SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Download Penggunaan imunostimulan dari makro alga telah banyak dilakukan yaitu dari jenis Kappaphycus ...... menderita anemia, sedangkan tingginya j...

0 downloads 558 Views 1MB Size
PEMBERIAN KAPPA-KARAGENAN SECARA ORAL PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON-SPESIFIK DAN RESISTENSI TERHADAP Aeromonas hydrophila

JAKOMINA METUNGUN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pemberian KappaKaragenan secara Oral pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. untuk Meningkatkan Respons Imun Non-Spesifik dan Resistensi terhadap Aeromonas hydrophila adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Jakomina Metungun C151090111

iii

ABSTRACT JAKOMINA METUNGUN. Efficacy of orally administered kappa-carrageenan to enhance nonspecific immune responses and resistance of african catfish Clarias sp. against Aeromonas hydrophilla. Under direction of SUKENDA and SRI NURYATI. A study to evaluate the role of k-carageenan in varying dose to prevent A. hydrophilla infection was conducted. Experiment comprised by two stages. The first stage which to obtain the best dose, had performed by suplementation the kcarageenan at rate 5 g/kg, 10 g/kg, 20 g/kg of fish feed, and control. After four weeks rearing all fish except in negative group was chalenged by A. hydrophilla with consentration 108 cfu/fish that performed by means intramusculary injection. The best dose then determined according to survival and hematology assay of fish. The second stages studied about efficacy of duration administration at daily, seven days, 14 days, and 21 days of the best outcoming dose, where the efficacy determined through the growth rate and survival rate of fish during14 days postinfection. The results showed that fish in group 10g kg-1 had better performance compared to other chalenged group. The value of suvival rate, total haemoglobin, hematocrite, eritrocyte count, leucocyte count, and phagocytic activity were 95,83%; 10,40±1,25 g%; 33,47±1,47%; 2,19±0,06 (106 cell/mm3); 14,47 ± 0,96 (105 sel/mm3); and 16,35 ±1,10% respectively. Moreover, even not support survival rate of fish at best (only 71%, lower than 80% at 21 days treatment), application at 14 days had considered as the best duration administration due to it’s support to the growth rate of fish at best (28g) when compared to others. Then, it was conclude that administration at rate 10 g/kg in combination with 14 days application, had better effect to elevate the immune system of catfish. keyword : immune response, k-carageenan, A.hydrophilla, Clarias sp

iv

RINGKASAN

JAKOMINA METUNGUN. Pemberian Kappa-Karagenan secara Oral pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. untuk Meningkatkan Respons Imun Non-Spesifik dan Resistensi terhadap Aeromonas hydrophila. Dibimbing oleh SUKENDA dan SRI NURYATI. Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidaya secara intensif hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan ikan lele dumbo merupakan salah satu komoditas unggulan, sangat popular serta mempunyai prospek pasar yang baik. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal maupun internasional adalah budidaya intensif dengan padat tebar tinggi dan pemberian pakan yang intensif serta penggunaan air secara berulang, berpotensi menimbulkan stress pada ikan yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan ikan. Salah satu kendala penyebab kegagalan budidaya ikan lele adalah penyakit. Penyakit yang umumnya menyerang ikan lele adalah bakteri Aeromonas hydrophila. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian ikan lele yang tinggi dalam jangka waktu yang pendek. Pengendalian penyakit ini sering dilakukan dengan menggunakan antibiotik ataupun bahan-bahan kimia lainnya namun memberikan efek yang negatif bagi ikan, lingkungan, dan juga bagi konsumen ikan. Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lain yang mampu meningkatkan mekanisme respon spesifik dan non spesifik ikan. Penggunaan imunostimulan dari makro alga telah banyak dilakukan yaitu dari jenis Kappaphycus alvarezii yang diketahui mengandung k-karagenan yang dapat meningkatkan sistem imun ikan. Tujuan penelitian ini adalah 1). Menguji pengaruh pemberian κ-karagenan dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap infeksi bakteri A. hydrophila 2). Menguji pengaruh dosis terbaik dalam pakan terhadap perubahan parameter makroskopis dan mikroskopis. 3). Menguji durasi pemberian κ-karagenan yang efektif untuk ketahanan ikan lele terhadap infeksi bakteri A. hydrophila. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Intitut Pertanian Bogor. Tahap penelitian meliputi tiga tahap penelitian yaitu 1). pengaruh pemberian κ-karagenan dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap infeksi bakteri A.hydrophila. Tahap ini terdiri dari lima perlakuan dan tiga kali ulangan yaitu kontrol positif pakan tanpa kkaragenan, diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila, kontrol negatif pakan tanpa k-karagenan, diinjeksi PBS, 5g/kg-1 pakan, 10g/kg-1 pakan dan pemberian kkaragenan 20g/kg-1 pakan. Tahap 2). Pengaruh dosis terbaik dalam pakan terhadap perubahan parameter makroskopis dan mikroskopis. Tahap ini terdiri dari tiga perlakuan dan tiga kali ulangan yaitu kontrol negatif, kontrol positif, dan perlakuan dosis terbaik (PDT). Tahap ke-3). Menguji durasi pemberian κkaragenan yang efektif untuk ketahanan ikan lele terhadap infeksi bakteri A. hydrophila. Tahap ini terdiri dari enam perlakuan dan tiga kali ulangan yaitu Kontrol negatif (K-), Kontrol positif (K+), PB1:1 kali pemberian pada minggu I

v

(selama 7 hari), PB2: 2 kali pemberian pada minggu I dan II (selama 14 hari) dan PB3: 3 kali pemberian pada minggu I, III dan V. Hasil penelitian menunjukkan hemoglobin, hematokrit dan eritrosit total tertinggi diperoleh pada perlakuan 10gkg-1pakan yaitu berturut-turut 10,40±1,25(g%), 33,47±1,47 (%), 2,19±0,06(106 sel/mm3). Leukosit total, differensial leukosit dan aktivitas fagositik tertinggi selama penelitian juga diperoleh pada perlakuan 10 g kg-1pakan yaitu leukosit total sebesar 14,47 ± 0,96 (105 sel/mm3), limfosit sebesar 68,42±1,00%, monosit sebesar 10, 88 %, netrofil 11,58% dan trombosit 15,27%, aktivitas fagositik sebesar 16,35 ±1,10%. Dari hasil uji statistik, perlakuan 10g kg-1pakan mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 95,83% berturut-turut perlakuan A sebesar 91,67%, perlakuan C sebesar 83,33%, kontrol positif sebesar 53,33%. Sedangkan kontrol negatif sebesar 100% karena tidak disuntik bakteri A.hydrophila namun disuntik dengan PBS. Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol positif. Hal ini diduga karena pemberian k-karagenan dapat menghambat infeksi bakteri A.hydrophila sehingga dapat mempertahankan kelangsunan hidup ikan lele dumbo. Pemberian k-karagenan dengan dosis 10g kg-1 pakan dapat mencegah infeksi bakteri A.hydrophila berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan berupa radang, hemoragi dan tukak menunjukkan skoring yang rendah dimana kkaragenan dapat mencegah infeksi, membatasi penularan dan menyingkirkan jaringan yang rusak. Uji histopatologi juga menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih ringan jika dibandingkan dengan kontrol. Pemberian k-karagenan dengan durasi pemberian 14 hari selama masa pemeliharaan lima minggu mampu meningkatkan pertumbuhan mutlak ikan lele sebesar 28g dan memberikan kelangsungan hidup sebesar 71%.

Kata kunci : Kappa-karagenan, Aeromonas hydrophila, Clarias sp.

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

PEMBERIAN KAPPA-KARAGENAN SECARA ORAL PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON-SPESIFIK DAN RESISTENSI TERHADAP Aeromonas hydrophila

JAKOMINA METUNGUN

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si, M.Si

ix

Judul Proposal

Nama NIM

: Pemberian Kappa-Karagenan secara Oral pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. untuk Meningkatkan Respons Imun NonSpesifik dan Resistensi terhadap Aeromonas hydrophila : Jakomina Metungun : C151090111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sukenda, M.Sc Ketua

Dr. Sri Nuryati, S.Pi, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris

Tanggal Ujian : 15 Juni 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Lulus : 12 Juli 2012

x

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas Anugerah dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Pemberian Kappa-Karagenan secara Oral pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. untuk Meningkatkan Respons Imun Non-Spesifik dan Resistensi terhadap Aeromonas hydrophila. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program Magister Sains di Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih

dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Sukenda, M.Sc dan Dr.Sri Nuryati, S.Pi, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan dan arahan sejak pengajuan proposal penelitian, pelaksanaan penelitian sampai akhir penulisan tesis ini. 2. Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukan-masukan untuk penyempurnaan tesis ini. 3. Prof. Enang Harris selaku ketua program studi yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti pendidikan S2 di IPB. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah memberikan beasiswa Bantuan Program Pascasarjana (BPPS 2009/2010) selama mengikuti pendidikan S2. 5. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual dan seluruh civitas akademika Politeknik Perikanan Negeri Tual. 6. Bpk. Ranta sebagai teknisi Laboratorium Kesehatan Ikan (LKI) dan Rahman AKU 2009 yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian. 7. Ayahanda Johosua Metungun (Alm) dan Ibu Jomima Metungun, Ayahanda mertua Bapak Miru, Bapak Jonadap Lotwakla dan Ibunda mertua Mama Miru, Mama Yosmina Miru, yang telah memberikan doa, kasih sayang, bantuan dan semangat yang tak henti-hentinya kepada penulis. Kakak-kakak

xi

tersayang dan keluarga terima kasih atas doa, bantuan dan semangat yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan S2. 8. Suami tercinta Djemris Marnex Miru dan Anak-anakku Alstjo Leonel Marnex Miru dan Aldren Fredy Marnex Miru, terima kasih atas doa, pengertian, kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan. 9. Mba Dian Febriani dan suami Mas Mufit serta anak-anak (uni faya, Isad dan dede Zia) terima kasih atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian sampai akhir penulisan tesis ini. 10. Rekan-rekan Program studi Ilmu Akuakultur 2009 dan Persatuan Mahasiswa Maluku (Permama) serta semua pihak yang tak disebutkan satu persatu terima kasih atas bantuan dan doa yang diberikan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan

pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan serta kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, Juni 2012

Jakomina Metungun

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ohoiel Maluku Tenggara pada tanggal 01 Maret 1979, dari Bapak Alm. Johosua Metungun dan Ibu Yomima Metungun. Penulis merupakan putri kedelapan dari delapan bersaudara. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1992 di SD Kristen Ohoiel, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada tahun 1995 di SLTP Negeri 04 Tual dan Sekolah Menengah Umum pada tahun 1998 di SMU Kristen Tual . Pada tahun 2002 penulis tercatat sebagai mahasiswa di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan studi S1 dan pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Mayor Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana IPB.

xiii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................

vi

I PENDAHULUAN ...........................................................................................

1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat .................................................................................. 1.4 Hipotesis....................................................................................................

1 4 5 5

II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................

6

2.1 Rumput laut Kappaphycus alvarezii ......................................................... 2.2 Kappa-Karagenan...................................................................................... 2.3 Respon Imun Ikan ..................................................................................... 2.4 Bakteri Aeromonas hydrophila ................................................................. 2.5 Imunostimulan ..........................................................................................

6 6 7 9 10

III METODE PENELITIAN ................................................................................

14

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 3.2 Persiapan Penelitian .................................................................................. 3.2.1 Ekstraksi Rumput Laut ................................................................... 3.2.2 Penyediaan Suspensi Bakteri A.hydrophila .................................... 3.3 Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 3.4 Pemerikasaan Parameter Penelitian .......................................................... 3.4.1 Pengambilan Sampel Darah ............................................................. 3.4.2 Pengukuran Hematokrit (Anderson & Siwicki 1993) ..................... 3.4.3 Eritrosit Total (Blaxhall & Daisley 1973) ....................................... 3.4.4 Leukosit Total (Blaxhall & Daisley 1973) ...................................... 3.4.5 Diferensial Leukosit (Amlacher 1970) ............................................ 3.4.6 Aktivitas Fagositik (Anderson & Siwicki 1993) ............................. 3.4.7 Histopatologi.................................................................................... 3.4.8 Kelangsungan Hidup (Effendie 1997) ............................................. 3.4.9 Pertambahan Bobot Mutlak ............................................................. 3.5 Analisis Data ............................................................................................

14 14 14 15 16 20 20 20 21 21 21 22 22 24 24 24

xiv

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 4.1 Pengaruh Pemberian K-Karagenan dengan Dosis Berbeda dalam Pakan Terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila.......................................... 4.1.1 Gambaran Darah Ikan Lele .............................................................. 4.1.2 Kelangsungan Hidup Ikan lele ......................................................... 4.2 Perubahan Parameter Makroskopis dan Mikroskopis Ikan Lele Pasca Infeksi Bakteri A.hydrophila .................................................................... 4.2.1 Gejala Klinis ..................................................................................... 4.2.2 Histopatologi .................................................................................... 4.3 Durasi Pemberian K-Karagenan yang Efektif untuk Ketahanan Ikan Lele terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila ............................................. 4.3.1 Kelangsungan Hidup Ikan Lele ....................................................... 4.3.2 Pertumbuhan Ikan Lele ....................................................................

25 25 25 36 37 37 40 44 44 45

V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................

46

5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 5.2 Saran ..........................................................................................................

46 46

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

47

LAMPIRAN ..........................................................................................................

51

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Cara penentuan skoring gejala klinis ........................................................

19

2. Persentase jumlah limfosit, monosit, netrofil dan trombosit ikan lele selama penelitian ........................................................................

34

3. Pertambahan bobot mutlak ikan lele pada perlakuan durasi pemberian k-karagenan .............................................................................

48

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Hemoglobin ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan ..............................................................................................................

28

2. Hematokrit ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan ..............................................................................................................

29

3. Eritrosit total ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan ................................................................................................

31

4. Leukosit total ikan lele selama perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan ...............................

32

5. Aktivitas fagositik ikan lele selama perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan ..............................................................................................................

38

6. Kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi bakteri A.hydrophilla Kontrol positif (K+), Kontrol negatif (K-), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan .........................................................................................

39

7. Ikan lele dumbo yang mengalami radang ......................................................

40

8. Ikan lele yang mengalami hemoragi ..............................................................

41

9. Ikan lele yang mengalami tukak ....................................................................

41

10. Skoring rata-rata gejala klinis ikan lele dumbo pasca infeksi A.hydrophila...................................................................................................

42

11. Histologi kulit ikan lele dumbo......................................................................

44

12. Histologi hati ikan lele dumbo .......................................................................

45

13. Histologi ginjal ikan lele dumbo ....................................................................

46

14. Kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi bakteri A.hydrophila ................

47

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Jumlah hemoglobin (G%) pada masing-masing perlakuan dan uji statistik ...........................................................................................................

55

2. Jumlah hematokrit (%) pada masing-masing perlakuan dan uji Statistik ..........................................................................................................

58

3. Eritrosit total (x106 sel/mm3) pada masing-masing perlakuan dan uji statistik ......................................................................................................

61

4. Leukosit total (x105 sel/mm3) pada masing-masing perlakuan dan uji statistik ......................................................................................................

65

5. Data persentase differensial leukosit dan aktivitas fagositik pada masing-masing perlakuan ..............................................................................

69

6. Kelangsungan hidup (%) ikan lele pada masing - masing perlakuan pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (Tahap I) .................................

74

7. Gejala klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele kontrol positif pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila .................................................

75

8. Skoring diameter kelainan klinis ikan lele kontrol positif pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila ...........................................................

76

9. Gejala klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele dosis terbaik pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophyla ................................................

77

10. Skoring diameter kelainan klinis ikan lele dosis terbaik pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila ...........................................................

78

11. Kelangsungan hidup (%) ikan lele pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila ......................................................................................................

79

12. Pertambahan bobot mutlak (g) ikan lele masing-masing perlakuan durasi ..............................................................................................................

