TEKNO HUTAN TANAMAN VOL_3 NO_1 2010

Download bahasa Inggris yang tercetak dengan huruf kecil dan c di bawah judul dengan .... tanah berdasarkan sifat kimia, fisik dan biologi tanah seh...

0 downloads 378 Views 961KB Size
TEKNO

HUTAN TANAMAN Vol. 3 No. 1, April 2010

ang Kehutanan mor 5, Po. Box. 331 20005 E-mail: [email protected] w.forplan.or.id

ISSN

9

2085-2967

772085 296777

VOL. 3

No. 1

PEDOMAN PENU TEKNO HUTA ISSN : 2085-2967 1.

Tekno Hutan Tanaman adalah publikasi ilmia menerbitkan tulisan hasil kajian, sintesa, hasil pe seperti perbenihan, pembibitan, silvikultur, bi tanaman (hama/penyakit, gulma, kebakaran), biome tanaman.

2.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan h 2 (dua) spasi pada kertas A4 putih pada satu perm setiap naskah antara 10 - 20 halaman. Pada semu Naskah sebanyak 2 (dua) rangkap dikirimkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanama bentuk CD atau dikirim melalui email ke alamat : pp_

3.

Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dalam ba tidak lebih dari 10 kata serta harus mencerminkan bahasa Inggris yang tercetak dengan huruf kecil dan c di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah n instansi/institusi.

4.

Isi Naskah terdiri atas: ABSTRACT dengan PENDAHULUAN , HASIL DAN PEMBAH PERSANTUNAN (Ucapan terima kasih; jika ada Penulisan nama jenis harus menyertakan nama il Kesimpulan, contoh : Nyamplung (Calophyllum inop

5.

ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia dan In satu paragraf. Isinya berupa intisari permasalahan, yang dinyatakan secara kuantitatif. Bahasa Inggri Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywor disusun menurut abjad.

6.

PENDAHULUAN berisi : latar belakang/masalah dinarasikan secara singkat pada bagian akhir bab ini.

7.

HASILDAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan Pem

8.

Tabel diberi nomor, judul tabel dan keterangan yang bahasa Indonesia dan Inggris secara jelas dan singkat

9.

Gambar (Gambar, Grafik dan Foto) harus jelas dan d dan Inggris di bagian bawah dan diberi nomor. Fo sumbernya.

AN TANAMAN , April 2010

resmi yang memuat kajian sintesa, hasil pemikiran sat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman rbit tiga kali setahun

ung Jawab ang Hutan Tanaman

Redaksi

gkap Anggota , M.Si. (Silvikultur)

gota ma, M.Sc. (Perlindungan Hutan) drologi dan Konservasi Tanah dan Air) l Ekonomi Kehutanan/Social Forestry) , M.Si. (Biometrika) (Silvikultur dan Fisiologi Pohon)

Bestari an (PT. Inhutani I) MS. (Fakultas Kehutanan IPB)

at Redaksi

gkap Anggota an Evaluasi Penelitian P3HT

gota ayanan Penelitian P3HT niati, S.Hut Pari, S.Hut

kan oleh:

embangan Hutan Tanaman ngembangan Kehutanan n Kehutanan

mat ang Kehutanan No. 5, Po. Box. 331 [email protected], Website: www.forplan.or.id

10. KESIMPULAN DAN SARAN (jika ada) disamp bernomor), serta diusahakan dinyatakan secara kuant

11. PERSANTUNAN berupa ucapan terima kasih kepad

12. DAFTAR PUSTAKA disusun menurut abjad n (disarankan menggunakan pustaka terkini), seperti co

Departemen Kehutanan. 2005. Eksekutif Data Strateg

Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiolog

U.S. Census Bureau. ”American Factfinder : 2001.http://factfinder.census.gov/servlet/B

13. Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah substansi tulisan. Naskah yang tidak diterb

ISSN : 2085-2967

TEKNO

HUTAN TANAMAN Vol. 3 No. 1,April 2010

HUTAN TANAMAN

VOL. 3

No. 1

Hal. 1 - 35

Bogor April 2010

ISSN. 2085-2967

TEKNO HUTAN TANAMAN Vol. 3 No. 1, April 2010 DAFTAR ISI

1.

2.

3.

4.

5.

PENGARUH UKURAN BENIH TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT GMELINA(Gmelina arborea Linn) The Effect of Seed Size on Germination Seed and Growth Seedling Gmelina (Gmelina arborea Linn) Nurmawati Siregar PERTUMBUHAN TIGA PROVENANS MAHONI ASAL KOSTARIKA Growth of Three Provenances of Mahogany from Costarica Asep Rohandi dan/and Nurin Widyani

1-5

7 - 11

ANALISIS SIFAT-SIFAT TANAH DI BAWAH TEGAKAN Eucalyptus urograndis The Analysis of Soil Characteristic under Eucalyptus urograndis Stands Nina Mindawati,Andry Indrawan, Irdika Mansur dan/and Omo Rusdiana

13 - 22

PEMILIHAN BAHAN VEGETATIF UNTUK PENYEDIAAN BIBIT BAMBU HITAM (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) Vegetative Material Selection for Seedling Preparation of Bamboo Hitam Gigantochloa atroviolacea Widjaja) Saefudin dan/and Tati Rostiwati

23 - 28

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAPPERTUMBUHAN VEGETASI Forest Fire Impact on the Growth of Vegetation Wida Darwiati dan/and Faisal Danu Tuheteru

29 -35

TEKNO HUTAN TANAMAN ISSN 2085-2967

Vol. 3 No. 1, 2010

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF) 630*232.3 Nurmawati Siregar (Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor) Pengaruh Ukuran Benih terhadap Perkecambahan Benih dan Pertumbuhan Bibit Gmelina (Gmelina arborea Linn) Tekno Htn Tnm Vol. 3 No. 1, 2010 p:1-5 Gmelina merupakan jenis yang potensial untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan daya berkecambah adalah ukuran benih. Ukuran benih berpengaruh terhadap kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih. Oleh karena itu dilakukan penelitian pengaruh ukuran benih terhadap viabilitas benih dan pertumbuhan bibit. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok terdiri dari 3 perlakuan (ukuran benih) dan diulang lima kali. Perlakuan yaitu ukuran besar, sedamg dan kecil. Masing-masing kombinasi perlakuan terdiri dari 50 benih untuk daya berkecambah dan 25 bibit untuk pertumbuhan bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran benih tidak berpengauh terhadap daya berkecambah tetapi benih ukuran besar dan sedang memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi, diameter, panjang akar, berat kering dan rasio tunas akar dibandingkan dengan benih ukuran kecil Kata kunci : Daya berkecambah, pertumbuhan bibit, ukuran benih

UDC(OXDCF) 630*22 Asep Rohandi dan Nurin Widyani (Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor) Pertumbuhan Tiga Provenans MahoniAsal Kostarika Tekno Htn Tnm Vol. 3 No. 1, 2010 p:7-11 Studi pertumbuhan tingkat semai mahoni (Swietenia macrophylla King.) dilakukan terhadap 3 (tiga) provenans asal Kostarika sampai umur 4,5 bulan. Variasi pertumbuhan yang diamati berupa tinggi dan diameter semai. Rancangan yang digunakan untuk menganalisis karakteristik yang diamati menggunakan rancangan acak lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan asal sumber benih (provenans) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter batang semai mahoni. Penampilan karakter pertumbuhan rata-rata tinggi dan diameter semai tertinggi sampai umur 4,5 bulan adalah provenans BL 041 masingmasing sebesar 50,01 cm dan 6,10 mm, sedangkan pertumbuhan terendah dicapai oleh provenan BL 124 dengan tinggi 33,23 cm dan diameter batang 5,63 mm. Pada tingkat uji lapang, pertumbuhan tinggi terbaik umur 2 tahun setelah tanam dicapai oleh provenans BL 041 yaitu 1,99 m. Kata kunci : Swietenia macrophylla, provenans, pertumbuhan, Kostarika

