SKRIPSI
PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI EKSTRUSI
Oleh GUMILAR SANTIKA ATMADJA F24102032
2006 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Gumilar Santika Atmadja. F24102032. Pengembangan Produk Pangan Berbasis Jagung Quality Protein Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan Teknologi Ekstrusi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir Deddy Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.
RINGKASAN Tujuan penelitian ini adalah menentukan formula produk ekstrusi berbahan dasar jagung Quality Protein Maize dengan faktor perlakuan suhu pemansan awal alat ekstruder dan komposisi formula bahan, sehingga menciptakan produk ekstrusi dengan karakteristik organoleptik yang optimal serta dapat diterima oleh konsumen. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama persiapan bahan baku yang dilakukan sebelum proses ekstruksi. Kedua penentuan formula dilakukan dengan menggunakan software statistik yaitu Design Expert version 7. Penentuan karakteristik produk yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu berdasarkan uji fisik produk yang terdiri dari uji kekerasan, derajat pengembangan dan uji organoleptik, kemudian dianalisis statistik dengan menggunakan SPSS 12 serta Design Expert version 7. Formula terpilih ditentukan oleh proses optimasi dengan mengunakan program Design Expert version 7. Setelah mendapatkan produk terpilih, produk dianalisis proksimat, derajat gelatinisasi dan uji fisik (kekerasan dan derajat pengembangan) pada produk terpilih. Bahan yang utama pada penelitian ini adalah jagung Quality Protein Maize, dengan bahan campuran kacang hijau varietas betet yang berasal dari Balai Penelitian Biji-Bijian dan Umbi, Malang. Beberapa perlakuan yang diujikan pada pembuatan produk ekstrusi yaitu memformulasikan produk dengan menggunakan software statistik DX7 (version 7 of Design-Expert software). Faktor perlakuan pada penelitian ini adalah komposisi dari bahan jagung dan kacang hijau dengan komposisi 0% – 100% serta suhu yang digunakan pada mesin ekstruder 60 °C - 70 °C. Selanjutnya menentukan respon atau parameter kualitas produk seperti fisik, kimia dan organoleptik dari produk tersebut. Hasil analisis sidik ragam oleh SPSS12 menunjukkan bahwa uji hedonik dari tekstur, hedonik kelengketan, kekerasan produk dan derajat pengembangan signifikan (p< 0.05) artinya bahwa semua parameter produk berbengaruh nyata terhadap formula yang dibuat. Sementara analisis sidik ragam yang dilakukan program Design Expert version 7 dari respon hedonik tekstur, hedonik kekerasan dan derajat pengembangan yaitu berbeda nyata (p<0.05) artinya bahwa formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap ketiga respon tersebut kecuali kekerasan produk tidak berpengaruh nyata (p>0.05), sehingga ketiga respon tersebut dapat digunakan untuk proses optimasi. Hasil optimasi didapatkan produk dengan komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau dengan pemanasan awal pada suhu 60 ºC yang diolah pada putaran ulir 1400 rpm sebagai produk terpilih. Dengan memiliki karakteristik skor hedonik untuk tekstur 6 (suka) skor hedonik untuk kelengketan 5 (agak suka) kekerasannya 0.231 Kgf dan mempunyai derajat pengembangan 487%. Semua karakteristik tersebut mempunyai tingkat desirability 0.811, artinya produk
tersebut dapat mencapai nilai skor tekstur 5.53, skor kelengketan 4.9 dan derajat pengembangan 487.028% sebesar 80.1% terhadap seluruh respon tersebut dapat dilaksanakan. Hasil analisis proksimat dan nilai energi pada produk ekstrusi terpilih pada formula jagung : kacang hijau = 50: 50 adalah; protein: 15.50%; lemak: 1.00%; karbohidrat : 76.61%; abu : 2.54%, air : 4.35% dan memiliki nilai energi sebesar 391.49 kkal/g. Analisis fisik meliputi kekerasan, derajat pengembangan dan derajat gelatinisasi berturut-turut adalah 2.13 Kgf, 500% dan 67.22%.
PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI EKSTRUSI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh GUMILAR SANTIKA ATMADJA F24102032
2006 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI EKSTRUSI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh GUMILAR SANTIKA ATMADJA F24102032
Dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1983 di Ciamis Tanggal Lulus : November 2006 Menyetujui, Bogor, November 2006
Dr. Ir Feri Kusnandar M.Sc Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi M.S Pembimbing I Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 22 Januari 1983. Penulis merupakan putra pertama dari pasangan Hermana dan N Kartiah. Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1987 di TK Al Hidayah kemudian pada tahun 1989 melanjutkan pendidikan di SDN Imbanagara 1 dan menyelesaikan studinya di SMPN 1 Cimaragas. Pada tahun 1995-1998 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Cimaragas dan pada rentang waktu tahun 1998-2002 penulis menamatkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjar. Tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI. Selain itu penulis juga ikut mengenyam pendidikan non formal di Lembaga Bahasa Inggris LIA BBS selama 1 semester. Selama menjalani pendidikan, penulis ikut terlibat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Penulis pernah menjadi anggota PASKIBRA selama di SMP. Selama di SMU penulis aktif dikegiatan kerohanian, menjadi anggota Ikatan Remaja Mesjid. Selama kuliah penulis pernah terlibat aktif di beberapa kegiatan organisasi diantaranya : IAAS, Food Processing Club (FPC), Brigade Santri Al Inayah 2, Organisasi Mahasiswa Daerah dan aktif di kegiatan kepanitiaan serta menjadi peserta pada berbagai seminar, baik seminar nasional maupun Internasional. Dan sebagai salah satu syarat kelulusan kuliah dan memperoleh gelar sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang tertuang dalam skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengembangan Produk Pangan Berbasis Jagung Quality Protein Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan Teknologi Ekstrusi”. Penelitian ini dilaksanakan atas kerjasama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan Departemen Pertanian dalam rangka Riset Unggul Nasional. Adapun kegiatan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, karena penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan studi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan, terutama pada : 1. Ibu dan Bapak tercinta atas ketegaran dan dukungannya mendidik penulis hingga saat ini, juga kepada seluruh keluarga besar dan adik tercinta Nenden Srinadanti mudah-mudahan Allah mengaruniakan kebarokahan bagi kita. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, atas bimbingan dan motivasinya yang diberikan, baik selama menjadi pembimbing saya maupun ketika dalam menyelesaikan tugas akhir. 3. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc, atas bimbingan dan motivasinya serta kesempatan yang diberikan selama penulis menyelesaikan penelitian ini. 4. Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah M.Si sebagai dosen penguji dan masukkannya dalam skripsi saya. 5. Bapak Juanedi, Bapak Deni, Mbak Febri, Mbak Rinrin, Mbak Emi, dan seluruh karyawan PT.Fits Mandiri serta seluruh staf SEAFAST atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama melakukan kegiatan penelitian. 6. Bapak Sobirin, Bapak Rojak, Bapak Wahid, Bapak Sidik, Bapak Koko, Bapak Edi, Ibu Rubiah dan Teh Ida seluruh karyawan Departemen Ilmu dan
i
Teknologi Pangan atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama melakukan kegiatan penelitian. 7. Ust Jaenuri doa, serta Dandan, Khasbi, Arip, dan teman-teman seperjuangan di Alinayah 2 sekarang Assalam dorongan dan nasihatnya selama mencari ilmu di gudang ilmu (IPB) ini. 8. Rekan-rekan ITP angkatan 39 pada umumnya, khususnya Eko, Fahrul, Iqbal, Heru, Fajar, Samsul yang selalu memotivasi saya dan temen-temen sebimbingan Tina, Nui, dan Risna, juga buat sahabat-sahabatku kelompok B1 Evrin, Fatimah dan Alina atas nasihat-nasihat merekalah saya menjadi termotivasi untuk selalu memperbaiki diri dan anak-anak golongan B terima kasih atas kebersamaannya. 9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya, mudah-mudahan Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun mudah-mudahan keterbatasan ini tidak mengurangi hakikat kebenaran ilmiah laporan ini, dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, 21 November 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
v
DAFTAR TABEL ........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................
1
B. Tujuan ...............................................................................................
2
C. Manfaat Penelitian .............................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung ................................................................................................
3
B. Kacang Hijau .................................................................................... 12 C. Pati ....................................................................................................
14
D. Ekstrusi .............................................................................................. 19 E. Perubahan Bahan Selama Proses Ekstrusi ......................................... 24 F. Makanan Snack .................................................................................. 27 G. Design Expert Version 7 .................................................................... 27 H. Reponse Surface Methodology……………………………………… 28 III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat .................................................................................. 30 B. Metodologi Penelitian ........................................................................ 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Bahan ................................................................................ 43 B. Penentuan Komposisi Bahan dan Suhu Awal Proses ......................... 43 C. Penentuan Formula Awal ...................................... ............................. 44 D. Pembuatan Produk Ekstrusi................................................................. 46 E. Analisis Uji Organoleptik ................................................................... 47 F. Analisis Uji Fisik................................................................................. 59 G. Analisis Produk Terbaik dengan Design Expert V.7.......................... 67
iii
H. Analisis Derajat Gelatinisasi .............................................................. 70 I.
Analisis Kimia ................................................................................... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................... 74 B. Saran ................................................................................................. 74 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75 LAMPIRAN ................................................................................................... 82
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour.................................................................. 4 Gambar 2. Penampang melintang dan penampang membujur biji jagung .. 7 Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Tunggal....................................................................................... 23 Gambar 4. Single Extruder...........................................................................
31
Gambar 5. Skema alur metode penelitian ..................................................
32
Gambar 6. Jagung Quality Protein Maize ………………………………..
33
Gambar 7. Skema alur pembuatan produk ekstrusi ....................................
35
Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM dan 0% kacang hijau...............................................................................
48
Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk......................................
53
Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk .............................
57
Gambar 11. Kurva Derajat Pengembangan Terhadap Produk.............
67
Gambar 12. Kurva Desirebility Produk Terhadap Formulasi ....................
68
Gambar 13. Produk Terpilih Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50 ...
69
Gambar14. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 60 °C .................................................................
105
Gambar 15. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu pemanas 60 °C .............................................................. 105 Gambar 16. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 62.5 °C ..........................................................
106
Gambar 17. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu 106 pemanas 67.5 °C ..................................................................... Gambar 18. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu 107 pemanas 65 °C ........................................................................
v
Gambar 19. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu pemanas 65 °C ........................................................................
107
Gambar 20. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu pemanas 67.5 °C ......................................................................... 108 Gambar 21. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 70 °C............................................................................. 108 Gambar 22. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu pemanas 70 °C ...........................................................................
109
Gambar 23. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu pemanas 60 °C ...........................................................................
109
Gambar 24. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu pemanas 62.5 °C ........................................................................... 110 Gambar 25. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu pemanas 65 °C .......................................................................
110
Gambar 26. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu pemanas 67.5 °C .......................................................................... 111 Gambar 27. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu pemanas 70 °C ..........................................................................
111
vi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jenis atau Tipe Jagung dan Sifat-sifatnya ......................................
3
Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung ................................................
6
Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ....................................................................................................
9
Tabel 4 Deskripsi singkat varietas unggul jagung Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning-1, dilepas tahun 2004..............................................
11
Tabel 5. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal ..............................................
22
Tabel 6. Spesifikasi Alat Ekstruder.............................................................
30
Tabel 7.Formula Awal Produk Ekstrusi......................................................
45
Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur..............................................................
49
Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan.....................................................
56
Tabel 10. Hasil uji kekerasan ...................................................................
67
Tabel 11. Hasil uji derajat pengembangan produk ...................................
64
Tabel 12. Analisis Proksimat Bahan Baku dan Pati ................................
71
Tabel 13. Analisis Proksimat Produk Terpilih.........................................
71
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Worksheet uji organoleptik ..................................................... 75 Lampiran 2. Form uji organoleptik snack (1)................................................
84
Lampiran 3. Form uji organoleptik snack (2)................................................
85
Lampiran 4. Data hasil penilaian tekstur.......................................................
86
Lampiran 5. Data hasil penilaian kelengketan...............................................
87
Lampiran 6. Prosedur pengujian organoleptik .............................................
88
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Tekstur ………………....
89
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kelengketan ……………
70
Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kekerasan……………….
91
Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Derajat Pengembangan..
92
Lampiran 11. Ringkasan penelitian ...............................................................
94
Lampiran 12. Hasil ringkasan model analisis DX 7 skor tekstur ..................
95
Lampiran 13. Hasil annova analisis DX 7 skor tekstur .................................
96
Lampiran 14. Model matematika dari skor tekstur .......................................
97
Lampiran 15. Hasil ringkasan model analisis DX 7 skor kelengketan ......
98
Lampiran 16. Hasil analisis annova DX 7 skor kelengketan dengan ftware DX 7....................................................................................... . Lampiran 17. Model matematika dari skor kelengketan.............................
99 99
Lampiran 18. Hasil ringkasan model analisis DX 7 kekerasan...................
101
Lampiran 19. Hasil annova analisis DX 7 kekerasan (tekstur) ..................
92
Lampiran 20. Hasil Analisis Respon Derajat Pengembangan …...............
102
Lampiran 21. Model matematika dari derajat pengembangan.....................
103
viii
Lampiran 22. Hasil proses optimalisasi ............................... .....................
104
Lampiran 23. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 62.5 °C dan formula 50 : 50, suhu 60 °C ......................................................
105
Lampiran 24. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 62.5 °C dan formula 75 : 25, suhu 67.5 °C ......................................................
106
Lampiran 25. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 65 °C dan formula 50 : 50, suhu 65 °C ........................................................
107
Lampiran 26. Gambar produk formula 75 : 25, suhu 67.5 °C dan formula 100 : 0, suhu 70 °C .......................................................
108
Lampiran 27. Gambar produk formula 50 : 50, suhu 70 °C dan formula 0 : 100, suhu 60 °C ......................................................
109
Lampiran 28. Gambar produk formula 25 : 75, suhu 62.5 °C dan formula 0 : 100, suhu 65 °C ......................................................
110
Lampiran 29. Gambar produk formula 25 : 75, suhu 67.5 °C dan formula 0 : 100, suhu 70 °C ........................................................
111
ix
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan kurang stabil, dimana persediaan bahan pangan di Indonesia khususnya beras jumlahnya tidak tetap. Ketika jumlah produksi beras turun dan
ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, maka
pemerintah Indonesia harus mengimpornya dari luar negeri. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan impor lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut dikenal dengan usaha diversifikasi pangan. Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan adalah jagung.
Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di
beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Selain itu jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, bahan utama bagi industri produk ekstruksi. Bahkan pada saat ini ada varietas jagung yang mempunyai kandungan protein yang tinggi, sehingga berpotensi untuk dijadikan sumber protein selain kacang-kacangan. Pengembangan produk berbasis jagung merupakan salah satu upaya dalam
pelaksanaan
diversifikasi
pangan.
Namun
dalam
upaya
pengembangannya terdapat beberapa kendala, antara lain akses transportasi ke beberapa sentra produksi jagung yang sulit dan kendala cuaca yang sering menyebabkan pengeringan jagung terhambat terutama di musim hujan (Hardinsyah et al., 2002). Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan teknologi pengolahan yang cepat dan tepat. Teknologi pengolahan yang cepat, efisien serta mempunyai hasil samping produk yang kecil adalah teknologi ekstrusi. Melalui teknologi ekstrusi tersebut diharapkan produk yang dihasilkan menjadi salah satu produk pangan yang memiliki kualitas protein yang baik, sehingga dapat menjadikan sebagai sumber protein.
1
Beberapa jenis pangan telah yang dikembangankan yaitu pangan yang siap saji atau ready to serve, pangan siap masak (ready to cook), dan pangan siap makan (ready to eat). Pada dasarnya kata cereal identik dengan produk yang diolah dan cocok dikonsumsi oleh manusia dengan atau tanpa pemasakan dahulu di rumah dan juga biasanya dimakan pada saat sarapan pagi (Fast, 1990). Dengan adanya teknologi ekstrusi, para peneliti di dalam bidang ilmu dan teknologi pangan yang berada di Indonesia melakukan suatu penelitian tentang pangan ready to eat untuk bahan pangan dan jenis makanan yang cocok
dan
sesuai
dengan
kebudayaan
Indonesia
sendiri.
Melalui
pengembangan produk ekstrusi berbahan dasar jagung Quality Protein Maize diharapkan dapat dihasilkan produk yang bermutu, aman, relatif murah, serta dapat berkontribusi pada pengembangan bahan pangan yang ada di dalam negeri, sehingga dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi produk ekstrusi berbahan dasar jagung Quality Protein Maize dengan faktor perlakuan suhu dan komposisi formula bahan, sehingga menciptakan produk ekstrusi dengan karakteristik produk ekatrusi yang optimal serta dapat diterima oleh konsumen. C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bermanfaat dalam mendorong pengembangan dan penerapan teknologi ekstrusi dalam upaya diversifikasi pangan berbasis jagung Quality Protein Maize.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG 1. Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays L) adalah salah satu jenis tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminaceae) yang sudah populer di seluruh dunia. Menurut sejarahnya tanaman jagung berasal dari Amerika dan menyebar ke daerah subtropis dan tropis termasuk Indonesia (Warisno, 1998). Berdasarkan bentuk biji dan kandungan endospermanya, jagung dibedakan atas dent, flint, pop, flour, sweet, pod. Bentuk beberapa jagung tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis-jenis jagung dan sifatsifatnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis atau tipe jagung dan sifat-sifatnya Jenis jagung Sifat-sifat Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi Jagung gigi kuda pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak (Zea mays sampai ke ujung. identata) Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya Jagung mutiara diselubungi pati yang keras, tahan terhadap (Zea mays serangan hama gudang. indurata) Jagung bertepung Endosperm hampir seluruhnya berisi pati yang lunak, biji mudah dibuat tepung, biji yang sudah (Zea mays kering permukaannya berkerut. amylacea) Jagung berondong Butir biji sangat kecil, keras seperti pada tipe (Zea mays evertia) mutiara, proporsi pati lunak lebih kecil dibandingkan pada tipe mutiara Endosperm berwarna bening, kulit biji tipis, Jagung manis kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji (Zea mays berkerut saccharata) Biji berwarna buram, endosperm lunak, pati Jagung berlilin mengandung amilopektin, merupakan sumber (Zea mays energi terbaik untuk makanan ternak ceratina) Tiap butiran biji diselubungi oleh kelobot, Jagung polong membentuk tongkol yang juga diselubungi (Zea mays kelobot, merupakan keajaiban genetik, dan jagung tunicata) ini tidak digunakan untuk produksi Sumber: Jugenheimer (1976)
3
Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour. (Anonima, 2006) Menurut Suprapto (1992), jagung yang banyak yang ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lainlain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia terdapat juga jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). Klasifikasi botani tanaman Jagung adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Keluarga
: Grasminales (Graminaeae)
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L
2. Sejarah dan Perkembangan Jagung Di Indonesia Jagung dikenal oleh masyarakat Indonesia pada waktu awal abad ke 16 yang dibawa dari benua Amerika khususnya daerah tropis, oleh Portugis dan Spanyol berlayar melalui Eropa, India dan Cina. Sejak itulah
4
produksi jagung mengalami peningkatan sampai pertengahan abad 20 (Sarono, Subiyanti dan Cherng-liang , 2001). Produksi jagung nasional meningkat setiap tahun, namun hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan domestik sekitar 11 juta ton per tahun, sehingga masih mengimpor dalam jumlah besar yaitu hingga 1 juta ton (Subandi et al., 2003). Sebagian besar kebutuhan jagung domestik untuk pakan atau industri pakan (57%), sisanya sekitar 34% untuk pangan, dan 9% untuk kebutuhan industri lainnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi jagung nasional juga berpeluang besar untuk memasok sebagian pasar jagung dunia yang mencapai sekitar 80 juta ton per tahun (Mejaya, Marsum dan Marcia, 2005). Di Indonesia, jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Kini dalam setahun luas areal panen jagung sekitar 3,3 juta ha. Hasil survei yang dilakukan tahun 1999, sekitar 80% dari areal pertanaman jagung di Indonesia ditanami varietas unggul yang terdiri atas jagung bersari bebas (komposit) dan hibrida masing-masing 56% dan 24%, sedang sisanya 20% varietas lokal (Mejaya et al., 2006). Pada tahun 2000, sekitar 75% dari areal pertanaman jagung di Indonesia telah ditanami varietas unggul terdiri atas 28% jenis hibrida dan 47% jenis komposit, sisanya 25% varietas komposit lokal (Mejaya et al., 2006). Daerah-daerah di Indonesia yang menjadi penghasil utama tanaman jagung yaitu di pulau Jawa, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus untuk Jawa Timur dan Madura, tanaman jagung dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998). 3. Morfologi Jagung Jagung tongkol lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji jagung, dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot
5
dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua umur jagung, semakin kering kelobotnya. Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm (Effendi dan Sulistiati, 1991). Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-600 biji jagung. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar ke ujung kelobot melalui sela-sela deret biji. Rambut mempunyai cabangcabang yang halus, sehingga dapat menangkap tepung sari pada saat pembuahan (Effendi dan Sulistiati, 1991). 4. Anatomi Biji Jagung Menurut Hoseney (1998), jagung terdiri dari empat bagian pokok yaitu embrio, endosperma, aleuron, dan kulit (perikarp) dapat dilihat pada (Gambar 2). Bagian-bagian anatomi jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Perikarp merupakan lapisan pembungkus seluruh biji (kernel) dan berfungsi sebagai pelindung bagi bagian dalam biji. Bagian terakhir ini terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang mengandung lemak. Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi Jumlah (%) Pericarp
5
Endosperma
82
Lembaga
12
Tipcap
1
Sumber: Inglett (1970)
6
Bagian terbesar dari biji jagung yaitu endosperma. Lapisan pertama dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit (perikarp). Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapis sel sedangkan untuk jagung hanya terdiri dari satu lapis sel, demikian juga untuk gandum.
