Sastra Feminis Indonesia: Dulu dan Kini Oleh: Rizqi Handayani, MA. Pendahuluan Sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia1 yang dimulai sejak lahirnya bahasa Indonesia pada awal abad ke 20, khususnya setelah Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa Nasional melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928, kesusastraan Indonesia selalu dikerumuni oleh para pengarang laki-laki. Bahkan, dunia kesusastraan menjadi sangat maskulin karena hanya dipenuhi dengan tulisan dari pengarang laki-laki dan tulisan pengarang laki-lakilah yang dibaca oleh khalayak masyarakat. Heryanto menyebut fenomena ini sebagai Phallic Esthetics yang menjadikan perempuan sebagai objek di dalam karya sastra (Heryanto, 1986: 37). Domestikasi perempuan dalam ranah domestik merupakan faktor dominan yang menyebabkan fenomena ini tumbuh subur. Di mana laki-laki lebih dekat dengan dunia publik dibandingkan perempuan sehingga laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan diri mereka melalui dunia kepengarangan. Sementara itu, perempuan hanya berkutat di dunia domestik sehingga menghambat berkembangnya daya kreatifitas mereka. Namun, di tengah kesibukan para perempuan di dunia domestik, sebagian kecil dari pengarang perempuan di awal abad kedua puluh masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya sastra. Misalnya Selasih atau Seleguri (L. 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), sementara sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka. Selain Selasih, sempat juga muncul nama pengarang perempuan lainnya, Hamidah, yang menulis roman berjudul Kehilangan Mestika (1935) (Rosidi 1968: 55-56). Tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan tersebut merupakan tema-tema yang ringan tentang penderitaan dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Agaknya, tema-tema tentang kesedihan menjadi pilihan bagi pengarang perempuan masa itu, karena perempuan-perempuan tidak dapat menyuarakan penderitaan dan kemalangan hidup yang mereka alami secara gamblang. Para perempuan yang menulis prosa maupun puisi ini biasanya hanya muncul sebentar, dengan satu atau dua buah karya setelah itu tenggelam. Karena itulah pengarang-pengarang perempuan di masa-masa awal pertumbuhan tidak muncul kepermukaaan, bahkan layu sebelum berkembang. Di tengah sepinya karya sastra yang ditulis oleh para pengarang perempuan, maka para pengarang laki-laki mengisi kekosongan tersebut dengan berbagai tema tentang perempuan. Sayangnya, tulisan laki-laki tersebut masih berkelamin tunggal. Mereka mencitrakan tokoh perempuan sebagai the second sex, objek, dan pemanis dalam karya sastra, bahkan tidak jarang juga yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan tidak berdaya, yang menegaskan dominasi laki-laki atas perempuan dalam relasi sosial (Endraswara 2003: 143-145). Gaya penulisan laki-laki yang berbeda dengan gaya penulis perempuan pun sangat berpengaruh dalam menciptakan citra perempuan, karena menurut Cisoux tulisan yang dihasilkan oleh laki-laki mengakar pada libidonya (phallus), yang kemudian ia sebut sebagai phallogocentrict writing.2 Di mana perempuan selalu 1 Yang dimaksud dengan sastra Indonesia di sini adalah semua sastra yang ditulis dalam bahasa nasional Indonesia. Sementara itu, yang dimaksud dengan bahasa nasional Indonesia adalah bahasa Indonesia yang lahir pada awal abad kedua puluh melalui Sumpah Pemuda dan diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Lihat penjelasan Ajib Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binatjipta, 1969), 10. 2 Konsep ini diperkenalkan oleh Helene Cisoux (1937), ia menyerang budaya patriakal, khususnya
digambarkan dengan oposisi biner (binary opposition) terhadap laki-laki, sehingga melahirkan pencitraan yang diskriminatif dan stereotype terhadap perempuan Berdasarkan perbedaan perspektif dalam melihat kenyataan sosial itulah, maka perlu dibedakan penulis perempuan dan penulis laki-laki. Menurut Maqdisy, ada perbedaan mencolok di antara gaya penulisan karya sastra yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan. Di dalam karya sastra yang ditulis oleh perempuan mengandung unsur-unsur imaginasi dan gagasan yang tidak bisa ditemukan dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki (Khamîs, 1997: 80). Menurutnya pula, perempuan memiliki pandangan yang lebih luas dalam menciptakan tema dan mamandangi kehidupan, bahkan tidak kalah menarik dengan cara lakilaki menciptakan karya sastra. Senada dengan hal tersebut Zhabiah Khamîs pun mengakui bahwa melalui karya sastra perempuan dapat mengeksplorasi berbagai permasalahan kehidupan yang ia alami, seperti pengalaman kehidupannya sehari-hari, relasi antara ia dan anak-anaknya khususnya anak perempuannya, serta relasi antara ia dan para lelaki di sekelilingnya, baik dengan ayah, suami maupun anak-laki-lakinya. (Khamîs, 1997: 15-20) Pergumulan emosi yang terjadi selama hubungan tersebut menyeruakkan sebuah emosi yang hanya bisa diungkapkan oleh penulis perempuan, begitu pun sebaliknya. Showalter menyebut karya sastra yang ditulis oleh perempuan ini sebagai gynosentric.3 Tulisan perempuan yang dimaksud Showalter sebagai gynosentric bukan hanya saja tulisan dalam bidang sastra akan tetapi semua tulisan perempuan yang meliputi sejarah, cerita, tema-tema, genre dan struktur tulisan yang ditulis oleh penulis perempuan (Humm (terj.), 2002: 193). Dengan karakteristik yang khas dari gynosentric dan phallogosentric maka lahirlah istilah sastra feminis sebagai genre sastra yang berkembang di akhir abad kedua puluh. Ibrâhîm Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisâ’î) ke dalam dua kategori, yaitu: pertama, karya sastra baik prosa maupun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut (Khalîl 2003: 134-135). Dengan pengertian ini maka sastra feminis Indonesia meliputi semua karya sastra berbahasa Indonesia, baik prosa maupun puisi yang ditulis baik oleh laki-laki dan perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang perempuan serta keterkaitannya dengan laki-laki, menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, serta yang berbicara mengenai ideologi feminis di dalam karyanya tersebut. Permasalahan selanjutnya yang ingin dipaparkan dalam tulisan ini adalah menelusuri jejak kepengarangan perempuan di Indonesia dan perkembangan sastra feminis Indonesia sejak zaman Balai Pustaka hingga sekarang. Hal ini dilakukan mengingat minimnya tulisan bahasa patriakal yang dikenal dengan istilah “phallosentris” yaitu struktur bahasa yang berpusat pada phallus. Konsep ini berbicara mengenai oposisi biner (biner opposition) yang mengidentikkan laki-laki dengan kualitasnya yang baik, aktif, kuat, rasional, dll. Sedangkan perempuan diidentikkan dengan kualitasnya yang buruk, pasif, lemah, irasional, dan sebagainya. Suma Riella Rusdiarti, Helene Cisoux; Penggagas “Ecriture Feminine” dalam Apsanti Djokosujatno (ed.), Wanita dalam Kesusatraan Prancis, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 168. 3 Gynosentric adalah keyakinan bersama terhadap perspektif yang berpusat pada perempuan dan organisasi social yang “perempuan-sentris”. Aktivitas gynosentric meliputi serangkaian kekuatan perempuan yang bisa dieksplorasi dan digali, seperti kekuatan erotisme perempuan. Pembahasan yang mendalam mengenai gynocritics dan gynosentric bisa ditemukan dalam buku Elaine Showalter, The New Feminist Criticism: Essays on Women, Literature and Theory, (New York: Pantheon, 1986) dan Toward a Feminist Poetics in Women Writing and Writing about Women, M. Jocabus (ed.), (London: Croom Helm, 1979). Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 193.
