Judul
: Resiliensi Pada Remaja yang Mengalami Broken Home
Nama/ NPM : Ivadhias Swastika / 10505094 Pembimbing : Dra. Retnaningsih, MSi.
ABSTRAK Salah satu masalah dalam kehidupan yang dianggap paling berat adalah masalah yang terjadi dalam keluarga. Keluarga inti atau nuclear family adalah suatu wadah dimana anak berkembang dan bertumbuh, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam kebanyakan kasus broken home, anak selalu menjadi atau dijadikan korban. Menjadi korban karena haknya mendapat lingkungan keluarga yang nyaman telah dilanggar. Dijadikan korban karena orangtua kerap melibatkan anak dalam konflik keluarga. Kondisi ini, menimbulkan dampak yang sangat besar bagi remaja yang dalam proses perkembangannya merupakan saat-saat pembentukan karakter dan kepribadian, terutama untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran resiliensi pada remaja yang mengalami broken home serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja yang mengalami broken home. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif berbentuk studi kasus. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja wanita berusia 20 tahun dan mengalami broken home sebanyak satu orang. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa subjek memiliki resiliensi baik,hal ini dapat dilihat melalui kemampuan subjek untuk meregulasi emosi, mengendalikan impulsimpuls negatif yang muncul, seorang individu yang optimis, mampu berempati, memiliki harapan dan keyakinan yang kuat untuk bangkit, memiliki efikasi diri yang baik, serta aspek-aspek positif dalam hidupnya meningkat. Hal ini juga didukung oleh faktor-faktor dari dalam diri dan dari luar diri subjek yang mempengaruhi subjek untuk menjadi seorang yang resilien. Faktor-faktor dari luar diri subjek antara lain hubungan sosial yang baik antara subjek dengan orangtua dan lingkungan sekitarnya, mendapatkan dukungan yang positif dari orang-orang disekitarnya, sedangkan faktor dari dalam diri subjek yaitu memiliki perasaan dicintai dan mampu untuk mencintai orang lain, menjalin hubungan baru, dan mampu berempati. Subjek juga memiliki keyakinan dan harapan yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang, sehingga mampu bangkit dari kondisi sulit dan pengalaman emosional negatif yang dialaminya. Kata kunci : resiliensi, broken home, remaja
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa fungsi keluarga adalah memberikan rasa aman, nyaman dan kasih sayang, maka dalam masa perkembangan ini remaja sungguhsungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut dari keluarganya, terutama orangtua yang dianggap sebagai contoh untuk membantunya dalam mengatasi masa-masa sulit yang mungkin muncul dalam masa perkembangan tersebut. Dalam setiap kehidupan yang dijalani, manusia pasti menemui banyak sekali rintangan atau kemalangan, baik yang ringan maupun yang berat. Bagi remaja, yang masih membutuhkan bimbingan dari kedua orang tuanya, rintangan yang dilalui dapat membentuk karakter, perilaku dan sifatnya dalam menjalani kehidupannya ke depan. Menurut Tugade & Frederickson (2005) setiap orang membutuhkan resiliensi, yaitu suatu kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat, karena satu hal yang harus kita ingat bahwa hidup penuh dengan rintangan dan cobaan. Faktanya, orang yang paling resilien mencari pengalaman baru dan menantang karena mereka telah mempelajari bahwa hanya melalui perjuangan, dengan memaksa diri mereka sendiri ke batas yang paling maksimal, maka mereka akan menambah batasan hidup mereka sendiri (Reivich & Chatte, 2002). Salah satu masalah dalam kehidupan yang dianggap paling berat
adalah masalah yang terjadi dalam keluarga. Keluarga inti atau nuclear family adalah suatu wadah dimana anak berkembang dan bertumbuh, baik secara fisik maupun psikologis. Keadaan keluarga yang baik sangat dibutuhkan terutama dalam perkembangan remaja. Kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian disebut sebagai keluarga yang broken atau lebih dikenal dengan istilah broken home (Mihari & Wahyurini dalam Kompas cybermedia, 2006). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan beradaptasi, menantang diri sendiri sampai batas yang paling maksimal dan dukungan dari orang-orang yang berarti dalam kehidupannya dapat membantu seseorang untuk melalui masa tersulit dalam kehidupan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai resiliensi pada remaja yang mengalami broken home. 2. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja yang mengalami broken home?, Faktor apa saja yang membentuk pencapaian resiliensi? 3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran resiliensi pada remaja yang mengalami broken home, dan mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja yang mengalami broken home. 4. Manfaat penelitian Adapun manfaat yang ingin disampaikan dalam penelitian ini, yaitu : a. Manfaat