80

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidaya secara intensif hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan ikan lele dumbo merupakan salah satu komoditas unggulan, sangat popular serta mempunyai prospek pasar yang baik. Beberapa kelebihan atau keunggulan lele dumbo dibandingkan dengan jenis ikan lainnya yaitu pertumbuhannya lebih cepat dan dapat mencapai ukuran lebih besar, lebih banyak kandungan telurnya serta pemeliharaan dan pemberian pakan lebih mudah (Mahyuddin 2008). Jenis ikan ini mudah dipelihara, karena tidak membutuhkan banyak pergantian air serta oksigen, sebab ikan lele mempunyai alat pernapasan tambahan berupa arborescent organ yang memungkinkannya mengambil oksigen langsung dari udara (Saanin 1968; Viveen et al. 1985 dalam Angka 2005). Ikan lele sangat digemari oleh masyarakat sehingga permintaan akan ikan lele semakin meningkat. Berdasarkan data statistik perikanan budidaya ikan lele Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Kenaikan rata-rata setiap tahunnya sebesar 39,66% dan pada tahun 2010, produksi ikan lele menjadi 242.811 ton (2010) dari 144.755 ton (2009) atau naik sebesar 67,74% (DJPB 2011). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pasar adalah budidaya intensif dengan padat tebar tinggi dan pemberian pakan yang intensif serta penggunaan air secara berulang, berpotensi menimbulkan stress pada ikan yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan ikan. Salah satu kendala penyebab kegagalan budidaya ikan lele adalah penyakit. Menurunnya kondisi pertahanan tubuh ikan akan

memudahkan

masuknya

patogen,

sehingga

memperbesar

peluang

terjangkitnya wabah penyakit ikan. Penyakit bakterial merupakan salah satu masalah yang dihadapi pada usaha budidaya ikan. Kerugian yang diakibatkan biasanya tidak sedikit yaitu antara lain berupa kematian ikan dan penurunan kualitas ikan. Salah satu penyebab utama peningkatan populasi bakteri adalah adanya pencemaran air oleh penumpukan sisa pakan dan kotoran yang membusuk pada dasar kolam. Penyakit yang sering ditemukan menginfeksi ikan-ikan air tawar, termasuk lele dumbo adalah penyakit MAS (Motile Aeromonad

2

Septicaemia) dikenal juga sebagai penyakit bercak merah (red spot disease) akibat terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila (Angka 2004) dan dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi pada ikan lele dumbo. Penyakit bercak merah dengan gejala haemorrhagic septicaemia sering timbul sebagai wabah pada ikan lele di Asia Tenggara sampai sekarang. Pertama kali wabah penyakit ini terjadi di Jawa Barat pada tahun 1980, dan menyebabkan kematian 82,2 ton dalam waktu 1 bulan (Angka et al. 1982). Pengendalian penyakit sering dilakukan dengan menggunakan antibiotik atau bahan-bahan kimia. Pemakaian antibiotik untuk jangka panjang tentu saja akan menimbulkan efek negatif baik bagi ikan, lingkungan dan bagi konsumen ikan (Vadstein 1996) serta dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik (Cheng et al. 2008). Oleh karena itu pencegahan penyakit dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kekebalan baik dengan menggunakan vaksin maupun imunostimulan telah banyak diteliti. Berbagai bahan seperti polisakarida, ekstrak tumbuhan dan beberapa nutrien semakin mendapat perhatian untuk digunakan dalam pakan sebagai imunostimulan (Misra et al. 2006; Pais et al. 2008). Bahan imunostimulan ini dapat diekstrak dari rumput laut. Dinding sel dari alga laut kaya akan polisakarida sulfat (SPs) seperti karagenan

dalam

alga

merah,

yang

memiliki

senyawa

bioaktif

yang

menguntungkan sebagai anti koagulan, antiviral, anti oksidatif, anti kanker, dan aktivitas modulasi sistem imun (Wijesekara 2011). Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lain yang mampu meningkatkan mekanisme respon spesifik dan non spesifik ikan (Anderson 1992). Banyak perhatian telah ditujukan mengenai penggunaan imunostimulan pada akuakultur untuk mengendalikan infeksi penyakit (Bricnell & Dalmo 2005), diantaranya penggunaan makroalga laut. Indonesia sebagai negara tropis, mempunyai perairan yang luas dengan rumput laut yang berlimpah dan bahkan secara intensif telah dibudidayakan. Diantara rumput laut tersebut, yang banyak dibudidayakan adalah Kappaphycus alvarezii (Anggadiredja 2006). Kkaragenan sangat penting digunakan pada industri pangan, farmasi, kosmetika dan bioteknologi. Bahkan penggunaan k-karagenan sebagai imunostimulan telah dikembangkan di negara sub tropis seperti di Taiwan. K-karagenan tersebut

3

telah dilaporkan dapat memodifikasi beberapa komponen sistem imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri (Castro et al. 2006). Beberapa studi telah menguji pemakaian imunostimulan pada organisme akuatik untuk meningkatkan imunitas dan ketahanan terhadap patogen dengan penggunaan makro alga laut. Pemberian imunostimulan yaitu lipopolisakarida, levamisol dan S. cerevisiae dengan dosis pemaparan selama 10 menit dapat meningkatkan respon non spesifik (respon seluler) yakni lekosit (total dan jenisjenis lekosit), aktivitas fagositik respon seluler, respon spesifik (humoral) yakni antibodi terhadap infeksi bakteri A. hydrophila (Alifuddin 1999). Penggunaan imunostimulan sebagai pakan suplemen dapat meningkatkan pertahanan alami ikan sehingga resisten terhadap patogen selama periode strees (Kumari dan Sahoo 2006). Penambahan S. plantesis dalam pakan dengan dosis 4% kg-1 pakan, periode pemberian diskontinyu dan lama pemberian 28 hari, dapat meningkatkan ketahanan tubuh ikan koi terhadap virus herpes dengan prosentase ikan terinfeksi 20% (Amrullah 2004). Imunostimulan mengaktifkan mekanisme pertahanan non spesifik, cell-mediated immunity dan respon imun spesifik. Pemberian kitosan pada ikan lele memberikan respon imun non-spesifik yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Pemberian kitosan meningkatkan jumlah eritrosit, leukosit dan kadar hematokrit, hemaglobin dan indeks fagositik ikan. Disamping itu prosentase limfosit, netrofil, monosit dan trombosit pada lebih baik pada ikan-ikan yang diberi kitosan dibandingkan ikan kontrol dengan prosentase tertinggi pada kelompok ikan yang diberi kitosan 6 µg/g (Sukenda et al. 2008). Jasmanindar (2009), ekstrak Gracilaria verrucosa memiliki kemampuan untuk menstimulasi sistem ketahanan pada udang Litopenaeus vannamei. Pemberian ekstrak G.verrucosa yang berulang dengan interval waktu tertentu yaitu 2 kali pemberian selama 30 hari pemeliharaan mampu memberikan kelangsungan hidup hingga 86%. Suryati (2010) menyatakan bahwa pemberian kkaragenan melalui injeksi dapat meningkatkan respon imun non spesifik pada ikan lele dumbo, yang terukur dari kadar hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih, diferensial leukosit dan indeks fagositik. Selanjutnya pemberian k- karagenan dapat mencegah perkembangan infeksi

4

bakteri Aeromonas hydrophila berdasarkan gejala klinis maupun histopatologi pada organ kulit, ginjal dan hati, dengan tingkat kerusakan yang lebih ringan. Penggunaan k-karagenan sangat berpotensi untuk pengendalian penyakit. Disamping itu, k-karagenan sangat aman digunakan dalam kontrol penyakit sebab bahan ini selain tidak meninggalkan residu dalam tubuh, juga tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, sangat diperlukan penelitian tentang k-karagenan sebagai

imunostimulan terhadap

respon imun non-spesifik dan resistensi penyakit pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) melalui pakan. 1.2 Perumusan Masalah Mortalitas yang tinggi pada ikan lele yang terserang penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) merupakan masalah utama dalam kegiatan budidaya. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya ketahanan tubuh ikan dan faktor lingkungan yang buruk sehingga memicu terjadinya penyakit yang diakibatkan oleh bakteri A. hydrophila. Alternatif yang dapat dilakukan untuk menghindari mortalitas yang tinggi pada budidaya ikan lele dumbo, adalah pengendalian serangan penyakit dengan menggunakan imunostimulan.

Penggunaan imunostimulan telah menarik

perhatian dan telah dilakukan sebagai suatu pendekatan yang lebih ramah lingkungan terhadap pengendalian penyakit ikan (Raa 1996; Sakai 1999; Peddie et al. 2002). Bahan imunostimulan ini dapat diekstrak dari rumput laut.

K-

karagenan adalah jenis karagenan yang diekstrak dari Kappaphycus alvarezii dan Gigartina radula (Renn 1997). Pemberian imunostimulan harus memperhatikan dosis optimal yang digunakan (Anderson 1992), karena dosis yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan, dan dosis yang rendah bisa tidak efektif atau tidak cukup untuk memberikan respon imun.

Disamping itu juga durasi periode pemberian

imunostimulan untuk mencapai proteksi yang optimal juga merupakan hal yang penting dalam pemberian imunostimulan (Couso et al. 2003). Menurut Cheng et al. 2004 bahwa pemberian imunostimulan secara berkelanjutan diperlukan untuk lebih memberikan kemampuan imun. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

5

untuk menguji pengaruh κ-karagenan yang diekstrak dari rumput laut K.alvarezii dalam meningkatkan respon imun dan ketahanan ikan lele dumbo (Clarias sp.) terhadap serangan bakteri A. hydrophila melalui pakan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitan ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji pengaruh pemberian κ-karagenan dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap infeksi bakteri A. hydrophila. 2. Menguji pengaruh dosis terbaik dalam pakan terhadap perubahan parameter makroskopis dan mikroskopis pada ikan lele dumbo. 3. Menguji durasi pemberian κ-karagenan yang efektif untuk ketahanan ikan lele terhadap infeksi bakteri A. hydrophila. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang dosis κkaragenan yang optimal dan durasi pemberian κ-karagenan yang efektif untuk ketahanan ikan lele terhadap infeksi bakteri A. hydrophila. Sehingga penggunaan k-karagenan pada budidaya ikan lele dapat mengatasi permasalahan penyakit.

1.4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah pemberian k-karagenan melalui pakan dengan dosis dan durasi pemberian yang tepat dapat meningkatkan respon imun non spesifik dan resistensi bakteri Aeromonas hydrophila

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii) Rumput laut (Sea weed) adalah ganggang berukuran besar atau macro algae yang merupakan tanaman tingkat rendah atau termasuk dalam devisi thallophyta. Marfologi tanaman ini hanya terdiri dari thallus, tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Fungsi ketiga bagian tersebut digantikan oleh thallus (Meiyana et al. 2001). Jenis-jenis rumput laut yang telah di budidayakan di Indonesia antara lain : Eucheuma denticulatum, Kapaphycus alvarezii, Gracilaria verucosa, G. gigas, G. lichenoides dan G. corifervoides (Angadiredja et al. 1996). Rumput laut jenis Kapaphycus alvarezii atau dikenal dengan Eucheuma cotonii adalah salah satu jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan karena jenis ini banyak mengandung karagenan yang tinggi, sehingga banyak digunakan pada industri makanan, farmasi dan kosmetik (Meiyana et al. 2001). Rumput laut mengandung beberapa kandungan penting seperti agar-agar, karagenan dan alginat.

2.2 Kappa-Karagenan Karagenan merupakan senyawa polisakarida yang tersusun dari unit DGalaktosa dan L-Galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa yang dihubungkan oleh ikatan 14 glikosilik. Setiap unit galaktosa mengikat gugus sulfat. Jumlah sulfat pada karagenan lebih kurang 35,1%. Berdasarkan strukturnya karagenan dibagi menjadi tiga jenis yaitu kappa, iota dan lamda karagenan. Kappa-karagenan tersusun dari (1- >3) D–Galaktosa–4 sulfat dan (1 - > 4) 3,6 anhydro–D– Galaktosa. Iota karagenan mengandung 4–sulfat ester pada setiap residu D– galaktosa dan 2 sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro D–Galaktosa, sedangkan lamda karagenan memiliki sebuah residu disulfhated (1 – 4) D– Galaktosa (Akbar et al. 2001). Kadar k-karagenan dalam setiap species Kappaphycus alvarezii berkisar antara 54%-73% di Tanzania, sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5 % - 67,5 % (Atmadja et al. 1996 dan Silva et al. 1996).

7

Dinding sel dari alga laut kaya akan polisakarida sulfat (SPs) seperti karagenan

dalam

alga

merah,

yang

memiliki

senyawa

bioaktif

yang

menguntungkan sebagai anti koagulan, antiviral, anti oksidatif, anti kanker, dan aktivitas modulasi sistem imun (Wijesekara 2011). Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktivitas immunomodulatory telah diketahui dari beberapa penelitian polisakarida dari beberapa spesies rumput laut dapat menstimulasi aktivitas respiratory burst dari fagosit turbot, proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro et al. 2006). Metabolit primer yang umumnya merupakan senyawa poliskarida dan bersifat ”Hidrokoloid” seperti karagenan, agar, alginate dan turcelaran digunakan sebagai senyawa ”additive” dalam industri farmasi. Metabolit primer asam-asam amino sebagai sumber gizi, serta metabolit sekunder yang merupakan senyawa ”bioactive substances” dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat (Angadiredja et al. 1996). Fungsi utama karagenan antara lain sebagai pengatur keseimbangan, bahan pengental pembentuk gel dan pengemulsi. (Akbar et al. 2001). Beberapa penelitian tentang penggunaan karagenan, antara lain menggunakan ekstrak panas dari G. amansii dan G. tenuistipitatai dan karagenan menunjukan pengaruh positif pada ketahanan ikan dan udang terhadap infeksi patogen (Fujiki et al. 1992 ; Hou dan Chen 2005 ; Fujiki et al. 1997a ; Fujiki et al. 1997b), dan terjadi peningkatan Total Hemocyte Count (THC), aktivitas Phenoloxsidase pada L. vanamei melalui injeksi, perendaman dan pengaturan pada pakan dengan ekstraksi dari G. amansii dan peningkatan ketahanan terhadap injeksi bakteri Vibrio alginolyticus (Fu et al. 2007).

2.3 Respon Imun Ikan Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun adalah gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi sedangkan imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sistem pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik

8

(adaptive/acquired) (Baratawidjaja 2006). Aktivitas respon imunitas tersebut dapat distimulasi oleh imunostimulator (Anderson 1992). Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid (organ yang merespon antigen) yang menyatu dengan jaringan myeloid (organ penghasil darah) dan dikenal dengan nama jaringan limfomyeloid. Jaringan tersebut dibentuk dari jaringan granolopoietik yang kaya dengan enzim lisozim yang diduga mempunyai peranan penting dalam reaksi kekebalan tubuh. Organ limfomyeloid pada ikan teleostei adalah limpa, timus dan ginjal anterior (Fange 1982). Produknya berupa sel-sel darah dan respon pertahanan seluler dan humoral (Anderson 1992). Ada beberapa substansi sel dan organ yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh suatu organisme. Elemen-elemen tersebut sering disebut dengan sistem kekebalan (immune system). Organ yang termasuk dalam sistem kekebalan adalah sistem “Reticulo Endothelial” , limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu. Sistem reticulo endothelial pada ikan terdiri atas : bagian anterior ginjal, thymus, limfa (spleen), dan hati (pada awal perkembangan). Suatu jaringan yang menyerupai jaringan limfoid pada usus ikan diduga mempunyai peranan dalam mekanisme kekebalan tubuh. Sel yang berperan dalam sistem tanggap kebal terdiri dari dua jenis sel limfosit yaitu limfosit –B dan limfosit-T. Aktivitas yang pasti dari sel –T pada ikan belum banyak diketahui tapi yang jelas peran utamanya adalah dalam sistem kekebalan seluler dan biasanya disebut dengan keimunan perantara sel (cell mediated immunity). Sel –B berperan dalam produksi imunoglobulin melalui rangsangan pada limfa dan mungkin hati pada ikan. Ikan tidak memiliki nodulus limfatikus (Supriyadi 1995). Mekanisme pertahanan tubuh dari hewan yang paling sederhana ialah fagositosis (Supriyadi 1995). Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam pertahanan nonspesifik

adalah

sel

mononuklear

(monosit

dan

makrofag)

serta

polimorfonuklear atau granulosit. Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempresentasikannya kepada sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji (APC). Fagositosis yang efektif pada invasi kuman dini akan dapat mencegah timbulnya infeksi (Baratawidjaja 2006).

9

Selanjutnya dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut: kemotaksis, menangkap, memakan, fagositosis, memusnahkan dan mencerna (Baratwidjaja 2006). Supriyadi (1995), mengungkapkan bahwa antibodi atau zat anti adalah suatu senyawa protein (gama-globulin, immunoglobulin) yang terbentuk karena adanya antigen (benda asing) yang masuk kedalam tubuh. Sifat dari antibodi yang dihasilkan biasanya sangat spesifik artinya hanya dapat bereaksi terhadap suatu organisme yang memiliki susunan molekul yang sama dengan perangsangnya (antigen asal). Antibodi memiliki tiga fungsi, yaitu 1) menetralisasikan toksin agar tidak lagi bersifat toksik, 2) mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen dan 3) membusukan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya. Antibodi akan terbentuk jika sel limfosit (sel B) telah berfungsi dengan baik (Yahya 2000). Mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara pertahanan humoral dan seluler dimungkinkan oleh adanya interleukin, interferon dan sitokin dan berfungsi sebagai komunikator dan amplikasi dalam mekanisme pertahanan humoral dan selular ikan (Anderson 1992).

