REVITALISASI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM INDONESIA

Download adalah bagaimana menciptakan level pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pada saat bersamaan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun...

0 downloads 448 Views 85KB Size
Revitalisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Indonesia Oleh: Rakhmindyarto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*) Beberapa waktu yang lalu Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa tingginya volume dan nilai produksi perikanan nasional tidak dibarengi dengan meningkatnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipasok dari sumber daya ikan dan non ikan. Total target PNBP perikanan yang ditetapkan APBN 2005-2013 tidak pernah lebih dari Rp300 miliar, sedangkan realisasi PNBP yang berasal dari perikanan tangkap cenderung stagnan sejak tahun 2009 yakni sebesar Rp150 miliar (Tribunnews, 31 Oktober 2014). Lebih jauh menurut MenKP, dengan 70 persen wilayah yang terdiri lautan, potensi sumber daya ikan yang tersimpan di perut bumi Indonesia sangat besar untuk menopang perekonomian bangsa. Ironisnya, kontribusi sektor perikanan masih sangat rendah terhadap PNBP. Hal ini seolah mengafirmasi buruknya tata kelola sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Belum lagi jutaan hektar lahan hutan dan perkebunan yang saat ini telah dikuasai oleh pihak asing, persoalan diperparah oleh permainan mafia SDA berupa illegal mining dan illegal logging. Permasalahan tersebut menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Rezim Jokowi-JK untuk merevitalisasi kebijakan tata kelola sumber daya alam Indonesia agar dapat menyatukan jalan antara kekayaan alam Indonesia yang demikian besar dengan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Konflik Tata Kelola SDA, Dari Sentralisasi Ke Desentralisasi Eksploitasi SDA secara masif berawal sejak naiknya rezim Orde Baru pada tahun 1966-1967. Paradigma pembangunan dan kemajuan ekonomi pada saat itu diwujudkan dengan potensi hutan, minyak bumi, gas dan mineral yang dieskploitasi secara berlebihan. Pada tahun pertama saja, terdapat tiga Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan pengelolaan SDA. Yang pertama adalah UU Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan kemudahan masuknya modal asing di Indonesia beserta dengan kemudahan insentif pajak untuk perusahaan asing. Kedua adalah UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menyatakan bahwa seluruh wilayah hutan dikuasai oleh Negara. Produk hukum ketiga adalah UU Nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan yang membuat semua lahan di wilayah Indonesia dapat dipergunakan untuk pertambangan. Eksploitasi kekayaan SDA di Indonesia memang memberikan benefit yang sangat besar bagi perekonomian. Namun, eksploitasi yang berlebihan telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan sosial terutama di daerah yang kaya SDA. Perusahaan sering tidak mempedulikan kondisi masyarakat lokal dan lingkungan. Hal ini terjadi karena pemberian hak untuk mengelola SDA tidak didasari pertimbangan SDA berkelanjutan atau benefit buat masyarakat (Gellert, 2005). Kondisi tersebut menciptakan konflik laten yang dapat meledak setiap saat. Puncaknya, konflik di area hutan terjadi pada tahun 2001 di Kalimantan Tengah ketika terjadi bentrokan antara Masyarakat Dayak dan Madura yang berujung pada pembantaian lebih dari 500 orang Etnis Madura dan pengusiran ribuan Suku Madura dari wilayah tersebut.