T e or i t i s Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa penambahan khasanah pengetahuan mengenai resiliensi dan hubungannya dengan kemampuan beradaptasi seseorang yang mengalami broken home. b. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pandangan kepada orangtua dan remaja tentang resiliensi serta memberikan masukan kepada orangtua dan masyarakat mengenai gambaran broken home pada remaja dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan resiliensi, sehingga dapat membantu remaja yang mengalami broken home untuk bertahan dalam menghadapi permasalahannya. B. Tinjauan Pustaka 1. Resiliensi a. Pengertian Resiliensi Resiliensi secara psikologi dapat diartikan sebagai kemampuan merespon secara fleksibel untuk mengubah kebutuhan situasional dan kemampuan untuk bangkit dari pengalaman emosional yang negatif (Block & Block, Block & Kremen, Lazarus dalam Tugade, Fredrickson & Barret, 2005). Yang dimaksud dengan resiliensi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dalam kondisi sulit dan bangkit kembali dari pengalaman emosional yang negatif. b. Komponen-komponen Resiliensi Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Kemampuan ini terdiri dari: 1) Regulasi emosi, 2) Pengendalian impuls, 3) Optimisme,
4) Empati, 5) Analisis penyebab masalah 6) Efikasi diri 7) Peningkatan aspek positif c. Karakteristik Orang yang Resilien Menurut Bernard (dalam Krovetz, 1988) anak-anak yang resilien biasanya memiliki empat sifat secara umum, yaitu : 1) Kompetensi sosial 2) Keahlian dalam menyelesaikan masalah 3) Autonomi 4) Kesadaran akan maksud tujuan dan masa depan d. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Grotberg (1995) untuk mengatasi rintangan, anak dibentuk melalui tiga sumber resiliensi yang diberi label : 1) I Have (Saya memiliki), merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. 2) I Am (Diri Saya), merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh individu yang terdiri dari perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. 3) I Can (Saya Mampu), adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang resilien sehubungan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial dan interpersonal. 2. Broken Home a. Pengertian Broken Home Broken home menurut penelitian ini adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan dengan rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang
menyebabkan pertengkaran hingga diakhiri dengan perceraian. b. Faktor Penyebab Broken Home Penyebab timbulnya keluarga yang broken home menurut Asfriyati (2003) antara lain : 1) Orangtua yang bercerai 2) Kebudayaan bisu dalam keluarga 3) Perang dingin dalam keluarga c. Dampak Keluarga Broken Home Pada Remaja Menurut Dagun (1990), kondisi keluarga broken home yang mengalami perceraian dapat menyebabkan anak mengalami tekanan jiwa, aktivitas fisik menjadi agresif, kurang menampilkan kegembiraan, emosi tidak terkontrol, dan lebih senang menyendiri. Sedangkan menurut Laver dan Laver (dalam Killis, 2003) remaja cenderung terlibat dalam aktivitas negatif, seperti menggunakan obat-obatan, minum minuman keras, dan merokok, selain itu juga remaja sering terlibat perkelahian fisik dan melakukan aktivitas beresiko tinggi antara lain kebutkebutan. Dampak perceraian terhadap anak-anak, dari hasil-hasil penelitian diketahui hampir selalu buruk. Meskipun demikian, perceraian yang terjadi pada keluarga broken home tidak selalu membawa pengaruh negatif terhadap anak-anak (De Bord dalam Setyaningrum, 2007). Demo & Acock (dalam Killis, 2003) menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian orang tua cenderung lebih matang. Hal ini disebabkan karena remaja telah mengalami proses pertumbuhan melalui peristiwa yang menyakitkan ini. 3. Remaja a. Pengertian Remaja Papalia dan Olds (2001) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya
dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Pengertian remaja dalam penelitian ini adalah masa transisi antara masa kanakkanak dan dewasa yang dimulai dari umur 12 tahun hingga 22 tahun. b. Tugas Perkembangan Remaja M en uru t Hu rl oc k ( 1997), tu gas perkembangan remaja yaitu : a. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita b. Mencapai peran sosial c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya f. Mempersiapkan karir ekonominya g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh system nilai dan perangkat etnis. c. Ciri-ciri Remaja Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Pada remaja, wilayah-wilayah dalam lapangan psikologinya masih terus berkembang dan pagar-pagarnya masih belum kuat. Oleh karena itu dorongan - dorongan bergerak secara terus menerus. Hal ini terlihat dalam bentuk tingkah laku remaja yang gelisah dan meletup-letup. Lewin (dalam Sarwono, 2008) memandang diri seseorang sebagai bagian dan termasuk di dalam lapangan psikologi, bercampur dengan hal-hal yang berada diluar dirinya. Dengan kata lain diri dan dunia luar adalah suatu keutuhan, suatu gestalt.