yang mengulas tentang peran pengarang perempuan dalam kancah kesusastraan Indonesia dari awal abad kedua puluh hingga memasuki era kontemporer. B. Menyoal Sastra Feminis Perbincangan tentang sastra feminis selalu menarik karena hingga saat ini definisi mengenai sastra feminis pun masih ramai diperdebatkan. Definisi mengenai sastra feminis yang cukup jelas disampaikan oleh Ibrâhîm Mahmûd Khalîl. Menurutnya sastra feminis adalah semua sastra yang termasuk ke dalam dua kategori berikut, yaitu: pertama, karya sastra baik prosa atau pun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilutrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut (Khalîl, 2003: 134-135). Dari definisi yang dikemukannya, jelas bahwa sastra feminis bukan hanya sastra yang ditulis oleh perempuan, tapi juga penulis laki-laki yang memiliki perhatian khusus terhadap idelogi gender. Bagaimanapun, kelahiran sastra feminis tidak dapat terlepas dari perkembangan dari gerakan feminis yang mempersoalkan tentang kesadaran gender, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Paham feminis yang mulai merebak di tahun 1960-an ini menginspirasi pemerhati sastra untuk mengintegrasikan teori tersebut dalam karya sastra. Pada awalnya istilah “feminis” dalam karya sastra hanya dijadikan sebagai sebuah pendekatan dalam menginterpretasikan makna karya sastra. Ide tersebut berawal dari pemahaman yang melihat sastra sebagai produk kebudayaan sehingga baik puisi maupun roman/novel mampu mengilustrasikan potret kehidupan patriarki yang berlangsung di dalam masyarakat. Karya sastra juga dipahami sebagai struktur dan proses budaya, yang dari proses tersebut dapat mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama masa dan periode tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, kajian feminis tersebut dilakukan dalam rangka mengungkapkan aspek-aspek ketertindasan perempuan atas diri laki-laki, karena teori feminis beranggapan bahwa peran dan status perempuan itu ditentukan oleh jenis kelaminnya. Sehingga dalam setiap teks sastra terlihat gambaran budaya penindasan dan peremehan perempuan dalam masyarakat yang patriarkat (Sugihastuti, 2002: 287-338).4 Karya sastra yang ditulis oleh laki-laki (phallogosentric) dianggap menampilkan citra-citra negatif/stereotype tentang perempuan sebagai sosok yang pasif, manja, pelacur, tertindas, inferior, takluk dan marjinal (Endraswara, 2003: 143). Selanjutnya, karya sastra menjadikan ideologi feminis5 sebagai sebuah landasan kuat bagi perkembangan ideologi gender yang terorganisir dan mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan perempuan. Paham ini menjadi menarik ketika perempuan menyadari bahwa ketidakadilan dan ketimpangan gender tersebut tidak hanya ditemui pada tataran realitas, akan tetapi juga pada dunia imajiner. Dalam kesusastraan, feminisme ini berhubungan dengan studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan. Studi tersebut memberikan sebuah pilihan yang menarik bagi studi sastra yaitu dengan menawarkan pandangan bahwa pembaca 4 Lihat bagaimana roman ‘Siti Nurbaya’ menghadirkan citra perempuan yang hidup dengan persoalan dan kemelut kebiasaan dan adat istiadat Minangkabau yang represif. Di mana kebebasan menuntut ilmu bagi perempuan dibatasi, serta polemik kawin paksa yang masih membumi. 5 Ideologi merupakan cara kita hidup di dunia ini, sedangkan ideologi feminis merupakan rangkaian gagasan yang mendeskripsikan seksisme dari setiap masyarakat tertentu dan memberikan gambaran tentang masyarakat masa depan yang tidak lagi memiliki kontradiksi seksis. Lihat definisi yang diberikan Humm pada Ensiklopedia Feminisme, Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 215-216.
perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pengertian, dan dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki (Showalter, 1985: 3; Sugihastuti, 2002: 6). Pola pandangan tersebut melahirkan sebuah pendekatan yang oleh Culler disebut reading as women. Reading as women merupakan kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Membaca sebagai perempuan sangat terkait erat dengan faktor sosial budaya pembacanya, sehingga sikap baca menjadi faktor penting dan dengan sendirinya peran pembaca tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Dalam proses pembacaan, dikenal istilah pembaca implisit yaitu sebuah jaringan struktur pembacaan yang intensif, yang mendorong pembaca dapat memahami teks. (Umar Junus, 1985: 75). Menurut Iser, konsep ini menganggapkan struktur teks yang proses perubahannya bermula dari aktivitas ideasional ke pengalaman individu6 (Iser, tth: 34-38). Menurut Teeuw, pembacaan sastra setidaknya dilandaskan pada aspek sosial dan aspek waktu. Berdasarkan aspek sosial, pembaca akan dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang sosio-budaya dan masa di mana mereka hidup. Penilaian yang dihadirkan melalui sebuah pembacaan sastra yang berbeda latar belakang sosial dan masa tersebut mengakibatkan sebuah pemaknaan yang bersifat utuh. Jadi, penilaian pembaca tergantung pada kedudukan seseorang dalam struktur sosial dan kebudayaan (Teeuw, 1984: 370-371). Konsep reading as women juga mengandung kesadaran subjektivitas pembaca, dalam arti, pengalaman pribadi dan tokoh perempuan sebagai individu yang diteliti menjadi penting untuk diperhatikan. Diasumsikan adanya hubungan psikologis dan empatis antara pembaca dan tokoh dalam karya, di mana mereka dapat berbagi cerita, masalah, pengalaman sehingga terjadi interaksi di antara keduanya. Sastra feminis juga mencakup pemahaman tentang gynocritics, di mana pengarang atau penulis juga mampu mengarang sebagai perempuan dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan (Sugihastuti, 2002: 6). Istilah gynocritics ini dipopulerkan oleh Showalter untuk merujuk kepada tulisan perempuan. Sementara sebagai pendekatan disebut gynosentric yaitu keyakinan bersama terhadap perspektif yang berpusat pada perempuan dan organisasi sosial yang “perempuan-sentris”. Aktivitas gynosentric meliputi serangkaian kekuatan perempuan yang bisa dieksplorasi dan digali seperti kekuatan erotisme perempuan (Showalter, 1986; M. Jocabus (ed.), 1979; Humm (terj.), 2002:193). Karena pada prinsipnya, teks sastra dan karya sastra yang dilahirkan dari tangan pengarang laki-laki dan perempuan memang sering berbeda. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan pengalaman masingmasing individu dalam menilai dan mengungkapkan gagasan dan ide dalam tulisan dan karya sastra. Dalam tradisi kesusastraan di Indonesia, konsep reading as women dan gynocritics tersebut sangat membantu peneliti untuk melihat sebuah karya sastra, apakah karya tersebut masuk ke dalam kategori sastra feminis. Setidaknya, ada tiga kategori yang melandasi konsep sastra feminis, yaitu pertama: karya sastra yang ditulis oleh perempuan (gynocritics), kedua: karya sastra yang ditulis oleh laki-laki tapi berbicara mengenai perempuan atau ideologi feminis, dan ketiga: karya sastra yang ditulis oleh laki-laki maupun perempuan, yang dibaca atau dipahami dari perspektif perempuan atau feminis. Jika konsep-konsep tentang sastra feminis itu tidak bekerja di Indonesia, maka akan terlihat di mana budaya sastra, sejarah, lagu-lagu dan legenda yang dinyanyikan untuk para anak perempuan sebelum tidur menggambarkan kebiasaan dan wujud kekaguman terhadap 6 Pengalaman individu yang dimaksud di sini adalah pengalaman individu sebagaimana yang didefinisikan oleh Yunus, yaitu: pengalaman emosi, sosio-budaya dan pengalaman psikologi komunikasi. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty,h. 40.