Gambar 2. Penampang melintang dan penampang membujur biji jagung (Hoseney, 1998) Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian juga susunan granula pati yang ada di dalamnya. Bagian endosperma lunak
7
mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono, 1990). Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1990). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney, 1998). 5. Komposisi Kimia Biji Jagung Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1990). Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat, linoleat dan linolenat. Kandungan asam lemak terbanyak pada jagung adalah asam lemak tidak jenuh yaitu linoleat dengan jumlah 59.7% dari total asam lemak. Kemudian asam lemak terbanyak ke dua adalah asam lemak jenuh yaitu oleat dengan jumlah 25.2 % (White dan Lawrence, 2003). Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein diekstrak dari gluten jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan
8
tingginya persentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah (Lorenz dan Karel, 1991). Zein merupakan protein dengan BM rendah yang larut pada etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam asetat glasial, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu α-zein (larut pada 95% etanol) dan ß-zein (larut dalam 60% etanol). Pada α-zein, kandungan asam amino histidin, arginin, proline, dan metionin lebih banyak dibandingkan yang terkandung pada ß-zein (Laztity, 1986). Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Jumlah (%) Komponen
Pati
Protein
Lemak
Serat
Lain-lain
Endosperma
86.4
8.0
0.8
3.2
0.4
Lembaga
8.0
18.4
33.2
14.0
26.4
Kulit
7.3
3.7
1.0
83.6
4.4
Tip cap
5.3
9.1
3.8
77.7
4.1
Lorenz dan Karel (1991) Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin adalah protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein komplek dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986). Selain
dua
protein
utama
tersebut,
protein
jagung
juga
mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain (Laztity, 1986). Pemakaian jagung sebagai
9
bahan dalam pembuatan ekstruksi bertujuan agar diperoleh tekstur produk yang baik, dimana sebagian besar produk ekstruksi dari jagung mempunyai tekstur yang renyah atau mudah mengalami puffing (Muchtadi, Haryadi dan Basuki, 1988). 6. Jagung Jenis Quality Protein Maize Balai Penelitian Tanaman Serealia telah menyeleksi dua jagung berprotein tinggi atau lebih populer disebut jagung QPM, masing-masing dilepas dengan nama Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Hasilnya berkisar antara 7,9-8,1 ton per hektar, setara dengan hasil jagung hibrida. Selain untuk pangan, jagung juga banyak digunakan untuk pakan. Data menunjukkan sekitar 60% jagung di Indonesia digunakan sebagai bahan baku industri, 57% di antaranya untuk pakan. (Anonima, 2004). Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi pengembangan jagung di dalam negeri. Departemen Pertanian terus mendorong upaya peningkatan produksi jagung, baik melalui program intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Badan Litbang Pertanian terus pula
berupaya
menghasilkan
teknologi
yang
diperlukan
untuk
meningkatkan produksi jagung, sebagaimana halnya teknologi produksi untuk komoditas pertanian lainnya (Anonima, 2004). Badan Litbang Pertanian senantiasa berupaya menghasilkan varietas unggul jagung yang sesuai dengan permintaan, baik dari segi produksi maupun nutrisi. Jenis jagung yang telah berkembang di petani selama ini sebenarnya masih memiliki beberapa kelemahan, terutama dari segi nutrisi. Padahal aspek nutrisi juga perlu mendapat perhatian yang lebih besar bila dikaitkan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat. Kandungan lisin dan triptofan jagung umumnya rendah, masing-masing hanya 0,28% dan 0,06% dari total protein biji. Angka ini kurang dari separuh konsentrasi yang disarankan oleh Badan Kesehatan se-Dunia (WHO) dan Badan Pangan dan Pertanian se-Dunia (FAO) (Anonima, 2004).
10
Jika jagung berkadar lisin dan triptofan rendah digunakan untuk pakan maka protein ternak juga akan kekurangan kedua zat yang penting bagi perbaikan gizi. Melalui kerja sama dengan Pusat Penelitian Jagung Internasional, Centro Internacional de Mejoramiento de Maiz Yiel Trigo (CIMMYT), Badan Litbang Pertanian mengintroduksi bahan genetik jagung berprotein tinggi atau lebih populer disebut jagung QPM (Quality Protein Maize). Setelah melalui serangkaian penelitian oleh Balitsereal yang berkedudukan di Maros, Sulawesi Selatan, dua di antara sejumlah galur jagung QPM yang diintroduksi itu telah dilepas oleh Departemen Pertanian pada tahun 2004 ini, masing-masing dengan nama Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 (Anonima, 2004). Tabel 4. Deskripsi singkat varietas unggul jagung Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning-1, dilepas tahun 2004. Kakteristik Sri Kandi Kuning 1 Sri Kandi Putih 1 Tinggi Tanaman (cm)
185
195
Umur panen (hari)
105 – 110
105 – 110
Bobot 1000 biji (g)
275
325
Kuning
Putih
7.9
8.1
Warna Biji Potensi Hasil (ton/ ha) (Anonimb, 2004).
Varietas Srikandi Kuning-1 berdaya hasil 7,9 ton per hektar dan bijinya berwarna kuning, sesuai dengan namanya. Berbiji putih, varietas Srikandi Putih-1 mampu berproduksi 8,1 ton per hektar. Kedua varietas unggul ini tahan penyakit hawar daun, karat, dan hama penggerek batang. Deskripsi singkat dari kedua jagung tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dibandingkan dengan Srikandi Kuning-1, biji Srikandi Putih-1 lebih besar masing-masing dengan bobot 275 g dan 325 g per 1.000 biji. Kadar protein biji Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 masing-masing 10,3% dan 7,8% dengan kandungan lisin dan triptofan 0,46% dan 0,09% untuk Srikandi Kuning-1 serta 0,36% dan 0,07% untuk Srikandi Putih-1 (Anonima, 2004). Jagung QPM juga mempunyai kandungan amilosa 29.52% (b/k) dari kadar pati jagung QPM sebesar 77.95%. Sementara
11
kandungnan amilosa 54.94% (Tabel 12). Dari kandungan amilosa dan amilopektin tersebut dapat dinyatakan bahwa jagung QPM dapat digunakan sebagi produk ekstrusi. Postur tanaman jagung Srikandi Kuning-1 relatif lebih pendek dari Srikandi Putih-1 dan keduanya dapat dipanen pada umur 105-110 hari yaitu mulai dari penanaman benih jagung sampai bulir jagung pada tongkol jagung dalam keadaan matang. Srikandi Kuning-1 dapat dikembangkan di dataran rendah maupun dataran tinggi (1.000 m dpl), sedangkan Srikandi Putih-1 sesuai untuk dataran rendah dan medium dengan ketinggian tempat kurang dari 700 m dpl (Anonima, 2004). Sementara jagung varietas hibrida adalah suatu turunan F1 dari persilangan dua varietas. Varietas dengan galur atau galur dengan galur. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan varietas jagung yang mempunyai hasil panen yang lebih tinggi dari varietas awal (Baco et al., 2000). B. KACANG HIJAU Kacang hijau (Vigna radiata (L). Wilezek) termasuk dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionidae, dan genus Vigna (Allen dan Allen, 1981). Kacang hijau merupakan salah satu tanaman yang cukup penting di Indonesia. Posisi kacang hijau menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah. Klasifikasi botani tanaman kacang hijau adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Keluarga
: Leguminoceae (Fabaceae)
Genus
: Vigna
Spesies
: Vigna radiatus
Perhatian masyarakat di Indonesia terhadap kacang hijau masih kurang, karena disebabkan oleh hasil yang dicapai per hektarnya masih rendah. Kebanyakan petani menanam kacang hijau memiliki produktivitas panen yang rendah yaitu 500 kg per Ha (Suprapto, 1998). Di samping itu,
12
panen kacang ini harus dikerjakan beberapa kali. Biji kacang hijau berukuran 2.5 – 5 x 3 – 4 mm2, berbentuk elips sampai bulat. Warna biji hijau, coklat, abu-abu, dan hijau kehitaman. Dua jenis kacang hijau yang terkenal adalah Golden Gram dan Green Gram (Kay, 1979). Kacang hijau merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein yang cukup baik dan memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi. Komposisi gizi kacang hijau terdiri dari karbohidrat (56,7%), protein (24%), lemak (1.3%), mineral (3.5%), serat (4.1%), Ca (124 mg), P (326 mg) dan Fe (7.3 mg) per 100 gram. Kandungan karbohidrat kacang hijau terdiri dari 38.8% pati yang tersusun atas 28.8% amilopektin dan 71.2% amilosa (Kay, 1979). Menurut Kay (1979), tepung kacang hijau sangat kaya akan protein terutama lisin, sehingga cocok untuk sumber protein. Asam amino terbanyak adalah leusin yang diikuti arginin dan lisin. Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah varietas betet merupakan verietas yang termasuk varietas kacang hijau dengan produktivitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 1200-1600 kg/ha. Karakteristik yang lain yaitu batangnya berwarna hijau dengan tinggi 45 cm. Varietas ini berbunga pada umur 35 hari dan dapat dipanen pada umur 60 hari yang terhitung mulai dari penanaman benih (Suprapto, 1998). Proses penyosohan yang bisa dilakukan pada kacang hijau adalah dengan melembabkan biji terlebih dahulu dengan perendaman pada air. Selanjutnya digiling basah dengan Grinder lalu dikeringkan pada oven. Perlakuan penyosohan menyebabkan penurunan kadar lemak, serat kasar, kalsium dan karoten namun menaikkan kadar karbohidrat dan protein (Thirumaran dan Sralthan, 1987). Kacang-kacangan pada umumya mengandung zat toksik seperti flavonoid, alkaloid dan asam amino non protein. Zat tersebut dapat mengganggu pencernaan protein dengan cara menghambat kerja enzim pencernaan protein (inhibitor enzim), membentuk kompleks dengan protein yang sulit dicerna atau pun menghambat pencernaan asam-asam amino pada usus. Namuan zat tersebut dapat dinetralkan dengan perlakuan perendaman,
13
pemanasan, fermentasi dan dengan zat kimia seperti asam, basa atau sodium bikarbonat (Anonim, 1973). Penambahan kacang hijau pada pembuatan produk ekstruksi diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein produk ekstruksi. Suplementasi kacang hijau dan jagung dapat meningkatkan kandungan lisin, sehingga tujuan perbaikan mutu dapat tercapai (Muchtadi et al., 1988). Selain itu kacang hijau dapat dijadikan pangan alternatif selain kacang kedelai karena kandungan proteinnya mendekati kedelai dan juga mempunyai kandungan lisin yang lebih tinggi. Pertimbangan lain yaitu kacang hijau termasuk bahan pangan domestik yang sebagian besar produksinya masih diproduksi di dalam negeri. C. PATI a. Karakteristik Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan protein serta lemak (Banks dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 12 – 30% amilosa, 75 – 80% amilopektin dan 5 – 10% meliputi lemak dan protein. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan pati biji-bijian mengandung protein yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979). Kandungan amilosa pada umumnya untuk jagung adalah 24% dan jumlah amilopektin 76%. Sementara kandungan
14
amilosa dan amilopektin pada kacang hijau berturut-turut adalah 28.2% dan 71.8% (Muchtadi dan Sugiono, 1973). Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa, sehingga tidak kembali ke bentuk normalnya disebut birefrengence end point temperature atau disingkat BEPT (Winarno, 1997). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter berkisar antara 21 – 96 μm, kentang 15 – 10 μm, ubi jalar 15 – 55 μm, tapioka 6 – 36 μm, gandum 3 – 38 μm, dan beras 3 – 9 μm (Fennnema, 1976). Sementara untuk diameter pati kacang hijau berkisar antara 6 – 16 μm (Muchtadi dan Sugiono, 1973). b. Granula Pati Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran) yang berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran, keseragaman letak hilum seperti bersifat khas untuk setiap jenis pati, oleh karena itu dapat digunakan untuk identifikasi, dan demikian juga sifat birefringencenya masing-masing pati berbeda. Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum (Bouwkamp, 1985). Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada
15
waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya (Hodge et al., 1976). Menurut Hodge et al., (1976) ikatan paralel yang terbentuk antara molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat yang disebut daerah amorf yang mudah dimasuki air.
Misela
menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi, sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop (Whistler et al., 1984). Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Banks dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Sampai saat ini diduga amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati (Banks et al., 1975). c. Amilosa Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnnya jika amilosa dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna (Banks et al., 1975). β-amilase menghidrolisa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Muchtadi at al., 1988).
16
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan membentuk struktuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini yang mendasari terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru, dan ini dapat ditentukan kadarnya dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 – 660 nm (Manner, 1979 di dalam La Ega, 2002). d. Amilopektin Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4% – 5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 ; Fennema, 1976). Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul bervariasi tergantung sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon yang ke 6 dari cincin glukosa (Greenwood dan Munro, 1979). Dalam
produk
makanan
amilopektin
bersifat
merangsang
terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati yang mengandung amilosa yang tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Muchtadi at al., 1988). e. Gelatinisasi Menurut Winarno (1995) peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55 °C – 65 °C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi.
17
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati (Greenwood dan Murno, 1979). Winarno (1995) menambahkan karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat besar maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan oleh air yang sebelumnya berada di luar granula pati dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini berada dalam granula dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Kenaikan dan penurunan
viskositas
selama
gelatinisasi
dapat
diikuti
dengan
menggunakan Brabender amilograph. Mekanisme gelatinisasi terdiri dari tiga tahap (Fennema, 1996). Tahap pertama air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula, kemudian pada suhu 60 – 85 °C granula akan mengembangkan dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati kehilangan sifat birefrigentnya. Keperluan air pada suhu awal gelatinisasi tergantung pada jenis patinya. Proses pembengkakan granula oleh pemanasan akan menyebabkan perubahan yang nyata dalam viskositas dan sifat reologi dari pasta. Hal tersebut merupakan karakteristik dari masing-masing jenis pati (Damardjati, 1987). Sedangkan pada pati mentah, jika dimasukan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Pembengkakan granula tersebut dapat kembali ke pada kondisi semula (Winarno, 1997). Pada tahap kedua, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati akan terdifusi keluar granula (Fennema, 1996). Selama gelatinisasi suspensi yang tadinya menyerupai susu menjadi berkurang daya tembus sinarnya dan berubah menjadi transparan. Pembengkakan menyebabkan hilangnya birfringence dan menstimulasi terbentuknya larutan yang kental. Meskipun pati telah kehilangan birefringence dan telah terjadi
18
pembengkakan maksimum, tetapi tingkat pengentalan belum sempurna, karena penambahan panas akan meningkatkan kekentalan. Pada tahap ketiga pengembangan granula-granula terjadi secara cepat akibat dari molekul-molekul pati yang terdispersi keluar granula (McCormick et al., 1991). Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno, 1997). Schoch (1969) mengemukakan mekanisme pembentukan gel dan retrogradasi diakibatkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus OH terutama pada rantai amilosa dengan molekul amilosa yang lain. Pada proses oksidasi gugus OH ini mencegah ikatan hidrogen mengisi rantai polimer dan gel yang dihasilkan mempunyai konsistensi lembek dan tekstur yang lunak dibandingkan pati alami. Pati dengan amilopektin yang tinggi akan lebih sukar membentuk gel, karena percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan antar molekul yang dibutuhkan utuk pembentukan gel, sedangkan pati dengan amilosa tinggi pembentukan ikatan antar molekul lebih mudah,, sehingga terbentuklah struktur dua dimensi yang disebut gel (Osmon, 1972). Terjadinya struktur dua dimensi akan mengakibatkan air bebas akan terperangkap dalam jaringan tersebut. Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4 – 7. pada pH yang terlalu tinggi pembentukan gel berlangsung dengan cepat tetapi juga cepat menurun. Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk secara lambat dan apabila pemanasan diteruskan viskositas akan kembali turun. D. EKSTRUSI 1. Proses Ekstrusi Ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh suatu lebih kondisi operasi seperti pencampuran (mixing), pemanasan dengan suhu tinggi dan pemotongan (shear) melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil
19
ekstrusi yang bergelembung kering (puff dry) dalam waktu singkat. Fungsi pengekstrusi meliputi gelatinisasi atau pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan penggelembungan atau pengeringan (puffing atau drying) (Muchtadi et al., 1988). Sementara fungsi dari ekstrusi meliputi gelatinisasi/pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengembungan (puffing atau drying). Kombinasi satu atau lebih fungsifungsi tersebut di atas merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Proses keseluruhan pada ekstrusi tidak dapat dipisahkan karena adanya sejumlah interaksi yang saling berkaitan antara kondisi yang akan terjadi sebelum dan sesudah ekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Alat pemasak ekstruder umumnya terdiri atas tiga bagian yaitu bagian pengisian, kompresi dan pengemasan. Mekanisme alat tersebut sangat sederhana dimana bahan dimasukan ke dalam bagian pengisi, pada tahap ini udara didorong keluar dan bahan dimampatkan hingga masif, dan mengisi seluruh ruangan screw dan barrel. Kemudian bahan didorong ke dalam bagian kompresi. Di tempat ini bahan mendapat tekanan cukup tinggi. Tekanan timbul karena terjadi penyempitan ruangan, sehingga energi mekanis dan gaya geser terhadap bahan meningkat. Keadaan demikian berakibat pada suhu bahan mulai naik. Di bagian dalam alat pemanasan, kecepatan geser (shear rate) sangat tinggi yang disertai kenaikan suhu yang cepat. Suhu mencapai maksimum sebelum bahan disemprotkan melalui lubang kecil atau lubang pelepas di ujung selubung (die). Kenaikan suhu yang cukup tinggi dapat menyebabkan bahan mengalami perubahan fisiko kimia (Dixon, 1981). Bahan yang telah mengalami pemasakan didorong keluar melalui die. Pada saat terlepasnya bahan di ujung die, bahan mengalami perubahan tekanan yang demikian besar dalam waktu yang singkat. Keadaan demikian menyebabkan bahan menjadi mekar, kering dengan tekstur produk yang berongga. Pemotongan dan pembentukan makanan dilakukan segera pada saat bahan keluar dari ujung die (Muchtadi et al, 1988).
20
Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear. Tekanan shear tersebut tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah non-newtonian (Harper, 1981). Selanjutnya disebutkan ekstrusi biopolimer sangat dipengaruhi oleh komposisi dan jenis biopolimernya. Menurut
Harper
(1981),
agar
diperoleh
kerenyahan
dan
pengembangan produk yang relatif lebih baik, ekstrusi bahan yang berasal dari pati-patian dilakukan pada suhu optimum 170°C dengan tekanan 438 kPa (70 psi) sampai 5516 kPa (800 psi). Kecepatan ulir digunakan sebaiknya 300 rpm dalam waktu sekitar 10 detik. Tekanan pada proses ekstrusi bervariasi antara 70-800 psi atau lebih, sesuai dengan keperluan. Tekanan ini dipengaruhi oleh bentuk ulir pada ekstruder, jumlah dan tipe kepala ekstruder, kecepatan berputarnya ulir dan arus listrik (Smith, 1981). Bahan yang digunakan pada proses ekstrusi berbentuk butiran kecil yang berukuran 1-3 mm. untuk bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang memuaskan karena jika ukuran partikel terlalu halus produk yang dihasilkan hangus dan partikel bahan tidak mengalami pemadatan yang sempurna serta kurang mengembang (Ang et al., 1980). Hasil pemasakan proses ekstrusi adalah gelatinisasi pati, denaturasi protein, serta inaktivasi enzim yang terdapat pada bahan mentah (Harper, 1981). Proses ini diikuti oleh pengembangan eksotermik yang dibentuk pada cetakan (Smith, 1981). Kadar air bahan baku memegang peranan penting pada proses ekstrusi, karena menentukan sifat plastisitas dan elastisitas produk, yang merupakan ukuran mutu hasil olahan. Biasanya kadar air bahan baku berkisar antara 10% - 40% (Harper, 1981). 2. Ekstruder Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper, 1981). Alat ekstrusi dapat digolongkan menurut penggunaannya yang
21
umum seperti pengekstrusi pasta dan collet (snack, makanan kecil). Jenis alat ekstrusi dapat digolongkan menurut kelembaban selama processing. Ekstrusi dapat dibagi menjadi tiga golongkan berdasarkan kadar air bahan yang dimasukan. Ketiga jenis ekstruder tersebut adalah low ekstruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediet ekstruder dengan kadar air bahan 20-30%, dan high ekstruder dengan kadar air bahan 30-40% (Muchtadi et al., 1988). berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam pengembangan produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak, breakfast cereal, atau produk modifikasi pati (Mercier dan Feillet, 1975). Selain itu, juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies, atau permen (Linko et al., 1981). Harper (1981) membagi ekstruder berulir tunggal yang biasa digunakan dalam industri pangan ke dalam lima kelompok, yaitu : (1) ekstruder pasta yang biasa digunakan dalam pembuatan macaroni ; (2) ekstruder pembentuk dengan tekanan dengan tekanan tinggi untuk membentuk adonan dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi ; (3) ekstruder pemasak dengan shear rendah untuk adonan dengan kadar air tinggi ; (4) ekstruder collet untuk membuat pangan berbentuk butiran yang bergelembung kering ; (5) ekstruder pemasak dengan shear tinggi serupa dengan ekstruder collet, hanya pemakaiannya lebih luas untuk cereal bergelembung, dan pakan ternak. Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga bagian yaitu Low Shear, Medium Shear, High Shear. Jenis-jenis ekstruder tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
22
Tabel 5. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal Kategori
Low Shear
Medium Shear
High Shear
Kadar Air Produk (%) Densitas produk (g/ 100ml) Suhu barrel maksimum (°C) Tekanan barrel maksimum (kg / cm2) Kecepatan ulir (rpm) Produk khas
25 – 75 32 – 80 20 – 65 6 – 63
15 – 30 16 – 51 55 – 145 21 – 42
5–8 3.2 – 20 110 – 180 42 – 84
100 Produk pasta daging
200 Roti, makanan ternak
200 Snack, breakfast cereal
(Smith, 1980) Ekstruder ulir tunggal tidak memiliki sumber panas berupa steam (uap panas) untuk memanaskan jaket pemanas, dan semua produk dipanaskan dengan gaya friksi secara mekanik atau gaya gesek (Harper, 1981). Ekstruder tunggal ini bisa memproses bahan-bahan baku yang mempunyai kadar airnya 10% - 40%, tergantung pada campuran dari formula bahan.
Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Ulir Tunggal Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Tunggal (Muchtadi et al., 1988) Ekstruder kering adalah salah satu ekstruder single screw (dengan ulir tunggal) yang tidak memperhatikan pengkondisian pada bahan awal. Semua panas yang dihasilkan pada ekstruder kering adalah berasal dari
23
energi mekanik yang disalurkan kepada bahan mentah melalui ulir, panas yang terperangkap di dalam barrel dan dinding barrel ekstruder (Buhler, 2006). Pada bagian ulir yang bertekanan masuk ke dalam tengah barrel terdapat besi yang menekan dan mengisi ruangan pada barrel. Hal tersebut akan meningkatkan gesekan sepanjang ulir dan menyebabkan berputarnya produk ke bawah saluran pada barrel. Perputaran tersebut dikombinasikan dengan gesekan yang dibentuk antara bahan yang melewati daerah celah yang kosong diantara besi (plate) yang menekan dan permukaan dalam pada barrel, hal tersebut akan meningkatkan suhu di dalam barrel. Selama proses ekstrusi selama 20 sampai 30 detik, bahan dimasak dengan suhu yang tinggi dan gesekan yang kuat, sehingga struktur biopolimer pada bahan terdenaturasi membentuk pasta kental yang bergerak keluar menuju die (Buhler, 2006). Ketika bahan keluar pada die ekstruder, tekanan secara langsung muncul di dalam produk, menyebabkan air dalam produk berubah menjadi steam (udara panas) dan membuat produk mengembang. Ekstruder yang digunakan pada penelitian kali ini dapat dilihat pada Gambar 3. E. PERUBAHAN BAHAN SELAMA PROSES EKSTRUSI Selama proses ekstrusi berlangsung, terjadi perubahan-perubahan sifat bahan baku, seperti perubahan fisiko kimia, nilai gizi dan organoleptiknya, khususnya pada karbohidrat dan protein. Perubahan sifat–sifat lemak kurang mendapat perhatian karena kadar lemak bahan baku yang diolah ekstrusi umumnya sangat kecil. Namun, pengaruh lemak terhadap hasil ekstrusi sangat besar (Faubion et al., 1982). Perubahan struktur akibat pengolahan secara ekstrusi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, kadar air, amilosa dan lemak dalam butiran pati. a. Ekstrusi Pati Dalam pengolahan produk-produk ekstrusi sering dilakukan penambahan pati dalam bentuk tepung, baik itu pati segar maupun pati
24
yang telah mengalami berbagai modifikasi. Pati yang masih segar cenderung untuk mengembang atau mekar dengan mudah, sehingga menghasilkan produk ekstrusi yang mempunyai struktur lebih terbuka, porus dan bestruktur garing (Muchtadi et al., 1988). Pada proses ekstrusi, komponen pati mengalami gelatinisasi. Tingkat gelatinisasinya tergantung pada sumber bahan baku dan kondisi proses ekstrusi. Gelatinisasi pati disebabkan oleh suhu, tekanan dan gesekan. Tingkat gelatinisasi meningkat pada kadar air bahan yang rendah, dan gesekan yang semakin tinggi serta waktu dan suhu proses yang semakin tinggi (Smith, 1981). Pati yang mengalami gelatinisasi akan mudah cepat terdekstrusi akibat tekanan dan gaya geser yang cukup tinggi (Williams, 1977). Pati mempunyai peranan penting bagi produk-produk ekstrusi, selain karena berpengaruh pada tekstur juga pada daya awetnya. Pengaruh itu terutama disebabkan rasio amilosa dengan amilopektin dalam pati. Amilopektin diketahui bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing), sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian dengan kandungan amilopektin yang tinggi akan berifat ringan, porus, garing, dan renyah. Sedangkan pati dengan amilosa tinggi seperti pati yang berasal dari umbi-umbian cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal karena proses pengembangan terbatas (Muchtadi et al., 1988). Tekstur garing atau renyah pada produk ekstrusi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jika kita ibaratkan ekstruder merupakan suatu reaktor dengan aliran tidak terputus (kontinyu) serta mempunyai kelembaban yang rendah. Molekul-molekul makanan yang besar seperti karbohidrat dan protein mengalami denaturasi dan menyusun diri sepanjang aliran laminar yang terjadi di dalam ulir pengekstrusi dan cetakan. Pada suhu semakin tinggi, molekul-molekul ini membentuk ikatan silang menjadi struktur yang telah berubah yang dapat mengembang bila dikeluarkan dari cetakan. Suatu
sifat
molekul
terdenaturasi
yang
linier
akan
menambah
kemampuannya untuk disusun dan dibentuk menjadi struktur yang berlapis (Muchtadi et al., 1988).
25
Pengikatan silang antara molekul-molekul yang berdapingan mempengaruhi daya tahan strukrtur yang telah dibentuk degradasi lainnya selama proses atau bila produk tersebut dikonsumsi. Ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah dapat pecah dengan mudah oleh air, sedangkan ikatan kovalen dan ionik yang lebih kuat mengebabkan produk lebih tahan terhadap perpecahan, sehingga mampu mempertahankan teksturnya. Kerusakan
molekul-molekul
makan yang besar disebabkan oleh
pemotongan dapat mengurangi kemampuan untuk mengembang, menaikan kelarutannya dalam air dan membentuk tekstur yang lebih lunak. Tekstur yang dibentuk dari proses ekstrusi dipengaruhi oleh kondisi pemotongan di dalam ulir pengekstrusi dan di dalam cetakan, jenis bahan mentah juga membutuhkan waktu dan suhu untuk menyusun molekul-molekul dengan ikatan-ikatan kimia yang saling bersilang (Muchtadi et al., 1988). b. Protein Proses ekstrusi dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein. Akibat denaturasi, ikatan peptide lebih mudah dihidrolisis oleh proteolitik, sehingga kelarutan protein akan tinggi (Smith, 1981). Setelah proses ekstrusi protein tidak berbentuk butiran lagi karena pecah dan berdifusi dengan pati selama pemanasan. Dari hasil pengamatan mikroskopis
terlihat
protein
mempengaruhi
kerenyahan
karena
terbentuknya matriks protein. Dari hasil penelitian Faubion dan Hoseney (1982), terlihat dengan pengembangan produk menjadi rendah. Namun demikian pengaruh protein tergantung pada tipe dan konsentrasinya. Semakin besar ukuran diameter cetakan, indeks kelarutan protein meningkat sedangkan nilai nutrisi protein menurun (Linko et al., 1981). Menurut Bjorck dan Asp (1982) faktor yang dapat menurunkan kandungan protein adalah semakin tinggi suhu pemasakan dan akibat dari penurunan kadar air pada saat pemasakan (proses ekstrusi). Perubahan nilai gizi melalui proses ekstrusi mendapat perhatian para ahli karena nilai gizi protein nabati dapat ditingkatkan melalui proses ekstrusi. Zat-zat anti gizi seperti tripsin inhibitor, saponim dan urease
26
dapat dihilangkan jika diproses dengan ekstrusi (Smith, 1981). Protein yang menyususn enzim dari inhibitor tersebut akan mengalami denaturasi selama pemanasan. c. Lemak Umumnya peranan lemak dalam proses ekstrusi kurang dapat perhatian para peneliti. Hal ini mungkin disebabkan karena bahan baku makanan ekstrusi pada umumnya memiliki kadar lemak yang rendah. Kandungan lemak yang tinggi dapat mempengaruhi pengembangan produk yang dihasilkan. Lemak akan berikatan dengan molekul amilosa atau amilopektin, sehingga dapat mengambat pengembangan (puffing) dan mengurangi sifat renyah dari produk (Muchtadi et al., 1988). Namun lemak akan berkurang pada proses pemasakan karena adanya peningkatan suhu pemasakan. d. Vitamin Penurunan kadar vitamin terutama vitamin B dan vitamin C yang peka terhadap pemanasan pasti terjadi pada proses ekstrusi (Winarno, 1997). Salah satu metode yang baik untuk memproduksi produk ekstruder dengan kaya vitamin adalah dengan cara fortifikasi vitamin setelah produk ekstrusi tersebut selesai dibuat (Bjorck dan Asp, 1982). F. MAKANAN SNACK Nama dari snack adalah nama lain dari produk makanan ringan yang sering dikonsumsi pada saat waktu luang. Sedangkan makanan ringan menurut SNI 01-2886-2000 adalah produk pangan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau pati produk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan atau tanpa melalui proses penggorengan. Berbagai jenis snack yang berkembang yaitu snack manis (Sweet Snacks), snack asin (Salted Snacks), Snack yang dikenal menyehatkan (Trends in Healthy Snacking) , Snack yang
27
dikenal oleh anak-anak dan remaja (Trends in Kids and Teen Snacks) (Anonimd, 2006). G. DESIGN EXPERT VESRSION 7 (Design of Experiment Softwarwe) Program ini adalah suatu program rancangan penelitian yang bertujuan untuk membantu dalam suatu rancangan penelitian. Program ini sering digunakan untuk mengolah data statistik sekaligus mempermudah rancangan metodologi atau perlakuan pada penelitian, sehingga menemukan suatu produk atau kondisi proses yang optimal. Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, Response surface Methods (RSM), Mixture design techniques, dan Combined designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response surface Methods (RSM) yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menemukan rancangan proses yang ideal. Mixture design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat, D-optimal Combine design yaitu suatu metode pada program DX 7 yang bertujuan untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal (Anonim c, 2005). Metode rancangan percobaan D-Optimal Combine yaitu gabungan antara RSM (Response Surface Methodology) dengan Optimal Combine. Pada rancangan RSM D-Optimal Cobine ini berfungsi untuk menemukan kondisi proses ideal dan formula yang optimal. Untuk mecapai kondisi tersebut harus memperkirakan respon produk atau parameter produk yang menjadi ciri yang penting serta dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih tersebut akan dijadikan input data yang selanjutnya diproses oleh program rancangan RSM D-Optimal Cobine, sehingga membentuk gambaran dan kodisi proses yang optimal (Anonim c, 2005).
28
H. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY Response Surface Methodology (RSM) adalah suatu metode statistik yang digunakan oleh peneliti untuk membantu dalam memecahkan beberapa masalah yang berhubungan dengan proses yang ilmiah atau ketehnikan. Aplikasi RSM telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian di dunia industri. RSM juga digunakan dalam berbagai bidang penelitian seperti dalam bidang kimia, tehnik, biologi, agronomi, tekstil, industri pangan, pendidikan, psikologi dan lain sebagainya (Myers, 1971). Pada racangan penelitian yang menggunakan metode RSM faktor perlakuan pada penelitian dibuat menjadi variabel yang dapat mempengaruhi karakteristik hasil penelitian. Semua karakteristik yang dapat menentukan keberhasilan penelitian disebut respon. Prinsip dari RSM adalah penggunaan perhitungan matrik matematika untuk menenetukan persamaan matematika setiap respon (Myers, 1971).
29
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung jenis QPM (Quality Protein Maize) varietas Srikandi Putih 1 dengan umur panen 105 – 110 hari dan kacang hijau varietas betet dengan umur panen 60 hari yang diperoleh dari Balai Penelitian Biji-bijian dan Umbi-umbian Malang serta jagung hibrida varietas A4 sebagai pembanding. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia produk diperoleh dari stok laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB dan toko kimia di sekitar Bogor. 2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mesin Ekstruder buatan lokal dengan spesifikasi alat pada Tabel 7 dan dilihat pada Gambar 4, baskom, oven, hammer mill, cawan alumunium, plastik Polypropilene tebal dengan ketebalan 2.8 ×10-2 mm, silica gel, cawan porselen, desikator, neraca analitik, labu kjeldahl, pipet mohr, pipet tetes, botol akuades, batu didih, tissue, petroleum eter, kertas saring, kapas bebas lemak, alat sokhlet, labu lemak, gelas ukur, gelas pengaduk, tabung reaksi, spektrofotometer UV-Vis, Texture Analyzer, sentrifus dan alat-alat untuk uji organoleptik. Tabel 6. Spesifikasi Alat Ekstruder Jenis Ekstruder Barrel material Motor Vema Baldor 0.25 HP Kapasitas Elemen pemanas Panel Putaran Ulir
Single extruder Stainless less Teco 25 HP for Screw 1 HP for knife for material feeding 65 sampai 75 kg/jam Heater 1250 watt (60 °C - 80 °C) SS 430 automatic 1400 rpm
30
Gambar.5 Single Ekstruder
Gambar 4. Single Extruder B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari enam tahap, yaitu tahap persiapan bahan, penentuan rancangan penelitian, formulasi (penentuan formula awal), pembuatan produk awal, analisis mutu produk awal, pengujian statistik dengan menggunakan uji Anova, Duncan, dan Response Surfase Methodology DOptimal Combine, pemilihan produk yang terbaik dan tahap analisis fisik serta kimia produk terbaik. Tahapan penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Tahap persiapan bahan baku meliputi persiapan bahan baku utama yaitu jagung Quality Protein Maize dan kacang hijau varietas betet. Persiapan bahan baku utama yaitu jagung kering dengan kadar air 12% digiling, sehingga menjadi grits sedangkan untuk kacang hijau dilakukan perendaman, penyosohan, pengeringan dan penggilingan.
31
Persiapan Bahan Baku
Ditentukan faktor perlakuan penelitian
Penentuan formula awal (formulasi) menggunakan Design Expert V.7 Dibuat produk ekstrusi hasil formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert V.7 Diuji organoleptik (uji hedonik skor tekstur dan kelengketan) dan fisik (uji tekstur dan derajat pengembangan) Data diuji statistik dengan uji Anova, dan uji Duncan
Data diuji Anova untuk proses optimasi oleh program Design Expert V.7 Dianalisis hasil (Out put) data analisis dari program Design Expert V.7 Dioptimasi dengan program Design Expert V.7 dan pemilihan formula optimal
Produk terpilih
Dianalisis kimia, fisik dan derajat pengembangan pada produk yang terpilih (optimal) Gambar 5. Skema alur metode penelitian
32
a. Proses Persiapan Bahan Baku Tahap persiapan bahan meliputi sortasi dari bahan utama yaitu jagung dan kacang hijau, kemudian penggilingan bahan utama, sehingga bahan berbentuk grits dengan menggunakan alat hammer mill. Jagung digiling dengan menggunakan hammer mill, sehingga berbentuk grits. Sementara kacang hijau sebelum dihancurkan oleh hammer mill, terlebih dahulu direndam dengan air selama satu malam, sehingga aleuronnya mudah terkelupas, kemudian digiling basah menggunakan alat penggiling grinder. Setelah itu dilakukan pemisahan kulit ari. Untuk kacang hijau yang sudah terpisah dengan kulit ari dilanjutkan kepada proses pengeringan menggunakan oven dengan suhu 50 °C selama 6 jam. Kacang hijau kering digiling dengan Hammer mill, sehingga didapatkan butiran (grits) kacang hijau. Jagung Quality Protein Maize yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Jagung Quality Protein Maize b. Penentuan Komposisi Formula dan Suhu Awal Proses Faktor utama yang menjadi dasar serta sekaligus menjadi faktor perlakuan dan menjadi kendala (batasan) pada penelitian ini adalah komposisi bahan atau formula bahan yang dicampur dan suhu awal proses. Komposisi bahan untuk jagung yang dilakukan yaitu mulai 0% sampai 100%, begitu juga kacang hijau yaitu sebesar 0% sampai 100%. Setiap
33
formula dibuat dalam satu kilogram. Sedangkan untuk faktor pengaturan suhu pemanas atau heater ekstruder dibatasi yaitu berkisar antara 60 ºC – 70 ºC. c. Penentuan Formula Awal (Formulasi) Proses formulasi yaitu menggunakan program Design Expert version 7 dengan metode rancangan percobaan RSM (Response Surface Methodology) D-optimal combined. Metode ini akan diperoleh suatu formula optimal yang sesuai dengan optimasi yang diinginkan pada penelitian kali ini. Sebelum mendapatkan formula terpilih atau optimal program DX 7 ini secara otomatis memformulasikan formula awal yang digunakan sebagai dasar dari proses optimasi, maka dihasilkan empat belas formula. Rentang atau jarak antar formula awal yang dihasilkan yaitu disesuaikan secara otomatis dengan batasan yang diberikan pada saat input variabel yang tersedia pada pada program Design Expert version 7. Kempat belas formula tersebut dipilih oleh program Design Expert version 7 secara acak sesuai dengan metode statistik atau rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini. Rancangan penelitian ini menggunakan metode RSM D-Optimal Combine. d. Pembuatan Produk Ekstrusi Pertama kali semua bahan baik jagung dan kacang hijau ditimbang sesuai dengan hasil formulasi awal yang dilakukan oleh program Design Expert 7. Di samping itu mempersiapkan mesin ekstruder yaitu dengan mengatur suhu aktual pada pemanas ekstruder sesuai dengan suhu setiap formula yang disarankan yaitu antara 60 °C – 70 °C. Setelah suhu mesin untuk proses sesuai dengan diharapkan, adonan dimasukan ke dalam hoper (tempat masuknya bahan) lalu bahan atau adonan diproses di dalam ulir ekstruder. Berikut Gambar alur proses pembuatan produk ekstrusi pada penelitian ini.
34
Kacang Hijau var betet Jagung QPM kering dengan kadar air 12% (d/b) Direndam dengan air (satu malam) Digiling dengan grinder
Dibersihkan
Dipisahkan kulit kacang hijau Dikeringkan kacang hijau tanpa kulit
Digiling dengan hammer mill 10 mesh
FORMULASI Proses Ekstrusi Produk Analisis fisik dan kimia Gambar 7. Skema alur pembuatan produk ekstrusi e. Pengujian Pada Setiap Produk Hasil dari Formulasi Parameter mutu produk sekaligus menjadi respon data bagi data statistik
yang
digunakan
untuk
menentukan
rancangan
model
matematika. Juga sekaligus memilih produk yang optimal. Respon atau parameter mutu produk yang diujikan pada penelitian ini adalah nilai hedonik terhadap tekstur dan kelengketan, kekerasan produk, dan derajat pengembangan.
35
1. Uji Hedonik Tekstur dan Uji Hedonik Kelengketan Produk Produk-produk yang dihasilkan setelah proses produksi pada formulasi awal sejumlah 14 formula tanpa ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 7, dilanjutkan dengan uji organoleptik. Formula yang dibuat dan diuji organoleptik sejumlah 14 formula. Uji organolepik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik tekstur dan hedonik kelengketan dengan menggunakan taraf kesukaan 7, mulai dari sangat tidak suka (1) sampai dengan sangat suka (7) dan dilakukan oleh 32 orang panelis semi terlatih, work sheet yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Sheet yang dipakai untuk organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Contoh yang diuji adalah produk ekstrusi dengan tidak ditambahi bumbu atau flavour. 2. Uji Kekerasan Produk Uji Kekerasan produk dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer dengan 3 kali ulangan, pada setiap sampel produk. Salah satu sampel diletakkan di bawah lengan penekan dengan berat beban 25 kg. Produk berbentuk silinder, dan diletakkan pada posisi horizontal dengan posisi produk tepat pada tengah-tengah probe (ujung penekan) dengan probe berbentuk spherical dan ditekan secara vertikal. Ketika bahan ditekan selama beberapa saat, sehingga terbentuk grafik pada layar komputer. Melalui grafik selanjutnya dilakukan
perhitungan
tingkat
kekerasan
bahan.
Tingkat
kekerasan/tekstur produk dinyatakan dalam kg/mm/g atau kgf. Texture Analayzer (TA.X2i) untuk pengukuran kekerasan produk ekstrusi dengan pengaturan alat : Pre Test Speed
: 1 mm/s
Test Speed
: 1 mm/s
Post Speed
: 10 mm/s
Distance
: 7.5 mm
Force
: 100 g, Time = 5 s.