C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Poerwandari (1998) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memiliki dasar filosofis yang berbeda, tidak menekankan pada upaya generalisasi (jumlah) melalui perolehan sampel acak, melainkan berupaya memahami sudut pandang dan konteks subyek penelitian secara mendalam. Menurut pandangan Stake (dalam Heru Basuki, 2006) studi kasus adalah suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus instrinsik yang digunakan untuk mempelajari secara intensif tentang resiliensi pada remaja yang mengalami broken home. 2. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan adalah berjumlah satu orang, dengan karakteristik : a. Remaja dengan usia antara 15 sampai 20 tahun. b. Mengalami kasus broken home dalam kurun waktu kurang lebih satu hingga dua tahun 3. Tahap Penelitian a. Tahap persiapan penelitian Peneliti melakukan persiapan dengan menyusun pedoman wawancara, panduan observasi, dan lembar data diri. Peneliti juga menyiapkan tape recorder untuk merekam jalannya wawancara agar tidak ada satupun isi wawancara yang terlupa.
b. Tahap pelaksanaan penelitian Sebelum dilakukannya pengumpulan data, peneliti menghubungi dan membuat janji dengan subjek terlebih dahulu untuk melakukan wawancara. Setelah bertemu dengan subjek, peneliti memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari penelitian, mengajukan pertanyaan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang akan diteliti. Peneliti melakukan observasi pada saat pelaksanaan, mencatat dan merekam semua jawaban yang diberikan oleh subjek. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan significant other untuk mengecek kebenaran data dan juga sebagai data sekunder. Setelah melakukan wawancara dan observasi, peneliti menganalisis data yang ada kemudian membuat laporan dari data yang diperoleh. 4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan observasi. Jenis wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum dimana pedoman wawancara dibuat berupa pernyataan yang menyangkut isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Hal ini dilakukan agar peneliti lebih fleksibel untuk mengungkap isu-isu tentang resiliensi pada remaja yang mengalami broken home. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pengamatan tanpa berperan serta (non-participant) dimana peneliti dapat secara mudah langsung mengamati fenomena yang ada di lingkungan sekitar tanpa masuk ke dalam kegiatan subjek yang akan diteliti. 5. Alat Bantu Pengumpulan Data Istilah kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan
lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain-lain. Berkaitan dengan hal tersebut maka peneliti akan menggunakan instrumen penelitian berupa : a. Pedoman wawancara b. Pedoman observasi c. Alat perekam (tape recorder) 6. Keabsahan Penelitian Dalam penelitian ini keabsahan penelitian diukur dengan menggunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2002) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, 2002) membedakan empat triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu : triangulasi dengan sumber, triangulasi dengan metode, triangulasi dengan peneliti atau pengamat, triangulasi dengan teori Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber dimana peneliti mencocokkan antara jawaban yang diberikan subjek dengan jawaban dari significant other, triangulasi dengan metode yaitu menggunakan pedoman wawancara untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk penelitian, triangulasi dengan peneliti atau pengamat yang dilakukan dengan melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing, dan triangulasi teori yaitu menggunakan beberapa teori. D. Hasil dan Analisa 1. Hasil Observasi dan Wawancara a. Gambaran Umum Subjek Subjek adalah seorang remaja dengan perawakan sedang, berambut tipis dan berwarna hitam sebahu. Subjek termasuk seorang yang ceria, cerdas, lebih menonjolkan sisi maskulinnya, sensitif,
