SKRIPSI 2017 KARAKTERISTIK FUNGSI MOTORIK DAN STATUS FUNGSIONAL PADA

Download akhir serta banyak memberi saranan dalam menghasilkan skripsi yang lebih berkualitas. 6. .... Tabel 5.1: Distribusi karakteristik penelitia...

0 downloads 438 Views 2MB Size
SKRIPSI 2017 KARAKTERISTIK FUNGSI MOTORIK DAN STATUS FUNGSIONAL PADA PASIEN PASCA STROKE YANG MENGIKUTI PROGRAM REHABILITASI DI RUMAH SAKIT DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

OLEH
 IZZ FADHLI BIN MOHD SHUHAIMI C 111 14 844

PEMBIMBING dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR NIP. 198610182020121006

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PRA KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
 2017







II





III







“KARAKTERISTIK FUNGSI MOTORIK DAN STATUS FUNGSIONAL PADA PASIEN PASCA STROKE YANG MENGIKUTI PROGRAM REHABILITASI DI RUMAH SAKIT DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR” Makassar, 2017 Pembimbing

dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR NIP. 198610182020121006

IV







V





KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “KARAKTERISTIK FUNGSI MOTORIK DAN STATUS FUNGSIONAL PADA PASIEN PASCA STROKE YANG MENGIKUTI PROGRAM REHABILITASI DI RUMAH SAKIT DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah skripsi. Dengan bimbingan, dorongan, semangat, bantuan serta doa dari berbagai pihak, maka penelitian ini dapat diselesaikan. Oleh itu, penghargaan dan terima kasih sebanyak-banyaknya diucapkan kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 
 2. Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan Wakil Dekan III Universitas Hasanuddin Makassar. 
 3. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin. 
 4. dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR, selaku pembimbing utama penelitian ini yang dengan kesediaan, keikhlasan dan kesabaran meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti mulai dari penyusunan proposal sampai terhasilnya skripsi ini. 5. dr. Anshory Sahlan, Sp.KFR, dr. Nilla Mayasari, M. Kes, Sp. KFR serta dr. Asmaun Najaduddin, Sp KFR selaku penguji bagi ujian proposal hingga ujian akhir serta banyak memberi saranan dalam menghasilkan skripsi yang lebih berkualitas. 6. Orang tua, keluarga serta saudara-mara yang selalu memberikan dorongan moral dan bantuan material selama penyusunan skripsi ini.

VI





7. Rakan – rakan yang menjalani praklinik seangkatan yaitu Angkatan 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang saling memberi semangat antara satu sama lain selama penyusunan skripsi ini terutamanya. 8. Seluruh staff bagian rehabilitasi medik di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar yang telah banyak membantu dalam tahap penelitian ini. 9. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam bentuk apapun sehingga selesainya skripsi ini. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan baik dalam penguasaan ilmu maupun pengalaman penelitian, sehingga skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak, sangat di harapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Saya berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pembaca dan semoga segala usaha ini mendapat redha Allah SWT

Makassar, 2017

Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi C 111 14 844

VII





DAFTAR ISI Halaman judul ………………………………………………………………....

i

Halaman Persetujuan ………………………………………………………….

ii

Kata Pengantar ………………………………………………………………... vi Daftar Isi ……………………………………………………………………….. viii Daftar gambar ………………………………………………………………..... xii Daftar Tabel …………………………………………………………………… xii Daftar Graph …………………………………………………………………... xii Abstrak ………………………………………………………………………… xiii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………... 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 4 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………... 5 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………. 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG STROKE 2.1 Definisi …………………………………………………………..

7

2.2 Epidemiologi ………………………………………………………

7

2.3 Klasifikasi stroke ………………………………………………….

8

2.4 Faktor risiko stroke ………………………………………………..

9

2.5 Patofisiologi ……………………………………………………….

14

2.6 Diagnosis Stroke …………………………………………………..

16

2.7 Penatalaksanaan …………………………………………………...

22

2.8 Rehabilitasi pasca stroke …………………………………………..

24

VIII





B. TINJAUAN UMUM FUNGSI MOTORIK 2.1 Definisi otot ………………………………………………………..

27

2.2 Kontraksi otot ……………………………………………………...

28

2.3 Definisi kekuatan otot ……………………………………………... 30 2.4 Faktor mempengaruhi kekuatan otot ……………………………..

31

C. STATUS FUNGSIONAL …………………………………………

34

D. KERANGKA TEORI ……………………………………………..

36

BAB 3. KERANGKA KONSEP 3.1 Variabel yang diteliti …………………………………………….

37

3.2 Kerangka Konsep ………………………………………………..

37

3.3 Definisi Operasional ……………………………………………..

38

BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian …………………………………………………..

43

4.2 Desain Penelitian …………………………………………………

43

4.3 Waktu dan Tempat ……………………………………………….

44

4.4 Metode Pengumpulan Data ………………………………………

44

4.5 Populasi dan Sampel ……………………………………………..

44

4.6 Kriteria Sampel …………………………………………………..

45

4.7 Jenis Data dan Instrumen Penelitian ……………………………..

46

4.8 Manajemen Data …………………………………………………. 47 4.9 Etika Penelitian …………………………………………………... 48 4.10 Alur Penelitian …………………………………………………… 49

IX





BAB 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik penelitian pasca stroke ………………………………. 50 5.2 Total distribusi fungsi motorik dan status fungsinal pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi ………………………………… 51 5.3 Fungsi motorik dan status fungsinal pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi berdasarkan jenis kelamin ………................ 53 5.4 Fungsi motorik dan status fungsioanl pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi berdasarkan umur …………………………. 55 5.5 Fungsi motorik dan status fungsioanl pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi berdasarkan jenis stroke ………................... 58 BAB 6. PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik penelitian pasca stroke ………………………………

61

6.2 Total distribusi fungsi motorik dan status fungsioanl pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi ………………………………... 63 6.3 Fungsi motorik dan status fungsioanl pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi berdasarkan jenis kelamin …………………. 65 6.4 Fungsi motorik dan status fungsioanl pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi berdasarkan umur ……………...................... 66 6.5 Fungsi motorik dan status fungsioanl pada pasien pasa stroke yang mengikuti rehabilitasi berdasarkan jenis stroke …………………… 67

X





BAB 7. KESIMPULAN DAN SARANAN 7.1 Kesimpulan ……………………………………………………… 70 7.2 Saran…………………………………………………………....... 71 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 72 DAFTAR LAMPIRAN

XI





DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1: Sliding Filament Theory of Muscle Contraction Gambar 3.1: The Barthel Index DAFTAR TABEL Tabel 3.1: Manual Muscle Testing Tabel 5.1: Distribusi karakteristik penelitian pasien pasca stroke DAFTAR GRAPH Graph 5.1: Total distribusi fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi Graph 5.2: Kategori jenis kelamin laki-laki Graph 5.3: kategori jenis kelamin perempuan Graph 5.4: Kategori umur dibawah 45 tahun Graph 5.5: Kategori umur antara 45 – 65 tahun Graph 5.6: Kategori umur di atas 65 tahun Graph 5.7: Kategori jenis stroke non hemoragik Graph 5.8: Kategori jenis stroke hemoragi

XII





SKRIPSI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN NOVEMBER 2017 Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi (C 111 14 844) dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR KARAKTERISTIK FUNGSI MOTORIK DAN STATUS FUNGSIONAL PADA PASIEN PASCA STROKE YANG MENGIKUTI PROGRAM REHABILITASI DI RUMAH SAKIT DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ABSTRAK Latar Belakang: Stroke didefinisikan sebagai gangguan suplai darah pada otak yang biasanya karena pecahnya pembuluh darah atau sumbatan oleh gumpalan darah sehingga menyebabkan gangguan pasokan oksigen dan nutrisi di otak hingga terjadinya kerosakan pada jaringan otak. Stroke biasanya ditandai dengan kelumpuhan anggota gerak atas maupun bawah pada salah satu sisi anggota tubuh yang merupakan defek dari stroke. Otot yang lemah atau tidak mampu bergerak menyebabkan pasien pasca stroke tidak dapat bermandiri dalam aktivitas seharian. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2017 dengan data sampel 28 pasien pasca stroke yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil Penelitian: Pada 28 data responden pasien pasca stroke yang mempunyai status fungsional yang baik mempunyai fungsi motorik yang bagus serta sebagian besar pasien pasca stroke yang mempunyai fungsi motorik dan fungsional yang baik adalah pasien dengan jenis kelamin laki-laki , usia di antara 45-65 tahun serta dengan jenis stroke non hemoragik. Kata Kunci: Pasien Pasca Stroke, Fungsi Motorik, Status Fungsion XIII







Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi (C 111 14 844)

THESIS FACULTY OF MEDICINE HASANUDDIN UNIVERSITY NOVEMBER 2017

dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR THE CHARACTERISTICS OF MOTORIC AND FUNCTIONAL FUNCTION ON POST-STROKE PATIENT WHICH JOINING THE PROGRAM OF REHABILITATION IN HOSPITAL OF DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ABSTRACT Background: Stroke is defined as a blood supply disorder in the brain that is usually due to rupture of blood vessels or blockages by blood clots that cause disruption of the supply of oxygen and nutrients in the brain and can lead to damage of brain tissue. Stroke is usually characterized by paralysis of upper and lower limbs on one side of the limb which is a defect of a stroke. Muscles that are weak or unable to move cause post-stroke patients can not stand on a daily basis. Objective: This study aims to determine the characteristics of motoric and status of functional on post-stroke patient which joining the program of rehabilitation in Hospital of Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Methods: This is a descriptive study conducted from September to October 2017 with sample data of 28 post-stroke patients that had the inclusion criteria. Results: In 28 respondents data, post-stroke patients with good status of functional had a good motoric function too and most post-stroke patients with good motor and functional function were patients of male gender, age between 45- 65 years old and with non hemorrhagic stroke type. Keywords: Post-Stroke Patient, Motorik Function, Status of Functional

XIV





BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Stroke didefinisikan sebagai gangguan suplai darah pada otak yang biasanya karena pecahnya pembuluh darah atau sumbatan oleh gumpalan darah. Hal ini menyebabkan gangguan pasokan oksigen dan nutrisi di otak hingga terjadinya kerosakan pada jaringan otak (World Health Organization (WHO), 2016). WHO juga mendefinisikan stroke sebagai perkembangan tanda-tanda klinis fokal atau global yang pesat disebabkan oleh gangguan pada fungsi otak dengan gejala-gejala yang berlaku dalam tempoh masa 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan berlakunya kematian. Stroke terbahagi kepada dua tipe. Tipe pertama adalah stroke iskemik yang bermaksud stroke yang disebabkan oleh kekurangan darah mencapai otak yang biasanya karena pembuluh darah otak menyempit atau tersumbat deposit lemak yang disebut plak sehingga jaringan otak mengalami iskemik. Tipe yang lain adalah stroke hemoragik yang disebabkan oleh berlakunya pemecahan aneurisma sama ada pada parenchyma otak atau pada rongga antara otak dan tengkorak hingga menyebabkan berlakunya iskemik serta desakan pada jaringan otak (American Heart Association, 2013). Setiap tahun sebanyak 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. 5 juta dari jumlah tersebut telah meninggal manakalah jumlah selebihnya meninggalkan cacat permanen dan menempatkan beban keluarga dan masyarakat (Dr Judith Mackay dan Dr George A. Mensa,

1





2



2004). Hasil dari penelitian Benjamin EJ dan Blaha MJ (2017) juga menyatakan bahawa stroke merupakan penyebab global kedua utama kematian setelah penyakit jantung pada 2013 dan penyebab kelima kematian di Amerika Syarikat dengan sebanyak 129,000 per tahun. Selain itu, jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis Nakes/gejala di- perkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1%) (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Faktor risiko utama untuk penyebab stroke adalah tekanan darah tinggi serta penggunaan tembakau yang merupakan risiko dimodifikasi yang paling signifikan. Bedasarkan data prevelensi penelitian dari Yayasan Stroke Indonesia (2010), sekitar 95% faktor risiko utama dalam masyarakat Indonesia yang semakin meningkat adalah hipertensi. Oleh itu, ahli-ahli epidemiologi membuat rumusan dan meramalkan bahawa sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang berusia 35 tahun ke atas pada saat ini atau akan datang mempunyai potensi mengalami serangan stroke. Namun demikian, berdasarkan diagnosis tenaga kesihatan (Nakes) Indonesia penderita penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke banyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun, 55-64 tahun dan 65-74 tahun (Riset Kesehatan Dasar, 2013).