laki-laki. Buku-buku cerita anak, mitologi, dongeng dan mitos yang berkembang di masyarakat merefleksikan kebanggaan dan keinginan laki-laki. Dunia patriarkhis menciptakan iklim dengan kebiasaaan-kebiasaan yang menjadikan laki-laki superior dan perempuan inferior, melalui pahlawan-pahlawan Hercules, Batman, Superman, Spiderman yang diimpi-impikan semua anak (de Beauvoir, 1953: 32-33). Dongeng-dongeng pengantar tidur yang dikenal para anak-anak Indonesia seperti Putri Salju, Putri Cinderela, Bawang Merah dan Bawang Putih, dan tentu masih banyak lagi, semuanya menjadikan tokoh perempuan sebagai tokoh utama yang nasibnya bergantung pada kehadiran toko laki-laki. Juga, fabel klasik saduran dari karya Persia Kalîlah wa Dimnah karya Ibn Muqaffa; sebuah novel fantasi yang mengungkapkan tokoh simbolik binatang pada awal masa Abbasiyah. Tokoh-tokoh simbolis tersebut menggambarkan kekuasaan dan kebijaksanaan para lelaki sebagai seorang penguasa. Bahkan di salah satu kisahnya ”al-Qird wa al-Ghailam”, sosok perempuan yang disimbolkan lewat kura-kura betina dicitrakan sebagai sosok pencemburu yang berhati jahat sehingga dengan kelicikannya mampu membuat sebuah rencana jahat (alMuqaffa', tth: 276-285). Hampir tidak ada pahlawan perempuan dalam dongeng-dongeng dan cerita-cerita rakyat, jika pun ada maka pahlawan perempuan tampak sangat membosankan dan selalu dibayang-bayangi oleh pahlawan laki-laki. Hawa tidak diciptakan untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk menemani Adam dan ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam Islam, dikenal Khadijah istri Nabi, akan tetapi kejayaannya selalu saja dibayang-bayangi oleh kesuksesan Nabi Muhammad dalam mendampinginya. Begitupun beberapa pahlawan perempuan yang ikut maju ke medan perang, hingga sejarah dan dongeng mengenai para pahlawan perempuan tenggelam seiring dominasi laki-laki atas perempuan. Untuk selanjutnya ada baiknya kita melihat perjalanan sastra feminis di Indonesa, yang meliputi pengarang perempuan dan laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai fokus pembicaraan, dan atau mengusung ideologi feminis dalam sejarah kesusastraan Indonesia. C. Perjalanan Pengarang Perempuan Dari Masa ke Masa 1. Pengarang-pengarang Perempuan Pada Masa Awal Pertumbuhan Masa Balai Pustaka merupakan tonggak kebangkitan kesusastraan Indonesia yang berlangsung pada awal abad kedua puluh. Pada awalnya Balai Pustaka merupakan sebuah komisi yang dibentuk oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1908 untuk membendung bangkitnya kesadaran nasional dengan mengadakan semacam bimbingan dalam urusan bacaan rakyat. Komisi ini dinamakan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Komisi Bacaan Rakyat. Lalu pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) atau yang kemudian dikenal dengan Balai Pustaka (Rosidi, 1969: 16). Pada awalnya komisi ini bertugas untuk memeriksa dan mencetak segala naskahnaskah cerita-cerita rakyat terutama yang ditulis dalam bahasa daerah. Akan tetapi pada perkembangannya komisi ini juga mencetak buku-buku terjemahan, saduran atau ringkasan dari cerita-cerita yang mengisahkan pahlawan orang-orang Belanda dan cerita-cerita klasik Eropa. Roman pertama yang diterbitkan komisi ini adalah roman berbahasa Sunda “Baruang Ka Nu Ngarora” (1914) yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata (1866-1947). Baru pada tahun 1920an roman yang ditulis dalam bahasa Indonesia muncul. Roman itu berjudul Azab dan Sengsara (1920) yang ditulis oleh Merari Siregar (1896-1941). Dua tahun kemudian kembali terbit roman berbahasa Indonesia yang ditulis oleh Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya (1922) dan Muda Teruna yang ditulis oleh Muhammad Kasim. Tema-tema yang diusung oleh roman-roman berbahasa Indonesia pada masa-masa awal ini adalah persoalan adat yang
sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai permasalahan bagi kaum tua dan kaum muda (Yudiono, 2007: 45). Selain menerbitkan roman, Balai Pustaka juga mengelola majalah. Di antara majalah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah Sri Pustaka yang kemudian bernama Panji Pustaka, majalah ini terbit dalam bahasa Melayu. Dalam bahasa Jawa, diterbitkanlah majalah Kejawen pada tahun 1926 dan majalah Parahiyangan yang berbahasa Sunda pada tahun 1929. Penerbitan majalah dalam bahasa daerah ini bukannya tidak beralasan,,mengingat sasaran Balai Pustaka adalah anak sekolah rakyat dan guru yang tersebar di kota-kota kecil dan daerah, para pegawai rendahan dan para petani. Selain itu pemerintah kolonial juga berkepentingan untuk tetap memelihara budaya daerah agar tidak terbentuk nasionalisme. Meskipun keberadaan Balai Pustaka diperuntukkan kepada masyarakat Indonesia, akan tetapi tidak semua penulis dapat diakomodir. Buku-buku dan tulisan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka harus mengikuti aturan yang telah dipersyaratkan. Syarat utama yang harus dipatuhi oleh penulis yang menginginkan tulisannya terbit di Balai Pustaka adalah tidak mengandung unsur anti kolonialisme. Selebihnya tulisan tersebut tidak menyinggung suatu golongan dan agama tertentu, sebagaimana yang termaktub dalam nota Rinkes (Yudiono, 2007: 72). Pada tahun 1930 Balai Pustaka menjadi penerbit terbesar yang menghasilkan oplah terbanyak karena mampu menyebarluaskan produksinya ke seluruh pelosok Nusantara. Di antara penulis yang berhasil menerbitkan karya-karyanya di Balai Pustaka adalah Abdul Muis, Abas Sutan Pamuntjak nan Sati, Adinegoro, Hamka, Merari Siregar, Marah Rusli, Muhammad Kasim, Muhammad Yamin, Nur Sutan Iskandar, Rustam Effendi, S.Takdir Alisjahbana, Suman Hs, dan Tulis Sutan Sati, dan tentu masih banyak lagi pengarang yang bermunculan pada tahun 1930an tersebut. Akan tetapi, dari sekian banyak roman yang terbit di Balai Pustaka tidak ada satu pun roman yang dituliskan oleh perempuan. Meskipun pada masa ini belum ada perempuan yang muncul ke permukaan, bukan berarti perbincangan mengenai perempuan tidak ada. Salah satu roman yang dianggap representatif sebagai simbol dari emansipasi perempuan adalah roman Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli pada tahun 1920. Meskipun dalam sebagian besar isunya masih menggambarkan tentang pertentangan antar dua generasi yang berbeda, persoalan mengenai prasangka gender juga mendapat tempat khusus dalam pergerakan cerita sebagai persoalan yang harus dibenahi. Siti Nurbaya yang merupakan tokoh sentral perempuan dalam roman tersebut secara tidak langsung mengusung ide pembaharuan melalui sikap dan keputusan yang diambilnya. Ide pembaharuan yang paling artikulatif dibicarakan dalam roman ini adalah mengenai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan baik di dunia domestik maupun publik, sehingga relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan bukanlah relasi horizontal akan tetapi relasi vertikal; di mana satu sama lain saling bekerjasama tanpa ada yang mendominasi. Beberapa kritik terhadap adat dan agama pun diartikulasikan oleh tokohtokoh profeminis seperti Siti Nurbaya dan Alimah, melalui penolakannya terhadap poligami dan kawin paksa. Meskipun ideologi feminis dalam roman ini baru bekerja pada tataran citacita yang digerakkan oleh individu per individu, akan tetapi roman ini layak ditempatkan dalam pergerakan sastra feminis awal dalam kesusastraan Indonesia (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 241). Setelah Siti Nurbaya, banyak bermunculan roman-roman serupa yang berbicara mengenai persoalan kawin paksa dan berbagai persoalan terkait pertentangan kaum tua dan kaum muda, khususnya yang berlaku di daerah Sumatra. Meskipun roman-roman tersebut tidak dapat sepenuhnya dianggap sastra feminis, akan tetapi kritik atas budaya patriarkhi tersebut sudah mulai ribut dibicarakan. Sebut saja Adinegoro atau Djamaluddin (1904-1966), ia menulis dua buah roman yang berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman ini secara gamblang menolak tradisi kawin paksa yang berlaku di dalam
