1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga pestisida
tinggi, menyebabkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan sehingga pendapatan tidak layak. Kondisi ini merugikan pembangunan bidang pertanian Indonesia, diantaranya tanaman hortikultura. Kebijakan global pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian sangat
membebani
dunia
pertanian
di
Indonesia. Tingginya
tingkat
ketergantungan pertanian Indonesia terhadap pestisida kimia membawa dampak negatif terhadap komoditas pertanian ke pasar bebas, yang seringkali menghendaki produk bermutu dengan tingkat penggunaan pestisida rendah. Petani sangat tergantung kepada pestisida dalam bertaninya, residu pestisida terdapat di tanah, air
(Untung, 2007). Oleh karena itu harus segera
diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimiawi dan mulai beralih kepada jenis pestisida nabati yang aman bagi lingkungan. Pemakaian bahan nabati merupakan alternatif untuk mengatasi masalah hama.
Pestisida nabati dibuat dari bahan alami mudah terurai
dan tidak mencemari lingkungan, relatif aman bagi manusia dan ternak (Supriyatin dan Marwoto, 2000. Penggunaan pestisida nabati dimaksudkan untuk menjadi alternatif agar tidak bergantung pada pestisida sintetis. Pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan dasar berasal dari tumbuhan seperti akar, daun, bunga, dan batang yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau senyawa bioaktif (Kardinan, 2005). Penggunaan pestisida nabati sejauh ini banyak dirasakan manfaaat oleh petani, terutama untuk menekan biaya produksi. Pestisida nabati memiliki kelebihan terutama mudah terurai (tidak ada residu yang melengket pada tanaman) dan bahan dibutuhkan mudah diperoleh dengan harga lebih murah. Penggunaan pestisida nabati bukan untuk ekonomis pengendalian hama tanaman melainkan fungsi ganda yaitu mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) diarahkan kepada sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Pestisida nabati merupakan pengganggu
2
tanaman (OPT) diarahkan kepada sistem pengendalian hama terpadu (PHT), selain itu pestisida nabati merupakan salah satu komponen pengelolaan hama terpadu ( PHT) yang telah teruji efektif, efisien dan ramah lingkungan. Indonesia terkenal kaya keanekaragaman hayati (biodiversity) termasuk jenis tumbuhan mengandung bahan aktif pestisida (Heyne, 1987). Evolusi tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggu. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu, saat ini baru sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder telah teridentifikasi, lebih 2.400 jenis tumbuhan termasuk ke dalam 235 famili diketahui mengandung bahan pestisida, apabila kita dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida maka akan membantu masyarakat petani untuk mengembangkan pengendalian hama penyakit ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat disekitar pemukiman mereka. Tanaman diketahui mengandung bahan kimia dapat membunuh, menarik,
atau
menolak
serangga,
diantaranya
selasih
ungu
(Ocimum sanctum Linn). Selasih merupakan salah satu tanaman belum banyak dipelajari, khususnya di Indonesia dan potensi sangat menjanjikan. Budidaya selasih sangat mudah karena selasih mampu beradaptasi cepat dengan lingkungan. Selasih, tlasih, basil, atau basilikum (Ocimum santum Linn) adalah golongan tumbuhan yang dimanfaatkan daun, bunga, dan biji sebagai rempah-rempah serta penyegar (tonikum). Berbagai bagian tumbuhan ini berbau dan berasa
khas, kadang-kadang
harum,
atau
manis,bahkan
dapat membuat mabuk. Jenis tanaman selasih mempunyai kegunaan dan kandungan
aktif
berbeda,
selasih
disebut
tanaman
multi
manfaaat
(Kardinan dan Iskandar 2000). Minyak selasih dilaporkan mengandung metil eugenol (C12H14O2) lebih dari 65 %, tiga jenis bahan aktif terkandung dalam tanaman selasih antara lain Eugenol sebagai fungsida, Tymol sebagai repellent (penghalau serangga, termasuk nyamuk) dan metil eugenol (C12H14O2) sebagai atraktan (pemikat) hama lalat buah (Kardinan dan Iskandar 2000).