2.4 Bakteri Aeromonas hydrophila Aeromonas hydrophila merupakan bakteri bersifat gram negatif, berbentuk batang, motil. Irianto (2005), mengungkapkan bahwa Aeromonas hydrophila merupakan agensia penyebab hemoragik septikemia (Bakterial Hemorrhagic Septicemia, BHS) atau MAS (Motile Aeromonas hydrophila) pada beragam spesies ikan air tawar. Menurut Kabata (1985), Aeromonas hydrophila berukuran panjang berkisar antara 1.0 – 1,5 µ. Bakteri ini bersifat motil (bergerak aktif) dengan satu flagela polar yang terletak pada bagian ujung, dan dapat berkembang biak dengan baik pada medium Tryp Soy Agar (TSA) pada suhu kamar (20-300C). Irianto (2005) mengungkapkan bahwa Aeromonas hydrophila merupakan patogen oportunistik. Dikenal sebagai patogen fakultatif yang masuk ke jaringan ikan yang stres berat dan secara fisik lemah oleh penyebab penyakit lain (Plumb et al. 1976). Faktor stres lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas air

10

yang buruk, mempertinggi perkembangan penyakit. Faktor-faktor tersebut diantaranya suhu air tinggi, kadar amonia dan nitrat tinggi, gangguan pH, dan oksigen terlarut rendah. Kepadatan parasit dan ikan yang tinggi, beban bahan organik di air yang tinggi, aktivitas pemijahan, penanganan dan transportasi yang kasar juga dapat memicu timbulnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Camus et al. 1998). Ikan yang terserang bakteri ini biasanya memperlihatkan gejala-gejala berupa: warna tubuh ikan menjadi gelap, kemampuan berenang menurun, mata ikan rusak dan agak menonjol, sisik terkuak, seluruh siripnya rusak, insang berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-megap di permukaan air, insangnya rusak sehingga sulit bernapas, kulit ikan menjadi kasat dan timbul pendarahan selanjutnya diikuti dengan luka-luka borok-borok, perut ikan kembung (dropsi), dan apabila dilakukan pembedahan maka akan terlihat pendarahan pada hati, ginjal, dan limpa (Kordi dan Ghufran 2004). Galur A. hydrophila menghasilkan berbagai toksin ekstraselular dan enzim ekstraselular yang disebut ECP (Extracellular Product) yang mungkin adalah faktor virulen dan virulen determinan ( Angka et al. 1995). Salah satu struktur permukaan

sel

yang

utama

pada

bakteri

gram

negatif

adalah

LPS

(lipopolisakarida) yang dikenal sebagai endotoksin. Toksin jenis ini penyebab demam dan radang pada hewan inang. LPS dari patogen ikan Aeromonas hydrophila mempunyai rantai polisakarida O dari panjang rantai homogenus, beda dengan panjang rantai heterogenus dari polisakarida galur Aeromonas lain (Dooley et al. 1985). 2.5 Imunostimulan Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lainnya yang mampu meningkatkan mekanisme respon spesifik dan non spesifik ikan (Anderson 1992). Imunostimulan merupakan bahan yang bisa menigkatkan resistensi organisme terhadap infeksi patogen (Treves-Brown 2000). Menurut Dugger and Joy (1999), mengungkapkan bahwa pemberian imunostimulan secara luas dengan maksud untuk mengaktifkan sistem imun non spesifik seperti makrofag pada vertebrata dan hemocyte pada avertebrata.

11

Penggunaan imunostimulan dilakukan pada budidaya ikan karena kemoterapi yang diberikan pada ikan menyebabkan resistensi pada bakteri tertentu. Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan imun non-spesifik. Imunostimulan penting untuk mengontrol penyakit ikan dan berguna pada budidaya ikan (Sakai 1999). Sedangkan menurut Tizard (1988), Beberapa materi atau substansi yang terlibat dalam proses spesifik adalah imunisasi akrif dan pasif, baik oleh virus, bakteri maupun cendawan, sedangkan yang non-spesifik berupa stimulasi limfosit dan makrofag. Raa et al. (1992), mengatakan bahwa masuknya imunostimulan akan merangsang makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah menjadi limfosit T dan B. Limfosit T memproduksi interferon yang akan meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat memfagositosis sel bakteri, virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke tubuh ikan. Imunostimulan akan merangsang makrofag untuk memproduksi lebih banyak lisozim dan komplemen. Interleukin menggiatkan limfosit B menjadi lebih banyak memproduksi antibodi. Ikan yang diberikan imunostimulan biasanya menunjukkan peningkatan aktifitas sel fagositik. Aktifitas sel fagositik dapat dideteksi dengan fagositosis, killing dan chemotaxis (Kajita et al. 1990). Imunostimulan yang diketahui dengan baik adalah komponen dari dinding sel bakteri, seperti lipopolysaccharide (LPS) (Goets et al. 2004). Komponen sintetis, polisakarida, ekstrak hewan dan tumbuhan atau vitamin dapat meningkatkan respon imun non-spesifik (Siwicki 1987; siwicki 1989; Hardie et al. 1991; Thampson et al. 1995). Beberapa adjuvan dan imunostimulan seperti bglukan, kitin dan polisakarida asal bakteri biasanya digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit dan untuk meningkatkan imunitas ikan (Anderson 1996; Sakai 1999). Imunostimulan dapat diaplikasikan melalui penyuntikan, perendaman atau secara oral (Jeney dan Anderson 1993; Sakai 1999; Yin et al. 2006). Komponen karbohidrat dan asam nukleat yang terdapat pada dinding bakteri gram-negatif dipercaya sebagai imunostimulan, bila dicampur ke dalam pakan akan memberikan respon kekebalan (Sakai 1998).

12

Hasil penelitian Alifuddin (1999), menunjukkan bahwa pemberian imunostimulan yaitu lipopolisakarida, levamisol dan S. cerevisiae dengan dosis 60 ppm secara perendaman selama 10 menit dapat meningkatkan: Respon non spesifik (respon seluler) yakni leukosit (total dan jenis-jenis leukosit), aktivitas fagositik respon seluler, respon spesifik (humoral) yakni antibodi terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Selanjutnya Imunostimulan tidak berpengaruh terhadap status kesehatan ikan dan tidak mengakibatkan penyimpangan kondisi fisiologi ikan; dalam hal ini dilihat dari kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit

dan

kadar

glukosa

plasma

darah.

pemaparan

imunostimulan

meningkatkan tingkat kelulushidupan ikan dan efektif terhadap bakteri Gram negatif dan bakteri Gram positif. Hasil Penelitian Junita (2002) menunjukkan bahwa Spirulina plantesis dapat meningkatkan respon kekebalan ikan patin (Pangasius djambal) yang terlihat dari meningkatnya respon kekebalan non-spesifik yang meliputi total leukosit, jenis leukosit, dan aktifitas fagositik. Pemberian Spirulina plantesis 4% secara diskontinyu memberikan hasil terbaik dalam mengingkatkan respon kekebalan dengan lama waktu pemberian satu bulan. Selanjutnya pemberian Spirulina plantesis 4% secara diskontinya menghasilkan tingkat persentase kelangsungan hidup ikan patin 76.7 % setelah diuji tantang dengan Aeromonas hydrophila. Hasil Penelitian Jasmanindar (2009) menunjukkan Ekstrak Gracilaria verrucosa memiliki kemampuan untuk menstimulasi sistem ketahanan pada udang vaname Litopenaeus vannamei. Pemberian 50 µg/g bobot udang ekstrak G verrucosa menghasilkan kelangsungan hidup udang vanamei hingga 73,3%. Dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang menunjukkan aktifitas phenoloxidase (0,42 ± 0,07 unit) dan clearance effciency (74,0 ± 3,3 %) dari hemosit udang mengalami peningkatan hingga hari keempat pengamatan, sedangkan aktifitas fagositosis (44,3 ±3,5%) mengalami peningkatan hingga hari kedua pengamatan. Pemberian ekstrak G.verrucosa yang berulang dengan interval waktu tertentu yaitu 2 kali pemberian selama 30 hari pemeliharaan sudah mampu memberikan kelangsungan hidup hingga 86,7%.

13

Hasil penelitian Suryati (2009) menunjukkan bahwa pemberian kkaragenan sebagai imunostimulan dapat meningkatkan respon imun non-spesifik pada ikan lele dumbo, yang terukur dari kadar hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih, diferensial leukosit dan indeks fagositik. Pemberian kappa karaginan dapat mencegah perkembangan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, berdasarkan gejala klinis maupun histopatologi pada organ kulit, ginjal dan hati, dengan tingkat kerusakan yang lebih ringan. Pemberian kappa karaginan secara berulang dengan frekuensi empat kali, dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan lele dumbo tertinggi yaitu 93,33±5,77% pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Dengan pemberian imunostimulan maka status kesehatan ikan dapat lebih terjaga, sehingga dapat meningkatkan produksi melalui peningkatan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi (Robertson et al. 1990; Anderson 1992). Imunostimulan tidak memperlihatkan efek samping yang negatif sebagaimana yang terjadi pada penggunaan vaksin dan antibiotik terhadap lingkungan dan konsumen (Anderson 1996; Sakai 1999).

14

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sedangkan proses pengekstraksian K. alvarezii dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Persiapan Penelitian Ikan uji yang akan digunakan adalah ikan lele dumbo dengan berat 15–30 gram yang berasal dari petani ikan lele di Ciampea Bogor. Sebelum digunakan dalam percobaan, ikan lele dipelihara dalam bak pemeliharaan yang dilengkapi dengan aerator. Selama pemeliharaan ikan diberi pakan komersial dua kali sehari dengan FR (feeding rate) 3%. Air yang akan digunakan dalam percobaan, disaring dan diendapkan, selanjutnya ditampung dalam bak fiber dan diaerasi. Wadah perlakuan yang digunakan berupa akuarium berukuran 60x30x40 cm3 yang dilengkapi peralatan aerasi. Sebelum digunakan, akuarium dibersihkan dan disterilisasi dengan kaporit 30 ppm selama 24 jam, kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Selanjutnya akuarium diisi dengan air bersih dan diaerasi.

Ikan diadaptasikan dalam akuarium selama satu minggu sebelum

perlakuan.

3.2.1 Ekstraksi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Ekstraksi K.alvarezii untuk menghasilkan κ- karagenan menggunakan metode gell press. Caranya adalah K.alvarezii kering dibersihkan dari kotoran berupa pasir, garam dan jenis-jenis rumput laut lainnya kemudian direndam selama ± 30 menit. K.alvarezii yang telah bersih direbus dalam larutan alkali KOH 8 % pada temperatur 60-90 oC selama ± 2 jam. Selanjutnya dilakukan pencucian K. alvarezii sampai netral dan direbus kembali pada suhu 90-95 oC selama ± 2 jam. Setelah direbus K. alvarezii disaring dengan vibrator screen. K.alvarezii direbus kembali dengan KCl 3 %, selama ± 15 menit dengan suhu 60oC, kemudian K.alvarezii yang telah berbentuk koloid dicetak/dijedalkan dalam

15

pan penjedal selama semalam. Koloid K.alvarezii dipotong dengan alat pemotong gel sehingga membentuk lembaran gel karagenan.

Lembaran gel karagenan

dibungkus dengan kain kemudian dipres dalam bak pengepres. Pengepresan dilakukan selama semalam dengan penambahan beban secara bertahap, sehingga diperoleh lembaran gel karagenan yang cukup tipis. Gel karagenan kemudian dijemur sampai kering sehingga membentuk lembaran seperti kertas tipis. Karagenan kertas kemudian dipotong-potong, digiling dan disaring dengan saringan halus (100 mesh size) sehingga menjadi tepung karagenan. Tepung karagenan siap untuk digunakan.

3.2.2 Penyediaan Suspensi Bakteri A. hydrophila. Bakteri A. hydrophila diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan Institut Pertanian Bogor. Sebelum digunakan untuk uji, bakteri tersebut ditingkatkan virulensinya dengan menginjeksikan kembali pada ikan hidup yang sehat dan selanjutnya diisolasi kembali dengan cara menusukkan jarum ose ke bagian kulit/ginjal kemudian dibiakkan di media TSA dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruangan. Untuk mendapatkan biakan murni maka setiap koloni bakteri yang tumbuh terpisah dan berlainan morfologinya diisolasi kembali ke dalam media TSA miring dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 24 jam. Penentuan tingkat virulensi bakteri A.hydrophila dilakukan dengan menghitung lethal dosis (LD-50), yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian ikan uji sebanyak 50 %. Uji LD-50 dilakukan dengan cara menginfeksi ikan lele dengan bakteri A.hydrophila pada konsentrasi 109 CFU/ml. Injeksi dilakukan secara intramuscular sebanyak 0,1 ml/ikan. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah ikan yang hidup dan mati sampai hari ke-7. Kemudian dilakukan penghitungan nilai LD-50 yaitu pada konsentrasi A.hydrophila 108 CFU/ml yang mematikan ikan sebanyak 50% dari populasi pada batas waktu tertentu. Regenerasi bakteri A.hydrophila untuk uji tantang dilakukan dengan mengambil satu ose bakteri diambil dari media agar miring dan diinokulasikan ke dalam erlenmeyer yang berisi media Luria Bertani (LB), kemudian diinkubasi dalam water bath shaker selama 24 jam pada suhu 29oC sebagai stok kultur untuk uji. Stok kultur disentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit pada 4oC. Supernatan

16

dipindahkan dan pelet bakteri disuspensikan dalam larutan Phosphat-Buffered Saline (PBS) sebagai stok suspensi bakteri untuk uji tantang, dan untuk aktifitas fagositik ikan lele terhadap bakteri A. hydrophila . 3.3 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini terdiri atas 3 tahap yaitu : 1). Menguji pengaruh pemberian κ-karagenan dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap infeksi bakteri A. hydrophila

2). Mengevaluasi pengaruh dosis terbaik dalam pakan terhadap

perubahan parameter makroskopis dan mikroskopis. 3). Mengevaluasi frekuensi pemberian κ-karagenan yang efektif untuk ketahanan ikan lele terhadap infeksi bakteri A. hydrophila. Tahap 1. Pengaruh Pemberian K-Karagenan dengan Dosis Berbeda Dalam Pakan terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila Tahap penelitian ini terdiri atas lima perlakuan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Adapun perlakuan pakan dicampur bubuk k-karagenan dengan dosis sebagai berikut: K (+) : Pakan tanpa k-karagenan, diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila K (-)

: Pakan tanpa k-karagenan, diinjeksi PBS

A

: Pemberian k-karagenan 5 g/kg-1 pakan, diuji tantang bakteri A.hydrophila

B

: Pemberian k-karagenan 10 g/kg-1 pakan, diuji tantang bakteri A.hydrophila

C

: Pemberian k-karagenan 20

g/kg-1 pakan, diuji tantang bakteri

A.hydrophila Pemberian pakan pada ikan dilakukan 2 kali sehari dengan FR (feeding rate) 3% dari bobot biomassa selama empat minggu setelah itu dilakukan uji tantang dengan bakteri A. hydrophila 108 CFU/ekor kecuali kelompok kontrol negatif (K-) yang hanya diinjeksi dengan PBS. Cara pencampuran k-karagenan dalam pakan adalah k-karagenan ditimbang sesuai dosis perlakuan, dilarutkan dalam sedikit air, dicampurkan kedalam pakan pellet (standar) secara merata dan dikering-anginkan dalam suhu ruang. Setelah kering, pakan di coating dengan putih telur dan dikering-anginkan kembali. Pakan siap digunakan, selanjutnya

17

sisanya dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4oC sampai saat akan digunakan. Pengambilan sampel darah dilakukan pada minggu ke-0, 1, 2, 3 dan 4. Parameter imun yang diukur yaitu : kadar hematokrit, eritrosit total, leukosit total, differensial dan aktifitas fagositik. Setelah empat minggu pemeliharan dilakukan uji tantang dengan bakteri A. hydrophila 108 CFU/ekor dan dilakukan pengamatan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan sampai hari ke14 setelah uji tantang. Skema Penelitian Tahap I Pemberian k-karagenan selama 30 hari

M0

M1

M2

M3

Uji tantang bakteri A.hydrophila

M4

Pengamatan parameter imun: (Hb, He, SDM, SDP, DL, IF)

1

14

SR (%)

Keterangan: M (Minggu); 1-14 (Hari Pengamatan)

Tahap 2. Pengaruh Dosis Terbaik dalam Pakan terhadap Perubahan Parameter Makroskopis dan Mikroskopis pada Ikan Lele Dumbo Pada tahap ini terdiri atas tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Dosis yang digunakan dalam tahap ini merupakan dosis yang memberikan hasil terbaik dari tahap penelitian sebelumnya. Adapun perlakuannya sebagai berikut: K (+) : Pakan tanpa k-karagenan, diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila K (-)

: Pakan tanpa k-karagenan, diinjeksi PBS

PDT

: Perlakuan dosis terbaik

Pemberian pakan pada ikan dilakukan 2 kali sehari dengan FR (feeding rate) 3% dari bobot biomassa selama empat minggu setelah itu dilakukan uji tantang dengan bakteri A. hydrophila 108 CFU/ekor kecuali kelompok kontrol negatif (K-) yang hanya diinjeksi dengan PBS. Pengamatan parameter makroskopis berupa gejala klinis dan diameter gejala klinis, dilakukan pada saat ikan diinjeksi dengan bakteri A. hydrophila sampai hari ke 14 setelah uji tantang.