3



Seperti kita tahu, stroke dapat menyebabkan berlakunya defisit neurologis dan defisit neurologis ini banyak memberi beban pada penderita stroke. Menurut American Academy of Neurology (2017), disabilitas umum yang sering didapatkan pada pasien stroke adalah kelumpuhan atau kelemahan pada satu sisi tubuh yang disebut hemiplegia. Selain itu, pasien stroke juga seringkali merasa sakit di daerah tangan dan kaki dan diperparahkan lagi dengan gerakan dan perubahan suhu terutama pada suhu yang dingin. Stroke juga dapat menyebabkan seseorang itu mengalami masalah pikiran, perhatian, pembelajaran dan memori. Gangguan defisit neurologis terutamanya pada motorik dapat menyebabkan seseorang penderita stroke mengalami depressi disebabkan oleh batas dalam pergerakan dan pekerjaan seharian atau Activity of Daily Life (Katherine Salter, 2016). Oleh itu, seseorang yang mengalami stroke perlulah menjalani proses rehabilitasi. Ini karena rehabilitasi dapat membantu mendapatkan kembali fungsi yang hilang dari kerusakan akibat stroke. Selama rehabilitasi, kebanyakan orang akan mengalami baikan meskipun banyak yang tidak sembuh sepenuhnya. Otak dapat mempelajari cara-cara baru berfungsi dengan menggunakan sel-sel di sekitar sel otak iskemik. Menurut National Instituets of Health, (2016), rehabilitasi membantu penderita stroke mempelajari kembali keterampilan yang hilang ketika bagian otak





4

iskemik. Misalnya, keterampilan ini dapat mencakup gerakan kaki koordinasi untuk berjalan atau melakukan langkah-langkah yang terlibat dalam kegiatan yang kompleks. Rehabilitasi juga mengajarkan pasien caracara baru melakukan tugas untuk menghindari atau mengkompensasi untuk setiap cacat sisa. Penanganan rehabilitasi yang mutlak bagi pasien stroke adalah untuk melakukan aktivitas harian atau Activity of Daily Life seperti makan, mandi dan memakai pakaian yang banyak menggunakan penggunaan-pengunaan otot extremitas. Rehabilitasi pasca stroke dapat dilakukan berbagai metode seperti electrotherapy, hydrotherapy, exercise therapy. Dalam meningkatkan kekuatan motorik bagi menjalankan kerja seharian, rehabilitasi exercise therapy perlu diberikan pada pasien pasca stroke (Carolee J. Winstein, 2016). Dengan exercise therapy diharapkan dapat mengembalikan fungsi motorik pada pasien pasca stroke bagi mendapatkan fungsi fungsional yang lebih baik yaitu bermandiri dalam melakukan aktivitas seharian (Activity of Daily Life). Namun masih butuh penelitian lebih lanjut untuk melihat fungsi motoric dan fungsi fungsional pada pasiens pasca stroke yang mengikuti program rehabiitasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.

1.2

Rumusan Masalah Bagaimana karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar?





5

1.3 1.3.1

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar?

1.3.2

Tujuan Khusus a. Mengetahui fungsi motorik pada pasien pasca stroke sesudah mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. b. Mengetahui status fungsional pada pasien pasca stroke sesudah mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusode Makassar. c. Mengetahui karakteristik fungsi motorik dan status fungsional dengan dilihat dari segi umur. d. Mengetahui karakteristik fungsi motorik dan status fungsional dengan dilihat dari segi jenis kelamin. e. Mengetahui karakteristik fungsi motorik dan status fungsional dengan dilihat dari kategori jenis stroke.

1.4



6

Manfaat penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar a) Dapat menambahkan informasi mengenai karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar? 2. Bagi Masyarat Ilmiah dan Kedokteran a) Dapat memberi maklumat yang lebih mendalam mengenai stroke serta klasifikasinya. b) Dapat memberi maklumat yang lebih mendalam mengenai program rehabilitasi yang disedikan oleh rumah sakit terhadap pasien pasca stroke. c) Dapat mengetahui mengenai pentingnya fungsi motorik dalam memperolehi status fungsional yang baik pada pasien pasca stroke. 3. Bagi Pasien Pasca Stroke a) Pasien pasca stroke dapat mengetahui kepentingan fungsi motorik atau kekuatan otot dalam memperolehi status fungsional yang baik pada pasien pasca stroke. 4. Bagi Penitili a) Dapat menambahbahkan ilmu mengenai penatalaksaan rehabilitasi terutamanya pada pasien stroke. b) Dapat mengetahui betapa pentingnya penatalaksaan rehabilitasi terhadap pasien stroke.





BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Stroke 2.1

Definisi Stroke adalah merupakan gangguan atau defisit neurologis fokal dengan onset akut dari daerah vaskular yang diduga. Definisi ini juga dibukti dengan kejadian klinis, dengan disfungsi fokal dari sistem saraf pusat yang kemungkinan menjadi sekunder akibat penyakit primer yang melibatkan pembuluh darah dan sirkulasi. Gangguan pembuluh darah dan sirkulasi pada otak biasanya karena pecahnya pembuluh darah atau sumbatan oleh gumpalan darah hingga berlakunya perkembangan tanda-tanda klinis fokal dengan gejala-gejala yang berlaku dalam tempoh masa 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian. Stroke boleh diklasifikasi kepada dua yaitu iskemik dan hemoragik (World health Organization, 2016).

2.2

Epidemiologi Stroke merupakan penyebab global kedua utama kematian setelah penyakit jantung pada 2013 dan penyebab kelima kematian di Amerika Syarikat dengan sebanyak 129,000 per tahun (Benjamin EJ & Blaha MJ, 2017). Setiap tahun juga beberapa penelitian mendapati sebanyak 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. 5 juta dari jumlah tersebut telah meninggal manakala jumlah selebihnya meninggalkan cacat permanen dan menempatkan beban keluarga dan masyarakat (Dr. Judith Mackay & Dr George, 2004). Selain itu, jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia

7





8

tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7%) sedangkan berdasakan diagnosis gejala di perkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12.1%). Kemajuan teknologi kedokteran berhasil menurunkan angka kematian akibat stroke, namun angka kecacatan stroke cenderung tetap bahkan meningkat (Riset Kesehatan Dasar, 2007)

2.3

Klasifikasi

2.3.1 Stroke Non Hemoragik (Stroke Iskemik) Stroke Iskemik adalah tipe yang paling umum (87 %) hasil dari penelitian Center fo Disease Control and Prevention (2017). Hal ini sesuai dengan gangguan sementara atau persisten atau penurunan aliran darah di area fokal otak, biasanya secara parsial atau total dari arteri serebral. Penyebab biasanya merupakan sumbatan oleh bekuan darah, penyempitan satu atau beberapa arteri yang mengarah ke otak atau embolus yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakrani yang menyebabkan sumbatan atau oklusi pada beberapa arteri intrakrani. Jika oklusi arteri dibuka kembali lebih awal, dengan perbaikan selanjutnya atau normalisasi suplai darah, lesi jaringan akan kecil atau tidak ada dan ekspresi klinisnya akan menjadi serangan iskemik transien (TIA) (Stehen L, 2017). TIA didefinisikan sebagai defisit neurologis fokal dengan gejala dan tanda-tanda yang berlangsung tidak lebih dari 24 jam. TIA adalah sekitar 10% dari semua stroke (American Heart Association, 2013).





2.3.2

9

Stroke Hemoragik Stroke hemoragik adalah tipe yang kurang dialami oleh masyarakat berbanding dengan stroke iskemik. sebagai fakta hanya 15 persen dari semua stroke yang bersifat hemoragik, namun stroke hemoragik tetap bertangunggjawab atas 40 persen dari semua kematian disebabkan penyakit stroke (Center for Disease Control and Presentation, 2017). Ini karena pembuluh darah yang melemah yang pecah dan berdarah di otak disekitarnya sehungga terjadinya akumulasi darah dan menyebabkan desakan pada jaringan otak disekitarnya. Dua jenis pembuluh darah yang lemah yang biasanya menyebabkan stroke hemoragik dalah aneurisma dan malformasi arteriovenosa (AVMs). Stroke hemoragik dibahagi kepada dua tipe iaitu intraserebral dan subarachnoid (American Heart Association, 2013).

2.4

Faktor Resiko Stroke

2.4.1 Faktor Risiko yang dapat Tidak Dimodifikasi 1. Jenis kelamin Jenis kelamin laki-laki meningkatkan risiko stroke iskemik. Risiko stroke bagi pria adalah sekitar 1,3 kali lebih tinggi untuk wanita pada usia tertentu kecuali pada usia tertinggi. Namun, perbedaan gender ini kurang jelas saat memperhitungkan faktor risiko di masing-masing individu. Menopause dini telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke dan selepas menopause beberapa faktor risiko vaskular menjadi lebih umum pada wanita. Perbedaan dalam risiko antara jenis kelamin tampaknya hilang pada usia di atas 80-85 tahun. Risiko gender berbeda untuk perdarahan





10

subakachnoid dimana risikonya lebih tinggi untuk wanita (Bo Norrving, 2014, pp.9). 2. Usia Insiden stroke meningkat secara nyata seiring bertambahnya usia. Kenaikan yang tajam kejadian stroke menurut usia diamati pada pria dan wanita. Dalam studi OXVASC, tingkat stroke meningkat dari 1,76 per 1000 individu per tahun untuk individu berusia 55-64 tahun sampai 16,47 untuk mereka yang berusia 85 atau lebih. Peningkatan insidensi dengan usia terlihat pada stroke iskemik serta untuk perdarahan intraserebral (ICH) dan juga sampai batas tertentu untuk perdarahan subarachnoid. Risiko stroke lebih dari dua kali lipat dengan setiap dekade peningkatan usia setelah 55 tahun setidaknya sampai usia 84. Setelah usia 84 tahun, risiko stroke akan terus meningkat (Bo Norrving, 2014, pp.9) 3. Herediter Orang dengan riwayat stroke pada keluarga biasanya memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke dibanding dengan tanpa riwayat stroke pada keluarganya. Beberapa pengamatan lainnya telah menyimpul bahawa beberapa faktor warisan dapat berkontribusi terhadap risiko stroke. Heritabilitas stroke iskemik saat menggunakan data asosiasi genom telah dihitung secara keseluruhan 37,9%, berkisar antara 40,3% untuk penyakit vesikel besar sampai 32,6% untuk cardioembolic dan 16,1% untuk penyakit pembuluh darah kecil (Bo Norrving, 2014, pp10)





2.4.2

11

Faktor Risiko Stroke yang Dapat dimodifikasi

1. Hipertensi Hipertensi adalah faktor risiko utama yang boleh menyebabkan berlakunya stroke dan hipertensi ini juga merupakan faktor risiko yang bisa diobati. Faktanya, tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko tunggal terbesar untuk stroke, menyebabkan sekitar 50 persen stroke akibat penyumbatan (stroke iskemik). Ini juga meningkatkan risiko pendarahan di otak (disebut stroke hemoragik). Tekanan darah tinggi membuat tekanan pada semua pembuluh darah di seluruh tubuh kita termasuk yang mengarah ke otak. Akibatnya, jantung kita harus bekerja lebih keras untuk menjaga sirkulasi darah tetap berjalan. Adakalanya, regangan ekstra ini dapat menyebabkan pembuluh darah melemah dan meledak di dalam otak, menyebabkan pendarahan ke jaringan sekitarnya. Ini disebut stroke hemoragik (Bo Norrving, 2014, pp.10) 2. Diabetes Melitus Glukosa memasuki aliran darah dan berjalan ke sel-sel di seluruh tubuh setelah makanan dicerna. Agar glukosa benar-benar masuk sel dan memberi energi, dibutuhkan hormon yang disebut insulin. Pada orang yang menderita diabetes, pankreas tidak membuat insulin (diabetes tipe 1), atau membuat terlalu sedikit insulin atau sel di otot, hati dan lemak tidak menggunakan insulin dengan cara yang benar (diabetes tipe 2). Apa yang terjadi kemudian adalah penderita diabetes berakhir dengan terlalu banyak glukosa dalam darah mereka, sementara sel mereka tidak mendapat cukup energi. Seiring waktu, glukosa ini dapat menyebabkan peningkatan deposit lemak atau





12

bekuan pada bagian dalam dinding pembuluh darah. Bekuan ini bisa mempersempit atau menghalangi pembuluh darah di otak atau leher, memotong suplai darah, menghentikan oksigen agar tidak sampai ke otak dan menyebabkan stroke (Bo Norrving, 2014, pp.12) 3. Merokok Asap rokok bisa mempengaruhi kadar kolesterol tubuh kita. Kolesterol adalah sejenis lemak dibawa berkeliling tubuh kita dalam partikel yang disebut lipoprotein. Merokok mengurangi kadar kolesterol 'baik' (juga disebut Kolesterol HDL) di aliran darah kita dan meningkatkan kadar kolesterol 'jahat' (juga disebut kolesterol LDL). Kadar kolesterol 'baik' yang rendah meningkatkan risiko terkena stroke. Faktor ini meningkatkan risiko pembentukan atherosclerosis pada perokok tegar dimana pembuluh darah akan menjadi lebih sempit. Hal ini mengurangi darah melalui mereka sehingga bekuan darah lebih cenderung terbentuk. Jika gumpalan terbentuk di arteri yang mengarah ke otak, maka bisa menyebabkan penyumbatan, memotong suplai darah dan menyebabkan stroke. Tipe stroke ini dikenal sebagai stroke iskemik. Karbon monoksida yang kita hirup dari asap rokok meningkat dalam kadar darah kita sehingga membuat dinding arteri menjadi lebih rusak. Bahan kimia yang kita hirup juga mempengaruhi kelengketan darah dan produksi sejenis sel darah yang disebut platelet. Peningkatan ini kecenderungan darah kita untuk membentuk gumpalan darah. Apabila kita merokok, kita akan hirup asap tobako yang mengandungi sebanyak 7,000 bahan kimia beracun. Antaranya ialah karbon monoksida, formaldehida dan hidrogen sianida. Perokok juga





13

lebih cenderung mendapat tekanan darah tinggi yang merupakan faktor risiko utama stroke. Merokok sangat berbahaya bagi orang yang memiliki tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi berkontribusi pada kerusakan pada arteri kita. Perokok dengan tekanan darah tinggi juga cenderung mengalami perdarahan subarachnoid (tipe Stroke yang disebabkan oleh pendarahan) dibandingkan mereka yang tidak pernah merokok atau tidak memiliki tekanan darah tinggi (Bo Norrving, 2014, pp.13). 4. Obesitas Kelebihan berat badan atau obesitas dapat meningkatkan risiko stroke. Terlalu banyak lemak tubuh dapat berkontribusi pada tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi dan bisa menyebabkan penyakit jantung dan diabetes tipe 2. Obesitas juga dapat meningkatkan risiko stroke akibat inflamasi yang disebabkan oleh jaringan lemak yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan aliran darah dan peningkatan risiko penyumbatan, yang keduanya dapat menyebabkan stroke (Bo Norrving, 2014, pp.14) 5. Penyakit Jantung Gagal jantung didefinisikan sebagai ketidak mampuan jantung untuk memasuk aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung kronis (CHR) adalah faktor sering yang menyebabkan stroke iskemik. Alasan yang paling sering dikenali untuk kardioemboli stroke pada pasien dengan CHR adalah pembentukan trombus karena Atrial Fibrilasi (AFib) atau hipokinesia ventrikel kiri. Sebagai konsekuensi dari aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, ada





14

keadaan hiperkoagulasi, peningkatan agregasi t rombosit, dan fibrinolisis berkurang pada pasien dengan CHF (Bo Norrving, 2014, pp.11).