3
Produksi hortikultura diantaranya peningkatan produksi buah jambu biji di Kabupaten Bogor sebagai sentra produksi jambu biji kembali digiatkan melalui perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Seiring tersebut
ada faktor yang penghambat produksi
hal
jambu biji, baik faktor
lingkungan ataupun dari tanaman itu sendiri. Untuk ini perlu dibuat teknik mengendalikan kerugian untuk mengontrol permasalahan hama. Salah satu hama utama meningkatkan produksi jambu biji adalah serangan hama lalat buah (Bactrocera dorsalis). Jambu biji tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pohon jambu biji merupakan tanaman perdu banyak bercabang, tinggi mencapai 12 m. Besar buah bervariasi dari diameter 2,5 cm sampai lebih 10 cm. Jambu biji mengandung vitamin C paling tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Buah ini dibanding buah lain seperti jeruk manis mempunyai kandungan vitamin C 49 mg/100 gram bahan, kandungan vitamin C jambu biji adalah 2 kali lipat. Vitamin C sangat baik sebagai zat antioksidan. Sebagian besar vitamin C jambu biji terkonsentrasi pada kulit dan daging bagian luar yang lunak dan tebal. Kandungan vitamin C jambu biji mencapai puncak menjelang matang. Salah satu kendala utama meningkatkan produksi jambu biji adalah serangan hama. Tanpa usaha pengendalian hama, maka kerusakan produksi akibat serangan mencapai 80% (Supriyati dan Marwoto 2000). Hama lalat buah, khususnya jenis Bactrocera dorsalis adalah hama sangat merugikan. Serangan lalat buah mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas produk hortikultura, khususnya buah-buahan dan mengakibatan ekspor buah-buahan ditolak. Hama ini telah tersebar hampir di semua kawasan Asia-Pasifik dengan lebih dari 26 jenis inang, antara lain belimbing, jambu biji, tomat, cabai merah, melon, apel, nangka kuning, mangga, jambu air dan lainnya. Lalat buah mengakibatkan kerusakan secara kuantitatif, yaitu dengan banyak jatuh buah muda yang terserang secara kualitatif, buah menjadi busuk berisi belatung (Kardinan dan Putra, 1997). Pada buah terserang terdapat lubang kecil di bagian tengah kulit. Serangan lalat buah ditemukan pada buah hampir masak. Larva lalat buah
4
memakan daging buah sehingga menyebabkan buah busuk sebelum masak. Kerugian disebabkan hama ini mencapai 30-60%. Lalat buah memiliki enzim diketahui mempercepat pembusukan, jika aktivitas pembusukan mencapai tahap lanjut, buah jatuh ke tanah, bersamaan dengan masaknya buah (Sodiq , 2004). Fase kritis tanaman yaitu saat tanaman mulai berbuah terutama saat buah menjelang masak. Lalat buah yang mempunyai ukuran tubuh relatif kecil dan siklus hidup yang pendek peka terhadap lingkungan kurang baik. Suhu optimal perkembangan lalat buah sekitar 26 °C, kelembaban relatif sekitar 70%. Kelembaban tanah sangat berpengaruh terhadap perkembangan pupa. Kelembaban
tanah
yang
sesuai
untuk
stadia
pupa
adalah
0-9%.
Cahaya berpengaruh langsung terhadap perkembangan lalat buah. Lalat buah betina meletakkan telur lebih cepat dalam kondisi terang, sebaliknya pupa lalat buah tidak menetas apabila terkena sinar (Sodiq, 2004). Lalat buah merupakan vektor bakteri Escherichia coli, penyebab penyakit
pada
manusia.
Lalat
buah
hidup
bersimbiose
mutualistis
dengan bakteri, sehingga ketika lalat meletakkan telur pada buah, disertai bakteri, diikuti jamur menyebabkan buah busuk. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama lalat buah, meninggalkan residu insektisida dan selain membunuh serangga berguna, seperti musuh alami hama dan serangga berguna lainnya. Penggunaan atraktan menggunakan bahan metil eugenol (C12H14O2) merupakan cara pengendalian ramah lingkungan dan terbukti efektif. Atraktan berupa bahan kimia yang dikenal dengan semio chemicals, salah satu dari semiochemicals adalah kairomones, Sejenis kairomones yang merangsang olfactory (alat sensor) serangga adalah metil eugenol (C12H14O2), yang merupakan atraktan lalat buah. Metil eugenol (C12H14O2) dapat dihasilkan oleh Melaleuca sp dan Ocimum sp. (Kardinan, 2000). Atraktan dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah dalam 3 cara yaitu : (a) mendeteksi atau memonitor populasi lalat buah (b) menarik lalat buah untuk kemudian dibunuh dengan perangkap dan (c) mengacaukan lalat buah dalam melakukan
5
perkawinan, berkumpul ataupun tingkah laku makan (Weinzzier. R and P.G Kohler, 2000). Kerugian dialami sektor tanaman hortikultura Indonesia akibat serangan hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20 persen (Supriyatin dan Marwoto, 2000). Untuk mengatasi sebagian besar petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberi hasil cepat dan efektif, sehingga menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap pestisida kimiawi sangat tinggi. Penggunaan pestisida kimiawi berlebihan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia, salah satu penyebab terjadi dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adan residu pestisida di dalam tanah sehingga meracuni organisme dan terbawa sampai ke sumber air serta meracuni lingkungan sekitar. Residu pestisida tanaman terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga
meracuni konsumen, baik hewan maupun
manusia. Kegagalan
pengendalian
sering
terjadi,
petani
mengartikan
pengendalian hama sama dengan penggunaan pestisida, jika tanaman jambu
biji
diserang
hama,
petani
langsung
menggunakan
pestisida
untuk mengendalikan, sering terjadi di lahan terdapat banyak serangga, langsung disemprot tanpa diketahui serangga tersebut merugikan atau menguntungkan, hal ini banyak dilakukan karena khawatir akan timbul serangan hama lebih besar yang dapat menggagalkan panen. Penggunaan pestisida sintetik perlu diatur agar tidak digunakan sebagai alternatif pengendalian hama. Pemakaian bahan nabati merupakan alternatif untuk mengatasi masalah hama. Pestisida nabati dibuat dari bahan alami mudah terurai
dan tidak mencemari lingkungan, relatif aman bagi
manusia dan ternak (Supriyatin dan Marwoto, 2000). Sehingga perlu ilmuwan untuk memasyarakatkan pestisida nabati terhadap petani yang ramah lingkungan.