18

Pada akhir perlakuan dilakukan pengamatan organ dalam (ginjal, hati, empedu dan limpa) untuk mengetahui kelainan klinis dengan membandingkan perubahan morfologi dan warna organ dalam ikan pada perlakuan dosis terbaik, kontrol positif, dengan perlakuan kontrol negatif. Pemeriksaan histologi dilakukan pada organ kulit, ginjal, dan hati dari ikan uji. Pemeriksaan histologi dilakukan pada organ kulit, ginjal, dan hati dari ikan uji. Sampel difiksasi dengan larutan fiksatif Davidson kemudian dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70 % setelah 24 jam. Selanjutnya dilakukan dehidrasi, clearing infiltrasi dan blocking terhadap jaringan sampel.

Blok jaringan selanjutnya diiris menggunakan mikrotom dengan

ketebalan 5 µm dan diwarnai dengan hematoxylin dan eosin (H & E). Untuk pengamatan gejala klinis, dilakukan skoring berdasarkan jenis perubahannya (Angka 2005) yaitu untuk radang diberi skor 1, hemoragi skor 2, tukak skor 3, dan mati skor 4. Berdasarkan diameter kelainan tersebut, ada tiga tingkatan nilai untuk radang, hemoragi dan tukak (Tabel 1). Tabel 1. Cara penentuan skoring gejala klinis Jenis Radang Hemoragi Tukak Mati

Skor 1 2 3 4

Kisaran Diameter (cm) 1 2 3 0,2 - 0,4 0,41- 0,6 > 0,6 0,2 - 0,4 0,41- 0,6 > 0,6 0,1 - 0,5 0,51- 1,0 > 1,0

Skor Total 1x1=1 2x1=2 3x1=3

1x2=2 1x3=3 2x2=4 2x3=6 3x2=6 3x3=9

Sumber : Angka (2005). Keterangan : skor radang = 1, diameter radang 0,5cm, maka total skor = 1 x 2 = 2 skor hemoragi = 2,diameter hemoragi 0,3 cm, maka total skor = 2 x 1=2 skor tukak = 3, diameter tukak 1,2 cm, maka skor = 3 x 3 = 9

19

Skema Penelitian Tahap II Pemberian k-karagenan selama 30 hari

M0

M1

M2

M3

Uji tantang bakteri A.hydrophila

M4

1

14

Gejala Klinis Pengamatan anatomi ikan lele Histopatologi Keterangan: M (Minggu); 1-14 (Hari Pengamatan)

Tahap 3. Durasi Pemberian k-Karagenan yang Efektif untuk Ketahanan Ikan Lele terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Penelitian tahap kedua ini terdiri dari enam perlakuan dan tiga kali ulangan. Dosis yang digunakan pada tahap ini,

merupakan dosis yang

memberikan hasil terbaik dari tahap penelitian sebelumnya. Perlakuan yang digunakan adalah periode waktu tertentu pemberian κ-karagenan dalam pakan sebagai berikut: K (+)

: Pakan tanpa k-karagenan, diuji tantang dengan bakteri

A.hydrophila K (-)

: Pakan tanpa k-karagenan, diinjeksi PBS

PB1

: Pemberian k-karagenan setiap hari selama lima minggu

PB7

: Pemberian k-karagenan selama tujuh hari pada minggu I

PB14

: Pemberian k-karagenan selama 14 hari pada minggu I dan II

PB21

: Pemberian k-karagenan selama 21 hari pada minggu I, III dan V

Pemeliharaan dilakukan selama lima minggu dan setelah itu dilakukan uji tantang dengan bakteri A. hydrophila 108 CFU/ekor kecuali kelompok kontrol negatif (K-) yang hanya diinjeksi dengan PBS. Parameter yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup ikan dan pertumbuhan. Kelangsungan hidup ikan diamati mulai hari ke-1 sampai hari ke-14 setelah uji tantang.

20

Skema Penelitian Tahap III Minggu Pemberian k-karagenan

Perlakuan PB1

:

PB7

:

0

I

II

III

Uji tantang A.hydrophila

IV

V

1

14 PB14 : PB21 : K (+) :

SR (%) …………………………………………..

Uji tantang

A.hydrophila K(-)

:

………………………………………….

Injeksi PBS

Pertumbuhan Keterangan: : Minggu pemberian k-karagenan ................. : Minggu pemberian pakan tanpa karagenan 1-14 : Hari pengamatan

3.4 Pemeriksaan Parameter Penelitian 3.4.1 Pengambilan sampel darah Alat suntik dan tabung eppendorf dibilas dengan dengan antikoagulan Nasitrat 3,8 %.

Darah ikan diambil dengan menggunakan syringe 1 ml yang

ditusukkan sampai tulang vertebrae dimana terdapat vena caudalis.

Darah

didiamkan mengalir secara kapiler lalu dihisap dengan ditarik secara perlahan. Darah yang telah diambil, dimasukkan ke dalam tabung eppendorf untuk segera diamati gambaran darahnya. 3.4.2 Pengukuran hematokrit (Anderson & Siwicki 1993) Darah dihisap menggunakan tabung mikrohematokrit berlapis heparin dengan sistem kapiler. Fungsi heparin adalah untuk mencegah pembekuan darah di dalam tabung (Amlacher, 1970). Setelah darah mencapai ¾ bagian tabung, kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan critoseal. Tabung kapiler yang telah berisi darah kemudian diputar dengan sentrifuse pada 6000 rpm selama 5 menit. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan volume benda darah terhadap volume seluruh darah menggunakan skala hematokrit.

21

3.4.3 Eritrosit Total (Blaxhall & Daisley 1973) Penghitungan dilakukan dengan mengencerkan darah dengan larutan Hayem di dalam pipet pencampur berskala maksimum 101. Dalam pipet ini terdapat bulir berwarna merah yang berfungsi sebagai pengaduk. Darah dihisap dengan pipet pencampur hingga skala 0,5 lalu dengan pipet yang sama dihisap larutan Hayem hingga skala 101. Pipet kemudian digoyang membentuk angka delapan selama 3 - 5 menit agar darah tercampur secara merata.

Sebelum

dilakukan penghitungan, larutan pada bagian ujung pipet yang tidak teraduk dibuang, selanjutnya diteteskan ke dalam haemositometer dan ditutup dengan kaca penutup, diamati di bawah mikroskop. Penghitungan dilakukan pada 10 kotak kecil haemositometer, Σ eritrosit = Σ eritrosit terhitung x 104 sel/mm3. 3.4.4 Leukosit Total (Blaxhall & Daisley 1973) Penghitungan dilakukan dengan mengencerkan darah dengan larutan Turks di dalam pipet pencampur berskala maksimum 11. Darah dicampur dengan pipet pencampur hingga skala 0,5 kemudian pipet yang sama dihisap larutan Turks hingga 11. Pipet kemudian digoyang membentuk angka delapan selama 35 menit agar darah tercampur secara merata. Sebelum dilakukan penghitungan, larutan pada bagian ujung pipet yang tidak teraduk dibuang, tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam haemositometer dan ditutup dengan kaca penutup kemudian diamati di bawah mikroskop.

Penghitungan dilakukan pada 16 kotak besar

haemositometer, Σ leukosit = Σ leukosit terhitung x 50 sel/mm3. 3.4.5 Diferensial leukosit (Amlacher 1970) Pengukuran diferensial leukosit (sel darah putih) dilakukan untuk mengetahui persentase tiap macam leukosit yang ada dalam darah. Penghitungan dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah. Darah diteteskan diatas gelas objek yang bersih (direndam metanol), kemudian ujung gelas objek kedua ditempatkan di atas gelas objek pertama hingga membentuk sudut 30o . Gelas objek kedua digeser kearah belakang menyentuh tetesan darah hingga menyebar. Kemudian gelas objek kedua digeser kearah berlawanan hingga terbentuk lapisan tipis darah, dibiarkan hingga kering. Preparat difiksasi dengan methanol absolute selama 5 menit, kemudian diangkat dan dibiarkan kering udara.

Pewarnaan

22

preparat dilakukan selama 10 menit dalam wadah pewarnaan dengan larutan Giemsa, lalu diangkat dan dibilas dengan

air mengalir dan dibiarkan kering

udara. Preparat ulas darah kemudian ditempatkan di bawah mikroskop, diteteskan minyak imersi dan diamati dengan pembesaran 1000 kali. Kemudian dihitung jenis-jenis leukosit dan dihitung persentasenya. 3.4.6 Aktivitas Fagositik (Anderson & Siwicki 1993) Pengukuran indeks fagositik dilakukan dengan cara, sebanyak 50 µl sampel darah dimasukkan ke dalam eppendorf, ditambahkan

50 µl suspensi

8

Staphylococcus aureus dalam PBS (10 sel/ml). Sampel darah dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit. Selanjutnya 5 µl sampel darah dibuat sediaan ulas dan dikeringkan udarakan, kemudian difiksasi dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan. Sediaan ulas direndam dalam pewarna Giemsa selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit yang teramati dengan rumus : Indeks Fagositik

=

(Jumlah sel fagosit yang melakukan fagositosis/jumlah sel fagosit ) x 100 %

3.4.7 Histopatologi Pengukuran parameter histopatologi dilakukan pada organ kulit, hati, dan ginjal ikan lele dumbo pada hari ke 7 setelah uji tantang. Histopatologi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan organ akibat serangan bakteri patogen. Masing-masing perlakuan diambil 1 ekor ikan sebagai sampel. Hasil preparat histopatologi dibandingkan dengan kontrol.

Jika terlihat tingkat

kerusakan jaringan pada perlakuan lebih kecil dari kontrol berarti perlakuan memberikan pengaruh dalam menekan virulensi dari patogen.

Prosedur

pembuatan preparat histopatologi melalui empat tahapan yaitu : fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan.

23

a. Fiksasi Tahap permulaan pembuatan sediaan histopatologis adalah memotong bagian tubuh ikan yang akan dijadikan sampel, lalu kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin’s. Larutan Bouin’s dibuat dari campuran asam pikrat 21 g/l, formalin 40% dan acetic acid glacial, dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Pada penelitian ini organ tubuh ikan yang diambil adalah kulit, ginjal, dan hati. Sampel dipotong dengan ukuran kira-kira 1x1 cm. Semua sampel organ direndam dalam larutan fiksatif Bouin’s selama 24 jam. Setelah difiksasi kemudian sampel direndam dalam larutan formalin 4% selama 24 jam dan alkohol 70% selama 24 jam, dengan tujuan agar sampel jaringan tidak mengeras. b. Perlakuan (processing) jaringan Potongan sampel organ diberi perlakuan berupa dehidrasi (pengambilan air) dan clearing (penjernihan), kemudian dilakukan impregnasi (penyusunan parafin) untuk kemudian jaringan siap dibuat blok (melalui proses embedding). Proses ini bertujuan untuk membuat sediaan ada dalam blok paraffin yang merupakan penunjang yang sangat diperlukan dalam proses pemotongan. Mulamula paraffin cair dituang kedalam wadah cetakan sebagai dasar pembuatan blok. Sediaan diambil dengan pinset dan diletakkan diatas dasar blok tersebut, kemudiaan bahan embedding dituang hingga memenuhi cetakan dengan sediaan di dalamnya. Blok kemudian ditempel pada holder atau blok kayu. c. Pemotongan jaringan Sediaan yang sudah diblok siap dipotong dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm dan dibuat preparat. Sebelum proes pewarnaan, dilakukan deparafinasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam Xylol I dan II masingmasing 5 menit dan dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I dan II selama 2-3 menit, alkohol 95 % selama 2-3 menit, alkohol 90% selama 2-3 menit, alkohol 80% selama 2-3 menit, alkohol 70% selama 2-3 menit, alkohol 50% selama 2-3 menit. Kemudian dilakukan proses rehidrasi yaitu proses mencuci preparat jaringan dengan aquades mengalir selama 2-3 menit.

24

d. Pewarnaan jaringan Proses

pewarnaan

preparat

jaringan

yaitu

dengan

memasukkan

preparat/sediaan ke dalam larutan pewarna hematoksilin selama 3-5 menit, dicuci dalam air mengalir. Kemudian dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam larutan pewarna eosin selama 3 detik. Untuk menghilangkan kelebihan warna, preparat dicuci dalam air mengalir selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, alkohol absolut I dan absolut II masingmasing selama 2-3 menit. Kemudian preparat jaringan ditutup dengan cover glass yang sudah ditetesi dengan entelan neu, dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC selama 24 jam. Setelah itu preparat dapat diamati dibawah mikroskop. 3.4.8 Kelangsungan hidup (Effendie 1997) Kelangsungan hidup ikan dihitung dengan menggunakan rumus : SR

=

(Nt/No) x 100%

= = =

Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Jumlah ikan yang hidup pada akhir perlakuan (ekor) Jumlah ikan pada awal perlakuan (ekor)

Keterangan : SR Nt No

3.4.9 Pertambahan Bobot Mutlak Dihitung berdasarkan rumus Zonneveld et al. 1991: Δ Pertumbuhan mutlak (g) = Rata-rata berat akhir (g) − Rata-rata berat awal (g) 3.5 Analisis Data Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari enam perlakuan dan tiga kali ulangan. Untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan terhadap parameter imun, kelangsungan hidup dan pertambahan bobot relatif, maka dianalisa keragamannya dengan menggunakan ANOVA. Bila terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan menggunakan program SPSS ver. 17. Data parameter makroskopis dan mikroskopis dianalisa secara deskriptif.

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Pemberian k-Karagenan dengan Dosis Berbeda dalam Pakan terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila

Pemberian k-karagenan sebagai imunostimulan dalam pakan yang diberikan pada ikan lele dumbo selama satu bulan pemeliharaan dan untuk pengaruh pemberian k-karagenan dapat dilihat dari tingkat kelangsungan hidup setelah dilakukan uji tantang dengan bakteri A.hydrophila. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian k-karagenan dapat dilihat dari parameter sistem imun ikan lele yaitu : hemaglobin, hematokrit, eritrosit total, leukosit total, differensial leukosit dan aktivitas fagositik. 4.1.1 Gambaran Darah Ikan Lele Kadar Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit dan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar Hb dalam darah. Hemoglobin berfungsi mengikat oksigen yang kemudian akan digunakan untuk proses katabolisme sehingga dihasilkan energi (Lagler et al. 1977). Berdasarkan pengamatan selama penelitian terhadap kadar hemoglobin didalam darah ikan lele cukup bervariasi, dapat disajikan pada Gambar 1 dan Lampiran 1. Hasil pengamatan kadar hemoglobin selama penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, kadar rata-rata hemoglobin masing-masing perlakuan sama yaitu sebesar 8,17±0,29 (g%). Pada minggu ke-1 kadar hemoglobin mengalami kenaikan dengan kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B (10 g kg-1 pakan) yaitu sebesar 9,83±0,29 (g%) selanjutnya perlakuan C (20 g kg-1 pakan) yaitu sebesar 9,17±0,76 (g%), perlakuan A (5 g kg-1 pakan) sebesar 8,67± 0,58 (g%) dan perlakuan K (kontrol) sebesar 8,47± 0,81 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan A dan C tidak berbeda nyata terhadap kadar hemoglobin akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B.

26

12,00 Hemoglobin(%)

10,00

b a a a a

a ab

8,00

b b

ab a

ab

a

ab

b a

b a

6,00

a

a

K A

4,00

B

2,00

C

0,00 0

1

2

3

4

Minggu Ke-

Gambar 1. Hemoglobin ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan

Pada minggu ke-2 hemoglobin mengalami kenaikan dengan kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 9,87±1,21 (g%) selanjutnya untuk perlakuan A sebesar 7,47±0,50 (g%), perlakuan C sebesar 8,53±0,92 (g%), dan K sebesar 9,53±0,50 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K tidak berbeda nyata terhadap kadar hemoglobin akan tetapi perlakuan A, B dan C memberikan pengaruh nyata terhadap kadar hemoglobin. Pada minggu ke-3 kadar hemoglobin untuk semua perlakuan mengalami kenaikan kecuali perlakuan K dan C. Kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 10,40±1,25 (g%) selanjutnya perlakuan K sebesar 8,67±0,61 (g%), perlakuan A sebesar 9,33±0,42 (g%), dan perlakuan C sebesar 8,83±0,29 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K dan C tidak berbeda nyata terhadap hemoglobin akan tetapi perlakuan A dan B memberikan pengaruh nyata terhadap hemoglobin. Nilai hemoglobin yang berada pada kisaran normal (baik) mengindikasikan bahwa terdapat cukup oksigen yang terikat dalam darah sehingga menggambarkan kesehatan ikan berada pada kondisi yang baik pula (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Pada minggu ke-4, hemoglobin pada semua perlakuan mengalami penurunan. Perlakuan K sebesar 6,07±0,93 (g%), perlakuan A sebesar 6,60±0,53 (g%), perlakuan B sebesar 8,60±1,44 (g%) dan perlakuan C sebesar 6,17 ± 0,29 (g%). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K, A dan C tidak berbeda nyata terhadap kadar hemoglobin akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B. Blaxhall (1973) mengatakan bahwa kadar hemoglobin yang rendah merupakan indikator bahwa ikan terkena anemia. Ikan yang mengalami anemia tidak mampu menyerap besi dalam jumlah yang cukup untuk membentuk hemoglobin. Pada kondisi ini maka akan terbentuk sel darah merah yang mengandung hemoglobin dalam jumlah yang sedikit.