2.5 2.5.1

Patofisiologi Patofisiologi stroke iskemik Oklusi akut pembuluh intrakranial menyebabkan reduksi aliran darah ke daerah otak yang disuplainya. Besarnya reduksi aliran adalah fungsi dari aliran darah kolateral dan ini tergantung pada anatomi vaskular individu (yang dapat diubah oleh penyakit), lokasi oklusi, dan tekanan darah sistemik. Penurunan dalam darah serebral ke nol menyebabkan kematian jaringan otak dalam waktu 4-10 menit. Nilai <16-18 mL / 100 g jaringan per menit menyebabkan infark dalam satu jam dan nilai <20 mL / 100 g jaringan per menit menyebabkan iskemia tanpa infark kecuali dalam beberapa jam atau beberapa hari. Jika aliran darah dipulihkan ke jaringan iskemik sebelum terjadi perkembangan signifikan, pasien mungkin hanya mengalami gejala sementara, dan sindrom klinis disebut TIA. Konsep penting lainnya adalah penumbra iskemik, yang didefinisikan sebagai jaringan iskemik namun reversibel disfungsional yang mengelilingi daerah inti infark. Penumbra iskemik pada akhirnya akan berkembang menjadi infark jika tidak terjadi perubahan aliran, dan karenanya mensterilkan iskemik adalah tujuan terapi revaskularisasi (Stephen L, 2017, pp.234).





15

2.5.2 Patofisiologi stroke hemoragik Stroke hemoragik biasanya disebabkan dari ruptur spontan arteri penetrasi kecil jauh di dalam otak. Daerah yang paling umum adalah ganglia basal (terutama putamen), thalamus, serebelum, dan pons. Arteri kecil di daerah ini tampaknya paling rentan terhadap cedera vaskular akibat hipertensi. Ketika perdarahan terjadi di daerah otak lain atau pada pasien non hypertensive, pertimbangan yang lebih besar harus diberikan pada penyebab lain seperti gangguan hemoragik, neoplasma, malformasi vaskular, dan angiopati amiloid serebral. Perdarahan mungkin kecil, atau gumpalan besar bisa terbentuk dan kompres jaringan yang berdekatan, menyebabkan herniasi dan kematian. Darah juga dapat membedah ke dalam ruang ventrikel, yang secara substansial meningkatkan morbiditas dan dapat menyebabkan hidrosefalus. Sebagian besar stroke hemoragik awalnya berkembang selama 30-90 menit, sedangkan terapi antikoagulan dapat berkembang atau selama 24-48 jam. Namun, sekarang diketahui bahwa sekitar sepertiga pasien bahkan tanpa koagulopati mungkin memiliki ekspansi hematoma yang signifikan dengan hari pertama. Dalam 48 jam, makrofag mulai melakukan fagositosis terhadap perdarahan di permukaan luarnya. Setelah 1-6 bulan, perdarahan umumnya dipecahkan ke rongga oranye slitlike yang dilapisi dengan bekas luka glial dan makrofag somatosin (Stephen L, 2017, pp.355)





16

2.6

Diagnosis stroke

2.6.1 Anamnesis Waktu adalah titik penting saat mengambil riwayat penderita stroke yang dicurigai. Timbulnya gejala biasanya tiba-tiba, dengan semua defisit terjadi bersamaan atau progresif. Waktu onset sangat penting, terutama saat mempertimbangkan pasien untuk trombolisis yang harus dimulai dalam 4.5 jam onset gejala. Hal ini diperlukan untuk menentukan dengan jelas kapan pasien berlangsung dengan baik. Seringkali pasien terbangun dengan gejala namun mereka mungkin sudah bangun di malam hari atau berbicara dengan pasangannya pada dini hari dan saat mereka masih bisa diidentifikasi dengan baik. Hal ini berguna saat meninjau gejala neurologis untuk menganggapnya positif atau negatif. Gejala positif melibatkan mendapatkan kualitas seperti gerakan ekstra atau gemetar, menambahkan sensasi seperti tusukan atau tanda api dan tanda visual tambahan seperti lampu berkedip. Gejala negatif menggambarkan hilangnya fungsi normal seperti kelemahan, kehilangan sensasi, kehilangan ucapan yang dapat dipahami dan berguna, kehilangan penglihatan (penuh atau sebagian) atau tidak koordinasinya. Stroke umumnya menghasilkan gejala negatif (Smith.G, 2014).

2.6.2



17

Pemeriksaan FIsik Setiap pasien dengan dugaan stroke harus menjalani pemeriksaan neurologis menyeluruh termasuk penilaian modalitas motorik dan sensorik dan fungsi serebelum. Memberikan rangsangan serentak pada daerah visual bilateral atau jalur sensoris dapat mengidentifikasi kekurangan perhatian. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi ketika kedua sisi dirangsang menunjukkan disfungsi korteks. Pemeriksaan saraf kranial harus membedakan antara kelemahan neuron motor bagian atas dan bawah dan harus mencakup penilaian bidang visual. Antara pemeriksaan refleks-refleks batang otak, yaitu 1. reaksi pupil terhadap cahaya 2. refleks kornea 3. refleks okulo sefalik keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke, hiperventilasi neurogen, apneustik, dan ataksik Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf-saraf otak dan anggota gerak (Smith.G, 2014).

2.6.3

Manifestasi klinis stroke Stroke dapat menyebabkan kerosakan otak hingga dapat mempengaruhi pergerakan, perilaku, kemampuan bicara/berbahasa serta perilaku. Kerosakan otak hanya berlaku pada bagian pembuluh darah yang mengalami stroke sedangkan bagian otak lainnya bekerja dengan normal. Stroke mempengaruhi seseorang dengan beberapa faktor seperti bagian otak yang terkena stroke, usia serta kondisi seseorang sebelum terkea stroke.





18

Komplikasi akibat stroke berdasarkan gangguan neurologi fokal otak adalah: a. Gangguan motoris Defisit motoris setelah stroke ditandai dengan kelemahan otot atau kelumpuhan, biasanya di satu sisi tubuh. Seringkali orang tersebut kehilangan gerakan atau perasaan raba di lengan atau kaki di bagian berlawanan sisi otak yang terkena stroke. Jadi, sekiranya seseorang itu memiliki stroke di sisi kiri otak, ia mungkin mengalami kelemahan atau kelumpuhan di lengan dan kaki kanan nya. Hal ini menyulitkan seseorang atau pasien itu untuk melakukan aktivitas kehidupan seharian mereka misalnya berpakaian, memberi makan, mandi atau mengikat sepatu. Efek defisit motoris ini juga meliputi rasa sakit, kelelahan, perubahan tonus otot serta gangguan berjalan (Bo Norrving, 2014, pp.35-50). b. Gangguan sensoris Gangguan sensoris dapat melibatkan semua modalitas sensoris tergantung pada area otak yang terlibat. Stroke dapat menyebabkan individu menjadi lebih sensitif (hyperaesthesia) atau kurang (hypoesthesia) sensitif terhdadap

sensasi

atau

tidak

dapat

mensintesis

sensasi

untuk

mengidentifikasi lokasinya sendiri. Kadang-kadang, stroke juga boleh menyebabkan penglihatan terganggu (gangguan visus) misalnya seseorang mungkin dapat melihat benda hanya di bagian tertentu dari bidang





19

peglihatannya setelah stroke. Gangguan sensoris juga boleh menggangu sistem pendengaran (tinnitus) (Bo Norrving, 2014, pp.35-50). c.

Gangguan bicara Gangguan bicara ditandai dengan kessulitan dalam memahami atau memproduksi ucapan dengan benar (afasia), ucapan yang kabur akibat lemahnya otot (disatria) dan kesulitan dalam memprogram otot mulut untuk produksi bicara (apraxia). Gangguan ini bervariasi dan tingkat keparahannya bergantung pada luas dan lokasi kerusakannya. Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan dalam komunikasi sosial, seperti kesulitan bergiliran dalam percakapan. Selain itu, penderita juga boleh mengalami masalah tidak dapat menulis (agrafia), tidak dapat berhitung (aculculia) serta pelupa (dementia) ( Mirjana Vidovic, 2011).

d.

Gangguan kognitif Gangguan kognitif meliputi kesulitan dalam perhatian, kesedaran, orientasi, pemecahan masalah, memori dan keterampilan penalaran. Individu yang menderita stroke juga mengalami kesulitan konsentrasi saat ada gangguan internal dan eksternal. Sebagai contoh melakukan percakapan di tokoh yang bising,membagi perhatian di antara beberapa tugas atau tuntutan. Gangguan menelan (disfagia) juga bisa diakibatkan serangan stroke karena kelemahan atau pengaburan otot di mulut dan tenggorokan (Raj.N. Kalaria, 2016)





20

e.

Gangguan emosi Defisit emosional dapat ditandai dengan tampilan emosi yang tidak tepat dan fluktuasi suasana hati yang ekstrem. Individu yang terkena mungkin tertawa saat ada sesuatu yang tidak lucu atau menangis tanpa alasan yang jelas. Perilaku ini sangat umum di awal proses pemulihan. Seorang penderita stroke mungkin menjadi sangat frustrasi karena ketidakmampuan untuk berfungsi secara independen - situasi yang dapat menyebabkan kemarahan dan depresi (Katherine Salter, 2016).

2.6.4

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah rutin b. Pemeriksaan kimia darah lengkap Gula darah sewaktu: pada stroke akut terjadi hiperglikemi reaktif (gula darah mencapai 250 mg kemudian berangsur-angsur turun kembali) serta diperlukan untuk menyingkirkan hipoglikemia sebagai stroke mimic dan ini biasa dilakukan sebagai tes tusukan di samping tempat tidur. Setelah stroke, tes fungsi tiroid, profil lipid dan ESR juga merupakan pemeriksaan yang berguna (Smith.G, 2014).





21



2. Pemeriksaan Neurokardiologi Tujuan pemeriksaan jantung pada pasien stroke adalah untuk mengidentifikasi atrial fibrilasi sebagai sumber emboli jantung. Pada fase akut, pemeriksaan 12 lead EKG bisa dilakukan di sisi tempat tidur pasien. Seterusnya, pasien dengan emboli stroke akan memerlukan penyelidikan jantung lebih lanjut untuk membimbing tindakan pencegahan sekunder (Smith.G, 2014). 3. Pemeriksaan Rardiologi 1. CT scan tetap menjadi gold standar dalam penyelidikan radiologis akut pada tersangka stroke. Hal ini harus segera dilakukan, dalam waktu 1 jam, dalam kasus yang dipertimbangkan untuk trombolisis dan kasuskasus dengan skor Glasgow rendah (GCS), tanda-tanda meningisme atau kecurigaan yang tinggi terhadap perdarahan intraserebral. Semua stroke dilakukan pencitraan dalam waktu 24 jam. Peran utama CT scan adalah untuk menyingkirkan adanya perdarahan intrakranial. Perdarahan intracerebral, subarachnoid, subdural dan ekstradural memiliki ciri khas pada CT scan. Jaringan otak yang infark tampak tidak berubah pada CT scan dalam beberapa jam pertama. Perubahan yang terlihat kemudian berkembang di kisaran 2-3 unit Hounsfield per jam (Smith.G, 2014).