36
3. Derajat Pengembangan (Zullichem, 1975, dalam Linko et al., 1981) Pertama-tama diukur diameter dari die yang digunakan pada mesin ekstruder, lalu diukur diameter produk yang dihasilkan. Berikutnya data dimasukan ke dalam formula rumus yang ditentukan dengan rumus : Derajat pengembangan (%) = diameter produk (mm) x 100% Diameter cetakan/die ekstruder (mm) f. Optimasi Produk Optimasi produk dilakukan setelah mendapatkan hasil analisis awal yang diproses oleh program Design Expert 7 dengan rancangan statistik RSM-D Optimal Combine. Hasil dari proses tersebut adalah model matematika pada setiap respon. Model matematika tersebut akan dijadikan dasar untuk optimasi poduk yang diinginkan. Proses optimasi produk pada penelitian ini dilakukan dengan melihat kecenderungan data hasil analisis awal dari mutu produk. Namun, sebelum melihat data hasil analisis awal tersebut. Setiap respon harus diseleksi dari terlebih dahulu melalui hasil analisis dari uji anova oleh program DX7. Apakah berbeda nyata atau tidak, jika berbeda nyata respon tersebut dapat dijadikan sebagai respon untuk optimasi. Nilai komposisi bahan, suhu pada proses pengolahan, nilai hedonik dari tekstur dan kelengketan, kekerasan dan derajat pengembangan produk adalah sebagai dasar optimasi. Sesuai dengan tema dari penelitian ini adalah pengembangan produk berbasis jagung Quality Protein Maize. Maka kriteria produk untuk penelitian ini adalah komposisi Jagung target minimal 50% dan maksimal 100% dengan peringkat optimasi 5, komposisi kacang hijau pada rentangan 0% sampai 50% dengan peringkat optimasi 3, suhu proses 60 °C sampai 70 °C dengan peringkat optimasi 3, skor tekstur maksimal pada rentang 3 untuk batas bawah dan nilai 6 untuk batas atas dengan peringkat optimasi 5, skor kelengketan maksimal pada rentang 4
37
untuk batas bawah dan nilai 6 untuk batas atas dengan peringkat optimasi 5, kekerasan dalam rentang 1523.7 kgf sampai 2500 kgf dengan peringkat optimasi 5, dan derajat pengembangan 367.3% sampai 541% dengan peringkat optimasi 3. g. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Produk Terbaik Satu produk atau sampel terbaik yang ditentukan dari hasil optimasi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, abu, karbohidrat), derajat pengembangan dan derajat gelatinisasi. 1. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C selama ± 15 menit. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 10 menit. Setelah didinginkan timbang dengan timbangan analitik, catat beratnya (a gram). Sampel ditimbang ± 5 gram (x gram), lalu dimasukan ke dalam cawan dan keringkan dalam oven pada suhu 1000C selama 3 jam, kemudian dinginkan (desikator) dan timbang sampai beratnya tetap (y gram). Kadar air (basis basah) = x – (y – a) x 100% x Kadar air (basis kering) = x – (y – a) x 100% y–a 2. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995) Cawan porselin dikeringkan pada temperatur 500 °C selama 1 jam dalam tanur, dinginkan dalam desikator kemudian timbang secara analitik (w gram) dimasukan dalam cawan, panaskan / bakar dengan pemanas listrik dalam ruang asap sampai dengan sampel tidak berasap dan menjadi arang, Kemudian arang diabukan dalam tanur sampai menjadi abu berwarna putih ± 500 °C selama 3 jam,
38
dinginkan dalam desikator selama 10 – 15 menit, timbang (x gram). Pekerjaan dilakukan duplo. Kadar abu (% basis basah)
=
(x – a) x 100% w
3. Kadar Protein Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995) Mula-mula bahan ditimbang dalam labu Kjedahl kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Selanjutnya dengan penambahan batu didih, larutan didihkan 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan perbandingan 2 : 1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25. % Protein = (ml HCl x ml Blanko )N HCl x 14,007 x 100 x 6.25 mg sampel 4. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Prosedur kerja yaitu menggunakan 5 g sampel yang sudah dibungkus dengan kertas saring di alat Soxhlet, kemudian dietil eter dituang ke dalam labu lemak. Selanjutnya direfluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada pada labu lemak didestilasi, labu yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 ºC sampai pelarut menguap semua (biasanya 1 jam). Setelah didinginkan dalam desikator, labu lemak tersebut ditimbang sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat dihitung dengan rumus :
39
% Lemak = Bobot lemak (g) x 100% Bobot sampel 5. Kadar Karbohidrat (by difference) Penentuan kadar karbohidarat dilakukan secara by difference, yaitu berat total produk dikurangi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (air + protein + abu + Lemak) % 6. Kadar Pati Metode Hidrolisis Asam (Apriyantono et al., 1989) Prosedur penentuan kadar pati pertama 2 – 5 g sampel (berupa bahan padat yang telah dihaluskan atau bahan cair) dalam gelas piala 250 ml. Tambahkan 50 ml akohol 80% dan aduk selama 1 jam. Saring suspensi tersebut dengan kertas saring dan cuci dengan air sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang terlarut dan dibuang. Untuk bahan yang mengandung lemak, pati yang terdapat sebagai residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter. Biarkan eter menguap dari residu, kemudian cuci kembali dengan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlemeyer dengan cara pencucian dengan 200 ml air dan tambahkan 20 ml HCl 25%. Tutup dengan pendingin balik dan panaskan di atas penangas air sampai mendidih selama 2.5 jam. Biarkan dingin dan netralkan dengan larutan NaOH 45% dan encerkan sampai volume 500 ml. Saring kembali campuran di atas pada kertas saring. Tentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai glukosa dan filtrat yang diperoleh. Penentuan glukosa seperti pada penetapan atau penentuan pada gula pereduksi.
40
7. Derajat Gelatinisasi (Wooton et al., 1971) Derajat gelatinisasi didefinisikan sebagai rasio antar pati tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung dengan metode spektrofotometri dengan total pati dari produk yang dihitung dengan metode spektrofotometri dengan mengukur kompleks pati-iodin yang terbentuk dari suspensi contoh sebelum dan sesudah dilarutkan dalam alkali. Persiapan contoh dilakukan dengan menghaluskan produk sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian disentrifus pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml aquades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian disentrifus pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masingmasing ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml oleh aquades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Sampel dibuat dua kontrol sebagai perbandingan yaitu jagung QPM yang dijadikan sebagai perbandingan dengan pati yang tergelatinisasi dengan pati bahan yang tidak tergelatinisasi. Pengamatan dilakukan sebagai berikut : (1) larutan bahan yang ditambah HCl digunakan sebagai blanko untuk pati yang tergelatinisasi; (2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan larutan iodium, digunakan sebagai larutan pati yang tergelatinisasi ; (3)
41
Larutan bahan yang ditambah KOH dan HCl sebagai blangko untuk larutan total pati ; (4) Larutan yang ditambah KOH, HCl dan Iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus : X(%) = nilai absorbansi pati tergelatinisasi x 100 % Nilai absorbansi total pati Jadi derajat gelatinisasi adalah X%.
8. Analisis Nilai Energi (Almatsier dan Lisdiana, 2001) Penentuan nilai energi maksimum melalui perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater (faktor koreksi) menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi faal makanan tersebut. Nilai energi = faktor Atwater × kandungan gizi bahan pangan Energi = (4 kkal/g × kandungan karbohidrat) + (9 kkal/g × kandungan lemak ) + (4 kkal/g × kandungan protein)
h. Uji Statistik Uji data statistik dilakukan dengan pengujian anova beserta uji lanjut Duncan mengunakan SPSS 12 dan uji RSM (response surface methodology) D-Optimal Combine beserta optimasi menggunakan program Design Expert version 7.
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN BAHAN Persiapan bahan yang baik untuk proses pembuatan ekstrusi merupakan salah satu tahapan penelitian yang penting sekali. Jagung dan kacang hijau digiling menjadi grits dengan menggunakan hammer mill, sehingga menghasilkan bahan dalam bentuk butiran dengan ukuran 1 – 5 mm. Pada proses ekstrusi, bahan yang digunakan berbentuk butiran kecil dengan diameter 1 – 5 mm. Sementara bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang mengembang dibandingkan dengan bahan berbentuk grits. Ukuran partikel yang terlalu halus seperti tepung dengan ukuran 60 mesh, menyebabkan produk yang dihasilkan akan hangus dan partikel bahan tidak mengalami proses pemadatan yang sempurna sehingga kurang mengembang (Ang et al., 1980). Sementara perendaman pada kacang hijau dengan air bertujuan untuk memudahkan dalam mengupas kulit ari dari kacang hijau tersebut. Proses alur pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 7. B. PENENTUAN FAKTOR PERLAKUAN PENELITIAN Perlakuan yang menjadi dasar pembuatan produk ekstrusi pada penelitian ini adalah komposisi campuran kedua bahan yaitu bahan utama jagung QPM (Quality Protein Maize) dan kacang hijau varietas betet serta kondisi proses atau suhu pemanas dari ekstruder (Heater Electric). Proses formulasi dilakukan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu mendapatkan suatu produk ekstrusi campuran dari bahan jagung dan kacang hijau dengan memiliki karakteristik organoleptik yang dapat diterima oleh konsumen. Perlakuan proses formulasi pada penelitian ini salah satunya yaitu formula produk dicampur dengan kacang hijau. Pencampuran tersebut dikarenakan kacang hijau mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi dibandingkan kacang-kacang lainnya (Muchtadi dan Sugiyono, 1989), sehingga dapat membantu pada proses karakterisasi produk ekstrusi atau
43
memberikan sifat puffing pada produk serta dapat menambah kerenyahan (Muchtadi et al., 1988). C. PENENTUAN FORMULA AWAL (FORMULASI) Rancangan formulasi dibuat menurut rancangan metode penelitian yang disarankan oleh metode RSM D-optimal combine. Pada program tersebut dibutuhkan suatu batasan atau kendala yang menjadi dasar pembuatan formula yang mewakili seluruh formula yang harus dibuat. Adapun kendala yang digunakan pada penelitian ini disebut juga sebagai faktor perlakuan. Kendala yang terdiri dari komposisi bahan dan suhu awal proses diduga dapat mempengaruhi karakteristik produk yang diinginkan serta juga mempengaruhi nilai dari semua respon (karakteristik) yang diujikan pada produk, sehingga dapat mencapai nilai dari semua respon yang optimum (desirability yang optimum). Kendala tersebut juga akan menjadi variabel dari persamaan model matematika yang didapat dari analisis anova atau uji sidik ragam serta diharapkan semua model matematika dari semua uji respon yang dilakukan dapat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap formula yang dibuat, sehingga dapat menentukan nilai salah satu respon atau parameter tertentu pada produk terpilih. Faktor perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah formula bahan yang terdiri dari bahan utama yaitu jagung Quality Protein Maize dan kacang hijau varietas betet serta pengaturan suhu pemanas ekstruder atau suhu awal proses pemasakan. Semua faktor perlakuan tersebut dibuat dalam variabel tertentu yang disesuaikan secara otomatis oleh program Design Expert version 7. Untuk komposisi jagung digunakan variabel A, kacang hijau digunakan variabel B dan suhu digunakan variabel suhu atau C. Gambaran dan hasil evaluasi rancangan formulasi dari desain rancangan penelitian dengan menggunakan program Design Expert 7 dapat dilihat pada Lampiran 11. Menunjukkan jenis rancangan statistik yang digunakan adalah Combined dan menggunakan rancangan penelitian D-optimal. Proses ekstrusi
44
yang harus dilakukan 14 kali proses dengan 14 formula dan diatur pada suhu awal pemanasan ekstruder antara 60 °C - 70 °C. Ke empat belas formula tersebut digunakan sebagai wakil dari keseluruhan formula yang harus dibuat, dimana jumlah formula tersebut merupakan jumlah formula paling minimum yang digunakan untuk mendapatkan satu formula produk ekstrusi yang optimum. Hasil rancangan formula dapat dilihat pada Tabel 7. Sesuai dari tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan formula yang optimum dari produk ekstrusi di dalam aspek skor tekstur, skor kelengketan, kekerasan (tekstur), dan derajat pengembangan, sehingga dapat diterima oleh konsumen. Hasil dari semua respon yang berpengaruh nyata terhadap formua awal yang dibuat dan yang diujikan pada produk ekstrusi tersebut selanjutnya dioptimasi, sehingga menghasilkan formula optimal. Hal tersebut karena respon yang diujikan merupakan karakteristik yang terdapat pada produk ekstrusi. Menurut Guy (2001) karakteristik produk ekstrusi dari snack adalah tekstur yaitu renyah. Karakteristik produk ekstrusi tersebut akan memberikan gambaran seberapa besar tingkat penerimaan konsumen. Tabel 7. Formula Awal Produk Ekstrusi
Formula
Jagung (%)
Kacang Hijau (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
100 50 100 75 100 50 75 100 50 0 25 0 25 0
0 50 0 25 0 50 25 0 50 100 75 100 75 100
Suhu Awal Pemanasan Ekstruder (Heater Electric) ( °C) 60 60 62.5 62.5 65 65 67.5 70 70 60 62.5 65 67.5 70
45
Out put dari proses analisis untuk uji organoleptik dan uji fisik produk yang diolah oleh rancangan statistik RSM D-Optimal Combine adalah suatu model matematika berbentuk polinomial yang menunjukkan hasil analisis respon produk. Gambaran model persamaan matematika yang didapatkan oleh setiap respon dengan ditunjukkan dengan variabel tertentu. Variabel tersebut menjadi penentu suatu rancangan model matematika, yang digunakan untuk faktor perlakuan pada penelitian, sehingga didapatkan respon yang mendukung terciptanya produk optimal (produk terpilih) (Anonimc, 2005). D. PEMBUATAN PRODUK EKSTRUSI Penentuan formula yang terbaik pada penelitian ini dibuat sesuai dengan rancangan penelitian yang ditentukan oleh Design Expert Version 7. Alat ekstruder yang digunakan pada penelitian ini tidak dilengkapi dengan unit-unit injeksi air maupun uap. Oleh karena itu, pengaturan alat ekstruder yang dilakukan sebelum proses pemasakan, pertama kali dilakukan yaitu pengaturan suhu pemanasan awal. Kecepatan dan bentuk ulir sangat mempengaruhi spesifikasi produk ekstrusi yang dihasilkan. Putaran ulir yang relatif lebih cepat menyebabkan produk yang dibuat relatif mekar. Putaran ulir untuk mesin single extruder yang digunakan pada penelitian ini yaitu 1400 rpm. Bentuk cetakan yang digunakan akan mempengaruhi tekstur dan bentuk potongan produk akhir. Cetakan yang dipakai pada proses pembuatan ekstruder pada penelitian ini berbentuk silinder dengan diameter 3 mm, sehingga produk yang dihasilkan berbentuk silinder atau tabung. Menurut Muchtadi et al., (1988) lubang cetakan yang runcing akan mengurangi kebutuhan tekanan balik dan menghasilkan permukaan produk yang licin Suhu pengaturan pemanas pada alat ekstruder yang dilakukan pada penelitian ini yaitu berkisar 60 °C – 70 °C. Suhu tersebut akan memanaskan barrel cepat dan secara otomatis ulir akan menekan bahan (Guy, 2001). Selain itu juga pengaturan suhu dari pemanas ekstruder tunggal tersebut yaitu maksimal pada suhu 80 °C. Menurut Muchtadi et al (1988), proses teksturisasi atau pemasakan di dalam alat pengekstrusi dibutuhkan panas yang tinggi yaitu
46
lebih dari 150 °C. Suhu tersebut dapat dihasilkan oleh pelepasan energi mekanik yang dipakai oleh pemutar ulir. Suhu akan naik dengan cepat ketika putaran ulir yang digerakan oleh pemutar ulir pertama kali. Suhu meningkat antara 80 – 150 °C (Guy, 2001). E. ANALISIS UJI ORGANOLEPTIK Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik dari atribut tekstur dan kelengketan. Hal tersebut bermaksud untuk menilai seberapa jauh preferensi atau kesukaan konsumen terhadap atribut tekstur dan kelengketan dari produk tersebut. Karakteristik produk pangan yang dikehendaki dari produk ekstrusi khususnya snack adalah tekstur yang renyah, mempunyai derajat pengembangan yang tinggi, mengembang dengan densitas yang rendah (ringan), dan tekstur rapat (Baik, Joseph dan Linhda, 2004). Menurut Guy (2001) salah satu aspek yang utama dalam memasarkan produk snack ke pasar adalah aspek tekstur dan flavor yang digunakan dalam produk akhir. Berbagai atribut tekstur yang ada dalam penilaian organoleptik terhadap produk pangan. Setiap produk pangan memiliki jenis atau atribut tekstur yang berbedabeda. Tekstur pada produk pangan menurut International Organization for Standardization adalah sebagai suatu aspek keseluruhan atribut dari sifat reologi dan struktural (geometrik dan permukaan) produk pangan yang dapat digambarkan dengan jelas secara mekanik, tactile (dapat dirasakan atau diraba), dengan visual dan suara (auditory texture) (ISO, 1981). Menurut Gimeno, Moraru dan Kokini (2004), sifat yang dimiliki oleh produk ekstruder khususnya snack adalah renyah dan memiliki sifat crunchiness (sifat garing) serta mempunyai sifat mengembang, sehingga akan menimbulkan sifat crisp (renyah). Volume pengembangan adalah parameter kualitas yang utama yang mempengaruhi kerenyahan dan sifat crunchiness (Ali et al., 1996). Pengembangan produk tergantung pada komposisi bahan, kualitas pemasakan dan laju bahan yang meleleh pada saat keluar dari die (Desrumaux et al., 1998) pengembangan produk juga yang paling utama tergantung pada kadar air bahan dan suhu proses ekstrusi (Ilo et al., 1996).
47
Contoh produk ekstrusi hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar berikut.
Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM dan 0% kacang hijau a. Uji Hedonik 1. Tekstur Produk Hasil analisis sidik ragam atau uji anova dapat dilihat pada Lampiran 7 menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap skor tekstur yang diuji pada uji hedonik dengan selang 95%. Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 pada nilai respon hedonik tekstur terhadap formula yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0036 dapat dilihat pada Lampiran 12, artinya formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap respon uji skor tekstur, sehingga nilai respon tersebut dapat digunakan untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum. Kandungan amilopektin dan amilosa berpengaruh besar dalam menentukan sifat atau karakteristik produk ekstuder. Menurut Wang
48
(1997) amilopektin dapat meningkatkan sifat pengembangan produk dan kerenyahan (crispness), sedangkan amilosa dapat meningkatkan sifat kering (crunchiness) dan kekuatan tekstur produk. Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur Formula Komposisi Formula 1 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 60 2 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 60 3 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 62.5 4 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 62.5 5 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 65 6 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 65 7 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 67.5 8 Snack dengan komposisi jagung hijau =100 : 0, suhu 70 9 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 70 10 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 60 11 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 62.5 12 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 65 13 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 67.5 14 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 70
: Kacang
Rata-rata 5.0
: Kacang
5.5
: Kacang
4.8
: Kacang
5.1
: Kacang
3.7
: Kacang
5.1
: Kacang
4.4
: Kacang
3.2
: Kacang
4.9
: Kacang
5.8
: Kacang
2.3
: Kacang
5.3
: Kacang
5.6
: Kacang
3.7
Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik tekstur dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 7), menunjukkan subset 1 dengan formula 8, 5 dan 14 berbeda nyata dengan formula yang lainnya, karena formula tersebut memiliki perbedaan yang signifikan pada suhu awal pemanasan, sehingga menimbulkan pengaruh tekstur yang berbeda. Pada subset 2 menunjukkan formula 7, 3, 9, 1, 6 dan 4 tidak berbeda nyata berbeda nyata serta pada subset 3 dengan formula 3, 9,
49
1, 6, 4, 11, 12, 2 dan 13 juga tidak berbeda nyata, tetapi formula 7 berbeda nyata dengan formula 2, 11, 12 dan 13. Formula 7 berbeda dengan formula 2 karena formula memiliki suhu awal yang optimal dalam gelatinisasi pati. Suhu awal pemanasan berpengaruh pada proses gelatinisasi pati. Serta berpengaruh pada sifat bahan pada waktu pemasakan dan juga berpengaruh pada pengembangan produk ekstrusi (Guy, 2001). Suhu terendah pada penelitian ini adalah 60 °C dan tertinggi adalah 70 °C. Oleh karena itu, dapat diperkirakan gelatinisasi pada suhu 60 °C akan lebih optimal daripada suhu yang lainnya, dengan kandungan air bahan yang sama. Pada umumnya suhu gelatinisasi pati pada saat ekstrusi akan meningkat
seiring
dengan
meningkatnya
kandungan
amilosa
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara kandungan amilosa dan amilopektin bahan utama yaitu jagung QPM serta bahan campuran yaitu kacang hijau yang digunakan pada penelitian ini pada umumnya memiliki kandungan amilopektin yang lebih besar dari pada kandungan amilosanya (Muchtadi dan Sugiono, 1989), sehingga dapat menurunkan
suhu
gelatinisasi
bahan
pada
saat
ekstruder
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara formula 7 jika dibandingkan dengan 11, 12 dan 13 berbeda karena komposisi kacang hijau pada formula tersebut semakin tinggi. Kandungan protein pada kacang hijau dapat berpengaruh pada pengembangan produk. Sementara kandungan protein pada kacang hijau lebih tinggi dari pada jagung QPM. Pada formula 2 komposisi kacang hijau lebih banyak dari formula 7. Kacang hijau varietas betet yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kandungan protein yang tinggi dibandingkan dengan jagung QPM (Tabel 12). Menurut Gimeno et al.,
(2004) protein dapat meningkatakan derajat
pengembangan dan juga berpengaruh pada tekstur. Meningkatnya derajat pengembangan akan meningkatkan kerenyahan pada produk
50
dan meningkatkan daya terima produk bagi konsumen (Moraru dan Kokini, 2003). Pada subset 4 formula 6, 4, 11, 12, 2, 13 dan 10 tidak berbeda nyata, tetapi formula 3, 9 dan 1 berbeda nyata dengan formula 10. Produk formula 10 memberikan nilai kesukaan tekstur yang tinggi dari yang lain karena selain diproses dengan suhu gelatinisasi yang optimal juga jika dilihat dari kandungan protein hasil dari analisis protein pada kacang hijau lebih banyak dibandingkan dengan kandungan protein pada jagung (Tabel 12). Formula 10 dengan komposisi jagung 0% dan 100% kacang hijau yang diolah pada suhu awal proses 60 °C memberikan nilai tertinggi (5.81). Protein dapat menaikan derajat pengembangan yaitu dengan mengontrol pendistribusian air pada matriks bahan (bahan pada saat pemasakan) serta menguatkan interaksi antara amilopektin yang sudah terpotong-potong karena proses pelelehan yaitu dengan membentuk ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar molekul), sehingga dapat meningkatkan kekuatan polimer amilopektin untuk mengembang tanpa putus (Gimeno et al., 2004). Menurut Monaru dan Kokini (2003) pati yang kaya akan amilopektin akan menyebabkan lebih mengembang dibandingkan dengan pati yang kaya akan amilosa, karena rantai amilosa akan berikat satu sama lain pada proses pemasakan, sehingga proses saling terikatnya amilosa tersebut akan menyebabkan polimer-polimer amilosa tersebut sulit tertarik pada saat proses pengembangan (pada saat produk keluar dari die) yang menyebabkan produk ekstrusi kurang mengembang. Pada bahan yang mempunyai kadungan air yang sama amilopektin lebih mudah mengembang dari pada amilosa (Monaru dan Kokini, 2003). Pengembangan produk akan berdampak positif terhadap sifat kerenyahan produk (Wang, 1997). Gelatinisasi yang optimal akan menghasilkan viskositas bahan yang optimal yaitu dengan viskositas yang tinggi, karena amilopektin dan amilosa terpecah, sehingga dapat meningkatkan viskositas bahan
51
dan suhu proses pemasakan hingga dua kali lipatnya (Kokini, Tangho dan Karwe, 1991). Kondisi pemasakan pada ekstruder yang terjadi pada alat ekstruder pada penelitian ini yaitu dalam kondisi kering atau kandungan air yang rendah. Kondisi tersebut dapat menyebabkan gesekan antara bahan dengan barrel akan meningkat, sehingga dapat meningkatkan suhu barrel ektruder secara keseluruhan (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Menurut Ozcan dan David (2005) proses ekstrusi dengan kadar air rendah terjadi pada suhu tinggi serta putaran ulir yang medium, menyebabkan pati tergelatinisasi dan meleleh, sehingga pati termasak seluruhnya dan berubah menjadi berbentuk amorph. Dengan kondisi tersebut tekstur akan lebih renyah dan mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Bahan yang sudah meleleh tersebut bersifat amorph (Wang, 1993), sehingga produk ketika keluar dari die memiliki sifat higroskopis yang tinggi (Adawiyah, 2002). Persamaan model matematika untuk respon skor tekstur pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut. Skor Tekstur = -3097.39A + 3588.40B + 3665.34A B + 145.10AC 167.16 BC -170.04ABC - 2.26AC2 + 2.60 BC2 + 2.62ABC2 + 0.012 AC3 - 0.013 BC3 - 0.013 ABC3 Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor tekstur adalah interaksi antara komponen A (jagung) dan B (kacang hijau), kemudian di ikuti oleh kacang hijau (B) serta interaksi A dengan C. Hal ini disebabkan koefisien AB paling tinggi nilainya (3665.34) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9950 dan 0.9767. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksi nilai tekstur sangat baik. Gambar 9 menunjukkan hasil uji skor tekstur terhadap 14 formula ekstrusi bentuk dua dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.
52
Design-Expert® Sof tware
Two Component Mix
Skor Tekstur DesignPoints X1 = A: A X2 = B: B
5.5
Actual Factor C: Suhu = 65.00
Skor Tekstur
5.05
4.6
4.15
3.7
Ac tual A
0
Ac tual B 100
25
50
75
100
75
50
25
0
Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara berpengaruh nyata terhadap respon skor tekstur. Selain itu juga terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi antara komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) dan interaksi antara konponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu proses) dikuadratkan (AC2). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah dari perlakuan pada penelitian ini. Komponen jagung dan kacang hijau berpengaruh nyata karena kandungan amilopektinnya dari ke dua bahan tersebut yang berperan dalam membentuk struktur produk yang renyah (Wang 1997). Selanjutnya suhu awal pemanasan barrel akan berpengaruh pada komponen biopolimer yang ada pada kacang hijau. Kacang hijau memiliki kandungan protein yang tinggi (Tabel 12), sehingga dapat membantu kekuatan ikatan antara amilopektin yang terdegradasi atau terpecah-pecah (pelelehan) (Guy, 2001) dan akan membentuk tekstur pengembangan produk yang
juga mengakibatkan produk renyah
53
(Wang, 1997). Suhu yang optimum dibutuhkan untuk memperoleh gelatinisasi yang optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1990), sehingga membentuk viskositas bahan yang optimal yang mengkibatkan suhu pelelehan tinggi dan membentuk bahan yang bersifat amorph (Ozcan dan David, 2005), mengembang serta renyah (chrispy) (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Berdasarkan tema pada penelitian ini yaitu pengembangan produk ekstruder berbasis jagung QPM. Maka formula yang dipilih adalah formula dengan komposisi jagung paling kecil 50%, sehingga didapatkan produk ekstruder berbasis jagung QPM yang mempunyai karakteristik yang optimal. 2. Kelengketan Produk Kelengketan menurut Ana (2003) mempunyai arti mudah ditelan atau tidaknya produk pada saat dikunyah di mulut (tidak menempel di gigi dan langit-langit). Menurut Rosenthal (1999) jika suatu produk pangan memiliki tekstur yang sangat kering berada di dalam mulut, maka produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak kelenjar mulut atau saliva karena fungsi saliva pada mulut yaitu untuk membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu untuk membasahi produk. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) pada uji hedonik yang dilakukan pada atribut kelengketan terhadap ke empat belas formula. Menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap skor kelengketan pada selang kepercayaan 95%. Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 pada nilai respon hedonik kelengketan terhadap formula yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0001 (Lampiran 15), artinya formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap respon uji skor kelengketan, sehingga nilai respon tersebut
54
dapat digunakan dalam proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum. Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kelengketan dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 8), menunjukkan pada subset 1 formula 8, 5 dan 14 tidak berbeda nyata serta pada subset 2 formula 14, 5, 1, 3, dan 7 tidak berbeda nyata, tetapi formula 8 berbeda nyata dengan formula 5, 1, 3 dan 7. Perbedaan tersebut karena pada formula 7 mempunyai suhu awal pemanasan yang tinggi. Jika suhu awal pemanasan tinggi dan juga kandungan amilopektin pada bahan yang tinggi, maka proses gelatinisasi kurang optimal (Chinnaswamy dan Hanna, 1990), sehingga menurunkan viskositas bahan ketika pemasakan. Viskositas turun menyebabkan gesekan antara bahan dengan barrel turun yang dapat menurunkan suhu untuk pelelehan bahan
menurun,
sehingga
pelelehan
bahan
tidak
optimum
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Pelelehan tidak optimum menyebabkan berat molekul dari amilopektin tinggi, sehingga menurunkan laju pendistribusian uap air dalam bahan dan menurunkan pengembangan (Guy, 2001). Produk yang dihasilkan akan tidak kokoh (kempes atau mengkerut) karena rendahnya tekanan pada bahan setelah keluar dari die rendah (Guy, 2001). Hal tersebut menyebabkan produk kurang garing atau kering, sehingga mudah ditelan. Namun panelis lebih menyukai produk yang garing. Pada subset 3 formula 5, 1, 3, 7, 12, 11, 13 dan 9 tidak berbeda nyata, tetapi formula 14 berbeda nyata dengan formula 12, 11, 13, dan 9 karena suhu gelatinisasi yang tidak optimal yang menyebabkan produk kurang disukai oleh panelis. Pada subset 4 formula 1, 3, 7, 12, 11, 13, 9, 6 dan 4 tidak berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata dengan formula 6 dan 4. Hal tersebut, karena formula 6 dan 4 mempunyai tambahan protein dari kacang hijau, sehingga dapat meningkatkan daya terima produk (Moraru dan Kokini, 2003).
55
Formula 12, 11, 13, 9, 6, 4 dan 2 tidak berbeda nyata pada subset 5, namun formula 1, 3, dan 7 berbeda nyata dengan formula 2, karena formula 2 memiliki suhu pemanasan awal yang optimal untuk gelatinisasi, sehingga dapat meningkatkan kulitas tekstur dari produk ekstrusi (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Berikut Tabel 9 menunjukkan hasil uji hedonik kelengketan Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan Formula Komposisi Formula 1 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 60 2 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 60 3 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 62.5 4 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 62.5 5 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 65 6 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 65 7 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 67.5 8 Snack dengan komposisi jagung hijau =100 : 0, suhu 70 9 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 70 10 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 60 11 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 62.5 12 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 65 13 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 67.5 14 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 70
: Kacang
Rata-rata 4.1
: Kacang
5.0
: Kacang
4.1
: Kacang
4.8
: Kacang
3.9
: Kacang
4.7
: Kacang
4.3
: Kacang
3.1
: Kacang
4.6
: Kacang
5.8
: Kacang
4.5
: Kacang
4.4
: Kacang
4.5
: Kacang
3.6
Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 8 berbeda dengan formula 5, 1, 3, dan 7, formula tersebut juga berbeda dengan formula 12, 11, 13 dan 9, juga akan berbeda dengan formula 6 dan 4 serta berbeda dengan formula 2 dan berbeda dengan formula 10. Untuk nilai
56
hedonik kelengketan tertinggi dimiliki oleh formula 10 dengan nilai 5.78 dan pada subset 6 berbeda nyata dengan formula yang lain, karena formula tersebut mempunyai suhu pemanasan awal yang optimal dan kandungan protein pada bahan yang optimal. Uji hedonik untuk atribut kelengketan dapat disimpulkan panelis lebih menyukai produk yang kering dan kelengketan yang tinggi. Persamaan model matematika untuk respon skor kelengketan pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut. Skor Kelengketan = +10.56A + 19.17B - 28.44AB - 0.11AC - 0.22B C + 0.47ABC + 71.23AB(A-B) - 1.07ABC(A-B) Persamaan matematika untuk skor kelengketan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 17. Kurva skor hedonik kelengketan dengan suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 8. Design-Expert® Sof tware
Two Component Mix
Skor Kelengketan DesignPoints X1 = A: A X2 = B: B
4.7
Actual Factor C: Suhu = 65.00
Skor Kelengketan
4.455
4.21
3.965
3.72
Actual A
0
Actual B 100
25
50
75
100
75
50
25
0
Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor kelengketan adalah interaksi A (komponen jagung) B (kacang hijau) (A-B), kemudian diikuti oleh kacang hijau (B), dan komponen A
57
(jagung). Hal ini disebabkan koefisien AB(A-B) paling tinggi nilainya (71.23) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9756 dan 0.9511. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksi nilai kelengketan sangat baik.
Gambar 10 menunjukkan hasil uji skor kelengketan
terhadap 14 formula ekstrusi bentuk dua dimensi. Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara berpengaruh nyata terhadap respon skor kelengketan. Selain itu juga terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi antara komponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu), B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu), interaksi antara konponen A (jumlah jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses) (ABC), A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) yang diinteraksikan dengan (A – B) dan interaksi antara konponen A (jumlah jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses) (ABC) juga diinteraksikan dengan (A – B). Oleh karena itu, faktor penelitian ini serta interaksi antara faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah dari perlakuan pada penelitian ini. Kelengketan juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin dari kedua bahan jagung dan kacang hijau. Kedua biopolimer tersebut sangat berpengaruh bagi kelengketan diakibatkan oleh suhu awal pemanasan yang berdampak pada suhu pelelehan bahan yang tidak optimum jika suhu awal gelatinisasi tidak optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Kejadian tersebut menimbulkan struktur yang tidak stabil, sehingga produk tidak kokoh setelah mengembang dan mengkerut yang menyebabkan menurunkan kualitas produk, sehingga produk kurang kering. Namun menurut Rosenthal (1999) suatu produk pangan memiliki tekstur yang sangat kering dan produk tersebut berada di dalam mulut,
58
produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak kelenjar mulut atau saliva karena digunakan untuk membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan, sehingga membutuhkan waktu untuk membasahi produk tersebut. Oleh karena itu, dapat diperkirakan panelis memilih produk yang dapat menimbulkan kelengketan apabila produk dikunyah dalam mulut. F. ANALISIS UJI FISIK 1. Tekstur (Kekerasan) Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil uji kekerasan produk signifikan (p<0.05) (Lampiran 9) artinya perlakuan pada formula atau fomulasi berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk. Kekerasan produk ekstrusi
dipengaruhi
oleh
kandungan
amilopektin
dan
amilosa.
Amilopektin dapat meningkatkan kerenyahan, sedangkan amilosa dapat meningkatkan kekuatan kekerasan produk (Gimeno et al., 2004). Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 pada respon kekerasan terhadap formula yang dibuat, menunjukkan formula yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap respon kekerasan (p>0.05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.1026 (Lampiran 18), artinya formula yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk apabila dinilai secara obyektif dengan menggunakan
Texture
Analyzer,
sehingga
untuk
respon
tekstur
(kekerasan) tidak dipakai dalam proses optimasi untuk mendapatkan produk terpilih. Hasil uji Duncan terhadap uji kekerasan dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 9), menunjukkan pada subset 1 formula 7, 10 dan 8 tidak berbeda nyata serta pada subset 2 formula 10, 8, 11 dan 14 tidak berbeda nyata, tetapi formula 7 berbeda nyata dengan formula 11 dan 14. Pengaruh protein terhadap teksturisasi produk ekstruder, yaitu protein yang berasal dari bahan produk (sayuran atau kacang-kacangan) telah dipelajari melalui TVP (Textured Vegetable Protein) (Riaz, 2004). Ketika energi panas dan mekanik dialirkan melalui barrel selama proses ekstrusi, makromolekul
59
protein yang ada pada bahan mengalami kondisi strukutur kimia yang tidak stabil kemudian struktur protein menyusun kembali dan terbentuk secara kontinyu membentuk suatu zat yang bersifat elastis. Barrel, screw, dan die ekstruder mengumpulkan molekul protein dalam aliran bahan secara langsung (Kearns, Rokey dan Huber, 2004). Protein dapat membantu pengembangan produk, serta menjadikan produk lebih renyah. Berikut merupakan hasil uji kekerasan. Tabel 10. Hasil uji kekerasan Formula Komposisi Formula 1 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 60 2 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 60 3 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 62.5 4 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 62.5 5 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 65 6 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 65 7 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 67.5 8 Snack dengan komposisi jagung hijau =100 : 0, suhu 70 9 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 70 10 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 60 11 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 62.5 12 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 65 13 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 67.5 14 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 70
: Kacang
Rata-rata 2281.1
: Kacang
2258.9
: Kacang
2024
: Kacang
2087
: Kacang
2034.8
: Kacang
2103.9
: Kacang
1609
: Kacang
1818
: Kacang
2876.3
: Kacang
1759.3
: Kacang
1868.1
: Kacang
2828.9
: Kacang
2315.4
: Kacang
1886.2
Pada uji kekerasan produk secara obyektif (mengunakan alat), pengukuran diukur secara empiris, yaitu berdasarkan resistensi sampel atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut
60
(Lawless dan Heymann, 1999). Pengukuran tersebut tidak dapat memberikan suatu keputusan yang benar dan pengujian pada pengukuran tersebut tidak mempunyai hubungan kolerasi yang tinggi dengan pengukuran yang dilakukan secara organoleptik (sensory) (Lawless dan Heymann, 1999). Proses tersebut mengakibatkan protein dapat menyusun kembali dengan membuka ikatan antar protein, sehingga mudah berikatan silang antara molekul yang lain dan memberikan struktur yang mengembang serta membentuk tekstur produk bersifat chewy atau kenyal (Kearns et al., 2004). Pada subset 3 formula 8, 11, 14, 3, dan 5 tidak berbeda nyata, tetapi formula 10 berbeda nyata dengan formula 3 dan 5. Formula 10 memberikan kekerasan yang lebih rendah dari formula 3 dan 5, karena pada formula 10 merupakan formula kacang hijau 100%, sehingga kandungan protein pada bahan akan lebih tinggi dari formula 3 dan 5. Protein dapat meningkatkan pengembangan produk ekstrusi dan menciptakan tekstur yang renyah (Moraru dan Kokini, 2003). Formula 11, 14, 3, 5 dan 4 tidak berbeda nyata pada subset 4, namun formula 8 berbeda nyata dengan formula 4. Kekerasan pada formula 8 lebih rendah dibandingkan dengan formula 4, karena faktor suhu awal pemanasan yang terlalu tinggi, sehingga gelatinisasi kurang optimal (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Hal tersebut akan berpengaruh pada kekerasan tekstur, sehinga menjadi kurang terbentuk serta rapuh (Guy, 2001). Formula 14, 3, 5, 4 dan 6 tidak berbeda nyata pada subset 5, tetapi formula 11 berbeda nyata dengan formula 6. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena komposisi formula 11 mempunyai komposisi kacang hijau yang lebih daripada formula 11, sehingga protein pada bahan akan mempengaruhi kekerasan tekstur (Moraru dan Kokini, 2003). Subset 6 formula 1, 2, 4, dan 6 tidak berbeda nyata, namun formula 14, dan 3 berbeda dengan formula 2 dan 1. Formula 1 dan 2 mempunyai suhu awal pemanasan yang optimal untuk proses gelatinisasi. Formula 1 lebih keras dari formula 14 dan 3 karenakan komposisinya tidak dicampur dengan kacang hijau, sehingga protein bahan kurang berpengaruh pada kekerasan
61
produk. Untuk formula 2 proses gelatinisasi yang optimal akan mengembangkan produk, sehingga dapat meningkakan kerenyahan dari segi organoleptik. Jika dilihat nilai kekerasan dari formula hasil uji Duncan menunjukkan formula 2 lebih keras dari formula jika dibandingkan dengan formula 14 dan 3. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan
antara
pengujian
secara
subyektif
atau
instrumental.
Pengukuran kekerasan secara obyektif yaitu berdasarkan resistensi sampel atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut, sehingga produk cenderung keras jika lebih mengembang (Lawless dan Heymann, 1999). Formula 6, 2, 1, dan 13 tidak berbeda nyata pada subset 7, tetapi formula 4 berbeda nyata dengan formula 13. Perbedaan tersebut karena formula 4 memiliki suhu optimal untuk gelatiniasi, sehingga dapat meningkatkan pengembangan produk dan mengakibatkan kekerasan produk rendah (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara nilai kekerasan tertinggi terdapat pada formula 9 dan
tidak berbeda nyata
dengan formula 12, namun berbeda nyata dengan formula 6, 2 dan 1 dengan nilai kekerasan 2876.3. Kekerasan pada formula 9 memiliki suhu awal
gelatinisasi
yang
tidak
optimal,
sehingga
produk
kurang
mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 7 berbeda dengan formula 11 dan 14, formula tersebut juga berbeda dengan formula 3 dan 14, juga akan berbeda dengan formula 4, berbeda dengan formula 6, berbeda dengan formula 2 dan 1, berbeda dengan 13 serta berbeda dengan formula 12 dan 9. 2. Derajat Pengembangan Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil derajat pengembangan produk signifikan (<0.05) (Lampiran 10) artinya perlakuan pada formula atau
fomulasi
berpengaruh
nyata
terhadap
kekerasan
produk.