dan mudah tersinggung. Subjek tinggal bersama ibu dan adik lelakinya di sebuah flat sempit di kawasan padat penduduk daerah Bekasi. Rumah subjek terdiri dari 4 ruangan bersekat, ruang tamu, dapur dan kamar mandi, serta kamar tidur yang dibuat bertingkat menggunakan triplek dan kayu. Subjek berhubungan baik dengan adik lelakinya dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan adiknya daripada dengan ibu subjek, karena ibu subjek lebih sering berada di luar rumah untuk mencari tambahan uang. Subjek sudah jarang berhubungan dengan ayahnya, karena ayah subjek tinggal bersama istri ketiganya dan rumah kontrakannya terletak jauh dari tempat tinggal subjek. Ekspresi subjek secara umum terlihat tenang dan banyak tersenyum serta tegas dalam menjawab setiap pertanyaan. b. Pembahasan 1) Gambaran Resiliensi pada Remaja yang Mengalami Broken Home a) Regulasi Emosi Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada awalnya subjek merasa dirinya mengalami depresi akibat tekanan broken home yang dirasakannya sehingga membuat subjek memiliki pikiran untuk tidak menikah di kemudian hari. Subjek mengekspresikan kebenciannya terhadap pertengkaran kedua orangtuanya setelah perceraian dengan bersikap diam dan memikirkan permasalahan tersebut. Subjek mengekspresikan emosinya dengan diam apabila berada di rumah dan merealisasikannya dalam bentuk mencari teman sebanyak mungkin dengan berorganisasi dan berinteraksi dengan teman dikelasnya. Saat ini subjek cenderung tidak mampu bersikap tenang dan fokus apabila mendapatkan masalah baru, sehingga subjek harus menenangkan dirinya terlebih dahulu
dengan menyendiri, sebelum mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahannya. b) Pengendalian Impuls Pada awalnya, subjek adalah seorang individu yang sensitif dan menggunakan kontak fisik dengan orangtuanya untuk mengekspresikan kekesalan. Kemudian, subjek mendapatkan dukungan dari teman-temannya sehingga subjek dapat mengendalikan impuls-impuls yang timbul dari berbagai tekanan yang dirasakannya. Lingkungan sosial subjek pun menerima subjek dengan baik serta memberikan dukungan yang positif terhadapnya, sehingga subjek mampu untuk mengendalikan impuls-impuls negatif yang muncul, tetapi apabila perasaan subjek sedang tidak enak atau sedang menghadapi suatu permasalahan yang penuh tekanan kemudian dihadapkan dengan permasalahan baru, subjek dapat menjadi impulsif dan mudah marah. c) Optimisme Setelah mengalami broken home subjek menyatakan mendapatkan hikmah dari kejadian tersebut yaitu menjadi lebih dewasa dan mandiri daripada temanteman seusianya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Subjek juga memiliki pandangan yang optimis mengenai masa depannya, bahwa masa depannya ada ditangannya dan ingin menjadi orangtua yang lebih baik bagi anak-anaknya kelak, serta memberikan hal-hal yang tidak ia dapatkan dari orangtuanya pada saat ini. Subjek merasa usaha yang ia lakukan saat ini untuk mewujudkan masa depannya hanyalah dengan belajar, karena melalui belajar ia memiliki banyak pengetahuan yang dapat ia gunakan pada masa yang akan datang dan menjadikan dirinya sukses.