22

2. MRI telah menjadi alat yang berguna dalam diagnosis stroke dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan oleh penggunaan diffusion weighted imagings (DWI). Infark akut akan muncul terang di DWI sampai empat belas hari. Gambaran terperinci yang dihasilkan dengan MRI, serta pencitraan superior struktur intra-tengkorak posterior membuat modalitas ini bermanfaat bila dicurigai Posterior Circulation Stroke (PoCS) atau jika daerah diagnosis atau vaskular diragukan. Modalitas MRI lainnya seperti gradien echo dapat mengidentifikasi microhaemorrhages (Smith.G, 2014). 2.7

Penatalaksanaan

2.7.1 Stroke Iskemik 1. Jika dalam waktu 3 jam onset stroke, pertimbangkan recombination tissue plasminogen activator (rtPA). 2.Jika dalam 6 jam onset stroke, pertimbangkan trombolisis intra-arterial (IA). 3. Aspirin 160-325 mg / hari, mulailah sedini mungkin. 4. USG karotid: Jika ini menunjukkan> 70% stenosis, rujuk ahli bedah saraf / neurosurgeon / vaskular untuk pengambilan keputusan mengenai Carotid Artery Stenting atau stenting. 5. Rehabilitasi awal yang suportif. 6. Mengurangkan faktor risiko dalam kehidupan seharian seperti menjaga pemakanan serta sering melakukan senaman. (Bo Norrving, 2014, pp.124-139)





23

2.7.2 Stroke Hemoragik 1. Pantau dan pertahankan BP: MAP 110-130 mmHg (lower limit preferred). 2. Berikan antikonvulsan hanya jika dengan kejang. 3. Kelainan koagulasi atau perdarahan dikoreksi dengan pemberian plasma beku segar, vitamin K atau transfuse trombosit. 4. Pertimbangkan angiografi CT angiografi, MRA, atau 4-vessel angiography pada kasus aneurisma yang dicurigai, malformasi AV atau vaskulitis. 5. Cerebellum hematoma yang berdiameter 3 cm dapat menyebabkan pergeseran atau herniasi garis tengah, sehingga evakuasi bedah bagi menghindar terjadinya mortaliti Selanjutnya penderita dirawat secara komprehensif di unit rehabilitasi stroke. Rehabilitasi mencakup fisikal terapi, okupasional terapi, dan terapi bicara. Di unit rehabilitasi penderita dan keluarga diberi pemahaman mengenai defisit neurologis yang diderita, mencegah komplikasi imobilitas (misalnya pneumonia, deep vein thrombosis dan emboli paru, dekubitus, dan kontraktur otot), dan diberi instruksi-instruksi untuk mengatasi defisitnya (Bo Norving, 2014, pp.124-139).





24

2.8

Rehabilitasi pasca stroke Rehabilitasi mungkin adalah salah satu tahap pemulihan yang paling penting bagi banyak penderita stroke. Efek stroke mungkin berarti anda harus mengubah, mempelajari kembali atau mendefinisikan ulang bagaimana anda menjalani hidup secara mandiri. Rehabilitasi stroke membantu anda kembali ke kehidupan mandiri. a) Exercise Therapy Exercise therapy atau terapi latihan adalah suatu alat yang mempercepat pemulihan pasien dari cedera dan penyakit yang dalam penatalaksanaannya menggunakan gerakan-gerakan aktif maupun pasif. Exercise therapy digunakan

untuk

mengembalikan

atau

meningkatkan

kekuatan

muskuloskeletal dan kardipulmonary pasien. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mengembalikan serta mempertahanankan kekuatan otot dan mencegah daripada berlakunya disfungsi otot. Selain itu, latihan ini juga dapat membantu dalam stabilitas, koordinasi serta keseimbangan dan keterampilan fungsional (Bo Norrving, 2014, pp.236-242). b) Passive Range of Motion Ini mengacu pada gaya eksternal yang memindahkan bagian tubuh daripada bergerak sesuai kemauannya sendiri. Contohnya adalah pasien yang memegang lengannya yang kuat dan menggerakkan lengan yang lemah atau lumpuh, seorang perawat atau terapis memindahkan anggota badan yang terkena, atau sebuah mesin bergerak ekstremitas. Rentang gerak pasif penting untuk menjaga sendi yang fleksibel dan mencegah kontraktur sendi. Kontraktur gabungan terjadi bila terjadi perubahan struktural pada





25

jaringan lunak seperti pengetatan atau pemendekan otot dan tendon yang membatasi pergerakan. Penting untuk melakukan rentang gerak pasif meskipun Anda mengalami kelumpuhan total karena kontraktur dapat mempengaruhi satu kerusakan kulit, iritasi jaringan, nyeri, penurunan aliran darah, dan mencegah seseorang menggerakkan anggota tubuh jika fungsi otot tidak kembali. Kontraktur gabungan juga mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari seperti mencoba mencuci tangan di bawah lengan seseorang, mengenakan pakaian di atas siku atau lutut yang dikontrak, atau membersihkan kuku tangan yang dikontrak (Bo Norrving, 2014, pp.236242). c) Rentang Motif Bantu Aktif (AAROM) Jenis rentang gerak terjadi saat anggota badan lemah dibantu melalui gerakan. Anggota tubuh yang lemah membantu namun tidak dapat melakukan semua pekerjaan dengan sendirinya. Contohnya adalah seseorang yang hanya dapat mengangkat sebagian lengan mereka dan seorang terapis membantu mereka untuk mengangkat lengan lebih jauh (atau mereka menggunakan lengan mereka yang kuat sebagai pembantu). Rangkaian latihan aktif membantu dalam memperkuat anggota badan yang belum memiliki rentang gerak penuh (Bo Norrving, 2014, pp.236-242). d) Active Range of Motion (AROM) Hal ini terjadi ketika seseorang dapat memindahkan bagian tubuh mereka sendiri tanpa bantuan. Banyak pasien stroke dengan gerakan di sisi yang lemah mungkin tidak cukup kuat untuk menambahkan latihan ketahanan dan mungkin melakukan rangkaian latihan yang aktif. AROM





26

membantu meningkatkan fleksibilitas, penguatan, dan daya tahan otot yang meningkat. Salah satu latihan lain yang bisa dilakukan adalah duduk di kursi dan meletakkan bola di antara kedua lutut. Peras bola seolah membawa lutut bersama (Bo Norrving, 2014, pp.236-242). e) Latihan Penguatan atau Perlawanan Latihan rehab stroke seringkali terdiri dari penguatan aktivitas yang melibatkan pergerakan bagian tubuh terhadap resistensi. Jenis latihan ini akan secara bertahap dan semakin membebani otot sehingga mereka akan menjadi lebih kuat. Ada banyak jenis peralatan latihan penguatan termasuk band, dumbel, tubing, dempul, dan mesin latihan (Bo Norrving, 2014, pp.236-242). f) Latihan Keseimbangan Korban stroke seringkali memiliki keseimbangan yang buruk. Jika keseimbangannya terpengaruh, salah satu hal pertama yang harus dipelajari pasien dalam rehab stroke adalah kemampuan menjaga keseimbangannya dalam duduk. Latihan keseimbangan duduk fokus pada penguatan otot inti atau batang. Latihan keseimbangan berdiri akan membantu meningkatkan kemampuan pasien untuk berdiri di tempat serta berjalan atau melakukan aktivitas tanpa kehilangan keseimbangan. Latihan keseimbangan penting dalam membantu mencegah jatuh. Sebagai contoh Weight Shift Side to Side dan Leaning Down on lbow (Bo Norrving, 2014, pp.236-242).





27

g) Fine Motor Skills Ketangkasan tangan penting untuk memungut benda, memberi makan diri sendiri, mengancingkan pakaian, menulis dan banyak aktivitas lainnya. Latihan motorik halus membantu pasien memperbaiki penggunaan tangan karena memanipulasi benda-benda kecil. Sebagai contoh singkirkan selembar kertas menjadi bola dan cobalah untuk menyebarkannya kembali ke selembar kertas datar hanya dengan tangan yang terkena atau ambil kaleng kosong lalu letakkan kembali (Bo Norrving, 2014, pp.236-242).

B.

Tinjauan Umum Tentang Fungsi Motorik Fungsi motorik adalah fungsi hormoni yang melibatkan kekuatan serta pergerakan otot, tidak kira gerakan motorik kasar, motorik halus serta motor planning (Bruce Abernethy, 2005)

2.1

Definisi otot Otot merupakan salah satu dari jaringan lunak. Otot boleh dibahagi kepada tiga tipe iaitu rangka, jantung dan otot polos. Ketiga jenis otot ini tersusun atas sel memanjang, yang disebut sel-sel otot, myofibers atau serat otot khusus untuk kontraksi. Ketiga jenis otot ini membutuhkan ATP sebagai penghasil energi untuk berkontraksi. Kontraksi dan relaksasi otot diatur oleh susunan syaraf pusat melalui serabut-serabut saraf motoriknya.





28

a. Otot Rangka Otot yang melekat pada kerangka yang dapat bergerak secara aktif, sehingga dapat menimbulkan pergerakan pada rangka. Otot rangka ini akan menerima perintah dari susunan saraf motoris untuk bekerja atau berkontraksi (Laurale Sherwood, 2012, hal.278). b. Otot jantung Terdiri atas serabut otot lurik yang bercabang-cabang saling berhubungan. Otot inin mempunyai sifat kontraksi yang spontan dan berirama (Laurale Sherwood, 2012, hal.312). c. Otot polos Terdiri atas sel panjang berbentuk gelondong dan tidak mempunyai garis melintang. Otot ini terdapat pada saluran dalam tubuh yang berfungsi mendorong isi saluran keluar (Laurale Sherwood, 2012, hal.313)

2.2

Kontraksi otot Untuk kontraksi otot terjadi, perlulah terlebih dahulu harus ada stimulasi otot dalam bentuk impuls (action potential) dari motor neuron (saraf yang terhubung ke otot). Satu motorik neuron tidak akan meransang seluruh otot tapi hanya sejumlah serabut otot di dalamnya. Unit motor terdiri daripada neuro motor individu ditambah serabut otot. Plat akhir motor (juga dikenali neuromuscular junction) adalah persimpangan akson motor neuron dan serat otot yang distimulasi. " Sliding Filament theory of muscle conraction " bedasarkan gambar 2.1 dapat dibagi menjadi empat tahap yang berbeda, ini adalah:





29



1. Muscle activation Saraf motor meransang aksi potensial (impuls) untuk melewatkan neuron

ke

neuromuscular

junction.

Ini

meransang

retikulum

sarkoplasma untuk melepaskan kalsium ke dalam sel otot. 2. Muscle contraction Kalsium membanjiri sel otot yang mengikat troponin sehingga memungkinkan aktin dan myosin untuk mengikat. Actin dan myosin mengikat dan kontrak mengunakan ATP sebagai energi. (ATP adalah senyawa energi yang digunakan oleh semua sel untuh bahan bakar aktivitas mereka) 3. Recharging ATP disintesis kembali (diproduksi ulang) sehingga memungkinkan aktin dan miosin mempertahankan pengikatan yang kuat. 4. Relaxation Relaksasi terjadi saat stimulasi saraf berhenti. Kalsium kemudian dipompa kembali ke dalam retikulum sarkoplasma yang memutus hubungan antara aktin dan miosin. Actin dan myosin kembali ke keadaan tak mengikat mereka sehingga ototnya rileks. Atau relaksasi (failure) juga akan terjadi saat ATP tidak lagi tersedia. (Laurale Sherwood , 2012, hal.282-288)





30



Gambar 2.1 “ Sliding Filament theory of muscle conraction " 2.3

Definisi kekuatan otot Kontraksi otot diawali dengan terjadinya tumpang tindih antara ilamen aktin dan miosin. Jembatan ikat silang miosin kemudian akan membentuk ikatan kimiawi dengan bagian tertentu dari filamen aktin sehingga terbentuk kompleks protein yang disebut aktomiosin. Pembentukan aktomiosin akan mengaktifkan komponen enzim dan filamen miosin yang disebut miosin ATPase. Miosin ATPase kemudian akan menyebabkan pemecahan ATP menjadi ADP dan fosfat inorganik. Energi yang dilepaskan dari proses tersebut menyebabkan jembatan ikat silang kolaps dan kembali ke titik sentral semula. Kontraksi otot dibagi menjadi 4 macam yaitu, kontraksi otot







31

isotonik (dinamik) terjadi bila terdapat pemendekan otot sesuai dengan variasi tegangan saat mengangkat muatan, kontraksi isometrik (statis) terjadi bila terbentuk tegangan otot tetapi tidak ada perubahan pada panjang otot, kontraksi eksentrik terjadi bila terdapat pemanjangan otot saat melakukan kontraksi, dan kontraksi isokinetik terjadi bila tegangan otot terbentuk pada kecepatan konstan yang maksimal di setiap sudut sendi hingga melampaui ruang gerak maksimalnya ( Shawan Kumar, 2004, pp.24).