masyarakat Minangkabau sebagai bentuk kritik terhadap kaum tuo yang patriarkhis. Roman ini adalah roman pertama pada masa Balai Pustaka yang memenangkan tokoh utama sebagai representasi kaum mudo dalam membela haknya untuk menentukan jodoh berdasarkan keinginan sendiri. (Rosidi, 1969: 24). Baru pada tahun 1933 muncul nama Selasih atau Seleguri, kedua nama ini merupakan nama samaran dari Sariamin yang lahir di Talu, Sumatera Barat pada tahun 1909. Menurut catatan Sugihastuti yang dikutip Nurhadi dalam artikelnya, ia mengenyam pendidikannya pada pendidikan guru bahkan pernah menjadi guru di Bengkulu dan Bukit Tinggi. Pada tahun 1928 hingga 1930 ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeling Cabang Bukit Tinggi dan anggota DPRD Riau periode 1947-1948. Selasih menulis dua buah roman yang berjudul Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan, roman pertama terbit pada tahun 1933, lalu empat tahun setelahnya terbit roman kedua. Kedua roman yang ditulis Selasih berbicara mengenai penderitaan dan kemelaratan yang dihadapi oleh para tokoh-tokohnya. Ia juga menulis beberapa sajak yang pernah dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Pustaka. Esainya yang berjudul Rangkaian Sastra terbit pada tahun 1952. Sejumlah cerita anak-anak dan legenda pun tersebar dalam berbagai antologi (Nurhadi, 2007). Pengarang perempuan lainnya yang juga layak mendapatkan tempat pada masa-masa awal adalah Hamidah. Menurut Rosidi, Hamidah merupakan nama samaran dari Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Ia juga tercatat pernah menjadi pembantu majalah Poedjangga Baroe. Ia hanya menulis sebuah roman yang berjudul Kehilangan Mestika yang diterbitkan pada tahhun 1935. Sebagaimana roman yang ditulis oleh pengarang perempuan sebelumnya, roman ini juga menceritakan tentang kemalangan dan penderitaan para tokoh-tokohnya. Agaknya tema-tema mengenai kemalangan dan penderitaan merupakan tema-tema yang digemari para pengarang pada masa ini. Pada tahun-tahun menjelang kedatangan Jepang, muncul pengarang perempuan yang bernama Sa’adah Alim (1898-1968). Ia menulis sandiwara dan sejumlah cerita pendek. Sandiwara yang ditulisnya berjudul Pembalasannya terbit pada tahun 1941, sementara itu sejumlah cerita pendek yang ditulisnya dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati pada tahun yang sama.7 Selain menulis sandiwara dan cerpen ia menerjemahkan sebuah roman pengarang perempuan Barat berkebangsaan Amerika yang pernah mendapatkan hadiah nobel pada tahun 1938, Pearl S.Buck (1892-1973), yang judul indonesianya menjadi Angin Timur Angin Barat. Beberapa buku-buku terjemahan lainnya pun konon telah dihasilkannya, namun sejarah tidak mencatat buku-buku tersebut sehingga informasi mengenai karya-karyanya yang lain tidak dapat ditelusuri. Pada masa kependudukan Jepang, Maria Amin adalah salah satu pengarang perempuan yang paling berpengaruh pada masa itu. Ia dilahirkan di Bengkulu pada tahun 1921. Sebenarnya tulisannya telah muncul dalam majalah Poedjangga Baroe, namun prosa liriknya terbit pada masa ini dengan judul Tengoklah Dunia Sana. Prosa ini merupakan bentuk kekecewaannya melihat kehidupan sosial politik, sehingga ia melukiskan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sebagai ikan dalam akuarium. Selain Maria Amin juga disebut 7 Ada yang menarik mengenai kumpulan cerpen ini. Ajib Rosidi dalam Ikhtisarnya, memberikan catatan yang kurang positif tentang karya ini. Menurutnya, Taman Penghibur Hati yang ditulis oleh Sa’adah Alim tidak berhasil sebagai cerita pendek, karena ia gagal dalam mengangkat persoalan-persoalan zaman, di samping cara pengisahannya yang tidak terlalu asyik. Dalam persoalan yang diangkatnya, ada semacam prasangka dan ketakutan terhadap “Barat” dan hal ini menyebabkan ia mengukuhkan diri sebagai pengarang yang mempertahankan tradisi dan adat lama secara keras. Karena jika dilihat dari latar sosiologis, pada masa itu idelogi tentang modernitas yang diusung kaum muda telah mendominasi sehingga sangat aneh jika ia masih mengukuhkan tradisi lama yang telah coba ditinggalkan oleh para pengarang-pengarang sezamannya. Meskipun belakangan akhirnya Ajib Rosidi mencoba untuk memaklumi sikap tersebut, mengingat aspek sosiologis pengarang yang berasal dari Minangkabau dan dibesarkan di tengah sistem matrilineal. Baca: Ajib Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, 58.
Nursjamsu sebagai pengarang perempuan lainnya pada masa ini. Ia dilahirkan di Lintau, Sumatera Barat pada tanggal 6 Oktober 1921. Ia menulis sejumlah sajak, namun tidak diketahui keberadaan sajak-sajaknya pada masa ini, hanya cerpennya saja tercatat yang berjudul Terawang yang dimuat dalam majalah Gema Suasana pada tahun 1948 (Rosidi, 1969: 78). 2. Pengarang-pengarang Perempuan Pada Masa Pergolakan Pasca kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah masa-masa yang rawan dan menakutkan bagi pengarang Indonesia, karena iklim politik yang terus memanas hingga akhir tahun 60an. Pada masa ini pula terjadi revolusi di berbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial dan budaya. Di bidang budaya, pada tahun 1946 Chairil Anwar memelopori berdirinya organisasi kebudayaan Gelanggang yang menaungi para budayawan Indonesia yang euforia dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia, termasuk para budayawan dan sastrawan yang sebelumnya sangat terkekang dengan keberadaan Jepang. Dengan kebebasan yang dimiliki setelah kemerdekaan, maka ide dan gagasan para budayawan dan sastrawan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara pun seperti meledak yang kemudian diwadahi oleh majalah-majalah dan surat kabar. Maka pada masa-masa ini maraklah surat kabar dan majalah, di antara yang terkenal adalah Panca Raya (1945-1947), Pembangunan (19461947), Pembaharuan (1946-1947), Nusantara (1946-1947), Gema Suasana (1948-1950), Siasat (1947-1959), Mimbar Indonesia (1949-1960), Pujangga Baru (yang terbit kembali pada 1948, dan pada 1954 berubah nama menjadi Konfrontasi), Arena (1946-1948 di Yogjakarta), dan Seniman (1947-1948 di Solo). Majalah-majalah ini tentu masih banyak lagi yang belum tersebut, misalnya saja Kratz yang mencatat beberapa majalah berikut: Arena, Gelanggang, Media, Panji Masyarakat, Genta, Pedoman Masyarakat, Panji Islam, Api, Gema Islam, Hikmah, Suara MIAI, Basis di Yogjakarta, Liberty di Surabaya, dan Waktu di Medan. (Yudiono, 2007: 117-118). Akan tetapi, aktifitas sastra yang berkutat dalam majalah ini hanya memberikan tempat bagi karangan-karangan yang pendek saja, seperti esai, sajak dan cerita pendek. Maraknya pertumbuhan penerbit majalah dan surat kabar ini oleh sebagian budayawan dianggap sebagai kemunduran dalam dunia kesusastraan/impasse sastra. Karena pada masa ini tidak ditemukan karya-karya besar sebagaimana pada masa sebelum revolusi. Jika masa ini dianggap sebagai sebuah kemunduran, berarti kemunduran ini bukan hanya berlaku bagi pengarang perempuan tapi juga bagi pengarang laki-laki yang tidak mampu menghadirkan karya-karya sastra besar sebagaimana diharapkan. Dalam impasse sastra ini, pengarang perempuan yang ikut meramaikan kesusastraan Indonesia pada masa ini adalah S. Rukiah, Ida Nasution, Walujati, Suwarsih, dan Siti Nuraini. S. Rukiah lahir di Purwakarta pada tanggal 25 April 1927. Ia dikenal sebagai penulis sajak dan prosa. Setelah selesai menjalani pendidikannya di Sekolah Guru, ia menjadi guru di Purwakarta. Pernah pula menjadi sekretaris majalah Pujangga Baru (sesudah perang) dan anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965). Karena keterlibatannya dengan Lekra itulah hingga kini karya-karya S. Rukiah masih belum dicabut pelarangannya (Kratz, 2000:561574). Padahal, pengarang perempuan ini cukup produktif. Di antara karya-karyanya adalah Tandus yang terbit pada tahun 1952, kumpulan sajaknya ini mendapatkan hadiah sastra nasional B.M.K.N, Kejatuhan dan Hati (1950); roman tersebut mengisahkan tentang perasaan seorang perempuan yang jatuh cinta kepada seorang politikus, akan tetapi terpaksa harus menikahi laki-laki pilihan ibunya. Pada 1955, ia merilis cerita anak Si Rawun dan Kawan-kawannya, cerita yang terakhir ini sekaligus menutup jejak kepengarangannya di Indonesia (Rosidi, 1969, 115; Eneste, 1990:172).
Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat, lahir pada tahun 1924 dan ia dianggap meninggal karena hilang pada tahun 1948 dalam perjalanan Jakarta-Bogor, sebagai korban revolusi. Pernah tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Sastra UI tetapi tidak tamat. Dia juga pernah menjadi redaktur “Gelanggang”/Siasat dan Het Inzicht. Ida Nasution pernah menerjemahkan Le Conquerants atau “Pemenang” karya Andre Gide, dan sejumlah karya esainya juga dimuat di berbagai majalah (Rosidi, 1969, 114; Eneste, 1990:79). Walujati merupakan penulis sajak dan prosa yang lahir pada 5 Desember 1924 di Sukabumi. Ia memulai pergelutannya di dunia sastra sejak masa-masa awal revolusi. Sajaknya Berpisah sempat dipuji Chairil Anwar sebagai sajak romantik. Pada tahun 1950, ia menerbitkan romannya yang berjudul Pujani. Sementara itu, Siti Nuraini lahir di Padang, 6 Juli 1930. Perempuan ini pernah belajar di Fakultas Hukum UI tetapi tidak tamat. Dia juga pernah menjadi sekretaris redaksi “Gelanggang”/Siasat bersama Asrul Sani yang untuk beberapa lama pernah menjadi suaminya. Karya-karyanya berupa sejumlah puisi yang tersebar dalam berbagai antologi dan terjemahan Le Petit Prince karya Antoine de SaintExupéry tahun 1952. Salah satu sajaknya berjudul Sajak Buat Anak Yang Takkan Lahir merupakan salah satu sajak andalannya yang menggambarkan karakter kewanitaannya. Sajak ini melukiskan perasaannya sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran (Rosidi, 1969, 114-115; Eneste, 1990:165-166). Suwarsih Djojopuspito merupakan salah seorang pengarang perempuan yang tidak boleh dilupakan. Ia salah satu perempuan yang berani menulis roman tentang pergerakan nasional Indonesia. Ia lahir di Bogor pada tanggal 20 April 1912. Jika dilihat dari umurnya, ia seangkatan dengan sastrawan pada masa Pujangga Baru. Roman pertamanya ditulis dalam bahasa sunda berjudul Marjanah pada tahun 1937, akan tetapi roman ini ditolak untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka. Baru setelah 1959 roman ini dapat diterbitkan. Menjelang datangnya Jepang, sebuah roman tentang pergerakan ditulisnya dalam bahasa Belanda Buiten het Gareel (Di Luar Garis). Roman ini menceritakan tentang kehidupan kaum pergerakan nasional, terutama di lingkungan perguruan swasta “Taman Siswa” pada era tiga puluhan. Lalu, pada tahun 1951 ia menerbitkan kumpulan cerpennya yang berupa bacaan anak-anak berjudul Tujuh Cerita Pendek. Kumpulan cerita pendek keduanya berjudul Empat Serangkai (1954), oleh Ajib Rosidi, kumpulan cerpen keduanya ini merupakan salah satu karangan terpenting yang pernah ditulis oleh perempuan. Beberapa cerpen-cerpen lainnya yang pernah ia tulis belum sempat dibukukan, kebanyak telah dimuat dalam majalah Konfrontasi. (Rosidi, 1969, 116) Baru pada tahun 60an geliat sastra mulai terasa kembali. Di antara para pengarang perempuan yang ikut memeriahkan dunia kesusastraan Indonesia adalah N.H. Dini, yang memiliki nama lengkap Nurhajati Srihardini. Ia lahir di semarang pada tanggal 29 Februari 1936. Pernah mengikuti kursus Pramugari Darat GIA Jakarta (1956) dan kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960 dia bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan diplomat Prancis, Yves Coffin, berturut-turut dia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Indonesia (Jakarta-Semarang). Kini dia tinggal di sebuah panti jompo di Yogyakarta. Cerpennya, “Di Pondok Salju”, memenangkan hadiah kedua majalah Sastra tahun 1963. Karya-karyanya yang lain: Dua Dunia (kumpulan cerpen, 1956), Hati yang Damai (novel, 1961), Pada Sebuah Kapal (novel, 1973), La barka (novel, 1975), Keberangkatan (novel, 1977), Namaku Hiroko (novel, 1977), Sebuah Lorong di Kotaku (memoar, 1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (memoar, 1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (memoar, 1979), Sekayu (memoar, 1981), Pertemuan Dua Hati (novel, 1986), Jalan Bandungan (novel, 1989). Ada lagi sejumlah karya lainnya yang diterbitkan akhir-akhir ini, seperti Jepun Negerinya Hiroko, Dari Parangakik ke Kampuchea serta karya-karya terjemahan dan biografi. Pada tahun 1987 Dini memenangkan Hadiah Pertama (untuk peserta
Indonesia) lomba mengarang cerita dalam Prancis yang diselenggarakan Le Monde dan Radio France Internationale. (Nurhadi, 2007) Dari keseluruhan roman dan cerpen yang ditulisnya, Dini tidak berbicara tentang protes-protes yang berkisar tentang perempuan di tengah kehidupan yang patriarkhis. Tokoh perempuan yang dihidupkannya adalah manusia-manusia yang memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dia juga menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial di sekelilingnya, sebagaimana yang digambarkannya dalam cerpennya Kelahiran dan Perempuan Warung. (Rosidi, 1969, 160-161) Selain NH. Dini, pengarang perempuan lainnya yang juga pantas disejajarkan dengan pengarang laki-laki adalah Toeti Heraty. Dia lahir di Bandung pada tanggal 27 November 1933. Masa pendidikannya dilalui di Fakultas Kedokteran UI hingga sarjana muda (19511955), kemudian melanjutkan studi sarjananya pada Fakultas Psikologi UI pada tahun 1962. Tahun 1974 ia meraih sarjana filsafat dari Universitas Leiden. Gelar Doktor ia dapatkan dari Universitas Indonesia di bidang filsafat pada tahun 1979. Perjalanan karirnya dimulai dengan mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung dan di Jurusan Filsafat Fakultas Sastra UI. Pada tahun 1968 hingga 1971 dia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, bahkan ia pernah menjadi salah seorang ketuanya pada tahun 1982 hingga 1985. Tahun 1981 dia pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam dan tahun 1984 mengikuti International Writting Program di Universitas Iowa, AS. (Nurhadi, 2007) Selain malang melintang di dunia kesusastraan, ia juga telah menghasilkan beberapa karya. Di antara karya-karya Toeti Heraty adalah Sajak-sajak 33 (kumpulan sajak, 1973), Mimpi dan Pretensi (kumpulan sajak, 1982), Aku dan Budaya (1984). Selain itu, dia juga menjadi editor bunga rampai penyair perempuan Indonesia, Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979, edisi dua bahasa: Inggris dan Indonesia), dan bersama A. Teeuw menjadi editor bunga rampai Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (1986, dwibahasa: Indonesia dan Belanda) (Eneste, 1990:189-190). N.H. Dini dan Toeti Heraty agaknya menjadi motivasi bagi kelahiran pengarangpengarang perempuan sezamannya. Meskipun belum mampu disejajarkan dengan para pengarang laki-laki, namun sejumlah pengarang perempuan tersebut ikut mewarnai kancah kesusastraan Indonesia lewat karya-karyanya. Sebut saja Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti, Agnes Sri Hartini Arswendo, Aryanti, Asnelly Luthan, Boen S. Oemaryati, Diah Hadaning, Farida Soemargono, Ida Ayu Galuhpethak, Ike Soepomo, Ima Suwandi, Iskasiah Sumarto, Isma Sawitri, La Rose, Marga T., Maria A. Sardjono, Marrianne Katoppo, Mira W., Nana Ernawati, Nina Pane, Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Rita Oetoro, S. Mara GD, S. Tjahjaningsih, Samiati Alisjahbana, Susy A. Aziz, Suwarsih Djajapuspito, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titie Said, Titis Basino, V. Lestari, Waluyati (Nurhadi, 2007). Karya-karya Titie Said (1935) mendapat perhatian lebih dari Jassin. Dalam kumpulan essainya, Jassin menyediakan salah satu pembahasannya mengenai karya-karya Titie Said. Penulis perempuan yang lahir di Bojonegara pada tanggal 11 Juli 1935 ini memulai perhatiannya di bidang sastra ketika ia menyelesaikan sarjana muda pada tahun 1959 dari Jurusan Ilmu Purbakala, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Awal karirnya dimulai sebagai anggota redaksi majalah Wanita dan mingguan Hidup. Kecuali sebagai anggota redaksi, ia juga banyak menulis dan menerbitkan karyanya di kedua majalah dan mingguan, juga beberapa majalah dan mingguan lain seperti Star Weekly, Varia, dan Sastra. Bahkan, sebagian cerita-cerita yang dilahirkannya telah dibukukan dalam Perjuangan dan Hati Perempuan yang diterbitkan oleh NV Nusantara pada 1962 (Jassin, 1967: 77). Menurut Jassin cerita-cerita yang dituliskan oleh Titie Said menggambarkan tentang kedewasaannya dalam menulis, yang tergambar dari kedalaman pengalamannya. Misalnya, ia menampilkan tempat atau latar cerita yang sangat variatif, terkadang di Sunda, Jawa Tengah,
Bali, Flores, bahkan Digul di Irian Barat. Narasi yang ditampilkannya pun terkesan natural, mengalir, tidak dilebih-lebihkan sehingga membuat pembaca tidak merasa canggung. Begitupun dengan tema yang diangkatnya. Dalam “Hidup dalam Pertempuran”, ia mengangkat tema tentang kepahlawanan seorang perempuan yang berprofesi sebagai juru rawat Palang Merah Utari. Di sini, peran perempuan dalam karya sastra telah mulai mengalami pergeseran. Titie Said tampaknya sengaja menjadikan perempuan sebagai tokoh utamanya untuk menggerakkan cerita. Tokoh perempuan yang menjadi tokoh utamanya pun bukan lagi perempuan yang cengeng, lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi kesengsaraan hidup, akan tetapi pahlawan perempuan yang mengobarkan keberanian dan semangat kepada tokoh-tokoh lainnya. Ia menjadi representasi dari rakyat Indonesia yang hidup dengan penuh kesadaran dalam menghadapi pergolakan politik, menegakkan keadilan dan kebenaran, martabat dan harga diri manusia di tengah carut marut politik yang kian memanas (Jassin, 1967: 78). “Jerit kawan-kawan menggugah semangat kami. Dari atas kami melempar granat, sambil berteriak merdeka. Tidak ada seorang pun yang sayang nyawanya dan semua dibakari oleh semangat menyala. Mati waktu itu bukan apa-apa.”