Pengembangan produk dipengaruhi oleh amilopektin dan amilosa, serta komponen kecil pada bahan yaitu protein, lemak dan serat. Serta faktor
62
eksternal yaitu suhu barrel, putaran ulir, tekanan di dalam barrel. Derajat pengembangan
produk
ekstrusi
akan
menurun
seiring
dengan
meningkatnya jumlah protein (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 pada respon derajat pengembangan terhadap formula yang dibuat, menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap respon derajat pengembangan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0110 dapat dilihat pada Lampiran 19, artinya formula yang dibuat mempunyai pengaruh yang nyata terhadap derajat pengembangan produk, sehingga nilai respon tersebut dapat digunakan untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum. Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kekerasan dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 10), menunjukkan formula 1, 7 dan 14 pada subset 1 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan formula yang lainnya. Formula 1 kurang mengembang karena komposisinya jagung 100%, sehingga kandungan protein pada bahan diperkirakan lebih sedikit dibandingkan formula yang lain, sedangkan pada formula 7 dan 14 disebabkan oleh suhu pemanasan yang tidak optimal, sehingga kurang mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Pada subset 2 formula 5 dan 3 tidak berbeda nyata serta pada subset 3 formula 3 dan 4 tidak berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata dengan formula 4. Formula 4 lebih mengembang dibandingkan formula 5 karena adanya tambahan kacang hijau yang dapat menambah kandungan protein pada bahan, sehingga dapat mengembangkan produk (Moraru dan Kokini, 2003). Untuk formula 4, 8, 11, dan 13 pada subset 4 tidak berbeda nyata, namun formula 3 berbeda nyata dengan formula 11, dan 13. Formula 3 kurang pengembangannya dibandingkan formula 11 dan 13 karena formula 3 komposisinya tidak ada tambahan kacang hijau, sehingga produk kurang mengembang. Berikut merupakan hasil analisis derajat pengembangan produk.
63
Tabel 11. Hasil uji derajat pengembangan produk Formula Komposisi Formula 1 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 60 2 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 60 3 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 62.5 4 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 62.5 5 Snack dengan komposisi jagung hijau = 100 : 0, suhu 65 6 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 65 7 Snack dengan komposisi jagung hijau = 75 : 25, suhu 67.5 8 Snack dengan komposisi jagung hijau =100 : 0, suhu 70 9 Snack dengan komposisi jagung hijau = 50 : 50, suhu 70 10 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 60 11 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 62.5 12 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 65 13 Snack dengan komposisi jagung hijau = 25 : 75, suhu 67.5 14 Snack dengan komposisi jagung hijau = 0 : 100, suhu 70
: Kacang
Rata-rata 375.1
: Kacang
527.9
: Kacang
442.2
: Kacang
456.8
: Kacang
420.7
: Kacang
502.9
: Kacang
391.4
: Kacang
473.8
: Kacang
506.9
: Kacang
530.7
: Kacang
474.8
: Kacang
495
: Kacang
480
: Kacang
380
Pada subset 5 formula 8, 11, 13, 12 dan 6 tidak berbeda nyata. Sementara formula 4 berbeda nyata berbeda nyata dengan formula 12 dan 6 karena komposisi kacang hijau pada formula 4 lebih kurang dari komposisi formula 12 dan 6, sehingga produk kurang mengembang. Untuk subset 6 formula 13, 12, 6 dan 9 tidak berbeda nyata, sementara formula 8 dan 11 berbeda nyata dengan formula 9. Formula 9 lebih mengembang dibandingkan formula 8 karena komposisi kacang hijau yang lebih, sehingga lebih mengembangkan. Jika dibandingkan dengan formula 11, formula 11 kurang mengembang karena faktor selain protein yaitu kandungan minyak pada lembaga jagung yang dapat mengembangkan produk (Moraru dan Kokini, 2003). Interaksi antara lemak (minyak),
64
protein jagung dan karbohidrat akan terbentuk pada saat proses pemasakan adonan bahan dalam ekstruder (Kokini, Tang Ho dan Karwe, 1991). Persentase derajat pengembangan paling tinggi terdapat pada subset 7 yaitu formula 10 persentase derajat pengembangan 530.7% dan tidak berbeda nyata dengan formula 6, 9 dan 2, tetapi formula 12 dan 13 akan berbeda nyata jika dibandingkan dengan formula 2 dan 10. Perbedan tersebut karena suhu awal pemanasan pada formula 2 dan 10 adalah suhu yang sesuai dengan komposisi bahan paada penelitian ini yang digunakan untuk gelatinisasi pati pada bahan, sehingga memberikan pengembangan yang optimal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 5 berbeda dengan formula 4 serta formula tersebut berbeda dengan formula 8, 11 dan 13, akan berbeda juga dengan formula 12 dan 6, berbeda dengan formula 9 dan berbeda dengan formula 2 dan 10. Persamaan model matematika untuk respon derajat pengembangan pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut Derajat Pengembangan = -119.748A + 16013.33B + 8.73A°C – 17.19BC Persamaan matematika untuk derajat pengembangan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 21. Kurva skor hedonik kelengketan dengan suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 10. Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap derajat pengembangan adalah B (kacang hijau), kemudian di ikuti interaksi antara B (komponen jagung) dengan C (komponen suhu), dan interaksi antara komponen jagung dengan suhu. Hal ini disebabkan koefisien B paling tinggi nilainya (16013. 33) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.6223 dan 0.5193. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur kurang dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksikan derajat pengembangan kurang sangat baik. Gambar 11 menunjukkan hasil uji derajat pengembangan terhadap 14 formula ekstrusi berbentuk dua
65
dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19. Pada
pemodelan
derajat
pengembangan,
model
yang
direkomendasikan untuk digunakan adalah linear dan linear. Walaupun kedua model tersebut mempunyai nilai adjusted R2 dan R2 prediksi yang rendah dibandingkan dengan model Quadratic dan Cubic namun dilihat dari nilai p (signifikansi) untuk model linear dan linear mempunyai nilai p yang kurang dari 0.05, sehingga model tersebut berpengaruh nyata dalam memprediksikan derajat pengembangan, sedangkan untuk model Quadratic dan Cubic mempunyai nilai p> 0.05 (tidak signifikan). Design-Expert® Sof tware
Two Component Mix
derajat pengembangan DesignPoints X1 = A: A X2 = B: B
derajat pengembangan
Actual Factor C: Suhu = 65.00
508
489.25
470.5
451.75
433
Actual A
0
Actual B 100
25
50
75
100
75
50
25
0
Gambar 11. Respon Derajat Pengembangan Terhadap Produk Model linear menunjukkan variabel dari formula bahan maksimum dengan pangkat 1 dan model linear untuk variabel proses maksimum dengan pangkat 1. Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan. Derajat pengembangan dipengaruhi oleh komponen biopolimer yang ada pada kacang hijau yaitu pati (amilopektin) dan protein. Berdasarkan persamaan atau model matematika untuk derajat pengembangan dapat
66
diperkirakan amilopektin pada kacang hijau memberikan kontribusi yang cukup besar dibandingkan amilopektin pada jagung QPM. Juga dengan kandungan protein pada kacang hijau yang cukup tinggi (22%) (Tabel 12), dapat membantu pengembangan produk dengan mengontrol pendistribusian air pada matriks (bahan pada saat pemasakan) serta menguatkan rantai amilosa dan amilopektin yaitu dengan membentuk ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar molekul), sehingga
dapat
maningkatkan
kekuatan
matriks
(bahan)
untuk
mengembang dengan lama tanpa putus (Gimeno et al., 2004).
G. PROSES OPTIMASI DESIGN EXPERT V.7 Data hasil uji sidik ragam dari semua respon atau uji mutu awal, kemudian dilanjutkan pada proses optimasi. Pada penelitian ini proses optimasi dilakukan untuk mencari komposisi yang paling optimal yaitu dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah komponen bahan utama yaitu jagung, kacang hijau, suhu proses, skor hedonik tekstur, skor hedonik kelengketan dan derajat pengembangan. Optimasi yang dilakukan pada komponen utama yaitu dengan mengoptimalkan komposisi bahan minimal 50% dan maksimal 100% dan target komponen jagung adalah 50% dengan tingkat rangking tertingi yaitu dengan nilai 5, kemudian komponen kacang hijau dioptimalkan komposisinya yaitu antara 0% sampai 50% dengan tingkat rangking 3 karena bahan utama penelitian ini adalah jagung. Suhu dioptimasi yaitu antara 60 ºC sampai 70 ºC dengan rangking 3 karena rentang suhu tidak begitu jauh. Skor hedonik terhadap tekstur dimaksimalkan dengan rentang skor nilai 3.2 sampai 5.8 dengan tingkat rangking tertinggi atau 5 karena sesuai dengan mutu yang akan dicapai oleh produk terpilih serta tekstur merupakan mutu yang utama untuk produk snack (Guy, 2001). Skor hedonik terhadap kelengketan dimaksimalkan dengan rentang skor nilai 3.1 sampai 5.8 dengan tingkat rangking tertinggi atau 5, karena mutu yang harus dicapai oleh produk adalah dengan tingkat hedonik kelengketan yang optimal. Derajat pengembangan dioptimasi pada rentang 367.3% sampai
67
541% tingkat rangking tertinggi atau 5 karena respon dari derajat pengembangan mempunyai peran visual atau penampakan yang utama bagi snack. Proses optimasi ini dapat dilihat pada Lampiran 22. Design-Expert® Sof tware
Two Component Mix
Desirability DesignPoints X1 = A: A X2 = B: B
0.810
Actual Factor C: Suhu = 60.00
Desirability
0.608
0.405
0.203
0.000
Actual A
0
Actual B 100
25
50
75
100
75
50
25
0
Gambar 12. Kurva Desirability Produk Terhadap Formulasi Produk yang terpilih dari proses optimasi adalah produk dengan komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau serta diolah pada suhu 60 ºC, dengan kadar air bahan 8 – 12% (bk) dan diproses pada kecepatan ulir 1400 rpm yang memiliki karakteristik produk yaitu skor hedonik untuk tekstur 5.53, skor hedonik untuk kelengketan 4.9 dan mempunyai derajat pengembangan 487.028% dan memiliki desirability paling tinggi yaitu 0.801, artinya produk tersebut dapat mencapai nilai skor tekstur 5.53, skor kelengketan 4.9 dan derajat pengembangan 487.028% yaitu sebesar 80.1% terhadap seluruh respon tersebut dapat dilaksanakan (Lampiran 22). Kurva
desirability terhadap
formula produk dapat dilihat pada Gambar 12. Kurva tersebut menunjukkan formula 50% jagung : 50% kacang hijau mempunyai tingkat desirbility yang tinggi. Ringkasan optimasi secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 22. Gambaran kurva desirability baik kurva optimasi menunjukkan hubungan antara nilai desirability terhadap
68
formula menunjukkan kencenderungan nilai desirability bila diberikan input komponen A dan B pada jumlah tertentu dengan kombinasi suhu tertentu. Titik pada kurva tersebut menunjukkan kurva memiliki nilai R (koefisien kolerasi) yang cukup tinggi. Hal tersebut persamaan matematika yang didapat menunjukkan interaksi yang tinggi antara in put atau perlakuan yang dimasukan pada persamaan matematika tersebut, sehingga mendapatkan kriteria atau karakteristik yang optimal.
Gambar 13. Produk Terpilih Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50 Sedangkan produk yang dipilih pada optimasi dapat dilihat pada Gambar 13 adalah komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau. Menunjukkan dengan penambahan kacang hijau pada formula ekstrudat berbahan dasar jagung memberikan pengaruh nyata pada pengembangan produk. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 dimana semakin tinggi jumlah substitusi kacang hijau terhadap fomulasi produk ekstrudat berbasis jagung semakin tinggi pula persentase derajat pengembangan produk tersebut. Hal ini karena besar kecilnya derajat pengembangan ekstrudat ditentukan oleh jumlah pati yang tergelatinisasi selama proses ekstrusi. Derajat gelatinisasi yang semakin tinggi diikuti dengan derajat pengembangan yang semakin tinggi pula (Harper, 1981 dan Linko et al., 1981).
69
Derajat pengembangan ekstrudat juga tidak hanya ditentukan oleh pati tergelatinisasi, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran dari partikel, rasio amilosa dan amilopektin, kadar protein, kadar lemak dan serat kasar. Faktor ukuran bahan baku grits juga mempengaruhi besarnya derajat pengembangan. Sedangkan kadar protein, lemak dan serat kasar bahan baku akan berpengaruh dalam menurunkan derajat gelatinisasi (Harper, 1981 dan Linko et al., 1981). H. ANALISIS DERAJAT GELATINISASI Derajat gelatinisasi merupakan bagian dari evaluasi kesempurnaan proses gelatinisasi pada bahan. Kesempurnaan gelatinisasi pati pada produk ekstrusi perlu dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana pati siap dan mudah dicerna oleh tubuh. Derajat gelatinisasi pada formula terpilih yaitu jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 67.22%, artinya dapat diperkirakan terdapat 32.78% pati masih dalam bentuk granula. Menurut Muchtadi et al., (1988) proses gelatinisasi pati akan mudah terjadi jika rasio antara air dan pati pada bahan tinggi. Gelatinisasi pati akan sempurna jika terdapat air yang cukup. Pada penelitian ini kadar air pada bahan termasuk rendah, sehingga proses yang terjadi bukan gelatinisasi melainkan proses peleburan granula pati akibat adanya panas yang tinggi (Muchtadi et al., 1988). Suhu peleburan granula pati biasanya sampai 140 °C, sehingga proses gelatinisasi pada penelitian ini dapat diperkirakan terjadi hanya sebagian. Jika nilai derajat gelatinisasi bandingkan dengan derajat pengembangan produk. Pengembangan produk jauh lebih besar dari pada derajat gelatinisasi. Karena kandungan protein pada bahan baku yang tinggi dapat menurunkan derajat gelatinisasi.
Pada umumnya derajat gelatinisasi akan tinggi atau
maksimum jika bahan dengan kadar air 25% pada suhu pemasakan 145 °C – 205 °C (El-dash, Ronaldo dan Marcia, 1982).
70
I. ANALISIS KIMIA Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat jagung QPM, kacang hijau varietas betet, formula bahan campuran optimal (formula jagung QPM : Betet = 50 : 50) serta analisa proksimat produk terpilih. Keseluruhan analisis tersebut dapat diliha pada Tabel berikut. Tabel 12. Analisis Proksimat Bahan Baku dan Pati Formula Kacang Kandungan Jagung (QPM) : Hijau (Var QPM Betet Betet) (%) 50 : 50 (%) (%) Air 12.20 (b/k) 6.68 8.68 Protein 8.65 22.01 16.82 Lemak 4.32 5.88 5.29 Abu 1.65 2.42 2.10 Karbohidrat 77.85 62.99 69.21 Kadar Pati 77.95 67.58 62.12 Kadar amilosaa 29.52 (b/k) a
Data sekunder penelitian mi jagung QPM
Tabel 13. Analisis Proksimat Produk Terpilih Produk 50 : 50 Kandungan Produk 50 : 50 (Jagung (Jagung QPM) Hibrida) (%) (%) Air 4.35 (b/b) 1.12 (b/b) Protein
15.50
16.54
Lemak
3.81
5.07
Abu
2.54
2.13
Karbohidrat
73.8
75.14
a. Kadar Air Kadar air ekstrudat campuran jagung QPM dengan penambahan grits kacang hijau pada formulasi dengan perbandingan 50% : 50% yaitu sebesar 4.35% . Sedangkan kadar air berdasarkan SNI 01-2886-2000 yaitu sejumlah maksimal 4 % (b/b). Menurut Muchtadi et al, (1988) kadar air mempunyai hubungan erat dengan sifat-sifat “garing” dan kerenyahan produk ekstrusi. Terutama produk makanan ringan kering berasal dari
71
serealia, kerenyahannya dipengaruhi oleh jumlah air yang terikat pada matriks karbohidrat. Kadar air produk seperti keripik kentang, ekstrudat jagung berkisar antara 4.2 – 7.0 % (b/b) (Muchtadi et al., 1989). Kadar air terlalu tinggi akan menyebabkan tekstur menjadi kurang garing dan renyah. Tetapi kadar air yang terlalu rendah juga kurang baik, terutama bagi produk ekstrudat yang mengandung lemak karena dapat mempercepat proses ketengikan (Labuza dan Katz, 1981). a. Kadar Abu Kadar abu prada pruduk ekstrudat terpilih untuk formulasi jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 2.54% (b/k)
Kadar abu kedua produk
hampir sama, dan termasuk kategori rendah. Hal ini dikarenakan produk berasal dari bahan-bahan organik dengan kadar yang tinggi. b. Kadar Protein Kadar protein pada pruduk ekstrudat terpilih untuk formulasi jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah
15.50% (b/k). Sementara
kandungan protein pada produk ekstrusi yang berasal dari jagung hibrida varietas A4 yaitu sebesar 16.54% (b/k), sehingga dapat perkirakan produk berbahan dasar jagung QPM mempunyai kandungan protein 1.04% lebih rendah dari produk ekstrusi yang berbahan jagung hibrida varietas A4. Sedangkan kadar protein bahan sebelum di ekstrusi adalah 16.82%. Hal tersebut karena hilangnya protein pada bahan ketika proses pemasakan. Kehilangan protein pada saat pemasakan karena semakin tingginya suhu dan juga semakin menurunnya kadar air, sehingga banyak asam-asam amino yang hilang (lisin 30%, arginin 20%, histidin 15%, asam aspartat 14%, dan serin 13%) yang menyebabkan penurunkan kualitas protein (Bjorck dan Asp, 1982). d. Kadar Lemak Kadar lemak pada produk ekstrudat terpilih terpilih untuk formulasi jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 1.00% (b/k). Sementara
72
kadar lemak pada bahan pada formula terbaik adalah 3.81%. Kadar lemak semakin tinggi akan menghambat proses gelatinisasi. Kadar lemak produk terpilih sudah memenuhi standar dari SNI 01-2886-2000. Dimana kadar lemak yang disarankan SNI jika produk tanpa proses penggorengan maksimal 30% (b/b) dan dengan proses penggorengan adalah maksimal 38% (b/b). Jika dibandingkan dengan formula terbaik kadar lemak produk sangat kecil sekali. e. Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat pada produk ekstrudat terpilih jagung : kacang hijau 50 : 50 adalah 76.61% (b/k). Kadar karbohidrat tinggi seiring dengan kadar pati yang tinggi pula. Karena pati merupakan suatu polimer yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. f. Jumlah Energi Nilai energi makanan melelui perhitungan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi faal dari makanan ekstrusi tersebut adalah 391.49 kkal/g.
73
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pengembangan produk pangan berbasis jagung QPM yang dicampur dengan kacang hijau varietas betet dengan menggunakan teknologi ekstrusi dapat menghasilkan produk ekstrusi dengan kualitas yang optimal. Produk yang terpilih dari proses optimasi yaitu produk dengan komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau yang diolah pada suhu 60 ºC, pada kondisi bahan kering dengan kadar air 8 – 12% (bk), dan diproses dengan putaran ulir 1400 rpm. Produk terpilih memiliki karakteristik skor hedonik untuk tekstur 6, skor hedonik untuk kelengketan 5, kekerasannya 0.231 Kgf dan mempunyai derajat pengembangan 487%. Semua karakteristik tersebut mempunyai tingkat desirability cukup tinggi yaitu 0.811 lebih tinggi dari optimasi pertama, artinya sekitar 81% panelis memilih produk tersebut. Analisis proksimat pada pada formula jagung : kacang hijau = 50: 50 menunjukkan komposisi kimia produk tersebut adalah; protein: 15.50%; lemak: 1.00%; karbohidrat : 76.61%; abu : 2.54%, air : 4.35% dan mempunyai kandungan energi sebesar 391.49 kkal/g. Analisis fisik meliputi kekerasan, derajat pengembangan dan derajat gelatinisasi adalah 2.13 Kgf, 500% dan 67.22%. B. SARAN Perlunya penelitian lebih lanjut dalam upaya peningkatan kualitas dari produk yang dihasilkan yaitu dengan mengontrol semua faktor-faktor yang ada, baik dari faktor eksternal atau kondisi mesin ekstruder serta faktor internal atau kualitas bahan yang baik dan penambahan flavor, sehingga dapat meningkatkan preferensi konsumen. Penilaian uji organoleptik pada penilitian ini perlu dispesifikasikan antara uji organoleptik secara subyektif dengn uji organoleptik secara obyektif serta perlunya tahapan pengujian dari semua atribut produk sebagai tahap awal sebelum dari uji organoleptik hedonik produk. Perlunya pengecekan kembali pada pemilihan produk optimal.
74
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D. R. 2002. Efek transisi gelas terhadap tekstur bahan pangan. Makalah falsafah sain. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ali , Y., Hanna, M. A. dan Chinnaswamy, R.1996. Expansion characterstic of extruded corn grists. Lebesnm. J Technology., 29(8): 702-707. Almatzier, D dan Lisdiana. 1995. Memilih dan Mengolah Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Ana, M. L. D. 2003. Food Quality and Properties of Quality Protein Maize. Tesis. Food Science and Technology. Texas A&M University. Anonim. 1973. Nutritional Improvement of Food Legumes by Breeding. Proceeding a Symposium by PAG, Roma 1-5 July 1972. Protein Advisory Group. New York. Anonima. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. http://www.litbang.deptan.go.id (07-2006) Anonimb. 2004. Ini Dia Jagung Berprotein Tinggi http://www.pustakadeptan.go.id/publ/warta/wr264048.pdf (07-2006) Anonimc. 2005. What’s new in version 7 (the highlights). http://www.statease.com (05-2006). Anonimd. 2006. Snack Food Trends in the U.S.: Sweet, Salty, Healthy and Kids Snacks. ). http://www.marketreaserch.com (28-08-2006). Ang, H.G., C.Y., Theng dan K.K. Lim. 1980. High Protein Extruded Snack Food. Di dalam Makalah Ekstruder Proceeding Teknologi 8th ASEAN Workshop, 14 – 15 Januari 1980. Bangkok. Apriyantono, A., Dedi Fardiaz., N. Puspitasari., Sedarnawati dan Slamet Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of The Association Analitical Chemist. Inc., Washington DC. Baco, D., M. M. Dahlan, Subandi, T. M. Dahlan, dan I. G. P Samsutha. 2000. Teknologi produksi dan penyimpanan jagung. J Agr. I (225-251). Banks, W. Dan C. T. Greenwood. 1975. Starch Its Component. Halsted Press, John Willey and Sons., New York.
