T E T A N U S

Download Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telin...

0 downloads 940 Views 116KB Size
T E TAN U S I. NAMA LAIN : LOCKJAW Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis. II.SEJARAH Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad– abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun

1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas. III.ETIOLOGI Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen. Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak. Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui

beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah. IV.EPIDEMIOLOGI Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun. Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan 20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1. V.PATOGENESIS Chlostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya

spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Pandi dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5%. Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara. 1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer. 2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat. Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.

Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus. VI.MANIFESTASI KLINIK Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang. Secara klinis tetanus ada 3 macam : 1. Tetanus umum 2. Tetanus lokal 3. Tetanus cephalic. Tetanus umum: Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis. Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus.

Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.

Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas: 1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang. 2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang. 3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan. Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas: Grade 1: ringan -

Masa inkubasi lebih dari 14 hari

-

Period of onset > 6 hari

-

Trismus positif tetapi tidak berat

-

Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.

Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari. Grade II: sedang -

Masa inkubasi 10–14 hari

-

Period of onset 3 had atau kurang

-

Trismus ada dan disfagia ada.

Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada. Grade III: berat -

Masa inkubasi < 10 hari

-

Period of onset 3 hari atau kurang

-

Trismus berat

-

Disfagia berat.

Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia. Tetanus lokal Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum. Bentuk cephalic Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan. Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek. VII.DIAGNOSIS Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan : -

Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi

-

Gejala klinis; dan

-

Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat normal atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik. VIII.DIAGNOSIS BANDING 1) Meningitis bakterial Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun. 2) Poliomielitis Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat. 3) Rabies Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.

4) Keracunan strichnine Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum. 5) Tetani Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus. 6) Retropharingeal abses Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada. 7) Tonsilitis berat Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada. 8) Efek samping fenotiasin Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot, 9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher. IX.KOMPLIKASI 1) Pada saluran pernapasan Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2) Pada kardiovaskuler Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium. 3) Pada tulang dan otot Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta. 4) Komplikasi yang lain: -

Laserasi lidah akibat kejang;

-

Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja

-

Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Penyebab

kematian

penderita

tetanus

akibat

komplikasi

yaitu:

Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks. X.PROGNOSA Dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1) Masa inkubasi Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.

2) Umur Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin jelek. 3) Period of onset Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek. 4) Panas Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya jelek. 5) Pengobatan Pengobatan yang terlambat prognosa jelek. 6) Ada tidaknya komplikasi 7) Frekuensi kejang Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya. XI.PENGOBATAN / PENATALAKSANAAN 1) Pengobatan Umum: -

Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan harus tenang.

-

Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.

-

Bila perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan tindakan trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.

-

Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka dibersihkan dengan pengisap lendir.

-

Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori.

2) Pengobatan Khusus: a) Anti Tetanus toksin Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk: -

Toksin bebas dalam darah;

-

Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan: -

Anamnesa apakah ada riwayat alergi;

-

Tes kulit dan mata; dan

-

Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.

Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis. Tes mata Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva. Tes kulit Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.

Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka). Dosis Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian. b) Antikonvulsan dan sedatif Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau kesadaran. Obat–obat yang lazim digunakan ialah: -

Diazepam Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral–(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali.

-

Fenobarbital Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis.

-

Largactil Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.

c) Antibiotik. -

Penisilin Prokain Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.

-

Tetrasiklin dan Eritromisin Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin. Tetrasiklin : 30–50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis. Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

d) Oksigen: Bila terjadi asfiksia dan sianosis. e) Trakeostomi Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi: -

Spasme berkepanjangan dari otot respirasi

-

Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan

-

Obstruksi larings; dan

-

Koma.

f) Hiperbarik Diberikan oksigen murni pada tekanan 5 atmosfer.

XII.PENCEGAHAN 1) Perawatan luka Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus. 2) hnunisasi pasif Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu: -

ATS dari serum kuda;

-

Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).

Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat -

1500–3000 u i.m

-

3000–5000 u i.m.

Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata. Dosis TIHG: 250–500 u i.m Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka. 3) Imunisasi aktif Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT. -

DPT : diberikan untuk imunisasi dasar

-

DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat demam dan kejang

-

TT: diberikan pada:

– ibu hamil – anak usia 13 tahun keatas.

Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.

DAFTAR PUSTAKA 1. Adams, E. B.; Holloway, R.; Thambiran, A. K.; Dessy, S. D.: Usefulness of Intermittent Positive Pressure Respirations in The Treatment of Tetanus. Lancet 1966;1176–1180. 2. Annonymous. Human Antitoxin for Tetanus Prophylaxis. Lancet 1974; i 51– 52. 3. Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986; 292: 40–43. 4. Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br. Med. J. 1977; 1:179. 5. Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–260.