti buku yang menelaah kembali kitab-kitab lama dan juga ke dalam bentuk shalawat. Kegiatan kajian kitab kuning dilakukan oleh para mufasir (ahli tafsir) feminis atas kitab kuning yang ditulis oleh ulama terdahulu yang isinya berbias gender. seperti contohnya adalah ketika lembaga Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) dan PUAN Amal Hayati mengintepretasikan kembali sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh Imam Nawawi dari Banten yang berjudul ‘Uqud al-Lujayn. Kegiatan ini menghasilkan sebuah buku yang berjudul “Wajah Baru Relasi Suami Isteri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujayn” (Muhammad, 2002). Buku ini dipublikasikan secara umum dan secara khusus menjadi bahan kajian pesantren-pesantren yang menjadi mitra PUAN Amal Hayati. Kegiatan reintepretasi kedua yakni reintepretasi atas ayat-ayat Al-Qur’an yang diintepretasikan secara bias gender ketika berbicara mengenaai masalah perempuan dan kepemimpinan. Seperti contohnya yang paling sering digunakan sebagai landasan untuk mematahkan niat perempuan untuk menjadi pemimpin adalah Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang secara salah kaprah diintepretasikan bahwa “laki-laki adalah pemimpin perempuan”. Dalam menanggapi intepretasi-intepretasi semacam itu yang terlanjur mengakar dalam benak masyarakat dan membudaya, para feminis kemudian membingkai reintepretasinya ke dalam bentuk shalawat gender, atau dikenal pula dengan shalawat kesetaraan dan shalawat musawa. 4

Shalawat telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Islam, utamanya kalangan tradisional. Ini merupakan sebuah metode penyampaian pesan keagamaan yang cukup efektif sebab menggunakan metode yang cukup populer dikalangan masyarakat dengan menggunakan perpaduan antara lantunan nada dan pesan yang diperdengarkan hampir setiap hari melalui masjid, mushala, dan berbagai pertemuan keagamaan. Upaya ini menjadi lebih inovatif, ketika digabung dengan budaya lokal seperti gamelan Cirebonan, atau diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, Madura, Jawa yang dinyanyikan di tiap pengajian. Perpaduan dengan warna musik daerah membuat Shalawat Kesetaraan akrab di telinga publik, dan layak ditampilkan dalam seminar, atau dipopulerkan dengan festival (Hafidzoh, 2008). Farha Ciciek pernah mengajukan ide untuk menyelenggarakan festival shalawat tersebut di daerah domisilinya saat ini yakni kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember. Menurut Farha Ciciek, festival diselenggarakan agar shalawat dapat diterima oleh masyarakat dengan baik dan membumi menjadi bagian dari tradisi masyarakat muslim. Sehingga ia mengkreasikannya melalui bentuk kegiatan seperti ’Festival Shalawat Musawa’, sebuah upaya yang menghadirkan kesetaraan gender sejak dini melalui pendekatan budaya. Kegiatan ini dilaksanakan di Ledokombo Jember pada tahun 2010, tepatnya pada momentum hari Kartini, yang merupakan kerjasama antara Tanoker, Rahima dan Pesantren NURIS (Hafidzoh, 2008). Shalawat gender merupakan upaya untuk memperkenalkan masyarakat dengan wacana keadilan gender. Terinspirasi oleh kontribusi yang diberikan oleh Fatimmah dari Banjarmasin sebagaimana yang telah dikisahkan oleh Bruinessen (1998) mengenai seorang perempuan Melayu, tepatnya penduduk Banjarmasin yang menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab, para feminis muslim Indonesia ingin menjaring Fatimmah-Fatimmah baru melalui program Kaderisasi Ulama Perempuan. Program kaderisasi ulama perempuan ini diharapkan agar kejadian yang menimpa Fatimmah tidak terulang dimasa ini, dimana bakat dan kemampuannya dalam menulis sebuah kitab tidak diakui hanya karena statusnya sebagai seorang perempuan. Masyarakat muslim sampai saat inipun belum mengakui adanya kesamaan derajat antara ulama laki-laki dan perempuan. Buktinya sampai sekarang yang dapat memimpin pesantren adalah laki-laki, begitu pula dengan pemangku jabatan prestise seperti ketua ormas keagamaan Islam, ketua majelis ulama, pemimpin tabligh akbar, maupun pemimpin majelis dzikir yang dihadiri oleh ribuan umat. Perempuan hanya sebatas menjadi pendamping pemimpin, contohnya kalau di pesantren, pemimpin pesantren lazim merupakan seorang kyai, sedangkan istrinya yaitu bu nyai, hanya berwenang memimpin pesantren putri. Dan hal ini kemudian berpotensi berimbas pada pengakuan publik, legitimasi politik, atau yang lebih luas dapat dikatakan berimplikasi secara sosial dan ekonomi pula (Swara Rahima, 2007). Menindaklanjuti permasalahan tersebut, Rahima kemudian menyelenggarakan program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP). Tujuan dari program ini adalah untuk menumbuh kembangkan kehadiran para ulama perempuan agar dapat memperkaya produk keagamaan yang berperspektif perempuan (Swara Rahima, 2007). Upaya pengkaderan ini juga melatih mereka untuk mengasah ketajaman analisis sosial dengan menggunakan perspektif perempuan, sehingga mereka dapat beraktualisasi lebih besar di lembaga-lembaga ke-ulamaan 5