75
Baik, B. K., Joseph .P., dan Linhda T. N. 2004. Extrusion of Regular and Waxy Barley Flours for Production of Expanded Cereals. J. Cereal Chemistry 81(I) : 94 – 99. Bjorck. I dan N. G. Asp. 1982. The Effect of Extrusion on Nutritional Value- A Literature Review. Di dalam. Roanald J. 1983. Extrusion Cooking Techology. J. Food Engginering Vol 2. Elsevier Applied Science Publisher. London and New York. Bouwkamp, J. C. 1985. Sweet Potato Products: A Natural Resource for The Topics. CRC. Oress, Inc. Boca Rato, Florida. USA Buhler.,A.G. 2006. ExtruderSystem.http://www.buhlergroup.com/Docs/25320EN.pdf Uzwil, Switzerland. (26-05 2006). Cahyono, U. 1999. Karakteristik Mutu Fisiko-Kimia dan Organik Produk Sereal Sarapan Dengan Teknologi Ekstrusi Ulir Tunggal dari Hasil Sanping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, IPB. Bogor. Chinnaswamy R., Hanna M.A. 1990. Macromolecular nad functional properties of native and extrusion-cooked corn starch. Cereal Chem.. 67(1): 490-499. Chinnaswamy R., Hanna M.A. 1988. Opimum extrusion-cooking condition for maximum expansion of corn starch. J. of Food Sci., 63, 834-840 Damardjati, D. S. 1987. Amilografi Untuk Karakteristik Sifat Pati. Balitan Sukamandi. Desrumaux, A., Bouvier. J. M. dan Burri, J. 1998. Corn grits particle size and distribution effects on the characteristic of expanded extrudates. Journal of Food Science 63(5) : 857 – 863. Dixon, R Phillips. 1981. Effect of extrusion Cooking on The Nutritional Quality of Plant Protein. University of Georgia Agricurtural Experiment Station. Georgia. Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. El-Dash. A A., Ronaldo Gonzales., dan Marcia Ciol. 1982. Response Surface Methodology in The Control of Thermoplastic Extrusion of Starch. Di dalam. Jowitt. R. 1983. Extrusion Cooking Technology. J Food Engonering. Vol 2 ; 2 – 4. Fast, R. B 1990 “Manufacturing Technology of Ready-to-eat Cereals”, “Breakfast Cereals and How They Are Made” (Ed) : R. B. Fast dan E. F Caldwell, American American Association of Cereal Chemists, Inc. Faubion, J.M., R. C. Hoseney dan P.A. Seib. 1982. Fucntionality of Grain Components in Extrusion. Cereal Food World 27 : 212 – 216.
76
Fennema. O. R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcell Dekker. Inc. New York Barel. HongKong :1067p Fennema , O. R. 1976. Principle of Food Science, Part I Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. Greenwood, C. T. dan D. N. Munro. 1979. Carbohydrates di dalam. R. J. Priestly, ed. Effect Heat on Foodstuffs. Applied Science Publ. Ltd., London. Gimeno E., Moraru C. I., dan Lokini J. L. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC on the Structure and Texture of Corn Flour Pellets Expanded by Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J Cereal Chem. 81(I) : 100 – 107. Guy, R. 2001. Extrusion cooking Technologies and Aplications. Woohead Publishing Limited Cambridge England. CRS Press. Boca Raton Boston New York Washington DC. . Hardinsyah, S. Madanijah, dan Y.F. Baliwati. 2002. Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pola Pangan Harapan Konsumen Untuk Perencanaan Ketersedian Pangan. PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersedian Pangan, Deptan. Bogor. Harper, J. M. 1981. Ekstrussion of Food Vol II. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Hodge, J. E, and E. M. Osman. 1976. Carbohydrates, pp. 41 – 130. In O. R. Fennema, ed. Princple of Food Science, Part I. Food Chemstry. Mercel Dekker, Inc. New York Hoseney, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology, second edition. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Ilo, I., Tomschick, E., Berghofer, E., dan Mundigle, N. 1996. The effect of extrusion operation condition on the apparent viscosity and propertied of extrudates in twin screw cooking of maize grits. LebensmittelWissenschaft und-Technologie. 29: 596 – 598. ISO. 1981. Sensory analysis vocabulary, Part 4. International Organization for Standardization. Geneva. Switzeland. Inglett, G.E. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Jugenheimer, R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John Willey and Sons, New York. Juliano, B. O. 1974. General Chemistry Prosedures. IRRI. Laguna., Los Banos
77
Karyadi, D. dan Muhilal, 1985. Kecukupan Gizi yang dianjurkan. PT. Gramedia, Jakarta. Kay, D. 1979. Food Legumes. Tropical Products Institute, Bogor Katz, E.E. and T.P. Labuza. 1981. Effect of Water Activity on The Sensory Cripness and Mechanical Deformation of Snack Food Producs. J. Food Science. 46 : 403. Kearns., J. P., Rokey., G. J dan Huber., G. R. 2004. Extrusion of Texturized Protein. Wenger International, Inc dan Wenger Manufacturing. Kansas City Missouri dan Sabetha Kansas. USA. Kokini., J. L., Tang Ho., C., dan Karwe., M. V. 1999. Food Extrusion Science and Technology. The State University of New Jersey. Marcel Dekker, Inc. La Ega, 2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Serta Pola Hidrolisis Pati Ubi Jalar Jenis Unggul Secara Enzimatis dan Asam. Desertasi Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Laztity, R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc., USA. Lawless., H. T. dan Heymann, H.1999. Sensory Evaluation of Food Principle and Practies. Kluer Academic Publishers. New York . Lorenz, K.J. and K. Karel. 1991. Handbook of Cereal Science adn Technology. Marcell Dekker, Inc. Basel. Linko, P. P., P. Colonna dan C. Mercier. 1981. High Temperature Short Time Ekstrusion Cooking. Di dalam Y. Pomeraz (ed). Advace in Cereal Science adn Technology. The AACC Inc, St. Minnesota. McCormick, K.M., Panozzo, J.F. dan Hong, S.H. 1991. “A Swelling power test for selecting potential noodle and mungbean starch vermicelli.” J. of Food Sci. 53(6): 1809-1812. Monaru., C. J and J. L Kokini. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion and Microwave Heating of Cereal Food. Dept Food Science and Centre for Advance Food Technology. Univ Brunswick. Mejaya., M. J., Marsum D dan Marcia P. 2005. Pola Heterosis Dalam Pembentukan Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas dan Hibirida. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Mercier, C. Dan P. Feillet. 1975. Modification of Cabohydrat Component by Extrusion Cooking of Cereal Product. J. Cereal Chem. 53(3) 283-286. Miller, R.C. 1985. Low Moisture Extrusion: Effect of Cooking Moisture in Product Characteristic. J. Food Sci. 50 (1) : 240-253
78
Muchtadi, T.R., Purwiyatno, dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. LSI, IPB, Bogor. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1989. Petunuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1990. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi. Tien. R. dan Sugiono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium. Departement Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Moraru., C. I dan Kokini., J.L. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion and Microwave Heating of Cereal Foods. Dept. of Food Science and Center for Advanced Food Technology. J Food Science Vol 2. Myers, Raymond H. 1971. Response Surface Methodology. Associate Professor of Statistics Virginia Polytechnic Institute. Boston. Osmon, E. M. 1972. Starch and Other Polysaccharides. di dalam P. J. Paul dan H. N. Palmer, eds. Food Theory and Application. John Willey and Sons Inc., Florida. Ozcan, S., dan David, S. J. 2005. Functionality Behaviour of Raw and Extruded Corn Starch Mixtures. American Association of Cereal Chemistry. Cereal Chem, 82(2) 223 – 227. Riaz., M. N. 2004. Texture Soy Protein and Its Uses. Head-Extrusion Technplogy Program and Grduate Faculty, Food Sci & Tech. Program. Food Protein R&D Center. Texas A&M University. Rosenthal., A. J. 1999. Food Textur Measurement and Perception. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland. Rossen, J. L. dan Miller. 1973 . Food Extrusion. Food Tech. 28:46-53. Sarono, Subiyanti S dan Cherng-liang T. 2001. Corn Production In ASIA. Kyungjoo Park (Ed). Food and Fertilizer Technology Center. Taiwan. Schoch, T. J. 1969. Starch in Food. Di dalam. C. H. W. Schultz. Ed. Symposium on Food: Carbohydrates and Their Rollse. The AVI Pub. Co., Inc., London.
79
Smith, O. B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah pada Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980, Bangkok, 16-20 November 1987. SNI. 2000. Makanan Ekstrudat. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. Soekarto, S. T. 1990. Penelitian Organoleptik. Angkasa Bhatara Karya. Jakarta. Subandi, S. Saenong, Zubachtirodin, dan F. Kasim. 2003. Perkembangan penelitian Jagung di Indonesia. Makalah Lokakarya Bioteknologi Dalam Pemuliaan Tanaman. Hotel Horison. 16 Juli 2003. Bandung. di dalam Ismail, A., Firmansyah, D. A., dan D. Ruswandi (2004). Uji Daya Hasil Pendahuluan Hibrida-Hibrida Silang Tunggal DMR x QPM di Jatinangor . Suprapto. 1992. Bertanam Jagung. Cetakan ke-8. Penebar Swadaya, Jakarta Suprapto. 1998. Bertanam Kacang Hijau. Cetakan ke-13. Penebar Swadaya, Jakarta Thirumaran, A.S. dan M.A. Sralthan. 1987. Utilization of Mungbean. Di dala. Mungbean Preceeding of The Second International Symposium, 16-20 Nov. 1987. Bankok, Thailand. Tribelhorn, R.E. 1991. Breakfast Cereal. Di dalam : K.J. Lorenz dan K.Pulp (eds). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker Inc. New York, Basel, Hongkong. Hal : 259-285. Vail, E.G., J.A. Philip, L.O. Rist, R.M. Grisworld dan M.M. Justin. 1978. Foods. Hougton Miffihn Company. Boston. Wang, S. W. 1997. Starches and starch derivates in expanded snacks. Cereals Food World 42 : 743 – 745. Wang, S. S. 1993. Gelatinization and melting of starch and tribochemistry in extrusion. Starch 45 : 388 – 390. Wang, S. S. Chiang, W. C., Yeh, A. L., Zao, B., and Kim, I. H. 1989. Kinetics of phase transition of waxy corn starch at extrusion temperatures and moisture contents. J Food Sci. 54:1298-1301. Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Warisno, M.A. 1998. Direct Extrusion of Convenience Foods. Cereal Food World. 22(4) : 152 Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.
80
Whistler, R.L. dan Daniel, J.R 1984. ”Molecular strukture of starch.” In R.L. Whistler, J.N. BeMiller dan E.F. Paschall (eds). Starch Chemistry and Technology. Academic Press, Orlando, F.L. White, P. J and Lawrence, A. J. 2003. Corn : Chemistry and Technology. 2nd edition. American Associaion of Cereal Chemists, Inc. St. Paul, Minnesoata, USA. Wooton, M.D., Weeden and N. Munk. 1971. A rapid method for Estimation of Starch Gelatinisation in Processed Food. J. Food Tech. December. P: 612-615.
81
82
Lampiran 1. Worksheet uji organoleptik WORKSHEET Hari/tanggal Jenis pengujian Sampel
: Selasa/24 Juli 2006 : Uji Hedonik (Rating Test) : Snack (Produk ekstrusi) Identifikasi Sampel
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 60 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 60 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 62.5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 62.5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 65 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 65 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 67.5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau =100 : 0, suhu 70 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 70 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 60 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 62.5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 65 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 67.5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 70
Kode Sampel 862 245 458 396 522 498 298 665 635 223 398 183 765 138
83
Lampiran 2. Form Penilaian Uji organoleptik 1
Produk Ekstrusi Nama panelis : __________________ Sampel
Tanggal: Jumat, 28 Juli 2006
: snack (1)
HP
:
Instruksi: 1. Ambil sampel yang telah disediakan dan cicipilah sampel mulai dari sebelah kiri ke kanan. Netralkan dengan menggunakan air minum yang disediakan setiap kali Anda akan mencicipi sampel yang lain. 2. Nilailah setiap sampel yang disediakan (jangan membandingkan antar sampel). Berilah tanda checklist (9) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara. 1. TEKSTUR Penilaian
862
245
458
Kode sampel 396 522
498
298
458
Kode sampel 396 522
498
298
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Komentar:
2. KELENGKETAN DI MULUT Penilaian
862
245
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Komentar:
84
Lampiran 3. Form Penilaian Uji organoleptik 2
Produk Ekstrusi Nama panelis : __________________ Sampel
Tanggal: Jumat, 28 Juli 2006
: snack (2)
HP
:
Instruksi: 3. Ambil sampel yang telah disediakan dan cicipilah sampel mulai dari sebelah kiri ke kanan. Netralkan dengan menggunakan air minum yang disediakan setiap kali Anda akan mencicipi sampel yang lain. 4. Nilailah setiap sampel yang disediakan (jangan membandingkan antar sampel). Berilah tanda checklist (9) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara. 1. TEKSTUR Penilaian
665
635
223
Kode sampel 398 183
765
138
223
Kode sampel 398 183
765
138
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Komentar:
2. KELENGKETAN DI MULUT Penilaian
665
635
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Komentar:
85
No
Nama Panelis
1 Eko 2 Zulkipli 3 Alik 4 Ghadi 5 Nani 6 Murhadina 7 Zikrina 8 Dian Kresna 9 Heru 10 Dhenok 11 Egis 12 Inggrid 13 Farah S 14 Iqbal 15 Adjeng 16 Tina 17 Adrinal 18 Irene 19 Didin 20 Maria 21 Anita 22 Shinta 23 Irwan 24 Samsul 25 Nanda 26 Dadik 27 Manto 28 Randy 29 Dora 30 Eva 31 Ely Fahmi 32 Beta Rata-rata Pembulatan
Kode 862 4 6 6 2 2 6 5 6 6 3 5 6 6 6 6 6 6 5 5 6 5 6 5 4 3 6 6 6 6 5 2 4 3.03 3
Kode 245 7 7 6 7 5 5 6 6 7 3 3 7 6 6 3 6 6 5 6 6 6 7 5 5 5 7 3 7 7 4 3 4 5.5 6
Kode 458 6 5 3 5 2 3 4 7 4 4 6 6 6 3 5 6 5 4 5 6 5 5 4 4 5 6 7 5 5 5 3 4 4.78 5
Kode 396 5 6 6 6 2 3 2 6 6 4 5 7 6 3 6 6 6 5 6 6 6 6 3 5 5 5 5 5 6 6 6 4 5.13 5
Kode 522 3 5 6 2 3 2 3 5 2 4 3 3 3 2 5 6 3 3 3 7 2 4 3 6 5 5 2 6 3 3 1 4 3.66 4
Kode 498 6 6 7 6 3 2 7 5 6 4 4 5 6 5 5 6 6 3 5 3 5 5 5 6 5 6 4 6 4 6 5 7 5.13 5
Kode 298 6 6 6 5 6 2 1 6 7 3 3 3 5 5 6 3 2 4 5 2 2 4 5 6 6 6 3 5 4 5 5 5 4.44 4
Kode 665 5 4 1 2 1 1 1 5 3 5 2 1 6 6 6 2 2 2 3 2 3 2 5 3 5 2 4 5 2 3 2 7 3.22 3
Kode 635 6 6 7 2 2 5 7 6 7 3 3 6 6 5 4 2 5 5 4 3 6 6 3 6 5 4 5 6 3 6 6 7 4.91 5
Kode Kode Kode Kode Kode 223 398 183 765 138 5 6 6 6 6 7 7 7 7 5 7 3 7 3 2 7 7 7 2 6 6 4 6 6 6 7 6 6 6 6 5 7 6 6 7 7 5.81 6
6 6 6 5 5 5 6 4 6 5 2 7 6 2 5 6 5 5 7 7 5 5 5 5 5 2 6 5 5 6 7 5.25 5
6 6 7 6 3 7 3 6 6 6 4 6 5 3 6 6 3 5 7 7 5 5 5 6 6 2 6 3 5 7 7 5.34 5
7 7 3 7 6 6 5 7 3 6 5 6 6 4 6 6 4 6 7 7 6 5 4 6 6 1 7 4 6 6 7 5.56 6
5 2 1 1 3 2 3 1 5 6 1 5 3 3 5 5 4 5 2 5 3 3 3 5 3 2 6 4 3 5 7 3.66 4
Lampiran 4. Hasil Penilaian Tekstur Uji Organoleptik
Hasil Penilaian Tekstur
86
No
Nama Panelis
1 Eko 2 Zulkipli 3 Alik 4 Gadhi 5 Nani 6 Murhadina 7 Zikrina 8 Dian Kresna 9 Heru 10 Dhenok 11 Egis 12 Inggrid 13 Farah 14 Iqbal 15 Adjeng 16 Tina 17 Adrinal 18 Irene 19 Didin 20 Maria 21 Anita 22 Shinta 23 Irwan 24 Samsul 25 Nanda 26 Dadik 27 Manto 28 Randy 29 Dora 30 Eva 31 Ely Fahmi 32 Beta Rata-rata Pembulatan
Kode 862 3 5 5 3 2 5 3 6 5 3 2 6 3 6 6 3 3 4 5 6 5 4 3 3 5 5 2 5 6 4 2 3 4.36 4
Kode 245 4 5 6 6 3 6 6 5 7 3 5 5 6 6 6 3 5 5 6 7 4 6 5 5 5 7 4 4 5 3 5 3 5.36 5
Kode 458 3 6 3 4 2 3 2 6 6 3 5 7 5 5 3 3 5 3 5 6 4 4 3 3 2 6 6 5 4 5 3 1 4.36 4
Kode 396 4 5 6 6 2 5 4 5 6 4 3 5 6 3 7 5 6 5 6 6 5 5 4 5 3 3 6 4 6 6 6 1 5.09 5
Kode 522 5 6 3 6 5 3 5 6 2 4 6 6 3 2 3 3 3 3 5 6 4 3 5 5 3 2 3 4 5 3 2 1 4.16 4
Kode 498 5 5 7 2 5 1 7 5 5 5 3 5 5 5 6 6 6 3 5 3 6 3 6 6 3 5 6 5 4 5 5 3 5.02 5
Kode 298 5 4 7 6 6 2 1 6 5 5 5 6 5 2 5 6 2 4 5 2 3 5 5 6 2 4 2 4 4 3 4 1 4.39 4
Kode 665 5 3 1 2 1 1 2 3 2 5 6 6 2 5 2 3 2 2 3 2 4 4 3 4 3 1 2 6 2 3 5 3 3.26 3
Kode 635 6 5 7 5 2 6 6 4 5 4 6 5 2 3 3 5 3 5 5 6 6 4 5 5 3 3 3 5 4 6 5 3 4.82 5
Kode Kode Kode Kode Kode 223 398 183 765 138 6 6 6 5 5 6 7 6 7 6 7 6 6 4 6 6 6 6 6 6 6 4 6 7 6 7 5 5 5 6 5 6 4 6 7 3 6.15 6
5 6 5 5 5 5 5 2 5 6 2 5 6 5 6 5 5 5 3 6 3 3 4 3 5 3 6 4 5 3 2 4.79 5
6 6 2 3 3 3 5 3 6 2 4 5 5 6 6 3 3 3 3 6 3 5 4 5 7 5 5 1 5 6 5 4.66 4
6 7 2 3 6 2 5 3 4 4 5 6 6 6 5 6 4 5 2 5 6 5 4 3 3 6 6 1 6 4 3 4.79 5
4 2 1 1 2 1 6 2 5 6 4 5 3 3 5 5 4 5 2 5 3 3 3 2 3 4 5 2 3 5 3 3.73 4
Lampiran 5. Hasil Penilaian Kelengketan Uji Organoleptik
Nilai Kelengketan di Mulut
87
Lampiran 6. Prosedur Penilaian Uji Organoleptik
Prosedur: 1. Setiap sampel diberi kode sesuai dengan nomor panelis. 2. Sampel diletakkan sesuai dengan urutan yang telah ditentukan. 3. Sampel, scoresheet, air penetral disiapkan di dalam booth dan disajikan kepada panelis. 4. Panelis diminta untuk mencicipi sampel dari kiri ke kanan, boleh mengulang, dan panelis diminta untuk menilai setiap sampel yang disajikan (tidak boleh membandingkan antar sampel), rentang: amat sangat tidak suka → amat sangat suka.
88
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Tekstur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor tekstur Type III Sum of Source Squares df Corrected 427.339(a) 44 Model Intercept 10404.645 1
Mean Square 9.712 10404.645
FORMULA 255.199 13 19.631 PANELIS 172.141 31 5.553 Error 743.016 403 1.844 Total 11575.000 448 Corrected 1170.355 447 Total a R Squared = .365 (Adjusted R Squared = .296)
F 5.268 5643.31 6 10.647 3.012
Sig. .000 .000 .000 .000
Skor tekstur Duncan Formul a
N
Subset 1 3.22 3.66 3.72
2
3
4
8 32 5 32 14 32 7 32 4.44 3 32 4.78 4.78 9 32 4.91 4.91 1 32 5.03 5.03 6 32 5.12 5.12 5.12 4 32 5.13 5.13 5.13 11 32 5.25 5.25 12 32 5.34 5.34 2 32 5.50 5.50 13 32 5.56 5.56 10 32 5.81 Sig. .166 .077 .051 .082 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.844. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 32.000. b Alpha = .05.