d) Empati Subjek cenderung mampu untuk berempati terhadap permasalahan yang dihadapi oleh orang lain, membantu orang lain dengan memberikan nasihat atau solusi dari permasalahannya atau sekedar memberikan dukungan dan semangat kepada orang lain meskipun sedang memiliki masalah pribadi. Subjek juga mau berbagi pengalaman pahit yang dialaminya dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut kepada orang lain yang memiliki permasalahan serupa. e) Analisis Penyebab Masalah Pengaruh broken home yang terjadi pada subjek menyebabkan subjek menjadi pribadi yang sensitif dalam bersikap serta dalam caranya memandang suatu permasalahan yang muncul dalam kehidupannya sehari-hari. Subjek cenderung memikirkan permasalahan yang dihadapinya dengan menyendiri dan termenung. Subjek juga cenderung menyalahkan keadaan mengenai kondisi broken home yang dialami. Meskipun demikian, subjek mampu bersikap optimis bahwa dirinya dapat berbuat lebih baik di masa yang akan datang. Selain itu juga, subjek tidak mencampuradukkan suatu permasalahan yang dialami dengan area lain dari kehidupannya. f) Efikasi Diri Subjek memiliki keyakinan pada dirinya sendiri untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya selama proses sebelum hingga sesudah perceraian kedua orangtuanya, meskipun subjek terkadang membutuhkan bantuan orang lain dalam memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut. Sekarang, subjek lebih mampu menerima suatu bentuk kegagalan dan ak an m enc ar i s ol us i l ai n unt uk memecahkan permasalahan tersebut. Kegagalan yang dialaminya selalu ia
jadikan pelajaran agar lebih baik di masa yang akan datang. g) Peningkatan Aspek Positif Subjek menyatakan sisi positif dari pengalamannya menjadi seorang yang broken home membuatnya menjadi seorang yang lebih dewasa dalam berpikir dan mandiri dalam bertindak. Subjek menemukan suatu makna dari peristiwa broken home yang dialaminya bahwa tidak semua yang ia inginkan pasti akan didapatkan olehnya, dalam hal ini keluarga yang utuh. Kenyamanan dari kedua orangtua. Hal yang dapat dipetik dari broken home ini adalah ia menjadi individu yang memiliki tujuan hidup lebih realistis dan harapan-harapan untuk menjadikan kehidupan setelah ia memiliki rumah tangga lebih baik daripada yang dijalani orangtuanya. 2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi pada Remaja yang Mengalami Broken Home Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa subjek memiliki kemampuan resiliensi yang baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung subjek untuk menjadi resilien seperti adanya dukungan dari lingkungan subjek yaitu hubungan yang baik dengan kedua orangtuanya meskipun lebih dekat dengan ibunya dimana ia merasa nyaman, maupun anggota keluarga yang lainnya terutama adik lelakinya. Selain itu juga, terdapat aturan-aturan yang secara lisan disebutkan oleh orangtua subjek agar subjek tidak melanggarnya dan menjaga kehormatan keluarga. Adanya sosok ayah temannya yang menjadi role model yang ia tiru cara pandang dan pola pikirnya, karena ayah temannya tersebut juga seorang broken home seperti dirinya. Subjek juga mendapatkan semua akses layanan pendidikan, kesehatan,
keamanan, kesejahteraan yang diberikan oleh ibunya, sehingga merasa bahwa dirinya dilindungi, dicintai, diberikan bekal pendidikan yang cukup, dan mendapatkan kenyamanan yang ia butuhkan. Faktor berikutnya, subjek merasakan bahwa dirinya dicintai dan disukai dari banyaknya dukungan yang ia terima dari lingkungan disekitarnya. Subjek mampu untuk mencintai orang lain, berempati terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang lain dan peduli terhadap orangorang disekitarnya. Subjek merupakan seorang individu yang mandiri, mampu m enj aga keh orm atan d ir i sert a keluarganya, memiliki otonomi terhadap kehidupannya serta bangga akan diri sendiri yang penuh dengan pengalaman sehingga memiliki nilai lebih dibandingkan anak seusianya. Subjek memiliki harapan, keyakinan dan kepercayaan dalam dirinya bahwa pengalaman emosional negatif yang dialaminya dari peristiwa broken home akan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi kehidupannya kelak, dan ia mampu untuk mengubah masa depannya menjadi lebih baik seperti yang ia inginkan. Selain kedua faktor tersebut diatas faktor lainnya yaitu kemampuan subjek dalam berkomunikasi sangat baik di lingkungan sekitarnya. Subjek juga mampu menjalin hubungan baru dengan orang lain meskipun dirinya berada dalam tekanan akibat perceraian kedua orangtuanya. Selain itu juga, subjek cenderung mampu untuk mengelola impuls yang muncul sehingga mampu bersosialisasi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Subjek mampu mengatasi masalah yang timbul, meskipun ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu sebelum menemukan solusi efektif dalam