TEKNO HUTAN TANAMAN ISSN 2085-2967

Vol. 3 No. 1, 2010

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF) 630*114.6 Nina Mindawati (Pusat Litbang Hutan Tanaman), Andry Indrawan, Irdika Mansur dan Omo Rusdiana (Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor) Analisis Sifat-sifat Tanah di Bawah Tegakan Eucalyptus urograndis Tekno Htn Tnm Vol. 3 No. 1, 2010 p:13-22 Eucalyptus urograndis merupakan jenis cepat tumbuh yang dikembangkan dalam skala luas di PT Toba Pulp Lestari sebagai bahan baku pulp dalam sistem monokultur dengan rotasi tebang 5 tahun. Pendeknya rotasi tebang dikhawatirkan akan menurunkan kondisi kesuburan tanah di bawahnya. Oleh karena itu analisis sifat-sifat tanah di bawah tegakan E. urograndis pada rotasi 1 dan 2 telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah antara rotasi 1 dan rotasi 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa penanaman jenis E. urograndis pada tanah tipe tanah jenis inceptisol sampai rotasi 2 pada umumnya masih berpengaruh positif terhadap kesuburan tanah berdasarkan sifat kimia, fisik dan biologi tanah sehingga produktivitas tanah pada rotasi 2 masih baik untuk pertumbuhan E. urograndis. Kata kunci : Cepat tumbuh, E. urograndis, kesuburan, sifat tanah

UDC(OXDCF) 630*232.5 Saefudin (Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor) dan Tati Rostiwati (Pusat Litbang Hutan Tanaman) Pemilihan Bahan Vegetatif untuk Penyediaan Bibit Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) Tekno Htn Tnm Vol. 3 No. 1, 2010 p:23-28 Tiga bahan vegetatif yang digunakan untuk memperbanyak bibit bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) dalam penelitian ini adalah stek rimpang, stek batang dan stek cabang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bahan vegetatif yang tepat yang dapat menunjukkan persentase tumbuh tunas yang baik untuk penyediaan bibit bambu hitam. Dari ketiga cara tersebut, cara rimpang menghasilkan persentase tunas tumbuh tertinggi yaitu 84,7%, disusul stek batang 52,5% dan terendah stek cabang 43,7%. Meskipun hasil yang diperoleh dari stek cabang terendah, namun teknik budidaya dengan cara tersebut lebih efisien dan hemat dalam penggunaan bahan. Untuk memperbaiki kemampuan tumbuh dari stek cabang dilakukan dengan merendam cabang terlebih dahulu dalam larutan hormon IBA dosis 5000 ppm selama 2 jam sebelum dibenamkan dalam media budidaya. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan perolehan bibit bambu hitam asal cabang dari sebelumnya 43,7% menjadi 64,5%. Kata kunci : bahan vegetatif, bibit bambu, hormon IBA

TEKNO HUTAN TANAMAN ISSN 2085-2967

Vol. 3 No. 1, 2009

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF) 630*434 Wida Darwiati (Puslitbang Hutan Tanaman) dan Faisal Danu Tuheteru (Program Studi Manajemen Hutan, Universitas Haluoleo, Kendari) Dampak Kebakaran Hutan terhadap Pertumbuhan Vegetasi Tekno Htn Tnm Vol. 3 No. 1, 2010 p 23-35 Salah satu faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap laju degradasi hutan dan deforestasi serta menurunnya kualitas lingkungan hidup di Indonesia adalah kebakaran hutan. Secara ekologis, kebakaran hutan berdampak terhadap menurunnya kualitas ekosistem. Salah satu unsur penting ekosistem hutan yang turut menerima dampak kebakaran hutan adalah vegetasi hutan. Tingkat kerusakan vegetasi hutan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kebakaran hutan. kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. vegetasi mempunyai mekanisme respon dan adaptasi yang berbeda terhadap kejadian kebakaran hutan. Beberapa bentuk adaptasi vegetasi/tanaman terhadap api diantaranya perlindungan tunas, stimulasi pembungaan dan retensi benih. Jenis jenis yang resisten terhadap kebakaran diantaranya Puspa (Schima wallichii), Tembesu (Fagraea fragrans), Sungkai (Peronema canescens), Eucalyptus sp. dan Laban (Vitex pubescens), Larix occidentalis, Pseudotsuga menziesii dan Pinus ponderosa. Kata kunci : Kebakaran hutan, hutan, vegetasi

PENGARUH UKURAN BENIH TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT GMELINA (Gmelina arborea Linn) The Effect of Seed Size on Germination Seed and Growth of Gmelina’s (Gmelina arborea Linn) Seedling Nurmawati Siregar Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX 105, Bogor-16001, Telp./Fax. (0251) 8327768 Naskah masuk : 20 Oktober 2009 ; Naskah diterima : 22 Januari 2010

ABSTRACT Gmelina (Gmelina arborea) is a potensial species to be developed in industrial plantation for timber. One of decisive factor the germination seed and growth seedling is seed size. A seed size was influence upon contain ingredients of seed. Because of that got the research the effect of seed size on germination seed and growth seedling. The experimental design used is Randomized Complete Block Design consist of 3 treatments (seed size). Treatments are large, medium and small seed. Each combination treatment consist of 50 seed for germination seed and 25 seedling for grothf of seedling Eventhough the result show that seed size was not ifluence on germination seed and growth seedling but large and medium seed size give better on height, diameter, long root, dry weight and shoot root ratio than small size. Key words: germination, growth seedling, seed size ABSTRAK Gmelina merupakan jenis yang potensial untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan daya berkecambah adalah ukuran benih. Ukuran benih berpengaruh terhadap kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih. Oleh karena itu dilakukan penelitian pengaruh ukuran benih terhadap viabilitas benih dan pertumbuhan bibit. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok terdiri dari 3 perlakuan (ukuran benih) dan diulang lima kali. Perlakuan yaitu ukuran besar, sedang dan kecil. Masing-masing kombinasi perlakuan terdiri dari 50 benih untuk daya berkecambah dan 25 bibit untuk pertumbuhan bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran benih tidak berpengauh terhadap daya berkecambah tetapi benih ukuran besar dan sedang memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi, diameter, panjang akar, berat kering dan rasio tunas akar dibandingkan dengan benih ukuran kecil. Kata Kunci: daya berkecambah, pertumbuhan bibit, ukuran benih I. PENDAHULUAN Hutan tanaman yang dibangun saat ini, selain mengembangkan jenis-jenis lokal juga mengembangkan jenis-jenis eksotik yang potensial seperti gmelina (Gmelina arborea Linn.). Tanaman ini tumbuh baik di daerah iklim basah sampai kering, pada ketinggian 50 -1.100 m dpl, pada tanah alluvial basah dan tanah berkapur. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan pulp, veneer, kayu lapis, papan partikel dan batang korek api (Martawijaya et al., 1981) Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan jenis ini adalah penggunaan benih bermutu, tersedia dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Salah satu kriteria benih bermutu adalah viabilitas benih (daya