2.4

Faktor yang mempengaruhi kekuatan otot. Kekuatan otot adalah kemampuan otot untuk menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis. Kekuatan otot selain dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, faktor neuromuscular, faktor metabolisme dan faktor psikologis. a. Usia dan jenis kelamin Semua orang dari segala usia dapat meningkatkan ukuran dan kekuatan otot namun setelah mencapai kematangan fisik normal, perbaikan otot biasanya tidak datang dengan cepat. Kekuatan otot juga mulai timbul sejak lahir sampai dewasa dan terus meningkat terutama pada usia 20 sampai 30 an dan secara gradual menurun seiring dengan peningkatan usia. Kekuatan otot pria muda hampir sama dengan wanita muda sampai menjelang usia puber, setelah itu pria akan mengalami peningkatan kekuatan otot ini kerana pria umunya memiliki lebih banyak jaringan otot daripada wanita karena





32

ukuran otot meningkat dengan adanya testosteron (hormon seks pria) (Shawan Kumar, 2004, pp.13-30).

b. Hubungan Panjang Otot dan Sudut Sendi Bersama Kekuatan maksimum yang dapat dihasilkan oleh otot atau kelompok otot bergantung pada panjang otot itu. Dalam gaya maksimum yang terisolasi akan dihasilkan saat otot berada pada panjang yang memaksimalkan pembentukan jembatan silang. Namun, hubungan gaya otot yang maksimal dari otot atau kelompok otot dalam tubuh manusia sulit ditentukan karena adanya hubungan antara berbagai momen lever-arm yang dibentuk oleh sendi yang berbeda dalam tubuh manusia dan arsitektur otot. Wickiewicz et al, 1984). Akibatnya, kemampuan otot maksimal untuk otot juga tergantung pada sudut sendi. Dengan demikian, setiap pola gerakan otot di sendi atau rangkaian sendi akan memiliki kekuatan maksimum pada panjang otot tertentu, tergantung pada jarak yang terjalin. Misalnya, kemampuan kekuatan maksimum dari ekstensor lutut dapat terjadi pada kira-kira 60 derajat lebih rendah daripada ekstensi lutut penuh (dianggap sebagai posisi netral anatomis atau 0 derajat). Lengan maksimum lutut maksimal terjadi sekitar 30 derajat dari perpanjangan lutut penuh. Dengan demikian posisi tubuh dan anggota badan sebagian akan dibatasi dan oleh karena itu, tentukan gaya otot dan ekspresi kekuatan selama semua jenis pola gerakan otot (Shawan Kumar, 2004, pp.13-130).





33

c. Rekrutmen Unit Motorik Peningkatan recruitment motor unit akan meningkatkan kekuatan otot. Motor unit adalah unit fungsional dari sistem neuro-muscular yang terdiri dari anterior motor neuron (terdiri dari axon, dendrit dan cell body) dan serabut otot (terdiri dari slow twitch fiber, yaitu serabut otot yang berkontraksi secara lambat namun dapat digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama dan fast twitch fiber, yaitu serabut otot yang berkontraksi dengan cepat, memberikan kekuatan dan kecepatan namun tidak dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama ). Kontraksi otot dengan tenaga kecil akan mengaktifkan sedikit motor unit, tetapi kontraksi dengan tenaga besar akan mengaktifkan banyak motor unit. Tidak semua motor unit pada serabut otot aktif pada saat yang sama. Hal itu berarti pada kontrol neural fast switch fiber dan slow twitch fiber akan memodulasi secara selektif jenis serabut yang akan digunakan sesuai dengan karakteristiknya (Shawan Kumar, 2004, pp.13-130).

d. Ukuran Cross Sectional Otot. Semakin besar diameter otot maka akan semakin kuat. Oleh itu, otot perlu dilatih agar kemampuan otot menjadi maksimal. Otot sangat responsif terhadap aktivitas fisik yang dilakukan, semakin sering otot dilatih maka otot akan menjadi lebih besar dan sebaliknya jika tidak pernah digunakan otot akan mengalami atrofi (Djaja, 2010). Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara fisiologis cross sectional area dan tegangan maksimal pada otot ketika dilakukan stimulasi elektrik (Shawan Kumar, 2004, pp.13-130).





34

C.

Tinjauan Umum tentang statusi fungsional Status fungsional atau kemampuan dalam Activities of daily life (ADL) adalah kegiatan di mana orang sering terlibat setiap hari termasuk kegiatan kerja, sekolah, rekreasi dan perawatan mandiri. Kegiatan perawatan diri meliputi: perawatan, mandi, rias, toilet, dan shower transfer. Awalnya, sudah jelas seorang pasien tidak bisa bekerja atau kembali ke aktivitas yang lebih kompleks, tapi dia mungkin juga tidak mampu melakukan perawatan diri dasar karena kombinasi faktor kognitif dan fisik. Pasien mungkin sangat bergantung pada orang lain untuk merawatnya. Pada stroke yang kurang parah, atau saat pasien dengan stroke yang lebih parah mulai pulih, mereka sering dapat melanjutkan aspek perawatan diri dimulai dengan yang paling sederhana (seperti membantu terapis dengan menyeka wajah) dan beralih ke yang lebih kompleks (seperti berpakaian secara mandiri tanpa bantuan atau memerlukan sedikit bantuan) Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan mendapatkan kembali sifat secara mandiri merupakan fokus utama dalam program rehabilitasi ini kepada pasien pasca stroke. Manajemen lengan dan kaki sangat penting dalam memastikan suksenya rehabilitasi disfungsi Activities of daily living. Splint membantu mengurangkan tona yang abnormal serta mencegah berlakunya deformitas. Manajemen ortotik pada pergelangan tangan, siku serta lutut juga dapat mengurangkan risiko berlakunya kontraktur dan meningkatkan potensi gerakan fungsional. Elevasi tangan, latihan gerakan, urutan, splint, pressure wrapping dan kompressi es dapat menguranggkan edema. Antara metode yang digunakan untuk mengembalikan Activities of





35

daily living (ADL) meliputi demonstrasi, pengajaran verbal, adaptasi lingkungan, teknik satu tangan, peralatan adaptif, tugas sederhana, penentuan posisi dan fasilitasi gerakan. The Barthel Index digunakan bagi membantu menilai skor Activities of daily liiving pada pasien pasca stroke.





36

D.

Kerangka Teori

Stroke

Stroke Non Hemoragik

Stroke Hemoragik

Gangguan kekuatan otot

Rehabilitasi

Fungsi Motorik

Status Fungsional atau Activities of Daily Life (ADL)

Kerangka teori ini menunjukan alur kejadian stroke non hemoragik dan hemoragik boleh menyebabkan berlakunya gangguan kekuatan otot. Dengan ada nya program rehabilitasi dapat membaiki fungsi motorik dan secara tidak langsung mengembalikan status fungsional atau Activities of Daily Lif (ADL).





BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1

Variabel yang diteliti Dalam penelitian ini, variable yang diamati adalah fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.

3.2

Kerangka Konsep

Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)

Berdasarkan: • Umur • Jenis Kelamin • Klasifikasi Stroke

Status Fungsional (Acitvity od Daily Life)

Berdasarkan kerangka konsep di atas, antara variable utama yang diteliti adalah karakteristik fungsi motorik berdasarkan umur, jenis kelamin dan klasifikasi stroke iaitu sama ada non-hemoragik atau hemoragik serta status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.

37





38

Variable: Umur, jenis kelamin, klasifikasi stroke, fungsi motorik dan fungsi fungsional pada pasien pasca stroke. Independent Variable : dari umur, jenis kelamin dan klasifikasi stroke serta fungsi motorik. Dependent Variable

: Status fungsional atau Activity Daily Life ( ADL )

pada pasien pasca stroke selepas penatalaksaan rehabilitasi.

3.3

Definisi Operasional 1. Penyakit Stroke Definisi

: Perkembangan tanda-tanda klinis fokal atau global

disebabkan oleh gangguan pada fungsi otak dengan gejala yang berlaku dalam tempoh 24 jam. Ditegakkan dari hasil pemeriksaan CTscan Cara ukur

: Melalui riwayat kesehatan dalam rekam medis

Hasil Ukur

: riwayat stroke atau tidak ada riwayat stroke

2. Umur Definisi

: Lamanya waktu seseorang telah hidup sehingga kini

Cara ukur

: Melalui riwayat kesehatan dalam rekam medis atau

wawancara Hasil ukur

: 1. < 45 tahun 2. 45-65 tahun 3. > 65 tahun





39

3. Jenis Kelamin Definisi

: Identitas seksual seseorang

Cara ukur : Melalui riwayat kesehatan dalam rekam medis atau wawancara Hasil Ukur : Lelaki atau perempuan 4. Klasifikasi stroke Definisi

: Stroke terbahagi kepada dua tipe stroke iskemik dan stroke

hemoragik Cara ukur

: Melalui riwayat kesehatan dalam rekam medis

Hasil Ukur

: Stroke iskemik atau stroke hemoragik

5. Kekuatan otot Definisi

: Kemampuan untuk menghasilkan gaya melawan beban dan

dinilai sebagai beban maksimum yang dapat dipindahkan atau torsi maksimum yang dapat dihasilkan selama sebuah gerakan Cara Ukur

: Melalui data terkini dalam rekam medis atau dilakukan

pemeriksaan kekuatan otot secara langsung dengan menggunakan prinsip Manual Muscle Testing (MMT). Pemeriksaan ini dilakukan secara umum yaitu dengan meminta pasien untuk mengangkat lengan di sisi yang lemah sambil dikenakan sedikit tahanan dengan dua jari dan diikuti dengan bagian bawah yaitu paha pada sisi yang lemah. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pasien berada pada posisi duduk.





40

Hasil Ukur

: Normal : 5 Baik

:4

Cukup : 3 Kurang : 2 Lemah : 1 Kekuatan otot 0 : 0 Pengukuran nilai kekuatan otot dengan menggunakan MMT yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.1 Manual Muscle Testing (Sumber: Neurologi Klinis dan Muscle Testing)





41

6.

Activities of daily living Definisi

: kegiatan di mana orang sering terlibat setiap hari termasuk

kegiatan kerja ,sekolah ,rekreasi dan perawatan mandiri kegiatan perawatan diri meliputi perawatan ,mandi ,rias,

toilet,dan shower

transfer Cara Ukur : Wawancara dengan menggunal Barthel Index skor Hasil Ukur : 1. Ketergantungan total, 0-20 2. Ketergantungan berat, 21-61 3. Ketergantungan sedang, 62-90 4. Ketergantungan ringan, 91-99 5. Mandiri, 100 Menggunakan skor Barthel Index Penilaian Activities of daily living pasien pasca stroke dengan menggunakan The Barthel Index (Gambar 3.1)





42



THE BARTHEL INDEX

Patient Name: Rater Name: Date:

___________________________ ___________________________ ___________________________

Activity

Score

FEEDING 0 = unable 5 = needs help cutting, spreading butter, etc., or requires modified diet 10 = independent

______

BATHING 0 = dependent 5 = independent (or in shower)

______

GROOMING 0 = needs to help with personal care 5 = independent face/hair/teeth/shaving (implements provided)

______

DRESSING 0 = dependent 5 = needs help but can do about half unaided 10 = independent (including buttons, zips, laces, etc.)

______

BOWELS 0 = incontinent (or needs to be given enemas) 5 = occasional accident 10 = continent

______

BLADDER 0 = incontinent, or catheterized and unable to manage alone 5 = occasional accident 10 = continent

______

TOILET USE 0 = dependent 5 = needs some help, but can do something alone 10 = independent (on and off, dressing, wiping)

______

TRANSFERS (BED TO CHAIR AND BACK) 0 = unable, no sitting balance 5 = major help (one or two people, physical), can sit 10 = minor help (verbal or physical) 15 = independent

______

MOBILITY (ON LEVEL SURFACES) 0 = immobile or < 50 yards 5 = wheelchair independent, including corners, > 50 yards 10 = walks with help of one person (verbal or physical) > 50 yards 15 = independent (but may use any aid; for example, stick) > 50 yards

______

STAIRS 0 = unable 5 = needs help (verbal, physical, carrying aid) 10 = independent

______

TOTAL (0–100): ______

Provided by the Internet Stroke Center — www.strokecenter.org

Gambar 3.1 The Barthel Index ( sumber stroke center )





BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1

Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penilitian deskriptif dengan bertujuan untuk menunjukkan karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang mengambarkan objek atau subjek yang sesuai dengan data dalam penelitian. Ini bertujuan untuk menggambarkan hasil dengan lebih sistematis, fakta dan karateristik objek yang diteliti secara tepat dan benar.

4.1

Desain penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah penilitian deskriptif dengan cara survei. Metode ini digunakan bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pengumpulan data diambil dari data sekunder iaitu diperoleh dalam bentuk data terkini Rekam Medik Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. serta data primer dengan wawancara pasien pasca stroke di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Sekiranya tidak terdapat data kekuatan otot yang terkini di dalam rekam medis, dilakukan pemeriksaan kekuatan otot terhadap pasien rawat jalan pasca stroke.

43





44

4.3 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar dan direncanakan akan berlansung pada bulan September – Oktober 2017.

4.4 Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder iaitu dari pengumpulan hasil data terkini Rekam Medik di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar serta data primer dengan wawancara pasien pasca stroke di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Sekiranya tidak terdapat data kekuatan otot yang terkini di dalam rekam medis, dilakukan pemeriksaan kekuatan otot terhadap pasien rawat jalan pasca stroke. Pengumpulan hasil Rekam Medik dalam penelitian ini dikhusukan terhadap pasien pasca yang mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.