menghadapi masalahnya. Hubungan yang dijalin subjek dengan teman-temannya selalu dilandasi dengan kepercayaan, dengan cara memilih dengan baik sebelum berteman dengan seseorang. E. Penutup 1. Kesimpulan S e c ar a u m u m , s u bj e k m em i l i k i kemampuan resiliensi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan subjek untuk meregulasi emosi yang dimiliki, mengendalikan impuls-impuls negatif yang muncul, optimis dalam memandang hidup, mampu berempati terhadap masalah orang lain dan memiliki efikasi diri yang b aik serta mengal ami peningkatan aspek positif dalam hidup. Faktor-faktor dari luar diri subjek atau dapat juga dikatakan sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi resiliensi subjek penelitian antara lain, subjek memiliki hubungan yang baik dengan kedua orangtuanya meskipun kedua orangtua sudah bercerai, memiliki dukungan dari teman-teman dan lingkungan sekitarnya, memiliki akses layanan pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan yang membuat subjek merasakan bahwa dirinya dilindungi, dicintai, diberikan pendidikan yang cukup dan mendapatkan kenyamanan dari orangtuanya. Selain itu faktor-faktor dari dalam diri subjek atau faktor internal antara lain, subjek merasakan bahwa dirinya dicintai dan mampu mencintai orang lain, mampu untuk berempati sehingga mampu untuk peduli dengan lingkungan sekitarnya, bangga akan apa yang ada dalam dirinya, memiliki harapan dan keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu untuk bangkit dari kondisi sulit dan pengalaman emosional yang negatif. Subjek juga
mampu untuk berkomunikasi dengan baik dilingkungannya, mampu untuk memecahkan masalah, mampu mengelola perasaan dan impuls-impuls negatif yang muncul, serta mampu menjalin hubungan dengan orang lain yang dilandasi kepercayaan. 2. Saran a) Untuk subjek, dianjurkan untuk lebih meningkatkan nilai-nilai positif yang dimiliki, membentengi diri dengan agama lebih baik lagi, membiasakan diri untuk menyampaikan apa yang dirasakan agar orang lain mengetahui apa yang subjek butuhkan, dan tetap meyakini bahwa setiap cobaan yang diberikan oleh Tuhan pasti tidak akan melebihi kemampuan setiap umat-Nya. b) Untuk masyarakat terutama bagi yang sudah berkeluarga, dianjurkan untuk tidak melakukan pertengkaran ataupun tindakan kekerasan terhadap pasangan dihadapan anak, karena hal ini dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan anak dimasa yang akan datang serta meninggalkan trauma yang mendalam bagi anak dalam kehidupan berkeluarganya kelak. c) U n t u k p e n e l i t i y a n g a k a n mengadakan penelitian dengan topik yang sama dianjurkan untuk menggali lebih dalam mengenai aspek-aspek lain yang mendukung terbentuknya resiliensi seperti peran komunikasi antara subjek dengan lingkungan sekitarnya dan pengaruh teman sebaya dalam membantu subjek untuk resilien. Peneliti juga menyarankan agar menggunakan lebih dari dua subjek dengan latar berbeda seperti gender, usia, dan status ekonomi sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih komprehensif mengenai resiliensi.
DAFTAR PUSTAKA Anjaswari, A. (2003). Dampak perceraian pada pembentukan nilai pernikahan remaja akhir putri : suatu penelitian kualitatif terhadap remaja akhir putri dari keluarga bercerai dengan keluarga utuh. (Skripsi). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Asrfiyati. (2003). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan anak (pdf version). Retrieved July 30,2009 from http://anharifamily.files.wordpress.co m/2007/ 09/fkm-asfriyati1.pdf. Chaplin, J. P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Dagun, M. (1990). Psikologi keluarga. Jakarta : Rineka Cipta. D anie l , B & W as sel l , S . ( 2002) . Adolescence: Assessing and promoting resilience in vulnerable c h i l d r e n 3 . London : Jessica Kingsley Publishers Ltd. Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (1994). Handbook of qualitative research. London : SAGE Publication Inc.
