16
WIRAUSAHA
Edisi Minggu Bisnis Indonesia 13 Maret 2011
Dari
sarung tenun ke tikar lipat ADAM A CHEVNY Kontributor Bisnis Indonesia
P
otensi pasar domestik atas produk alas lantai yang tergolong besar mendorong Haji Badri, 52, membanting setir dari semula memproduksi sarung tenun beralih memproduksi tikar lipat. Langkah lelaki yang berdomisili di Lamongan, Jawa Timur, itu diwujudkan dengan memodifikasi alat tenun bukan mesin (ATBM). Perangkat manual itu semula difungsikan dengan memanfaatkan bahan baku benang katun, mercerized dan sutra, guna menghasilkan sarung. Kemudian diisi dengan bahan baku benang polypropilena dan tali rafia untuk menghasilkan tikar lipat. Diistilahkan tikar lipat sebab produk alas lantai itu bisa dilipat sebagaimana karung goni, berbeda dengan tikar lainnya yang lazim digulung. Alas lantai itu dibutuhkan saat berlangsung hajatan keluarga maupun acara lain berupa pertemuan banyak orang. Masa pakai tikar lipat berbahan baku benang polypropilena cukup lama. Keputusan Badri ternyata tidak keliru. Kegiatan produksi tikar lipat yang dijalaninya selama 19 tahun lalu tidak hanya tetap bertahan, tetapi menunjukkan tren meningkat. Kini rata-rata menghasilkan 1.000 lembar per hari. Sementara jumlah pekerja yang terhimpun sedikitnya 1.000 orang penenun. Sasaran konsumen yang dibidik adalah segmen menengah bawah. Hal itu, didasarkan harga jual produk berkisar Rp46.000 hingga Rp80.000 per lembar ukuran 2 meter x 3 meter, yang dilempar ke pasar dengan merek dagang Elresas.
Stok 2 bulan “Kami memulai terjun di bidang produksi
Secara rutin usahanya menghasilkan produk tikar sebanyak 1.000 lembar per hari.
FOTO-FOTO: BISNIS/ADAM A CHEVNY
tikar lipat pada 1992, karena produk sarung tenun terdesak produk sejenis dari pabrikan yang menggunakan alat mesin,” tutur Badri kepada Bisnis saat ditemui belum lama ini. Dia mengaku mewarisi usaha ayahnya yang disebutkan memproduksi sarung tenun sejak zaman Orde Lama (pada 1960-an). Prospek usaha itu dinilai kurang cerah, menyusul bermunculannya produk sarung palekat (yang diproduksi menggunakan alat tenun mesin) dengan harga jual lebih murah. Dengan tetap menggunakan ATBM yang dimodifikasi, Badri beralih memproduksi tikar lipat. Tidak sulit memberikan pelajaran terhadap para penenun, karena pada prinsipnya memproduksi tikar juga menenun. Termasuk proses awal yakni menggulung/memintal benang sebelum ditenun. Menurut Badri, kebutuhan bahan baku benang polypropilena dan tali rafia sejauh ini dipasok oleh pabrikan di dalam negeri yakni dari Surabaya dan Jakarta, yang pengadaannya tidak mengalami kesulitan. Harga benang polypropilena (PP) saat ini Rp30.000 per kg. “Agar, kegiatan produksi tidak tersendat, maka kami menyiapkan stok bahan baku yang mencukupi kebutuhan hingga 2 bulan,” paparnya. Itu berarti persediaannya mencapai 30 ton
benang PP dan jenis bahan baku lainnya 6 ton. Alhasil, nilai stok bahan baku sedikitnya Rp1 miliar. Namun, Badri tidak menjelaskan proses pengadaan bahan baku benang, apakah pembelian secara kontan atau bagaimana. Yang jelas, bahan baku benang untuk memproduksi tikar lipat sudah diwarnai oleh pabriknya (merah, hijau, biru, hitam), sehingga Badri tidak perlu mewarnai lagi seperti halnya pengadaan benang untuk sarung tenun. Tahapan dalam proses produksi tikar lipat secara ringkas terdiri dari rewending, pemintalan, penenunan, kemudian dipotong ukuran 2 meter x 3 meter dan dijahit pinggirnya. Seorang penenun disebutkan mampu memproduksi 10 lembar tikar dalam jangka 3 hari dengan upah Rp60.000. Adapun, upah para pemintal benang maupun penjahit tikar diperhitungkan tersendiri. Selain tikar lipat, sejak beberapa tahun terakhir Badri juga memproduksi keset dan tas dengan harga lebih murah yakni Rp8.000 – Rp10.000 per buah.
Armada angkutan Untuk memperluas jangkauan pemasaran, Badri mengoperasikan empat unit mobil yang digunakan tim penjual untuk mencari mitra bisnis di berbagai wilayah di Pulau Jawa. Dia juga memiliki show room di Kota Lamongan. “Untuk menjangkau pasar di Sumatera, kami memiliki perwakilan di Jakarta serta perwakilan di Surabaya untuk menjangkau kawasan timur Indonesia (KTI),” papar Badri. Harga jual tikar berbahan baku benang PP Rp80.000 per lembar, dan yang campuran dengan tali rafia lebih rendah yakni Rp50.000/lembar. Yang paling murah Rp46.000/lembar. Dia enggan menyebutkan nilai omzet per bulannya. Namun, secara rutin menghasilkan produk tikar sebanyak 1.000 lembar per hari. Menurut Badri, kendati potensi pasarnya cukup besar, persaingan produk alas lantai cukup ketat. Persaingan tidak hanya berlangsung sesama produsen tikar lipat, tetapi juga produk alas lantai lain yang kian banyak variannya. Namun, pangsa tikar lipat dirasakannya tidak surut atau mengecil, dan usaha yang dilakoninya itu masih berpeluang menghasilkan pendapatan berlipat-lipat. (
[email protected])