4.5 Populasi dan sampel 4.5.1 Populasi Semua pasien rawat jalan pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.







45

4.1.1

Sampel Sampel penelitian ini adalah kesemua pasien pasca stroke yang mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Menggunakan metode total sampling iaitu teknik pengambilan sampel dengan cara seluruh populasi di lokasi penelitian yang datang untuk rawat jalan diambil untuk dijadikan sampel dengan menentukan kriteria inklusi dan eksklusi.

4.2

Kriteria sampel a. Kriteria Inklusi 1. Pasien pasca stroke dengan hemiparesis 2. Data terkini rekam medis yang lengkap 3. Hemiparesis pada sisi tubuh yang dominan 4. Telah mengikuti rehabilitasi medik selama > 4 minggu 5. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani info consent b. Kriteria Eksklusi 1. Sampel yang tidak menjalani proses rehabilitasi secara rutin 2. Sampel dengan kelemahan otot yang disebabkan bukan oleh stroke 3. Sampel dengan nyeri pada extremitas 4. Sampel dengan depressi atau masalah mental yang lain 5. Sampel dengan keluhan parkinson dan epilepsi 6. Sampel yang ada gangguan psikologi





46

4.7

Jenis Data dan Instrumen Penelitian

4.2.1 Jenis data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder iaitu data terkini yang diperolehi daripada Rekam Medik di Rumah Sakit Wahiddin Sudirohusodo serta data primer dengan wawancara pasien pasca stroke di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar Data dicatat dan mengumpul data yang diperlukan seterunya dilakukan pengolahan data berkaitan dengan judul penelitian. Sekiranya tidak terdapat data kekuatan otot yang terkini di dalam rekam medis, dilakukan pemeriksaan kekuatan otot terhadap pasien rawat jalan pasca strok

4.2.2

Instrumen Penelitian • Rekam Medik terkini pasien pasca stroke yang mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. • Fomulir surat persetujuan responden dan permohonan menjadi responden. • Formulir skor The Barthek Index digunakan sewaktu wawancara bersama pasien pasca stroke yang mendapatkan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar





47

4.3

Manajemen Data

4.3.1 Cara Pengumpulan Data Cara yang digunakan untuk mengambil data ini adalah pertama dengan membuat surat izin penelitian bagi melakukan penelitian pada pasien pasca stroke di di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Seterusnya, pengambilan data mengikut populasi dan sampel yang berkaitan dengan judul penelitian. Serta melakukan wawancara dengan pasien pasca stroke dengan menggunakan borang skor The Barthel Index. Sekiranya tidak terdapat data kekuatan otot yang terkini di dalam rekam medis, dilakukan pemeriksaan kekuatan otot terhadap pasien rawat jalan pasca stroke. 4.3.2 Pengolahan dan Analisa data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder iaitu data yang diperolehi dari kumpulan data terkini Rekam Medik di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo serta data primer iaitu dengan melakukan wawancara sama pasien bagi mendapatkan skor status fungsional. Sekiranya tidak terdapat data kekuatan otot yang terkini di dalam rekam medis, dilakukan pemeriksaan kekuatan otot terhadap pasien rawat jalan pasca stroke. Segala data yang memenuhi kriteria inklusi akan dicatat dan dilakukan pengumpulan serta analisa data. Analisa data dilakukan meliputi mean, median, table distribusi, frekuensi, presentasi serta diagram. Segala analisa data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel. Seterusnya, inteprestasi data dan diakhiri dengan membuat kesimpulan hasil dari penelitian.





48

4.4

Etika Penelitian Dari segi etika penelitian, sekiranya bagian instalasi rekam medik menolak permohonan kebenaran penelitian di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo perlulah dihormati segala kata putus dari kebijakan Rumah Sakit. Selain itu, segala maklumat pasien tidak kira identitas atau privasi sampel perlulah dirahsiakan serta dijaga dengan rapi. Oleh itu, bagi menjaga kerahsiaan pasien, segala identitas pasien tidak disatukan dalam hasil penelitian. Sebelum memulakan wawancara dengan pasien, lembar persetujuan diberikan kepada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan sekiranya pasien itu menolak untuk diwawancara, kita perlulah menghormati keputusan yang dilakukan oleh mereka.







4.10 Alur penelitian

Pemilihan masalah

Studi pendahuluan

Penyusunan Rancangan Masalah

Menetapkan Lokasi Penelitian dan Populasi serta Sampel sesuai dengan Kriteria Inklusi

Pengumpulan data primer (wawancara) dan data sekunder (Rekam Medis)

Laporan Hasil Penelitian

Analisis, pengolahan dan penyajian data

Kesimpulan

49





BAB 5 HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan mulai bulan September sehingga bulan Oktober 2017 dengan mengambil data primer dan data sekunder pasien pasca stroke di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, dilihat dari segi umur, jenis kelamin dan jenis stroke. Data yang diperolehi dengan memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 28 pasien. 5.1 Karakteristik Penelitian Pasien Pasca Stroke Tabel 5.1: Distribusi Karakteristik Penelitian Pasien Pasca Stroke KARAKTERISTIK JENIS KELAMIN

UMUR

JENIS STROKE

FREKUENSI

PERSENTASE

LAKI-LAKI

18

64%

PEREMPUAN

10

36%

TOTAL

28

100%

< 45 TAHUN

4

14%

45 - 65 TAHUN

21

75%

> 65 TAHUN

3

11%

TOTAL

28

100%

HEMORAGIK

4

14%

NON HEMORAGIK

24

86%

TOTAL

28

100%

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder

50





51

Berdasarsakan tabel 1, jenis kelamin laki-laki bagi pasien pasca stroke lebih banyak yaitu 18 orang (64%) berbanding jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 10 orang (36%). Seterusnya, pasien pasca stroke kebanyakan berumur dalam lingkungan 45 – 65 tahun yaitu sebanyak 21 orang (75%) diikuti umur di dibawah 45 tahun yaitu sebanyak 4 orang (14%) dan diatas 65 tahun sebanyak 3 orang (11%).Selain itu, tabel 1 juga menunjukkan bahwa berdasarkan jenis stroke, pasien pasca stroke yang memiliki jenis stroke non hemoragik lebih banyak yaitu 24 orang (86%) dan jenis hemoragik sebanyak 4 orang (14%).

5.3 Total distribusi fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar Graph 5.1 Total distribusi fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi.







52

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder Berdasarkan Graph 5.1, menunjukkan bahwa sebanyak 28 orang pasien yang merupakan pasien pasca stroke yang telah mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi.12 orang (43%) daripada mereka mempunyai kekuatan otot 3/4 dan Daripada 12 orang tersebut, 2 orang (17%) ketergantungan ringan dalam aktivitas seharian manakala sisanya 10 orang (83%) ketergantungan sedang. Seterusnya, 9 orang (32%) daripada total pasien pasca stroke mempunyai kekuatan otot 4/4.Daripada 9 orang tersebut, 7 orang (78%) dari mereka ketergantungan ringan dalam kemandirian aktivitas seharian mereka manakala 2 orang (22%) lagi berada di tahap mandiri. Bagi pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 3/3 adalah sebanyak 5 orang (19%) dan kesemuanya (100%) ketergantungan berat dalam kemandirian aktivitas seharian mereka. 1 orang (3%) daripada total pasien pasca stroke mempunyai kekuatan otot 5/4 dan 1 orang (3%) lagi mempunyai kekuatan otot 3/2. Pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 5/4 yaitu sebanyak 1 orang (100%) boleh bermandiri dalam aktivitas seharian mereka manakala bagi pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 3/2 yaitu sebanyak 1 orang (100%) masih ketergantungan berat dalam aktivitas seharian mereka.









53

5.3 Distribusi fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar berdasarkan kategori jenis kelamin. Graph 5.2 Jenis Kelamin Laki – Laki

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder Graph 5.2 menunjukkan bahwa sebanyak 18 orang pasien laki-laki yang merupakan pasien pasca stroke yang telah mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi.5 orang (28%) daripada mereka mempunyai kekuatan otot 4/4.Daripada 5 orang tersebut, 2 orang (40%) dari mereka bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka manakala sisa 3 orang (60%) berada di tahap ketergantungan ringan.







54

Seterusnya, 8 orang (44%) daripada total pasien jenis kelamin laki-laki mempunyai kekuatan otot 3/4 dan 2 orang (25%) dari mereka ketergantungan ringan dan sisanya 6 orang (75%) ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka. Bagi pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 3/3 dengan jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 3 orang (16%) dan kesemuanya (100%) masih ketergantungan berat dalam aktivitas seharian mereka. 1 orang (6%) daripada total pasien pasca stroke dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai kekuatan otot 5/4 dan pasien itu (100%) dapat bermandiri dalam aktivitas sehariannya manakala 1 orang (6%) lagi mempunyai kekuatan otot 3/2 dan pasien itu (100%) ketergantungan berat.

Graph 5.3 Jenis Kelamin Perempuan.

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder







55

Table 5.4 menunjukan bahwa total pasien pasca stroke dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 10 orang.4 orang (40%) dari mereka mempunyai kekuatan otot 4/4 dan ke semua 4 orang (100%) itu ketergantungan ringan dalam aktivitas seharian mereka. 4 orang (40%) dari total pasien pasca stroke dengan jenis kelamin perempuan mempunyai kekuatan otot 3/4 dan ke semua 4 orang (100%) itu barada di tahap ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka. Seterusnya bagi pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 3/3 dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 2 orang (20%) dan 2 orang (100%) itu ketergantungan berat dalam aktivitas seharian mereka.

5.4 Distribusi fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar berdasarkan kategori umur. Graph 5.4 Kategori umur dibawah 45 tahun.









56

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder Graph 5.4 menunjukan bahwa sebanyak 4 orang merupakan pasien pasca stroke yang berumur dibawah 45 tahun.1 orang (25%) dari mereka mempunyai kekuatan otot 4/4 dan 1 orang (100%) itu berada di tahap ketergantungan ringan dalam aktivitas seharian mereka. 2 orang (50%) daripada total pasien pasca stroke dengan umur di bawah 45 tahun mempunyai kekuatan otot 3/4 dan 1 orang (50%) dari mereka ketergantungan ringan manakala 1 orang (50%) lagi ketergantungan sedang. Seterusnya, 1 orang (25%) dari pasien pasca stroke yang berumur dibawah 45 tahun mempunyai kekuatan otot 3/3 dan 1 orang (100%) itu berada di tahap kertergantungan berat dalam aktivitas seharian mereka. Graph 5.5 Kategori umur antara 45 – 65 tahun.

Sumber: Data primer dan Data Sekunder







57

Graph 5.5 menunjukan sebanyak 21 orang pasien pasca stroke berumur antara 45-65 tahun. Jumlah bagi pasien pasca stroke yang telah mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi dan berumur antara 45-65 tahun yang mempunyai kekuatan otot 3/4 adalah paling banyak yaitu 9 orang (43%) dan 1 orang (11%) dari mereka ketergantungan ringan manakala 8 orang (89%) lagi ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka. Manakala 6 orang (28%) dari total pasien pasca stroke dengan umur antara 45-65 tahun mempunyai kekuatan otot 4/4 dan 2 (33%) antara mereka bisa bermandiri dalam aktivitas seharian manakala sisa 4 orang (67%) lagi ketergantungan ringan. Seterusnya, jumlah pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 5/4 adalah sebanyak 1 orang (5%) dan 1 orang (100%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka. 4 orang (19%) dari total pasien pasca stroke dengan umur antara 45-65 tahun mempunyai kekuatan otot 3/3 dan ke 4 orang (100%) itu ketergantungan berat dalam aktivitas seharian mereka. Graph 5.6 Kategori umur atas 65 tahun.









58

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder Graph 5.6 menunjukan bahwa pasien pasca stroke yang berumur atas 65 tahun yang mempunyai kekuatan otot 4/4 adalah sebanyak 2 orang (67%) dan ke 2 orang (100%) itu ketergantungan ringan dalam aktivitas seharian mereka. Seterusnya, pasien pasca stroke yang berumur atas 65 tahun yang mempunyai kekuatan otot 3/4 pula adalah sebanyak 1 orang (33%) dan 1 orang (100%) itu berada di tahap ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka. 5.5 Distribusi fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar berdasarkan jenis stroke. Graph 5.7 Jenis stroke non hemoragik.

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder







59

Graph 5.7 menunjukan bahwa pasien pasca stroke dengan jenis stroke non hemoragik yang mempunyai kekuatan otot 4/4 adalah sebanyak 7 orang (29%), 2 orang (25%) dari mereka mendapat bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka dan sisa 5 orang (71%) lagi ber ketergantungan ringan Table 5.6 juga menunjukan bahwa pasien pasca stroke dengan jenis stroke non hemoragik yang mempunyai kekuatan otot 3/4 sebanyak 10 orang (42%) dan 1 orang (10%) dari mereka ketergantungan ringan manakala sisa 9 orang (90%) ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka. 5 orang (21%) dari total pasien pasca stroke dengan jenis stroke non hemoragik mempunyai kekuatan otot 3/3 dan ke semua 5 orang (100%) itu ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka. Seterusnya, dari table 5.6 juga kita dapat melihat jumlah pasien pasca stroke dengan jenis stroke non hemoragik yang mempunyai kekuatan otot 5/4 adalah sebanyak 1 orang (4%) dan 1 orang (100%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka. Selain, 1 orang (4%) dari total pasien pasca stroke dengan jenis stroke non hemoragik juga mempunyai kekuatan otot 3/2 dan 1 orang (100%) itu ketergantungan berat dalam kemandirian aktivitas seharian mereka.