27

Menurut Fujaya (2004), ada korelasi yang kuat antara hemoglobin, sel darah merah dan hematokrit, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah, maka semakin rendah pula kandungan hemaglobin dalam darah.

Kadar Hematokrit (He)

Kadar Hematokrit (g%)

Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah dan berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan dan keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan (Jawad et al., 2004 dalam Marthen, 2005). Persentase hematokrit berguna untuk melihat kondisi kesehatan ikan yaitu dengan melihat persentase volume eritrosit. Hasil pengukuran hematokrit selama penelitian dapat disajikan pada Gambar 2 dan Lampiran 2. 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00

c a a a a

a ab

b

a

c

b

a

c

b

a

b

a

b

a

a K A B C

0

1

2

3

4

Minggu Ke-

Gambar 2. Hematokrit ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan

Hasil pengamatan hematokrit menunjukkan bahwa pada minggu ke-0 semua perlakuan mempunyai nilai hematokrit yang sama yaitu sebesar 21,79±1,57(%), hal ini disebabkan karena pada minggu ke-0 belum diberi perlakuan karagenan. Pada minggu ke-1, perlakuan K sebesar 20,95±0,91(%), perlakuan A sebesar 22,58±1,61 (%), perlakuan B sebesar 27,37±1,24(%) dan perlakuan C sebesar 23,72±0,41(%). Data ini menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan K (P>0,05). Selama penelitian nilai kadar hematokrit cukup berfluktuasi. Angka et al. (1990) menyatakan bahwa hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Kisaran kadar hematokrit ikan adalah 20-30% (Bond 1979).

28

Hematokrit tertinggi selama penelitian terdapat pada minggu ke-3 yaitu pada perlakuan B sebesar 33,47±1,47(%). Dari hasil pengukuran hematokrit selama empat minggu menunjukkan bahwa perlakuan B memiliki kadar hematokrit tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan K (P>0,05). Hasil uji lanjut duncan juga menunjukkan bahwa nilai hematokrit pada perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan K, A dan C. Namun perlakuan A dan C berbeda nyata dengan perlakuan K (P<0,05). Menurut Angka et al. (1985) bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias batrachus) pada kondisi normal sebesar 30,845,5%. Kadar hematokrit ikan lele selama penelitian berada pada kisaran yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian k- karagenan dalam pakan memberikan pengaruh yang baik terhadap hematokrit darah ikan lele dumbo.

Eritrosit Total (Sel Darah Merah) Eritrosit ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval tergantung jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al. 1991). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, eritrosit total pada semua perlakuan sama yaitu 1,04±0,55 (106 sel/mm3), disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 3. Dari Gambar 3, terlihat bahwa pada minggu ke-1 terjadi peningkatan jumlah eritrosit total yaitu pada perlakuan K sebesar 1,08±0,76(106 sel/mm3), perlakuan A sebesar 1,22±0,54(106 sel/mm3), perlakuan B sebesar 1,32±0,15(106 sel/mm3), dan perlakuan C sebesar 1,23±0,12(106 sel/mm3). Dari uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan K berbeda nyata dengan perlakuan B dan C namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (P>0,05). Menurut Takashima & Hibiya (1995) menyatakan bahwa ikan normal umumnya memiliki jumlah total eritrosit sebesar 1-3 x 106 sel/mm3. Penurunan jumlah eritrosit menunjukkan terjadinya infeksi ginjal, serta rendahnya nilai eritrosit menandakan ikan menderita anemia, sedangkan tingginya jumlah eritrosit (diatas normal) menandakan ikan dalam keadaan strees (Wademeyer dan Yasutake 1977).

Total Eritrosit (106 sel/mm3

29

c

2,50 b

2,00 1,50 a a a a

a

ab b b

b

a a

a

b

a a ab

b

a

K

1,00

A

0,50

B C

0,00 0

1

2

3

4

Minggu Ke-

Gambar 3. Eritrosit total ikan lele selama empat minggu perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan Pada minggu ke-2 jumlah eritrosit total mengalami kenaikan dengan kadar rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 1,48±0,06(106 sel/mm3), selanjutnya perlakuan C sebesar 1,35±0,04(106 sel/mm3), perlakuan A sebesar 1,32±0,09(106 sel/mm3), dan perlakuan K sebesar 1,22±0,04(106 sel/mm3). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan K, A dan C tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit akan tetapi perlakuan B memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit ikan lele dumbo. Pada minggu ke-3 jumlah eritrosit terus mengalami peningkatan dimana rata-rata tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 2,19±0,06 (106 sel/mm3). Dari hasil uji lanjut duncan, perlakuan B berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya. Selanjutnya perlakuan A dan C berbeda nyata dengan perlakuan K(P<0,05). Pada minggu ke-4 semua perlakuan mengalami penurunan dimana kontrol sebesar 1,13±0,05(106 sel/mm3), perlakuan A sebesar 6 3 6 3 1,21±0,01(10 sel/mm ), perlakuan B sebesar 1,36±0,08(10 sel/mm ), dan perlakuan C sebesar 1,16±0,06(106 sel/mm3). Dari uji lanjut duncan menunjukkan bahwa perlakuan A dan B memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah eritrosit sedangkan perlakuan K dan D tidak berbeda nyata (P >0,05). Jumlah eritrosit total selama pemberian k-karagenan dalam pakan masih berada pada kisaran normal. Ketika nilai eritrosit berada dalam kisaran normal, hal ini menunjukan bahwa pemberian k-karagenan pada perlakuan tidak mengganggu kesehatan ikan namun diduga dapat meningkatkan status kesehatan ikan lele dumbo. Leukosit Total (Sel Darah Putih) Leukosit ikan terdiri dari granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari limfosit, monosit dan trombosit sedangkan agranulosit terdiri dari basofil, netrofil dan eiosinofil (Lagler et al. 1979). Leukosit ikan merupakan bagian dari sistem

30

Total Leukosit (105 sel/mm3

pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik. Hasil pengamatan leukosit total dapat disajikan pada Gambar 4 dan Lampian 4. 16 14 12 10 8 6 4 2 0

b

a a a a

a ab

b

ab

b

a a

a

c

b

b a

a

a

a

K A B C

0

1

2

3

4

Minggu Ke-

Gambar 4. Leukosit total ikan lele selama perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan

Berdasarkan Gambar 4 diatas menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, leukosit total untuk semua perlakuan sama yaitu 8,16±0,26(105sel/mm3). Pada minggu ke-1 semua perlakuan mengalami peningkatan jumlah leukosit, dimana rata-rata perlakuan A, B dan C berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K (kontrol). Jumlah leukosit total terus meningkat pada minggu ke-2 sampai pada minggu ke-3. Dari hasil uji statistik pada minggu ke-3 menunjukkan bahwa perlakuan A sebesar 12,95±0,82(105 sel/mm3), B sebesar 14,47±0,96 (105 sel/mm3) dan perlakuan C sebesar 11,84±0,75(105 sel/mm3) memberikan pengaruh nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan K sebesar 10,37(105 sel/mm3). Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh misal virus dan bakteri. Pada minggu ke-4 terjadi penurunan jumlah leukosit total, namun dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan K (P<0,05). Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah leukosit pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3, mengindikasikan bahwa k-karagenan yang diberikan melalui pakan mampu meningkatkan jumlah leukosit yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh ikan lele sehingga sistem kekebalan tubuh ikan lele dumbo juga dapat meningkat.

31

Diferensial Leukosit Differensial leukosit merupakan suatu nilai yang menggambarkan perbandingan jumlah sel leukosit (limfosit, netrofil, monosit dan trombosit) dengan jumlah seluruh sel darah putih. Hasil perhitungan differensial leukosit selama penelitian disajikan pada Tabel 2. a. Limfosit Limfosit merupakan proporsi sel darah putih terbanyak (Takashima & Hibiya 1995). Secara morfologi, limfosit berupa sel darah kecil dengan nukleus yang besar (menempati bagian terbesar dari sel) tidak bergranula dan dikelilingi sejumlah kecil sitoplasma (Chinabut et al. 1991). Berdasarkan hasil presentase jumlah limfosit yang teramati selama penelitian seperti disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase jumlah limfosit pada minggu ke-0 untuk semua perlakuan yaitu sebesar 66,45 ± 0,58%. Persentase jumlah limfosit ini terus meningkat pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 untuk semua perlakuan. Limfosit merupakan sel-sel respon pertahanan tubuh yang penting dan diklasifikasikan dalam 2 subklas : Sel B (respon imun spesifik humoral) dan Sel T(respon imun spesifik seluler). Sel B mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menjadi sel plasma yaitu sel yang memproduksi antibodi. Menurut Baratawidjaja (2006), bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler atau bakteri serta menetralisir oksidannya. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset dengan fungsi yang berlainan, salah satunya adalah sel Th1 yang berfungsi mengaktifkan makrofag (monosit) untuk menghancurkan mikroba patogen serta memusnahkan sel yang terinfeksi. Persentase jumlah limfosit tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan B dengan persentase jumlah limfosit tertinggi yaitu sebesar 68,42 ± 1,00% pada minggu ke-3. Baratawidjaja (2006) menyatakan peningkatan limfosit berperan cukup besar terhadap peningkatan respon imun atau ketahanan tubuh ikan terhadap infeksi.

32

Tabel 2. Persentase jumlah limfosit, monosit, netrofil dan trombosit ikan lele selama penelitian Perlakuan

M0

M1

M2

M3

M4

K

66,45

67,18

67,35

67,72

66,96

A

66,45

67,40

67,35

68,15

67,05

B

66,45

67,50

67,56

68,42

67,59

C

66,45

67,43

67,21

67,30

66,88

K

8,39

8,40

8,84

9,49

8,47

A

8,39

8,84

9,69

10,08

9,39

B

8,39

10,00

10,22

10,88

9,05

C

8,39

9,71

9,29

9,95

9,38

K

10,32

9,16

9,52

10,13

10,17

A

10,32

8,84

9,69

10,48

10,50

B

10,32

9,50

10,67

11,58

11,31

C

10,32

9,14

10,38

10,90

10,00

K

14,84

15,27

14,29

12,66

13,56

A

14,84

14,92

13,27

11,29

12,15

B

14,84

13,00

11,56

9,12

11,31

C

14,84

13,71

13,11

11,85

12,50

Limfosit

Monosit

Netrofil

Trombosit

b. Monosit Monosit ikan berbentuk bulat atau oval, intinya terletak di tengah sel dengan sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima & Hibia 1995). Monosit mampu masuk ke jaringan dan berdeferensiasi menjadi makrofag. Peran monosit

33

sangat penting sebagai sel fagosit utama dalam menghancurkan berbagai patogen yang menyerang dan berperan pula sebagai antigen presenting cells (APC) yang berfungsi untuk menyajikan antigen kepada sel limfosit (Kresno, 2001 ; Kollner et al. 2002). Persentase jumlah monosit yang teramati selama penelitian untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Fujaya (2004), monosit merupakan sel yang lebih kuat dalam memfagosit partikel atau antigen dibandingkan dengan neutrofil. Monosit yang berdiferensiasi menjadi makrofag di jaringan bahkan mampu memfagosit partikel yang berukuran besar dalam jumlah yang banyak hingga 100 bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase jumlah monosit pada minggu ke-0, untuk semua perlakuan sama yaitu sebesar 8,39 ±0,58%. Pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3 persentase jumlah monosit terus meningkat dengan persentase tertinggi yaitu pada perlakuan B sebesar 10,88 ± 0,58% dan pada minggu ke-4 terjadi penurunan. Ketika terjadi infeksi, terjadi alih fungsi yaitu respon imun yang bekerja terlebih dahulu adalah respon imun non spesifik berupa aktivitas fagositosis yang dilakukan oleh monosit dan neutrofil (Iwama 1996).

c. Netrofil Netrofil berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagian ruang sitoplasma dan terdapat granula dalam sitiplasmanya (Chinabut et al. 1991). Selain neutrofil terkadang dapat pula ditemukan granulosit lainnya yakni basofil dan eosinofil (Ferguson, 1989). Seperti halnya monosit, sel neutrofil berperan pula dalam respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan mikroorganisme patogen yang menyerang (Kresno, 2001 ; Kollner et al. 2002). Hasil pengamatan persentase jumlah netrofil selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase jumlah netrofil pada minggu ke-0, untuk semua perlakuan sama yaitu sebesar 10,32 ± 0,58%. Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan untuk semua perlakuan. Baratawidjaja (2006) menyatakan, sel neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi dan berpindah sangat cepat ke daerah infeksi. Dibawah kondisi normal populasi neutrofil disimpan untuk keadaan darurat di dalam jaringan limfoid dari ginjal. Ketika terjadi rangsangan sebagai akibat peradangan atau inflamasi, sel akan bermigrasi ke dalam aliran darah dan kemudian masuk ke dalam luka inflamsi. Kemudian bakteri patogen akan difagosit oleh sel tersebut lalu dimasukan dalam fagosom yang didalamnya terdapat enzim hidrolase asam, mieloperoksidase dan lisozim yang akan melisis dan mencerna sel bakteri patogen.

34

Pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 terjadi peningkatan jumlah netrofil dan cenderung tetap. Iwama (1996), menyatakan bahwa ketika awal terjadi serangan bakteri patogen, sel yang pertama kali sampai pada daerah infeksi adalah neutrofil. Neutrofil bergerak lebih cepat dibandingkan dengan monosit dan dapat sampai di daerah infeksi dalam waktu 2-4 jam.

d. Trombosit Peran trombosit yang banyak diketahui ialah hemostasis melalui pembentukan agregasi pada dinding vaskular yang rusak. Jumlah trombosit yang menurun disertai dengan perdarahan. Trombosit mempunyai peranan yang penting dalam inflamasi (Baratawidjaja 2006). Berdasarkan hasil pengamatan jumlah trombosit selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah trombosit sangat bervariasi pada semua perlakuan. Trombosit tidak umum berada dalam komponen darah pada kondisi yang normal namun apabila terjadi respon akibat perlakuan, maka jumlah trombosit dapat meningkat tajam (Fujaya 2004).

Aktivitas Fagositik Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas fagositosis selama penelitian dapat disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 6. Proses fagositosis ini umumnya dilakukan oleh sel-sel fagositosis yaitu monosit (mononuclear) dan neutrofil (polimofonuclear) (Iwama, 1996). Menurut Secombes (1996), proses fagositosis dapat terjadi dalam beberapa tahap yaitu pergerakan (kemotaksis), pelekatan partikel (antigen) pada permukaan sel, penelanan yang kemudian terjadi pembentukan fagosom, pemusnahan dan pencernaan. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ke tempat terjadinya infeksi sebagai respon terhadap berbagai faktor virulensi bakteri patogen. Sel polimofonuklear bergerak cepat dan sudah berada di lokasi infeksi/lokasi keberadaan bakteri patogen dalam waktu 2-4 jam, sedangkan monosit bergerak lebih lamban yaitu diperlukan waktu sekitar 7-8 jam. Partikel atau antigen yang terpapar akan dikenali oleh sel fagositik, kemudian ditangkap dan ditelan dengan bantuan reseptor pada membran sel. Pada proses penagkapan di bantu oleh komplemen yang menyebabkan terjadinya opsonisasi. Opsonin merupakan molekul besar yang mengikat permukaan mikroba sehingga pergerakan mikroba patogen menjadi lebih lambat dan dapat dikenal oleh reseptor permukaan monosit dan neutrofil sehingga mampu meningkatkan efisiensi proses fagositisis.

35

Dalam sel fagosit ini, antigen atau bakteri patogen akan didegradasi oleh fagolisosom. Fagolisosom merupakan enzim lisosom yang bersatu dengan fagosom. Selain lisosom penghancuran mikroba intraselular dalam hal ini bakteri patogen dapat pula terjadi karena di dalam sel fagosit (monosit dan neutrofil) terdapat berbagai bahan antimikrobial seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan mieloperoksidase. Tingkat akhir fagositosis adalah pencernaan protein, polisakarida dan lipid serta asam nukleat di dalam sel oleh enzim lisosom (Baratawidjaja 2006).