1

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 1 - 5

berkecambah). Perkecambahan benih dimulai dari proses imbibisi atau proses penyerapan air. Proses penyerapan air pada benih adalah proses fisika murni akan tetapi merupakan awal dari perkecambahan, kemudian diikuti proses metabolisme dalam benih sehingga embrio tumbuh menjadi kecambah dan selanjutnya tumbuh menjadi bibit (Mayer dan Poljakof, 1982 dan Bewley and Black, 1994). Kecepatan perkecambahan dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti tanah dan iklim mikro. Faktor genetik terutama struktur kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih seperti karbohidrat, protein, lemak dan hormon pengatur tumbuh. Besarnya kandungan cadangan makanan ini dipengaruhi oleh ukuran benih, semakin besar ukuran benih maka kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih semakin tinggi. Ukuran benih ini sering bervariasi, kendatipun pada jenis tanaman yang sama. Soeseno (1975), menyebutkan bahwa untuk jenis-jenis tertentu, benih-benih dengan ukuran yang lebih besar memiliki mutu fisik dan fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan benih-benih dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga menghasilkan viabilitas benih dan persen tumbuh bibit yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih dengan ukuran yang lebih kecil. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugeng (1975) terhadap tanaman Pinus ochinata, menunjukkan bahwa benih dengan ukuran yang lebih kecil dan sedang memberikan kualitas kecambah maupun kualitas bibit yang lebih baik dibandingkan dengan benih dengan ukuran yang lebih besar. Carnita (1985), melaporkan bahwa benih mahoni (Switenia macrophylla) yang mempunyai ukuran yang lebih besar tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perkecambahan pertumbuhan bibit dibandingkan dengan benih dengan ukuran yang lebih kecil. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas maka dilakukan penelitian pengaruh ukuran benih terhadap viabilitas benih dan pertumbuhan bibit gmelina. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balai Penelitian Teknologi Perbenihan di Bogor. Bahan-bahan yang digunakan adalah benih gmelina, media campuran tanah dan pasir. Alat yang digunakan yaitu timbangan, oven, bak kecambah, desikator, pot tray dan polibag. Seleksi benih dilakukan secara manual yaitu dengan memilih benih yang bagus, tidak keriput, selanjutnya benih diseleksi berdasarkan ukuran yaitu benih dengan ukuran besar, sedang dan kecil. Media tabur yang digunakan terdiri dari campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1. Media disterilkan kemudian dimasukkan ke dalam bak tabur untuk perkecambahan benih dan polibag untuk pertumbuhan bibit. Benih ditabur di dalam bak tabur dan apabila sudah berkecambah disapih ke polibag. Pemeliharaan terdiri dari penyiraman dan penyiangan. Penyiraman dilakukan setiap hari dan penyiangan gulma dengan cara manual yaitu mencabut gulma yang tumbuh di dalam polibag dan disekitar persemaian. Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari satu faktor (ukuran benih) yaitu ukuran besar, sedang dan kecil masing-masing perlakuan terdiri dari 5 ulangan dan setiap satuan unit percobaan terdiri dari 50 buah benih untuk pengamatan perkecambahan dan 25 bibit untuk pengamatan pertumbuhan bibit. Data yang diperoleh diolah dengan Analisis Keragaman dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Tukey. Pengamatan perkecambahan terdiri dari daya berkecambah dan keserempakan tumbuh. Daya berkecambah dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: S kecambah yang tumbuh DB= X 100 % S benih yang ditanam

Penghitungan keserempakan tumbuh ditentukan berdasarkan jumlah benih berkecambah pada minggu ke tiga setelah tanam, dengan rumus sebagai berikut: S kecambah minggu ke 3 KST X 100 % S benih yang ditanam

Pengamatan pertumbuhan bibit dilakukan pada saat bibit berumur 12 minggu setelah tanam (penyapihan). Pengamatan dilakukan dengan cara membongkar bibit kemudian bibit dicuci selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap : persen tumbuh bibit (%), tinggi bibit (cm), diameter bibit (mm), panjang akar (cm), berat kering (mg), ratio tunas dengan akar (dihitung dengan membandingkan berat kering tunas

2

Pengaruh Ukuran Benih terhadap Perkecambahan Benih dan Pertumbuhan Bibit Gmelina (Gmelina arborea Linn) Nurmawati Siregar

dengan berat kering akar bibit). II. UKURAN BENIH DAN KESEREMPAKAN TUMBUH

Gambar (Figure) 1. Seleksi benih gmelina berdasarkan ukuran (Selection seed gmelina based on seed size) (Foto doc. Nurmawati Siregar) Benih yang sudah diseleksi tersebut selanjutnya diukur diameternya dengan menggunakan kaliper. Kisaran ukuran benih disajikan pada Tabel 1. Keserempakan tumbuh merupakan salah satu kriteria benih bermutu, pengamatan terhadap benih yang berkecambah dilakukan selama 3 minggu dimulai dari 1 hari setelah penaburan benih. Keserempakan tumbuh disajikan pada Lampiran 1. Tabel (Table) 1. Seleksi benih gmelina berdasarkan ukuran benih (Selection gmelina seed based on seed size)

Ukuran benih (Seed size) Besar (Big) Sedang (Medium) Kecil (Small)

Diameter (mm) (Diameter)

Tebal (mm) (Thickness)

10 – 13 7 – 10 < 10

16 – 22 14 – 19 14 – 16

III. PENGARUH UKURAN BENIH TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT Ukuran benih gmelina sangat menentukan pertumbuhan bibit, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa ukuran benih berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, panjang akar, berat kering dan ratio tunas dengan akar akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan persen tumbuh bibit. Selanjutnya dari hasil uji beda Tukey, ukuran benih berpengaruh terhadap tinggi bibit, diameter batang, panjang akar, berat kering dan panjang akar dimana disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran benih tidak berpengaruh terhadap daya berkembah dan persen tumbuh bibit akan tetapi memberikan pengaruh terhadap parameter lainnya (tinggi bibit, diameter batang, panjang akar, berat kering dan ratio tunas dengan akar). Hal ini diduga karena benih ukuran besar mempunyai cadangan makanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih ukuran kecil. Menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) dan Soetopo (1985), bahwa semakin besar ukuran benih maka semakin tinggi cadangan makanan yang tersedia dalam benih. Proses perkecambahan dimulai dari proses imbibisi (penyerapan air), dimana laju penyerapan air ini sangat dipengaruhi oleh sifat fisiologi, biokimia dan morfologi dari benih terutama ukuran benih (Schimidt, 2000). Hal yang sama dikemukakan oleh Soeseno (1975), bahwa benih ukuran besar mempunyai kualitas fisik dan fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan benih ukuran kecil. Benih gmelina dengan ukuran yang lebih besar memberikan tinggi bibit, diameter batang, panjang akar, berat kering dan ratio tunas dengan akar yang lebih baik dibandingkan dengan benih yang mempunyai ukuran yang lebih kecil.

3

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 1 - 5

Tabel (Table) 2. Pengaruh ukuran benih terhadap tinggi bibit (Tb), diameter batang (Db), panjang akar (Pa), berat kering (Bk) dan ratio tunas dengan akar (RTA) (The effect of of seed size on height seedling (Tb), diameter seedling (Db) long root (PA), dry weight (BK) and shoot root ratio (RTA)

Rata-rata (Average) Ukuran benih (Seed size)

Tb (cm)

Db (mm)

Pa (cm)

Besar (Big)

41.34 a

3.45

a

31.19 a

2.733

a

2.21

a

Sedang (Medium)

36.89 ab

2.46

b

28.75 ab

2.223

b

1.91

a

Kecl (Small)

34.54

2.23

b

27.12

1.933

b

1.16

b

b

b

Bk (g)

RTA

Keterangan (Remaks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda nyata pada taraf 5% (The numbers followed by the same letters are significantly different at 5% level) Tb =height seedling, Db = diameter seedling,Pa= long root, Bk =dry weight, RTA = shoot root