Melalui kisahnya yang lain, Titie juga menitikberatkan perhatiannya pada rakyat rendahan, sehingga dalam “Di Atas Bumi” ia memotret kehidupan sais dokar dan para pedagang perempuan. Cerita tersebut dibumbui dengan kisah percintaan, yang seperti juga kisah-kisah pada masa Balai Pustaka. Kisah percintaan tersebut berakhir dengan tidak bahagia. Uju, seorang sais dokar mengalami kemalangan karena tidak berhasil menikahi gadis idamannya, bahkan ia sendiri harus dijebloskan ke bui karena telah membunuh lawannya (Jassin, 1967: 79). Tema lainnya yang juga mendapat perhatian Titie Said adalah tentang perkawinan. Hanya saja, jika pada masa Balai Pustaka kisah-kisah perkawinan didominasi oleh tema kawin paksa, maka pada periode ini tema perkawinan digambarkan melalui wajahnya yang lain. Tema-tema perkawinan tersebut dapat disaksikan dalam “Angin Danau Cemara” dan “Daerah Perbatasan”. Pada cerita yang disebut belakangan Titie menengahkan kisah perkawinan beda agama yang berakhir dengan kesetiaan dengan agama masing-masing. Di sini Titie Said mencoba menawarkan konsep yang berbeda mengenai kebahagiaan dan cinta, sehingga kebahagiaan dan cinta yang dituju oleh Titie Said bukanlah hubungan yang harus diakhiri dengan sebuah sistem perkawinan, akan tetapi bagaimana merasakan kebahagiaan dengan pilihan yang dipilih secara sadar (Jassin, 1967: 79). Agaknya apresiasi Jassin terhadap karya-karya Titie Said sangat tepat, mengingat Titie Said menulis begitu banyak cerita dengan tema yang bervariasi dan karakter tokoh yang sangat matang, juga disampaikannya dengan sangat natural. Kisah-kisah yang diangkatnya pun merupakan kisah-kisah yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Beberapa nama yang sempat disebutkan di atas tidak begitu mendapat tempat oleh para sastrawan Indonesia, karena selain dinilai kurang matang, para penulis perempuan tersebut tidak banyak melahirkan karya sastra, sebagaimana diungkapkan Ajib Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Satra Indonesia. Akan tetapi, pendapat Rosidi tersebut hendaknya dikaji ulang. Bagaimana pun, beberapa nama pengarang perempuan sempat memberikan kontribusi, bahkan meramaikan kancah kesusastraan Indonesia pada masa-masa pergolakan ini. untuk itu perlu juga disebutkan S. Tjahjaningsih yang merilis kumpulan cerpen “Dua Kerinduan (1963), Sugiarti Siswadi yang melahirkan kumpulan cerpen “Sorga di Bumi” (1960); cerpencerpen ini sebelum dibukukan terbit dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Ernisiswati Hutomo dan Titis Basino, keduanya adalah penulis perempuan yang sebenarnya cukup produktif, beberapa cerita pendek mereka sempat dimuat di majalah Sastra, akan tetapi keduanya tidak sempat menerbitkan cerpen-cerpen tersebut menjadi kumpulan cerpen. Ada juga Enny Sumargo yang lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943. Ia menulis beberapa
cerpen yang diterbitkannya di daerah seperti Yogyakarta dan Semarang. Pada tahun 1969 ia menerbitkan sebuah roman yang berjudul Sekeping Hati Perempuan. Sementara itu, penyair perempuan pun tidak begitu banyak, Ajib Rosidi dalam Ikhtisar-nya hanya menyebut tiga nama penyair perempuan pada masa ini, yaitu Susi Aminah Aziz, Dwiarti Mardjono dan Isma Sawitri. Baru belakangan, nama Toeti Heraty Noerhadi muncul dan menjadi popular. Susi Aminah Aziz (1939) tercatat pernah menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Seraut Wajahku pada tahun 1961. Sementara itu, Isma Sawitri (1940) banyak menulis sajak. Sajaksajaknya banyak dimuat di beberapa majalah seperti Sastra, Indonesia dan majalan lain yang terbit pada awal tahun 60an, akan tetapi sangat disayangkan kumpulan sajaknya yang diberi judul kwatrin tidak pernah terbit hingga sekarang. ia tercatat pernah menjadi anggota redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata dan Pedoman (Rosidi, 1968: 184-185). Selebihnya, jejak kepengarangan para penulis perempuan pada masa ini tidak dapat ditelusuri. 3. Pengarang-pengarang Perempuan Pada Masa Pemapanan a. Dua Pengarang Perempuan Tionghoa Populer: Marga T dan Mira W Pasca tragedi PKI atau tepatnya Juli 1966, kesusastraan Indonesia memasuki era kemapanan. Era kemapanan ini ditandai dengan terbitnya majalah Horison di bawah pimpinan Mochtar Lubis, yang redaksinya terdiri atas H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Soe Hok Djin, dan D.S. Moeljanto. Semangat yang diusung dari berdirinya majalah horizon ini adalah mengembalikan krisis budaya dengan semangat baru untuk memperjuangkan demokrasi dan martabat manusia Indonesia. Semangat yang ingin ditularkan oleh majalah ini menyangkut persoalan kebebasan berekspresi, yang konsep dasarnya hampir sama dengan semangat Surat Kepercayaan Gelanggang8 dan Manifes Kebudayaan9 pada masa kemerdekaan. Akan tetapi, Horison menciptakan iklim yang ekslusive bagi para penggiat sastra, sehingga bermunculanlah penerbit-penerbit independen baik di Jakarta, maupun kotakota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Makassar, Medan dan Padang, yang mengakomodir karya-karya sastra yang tidak tersentuh oleh Horison. Karyakarya sastra ini disebut sebagai sastra popular. Era sastra popular merupakan era kebangkitan bagi penulis perempuan. Hal ini diakui oleh Jacob Sumardjo. Era sastra popular telah menciptakan segmen tersendiri bagi dunia perempuan. Tercatat tahun 1970an merupakan awal pertumbuhan bagi majalah perempuan, seperti Femina, Kartini, Sarinah, Dewi. Majalah-majalah perempuan ini telah melejitkan sejumlah penulis perempuan seperti La Rose, Yati Maryati Wiharja, Titiek W.S., Marrianne Katoppo dan Ike Supomo (Yudiono, 8 Surat kepercayaan gelanggang merupakan pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama Gelanggang Seniman Merdeka, yang didirikan pada tahun 1947 semasa Chairil Anwar masih hidup. Beberapa seniman dan budayawan yang menjadi motor berdirinya perkumpulan ini adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Mochtar Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, Pramudya Ananta Toer, Asrul Sani, Sitor Situmorang, dan lain-lain. Gelanggang Seniman Merdeka menjadi media sebagai tempat para seniman dan budayawan bergerak dan berekspresi. Selain itu, dalam majalah Siasat yang dipimpin Rosihan Anwar pun dibuka sebuah kolom kebudayaan yang diberi nama Gelanggang. Pada awalnya kolom ini dipimpin oleh Chairil Anwar, srul Sani dan Rivai Apin. Surat Kepercayaan Gelanggang pun pertama kali diterbitkan pada kolom kebudayaan majalan ini pada tanggal 23 Oktober 1950. (Ajib Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Binatjipta, 1969) 84-85. 9 Sebagaimana Surat Kepercayaan Gelanggang, Manifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran tentang kebudayaan sebagai reaksi terhadap terror budaya yang dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes Kebudayaan dideklarasikan pada 17 Agustus 1963 dalam majalah Sastra yang dipimpin H.B. Jassin. H.B. Jassin sendiri adalah orang yang menandatangani pernyataan Manifestasi Kebudayaan ini bersama dengan Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Muhammad, A. Bastari Asnin, Bur Rusuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati. Yudiono, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), 140-142.