89
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kelengketan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Kelengketan Type III Sum of Source Squares df Corrected 338.732(a) 44 Model Intercept 8522.580 1
Mean Square 7.698 8522.580
FORMULA 178.170 13 13.705 PANELIS 160.562 31 5.179 Error 714.688 403 1.773 Total 9576.000 448 Corrected 1053.420 447 Total a R Squared = .322 (Adjusted R Squared = .247)
F
Sig.
4.341
.000
4805.73 7 7.728 2.921
.000 .000 .000
Skor Kelengketan Duncan Formula
N
Subset 1 3.06 3.56
2
3
4
5
6
8 32 14 32 3.56 5 32 3.91 3.91 1 32 4.09 4.09 4.09 3 32 4.09 4.09 4.09 7 32 4.13 4.13 4.13 12 32 4.37 4.37 4.37 11 32 4.50 4.50 4.50 13 32 4.50 4.50 4.50 9 32 4.53 4.53 4.53 6 32 4.72 4.72 4 32 4.78 4.78 2 32 5.03 10 32 5.78 Sig. .134 .136 .113 .083 .091 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.773. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 32.000. b Alpha = .05.
90
Intercept FORMULA Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 3551927.384( a) 126441750.0 36 3551927.384 125258.700 130118936.1 20 3677186.084
df
Mean Square
13
273225.183
13
126441750.03 6 273225.183
14
8947.050
1
F
Sig.
30.538
.000
14132.228
.000
30.538
.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8947.050. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
28 27
FORMU LA
N 2
1 1608.9500
2
7 10
2
1759.2500
1759.2500
8
2
1818.0000
1818.0000
1818.0000
11
2
1868.1000
1868.1000
1868.1000
14
2
1886.1500
1886.1500
1886.1500
1886.1500
3
2
2024.0000
2024.0000
2024.0000
5
2
2034.8000
2034.8000
2034.8000
4
2
2086.9500
2086.9500
2086.9500
6
2
2103.9000
2103.9000
2103.9000
2
2
2258.8500
2258.8500
1
2
2281.0500
2281.0500
13
2
12
2
9
2
Sig.
Subset 3
4
5
6
7
8
Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kekerasan
Source Corrected Model
2315.3500 2828.8500 2876.3000 .053
.236
.056
.054
.055
.078
.057
.624
91
Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Derajat Pengembangan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: DERAJAT PENGEMBANGAN Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 71681.878(a)
Intercept
13
Mean Square 5513.991
F 29.819
Sig. .000
5957689.517
1
5957689.517
32217.970
.000
71681.878
13
5513.991
29.819
.000
Error
2588.855
14
184.918
Total
6031960.250
28
74270.733
27
FORMULA
Corrected Total
df
a R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .933) DERAJAT PENGEMBANGAN Duncan FORMULA
N
Subset
1
2
1 375.1000
14
2
380.0000
7
2
391.3500
5
2
420.6500
3
2
442.1500
4
2
8
2
473.8000
473.8000
11
2
474.8000
474.8000
13
2
480.0000
480.0000
480.0000
12
2
495.0000
495.0000
6
2
502.8500
502.8500
502.8500
9
2
506.9000
506.9000
2
2
10
2
Sig.
2
3
4
5
6
7
442.1500 456.7500
456.7500
527.8500 530.6500 .276
.136
.301
.136
.072
.088
.079
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 184.918. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
92
Study Type Initial Design Design Model
Combined Runs 15 D-optimal Point Exchange Quadratic x Quadratic
Mixture Components Process Factors C
AB
Component A B C
Units Persen Persen
Response Y1 Y2 Y3 Y4
Name A B Suhu
Blocks No Blocks
Type Low Actual High Actual Mixture 0.000 100.00 Mixture 0.000 100.00 Numeric 60.00 70.00 L_Pseudo Coding Total = 100.00
Name Skor Tekstur Skor Kelengketan teksturNewton derajat pengembanganpersent
UnitsObs Analysis 15 Polynomial 15 Polynomial 15 Polynomial 15 Polynomial
Low Coded 0.000 0.000 -1.000
Minimum Maximum Mean 3.20 5.80 4.75 3.10 5.80 4.30 1523.70 2953.60 2091.56 367.30 541.00 458.70
High Coded 1.000 1.000 1.000
Std. Dev. 0.79 0.65 357.02 55.45
Mean Std. Dev. 50.000 38.730 50.000 38.730 65.167 3.704
Lampiran 11. Ringkasan Rancangan Penelitian software DX 7
Design Summary
Ratio Trans Model 1.81 None Quadratic x Cubic 1.87 None Cubic x Linear 1.94 None Quadratic x Quadratic 1.47 None Linear x Linear
93
Lampiran 12. Hasil Analisis Respon Skor Tekstur dengan software DX 7
Response 1 Skor Tekstur *** Mixture Component Coding is Real. *** Mixture Process
Transform:
None
Mix Linear Cubic
Process
Components A B Factors C
Suggested Model[s] Quadratic Quadratic Order Abbreviations in Fit Summary Table M = Mean L = Linear Q = Quadratic C = Cubic
Combined Model Mixture Process Fit Summary Table Sequential p-value Summary Statistics Mix Process Mix Process Lack of Fit Adjusted Order Order R-Squared M M M L 0.0083 0.3819 M Q 0.5812 0.3479 M C 0.3057 0.3562 M M L M 0.3154 0.0064 L L 0.1475 0.0108 0.4843 L Q 0.1585 0.3600 0.4977 L C 0.2019 0.3399 0.5255 L M Q M 0.0800 0.1751 Q L 0.0023 0.0005 0.8365 Q Q 0.0174 0.3954 0.8454 C 0.0075 0.0343 0.9767 Q Q M C M 0.5283 0.1335 C L 0.1387 0.0008 0.8804 C Q * 0.2208 * 0.4092 0.8910 C C * 0.7198 * 0.1478 0.9678 * The combined model is aliased
Predicted R-Squared 0.2509 0.1410 0.0815 -0.3083 0.1711 -0.3274 -0.6384 -0.1790 0.6520 Suggested -1.7977 Suggested -0.2236 0.6750 -1.3705
Aliased Aliased
"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process. Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for both Mixture and Process and the model is not aliased. "Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit. "Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared" and the "Predicted R-Squared".
94
Lampiran 13. Hasil Anova Respon Skor Tekstur dengan software DX 7 Use your mouse to right click on individual cells for definitions. Response 1 Skor Tekstur ANOVA for Combined Quadratic x Cubic Model *** Mixture Component Coding is Real. *** Mixture Components AB Process Factors C Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F Source Squares df Square Value Model 9.29 11 0.84 54.31 Linear Mixture 0.72 1 0.72 46.45 AB 4.877E-003 1 4.877E-003 0.31 AC 0.18 1 0.18 11.46 BC 0.068 1 0.068 4.39 ABC 4.881E-003 14.881E-003 0.31 AC2 0.18 1 0.18 11.59 BC2 0.069 1 0.069 4.46 ABC2 4.862E-003 14.862E-003 0.31 0.18 1 0.18 11.67 AC3 BC3 0.071 1 0.071 4.55 3 ABC 4.811E-003 14.811E-003 0.31 Residual 0.047 3 0.016 Lack of Fit 0.047 2 0.023 Pure Error 0.000 1 0.000 Cor Total 9.34 14
p-value Prob > F 0.0036 significant 0.0065 0.6146 0.0429 0.1270 0.6144 0.0423 0.1250 0.6151 0.0419 0.1228 0.6169
The Model F-value of 54.31 implies the model is significant. There is only a 0.36% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case Linear Mixture Components, AC, AC2, AC3 are significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model. Std. Dev. 0.12 R-Squared Mean 4.75 Adj R-Squared C.V. % 2.63 Pred R-Squared PRESS N/A Adeq Precision Case(s) with leverage of 1.0000: Pred R-Squared and PRESS statistic not defined
0.9950 0.9767 N/A 23.369
"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your ratio of 23.369 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.
95
Lampiran 14. Hasil Pemodelan Matematika Respon Skor Tekstur dengan software DX 7
Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors: Coefficient Standard 95% CI Component Estimate df Error Low High A-A -3097.39 1 922.32 -6032.63 -162.14 B-B 3588.40 1 1721.13 -1889.02 9065.82 AB 3665.34 1 6545.85 -17166.49 24497.18 AC 145.10 1 42.86 8.71 281.49 BC -167.16 1 79.74 -420.94 86.62 ABC -170.04 1 303.52 -1135.98 795.90 AC2 -2.26 1 0.66 -4.36 -0.15 2 BC 2.60 1 1.23 -1.31 6.51 ABC2 2.62 1 4.68 -12.28 17.52 AC3 0.012 1 3.409E-003 7.990E-004 0.022 BC3 -0.013 1 6.303E-003 -0.033 6.621E-003 ABC3 -0.013 1 0.024 -0.090 0.063
95% CI VIF 3.282E+008 1.143E+009 9.040E+008 2.964E+009 1.067E+010 8.235E+009 3.001E+009 1.118E+010 8.400E+009 3.404E+008 1.312E+009 9.590E+008
Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors: Skor Tekstur -3097.39 +3588.40 +3665.34 +145.10 -167.16 -170.04 -2.26 +2.60 +2.62 +0.012 -0.013 -0.013
= *A *B *A*B *A*C *B*C *A*B*C * A * C2 * B * C2 * A * B * C2 * A * C3 * B * C3 * A * B * C3
Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors: Skor Tekstur = -30.97388 *A +35.88400 *B +0.36653 *A*B +1.45099 * A * Suhu -1.67155 * B * Suhu -0.017004 * A * B * Suhu -0.022554 * A * Suhu2 +0.025971 * B * Suhu2 +2.61803E-004 * A * B * Suhu2 +1.16472E-004 * A * Suhu3 -1.34395E-004 * B * Suhu3 -1.33671E-006 * A * B * Suhu3
96
Lampiran 15. Hasil Analisis Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7
Response 2 Skor Kelengketan *** Mixture Component Coding is Real. ***
Transform:
Mixture
Components A B
Process
Factors
C
Mix Linear
Process
Cubic
Suggested Model[s]
None
Order Abbreviations in Fit Summary Table M = Mean L = Linear Q = Quadratic C = Cubic Combined Model Mixture Process Fit Summary Table Sequential p-value Summary Statistics Mix Process Mix Process Lack of Fit Adjusted Order Order R-Squared M M M L 0.0058 0.4130 M Q 0.8927 0.3651 M C 0.3818 0.3560 M M L M 0.3255 0.0032 L L 0.0354 0.0019 0.6222 L Q 0.0962 0.7470 0.5672 L C 0.1965 0.5549 0.5297 L M Q M 0.1078 0.1372 Q L 0.0030 0.0001 0.8731 Q Q 0.0127 0.3935 0.8802 Q C 0.0255 0.1630 0.9473 Q M C M 0.7762 0.0660 C L 0.0147 < 0.0001 0.9511 C Q * 0.0029 * 0.0231 0.9903 C C * 0.1127 * 0.8672 0.9832 * The combined model is aliased
Predicted R-Squared 0.2151 0.0432 0.0055 -0.3163 0.2760 -0.1395 -0.3846 -0.2401 0.6666 -1.6926 -0.3194 0.8155 Suggested 0.5008 Aliased Aliased
"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process. Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for both Mixture and Process and the model is not aliased. "Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit. "Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared" and the "Predicted R-Squared".
97
Lampiran 16. Hasil Anova Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7 Response 2 Skor Kelengketan ANOVA for Combined Cubic x Linear Model *** Mixture Component Coding is Real. *** Mixture Components AB Process Factors C Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F Source Squares df Square Model 6.13 7 0.88 Linear Mixture 0.47 1 0.47 AB 0.48 1 0.48 AC 0.61 1 0.61 BC 3.48 1 3.48 ABC 0.55 1 0.55 AB(A-B) 0.25 1 0.25 ABC(A-B) 0.24 1 0.24 Residual 0.15 7 0.022 Lack of Fit 0.15 6 0.026 Pure Error 0.000 1 0.000 Cor Total 6.28 14
p-value Value Prob > F 39.92 < 0.0001significant 21.30 0.0024 21.73 0.0023 27.73 0.0012 158.96 < 0.0001 25.18 0.0015 11.43 0.0118 10.82 0.0133
The Model F-value of 39.92 implies the model is significant. There is only a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case Linear Mixture Components, AB, AC, BC, ABC, AB(A-B), ABC(A-B) are significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model. Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
0.15 4.30 3.44 1.16
R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision
0.9756 0.9511 0.8155 23.072
The "Pred R-Squared" of 0.8155 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.9511. "Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your ratio of 23.072 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space. .
98
Lampiran 17. Hasil Pemodelan Matematika Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7 Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors: Coefficient Standard 95% CI 95% CI Component Estimate df Error Low A-A 10.56 1 1.29 7.51 B-B 19.17 1 1.18 16.37 AB -28.44 1 6.10 -42.87 AC -0.11 1 0.020 -0.15 BC -0.22 1 0.018 -0.27 ABC 0.47 1 0.094 0.25 AB(A-B) 71.23 1 21.07 21.40 ABC(A-B) -1.07 1 0.32 -1.83
High 13.60 21.96 -14.02 -0.058 -0.18 0.69 121.05 -0.30
VIF 453.61 382.42 557.10 456.35 377.60 555.43 711.99 711.69
Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors: Skor Kelengketan = +10.56 *A +19.17 *B -28.44 *A*B -0.11 *A*C -0.22 *B*C +0.47 *A*B*C +71.23 * A * B * (A-B) -1.07 * A * B * C * (A-B)
Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors: Skor Kelengketan +0.10559 +0.19169 -2.84430E-003 -1.05121E-003 -2.24562E-003 +4.69564E-005 +7.12268E-005 -1.06517E-006
= *A *B *A*B * A * Suhu * B * Suhu * A * B * Suhu * A * B * (A-B) * A * B * Suhu * (A-B)
The Diagnostics Case Statistics Report has been moved to the Diagnostics Node. In the Diagnostics Node, Select Case Statistics from the View Menu.
99
Lampiran 18. Hasil Anova Respon Skor Kekerasan dengan software DX 7
Response 3 (Kekerasan) tekstur ANOVA for Combined Quadratic x Quadratic Model *** Mixture Component Coding is Real. *** Mixture Components A B Process Factors C Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F Source Squares df Square Value Model 1.524E+006 8 1.905E+005 2.95 Linier Mixture 6264.72 1 6264.72 AB 6.789E+005 1 6.789E+005 AC 23705.37 1 23705.37 BC 5.876E+005 1 5.876E+005 ABC 6.959E+005 1 6.959E+005 2 AC 21475.53 1 21475.53 BC2 5.866E+005 1 5.866E+005 ABC2 7.133E+005 1 7.133E+005 Residual 3.881E+005 6 64679.18 Lack of Fit 3.881E+005 5 77615.01 Pure Error 0.000 1 0.000 Cor Total 1.912E+006 14
p-value Prob > F 0.1026 not significant 0.097 0.7662 10.50 0.0177 0.37 0.5671 9.09 0.0236 10.76 0.0168 0.33 0.5854 9.07 0.0237 11.03 0.0160
The "Model F-value" of 2.95 implies the model is not significant relative to the noise. There is a 10.26 % chance that a "Model F-value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case AB, BC, ABC, BC2, ABC2 are significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model. Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
254.32 2091.56 12.16 1.085E+007
R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision
0.7970 0.5264 -4.6768 5.873
A negative "Pred R-Squared" implies that the overall mean is a better predictor of your response than the current model. "Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your ratio of 5.873 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.
100
Lampiran 19. Hasil Anova Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7 Use your mouse to right click on individual cells for definitions. Response 4 derajat pengembangan ANOVA for Combined Linier x Linier Model *** Mixture Component Coding is Real. *** Mixture Components A B Process Factors C Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F Source Squares df Square Value Model 28697.59 3 9565.86 6.04 Linier Mixture 1088.34 1 1088.34 0.69 AC 5519.48 1 5519.48 3.49 BC 25766.67 1 25766.67 16.27 Residual 17417.65 11 1583.42 Lack of Fit 17417.65 10 1741.76 Pure Error 0.000 1 0.000 Cor Total 46115.23 14
p-value Prob > F 0.0110 0.4247 0.0888 0.0020
significant
The Model F-value of 6.04 implies the model is significant. There is only a 1.10% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case BC are significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model. Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
39.79 458.70 8.68 34381.89
R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision
0.6223 0.5193 0.2544 8.365
The "Pred R-Squared" of 0.2544 is not as close to the "Adj R-Squared" of 0.5193 as one might normally expect. This may indicate a large block effect or a possible problem with your model and/or data. Things to consider are model reduction, response tranformation, outliers, etc. "Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your ratio of 8.365 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.
Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors: Coefficient Standard 95% CI Component Estimate df Error Low A-A -119.75 1 302.54 -785.64 B-B 1601.33 1 281.17 982.49 AC 8.73 1 4.68 -1.56 BC -17.19 1 4.26 -26.57
95% CI High 546.14 2220.17 19.02 -7.81
VIF 346.84 299.56 346.67 299.25
101
Lampiran 20. Hasil Analisis Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7
Response 4 derajat pengembangan Transform: *** Mixture Component Coding is Real. *** Mixture Process
Components Factors C
Suggested Model[s]
None
AB
Mix Process Linier Linier
Order Abbreviations in Fit Summary Table M = Mean L = Linier Q = Quadratic C = Cubic Combined Model Mixture Process Fit Summary Table Sequential p-value Mix Process Mix Process Lack of Fit Adjusted Order Order R-Squared M M M L 0.2575 0.0280 M Q 0.6572 -0.0352 M C 0.7904 -0.1217 M M L M 0.5846 -0.0515 L L 0.0083 0.0054 0.5193 L Q 0.0348 0.7671 0.4461 L C 0.0410 0.2781 0.5060 L M Q M 0.0725 0.1390 Q L 0.1163 0.0127 0.6358 Q Q 0.2221 0.6378 0.5799 Q C 0.1732 0.1955 0.7899 Q M C M 0.5647 0.0899 C L 0.0831 0.0066 0.7699 C Q * 0.1360 * 0.4871 0.7676 C C * 0.7077 * 0.6201 0.7118 * The combined model is aliased
Summary Statistics Predicted R-Squared -0.3139 -0.5900 -0.7642 -0.3605 0.2544 -0.2466 -0.7239
Suggested
-0.2208 0.4070 -7.3162 -0.3041 0.3463 -6.1484
Aliased Aliased
"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process. Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for both Mixture and Process and the model is not aliased. "Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit. "Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared" and the "Predicted R-Squared".
102
Lampiran 21. Hasil Pemodelan Matematika Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7 Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors: derajat pengembangan -119.75 *A +1601.33 * B +8.73 *A*C -17.19 *B*C
=
Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors: derajat pengembangan = -1.19748 *A +16.01328 * B +0.087309 * A * Suhu -0.17190 * B * Suhu The Diagnostics Case Statistics Report has been moved to the Diagnostics Node. In the Diagnostics Node, Select Case Statistics from the View Menu. Proceed to Diagnostic Plots (the next icon in progression). Be sure to look at the: 1) Normal probability plot of the studentized residuals to check for normality of residuals. 2) Studentized residuals versus predicted values to check for constant error. 3) Externally Studentized Residuals to look for outliers, i.e., influential values. 4) Box-Cox plot for power transformations. If all the model statistics and diagnostic plots are OK, finish up with the Model Graphs icon.
103
Name Goal A is target = 50.000 B is in range Suhu is in range Skor Tekstur maximize Skor Kelengketan maximize derajat pengembangan maximize
Solutions Number A 1 50.000
Lower Limit 50 0 60 3.2 3.1 367.3
Upper Limit 100 50 70 5.8 5.8 541
Lower Weight 1 1 1 1 1 1
Upper Weight 1 1 1 1 1 1
B Suhu Skor Tekstur Skor Kelengketan derajat pengembangan 50.000 60.00 5.52505 4.90638 487.028
Importance 5 3 3 5 5 5
Desirability 0.801 Selected
Lampiran 22. Hasil Dan Ringkasan Proses Optimasi Dengan Menggunakan software DX 7
PROSES OPTIMASI
104
Lampiran 23
Gambar 14. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 60 °C
Gambar 15. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu pemanas 60°C
105
Lampiran 24
Gambar 16. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 62.5 °C
Gambar 17. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu pemanas 67.5 °C
106
Lampiran 25
Gambar 18. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 65 °C
Gambar 19. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu pemanas 65 °C
107
Lampiran 26
Gambar 20. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu pemanas 67.5 °C
Gambar 21. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu pemanas 70 °C
108
Lampiran 27
Gambar 22. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu pemanas 70 °C
Gambar 23. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu pemanas 60 °C
109
Lampiran 28
Gambar 24. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu pemanas 62.5 °C
Gambar 25. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu pemanas 65 °C
110
Lampiran 29
Gambar 26. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu pemanas 67.5 °C
Gambar 27. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu pemanas 70 °C
111