Strengthening the human spirit (fulltext publication). Bernard van Leer Foundation. Retrieved June 16, 2009 from http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb9 5b.html Grotberg, E. H. (1999). Taping your inner strength : How to find the resilience to deal with anything. Oakland, CA : New Harbinger Publications Inc. Gunadi, P. (2008). Dampak perceraian orangtua terhadap anak 2. Retrieved July 15, 2009 form http://www.telaga.org/audio/dampak _perceraian_orangtua_ terhadap_anak_2 Basuki, A. M. H. (2006). Pendekatan kualitatif. Depok : Universitas Gunadarma. Hurlock, E. B. (1997). P s i k o l o g i perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga. Ihromi, T. O. (1999). Bunga rampai sosiologi keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Jacksond. (2009). Kasus perceraian di jakarta masih tinggi Retrieved July 2 6 , 2 0 0 9 f r o m http://www.beritajakarta.com/v_ind/ berita_detail.asp?idwil=0& nNewsId=33470. .
Dwyer, N. (2007). Strengthening the human spirit : The road to resilience. The Griffith Child Care Centre Inc. Grotberg, E. H. (1995). A guide to promoting resilience in children:
Kimmel, D. C & Weiner I. B. (1995). Adolescence : A developmental transition. John Wiley & Son, Inc.
Papalia, W. E., Olds, S. W & Feldman, R. D. (2001). Human development (8th edition). Boston : McGraw Hill.
Krovetz, M. L. (1998). F o s t e r i n g resiliency : Expecting all students to use their minds and hearts well. California : Corwin Press Inc.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pnegukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Universitas Indonesia.
Mihari, T. S., & Wahyurini, C. (2006). Broken home? so what gitu lho?!!! – kompas cybermedia. Retrieved May 5 , 2 0 0 9 f r o m http://64.203.71.11/ver1 /Muda/0612/15/093055. htm. Miles, M.B. & Huberman, A.M (1992). Analisis data kualitatif. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Moleong, L. J. (1997). Metode penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Moleong, L. J. (2000). Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Moleong, L. J. (2002). Metode penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Narbuko, C. & Achmadi, A. (2002). Metodologi penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. Neill, J. (2006). What is psychology resilience?. RetrievedMay 4, 2009
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku m a n u s i a . Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran Dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Psikologi-online. (2009). Keluarga single parent bukanlah keluarga broken home. Retrieved April 19, 2009 from http://psikologionline.com/index2 .php?option=com_content&do_pdf =1&id=45 Reivich, K., & Chatte, A. (2002). The resilience faktor : 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacle. New York : Random House Inc. Sarwono, Sarlito W. (2008). Psikologi remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Killis, G. (2003). Dampak percaraian orangtua pada anak remaja. (Skripsi). Depok : Universitas Indonesia. Setyaningrum, E. (2007). Penerimaan diri pada remaja dengan orangtua b erce rai . ( S k r i p s i ). De p ok : Universitas Gunadarma. Siebert, A. (2005). The resiliency advantage : Master change, thrive underpressure and bounce back from setback. San Fransisco : Berret – Koehler Publisher Inc. The Resiliency Center. (2005). The road to resilience. Retrieved May 5, 2009 from http://www.apahelpcenter.org/dl/the_ road_to_resilience.pdf Tugade, M.M & Fredrickson, B.L.. (2004). Resilient individual use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320333. Tugade, M. M., Fredrickson, B. L., dkk. (2004). Psychological resilience and positive emotional granularity: Examining the benefits of positive emotions on coping and health. Re tri eved May 5, 2009 f rom http://www.pubmedcentral.nih.gov/ar ticlerender.fcgi?artid=1201429 Walsh, F. (2006). Strengthening family resilience, 2nd edition. New York : The Guilford Press.
from http://wilderdom.com/ psychology/resilience/Psychological Resilience.html# Books.
Yin, K. R. (2004). Studi kasus dan metode. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.