Benih ukuran besar mempunyai keserempakan tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan benih ukuran kecil. Hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit (tinggi, diameter, panjang akar, berat kering dan ratio tunas dengan akar). Semakin cepat benih berkecambah, maka semakin cepat bibit tumbuh, sehingga pembentukan dan pertumbuhan organ-organ tanaman (tunas, daun, batang dan akar) akan semakin cepat sehingga akan meningkatkan laju proses metabolisme dan fotosintesa dalam bibit dan selanjutnya fotosintat tersebut akan diangkut ke seluruh bagian tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit. Hal ini dapat dilihat dari berat kering bibit dan rasio tunas dengan akar yang lebih baik dibandingkan dengan benih ukuran kecil. Berat kering berkaitan dengan proses metabolisme dan fotosintesa serta menggambarkan status nutrisi tanaman selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertumbuhan tunas, daun dan akar yang lebih cepat akan merangsang pertumbuhan yang lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (1995), bahwa pertumbuhan merupakan fungsi dari efisiensi tanaman dalam memproduksi berat kering tanaman dan mencerminkan status nutrisi tanaman, karena berat kering tergantung dari hasil selisih fotosintesa relatif dan respirasi. Nilai rasio tunas dengan akar ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan tunas dan akar. Bibit dari benih ukuran besar memberikan pertumbuhan bibit yang lebih seimbang karena ratio tunas dengan akar masih berada dalam kisaran angka 1 - 3. Menurut Al Rasyid (1972), rasio tunas dengan akar bibit yang baik berada pada kisaran angka 1 -3. IV. PENUTUP Ukuran benih memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit gmelina. Ukuran benih yang besar dan sedang memberikan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan dengan ukuran benih yang kecil. Oleh karena itu, pengadaan benih gmelina sebaiknya menggunakan benih dengan ukuran besar dan sedang. DAFTAR PUSTAKA Al Rasyid, H. 1972. Teknik Persemaian dan Penanaman di Jepang. Report Training Course Forestry in Japan. Lembaga Penelitian Hutan Bogor. Bewley, J.D and M. Black. 1994. Seed Physiology of Seed Development and Germination. Plenum Press. New York. Bramasto, Y dan K. Nurhayati. 1999. Pengaruh ukuran dan cara ekstraksi buah Khaya anthoteca terhadap perkecambahan serta mutu bibit. Buletin Teknologi Perbenihan Vol.3.2. 1996. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor.

4

Pengaruh Ukuran Benih terhadap Perkecambahan Benih dan Pertumbuhan Bibit Gmelina (Gmelina arborea Linn) Nurmawati Siregar

Carnita, C. 1985. Pengaruh berat buah dan biji terhadap perkecambahan benih mahoni (Switenia macrophylla). SkripsiAkademi Ilmu Kehutanan Bandung. Tidak Dipublikasikan. Goldsworthy, P.R. and NM. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gajah Mada University Press. Hendromono. 1996. Pengaruh Ukuran Benih terhadap Persen Jadi dan Pertumbuhan Bibit Hymenaea combaril L. Buletin Teknologi Perbenihan Vol.3.2. 1996. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana., Y.I. Mandang., S.A, Prawira., K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Mayer,A.M. and M.A. Poljakoff. 1982. The Germination of Seed. Pergamon Press. Salisbury, F.B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan. ITB Press. Bandung. Schimidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta Soeseno, H. 1975. Fisiologi Tumbuhan. DepartemenAgronomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soetopo, L. 1995. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Jakarta. Sugeng, S.P.B.S. 1975. Studi mengenai pengaruh ukuran Cone dan biji Pinus merkusii Jung et de Vries terhadap Perkecambahan. Lampiran Kertas Kerja. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

5

PERTUMBUHAN TIGA PROVENANS MAHONI ASAL KOSTARIKA Growth of Three Provenances of Mahogany from Costarica Asep Rohandi dan/and Nurin Widyani Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 Bogor - 16001, Telp./Fax. (0251) 8327768 Naskah masuk : 1 Juni 2009 ; Naskah diterima : 16 Februari 2010

ABSTRACT Seedling growth of three Costarican provenances of mahogany (Swietenia macrophylla King.) was assessed up to 4.5 months old in the nursery. Differences between provenances were significant for height, but not significant for root collar diameter. At 4.5 months the best provenance was BL 041 having seedling height of 50 cm and root collar diameter of 6.1 mm, while the poorest provenance was BL 124, having seedling height of 33.2 cm and root collar diameter of 5.6 mm. At the age of 2 years after planting, the best height was presented by BL 041 provenans, i.e. 1.99 m. Key words : Swietenia macrophylla, provenances, growths, Costarica ABSTRAK Studi pertumbuhan tingkat semai mahoni (Swietenia macrophylla King.) dilakukan terhadap 3 (tiga) provenans asal Kostarika sampai umur 4,5 bulan. Variasi pertumbuhan yang diamati berupa tinggi dan diameter semai. Rancangan yang digunakan untuk menganalisis karakteristik yang diamati menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan asal sumber benih (provenans) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter batang semai mahoni. Penampilan karakter pertumbuhan rata-rata tinggi dan diameter semai tertinggi sampai umur 4,5 bulan adalah provenans BL 041 masing-masing sebesar 50,01 cm dan 6,10 mm, sedangkan pertumbuhan terendah dicapai oleh provenan BL 124 dengan tinggi 33,23 cm dan diameter batang 5,63 mm. Pada tingkat uji lapang, pertumbuhan tinggi terbaik umur 2 tahun setelah tanam dicapai oleh provenans BL 041 yaitu 1,99 m. Kata kunci : Swietenia macrophylla, provenans, pertumbuhan, Kostarika I. PENDAHULUAN Mahoni (Swietenia macrophylla King.) merupakan jenis kayu asing dan menjadi prioritas dalam pembangunan hutan tanaman saat ini. Jenis ini mempunyai pasaran yang cukup baik dalam perdagangan kayu di Indonesia dan banyak digunakan untuk bahan meubel, bangunan dan konstruksi. Tanaman ini banyak ditanam atau dikembangkan di seluruh Jawa dan tumbuh baik pada ketinggian 50-1.400 m dpl dengan curah hujan 1.600-4.000 mm/tahun (Gintings et al., 1998). Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial-Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Indonesia Forest Seed Project (IFSP) mendatangkan benih mahoni dari beberapa provenans asal Bolivia dan Kostarika. Benih asal Kostarika terdiri dari tiga provenans, sedangkan benih asal Bolivia terdiri dari satu provenans. Sebelum provenans-provenans ini digunakan untuk kegiatan penanaman dalam skala luas, maka perlu dilakukan pengujian baik pada tingkat semai ataupun aplikasinya di lapangan. Suhendi (1995) menjelaskan bahwa benih yang berasal dari berbagai sumber benih alami (provenans) memerlukan proses aklimatisasi, naturalisasi dan domestikasi yang harus dikaitkan dengan percobaan provenans untuk menghindari kerugian dan kegagalan serta untuk menilai keberhasilan pertumbuhan di suatu tempat tumbuh tertentu.

7

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 7 - 11

Pengembangan ketiga provenans ini juga diharapkan akan menambah keragaman genetik yang dapat dijadikan populasi dasar dalam kegiatan pembangunan sumber benih di masa mendatang. Variasi atau keragaman genetik merupakan kunci dalam kegiatan pemuliaan. Keragaman genetik bahkan dapat dirubah oleh manusia baik ke arah positif ataupun negatif. Perubahan ke arah positif akan mempercepat peningkatan perolehan genetik yang besar (Zobel dan Talbert, 1984). Keragaman genetik asal sumber benih sangat penting dilakukan baik pada tingkat semai ataupun aplikasinya di lapangan. Keragaman genetik asal sumber benih di tingkat semai diharapkan dapat berguna untuk kajian pola perbedaan pertumbuhan antar sumber benih (Setiadi dan Surip, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan perbedaan pertumbuhan tinggi dan diameter semai jenis mahoni dari beberapa sumber benih (provenans) asal Kostarika. Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan pertumbuhan baik tinggi maupun diameter S. macrophylla. Pengamatan pertama dilakukan pada umur 3 bulan dan pengamatan selanjutnya dilakukan tiap 2 minggu sekali sampai umur 4,5 bulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berfaktor tunggal. Sebagai faktor dalam analisis ini adalah provenans dengan menggunakan 20 semai dan diulang 3 kali untuk setiap provenans. Apabila hasil uji F yang dihasilkan dari analisis ragam menunjukkan bahwa provenans berpengaruh nyata terhadap suatu karakteristik maka dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan (Steel and Torrie, 1993). Diharapkan studi ini dapat memberikan gambaran untuk kegiatan pengujian dan pembangunan sumber benih. II. ASAL BENIH MAHONI Benih S. macrophylla yang digunakan berasal dari Kostarika dan terdiri dari tiga provenans seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel (Table) 1. Keterangan provenans benih mahoni yang digunakan (Information on the provenances of the mahoni seeds) No