6
1.2
Kerangka Pemikiran Penggunaan pestisida dilingkungan pertanian menjadi masalah
dilematis, dilapangan menunjukkan bahwa petani sampai saat ini
belum
melepaskan diri dari pestisida industri. Pestisida kimia diperlukan
karena
mitra kerja bagi petani walaupun harga relatif mahal. Untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan pertanian sudah saat ilmuwan mampu membuat terobosan dengan alternatif jalan keluar dari permasalahan dengan kepedulian terhadap lingkungan dan mengutamakan keberpihakan kepada pertanian. Penggunaan
pestisida
kimia
untuk
pengendalian
lalat
buah
menimbulkan dampak negatif antara lain kesehatan manusia dan lingkungan hidup, oleh sebab itu perlu dikembangkan pestisida nabati ramah lingkungan. Pestisida nabati relatif mudah dibuat karena terbuat dari bahan tanaman alami/nabati, sehingga jenis pestisida ini mudah terurai (biodegradable) dialam dan tidak mencemari lingkungan sehingga relatif aman bagi manusia dan ternak sehingga aman untuk dikonsumsi. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati untuk pengendalian lalat buah (Bactrocera dorsalis) pada jambu biji adalah tanaman selasih ungu (Ocimum sanctum Linn). Bagian tanaman selasih yang digunakan adalah akar, batang, daun dan bunga. Tanaman ini mengandung zat pemikat (atraktan) hama lalat buah. Bagian tanaman yang digunakan mengandung metil Eugenol (C12H14O2). Selasih efektif mengendalikan lalat buah, khususnya jenis Bactrocera dorsalis, mengingat tanaman selasih juga mengandung metil eugenol (C12H14O2) yang berperan sebagai fungisida (anti cendawan) sehingga kemungkinan tanaman selasih digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan jamur atau cendawan. Bagan alir penelitian tanaman selasih untuk pestisida nabati terhadap lalat buah pada jambu biji disajikan pada Gambar 1.
7
PENGENDALIAN LALAT BUAH
PESTISIDA NABATI TANAMAN SELASIH UNGU (Ocimum sanctum Linn)
RAMAH LINGKUNGAN
TANAM
PANEN
AKAR
BATANG
DAUN
BUNGA
UJI KANDUNGAN DI LABORATURIUM UJI EFEKTIVITAS LALAT BUAH DI KEBUN JAMBU BIJI
MENGHASILKAN TEKNIK PENGENDALIAN LALAT BUAH
Gambar 1. Bagan alir Kerangka pikir penelitian 1.3
Perumusan Masalah
Penggunaan pestisida secara intensif dalam upaya pengendalian hama
pada tanaman jambu biji menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup
dan manusia. Untuk meminimalkan penggunaan pestisida sintetis
8
dan
mengembangkan
pengendalian
ramah
lingkungan
yaitu
usaha
memasyarakatkan penggunaan pestisida nabati, salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati untuk pengendalian lalat buah pada tanaman jambu biji adalah tanaman selasih ungu (Ocimum sanctum Linn). Berdasarkan uraian tersebut maka disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Seberapa efektifkah tanaman selasih dapat digunakan sebagai Pestisida nabati untuk pengendalian lalat buah pada tanaman jambu biji ? 2. Bagian mana dari asal tanaman selasih (akar, batang, daun dan bunga) dengan masing-masing penyulingan (1,2,3,4 jam) yang lebih efektif sebagai pestisida nabati untuk pengikat lalat buah sehingga dapat menekan penggunaan pestisida kimia pada lahan pertanian jambu biji. 1.4 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui efektivitas minyak selasih sebagai pemikat lalat buah terkait dengan bagian tanaman. 2. Mengetahui jenis lalat buah yang terperangkap dan ratio kelamin. 1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberi informasi tentang pemanfaatan
tanaman selasih ungu (Ocimum sanctum Linn) sebagai atraktan lalat buah (Bactrocera dorsalis) pada tanaman jambu biji (Psidium guajava) dalam rangka pengembangan pestisida nabati ramah lingkungan.