Sistem pemerintahan desentralisasi menjadikan semakin kentara betapa pentingnya peran SDA bagi perekonomian daerah. Mayoritas daerah masih menggantungkan pendapatannya kepada eksploitasi SDA dan hanya sedikit saja yang mendapatkan penerimaannya dari sektor Industri dan perdagangan. Pada zaman Orde Baru, daerah tidak terlalu ambil pusing dengan pengelolaan SDA karena pemerintah pusat memberikan dana bantuan daerah dengan besaran yang seragam. Pada sistem desentralisasi, daerah harus berjuang sendiri dan mencari pendapatan dari potensi kekayaan lokal. Sumber dana yang paling memungkinkan adalah kekayaan alam. Sebagian besar daerah yang kaya saat ini mendapatkan penerimaan daerahnya dari SDA, seperti Kutai Kartanegara. Pada situasi seperti ini, peranan tata kelola SDA menjadi sangat penting. Governance yang salah hanya akan menimbulkan eskalasi konflik berkenaan dengan menajemen SDA. Menurut Stiglitz (2000), penggerusan SDA menimbulkan eksternalitas berupa kerusakan lingkungan yang akhirnya berujung konflik. Secara umum ada dua jenis konflik yang terjadi yaitu yang pertama konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda), dan yang kedua adalah konflik antara masyarakat lokal, pengusaha, dan pemda. Konflik yang masih terjadi sampai saat ini adalah yang jenis kedua, dan sampai sekarang pemerintah masih belum menemukan solusi komprehensif untuk menurunkan eskalasi konflik tersebut. Peran Pemerintah dan Tantangan Tata Kelola SDA Benang merah tata kelola SDA di Indonesia dapat disimpulkan menjadi tiga persoalan besar: Pertama, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi masih bergantung kepada ketersediaan SDA kunci seperti lahan, hutan, tambang, laut, dan energi. Kedua, pertumbuhan industri masih akan terpusat di daerah perkotaan, terutama Pulau Jawa. Polusi industri yang terjadi berkombinasi dengan faktor kota seperti sampah dan asap kendaraan. Ketiga, tingginya pertumbuhan ekonomi menciptakan konflik karena penggunaan lahan dan hutan, dan meningkatnya akses SDA lainnya. Dari sisi literatur, hubungan antara perlindungan lingkungan dengan pembangunan ekonomi menunjukkan adanya gap yang cukup lebar (Martinuzen, 1997). Concern yang paling utama adalah bagaimana menciptakan level pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pada saat bersamaan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun, alih-alih kedua aspek ekonomilingkungan bisa berjalan beriringan, yang terjadi adalah trade off sehingga harus diambil salah satu aspek sebagai prioritas (Clark, 1991). Bila aturan penggerusan SDA terlalu longgar, boleh jadi produksi akan semakin tinggi tapi risiko kerusakan lingkungan menjadi lebih besar. Sebaliknya, pengaturan yang relatif ketat menjamin perlindungan lingkungan, namun akan menmenyurutkan penanam modal. Di sinilah peranan pemerintah diperlukan dalam rangka menciptakan aturan tata kelola SDA yang sesuai. Terdapat beberapa metode untuk mengurangi rusaknya lingkungan dan konflik tata kelola SDA karena eksternalitas. Seperti yang dicontohkan Stiglitz (2000), eksternalitas dapat diatasi oleh

masyarakat dan swasta secara bersama-sama melalui sistem hukum. Dalam merespon eksternalitas, pemerintah harus memainkan peranan kunci untuk mengendalikan kerusakan lingkungan. Dalam prakteknya, hal ini dapat dilakukan dengan menegakkan regulasi seperti standar polusi, standar efisiensi, dan penerapan pajak lingkungan (Clark, 1991; Weaver, Rock, and Kustener, 1997). Namun rekomendasi tersebut di atas sebenarnya adalah normatif dari peran sebuah pemerintahan dalam tata kelola SDA dan sarat dengan tantangan. Pemerintah dituntut untuk dapat mengendalikan kerusakan ekologis sebagai dampak eksploitasi SDA sekaligus membasmi pemburu rente. Salah satu metode yang dapat diterapkan secara efektif untuk mengendalikan dan mengawasi penggunaan SDA adalah melalui pemberdayaan masyarakat lokal (Conca, 1996). Metode tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang SDA untuk membangun kesadaran publik melalui pengembangan kurikulum. Hal ini dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif kepada masyarakat lokal mengenai pentingnya perlindungan lingkungan, eksploitasi SDA, eksternalitas, dan bagaimana mendapatkan kompensasi dari eksternalitas dengan cara yang benar. Jika masyarakat sudah melek dengan isu-isu tersebut, hal ini dapat meningkatkan transparansi pengelolaan SDA. Pada akhirnya, informasi asimetrik dan juga pemburu rente dapat dikurangi. Rowe (2002) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pemahaman isu lingkungan dengan tanggung jawab sosial. Masyarakat yang paham akan isu lingkungan memiliki kerangka berfikir dan keyakinan tentang masa depan yang memadai untuk terlibat dalam mengatasi masalah lingkungan. Peningkatan kesadaran publik akan persoalan lingkungan melalui pendidikan telah dilakukan di banyak negara, seperti Botswana, Namibia, Bulgaria, dan juga Amerika Serikat. Walaupun pendekatan tersebut bukanlah hal baru, namun hal ini masih belum dilakukan secara sistematis di Indonesia. Local content yang diusung oleh sistem desentralisasi belum mampu meyakinkan pemerintah daerah untuk mengembangkan kurikulum berbasis lokal. Pemda masih gamang melaksanakan sistem desentralisasi pelayanan publik seiring masih masifnya korupsi yang terjadi di level pemerintah daerah. Tantangan terbesarnya adalah political will dari seluruh pemangku kepentingan untuk berpikir bahwa sumber daya alam yang ada di Indonesia harus dimanfaatkan secara optimal untuk generasi saat ini, namun juga harus tetap terjaga untuk kepentingan generasi yang akan datang.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.