2007: 227-228). Bahkan dalam Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik dan Narsistik disebut beberapa nama pengarang perempuan yang cukup produktif, yang masuk ke dalam urutan 15 besar pengarang terproduktif pada masa itu. Mereka itu adalah Maria Fransiska, Maria A. Sardjono, Mira W., Mira Karmila, Marga T, S. Mara Gd, La Rose, V. Lestari, Nina Pane Budiarto dan Yati Maryati Wiharja (Noor, 1999: 185). Dari banyaknya nama pengarang perempuan di atas, terdapat Mira W dan Marga T. Keduanya adalah peranakan Tionghoa, yang juga sama-sama berpendidikan kedokteran. Nama lengkap Marga T. adalah Marga Tjoa, ia lahir di Jakarta pada 27 Januari 1943. Hingga saat ini telah menerbitkan 52 novel popular Indonesia. Novel pertamanya yang melejitkan namanya adalah Karmila (1973), yang bercerita tentang seorang mahasiswi kedokteran. Novel ini ditulisnya saat ia masih duduk di bangku kuliah dan pernah dimuat di harian Kompas. Saat ini novel tersebut telah mengalami cetak ulang sebanyak 10 kali dan juga telah diangkat ke layar lebar. Novel lainnya yang juga sangat monumental adalah Badai Pasti Berlalu, karena sangat digemari maka novel ini juga telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Novel terbarunya berjudul Di Hati Aku Berlabuh, novel ini merupakan novel trilogi yang bercerita tentang cinta kasih seorang mahasiswi kedokteran Koletta. Belakang, dia lebih tertarik kepada kisah-kisah yang bernuansa detektif atau petualangan, spionase, dan juga cerita satire. (Suryadinata, 1996: 29) Sastrawan Tionghoa lainnya yang juga sangat produktif adalah Mira W.. Nama lengkapnya adalah Mira Widjaya. Ia lahir Jakarta pada tanggal 13 September 1950. Ia kini bertugas sebagai pengajar di Universitas Prof. Dr. Moestopo , sekaligus merangkap sebagai dokter di Klinik Karyawan dan Mahasiswa. Sebagaimana Marga T., ia juga sangat banyak menghasilkan novel-novel populer, kurang lebih sebanyak 50 novel dan cerita pendek telah lahir dari tangannya. Debut pertamanya dimulai dengan menulis sebuah cerita pendek yang terbit dalam majalah Femina, cerpen itu berjudul “Benteng Kasih” (1975). Ia juga menulis di beberapa majalah wanita lainnya seperti Kartini dan Dewi. (Suryadinata, 1996: 31) Baru pada tahun 1977 ia menulis novel. Novel pertamanya yang dimuat sebagai cerita bersambung berjudul ”Dokter Nona Friska”, novel keduanya terbit pada tahun 1978 yang berjudul “Sepolos Cinta Dini”, novel ini juga dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Kompas dan dibukukan oleh P.T. Gramedia (Suryadinata, 1996: 31). Dalam kebanyak novelnya, Mira W mengangkat kisah-kisah tentang perempuan dan permasalahannya yang kompleks. Kompleksitas permasalahan yang diangkatnya ini mengindikasikan kematangannya dalam bernarasi, hal ini diakui oleh Suryadinata. Tokoh-tokoh utamanya juga adalah perempuan. Tokoh perempuan yang diangkat dalam novel-novelnya merupakan representasi perempuan modern Indonesia. Citra yang dibangun adalah perempuan yang mandiri dan dewasa sehingga mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Sepertinya Mira adalah perpanjangan tangan dari Titie Said untuk menghidupkan ideologi-ideologi feminis dalam karya-karya sastra Indonesia pada masa pemapanan ini. Dua novel yang membuatnya melejit adalah Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi dan Kemilau Kemuning senja, kedua novel ini telah diangkat ke layar lebar dan laris. Pada tahun 1985, novelnya yang berjudul Merpati Tak Pernah Ingkar Janji menjadi novel terlaris pada masa itu. Novel ini bercerita tentang kisah seorang gadis yang berjanji kepada ayahnya untuk menjadi biarawati. Sementara itu, ia juga menulis novel yang kemudian menimbulkan kontroversi yang berjudul Relung-Relung Gelap Hati Sisi, novel ini mengangkat kisah tentang lesbian. Menurut Leo Suryadinarta, novel kontroversinya inilah sebagai novelnya yang paling berkarakter. Pada tahun 1988, ia kembali menerbitkan novel yang terdiri dari dua jilid. Novel ini merupakan cerita cinta Arini yang berprofesi sebagai wanita karir. Dalam cerita tersebut Arini diceritakan lebih mementingkan karir sehingga ditinggalkan oleh suaminya. Secara garis besar cerita ini mengisahkan kehidupan masyarakat Indonesia yang tinggal di
perkotaan. (Suryadinarta, 1996: 30-31) Agaknya, cerita tentang masyarakat perkotaan yang hedonis merupakan pilihan bagi para pengarang pada masa ini. b. Toety Heraty Noerhadi: Penggagas Penyair Feminis Indonesia Meskipun tidak banyak diulas dalam Ikhtisarnya, Ajib Rosidi telah memprediksikan bahwa Toeti Heraty Noerhadi merupakan salah satu penyair perempuan yang perlu dicatat debutnya dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia. Toeti Heraty dilahirkan di Bandung pada tahun 1937. Ia meninggalkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1951- 1955) untuk melanjutkan studi Psikologi di Amsterdam dan Jakarta, lulus pada tahun 1962. Lalu kegandrungannya pada filsafat mengantarkannya untuk mengambil studi filsafat di Rijk Universiteit, Leiden, Belanda dan lulus pada tahun 1974. Program doktoralnya di bidang filsafat diselesaikannya di Universitas Indonesia pada tahun 1979. Ia tercatat menjadi pengajar filsafat di Universitas Indonesia dan pernah menjabat sebagai Rektor pada Institut Kesenian Jakarta. Debutnya di dunia sastra dimulai sejak tahun 1973, saat itu ia menulis Sajak-Sajak 33 dan Nostalgi=Transendensi yang diterbitkan pada tahun 1995. Selain menulis sajak, ia juga menyunting buku puisi Belanda-Indonesia dan satu kumpulan puisi yang ditulis oleh perempuan (Harry Aveling, 2003: 276). Berikut adalah salah satu puisinya yang berjudul Post Scriptum: Post Scriptum Ingin aku tulis Sajak porno sehingga Kata mentah tidak diubah Jadi indah, pokoknya Tidak perlu kiasan lagi Misalnya payudara jadi bukit, Tubuh wanita = alam hangat Senggama = pelukan yang paling akrab Yang sudah jelas Tulis sajak itu Antara menyingkap dan sembunyi Antara munafik dan jatidiri *1995 (Harry Aveling, 2003: 215) Bagi Toeti Heraty, karya sastra membantunya membangun ruang privat bagi dirinya, di mana ia dapat mengeksplorasi imajinasi dan pemikirannya. Berbeda dengan konsep ruang privat yang dipahami oleh kaum patriarki, di mana ia menjadi ruang bagi domestifikasi perempuan dan mendukung subordinasi perempuan. Bagi Toeti, ruang privatnya adalah ketika ia mampu menciptakan keintiman dengan buku-buku dan bisa melahapnya tanpa paksaan dan hambatan, termasuk dari keluarga terdekat. Sebelum kepindahannya ke Jakarta ia bertemu dengan Asrul Sani, Mochtar Apin dan para pelukis lainnya, momen ini seperti mengeluarkannya dari rutinitas sehari-hari sebagai akademika, istri dan ibu rumah tangga dari keempat anaknya. Pertemuannya dengan para seniman di Jakarta membawanya kepada dunia baru. Iklim Jakarta membuatnya dinamis dan banyak menulis puisi. Puisi-puisinya banyak dimuat di majalah sastra Horison, Budaja Jaya dan Sastra. Kumpulan puisi-puisinya yang tersebar di beberapa majalah inilah yang kemudian dibukukannya di Sajak 33. Ia seketika menjadi satu-satunya penyair perempuan yang dapat bersanding dengan penyair laki-laki sejamannya. Menurut Teeuw, puisi-puisi bersifat sangat personal, diwarnai oleh ambiguitas dan ironi. Kegelisahan, kegairahan, konflik dan suasana batin lainnya bermain dalam larik-larik yang sugestif, tersamar dalam ungkapan puitis.