Aktivitas Fagositik (%)

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada minggu ke-0, aktivitas fagositik pada semua perlakuan sama yaitu sebesar 5,20±0,34 %. Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan aktivitas fagositik sampai pada minggu ke-3 dan pada minggu ke-4 terjadi penurunan aktivitas fagositik. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai indeks fagositik pada perlakuan A, B dan C berbeda nyata dengan perlakuan K (P<0,05). Aktivitas fagositik tertinggi terdapat pada minggu ke-3 yaitu pada perlakuan B sebesar 16,35 ±1,10%.

20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

c

bb a

b

a

b

b

c ab

b K

b

a

aa

aaaa

a

A B C

0

1

2

3

4

Minggu ke-

Gambar 5. Aktivitas fagositik ikan lele selama perlakuan pemberian k-karagenan sebesar 0g (K), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan

36

Menurut Anderson (1990) menyatakan bahwa terjadinya peningkatan aktivitas fagositik mengidikasikan terjadinya peningkatan respon imun berupa peningkatan aktivitas leukosit dalam melawan serangan patogen. Peningkatan indeks fagositik ini menunjukkan bahwa pemberian k-karagenan mampu meningkatkan respon imun dan memiliki kemampuan memproduksi sel-sel fagosit dalam darah sehingga ketika terjadi paparan mikroorganisme patogen, sel darah siap melakukan proses fagositosis.

4.1.2 Kelangsungan Hidup Ikan lele Pengamatan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi selama empat belas hari disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele tertinggi dicapai pada perlakuan control negatif (K-) sebesar 100%, hal ini dikarenakan bahwa pada kontrol negatif ikan disuntik dengan PBS tanpa diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila. Kelangsungan hidup terendah terjadi pada kontrol positif (K+) yaitu sebesar 53,33% disebabkan karena pada kontrol positif diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila tanpa diberikan k-karagenan. Pada perlakuan A, B dan C kelangsungan hidup ikan lele berturut-turut sebesar 91,67%, 95,83% dan 83,33%. Kelangsunan hidup ikan lele pada perlakuan k-karagenan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol positif, hal ini disebabkan karena pemberian k-karagenan dapat menghambat infeksi bakteri A.hydrophila sehingga dapat mempertahankan kelangsunan hidup ikan lele.

Tingkat Kelangsungan Hidup (%)

37

100 90 80 70 60

K (+)

50

K (-)

40

A

30

B

20

C

10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14

Waktu (Hari Ke-)

Gambar 6. Kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi bakteri A.hydrophilla Kontrol positif (K+), Kontrol negatif (K-), 5g (A), 10g (B) dan 20g (C) kg-1 pakan Kematian ikan lele di tandai dengan adanya radang, hemoragi dan tukak. Menurut Angka et al. (2000) bahwa A.hydrophila menghasilkan produk yang bersifat toksin sehingga menyebabkan darah mengalami hemolisis yang menyebabkan ikan lele mengalami kematian.

4.2 Perubahan Parameter Makroskopis dan Mikroskopis Ikan Lele Pasca Infeksi Bakteri A.hydrophila

4.2.1 Gejala Klinis Pengamatan parameter makroskopis pasca infeksi bakteri A.hydrophila terjadi perubahan pada anatomi organ luar dan organ dalam ikan lele. Pada anatomi organ luar terjadi perubahan yaitu tampak terjadi radang (Gambar 7) di bekas suntikan pada jam ke-6 sampai jam ke-12 kemudian pada jam 12-24 berkembang menjadi hemoragi (Gambar 8) selanjutnya menjadi tukak (gambar 9) dan sampai pada kematian. Menurut Snieszko dan Alexrod (1971) bahwa bakteri A.hydrophila berkumpul pada pembulu darah, kemudian keluar ke jaringan urat daging, berkembangbiak membentuk suatu pembengkakan yang berisi bakteri, darah dan jaringan yang mengalami nekrosis. Kematian lokal jaringan pada daerah sekitar suntikan terlihat mempunyai batas yang jelas dari daerah sekitarnya dan nampak mengalami pembengkakan, biasanya berwarna putih keabu-abuan, kuning atau

38

jingga, dikelilingi zona berwarna merah yang merupakan reaksi radang serta yang mati lebih rapuh. Menurut Roberts (1993) dalam Angka (2005) A. hydrophila yang bersifat virulen menghasilkan β-hemolisin, elastase dan mempunyai lapisan S dipermukaan sel. Hemolisin yang terlarut menyebabkan hemoragi dan merangsang terjadinya tukak kulit di ikan. Hemoragi adalah pendarahan atau keluarnya darah dari batas system kardiovaskular dan keluarnya darah yang sebenarnya dari tubuh (Fauzan 1997). Hemoragi terjadi karena bakteri dapat masuk dan menempel pada dinding pembuluh darah serta merusaknya sehingga pembuluh darah pecah dan darah keluar (Runnels et al. 1965)

a

Gambar 7 :

b

a. Ikan lele dumbo kontrol b. Ikan lele dumbo yang mengalami radang

Menurut Cahlill (1990), Tukak yang terbentuk diakibatkan oleh aktivitas proteolitik bakteri. Keadaan ini dimungkinkan oleh adanya substansi produk ekstraseluler bakteri seperti protease dan sitotoksin yang menghidrolisa dan melisis jaringan inang. Terbentuknya tukak tersebut melalui tahapan hiperemia, peradangan, nekrosis dan tukak (Plumb 1994).

a

Gambar 8 : a.b. Ikan lele yang mengalami hemoragi

b

39

a

b

Gambar 9 : a.b. Ikan lele yang mengalami tukak

Skoring Gejala Klinis

Berdasarkan hasil pengukuran diameter gejala klinis dan skoring gejala klinis (Lampiran 7-10) pasca infeksi bakteri A. hydrophila gejala yang ditimbulkan meliputi radang, hemoragi, tukak dan selanjutnya ikan mengalami kematian. Skoring gejala klinis ikan lele pada perlakuan kontrol positif pada hari ke-1 skor rata-rata 5,60 dan pada hari ke-3 mengalami kenaikan kerusakan tukak dengan skor rata-rata 9,00 selanjutnya pada hari ke-5 sampai hari ke-6 terjadi kematian sebanyak 6 ekor ikan. Pada akhir perlakuan yaitu pada hari ke-14 terlihat ikan masih mengalami tukak dengan skor rata-rata 5,67. Menurut Bullock et al. (1971) dan Meyer (1979) dalam Angka (2005), masa inkubasi penyakit ini antara 10-14 hari. Pada perlakuan dosis terbaik (10 g kg-1 pakan) pada hari ke-1 skor rata-rata 4,13 dan pada hari ke-3 mengalami kenaikan kerusakan tukak skornya mencapai 9,00 dan terdapat 1 ekor ikan mengalami kematian. Selanjutnya pada hari ke-9 mengalami penurunan kerusakan tukak dengan skor rata-rata 7,07. Pada akhir perlakuan yaitu pada hari ke-14 terlihat ikan masih mengalami tukak akan tetapi mempunyai skor rata-rata terendah yaitu 3,43. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

KK+ PDT

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14

Waktu (hari ke-)

Gambar 10. Skoring rata-rata gejala klinis ikan lele dumbo pasca infeksi A.hydrophila. K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), PDT (dosis terbaik 10 g kg-1)

40

Pada Gambar 14 diatas terlihat bahwa skor rata-rata gejala klinis menunjukkan bahwa perlakuan dosis terbaik (10g kg-1 pakan) k-karagenan dalam pakan diduga dapat meningkatkan sistem imun tubuh dan menghambat pertumbuhan bakteri. Angka (2005), bahwa pertahanan spesifik ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Enzim dan toksin yang dihasilkan oleh A.hydrophila sebagai produk ekstraseluler merupakan racun bagi ikan yang dapat menyebabkan perubahan warna dan struktur organ dalam (Lallier et al. 1984). Pengamatan terhadap parameter organ dalam ikan lele menunjukkan perubahan organ dalam pada perlakuan Kontrol negatif (K-) terlihat warna organnya dalam keadaan normal yaitu ginjal berwarna merah kecoklatan, hati berwarna merah kecoklatan, empedu berwarna hijau kebiruan dan limpa berwarna merah tua. Perlakuan K+ (kontrol positif) terlihat ginjal berwarna merah dan agak pucat sedikit membengkak, hati berwarna merah tua sedikit membengkak, empedu berwarna hijau kekuningan dan limpa berwarna merah tua agak kehitaman. Sedangkan perlakuan PDT (10 g kg1 pakan) terlihat ginjal berwarna merah kecoklatan dan agak tua, hati berwarna merah kecoklatan, empedu berwarna hijau kekuningan dan limpa berwarna merah tua dan pada perlakuan ini tidak terdapat pembengkakan pada organ dalam tersebut. Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), bakteri A.hydrophila menyebabkan rusaknya jaringan ginjal dan hati sehingga membengkak, nampak pucat berwarna hijau sedangkan ginjal membengkak berwarna merah muda. Perbaikan organ yang rusak akan berlangsung lambat apabila ikan yang terinfeksi tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik sehingga kerusakan organ biasanya akan berakhir dengan kematian.

4.2.2 Histopatologi Histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada jaringan organisme, dengan indikator histologik dapat diketahui perubahan yang terjadi pada ikan sebagai akibat dari perubahan kualitas air, penanganan ataupun karena infeksi patogen (Hinton dan Lauren 1990). Pengamatan perubahan histopatologi merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat adanya gangguan pada ikan akibat serangan patogen. Hasil pengamatan histopatologi pada organ kulit, ginjal dan hati pada akhir penelitian menunjukkan adanya kerusakan sel dan jaringan pada ikan lele dumbo dapat dilihat, sebagai berikut:

41

1. Kulit Kulit digambarkan sebagai tempat pertarungan imunologik tubuh. Reaksi imunologik cenderung terjadi di kulit dibanding di organ lain misalnya vaskulitis akut meskipun reaksi serupa juga terjadi di ginjal. Kulit merupakan alat tubuh terluas yang berperan sebagai sawar fisik terhadap lingkungan dan inflamasi. Banyak antigen asing masuk tubuh melalui kulit dan respon imun sudah diawali di kulit (Baratawidjaja 2006). Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi, pada kontrol positif ditemukan bahwa pada kulit ikan lele yang disuntikan bakteri A.hydrophila, terjadi kerusakan multifokal berupa nekrose sel dan jaringan epidermis sampai dermis dan degenerasi sel, dapat disajikan pada Gambar 11.

a

b

c

D A

N

D

N

Gambar 11 : a. Histologi kulit ikan lele dumbo kontrol negatif b. Histologi kulit ikan lele dumbo perlakuan PDT (10 g kg-1 pakan) c. Histologi kulit ikan lele dumbo kontrol positif (D = Degenerasi, N = Nekrosis, A = Atropi) 2. Hati Angka (2005), A.hydrophila mampu mengeluarkan toksin yang menyebabkan kerusakan pada organ target yaitu hati, dan ginjal serta akan menimbulkan perubahan histopatologi pada organ tersebut. Hasil pengamatan histopatologi terhadap jaringan hati, menunjukkan adanya kerusakan berupa degenerasi lemak, nekrosis dan hemoragi pada kontrol positif dengan tingkat

42

kerusakan yang berat sedangkan pada perlakuan dosis terbaik (PDT 10 gkg1 pakan) juga ditemukan degenerasi lemak, nekrosis dan hemoragi pada sel dan jaringan namun memiliki tingkat kerusakan yang lebih ringan. Pada kontrol negatif terlihat sel dan jaringan dalam keadaan normal, disajikan pada Gambar 12.

a

b

c

d

N D

Gambar 12 :

H

a. Histologi organ hati ikan lele dumbo kontrol negatif b. Histologi organ hati ikan lele dumbo dosis terbaik c, d. Histologi organ hati ikan lele kontrol positif (D = Degenerasi, N = Nekrosis, H = hemoragi)

Angka (1990) menyatakan bahwa pada ikan yang disuntik dosis 108 cfu/ml A.hydrophila, terjadi nekrosis fokal di hati, ginjal dan usus setelah 2 hari pasca suntik dan makin parah sampai hari ke-7. Degenerasi lemak yang tampak sebagai vakuola dalam sel hati menunjukkan bahwa dalam tubuh ikan terdapat ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati akibat gangguan metabolisme. Adanya peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati dapat terjadi akibat toksin yang merusak proses metabolisme lemak dengan menghambat kerja enzim sehingga mengakibatkan akumulasi lemak (Cheville 1990).

43

3. Ginjal Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi yang menyaring bahan limbah yang tidak bermanfaat dalam darah. Menurut Roumbout et al. (2005) ginjal pada ikan teleostei, berperan dalam pembentukan berbagai kelompok sel darah putih seperti monosit dan granulosit (netrofil, basofil, eosinofil). Serangan bakteri patogen dengan intensitas tinggi menyebabkan ginjal harus menjalankan fungsinya lebih berat sehingga terjadi kerusakan sel. Ginjal merupakan salah satu organ yang aktif dalam melakuan perlawanan terhadap masuknya mikroorganisme asing (patogen) melalui mekanisme makrofag dan sel limfosit di ginjal. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ ginjal, ditemukan pada kontrol negatif menunjukkan sel dan jaringan organ ginjal dalam keadaan normal sedangkan pada kontrol positif dan perlakuan dosis terbaik terlihat sel dan jaringan mengalami degenerasi dan hemoragi, disajikan pada Gambar 13.

a

c

b

H

A

Gambar 13 : a. Histologi organ ginjal ikan lele dumbo kontrol negatif b. Histologi organ ginjal ikan lele dumbo dosis terbaik c. Histologi organ ginjal ikan lele kontrol positif (D = Degenerasi H = hemoragi)

44

Hasil pengamatan histopatologi pada organ kulit, hati dan ginjal menunjukkan bahwa pada kontrol positif terjadi kerusakan sel dan jaringan yang berat jika dibandingkan dengan perlakuan dosis terbaik. Hal ini diduga karena kkaragenan yang diberikan mampu menghambat infeksi bakteri A.hydrophila dan dapat meningkatkan sistem imun ikan lele dumbo.

4.3 Durasi Pemberian K-Karagenan yang Efektif untuk Ketahanan Ikan Lele terhadap Infeksi Bakteri A.hydrophila

4.3.1 Kelangsungan Hidup Ikan Lele Pengamatan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan lele dengan durasi pemberian k-karagenan selama 37 hari setelah di uji tantang bakteri A.hydrophila dapat disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 12.

Tingkat Kelangsungan Hdup (%)

100 90 80 70

K+

60

K-

50

PB1

40 30

PB7

20

PB14

10

PB21

0 1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14

Waktu (Hari Ke-)

Gambar 14: Kelangsungan hidup ikan lele pasca infeksi bakteri A.hydrophila

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele selama pemeliharaan perlakuan pemberian k-karagenan dengan durasi yang berbeda, menunjukkan bahwa semua perlakuan PB1, PB7, PB14 dan PB21 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol (K positif). Perlakuan K negatif memberikan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi yaitu sebesar 100%. Hal ini disebabkan karena perlakuan ini tidak disuntik dengan

45

bakteri A.hydrophila akan tetapi disuntik dengan PBS. Perlakuan PB21 memberikan kelangsungan hidup sebesar 83,67%, perlakuan PB7 sebesar 71,00%, perlakuan PB1 sebesar 67,00% dan K (positif) sebesar 50,00%.

4.3.2 Pertumbuhan Ikan Lele Pertumbuhan merupakan pertambahan panjang, berat dan volume dalam satuan waktu tertentu. Berdasarkan hasil pengukuran pertambahan bobot mutlak pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 13.

Tabel 3. Pertambahan bobot mutlak ikan lele pada perlakuan durasi pemberian k-karagenan Perlakuan

Bobot Awal (g)

K PB1 PB7 PB14 PB21

18 17 17 18 17

Bobot Akhir (g) 30 33 37 46 34

Bobot Mutlak (g) 12 16 21 28 18

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kkaragenan memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan jika dibandingkan dengan kontrol. Menurut Vilela-silva et al. (2008), polisakarida sulfat diketahui memiliki fungsi sebagai faktor pertumbuhan, faktor koagulasi dan selectin binding partners dan juga berfungsi dalam fertiisasi. ketika energi nonprotein dalam pakan mampu dimanfaatkan dengan baik, maka protein pakan akan digunakan untuk pertumbuhan secara optimal (Halver dan Hardy 2002). Penggunaan k-karagenan sebagai perekat pada pakan larva Channa striatus memberikan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik (Nakagawa et al. 2007). Pertambahan bobot mutlak tertinggi yaitu pada perlakuan pemberian k-karagenan empat belas hari (PB14) sebesar 28g, selanjutnya berturut-turut perlakuan PB7 sebesar 21g, perlakuan PB21 sebesar 18g, perlakuan PB1 sebesar 16g dan kontrol (K) sebesar 12g.