No. Provenans (Provenance number)

Garis Lintang

Garis Bujur

Ketinggian tempat (Altitute) (m dpl)

Curah hujan rata-rata (Average rainfall) (mm/thn)

Rerata temperatur harian (Daily average temperature) (OC)

1

BL 041

10o07’N

84o50’O

70

2287

2

BL 103

10o03’N

85o25’O

320

2232

27,1

3

BL 124

10o50’N

84o39’O

150

1600

28

24 (oC)

Lokasi (Location)

Central, Abangares, Guanacaste, Costa Rica Primero, Hojancha, Guanacaste, Costa Rica Sardinal, Carrillo, Guanacaste, Costa Rica

Berdasarkan ketinggian tempat dan rerata temperatur harian, benih mahoni provenans BL 041 berasal dari tempat yang mempunyai tinggi tempat dan rerata temperatur harian terendah dibandingkan dengan 2 provenans yang lain yaitu 70 m dpl dan 24 oC. Tetapi memiliki curah hujan rata-rata tertinggi yaitu sebesar 2.287 mm/tahun. Sedangkan provenans BL 103 berasal dari lokasi yang memiliki ketinggian tempat tertinggi yaitu 320 m dpl. Curah hujan di daerah asal benih mahoni Kostarika berada di kisaran 1.600-2.287 m dpl dan ketinggian tempat 70-320 m dpl yang menurut Gintings et al. (1998), kisaran curah hujan dan ketinggian tempat ini berada di kisaran tanaman mahoni dikembangkan dan tumbuh baik di Jawa yaitu pada ketinggian 50-1.400 mdpl dengan curah hujan 1.600-4.000 mm/tahun. Diharapkan dengan kisaran asal benih dan tempat tumbuhnya nanti, pertumbuhan mahoni asal Kostarika lebih optimal. III. PERTUMBUHAN TINGGI DAN DIAMETER MAHONI Tinggi dan diameter semai merupakan sifat yang paling mudah dilihat dan diukur, sehingga setiap semai yang akan ditanam dapat dilengkapi label yang memuat tinggi dan diameternya. Hasil sidik ragam

8

Pertumbuhan Tiga Provenans Mahoni Asal Kostarika Asep Rohandi dan Nurin Widyani

menunjukkan bahwa asal sumber benih (provenans) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter semai S. macrophylla pada umur 3 sampai 4,5 bulan (Tabel 2). Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada pertumbuhan tinggi semai antar sumber benih yang diuji. Hasil uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa provenans BL 041 merupakan provenans terbaik dengan tinggi rata-rata sampai umur 4,5 bulan adalah 50 cm dan pertumbuhan terendah dicapai provenans BL 103 dengan rata-rata tinggi semai 33,2 cm. Perbedaan tinggi semai dari tiga provenans tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan asal sumber benih di mana secara geografis letak dari sumber benih memiliki kisaran yang cukup luas atau berjauhan antara satu dengan yang lain (Tabel 1). Menurut Zobel dan Talbert (1984), semua perbedaan diantara pohon disebabkan perbedaan lingkungan dimana pohon tersebut tumbuh, perbedaan genetik diantara pohon dan interaksi antara genotip pohon dan lingkungan dimana pohon tersebut tumbuh. Perbedaan geografi diantara sumber benih mempengaruhi sifat genetik adalah besar. Gejala tersebut juga terjadi pada semai dari beberapa famili Araucaria cuninghamii (Setiadi dan Surip, 2004) dan balsa (Ochroma spp.) (Charomaini, 2001). Pertumbuhan diameter semai S. macrophylla tidak berbeda nyata antara provenans BL 041, BL 103 dan 124 (Tabel 1). Sampai umur 4,5 bulan pertumbuhan diameter belum bisa menunjukkan perbedaan nyata karena secara fisiologis pertambahan diameter lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi. Belum terlihatnya perbedaan juga dapat disebabkan karena masih mudanya umur tanaman yang sehingga potensi Tabel (Table) 2. Analisis ragam pertumbuhan tinggi dan diameter semai S. macrophylla asal Kostarika (BL 041, BL 103, BL 124) umur 3 bulan sampai umur 4,5 bulan (Analysis of variance on the height and diameter growth of S. macrophylla seedling from Costarica (BL 041, BL 103, BL 124) 3 months until 4,5 months age) Umur (bulan) (Age/month) Tinggi (Height) 3

Sumber keragaman (Source of variance)

Provenans Sisa Total terkoreksi 3,5 Provenans Sisa Total terkoreksi 4 Provenans Sisa Total terkoreksi 4,5 Provenans Sisa Total terkoreksi Diameter (Diameter) 3 Provenans Sisa Total terkoreksi 3,5 Provenans Sisa Total terkoreksi 4 Provenans Sisa Total terkoreksi 4,5 Provenans Sisa Total terkoreksi

Derajat bebas (Degree of freedom) 2 57 59 2 57 59 2 57 59 2 57 59

Kuadrat tengah

F-hitung

514,8 29,7

17,3 *

679,8 24,8

27,4 *

793,9 26,4

30,1 *

1596,9 37,8

42,3 *

2 57 59 2 57 59 2 57 59 2 57 59

2 0,7

2,8 ns

0,7 0,7

1 ns

1,4 0,8

1,8 ns

1,2 1

1,2 ns

Keterangan (Remarks) : * = berpengaruh pada taraf nyata 5% (significant at 5%) ns = tidak berpengaruh pada taraf nyata 5% (not significant at 5%)

9

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 7 - 11

genetik dari setiap provenans tidak semuanya dapat ditampilkan/diekspresikan dengan baik. Kondisi tersebut juga terjadi pada pertumbuhan bibit Acacia crassicarpa dan Acacia aulacocarpa dari beberapa provenans asal Parungpanjang (Sudrajat et al., 2004). Sutrisno (1998) dalam Setiadi dan Surip (2004) menjelaskan bahwa tanaman yang masih muda belum sepenuhnya menampilkan potensi genetis yang dimilikinya, karena itu diperlukan pengukuran pada umur-umur selanjutnya untuk membuktikan potensi genetik yang dimilikinya. Meskipun secara statistik ukuran diameter tidak berbeda nyata, tetapi semai yang berasal dari provenans BL 041 memiliki rata-rata diameter tertinggi yaitu sebesar 6,1 mm, sedangkan rata-rata terendah dicapai provenans BL 124 sebesar 5,6 mm. Diameter batang merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas semai karena menurut Hardi et al. (2004), diameter batang yang besar akan menunjukkan pertumbuhan yang makin baik. Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang diamati, semai yang berasal dari provenans BL 041 memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan provenans lainnya (Gambar 1) sehingga provenans ini perlu dipertimbangkan untuk pengembangan selanjutnya. Pertumbuhan tinggi dan diameter provenans BL 041 lebih baik dibandingkan provenans lainnya diduga karena variasi genetik dari individuindividu tegakan alam dengan basis genetik yang lebih luas (Setiadi dan Surip, 2004). Nielsen dan Jorgensen (2003) melaporkan hasil yang lain yaitu bahwa variasi genetik pada pertumbuhan dalam provenans Danish sama dengan variasi diantara provenans pada kondisi tanah kering. Hal lain yang perlu diperhatikan sebelum dilaksanakan eliminasi provenans adalah dilakukannya tahapan evaluasi di persemaian untuk mengetahui variasi genetik semai/bibit. Hasil yang diperoleh dari tahapan ini agar lebih bermanfaat sebaiknya dilanjutkan dengan uji lapang untuk mengetahui peningkatan genetik dari jenis yang diuji. Walaupun demikian, penelitian ini dilakukan pada kondisi yang cukup terkontrol (seragam) sehingga untuk melihat daya adaptasi tanaman dari setiap asal sumber benih terhadap kondisi lingkungan yang baru, perlu dilakukan penelitian pada tingkat lapang. Mengingat benih tiga provenans ini baru diintroduksi maka studi mengenai karakteristik pertumbuhan lainnya masih perlu dilakukan dan dibandingkan dengan benih yang berasal dari sumber benih lokal. Uji lapang mahoni asal Kostarika ini telah dilakukan di Hutan Penelitian Parungpanjang. Hutan Penelitian Parungpanjang secara geografis terletak di antara 106O6' Bujur Timur dan 106O20' Lintang Selatan. Lokasi berada pada ketinggian 51,71 m dpl dengan topografi landai dan bergelombang, memiliki tipe curah hujan A (klasifikasi Schmidt dan Fergusson) dengan kisaran curah hujan tahunan 2.000 - 2.500 mm/tahun. Tanah di Hutan Penelitian Parungpanjang termasuk jenis Podsolik Haplik, berwarna coklat, relatif dangkal dan sarang serta memiliki tingkat kesuburan tanah tergolong rendah sampai sangat rendah dengan reaksi tanah asam (pH 3,6 - 4,5), bahan organik rendah sampai sedang (Sudrajat et al., 2006). Pada perkembangan pertumbuhan umur 2 tahun setelah tanam (Sudrajat et al., 2006), pertumbuhan terbaik untuk tinggi dicapai oleh BL 041 (1,99 m). Hal ini berkorelasi positif dengan pertumbuhan tinggi di persemaian dimana provenans BL 041 mempunyai pertumbuhan tinggi terbaik di persemaian pada umur 4,5 bulan. Benih mahoni provenans BL 041 berasal dari lokasi yang memiliki tinggi tempat yang paling mendekati ketinggian tempat lokasi penanaman yaitu 70 m dpl dan curah hujan rata-rata yang masuk di kisaran curah hujan tahunan di Hutan Penelitian Parungpanjang. 60 Tinggi (Height) (cm)