60

Graph 5.8 Jenis stroke hemoragik

Sumber: Data Primer dan Data Sekunder Graph 5.8 menunjukan bahwa pasien pasca stroke dengan jenis stroke hemoragik yang mempunyai kekuatan otot 4/4 adalah sebanyak 2 orang (50%) dan ke semua 2 orang (100%) itu ketergantungan ringan dalam aktivitas seharian mereka. Seterusnya graph 5.8 juga menunjukan bahwa pasien pasca stroke dengan jenis stroke hemoragik yang mempunyai kekuatan otot 3/4 sebanyak 2 orang (50%) dan 1 orang (50%) dari mereka berada di tahap ketergantungan ringan manakala 1 orang (50%) ketergantungan sedang dalam aktivitas seharian mereka







BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Pasien Pasca Stroke Melihat dari hasil penelitian, secara keseluruhan didapatkan bahwa dari 28 pasien pasca stroke di Rumah Sakit Wahididn Sudirohusodo, Makassar, sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (64%) dan pasien pasca stroke yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 orang (29%). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Fitria Handayani (2012) yang menunjukkan dari 90 penderita stroke, sebagian besar darinya berjenis kelamin laki-laki yaitu 62 orang (68.9%) dan sisanya 28 orang (31.1%) adalah perempuan. Hal ini menunjukan bahwa insiden stroke lebih tinggi terjadi pada kalangan laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian J Am Geriatr (2010) pola hidup sangat peran dalam meningkatkan risiko terjadinya stroke dan jika dilihat pola hidup laki-laki, mereka lebih sering merokok dalam kehidupan seharian mereka dibandingkan dengan perempuan. Laki–laki lebih berpontensi terkena stroke berbanding perempuan karena adanya hormon estrogen pada perempuan yang sangat berperan dalam proteksi pada proses aterosklerosis (Farida & Amelia, 2009). Selain itu, berdasarkan tabel 5.1 juga menunjukan bahawa dari 28 pasien pasca stroke di Rumah Sakit Wahididn Sudirohusodo, Makassar, sebagian besar pasien berumur antara 45-65 tahun, yaitu sebanyak 21 orang (75%). Hal ini didukung lagi dengan penelitian J. Misbach dan A. Wendra (2000) yang menyatakan bahwa 12, 9% pasien pasca stroke berumur dibawah 45 tahun, serta 61





62



35, 8% diatas 65 tahun dan sisanya 51.3% berumur antara 45-65 tahun. Dari hasil penelitian ini sesuai dengan tinjauan pustaka, dimana semakin bertambah umur semakin meningkat risiko stroke dan hal ini berkaitan dengan terjadinya proses degenerasi serta dinding pembuluh darah juga lebih mudah mengelami penebalan (arteriosklerosis). Seterusnya, bagi jenis stroke, dari hasil penelitian dan berdasarkan tabel 5.1, sebagian besar pasien pasca stroke di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar memiliki jenis stroke non hemoragik yaitu sebanyak 24 orang (86%) manakala sisanya 3 orang (14%) merupakan jenis stroke hemoragik.Hal ini dapat didukung lagi dengan statistic yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2017) yang mengatakan 87% dari kejadian stroke merupakan jenis non hemoragik dan sisanya 13% merupakan jenis hemoragik.Hal ini disebabkan oleh pola gaya hidup yang kurang baik sehingga menyebabkan hipertensi, diebetis melitus serta obesitas yang merupakan faktor risiko bagi terjadi stroke.Insiden stroke jenis hemoragik lebih rendah dikarenakan stroke hemoragik mengalami perdarahan di dalam otak akibat pecahnya pembuluh darah sehingga boleh menyebabkan kematian dan ini memberi kesan pada jumlah pasien pasca stroke jenis hemoragik yang sedikit.







63

6.2 Total distribusi fungsi motorik dan fungsi fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Wahididn Sudirohusodo, Makassar. Penelitian terdahulu oleh Pamela W. Duncan (2004) mengenai pemulihan fungsi motorik dan status fungsional atau Activity of Daily Life (ADL) pada pasien pasca stroke dan telah menemukan bahwa kedua ukuran ini selaras satu sama lain karena fungsi motorik adalah penentu fungsi fisik dan kemandirian yang sangat penting pada ADL setelah stroke pada manusia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan. Dimana dari hasil penelitian, terdapat 1 orang (5%) pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 5/4 dan bisa bermandiri dalam aktivitas seharian serta 9 orang (32%) pasien pasca stroke dengan kekuatan otot 4/4 dan rata-rata mereka ketergantungan ringan yaitu sebanyak 7orang (78%) serta sisanya 2 orang (22%%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka. Manakala bagi pasie pasca stroke yang hanya mempunyai kekuatan otot 3/2 adalah sebanyak 1 orang (3%) dan 1 orang (100%) itu ketergangtungan berat dalam aktivitas sehariannya. Ini menunjukan bahwa betapa pentingnya fungsi motorik dalam kemandirian aktivitas seharian bagi pasien pasca stroke. Hal ini boleh dilihat dari hasil penelitian, dimana 1 orang (3%) pasien pasca stroke yang mempunyai kekuatan otot 5/4 lebih bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka dibandingkan dengan 1 orang (3%) pasien pasca stroke dengan kekuatan otot 3/2 berada di tahap ketergantungan berat untuk melakukan aktivitas seharian mereka. Namun demikian, dari hasil penelitian ini juga pasien pasca stroke yang telah mengikuti penatalaksanaan rehabilitasi mempunyai variasi dalam kekuatan otot dan





64

kekuatan otot yang terbanyak adalah kekuatan otot 3/4 yaitu sebanyak 12 orang (43%). Ini kemungkinan berkaitan dengan lamanya pasien melakukan penatalaksaan rehabilitasi di rumah sakit. Ini dibuktikan lagi dengan penelitian yang dilakukan Wina Yulinda yang menemukan bahwa terapi rehabilitasi atau latihan yang dilakukan lebih 4 minggu lebih berpengaruh positif terhadap kekuatan otot serta status fungsional penderita stroke. Oleh itu, durasi atau tempoh rehabilitasi juga memiliki peranan dalam mengembalikan fungsi motorik yang baik (Tri Wahyunigsih, 2014). Selain itu, penelitian dari Johanna H. Van Den. Lee (2017) mengatakan proses pemulihan motorik bagi extremitas atas sering kali lebih lama daripada extremitas bawah. Ini dibuktikan dari hasil penelitian ini dimana fungsi motorik bagi extremitas atas dengan kekuatan otot 3 lebih banyak berbanding extremitas bawah yaitu sebanyak 64%. Seterusnya, hemiparesis pada extremitas atas dapat menyebabkan berbagai keterbatasan sehingga pasien banyak mengalami ketergantungan dalam aktivitas seharian mereka. (Yanti Cahyati, 2013) Hal ini karena, extremitas atas sangat berperan dalam melakukan aktivitas seharian seperti makan, mandi, kebersihan diri, berpakaian, toileting dan lain-lain. Ini dapat dibuktikan juga dari hasil penelitian ini dimana walaupun 21 orang (75%) daripada pasien pasca stroke mempunyai kekuatan otot yang sama yaitu 4 bagi extremitas bawah, 9 (43%) daripada mereka mempunyai kekuatan otot 4 pada extremitas atas dan 2 (22%) dari mereka bisa bermandiri manakala 12 orang (57%) lagi mempunyai kekuatan otot 3 pada extremitas atas dan tiada dari mereka yang bisa bermandiri dalam aktivitas seharian. Ini menunjukan bahwa kekuatan otot bagi extremitas atas sangat berperan bagi pasien pasca stroke





65

dalam mencapai kemandirian bagi aktivitas seharian mereka walaupun mempunyai kekuatan otot yang baik pada extremitas bawah. 6.3 Fungsi motorik dan fungsi fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan graph 5.1 dan 5.2 didapatkan bahwa dari 28 pasien pasca stroke yang mengikuti penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak mempunyai fungsi motorik

yang lebih tinggi dibanding perempuan yaitu

kekuatan otot 5/4 sebanyak 1 orang (6%) dan kekuatan otot 4/4 sebanyak 5 orang (45%).Manakala bagi perempuan kekuatan otot 5/4 tidak ada ( 0% ) dan kekuatan otot 4/4 hanya sebanyak 4 orang (45%) dari jumlah total jenis kelamin perempuan pasien pasca stroke yang mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar.Hal ini didukungkan lagi dengan penelitian dari J.D MacDougall dan M.A. Tarnopolky, 1992 yang telah menemukan sebuah korelasi yang signifikan antara kekuatan dan muscle cross –sectional area.Penilitian tersebut juga menemukan para perempuan memiliki cross –sectional area otot yang lebih kecil serta laki-laki memiliki area serat tipe 1dan tipe 2 yang lebih besar secara signifikan.Hal ini secara tidak langsung dalam proses pemulihan kekuatan otot pada laki-laki jauh lebih cepat meningkat dibandingkan dengan perempuan . Untuk kemandirian beraktivitas, hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki mempunyai status fungsional yang lebih baik dimana 3 orang (17%) dari mereka bisa bermandiri dalam aktivitas seharian dan 5 orang (28%)





66

dari mereka juga cuma ketergantungan ringan. Manakala bagi perempuan, dari hasil penelitian cuma 4 (40%) orang yang ketergantungan ringan dan tidak ada dari mereka yang bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakkan wanita memiliki lebih banyak gangguan fisik dan keterbatasan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL) dan sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin ini bertahan beberapa tahun setelah stroke dengan wanita umumnya memiliki hasil fungsi yang lebih buruk, lebih banyak pembatasan dalam partisipasi, dan menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan dalam jangka panjang setelah stroke. (Sarah Meyer, 2015). Hal ini juga mungkin sangat dipengaruhi oleh variabel lain seperti dukungan psikososial. 6.4 Fungsi motorik dan fungsi fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti

program

rehabilitasi

di

Rumah

Sakit

Wahidin

Sudirohusodo, Makassar berdasarkan kategori umur. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 28 pasien pasca stroke yang mendapatkan penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Wahididn Sudirohusodo, pasien yang berumur antara 45 – 65 tahun lebih banyak menunjukan fungsi motorik yang lebih baik yaitu sebanyak 1 orang (5%) dengan kekuatan otot 5/4 dan 1 orang (100%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian serta 6 orang ( 28%) lagi dengan kekuatan otot 4/4 dan 2 orang (33%) dari mereke itu bisa bermandiri dan sisanya 4 orang (67%) ketergantungan ringan berbanding dengan pasien pasca stroke yang berumur di atas 65 tahun dimana cuma 2 orang (67%) dari mereka mempunyai kekuatan otot 4/4





67

dan 2 orang (100%) itu ketergantungan ringan dalam aktivitas seharian. Dari penelitian Fulvio Lauretani (2003) ada melakukan studi observasional dan telah menunjukkan bahwa massa otot dan kekuatan mencapai nilai puncaknya antara dekade kedua dan keempat kehidupan dan kemudian menurun dengan stabil dengan penuaan. Dia juga ada mengatakan kekuatan otot isometrik, daerah kekuatan otot dan area cross-sectional otot berubah seiring bertambahnya umur. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan proses pemulihan kekuatan otot bagi pasien pasca stroke yang sudah berumur tua atau atas >65 tahun mengambil masa yang lebih lama dibanding dengan umur yang lain. Selain itu, dari penelitian Yalcinkaya, Toklu & Caglar (2009) mengatakan bahwa umur sangat berperan terhadap kemampuan motorik pasien pasca stroke. Hal ini karena, kemampuan pasien yang berumur atau lansia dalam melakukan latihan tidak semaksimal atau sebaik dengan pasien umur muda. Namun demikian, penelitian tersebut juga mengatakan dengan menjalani latihan rehabilitasi dengan lebih kerap dan lama, pasien dengan umur tua tetap bisa memulihkan kemampuan motorik serta mengembalikan outcome fungsionalnya bagi bisa bermandiri dalam aktivitas seharian.







68

6.5 Fungsi motorik dan fungsi fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti

program

rehabilitasi

di

Rumah

Sakit

Wahidin

Sudirohusodo, Makassar berdasarkan kategori jenis stroke. Berdasar graph 5.7 dan 5.8 didapatkan bahwa dari 28 pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Wahididn Sudirohusodo, pasien pasca stroke yang memiliki jenis stroke non hemoragik lebih banyak iaitu sebanyak 24 orang (86%) dan mereka juga menunjukan fungsi motorik serta status fungsional yang lebih baik dimana 1 orang(4%) dari mereka mempunyai kekuatan otot 5/4 dan 1 orang (100%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka.Selain itu, 7 orang (29%) dari mereka juga mempunyai kekuatan otot 4/4 dan 2 orang (29%) dari nya bisa bermandiri dan sisanya 5 orang (71%) ketergantungan ringan dalam melakukan aktivitas seharian mereka. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Vera P. M. Schepers (2008) yang mengemukan dari 12 hingga 26 minggu post-stroke, penderita dengan infark serebral menunjukkan pemulihan yang lebih cepat. Durasi masa pemulihan adalah lebih terhad untuk penderita dengan pendarahan intracerebral dimana peningkatan statistik secara signifikan dalam aktivitas kehidupan seharian dijumpai sehingga 10 minggu post-stroke pada penderita dengan pendarahan intracerebral, manakala penderita dengan infark serebral menunjukkan pemulihan yang signifikan secara statistik sehingga 26 minggu post-stroke.