46

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 1. Peran

k-karagenan

sebagai

imunostimulan

dalam

pakan

mampu

meningkatkan status kesehatan dan meningkatkan sistem imun ikan lele dumbo. Pemberian k-karagenan dengan dosis 10 g kg-1 pakan dapat meningkatkan leukosit total dan aktivitas fagositik serta memberikan kelangsungan hidup sebesar 95,83%. 2. Pemberian k-karagenan dengan dosis 10 g kg-1pakan mampu mencegah perkembangan infeksi bakteri A.hydrophila dengan melihat gejala klinis dan histopatologi pada organ kulit, hati dan ginjal dengan tingkat kerusakan yang lebih ringan. 3. Pemberian k-karagenan dengan durasi pemberian 14 hari selama masa pemeliharaan lima minggu mampu meningkatkan pertumbuhan mutlak ikan lele sebesar 28g dan memberikan kelangsungan hidup sebesar 71%.

5.2 Saran 1. Perlu dilakuan penelitian lanjutan skala lapangan untuk menguji peran kkaragenan sebagai imunostimulan terhadap respon imun non-spesifik dan resistensi penyakit pada ikan lele dumbo.

47

DAFTAR PUSTAKA Akbar S, Kurnia B, Istiqomah. 2001. Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii). Departemen Kelautan Dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut. Lampung. Alifuddin M. 1999. Peran Imunostimulan (Lopopolisakarida, Saccharomyces cereviciae dan Levamisol) Pada Gambaran Respon Imunitas Ikan Jambal Siam (Pangasius hypophthalmus Fowler). [Thesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Amlacher E. 1970. Textbook of fish Disease. DA Conroy, RL Herman (Penerjemah). TFHPubl. Neptune. New York. 302 hal. Amrullah. 2004. Penggunaan Imunostimulan Spirulina plantesis untuk Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Koi (Cyprinus carpio) Terhadap Virus herpes. [Thesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Anderson DP. 1992. Immunostimulant, adjuvant and vaccine carries in fish: applications to aquaculture. Anna.Rev. Fish Dish. 2: 281-307. Anderson DP, Siwicky AK. 1993. Basic Haematology and Serology For Fish Health Program. Paper Presented in Second Symposium on disease in Asian Aquaculture Aquatic Animal Health and Enviroment Phuket Thailand. 25 – 29. Anggadiredja JT, Irawati S dan Kusmiyati. 1996. Potensi dan Manfaat Rumput Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput Laut. Jakarta Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut. Swadaya. Jakarta. Angka SL, Pramono SU, Pasaribu F, Alifuddin M. 1982. Isolasi dan Identifikasi Jasad Renik Penyebab Epidemi Penyakit Bercak Merah pada Ikan di Jawa Barat. Buletin Perikanan . 1: 1- 14. Angka SL. 2004. Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Forum Pascasarjana 27 : 339-350. Angka SL. 2005. Kajian Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) pada Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) : Patologi, Pencegahan dan Pengobatannya dengan Fitofarmaka. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ardo L, Adams A, Jeney Z, Jeney G. 2010. Immune Responses of Resistant and Sensitive Common Carp Families Following Experimental Challenge With Aeromonas hydrophila. Fish & Shell fish Immunology 29: 111-116.

48

Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi- LIPI. Jakarta. Baratadjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 572 hlm. Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Fish Biology 5 : 577 – 581. Bricknell I, Dalmo RA. 2005. The use of immunostimulants in fish larval aquaculture. Fish shellfish Immunol 457 : 19 - 72. Castro R, Piazzon MC, Zarra I, Leiro J, Noya M, Lamas J. 2006. Stimulation of turbot phagocytes by Ulva rigida C. Agardh polysaccarides. Aquaculture 254: 9 – 20. Cheng, W., Liu, C.H., Yeh, S.T., Chen, J.C., 2004. The immune stimulatory effect sodium alginate on the white shrimp litopenaeus vannamei and its resistance against Vibrio alginolyticus. Fish and Shellfish Immunology 17: 41 – 51. Cheng AC, Tu CW, Chen YY, Nan FH, Chen JC. 2007. The immunostimulatory effects of sodium alginate and κ-carrageenan on orange-spotted grouper Epinephelus coicoides and its resistance against Vibrio alginolyticus. Fish Shellfish Immunol. 22: 197–205. Cheng CA, Chen YY, Chen CJ. 2008. Dietary Administration of Sodium Alginate and K-Carrageenan Enhances The Innate Immune Response of BrownMarbled Grouper Epinephelus fuscoguttatus and its Resistance Against Vibrio alginolyticus. Veterinary Immunology and Immunopathology 121: 206–215. [DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi Ikan Lele Perikanan Budidaya Indonesia 20072010. http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=1 52:ditjen-perikanan-budidaya-berhasil-pacu-produksiikan-lele&catid=57:berita. [17 April 2012].

Effendie MI. 1997. Metode Biologi Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. P : 30 – 31. Fujiki K, Shin DH, Nakao M, Yano T. 1997a. Protective effect of k-carrageenan against bacterial infections in carp Cyprinus carpio. Journal of Faculty of Agriculture, Kyushu University;42:113-9. Fujiki K, Shin D, Nakao M, Yano T. 1997b. Effects of κ-carrageenan on the non-specific defense systemof carp Cyprinus carpio. Fish. Sci. 63: 934–938. Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Anggota IKAPI. Yogyakarta.

49

Jasminandar Y, 2009. Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa Untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname (Litopenaeuas vannamei). [Thesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Junita. 2002. Potensi Spirulina plantesis Sebagai Imunostimulan Pada Ikan Patin (Pangasius djambal Bleeker). [Thesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kumari J, Sahoo PK. 2006. Non-Spesific Immun Respons of Healthy and Immunocompromised Asian Catfish (Clarias batracus) to Sereval Immunostimulant. Aguaculture 255:133-141. Mahyuddin K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Bogor. Misra CK, Das BK, Mukherjee SC, Pattnaik P. 2006. Effect of Long-Term Administration of Dietary Beta Glukan on Immunity, Growth and Survival of Labeo rohita Fingerlings. Aquakultur 255: 85-92. Pais R, Khushiramani R, Karunasagar I, Karunasagar I. 2008. Effect of Immunostimulants on Haemolymph Haemagglutinins of Tiger Shrimp Panaeus monodon. Aquakultur Research 38: 1339-1345. Peddie S, Zou J, Secombes CJ. 2002. Immunostimulation in the rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) following intraperitoneal administration of Ergosan. Vet. Immunol. Immunopathol. 86: 101–113. Meiyana M, Evalawati, Prihaningrum A. 2001. Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii). Departemen Kelautan Dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut. Lampung Raa J. 1996. The use of immunostimulatory substances in fish and shellfish farming. Rev. Fish. Sci. 4: 229–288. Renn D. 1997. Biotechnology and the red seaweed polysaccharide industry: status, needs and prospects. Trends Technol. 15: 9–14. Sakai M. 1999. Current Research Status of Fish Immunostimulants. Aquaculture. 172 : 63 – 92. Silva FJ, Basson PW and Moe RL. 1996. Cataloque of Benthic Marine Algae of the India Ocean. Univ. of California Press. Sukenda, Jamal L, Wahyuningrum D dan Hasan A. 2008. Penggunaan Kitosan Untuk Pencegahan Infeksi Aeromonas Hydrophila Pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7: 159–169. Suryati. 2010. Pemberian Kappa-Karaginan Untuk Meningkatkan Respon Imun Non-Spesifik dan Resistensi Penyakit pada Ikan Lele Dumbo (Clarias sp). [Thesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

50

Vilela-silva AES, Horohashi N, Maurao PAS. 2008. The structure of sulfated polysaccharides ensures a carbohydrate-based mechanism for spesies recognition during sea urchin fertilization. Int. J. Dev. Biol. 52:551-559. Wijesekara I, Pangestuti R, Kim SK. 2011. Biological Activities and Potential Health Benefits of Sulfated Polysaccharides Derived from Marine Algae. Carbohydrate polymers. 84:14-21.

51

Lampiran 1. Jumlah hemoglobin (G%) pada masing-masing perlakuan dan uji statistik

Perlakuan Ulangan M0 K 1 8,50 2 8,00 3 8,00 A 1 8,50 2 8,00 3 8,00 B 1 8,50 2 8,00 3 8,00 C 1 8,50 2 8,00 3 8,00

Total Hemoglobin M1 M2 M3 8,00 7,40 8,80 9,40 8,00 8,00 8,00 7,00 9,20 8,00 9,60 9,80 9,00 8,00 9,20 9,00 8,00 9,00 10,00 11,00 9,40 10,00 8,60 11,80 9,50 10,00 10,00 10,00 9,60 9,00 9,00 10,00 9,00 8,50 9,00 8,50

M4 6,50 6,70 5,00 6,80 6,00 7,00 7,00 9,00 9,80 6,00 6,00 6,50

Rataan/Stdev M2 M3 7,47 8,67

M0 8,17

M1 8,47

0,29 8,17

0,81 8,67

0,50 8,53

0,61 9,33

0,29 8,17

0,58 9,83

0,92 9,87

0,42 0,53 10,40 8,60

0,29 8,17

0,29 9,17

1,21 9,53

1,25 8,83

1,44 6,17

0,29

0,76

0,50

0,29

0,29

Uji Statistik Hemoglobin Minggu Ke-1 ANOVA Hemoglobin M1 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

3.340

3

1.113

2.694

.117

Within Groups

3.307

8

.413

Total 6.647 11 Ket : Nilai Sig > 0,05 = tidak berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

M4 6,07 0,93 6,60

52

Uji Lanjut Duncan a

Duncan

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N

1

2

K

3

8.4667

A

3

8.6667

8.6667

C

3

9.1667

9.1667

B

3

9.8333

.237 .066 Sig. Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Hemoglobin Minggu Ke-2 ANOVA Hemoglobin M2 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

10.543

3

3.514

4.997

.031

Within Groups

5.627

8

.703

Total 16.170 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan a

Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan

N

K

3

7.4667

A

3

8.5333

C

3

9.5333

B

3

9.8667

1

2 8.5333

Sig. .158 .099 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

53

Uji Statistik Hemoglobin Minggu Ke-3 ANOVA Hemoglobin M3 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

5.489

3

1.830

3.342

.077

Within Groups

4.380

8

.548

Total 9.869 11 Ket : Nilai Sig > 0,05 = tidak berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05

Perlakuan

N

K

3

8.6667

C

3

8.8333

A

3

9.3333

B

3

1

2

9.3333 10.4000

Sig. .321 .115 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

Uji Statistik Hemoglobin Minggu Ke-4 ANOVA Hemoglobin M4 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

12.616

3

4.205

5.087

.029

Within Groups

6.613

8

.827

Total 19.229 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

54

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05

Perlakuan

N

K

3

6.0667

C

3

6.1667

A

3

6.6000

B

3

1

2

8.6000

Sig. .510 1.000 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

55

Lampiran 2. Jumlah hematokrit (%) pada masing-masing statistik

perlakuan dan uji

Total Hematokrit Perlakuan Ulangan K

A

B

C

Rataan/Stdev

M0

M1

M2

M3

M4

M0

M1

M2

M3

M4

1

20,00

21,82

22,41

30,09

26,09

21,79

20,95

21,50

28,60

25,21

2

22,45

21,02

21,05

28,26

24,00

3

22,92

20,00

21,05

27,45

25,53

1,57

0,91

0,79

1,35

1,08

21,79

22,58

23,76

30,39

27,70

1

20,00

20,83

25,45

31,00

29,48

2

22,45

22,92

22,00

31,91

26,07

3

22,92

24,00

23,83

28,26

27,53

1,57

1,61

1,73

1,90

1,71

1

20,00

28,57

25,00

33,33

30,00

21,79

27,37

26,51

33,47

30,99

2

22,45

26,09

27,08

35,00

32,08

3

22,92

27,45

27,45

32,08

30,91

1,57

1,24

1,32

1,47

1,04

1

20,00

23,26

24,00

26,67

24,53

21,79

23,72

24,16

26,29

25,60

2

22,45

23,91

24,49

25,53

25,00

3

22,92

24,00

24,00

26,67

27,27

1,57

0,41

0,28

0,66

1,47

Uji Statistik Kadar Hematokrit Minggu Ke-1 ANOVA Hematokrit M1 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

66.868

3

22.289

17.363

.001

Within Groups

10.270

8

1.284

Total 77.138 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

56

Uji Lanjut Duncan a

Duncan

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N 1

K

3

20.9467

A

3

22.5833

C

3

B

3

2

3

22.5833 23.7233 27.3700

.115

Sig.

.253

1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Kadar Hematokrit Minggu Ke-2 ANOVA Hematokrit M2 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

37.850

3

12.617

9.311

.005

Within Groups

10.840

8

1.355

Total 48.690 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan a

Duncan

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N 1

2

21.5033

K

3

A

3

23.7600

C

3

24.1633

B

3

Sig.

3

26.5100 1.000

.682

1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

57

Uji Lanjut Duncan a

Duncan

Perlakuan

N

C K A B Sig.

3 3 3 3

Subset for alpha = 0.05 1

2

26.2900 28.6000

3

28.6000 30.3900

.081

33.4700 1.000

.160

Uji Statistik Kadar Hematokrit Minggu Ke-3 ANOVA Hematokrit M3 Sum of Squares

Df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

82.579

3

27.526

13.732

.002

Within Groups

16.037

8

2.005

Total 98.616 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

Uji Statistik Kadar Hematokrit Minggu Ke-4 ANOVA Hematokrit M4 Sum of Squares

df

Mean Square

Between Groups

63.210

3

21.070

Within Groups

14.663

8

1.833

Total

77.873

11

F 11.495

Sig. .003

58

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05

Perlakuan

N

C

3

25.2067

K

3

25.6000

A

3

27.6933

B

3

Sig.

1

2

30.9967

.063 1.000 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

3

59

Lampiran 3. Eritrosit total (x106 sel/mm3) pada masing-masing perlakuan dan uji statistik

Total SDM (x 10 6/mm3)

Rataan/Stdev

Perlakuan

Ulangan

M0

M1

M2

M3

M4

M0

M1

M2

M3

M4

K

1

1,04

1,10

1,22

1,53

1,13

1,04

1,08

1,22

1,50

1,13

2

1,10

1,15

1,18

1,38

1,08

3

0,99

1,00

1,28

1,60

1,19

0,05

0,76

0,50

1,15

0,55

1,04

1,22

1,32

2,01

1,22

A

B

C

1

1,04

1,20

1,29

2,08

1,19

2

1,10

1,17

1,43

1,93

1,12

3

0,99

1,28

1,25

2,01

1,33

0,05

0,54

0,92

0,73

1,07

1

1,04

1,35

1,55

2,13

1,28

1,04

1,32

1,49

2,20

1,36

2

1,10

1,15

1,44

2,20

1,35

3

0,99

1,45

1,45

2,26

1,45

0,05

1,53

0,61

0,63

0,88

1

1,04

1,10

1,38

1,89

1,11

1,04

1,23

1,36

1,92

1,16

2

1,10

1,23

1,30

1,95

1,16

3

0,99

1,35

1,38

1,90

1,23

0,05

1,28

0,48

0,32

0,61

Uji Statistik Sel Darah Merah Minggu Ke-1 ANOVA SDM M1 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Between Groups 10.543 3 3.514 4.997 Within Groups 5.627 8 .703 Total 16.170 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Sig. .031

60

Uji lanjut Duncan a

Duncan

Perlakuan K A C B Sig.

Subset for alpha = 0.05

N

1

3 3 3 3

2

7.4667 8.5333

8.5333 9.5333 9.8667 .099

.158

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

Uji Statistik Sel Darah Merah Minggu Ke-2 ANOVA SDM M2 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

.098

3

.033

7.575

.010

Within Groups

.035

8

.004

Total .133 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan a

Duncan

N Perlakuan

Subset for alpha = 0.05 1

K

3

1.2267

A

3

1.3233

C

3

1.3533

B

3

2

1.4800

Sig. .053 1.000 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

61

Uji Statistik Sel Darah Merah Minggu Ke-3

ANOVA SDM M3 Sum of Squares

Df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

.770

3

.257

43.651

.000

Within Groups

.047

8

.006

Total .818 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05

N Perlakuan

1

2

K

3

C

3

1.9133

A

3

2.0067

B

3

3

1.5033

2.1967

Sig. 1.000 .174 1.000 Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Darah Merah Minggu Ke-4 ANOVA SDM M4 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

.092

3

.031

4.786

.034

Within Groups

.051

8

.006

Total .143 11 Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

62

Uji Lanjut Duncan Duncana

N Perlakuan

Subset for alpha = 0.05 1

K

3

1.1333

C

3

1.1600

A

3

1.2133

B

3

Sig.