50 50 40

32.3

36.3

30 20 10 0 BL 041 BL 103 Provenans (Provenance)

BL 124

Gambar (Figure) 1. Rata-rata tinggi semai S. macrophylla umur 4,5 bulan dari tiga provenans asal Kostarika (Average height of S. macrophylla’s seedling with the age of 4.5 months from three provenances from Costarica)

10

Pertumbuhan Tiga Provenans Mahoni Asal Kostarika Asep Rohandi dan Nurin Widyani

IV. KESIMPULAN 1. Perbedaan asal sumber benih (provenans) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter batang semai mahoni. 2. Penampilan karakter pertumbuhan rata-rata tinggi dan diameter semai terbesar pada umur 4,5 bulan dicapai oleh provenans BL 041 masing-masing sebesar 50 cm dan 6,1 mm, sedangkan pertumbuhan terendah dicapai oleh provenans BL 124 dengan tinggi 33,2 cm dan diameter batang 5,6 mm. 3. Pertumbuhan tinggi terbaik umur 2 tahun setelah tanam dicapai oleh provenans BL 041 yaitu 1,99 m. DAFTAR PUSTAKA Charomaini, M. 2001. Studi Variasi Pertumbuhan Tingkat Semai untuk Penyiapan Populasi Dasar Balsa (Ochroma spp.). Wana Benih Vol. IV N0. 1. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Gintings A.Ng., Chairil A.S., Pratiwi. 1998. Pedoman Pengelolaan Tanah Podsolik Merah Kuning untuk Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Hardi, T., Tadjudin E.K. dan Ratno Kus Indrati. 2004. Pertumbuhan dan Kerusakan Bibit Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. di Persemaian. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jogjakarta, 24 Desember 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Nielsen, C.N. and Finn Vanman Jorgensen. 2003. Phenology and Diameter Increment in Seedlings of European Beech (Fagus sylvatica L.) as Affected by Different Soil Water Contents : Variation Between and Within Provenances. Forest Ecology and Management Vol. 174. http://www.sciencedirect.com. Diakses tanggal 28 Juli 2006. Setiadi, D. dan Surip. 2004. Keragaman Pertumbuhan Semai Araucaria cuninghamii dari Beberapa Sumber Benih. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jogjakarta, 24 Desember 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sudrajat, D.J., Nurin Widyani, Nurhasybi dan Nur Azizah. 2004. Mutu Fisik-Fisiologi Benih dan Pertumbuhan Bibit dari Tegakan Provenan Krasikarpa danAulakokarpa. Tidak diterbitkan. Sudrajat, D.J., Nurhasybi dan Y. Bramasto. 2006. Hutan Penelitian Parungpanjang 1991 - 2006. Publikasi Khusus Vol. 5 No. 7. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Suhendi, H. 1995. Studi Komparatif Keragaman Pertumbuhan dan Volume dari Percobaan Provenansi Internasional Gmelina arborea L. Buletin Penelitian Hutan. Bogor. Zobel, B.J. and Talbert J. 1984. Applied Forest Tree Improvement. Waveland Press, Inc. Illinois. 504 pp.

11

ANALISIS SIFAT-SIFAT TANAH DI BAWAH TEGAKAN Eucalyptus urograndis The Analysis of Soil Characteristic under Eucalyptus urograndis Stands 1)

2)

2)

Nina Mindawati , Andry Indrawan , Irdika Mansur dan/and Omo Rusdiana

2)

1)

Pusat Litbang Hutan Tanaman Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005) 2) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Kampus Darmaga, Jl. Raya Darmaga, Bogor Telp. (0251) 8626806 Fax. (0251) 8626886 Naskah masuk : 15 Januari 2010 ; Naskah diterima : 3 Maret 2010

ABSTRACT Eucalyptus urograndis is a fast growing species that develoved in large scale in PT Toba Pulp Lestari as raw material of pulp industry in monoculture system with 5- year cutting cycle. Concerns that the short-cut cycle will gradually lead to lower productivity of both outcome and its land fertility. Therefore the analysis of soil characteristic under stans of E. urograndis rotation 1 and 2 have been carried out in order to determine condition of soil fertility based on soil chemistry, soil physical and soil biology. Analysis results showed that planting species of E. urograndis on Incepticol soil type until rotation 2 still positive affect to soil fertility so that the condition of soil fertility in rotation 2 still good and enough nutrients for the growth of E. urograndis. Key words : Fast growing, Eucalyptus urograndis, fertility, soil characteristic ABSTRAK Eucalyptus urograndis merupakan jenis cepat tumbuh yang dikembangkan dalam skala luas di PT Toba Pulp Lestari sebagai bahan baku pulp dalam sistem monokultur dengan rotasi tebang 5 tahun. Pendeknya rotasi tebang dikhawatirkan akan menurunkan kondisi kesuburan tanah di bawahnya. Oleh karena itu analisis sifat-sifat tanah di bawah tegakan E. urograndis pada rotasi 1 dan 2 telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah antara rotasi 1 dan rotasi 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa penanaman jenis E. urograndis pada tanah tipe tanah jenis Inceptisol sampai rotasi 2 pada umumnya masih berpengaruh positif terhadap kesuburan tanah berdasarkan sifat kimia, fisik dan biologi tanah sehingga produktivitas tanah pada rotasi 2 masih baik untuk pertumbuhan E. urograndis. Kata kunci : Cepat tumbuh, Eucalyptus urograndis, kesuburan, sifat tanah I. PENDAHULUAN Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia bertujuan untuk penyediaan bahan baku industri kehutanan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007, lahan yang dicanangkan untuk pengembangan HTI adalah lahan yang telah terdegradasi atau lahan kritis dengan tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah (Ditjen Bina Produksi Kehutanan, 2008). Selain itu dalam pengembangan HTI untuk tujuan bahan baku pulp dan kertas, pemerintah menetapkan pengembangan jenis-jenis cepat tumbuh dengan daur tebang pendek. Eucalyptus spp. merupakan jenis cepat tumbuh yang dikembangkan dalam skala luas di PT Toba Pulp Lestari sebagai bahan baku pulp. Menurut Gonçalves et al. (1997), faktor pembatas utama pertumbuhan tegakan jenis Eucalyptus adalah kekurangan hara dan stress air. Oleh karena itu pengelolaan HTI Eucalyptus urograndis harus diimbangi dengan perlakuan teknik silvikultur yang intensif berupa manipulasi lingkungan agar produktivitas berkelanjutan. Tanah menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh karena tanah merupakan tempat tumbuh tanaman dalam bentuk penampang dari berbagai campuran hancuran mineral dan bahan