69

Selain itu, pasien pasca stroke yang ditemukan di lapangan lebih banyak dengan jenis non hemoragik dibandingkan pasien dengan jenis hemoragik, hal ini demikian karena pasien stroke hemoragik memiliki kondisi yang tidak memungkin untuk dilakukan intervensi disebabkan penurunan kesedaran, sehingga untuk memulihkan kekuatan otot memerlukan waktu yang lebih lama dibanding dengan pasien pasca stroke non hemoragik.Selain itu, pasien dengan stroke hemoragik memiliki tingkat kematian dini yang lebih tinggi Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dengan stroke hemoragik mungkin tidak benarbenar mewakili populasi umum.







BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan Setelah melaksanakan penelitian mengenai “Karakteristik fungsi motorik dan status fungsional pada pasien pasca stroke yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar”, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan hasil distribusi frekeunsi pasien pasca stroke dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu sebanyak 18 orang (64%). 2. Berdasarkan hasil distribusi frekeunsi pasien pasca stroke dengan usia antara 45-65 tahun lebih banyak yaitu 21 orang (75%). 3. Berdasarkan hasil distribusi frekeunsi pasien pasca stroke dengan jenis stroke non hemoragik lebih banyak yaitu 24 orang (86%). 4. Berdasarkan hasil distribusi frekeunsi, pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak mempunyai fungsi motorik yang lebih tinggi dibanding perempuan yaitu kekuatan otot 5/4 sebanyak 1 orang (6%) dan kekuatan otot 4/4 sebanyak 5 orang (45%). Manakala untuk kemandirian beraktivitas, hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki mempunyai status fungsional yang lebih baik dimana 3 orang (17%) dari mereka bisa bermandiri dalam aktivitas seharian dan 5 orang (28%) dari mereka juga cuma ketergantungan ringan

70





71

5. Berdasarkan hasil distribusi frekeunsi, pasien yang berumur antara 45 – 65 tahun lebih banyak menunjukan fungsi motorik serta status fungsional yang lebih baik yaitu sebanyak 1 orang (5%) dengan kekuatan otot 5/4 dan 1 orang (100%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian serta 6 orang (28%) lagi dengan kekuatan otot 4/4 dan 2 orang (33%) dari mereke itu bisa bermandiri dan sisanya 4 orang (67%) ketergantungan ringan. 6. Berdasarkan hasil distribusi frekeunsi, pasien pasca stroke yang memiliki jenis stroke non hemoragik lebih banyak iaitu seramai 24 orang (86%) dan mereka juga menunjukan fungsi motorik serta status fungsional yang lebih baik dimana 1orang (4%) dari mereka mempunyai kekuatan otot 5/4 dan 1 orang (100%) itu bisa bermandiri dalam aktivitas seharian mereka. Selain itu , 7 orang (29%) dari mereka juga mempunyai kekuatan otot 4/4 dan 2 orang (29%) dari nya bisa bermandiri dan sisanya 5 orang (71%) ketergantungan ringan dalam melakukan aktivitas seharian mereka.

7.3 Saran 1. Diharapkan penelitian lebih lanjut dilakukan mengingat bahwa masih kurangnya penelitian yang serupa , khususnya di Indonesia. 2. Bagi penelititi yang akan datang agar dapat menghubungkan kekuatan otot pasien pasca stroke dengan faktor – faktor yang lain yang diduga terutamanya lamanya waktu rehabilitasi untuk pasien pasca stroke dan tingkat keparahan stroke seseorang.









DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Neurology. 2017. Speak Up.National Institute of Neurological Disorders and Stroke. accessed 6 September 2017. Diunduh dari: 2. American Heart Association. 2013. Together to End Stroke. National Council. Accessed 6 September 2017. Diunduh dari: 3. Benjamin EJ and Blaha MJ. 2017. Heart Disease and Stroke Statistics-2017 Update. Stroke Journal of The American Heart Association. Vol.135. No.10. pp229-232. accessed 6 September 2017. Diunduh dari: 4. Bo Norrving. 2014. Stroke and Cerebrovascular Disease. 1st Edition. United States: Oxford University Press. pp.9-18, 35-50, 124-139, 236-242. 5. Bruce Abernethy. 2005. The Biophysical Foundations of Human Movement. 2nd Edition. Australia: Palgrave Macmillan. pp.197. 6. Bruce Ovbiagele and Tanya N.Turan. 2016. Ischemic Stroke Therapeutics. 1st Edition. Switzerland: Springer International. pp.1-7, 195-202. 7. Carolee J.Winstein. 2016. Guidlines for Adult Stroke Rehabilitation and Recovery. Stroke Journal of The American Heart Association. Vol.47. No.6. pp.98-169. accessed 6 September 2017. Diunduh dari:

72





73

8. Centre for Disease Control and Prevention. 2017. Strokes Facts. National Center for Chronic Disease Prevention. accesed 6 September 2017. Diunduh dari: < https://www.cdc.gov/stroke/facts.htm > 9. Judith Mackay and George A. Mensah. 2004. The Atlas of Heart Disease and Stroke. 1st Edition. Switzerland: World Health Organization in collaboration with The Centers for Disease Control and Prevention. pp.2426, 50-53. 10. Handayani Fitria. 2012. Angka kejadian Serangan Stroke pada Wanita lebih Rendah daripada Laki-Laki. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang. 11. Fulvio Lauretani. 2003. Age-associated Changes in Skleteal Muscle and Their Effect on Mobility. Journal of Applied Physiology. Vol.95. No.5. pp.1851-1860. 12. Margaret Kelly. 2010. Influence of Age and Health Behaviour on Stroke Risk. Journal of The American Geriatrics Society. Vol.58. No.2. pp.s325s328. 13. Mirjana Vidovic. 2011. Incidence and Types of Speech Disorder in Stroke Patients. Acta Clin Croat. Vol.50. No.4. pp.491-494. 14. J.Misbach and A.Wendra. 2000. Clinical Pattern of Hospitalized Strokes in 28 Hospitals in Indonesia. Thesis. University of Indonesia, Jakarta. 15. J.D MacDougall and M.A Tarnopolky. 1992. Gender Difference in Strength and Muscle Fiber Characteristics. Thesis. McMaster University, Canada.







74

16. Johanna H.Vander Lee. 2000. Forced Use of The Upper Extremity in Chronic Stroke patients. Stroke Journal of The American Heart Association. Vol.33. No.11. pp.2369-2375. accesed 5 November 2017. Diunduh dari: < http://stroke.ahajournals.org/content/strokeaha/30/11/2369.full.pdf > 17. Katherine Salter Phd. 2016. Post Stroke Depression and Mood Disorders. Heart&Stroke Foundation canadian Partnership for Stoke Recovery. accesed 5 November 2017. Diunduh dari: 18. Lauralee Sherwood. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC. pp.277-230. 19. Pamela W.Dunca, PhD. 2000. Measurement of Motor Recovery after Stroke. Stroke Journal of The American Heart Association. Vol.23. No.8. pp1084-1089. 20. Raj.N.Kalaria. 2016.Stroke Injury, Cognitive Impairment and vascular Dementia. Thesis. University of Ibadan, Nigeria. 21. Ramadhani Tri Pirnomo. 2016. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Akut pada Pasien Pasca Stroke. E-journal STIKES. Vol.12. No.24. pp.11-31. accessed in 5 November 2017. Diunduh dari: 22. RIset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. pp.91-94.







75

23. Sarah Mayer, MSC. 2015. Functional and Motor Outcome 5 Years after Stroke is Equivalent to Outcome of 2 Months. Stroke Journal of The American Heart Association. Vol.46. No.6. pp.1613-1619. 24. Shawan Kumar. 2004. Muscle Strength. 1st Edition. Florida: CRC Press. pp.2-4, 13-30. 25. Sirly Nabireta. 2015. Barthel Index Score in Stroke Patients Increase After Undergoing Medical Rehabilitation. Thesis. University of Airlangga, Surabaya. 26. Smith,G. 2014. Acute Stroke-Diagnosis and Management. Scotish Universities Medical Journal. Vol.3. No.1. pp.18-27. 27. Stephen L.Hauser. 2017. Harrison's Neurology in Clinical Medicine. 4th Edition. Carlifornia: Mc Graw-Hill Education.pp.323-361. 28. Tri Wahyunigsih. 2014. Gambaran Peningkatan Kekuatan Otot pada Pasien Pasca Stroke yang Mendapatkan Pelayanan Fisioterapi. Skripsi. Makassar: Universitas Kedokteran. 29. National Institutes Of Health. 2016. Research Plan on Rehabilitation booklet. U.S Department of Health and Human Services, United States. 30. Vera P.M Scleper. 2008. Functional Recovery differs between Ischemic and Haemorrhage Stroke Patients. Journal of Rehablitation Medicine. Vol.40. No.6. pp.487-489. 31. World Health Organization. 2016. Stroke, Cerebrovascular Accident. National Stated. Accesed 6 September 2017. Diunduh dari: < http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/ >









32. Yalcinkaya, E.Y Toklu. 2009. Effects of Age, Gender and Cognitive , Functional and Motor Status on Functional outcomes of Stroke Rehabilitation. Thesis. Istanbul Physical Therapy and Rehabilitation Training and Research Hospital, Turkey. 33. Yanti Cahyati. 2013. Perbandingan Peningkatan Kekuatan Otot Pasien Hemiparesis Melalui Latihan Range of Motion Unilateral dan Bilateral. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol.16. No.1. hal.40-46. 34. Yayasan Stroke Indonesia. 2010. Faktor Stroke di Indonesia. Jakarta.



76





DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Pemohonan izin Penelitian





Lampiran 2: Permohonan Rekomendasi Etik







Lampiran 3: Rekomendasi Persetujuan Etik







Lampiran 4: Pemohonan Menjadi Responden PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada YTH. Saudara(i) Responden Di – Tempat – Dengan hormat, Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan maka saya: Nama: Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi NIM: C11114844 Alamat: Rusunawa Universitas Hasanuddin, Jalan Sahabat Sebagai mahasiswa Program Studi S1 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, bermaksud akan melaksanakan penelitian dengan judul: ” Karakteristik kekuatan otot pasien pasca stroke terhadap Activities

of

Daily

Life

(ADL)

yang

mendapatkan

penatalaksanaan rehabilitasi di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.” Sehubungan dengan hal di atas kami mohon saudara(i) dapat meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan berikut ini dengan jujur dan benar. Pendapat/jawaban yang saudara(i) berikan akan saya jamin kerahasiaannya. Saudara berhak untuk menyetujui atau menolak menjawab pertanyaan ini. Apabila bersetuju, saudara(i) dipersilahkan untuk menandatangani surat perjanjian yang tersedia. Atas partisipasi dan kebijakannya yang baik saya mengucapkan terima kasih. Makassar ، September 2017 (Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi ) (C 111 14 844 )







Lampiran 5: Fomulir Informed Consent SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN (INFORMED CONSENT)

Surat persetujuan menjadi responden

Setelah mendapat penjelasan dan saya memahaminya, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jenis kelamin* : Laki-laki / perempuan No Stambuk : Umur : Nomor telepon : dengan ini menyatakan secara sukarela SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Demikianlah surat pernyataan persetujuan ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sadar tanpa adanya paksaan dari siapapun. Makassar, Saksi 1: …………………….. ( ) Saksi 2: ……………………… ( ) Peneliti, (Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi) Penanggung Jawab Penelitian Nama : Izz Fadhli Bin Mohd Shuhaimi Alamat : Blok C406 , Rusunawa 2 UNHAS No HP : +6287840377450





2017 Yang menyetujui





Lampiran 6: Fomulir Barthel Index

Nama pasien : Nama penilai : Date : Activity Score Makan 0 = Tidak mampu 5 = perlu ditolong memotong makanan 10 = Mandiri Mandi 0 = Tergantung orang lain 5 = Mandiri Grooming / Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain 5 = Mandiri dalam perawatan muka , rambut , gigi dan bercukur Berbaju 0 = Tergantung orang lain 5 = Sebagian dibantu ( misalnya mengancing baju ) 10 = Mandiri ( button ) Buang air kecil ( Bladder ) 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak terkontrol 5 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam) 10 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari) Buang air besar ( bowel ) 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema) 5 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu) 10 = Kontinensia (teratur) Pengunaan Toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain 5 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri 10 = Mandiri Transfer ( tempat tidur ke kursi ) 0 = Tidak mampu 5 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang) 10 = Bantuan kecil (1 orang) 15 = Mandiri

Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu) 5 = Menggunakan kursi roda 10= Berjalan dengan bantuan satu orang 15 = Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu seperti, tongkat) Naik turun tangga 0 = Tidak mampu 5 = Membutuhkan bantuan 10 = Mandiri



LAmpiran 7: Data Partisipan