2

1.2133 1.3600

.274

.055

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

63

Lampiran 4. Leukosit total (x105 sel/mm3) pada masing-masing perlakuan dan uji statistik

Total SDP (x 10 5/mm3)

Rataan/Stdev

Perlakuan

Ulangan

M0

M1

M2

M3

M4

M0

M1

M2

M3

M4

K

1

8,39

8,71

9,17

10,78

8,65

8,17

8,61

8,76

10,38

8,62

2

8,24

8,82

7,87

10,20

8,97

3

7,87

8,29

9,24

10,15

8,25

0,26

0,28

0,77

0,35

0,36

1

8,39

9,38

9,44

12,45

10,92

8,17

9,12

9,28

12,95

10,39

2

8,24

8,38

9,03

12,50

10,50

3

7,87

9,61

9,39

13,90

9,75

0,26

0,65

0,22

0,82

0,59

1

8,39

9,48

10,55

13,50

11,24

8,17

9,93

10,67

14,47

13,00

2

8,24

10,60

10,96

14,50

13,25

3

7,87

9,71

10,49

15,42

14,50

0,27

0,59

0,26

9,63

1,64

1

8,39

9,00

9,53

14,29

9,80

8,17

8,99

9,06

11,85

9,32

2

8,24

9,43

9,30

17,75

9,32

3

7,87

8,36

8,35

14,50

8,85

0,26

0,54

0,63

7,59

0,47

A

B

C

Uji Statistik Sel Darah Putih Minggu Ke-1 ANOVA SDP M1 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

2.873

3

.958

3.343

.076

Within Groups

2.291

8

.286

Total

5.164

11

Ket : Nilai Sig ˃ 0,05 = tidak berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

64

Uji lanjut Duncan Duncana

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N

1

2

K

3

8.6067

C

3

8.9200

8.9200

A

3

9.1133

9.1133

B

3

9.9300

Sig.

.298

.057

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Sel Darah Putih Minggu Ke-2 ANOVA SDP M2 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

6.408

3

2.136

7.736

.009

Within Groups

2.209

8

.276

Total

8.617

11

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan Duncana N Perlakuan

Subset for alpha = 0.05 1

K

3

8.7567

C

3

9.0567

A

3

9.2800

B

3

Sig.

2

10.6633 .276

1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

65

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05

N Perlakuan

1

2

K

3

8.7567

C

3

9.0567

A

3

9.2800

B

3

10.6633

Sig.

.276

1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Sel Darah Putih Minggu Ke-3 ANOVA SDP M3 Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

25.748

3

8.583

19.235

.001

Within Groups

3.570

8

.446

Total

29.317

11

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan Duncana

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05 1

2

K

3

C

3

12.5000

A

3

12.9500

B

3

Sig.

3

10.3767

14.4733 1.000

.433

1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

66

Uji Statistik Sel Darah Putih Minggu Ke-4 ANOVA SDP M4 Sum of Squares Between Groups

Mean Square

33.122

3

11.041

6.824

8

.853

39.946

11

Within Groups Total

df

F

Sig.

12.943

.002

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan

N

1

2

K

3

8.6233

C

3

9.3233

A

3

10.3900

B

3

Sig.

12.9967 .055

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

1.000

67

Lampiran 5. Data persentase differensial leukosit dan aktivitas fagositik pada masing-masing Limfosit Perlakuan

M0 66,45

M1 67,18

M2 67,35

M3 67,72

M4 66,96

B

66,45

67,40

67,35

68,15

67,05

C

66,45

67,50

67,56

68,42

67,59

D

66,45

67,43

67,21

67,30

66,88

M0 8,39

M1 8,40

M2 8,84

M3 9,49

M4 8,47

A

8,39

8,84

9,69

10,08

9,39

B

8,39

10,00

10,22

10,88

9,05

C

8,39

9,71

9,29

9,95

9,38

M0 10,32

M1 9,16

M2 9,52

M3 10,13

M4 10,17

A

10,32

8,84

9,69

10,48

10,50

B

10,32

9,50

10,67

11,58

11,31

C

10,32

9,14

10,38

10,90

10,00

M0

M1

M2

M3

M4

K

14.84

13.27

12.29

11.66

12.56

A

14.84

14.92

13.27

10.29

12.15

B

14.84

13

11.56

9.12

11.31

13.71

13.11

11.85

12.5

M1

M2

M3

M4

7,58 9,61 9,92 8,79

9,39 10,61 12,05 9,58

8,51 13,12 16,35 12,53

6,58 7,06 8,89 6,95

Monosit Perlakuan K

Netrofil Perlakuan K

Trombosit Perlakuan

C 14.84 Aktivitas Fagositik Perlakuan M0 A B C D

5,2 5,2 5,2 5,2

68

Uji Statistik Aktivitas Fagositik Minggu ke-1 ANOVA Aktivitas Fagositik M1 Sum of Squares

df

Mean Square

Between Groups

9.871

3

3.290

Within Groups

3.266

8

.408

13.137

11

Total

F

Sig.

8.060

.008

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan

N

1

K

3

7.5767

C

3

8.7833

A

3

9.6067

B

3

9.9233

Sig.

2

1.000

.069

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Aktivitas Fagositik Minggu ke-2 ANOVA Aktivitas Fagositik M2 Sum of Squares Between Groups Within Groups Total

df

Mean Square

13.422

3

4.474

2.638

8

.330

16.060

11

F 13.569

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Sig. .002

69

Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan

N

1

2

K

3

9.3867

C

3

9.5800

A

3

B

3

3 9.5800

10.6033 12.0533

Sig.

.691

.061

1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji Statistik Aktivitas Fagositik Minggu ke-3 ANOVA Aktivitas fagositik M3 Sum of Squares

df

Mean Square

Between Groups

93.263

3

31.088

Within Groups

10.100

8

1.263

103.363

11

Total

F

Sig.

24.624

.000

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan a

Duncan

Subset for alpha = 0.05 Perlakuan

N

1

2

3

K

3

C

3

12.5300

A

3

13.1200

B

3

Sig.

8.5100

16.3533 1.000

.538

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

1.000

70

Uji Statistik Aktivitas Fagositik Minggu ke-4 ANOVA Aktivitas fagositik M4 Sum of Squares

df

Mean Square

Between Groups

9.609

3

3.203

Within Groups

4.061

8

.508

13.670

11

Total

F

Sig.

6.309

.017

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan

N

1

2

K

3

6.5767

C

3

6.9467

A

3

7.0633

B

3

Sig.

8.8867 .445

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

1.000

Lampiran 6 : Kelangsungan hidup (%) ikan lele pada masing-masing perlakuan pasca

infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (Tahap I) Kelangsungan Hidup (%) hari KePerlakuan

Ulangan

K (+)

K (-)

A

B

C

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1

100

100

88

88

75

63

63

63

63

2

100

100

100

75

75

75

50

50

50

3

100

88

75

75

50

50

50

50

50

1

100

100

100

100

100

100

100

100

100

2

100

100

100

100

100

100

100

100

100

3

100

100

100

100

100

100

100

100

100

1

100

100

100

88

88

88

88

88

88

2

100

100

100

100

100

100

100

100

100

3

100

100

100

100

100

88

88

88

88

1

100

100

100

100

100

100

100

100

100

2

100

100

100

100

100

100

100

100

100

3

100

100

100

88

88

88

88

88

88

1

100

100

100

100

75

75

75

75

75

2

100

100

100

88

88

88

88

88

88

3

100

100

100

100

100

88

88

88

88

Lampiran 7 : Gejala klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele kontrol positif pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila Gejala Klinis Kontrol Positif U1

U2

Hari 1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

1

1,0 (H)

1,0 (R)

1,5 (R)

1,5 (H)

1,5 (T)

1,8 (T)

1,5 (T)

2,0 (H)

2,0 (H)

1,5 (R)

2

1,7 (T)

2,0 (H)

2,0 (T)

1,5 (T)

1,5 (T)

1,8 (T)

1,5 (T)

2,2 (T)

2,2 (T)

1,5 (T)

3

2,0 (T)

2,1 (H)

2,2 (T)

2,5 (T)

1,8 (T)

2,0 (T)

1,8 (T)

2,2 (T)

2,2 (T)

1,7 (T)

4

2,5 (T)

2,5 (T)

2,2 (T)

2,5 (T)

1,8 (T)

2,1 (T)

1,8 (T)

2,5 (T)

2,2 (T)

1,7 (T)

5

2,8 (T)

2,5 (T)

2,0 (T) 2,6 (MT)

1,9 (T)

2,2 (T)

1,5 (T)

2,9 (MT)

1,9 (T)

1,6 (T)

6

2,8 (T)

2,4 (T)

1,9 (T)

-

1,9 (T)

2,0 (MT)

1,5 (T)

-

1,8 (T)

1,4 (T)

7

2,9 (MT) 2,3 (T)

1,9 (T)

-

1,7 (T)

-

1,4 (T)

-

1,8 (T)

1,4 (T)

8

-

1,9 (T)

1,7 (T)

-

1,6 (T)

-

1,4 (T)

-

1,6 (T)

1,2 (T)

9

-

1,8 (T)

1,7 (T)

-

1,4 (T)

-

1,2 (T)

-

1,6 (T)

1,2 (T)

10

-

1,5 (T)

1,5 (T)

-

1,4 (T)

-

1,2 (T)

-

1,5 (T)

0,9 (T)

11

-

1,4 (T)

1,5 (T)

-

1,2 (T)

-

0,9 (T)

-

1,3 (T)

0,7 (T)

12

-

1,4 (T)

1,3 (T)

-

1,1 (T)

-

0,9 (T)

-

1,2 (T)

0,5 (T)

13

-

1,1 (T)

1,3 (T)

-

1,1 (T)

-

0,7 (T)

-

1,0 (T)

0,5 (T)

14

-

1,1 (T)

1,1 (T)

-

0,9 (T)

-

0,5 (T)

-

0,9 (T)

0,3 (T)

Lampiran 8: Skoring diameter kelainan klinis ikan lele kontrol positif pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila Skoring Kelainan Klinis Kontrol Positif

U1

U2

U

Hari 1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

1

2

1

6

3

3

6

9

9

9

6

6

3

6

6

2

9

6

9

9

9

9

9

9

9

9

9

9

3

9

6

9

9

9

9

9

9

9

9

9

9

4

9

9

9

9

9

9

9

9

9

9

9

9

5

9

9

9

4

9

9

9

4

9

9

9

9

6

9

9

9

-

9

9

4

-

9

9

4

4

7

4

9

9

-

9

9

-

-

9

9

-

-

8

-

9

9

-

9

9

-

-

9

9

-

-

9

-

9

9

-

9

9

-

-

9

9

-

-

10

-

9

9

-

9

9

-

-

9

6

-

-

11

-

9

9

-

9

9

-

-

9

6

-

-

12

-

9

9

-

9

9

-

-

9

3

-

-

13

-

9

9

-

9

9

-

-

9

3

-

-

14

-

9

9

-

9

6

-

-

6

3

-

-

Lampiran 9 : Gejala klinis dan diameter kelainan klinis ikan lele dosis terbaik pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila Gejala Klinis Dosis Terbaik U1

U2

Hari 1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

1

1,5 (R) 2,0 (R) 1,0 (R) 0,8 (R)

2,2 (T)

1,5 (T) 1,1 (R) 1,2 (R) 0,5 (R) 1,5 (R)

2

1,5 (H) 2,0 (H) 1,0 (H) 1,1 (H)

2,5 (T)

1,5 (T) 1,5 (H) 1,5 (T) 1,0 (T) 1,5 (T)

3

1,4 (H) 2,1 (T) 1,4 (T) 1,1 (T) 2,7 (MT) 1,8 (T) 1,5 (T) 1,5 (T) 1,0 (T) 1,7 (T)

4

1,5 (T) 2,5 (T) 1,4 (T) 1,3 (T)

-

1,8 (T) 1,5 (T) 1,7 (T) 1,4 (T) 1,7 (T)

5

1,7 (T) 2,5 (T) 1,5 (T) 1,3 (T)

-

1,9 (T) 1,3 (T) 1,7 (T) 1,4 (T) 1,6 (T)

6

1,5 (T) 2,5 (T) 1,5 (T) 1,2 (T)

-

1,9 (T) 1,1 (T) 1,5 (T) 1,5 (T) 1,4 (T)

7

1,5 (T) 2,4 (T) 1,3 (T) 1,0 (T)

-

1,7 (T) 0,9 (T) 1,5 (T) 1,0 (T) 1,4 (T)

8

1,3 (T) 2,3 (T) 1,3 (T) 0,9 (T)

-

1,5 (T) 0,9 (T) 1,4 (T) 0,9 (T) 1,2 (T)

9

1,2 (T) 1,9 (T) 1,2 (T) 0,8 (T)

-

1,4 (T) 0,7 (T) 1,4 (T) 0,9 (T) 1,2 (T)

10

1,1 (T) 1,8 (T) 1,0 (T) 0,8 (T)

-

1,1 (T) 0,7 (T) 1,4 (T) 0,5 (T) 0,9 (T)

11

0,9 (T) 1,5 (T) 0,8 (T) 0,6 (T)

-

0,9 (T) 0,5 (T) 1,2 (T) 0,3 (T) 0,7 (T)

12

0,7 (T) 1,4 (T) 0,7 (T) 0,5 (T)

-

0,8 (T) 0,5 (T) 1,2 (T) 0,2 (T) 0,5 (T)

13

0,5 (T) 1,4 (T) 0,5 (T) 0,4 (T)

-

0,5 (T) 0,3 (T) 1,0 (T) 0,1 (T) 0,5 (T)

14

0,5 (T) 1,1 (T) 0,3 (T) 0,2 (T)

-

0,2 (T) 0,1 (T) 1,0 (T) 0,1 (T) 0,3 (T)

Lampiran 10: Skoring diameter kelainan klinis ikan lele dosis terbaik pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila Skoring Kelainan Klinis Dosis Terbaik U1

U2

U

Hari 1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

1

2

1

3

3

3

3

9

9

3

3

2

3

3

6

2

6

6

6

6

9

9

6

9

6

9

6

9

3

6

9

9

9

4

9

9

9

6

9

6

9

4

9

9

9

9

-

9

9

9

9

9

9

9

5

9

9

9

9

-

9

9

9

9

9

9

9

6

9

9

9

9

-

9

9

9

9

9

9

9

7

9

9

9

6

-

9

6

9

6

9

9

9

8

9

9

9

6

-

9

6

9

6

9

9

9

9

9

9

9

6

-

9

6

9

6

9

9

9

10

9

9

6

6

-

9

6

9

3

6

6

9

11

6

9

6

6

-

6

3

9

3

6

6

6

12

6

9

6

3

-

6

3

9

3

3

3

6

13

6

9

6

3

-

3

3

6

3

3

3

3

14

6

9

3

3

-

3

3

6

3

3

3

3

Lampiaran 11 : Kelangsungan hidup (%) ikan lele pasca infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (Tahap III)

Perlakuan Ulangan K (+)

K (-)

PB1

PB7

PB14

PB21

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Kelangsungan Hidup (%) hari Ke1 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

3 88 88 100 100 100 100 100 88 88 100 88 88 100 88 100 100 88 100

4 63 88 88 100 100 100 88 75 88 100 75 63 88 88 88 88 88 88

5 50 75 75 100 100 100 75 63 63 75 75 63 88 88 88 88 88 88

6 50 63 50 100 100 100 75 63 63 75 75 63 88 88 88 88 88 88

7 50 50 38 100 100 100 75 63 63 75 75 63 88 75 88 88 75 88

8 50 50 38 100 100 100 75 63 63 75 75 63 88 75 88 88 75 88

9 50 50 38 100 100 100 75 63 63 75 75 63 88 75 88 88 75 88

Lampiran 12 : Pertambahan bobot mutlak (g) ikan lele masing-masing perlakuan durasi

Berat awal

Rataan

Berat Akhir

Perlakuan

Ulangan

(g)

P0 (-)

1

17,5

2

18

33

3

18

27

1

17,5

PB 1

PB7

PB14

PB21

Rataan

Pertambahan

(g) 17,83

30

17,00

30

2

17

33

3

16,5

35

1

16,5

2

16,5

3

16,5

1

18,5

2

18

46

3

17,5

45

1

15,5

2

18,5

36

3

16,5

33

16,50

35

Bobot 30,00

12,17

32,67

15,67

37,00

20,50

46,00

28,00

34,33

17,50

39 37 18,00

47

16,83

34

Uji Statistik Pertambahan Bobot Mutlak ANOVA Bobot Sum of Squares Between Groups Within Groups Total

df

Mean Square

429.100

4

107.275

46.833

10

4.683

475.933

14

F 22.906

Ket : Nilai Sig <0,05 = berbeda nyata (selang kepercayaan 95%)

Sig. .000

Pertambahan Bobot Mutlak Duncana Subset for alpha = 0.05 Perlakuan

N

K

3

12.1667

PB1

3

15.6667

PB21

3

PB7

3

PB14

3

Sig.

1

2

3

4

15.6667 17.5000

17.5000 20.5000 28.0000

.076

.324

.120

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

1.000