13

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 13 - 22

organik, bila mengandung cukup air dan udara akan menjadi tunjangan mekanik dan makanan bagi tumbuhan. Kemampuan penyerapan hara oleh tanaman akan mempengaruhi kemampuan tumbuhan itu untuk hidup dan berkembang. Informasi mengenai karakteristik tanah telah cukup banyak untuk jenis tanaman pertanian, namun untuk tanaman kehutanan belum banyak. Oleh karena itu menganalisa kesuburan tanah berdasarkan sifat-sifat tanah (kimia, fisik dan biologi) di bawah tegakan E. urograndis sangat penting dilakukan. Analisis kesuburan tanah di bawah E. urograndis pada rotasi 1 dan 2 telah dilakukan di PT Toba Pulp Lestari, sektor Aek Nauli, Sumatera Utara dengan tujuan untuk dapat menentukan kebijakan dalam manajemen tapak sebelum penanaman dilakukan pada periode rotasi selanjutnya. II. SEKILAS TENTANG Eucalyptus urograndis Hibridisasi merupakan suatu metode untuk menghasilkan tanaman baru melalui penyilangan dua atau lebih tanaman yang memiliki susunan genetis berbeda (Chaudhari, 1983). Program hibridisasi Eucalyptus merupakan salah satu strategi yang sangat sukses dalam pembangunan hutan tanaman. E. urograndis merupakan salah satu hasil persilangan antara E. urophylla dan E. grandis yang telah menunjukkan keunggulannya di beberapa negara, seperti di Brazil, Kongo dan China. E. urograndis merupakan perpaduan sifat dari E. urophylla yang mempunyai pertumbuhan diameter besar namun bercabang, lebih resisten terhadap penyakit dan sifat dari E. grandis yang mempunyai pertumbuhan tinggi yang lurus dengan bebas cabang yang tinggi, bentuk tajuk baik dan sifat kayu yang super sehingga diharapkan menghasilkan E. urograndis dengan volume kayu yang lebih besar, resisten kanker dan berat jenis kayu yang baik sesuai dengan tujuan peruntukan sebagai bahan baku pulp, dibanding tanaman tetuanya (Campinhos et al., 1998). E. urograndis telah dikembangkan secara luas dalam skala operasional di Afrika Selatan dan Kongo. Produktivitas E. urograndis sangat tinggi dan memiliki riap tahunan rata-rata sebesar 70 m3 per ha (Campinhos, 1993). Di Indonesia E. urograndis diusahakan dalam skala luas baru di daerah Toba Samosir, Sumatera Utara, khususnya di Perusahaan Toba Pulp Lestari yang tumbuh baik menggantikan jenis pohon tetuanya pada daerah dengan ketinggian 1200 m di atas permukaan laut. Pada tempat tumbuh yang beriklim basah (tipe A menurut Schmidt dan Ferguson), curah hujan rata-rata tahunan 2451 mm dengan rata-rata bulanan 204,3 mm. o Suhu udara berkisar 18,7 - 21,1oC dengan suhu rata-rata tahunan 19,9 oC dan suhu tanah rata-rata tahunan o 22,9 C. Dari beberapa hasil penelitian, E. urograndis dapat tumbuh baik di lokasi-lokasi dimana jenis E. urophylla dan E. grandis tumbuh. Di Brazil tanaman E. urograndis tumbuh baik pada tanah jenis Ultisol dan Oxisol yang bersolum dalam dan memiliki kapasitas menyimpan air sedang, pada curah hujan rata-rata 900 1500 mm per tahun, meskipun kadar unsur haranya rendah terutama Posphor (P) dan kation basanya. Tumbuh baik pada ketinggian tempat antara 0-3000 m dpl dan suhu rata-rata 25°C, suhu maksimum 29°C dan suhu minimum sekitar 20°C (Gonçalves et al., 1997). Produktivitas Eucalyptus urograndis sangat tinggi dan memiliki riap tahunan rata-rata sebesar 70 m3 per ha (Campinhos, 1993). Sedangkan di Brazil E. urograndis menghasilkan MAI dengan kisaran 12-48 m3/ha/tahun (Gonçalves et al., 1997). Di Kongo riap tanaman hibrid ini dapat mencapai 30-50 m3/ha/thn, sedangkan di China pada umur 3,5 tahun dapat mencapai tinggi antara 18-22 m dengan riap antara 43 -53 m3/ha/tahun(Leksono dan Tridasa, 1999). Produktivitas E. urograndis sangat ditentukan oleh jenis tanah dan besarnya curah hujan tahunan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian tegakan E. urograndis di Bahia, Brazil yang mempunyai riap rata-rata sekitar 30 m3/ha pada lahan dengan curah hujan <1000 mm/tahun pada 3 jenis tanah (Oxisol berpasir, Ultisol berpasir dan Ultisol berlempung), pada curah hujan antara 1000-1200 mm/tahun riap dapat mencapai sekitar 37 m3/ha pada tanah Ultisol berlempung; 34 m3/ha pada tanah Ultisol berpasir dan tetap sekitar 30 m3/ha pada tanah Oxisol berpasir. Sedangkan pada areal yang mempunyai curah hujan > 1200 mm/tahun riap rata-rata menjadi sekitar 58 m3/ha pada tanah Ultisol berlempung; sekitar 47 m3/ha pada tanah Ultisol berpasir dan sekitar 38 m3/ha pada tanah Oxisol berpasir (Stape et al., 1997 dalam Fisher and Binkley, 2000). III. ANALISIS SIFAT- SIFAT TANAH DI BAWAH TEGAKAN E. urograndis Kualitas tanah dalam suatu ekosistem adalah kemampuan suatu tanah untuk dapat berfungsi agar diperoleh produktivitas tanaman yang berkesinambungan (Doran and Parkin, 1994 ; USDA, 2001). Sedangkan menurut Setiadi dkk. (1992), kualitas tanah yang subur atau kesuburan tanah diartikan sebagai

14

Analisis Sifat-sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis Nina Mindawati, Andry Indrawan, Irdika Mansur dan Omo Rusdiana