(Swara Rahima, 2007). Sebab, di lembaga-lembaga tersebutlah para ulama perempuan dapat menyuarakan kepentingan mereka. Berkaitan dengan program Pengkaderan Ulama Perempuan, Ruqayah menjelaskan kegiatan tersebut diikuti oleh wakil-wakil pesantren yang dikumpulkan berdasarkan wilayah regionalnya, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pesertanya adalah para generasi muda yang berwawasan, calon ulama yang berdedikasi dalam mewujudkan keadilan gender. Generasi muda dipilih oleh sebab mereka adalah pemegang estafet perjuangan dalam mewujudkan keadilan gender, selain itu para ulama perempuan generasi tua biasanya masih banyak yang resisten terhadap wacana-wacana keadilan sehingga sulit untuk dilibatkan. Pesantren ditempatkan oleh para feminis sebagai women crisis center sebab pesantren merupakan cikal bakal bagi perkembangan sosial keagamaan masyarakat. Lembaga yang khusus menaungi program ini adalah PUAN Amal Hayati yang diprakarsai oleh istri almarhum Kiai Abdurahman Wahid yakni Nyai Shinta Nuriyah. Bersama dengan para aktivis lain, termasuk didalamnya Farha Ciciek yang terlibat aktif mulai dari pembentukan sampai pelaksanaan program, PUAN Amal Hayati telah berkontribusi cukup besar dalam membantu perempuan-perempuan tertindas dan korban kekerasan yang disadari atau tidak, masih cukup banyak. Pembentukan organisasi ini terilhami oleh peristiwa memprihatinkan dari seorang ibu dan anak yang datang ke Kalyanamitra untuk meminta pertolongan karena suaminya seringkali melakukan kekerasan. Sang suami beberapa kali memperkosa anak perempuannya dan melakukan kekerasan fisik sekaligus psikologis dan seksual kepada baik istri dan anaknya. Pada saat itu Farha Ciciek dan rekanan Kalyanamitra mencari shelter untuk mengamankan para korban itu, sebab Kalyanamitra tidak memiliki fasilitas tersebut. Beberapa lembaga Islam yang dihubungi tidak ada yang bersedia menampung mereka, akhirnya mereka terpaksa ditampung di sebuah biara Katolik yang bersedia menampung mereka. Pesantren dengan segala fasilitas dan kewibawaannya yang tak kalah dari biara katolik, dianggap mampu berkiprah dalam melayani umat yang membutuhkan bantuan (Ciciek, 2000). Pengharapan Farha Ciciek dan kawan-kawan feminis pada akhirnya terwujud. Mereka berhasil mengumpulkan pesantren yang bersedia bekerja sama dalam bidang ini di bawah asosiasi PUAN Amal Hayati. PUAN Amal Hayati bekerja sama dengan pesantren di Jawa dan sekitarnya untuk melakukan advokasi dan perlindungan terhadap perempuan korban tindak kekerasan. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh PUAN Amal Hayati diantaranya yakni pendampingan, pengkajian kitab-kitab agama yang sensitif gender, workshop “Pesantren sebagai Pusat Pendampingan Perempuan”, training pendampingan berperspektif gender, training pengelolaan pusat pendampingan perempuan berbasis pesantren, reinterpretasi penafsiran dan pemahaman Islam yang patriarkhal, serta sosialisasi pemahaman Islam yang sensitif terhadap perempuan (Swara Rahima, 2007). Penutup Sebagai penutup, penulis menarik kesimpulan dengan cara kembali pada hakikat politik menurut Peter Merkl yang dikutip Budiardjo, bahwa politik adalah upaya mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Budiardjo, 2008). Politik Afirmasi Kultural merupakan serangkaian strategi yang menggunakan instrumen budaya dalam masyarakat agar tujuan untuk memperbaiki tatanan sosial yang ada dapat tercapai sehingga tatanan sosial yang 6

lebih baik dan berkeadilan dapat diwujudkan. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Farha Ciciek sebagai salah satu intelektual organik gerakan Feminisme Islam, ia menyatakan bahwa gerakan Feminisme Islam bertujuan untuk merubah tatanan lama dalam masyarakat Islam yang mendiskriminasi perempuan menuju kepada tatanan baru yang mewujudkan keadilan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah privat maupun publik.

Daftar Pustaka Bruinessen, Martin Van. (1998). Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning, dalam Natsir dan Meulan, (ed). (1998) Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: INIS. Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-dasar ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Burhanuddin, Jajat, (ed). (2004). Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ciciek, Farha. (2000). Perjalanan Merangkai Dunia Baru, dalam Yanti Muchtar, (ed). (2000) Pengalaman Perempuan: Pergulatan Lintas Agama, Jakarta: Kapal Perempuan dan The Ford Foundation Hassan, Riffat. (1991). Isu Kesetaraan Laki-laki – Perempuan dalam Tradisi Islam,” dalam Meuleman, (ed). (1996) Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: LSPPA. Mas’udi, Masdar F. (1998). Perempuan diantara lembaran kitab kuning, dalam Natsir dan Meulan, (ed). (1998) Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: INIS. Siregar, Wahidah Zein. (2002) “Feminisme Liberal dan Gerakan Wanita Muslim di Indonesia.” Jurnal Ilmu Dakwah 6, No. 2, (Oktober 2002) Warsono. Wacana Politik Kiai NU pada Era Pemerintahan Gusdur: Apakah sebagai Intelektual Organikatau Intelektual Tradisional?, PhD thesis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Airlangga, 2003. Hafidzoh. Media Budaya, Sarana Kritis Membangun Kesetaraan. Swara Rahima No. 24 Th. VIII, April, 2008, (diakses pada November 2013). http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=386 Muhammad, Agus. “Kritik Atas Uqud al-Lujjayn. Swara Rahima No. 4 Th. II, Pebruari, 2002, (diakses pada November 2013). http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=386,

7

Rahima Rubrik Fokus. Mengapresiasi Kembali Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan. Swara Rahima No. 23 Th. VII, Desember, 2007. (diakses pada November2013).http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=38 6,

8