Aku liriknya dalam Post Scriptum menggambarkan kelugasan dan kematangannya, di sini ia mulai bermain dengan sensualitas dan ironi yang menantang. Sebagaimana pengamatan Teeuw, puisipuisinya menggambarkan keberpihakan yang sangat kuat terhadap perempuan dan kegemarannya terhadap kemunafikan dan ego lelaki muncul kuat di sana, hal ini dapat dilihat dalam Sajak “Dan Bunga Tenar dan Saat-saat Gelap”. Sekali lagi Toety menyuarakan kegeramannya pada sistem patriarkhi dalam Calon Arang: Perempuan Korban Patriarkhi yang dirilis pada tahun 2000. Keith Foulcher mengakui keberadaan Toeti Heraty sebagai pelopor penyair perempuan yang mampu menguak pengalaman perempuan dan perspektif perempuan dalam lirik-liriknya (Toeti Heraty, 2003: 15-16). Setelah era Toeti Heraty, tonggak sastra feminis dilanjutkan oleh para penulis perempuan yang marak bermunculan di era reformasi.
Masa Pembebasan: Kebangkitan Penulis Perempuan Masa pembebasan ditandai dengan era reformasi yang dalam kesusastraan feminis Indonesia ditandai dengan kemunculan “Saman” sebagai pemenang pertama Sayembara Mengarang Roman yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998. Novel ini ditulis oleh Ayu Utami yang lahir pada tahun 1968, berbicara tentang permasalahan kemanusiaan dan kritik terhadap dogma, moral, politik, dan seksualitas. Sejak populernya “Saman”, maka persoalan seksualitas perempuan mulai lantang dibicarakan oleh pengarangpengarang perempuan. Berangkat dari kematangan sastra feminis era “Saman”, maka bermunculanlah pengarang-pengarang perempuan populer seperti Dewi Lestari, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, dan dalam ranah sastra Islam mencuatlah nama Helvi Tiana Rosa dan Asma Nadia. Dalam perkembangan sastra Indonesia, Ayu Utami dengan novelnya “Saman (1998) dan Larung” dan Djenar Maesa Ayu dengan kumpulan cerpennya “Mereka bilang Saya Monyet dan Jangan Main-Main dengan Kelaminmu” menghadirkan sebuah ideologi dan gagasan yang sedikit ekstrim dalam mengungkapkan seksualitas perempuan. Novel tersebut diuraikan secara detail oleh Mariana Amiruddin melalui bukunya “Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutika, Feminisme, Sastra, dan Seks” (2005). Dalam analisisnya, perempuan ditampilkan dengan kemandirian, hal tersebut dapat dilihat dari interaksinya sebagai seorang individu di keluarga dan masyarakat. Kemandirian yang disajikan oleh Ayu Utami tersebut merupakan sebuah akibat dari resistensi perempuan terhadap nilai-nilai patriarkhi yang membelenggunya. Dominasi nilai-nilai patriarkhi yang mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perempuan menciptakan resistensi diri terhadap norma-norma sosial, agama dan budaya. Resistensi tersebut muncul sebagai upaya untuk melepaskan diri dari kontrol budaya dan masyarakat yang membentuknya menjadi sosok yang pasif dan tidak kreatif dalam mewujudkan kehendak dan keinginannya (Amiruddin, 2005: 25). KESIMPULAN Sastra feminis Indonesia meliputi semua karya sastra berbahasa Indonesia, baik prosa maupun puisi yang ditulis baik oleh laki-laki dan perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang perempuan serta keterkaitannya dengan laki-laki, menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, serta yang berbicara mengenai ideologi feminis di dalam karyanya tersebut. Dengan demikian ada dua kategori tulisan yang termasuk ke dalam kategori sastra feminis, pertama, karya sastra baik prosa maupun puisi yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.
Sebelum penulis menarik kesimpulan, penulis ingin mengemukakan sebuah hasil penelitian yang dilakukan Ahyar Anwar dalam disertasinya. Disertasi tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan kuat bagi pengarang perempuan Indonesia untuk melakukan fokus-fokus tematik feminis yang dikembangkan berkisar pada aspek perkawinan, pendidikan, pekerjaan, diskriminasi, dan seksualitas, sementara fenomena-fenomena politik, tidak secara kuat mengintervensi gagasan feminisme mereka. Agaknya kesimpulan yang dihasilkan oleh Anwar tersebut sejalan dengan pandangan penulis. Yang pada akhirnya perjalanan panjang kesusastraan feminis Indonesia terbagi ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah dinamika pemikiran feminis yang berkembang dari emansipasi pendidikan yang muncul sangat kuat pada novel tahun 1933-1969. Sementara Novel karya wanita Indonesia pada periode novel yang diterbitkan antara tahun 1965-1978 berada dalam era perkembangan feminisme gelombang kedua yang mulai bergerak dari isu emansipasi pendidikan menuju isu tentang marginalisasi, subordinasi, seks dan kekerasan. Sedangkan feminsime gelombang ketiga berlangsung sejak berkembangnya teknologi informasi di era tahun 1980-an, pada puncaknya menimbulkan revolusi teknologi informasi yang berdampak pada munculnya era globalisasi. Dimana, di Indonesia revolusi teknologi informasi dan globalisasi, mulai menguat pada era tahun 1990-an. Tema-tema yang berkembang adalah masalah seksualitas, kekerasan dan tubuh perempuan, dalam rangka memerdekakan diri dari eksploitasi laki-laki terhadap perempuan yang umumnya terjadi tiga aspek. Pertama, eksploitasi laki-laki terhadap perempuan melalui seks. Kedua, penindasan laki-laki terhadap perempuan melalui kekerasan dan ketiga, penguasaan laki-laki atas perempuan melalui tubuh perempuan. Kesimpulan yang dihasilkan Anwar tersebut meliputi dua kategori di atas. Sementara itu, tulisan ini memandang penting kategori pertama di mana tulisan para pengarang perempuan menjadi penting untuk digarisbawahi karena dipandang sebelah mata oleh para penikmat karya sastra. Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa telah terjadi dinamika yang cukup signifikan, di mana tema-tema yang diusung oleh para penulis perempuan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada masa pertumbuhan tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan merupakan tema-tema yang ringan tentang kesedihan, penderitaan, dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Selanjutnya masa pergolakan menghadirkan tema-tema mengenai kepahlawanan dan nasionalisme. Perempuan pada masa ini mulai menjadi tokoh sentral yang menggerakkan jalan cerita. Beberapa kritik terhadap tradisi yang kolot juga coba disuarakan oleh para penulis perempuan pada masa ini. Hingga pada masa pemapanan para penulis perempuan menunjukkan kematangannya lewat persoalan tentang kemanusiaan dan kritik terhadap dogma, moral, politik, dan seksualitas.