kesuburan kimiawi, fisik dan biologi yang memungkinkan suatu pohon atau tegakan tumbuh dengan baik dan dapat menghasilkan produk kayu. Pertelaan sifat-sifat tanah di bawah tegakan jenis E. urograndis dan perbandingannya pada rotasi 1 dan 2 adalah sebagai berikut : A. Sifat Kimia Tanah Beberapa sifat kimia tanah yang penting dan berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu tanaman adalah: reaksi (pH) tanah, bahan organik tanah; unsur hara dan kapasitas tukar kation (KTK). Indikator lainnya adalah kandungan bahan organik tanah karena mempunyai fungsi sebagai : sumber karbon dan energi bagi jasad renik tanah, stabilisasi agregat, penyokong tanaman dalam menyimpan dan memindahkan udara dan air; sumber unsur hara, menaikkan KTK, menurunkan berat jenis tanah serta dapat mengurangi efek pestisida, logam berat dan polutan (USDA, 1996). Hasil analisa kimia tanah di bawah tegakan E. urograndis pada berbagai umur tegakan dan penilaian kriterianya (Pusat Penelitian Tanah, 1982) dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran 1), dengan rincian sebagai berikut : 1. Reaksi tanah (pH tanah) Nilai pH tanah menggambarkan kondisi reaksi larutan terlarut unsur - unsur hara mineral untuk diserap sistem perakaran pohon. Kondisi pH tanah yang optimum adalah di sekitar pH netral (pH 6,5 - 7,0). Pada kondisi reaksi tanah demikian sebagian besar unsur hara berada dalam kondisi “tersedia” bagi tanaman apabila jumlah cadangan unsur hara tanah sebelumnya cukup (USDA, 1998). Dari hasil analisis kimia tanah (Lampiran 1) diketahui bahwa secara keseluruhan pH tanah termasuk rendah sekali hingga rendah (3,9-4,7). Jadi tanah Inceptisol (Dystropept dan Hidrandepts) di mana E. urograndis diusahakan termasuk tanah - tanah yang sedikit bereaksi masam. Nilai pH tanah menurut metode ekstrak H2O selalu lebih besar dari nilai pH KCL nya Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksi mineral liatnya lebih didominir oleh tipe - tipe mineral liat dengan daya jerap kation rendah, seperti mineral liat kaolinit (tipe 1 : 1), sedangkan mineral - mineral liat aktivitas jerapan tinggi (montmorilonit, tipe 2 : 1) dan chlorit , tipe 2 : 2) kadarnya lebih rendah. Sampai dengan umur tanaman 4 tahun ternyata rotasi ke 2 E. urograndis cenderung menunjukkan pH tanah rendah sekali tetapi setelah umur tanaman 5 tahun pH tanah naik sedikit atau lebih tinggi, walaupun masih di bawah nilai pH tanah ideal. Nilai pH tanah naik 0,5 satuan pada lapisan atas 0 -20 cm dan naik 0,3 satuan pada kedalaman 20-40 cm tanaman E.urograndis umur 5 tahun di rotasi 1. 2. Bahan organik tanah Kadar bahan organik tanah adalah parameter kesuburan tanah yang cukup penting di samping reaksi (pH) tanah karena bahan organik di dalam tanah mempunyai peranan penting sebagai : Cadangan sebagai unsur hara terutama N, P, dan S; agen untuk menaikkan kapasitas tanah memegang unsur hara terutama dari koloid organik/humusnya; agen yang menunjang terbentuknya struktur dan agregat tanah; medium untuk berkembangbiaknya populasi mikro organisme tanah; medium yang menaikan porositas tanah dan kapasitas tanah dalam meretensi kelembaban. Jadi makin tinggi kadar organik tanah makin subur tanah yang bersangkutan untuk tiap - tiap tanah mineral. Hasil analisa menunjukkan bahwa tanah di bawah tegakan jenis E. urograndis untuk seluruh kelas umur kadar bahan organiknya tergolong sangat rendah hingga rendah, baik pada rotasi 1 maupun rotasi 2. Untuk mencapai kondisi sedang perlu dilakukan tindakan manajemen lahan berupa penambahan input pupuk organik (pupuk kandang, kompos, pupuk hijau, dll.) ke lahan areal hingga kadarnya minimal 2%. Bahan organik tanah (Lampiran 1) cenderung naik pada rotasi 2 umur 1 tahun dan 2 tahun pada 0-20 cm, turun pada umur 2 tahun 20-40 cm , turun pada rotasi 2 umur 3 tahun, konstan pada rotasi 2 umur 4 tahun dan turun lagi pada rotasi 2 umur 5 tahun. Fluktuasi tersebut tampaknya lebih disebabkan oleh laju dekomposisi serasah (litterfall) yang berubah-rubah menurut waktu dan variasi populasi mikroorganisme tanah. 3. Nitrogen tanah Unsur hara N-total sangat penting peranannya untuk pertumbuhan pohon terutama pada fase awal pertumbuhan tanaman. Tidak semua jenis pohon dapat memfiksasi N langsung dari udara tetapi lebih mengandalkan pada ketersediaan N - total di dalam tanah. Unsur hara N termasuk unsur hara makro esensial pertama untuk pertumbuhan tanaman. Keseluruhan lahan di bawah tegakan jenis E. urograndis mengalami defisiensi akan unsur hara N (Lampiran 1), dimana kadar N - total tanah < 0,2% dan tergolong sangat rendah. Oleh karena itu input pupuk mineral pembawa unsur hara N sangat diperlukan. E. urograndis umur 2 dan 3 tahun pada rotasi 2 cenderung menyebabkan turunnya N - total tanah, tetapi pada umur tanaman 4 dan 5 tahun kadar N - total tanah tetap konstan pada rotasi ke 2. Hal ini karena unsur

15

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 13 - 22

hara N pada tanaman sangat penting peranannya dalam sintesa protein, enzim - enzim, klorofil, dan senyawa lainnya. 4. Nisbah C/N Besaran parameter rasio C/N menggambarkan mudah tidaknya suatu bahan residu organik (sisa - sisa tanaman dan hewan dalam tanah) untuk terdekomposisi atau dan termineralisasi sehingga siklus unsur hara tanah-tanaman berlangsung terus berkelanjutan. Jika nisbah C/N terlalu kecil maka siklus hara berlangsung lebih lambat karena bahan organik sukar terdekomposisi. Dari hasil analisis (Lampiran 1), tampak bahwa jenis E.urograndis pada rotasi 2 dapat menaikkan nisbah C/N terutama pada lapisan atas (0-20 cm), sehingga untuk rotasi selanjutnya (rotasi 3) ada penambahan hara dari hasil dekomposisi bahan organik. 5. Unsur hara fosfor (P) Unsur-unsur hara P bagi tanaman sangat penting karena merupakan sumber asam nukleat, fosfolifid dan protein, juga berperan penting dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein serta respirasi tanaman. Gejala-gejala kahat atau kekurangan unsur-unsur hara P di dalam tanah akan tampak dimana pertumbuhan merana, daun berwarna hijau kebiruan dengan bercak-bercak berwarna coklat, daun seperti terbakar dengan ukurannya di beberapa tempat mengecil serta jumlah klorofil turun. Kandungan P di bawah tegakan E. urograndis pada umumnya sangat rendah (< 5 mg/100 g) pada rotasi 1 meskipun pada rotasi 2 ada sedikit kenaikan kadar P (Lampiran 1), sehingga input pupuk sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman yang lebih baik dimasa mendatang. 6. Basa - basa tanah Unsur-unsur basah tanah (K, Ca, Mg) sangat penting peranannya dalam menunjang pertumbuhan pohon karena unsur mineral tersebut ternasuk unsur hara makro yang penting setelah N dan P. Unsur K penting sebagai kofaktor enzim, Ca untuk pembentukan lamela tengah dinding sel dan Mg sebagai struktur dasar klorofil. Hasil analisa kimia tanah (Lampiran 1) menunjukkan bahwa di bawah tegakan jenis E. urograndis baik pada rotasi 1 maupun rotasi 2 termasuk “sangat rendah” atau kekurangan akan basa-basa K, Ca dan Mg. Oleh karena itu untuk pertumbuhan tanaman E.urograndis tindakan manajemen lahan berupa penambahan input pupuk anorganik pembawa unsur hara mineral K (misal KCL), Ca dan Mg (misal TSP dan pupuk magnesium) sangat diperlukan. Selain itu ternyata bahwa tanaman tumbuh cepat E.urograndis sangat memerlukan dalam jumlah cukup banyak terutama unsur hara mineral Ca dan K. B. Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam mempengaruhi kesuburan tanah yang pada akhirnya akan menunjang pertumbuhan tegakan hutan, bahkan lebih penting pengaruhnya dibanding dengan sifat kimia dan biologi tanah (Wasis, 2005). Produktivitas hutan tanaman sangat bergantung pada produktivitas lahan dimana hutan tanaman di usahakan. Tingkat produktivitas tanah tidak hanya ditentukan oleh sifat kesuburan kimia tanah yang tinggi tetapi juga sifat fisik tanah dimana sifat fisik tanah sangat tergantung pada ketersediaan air (kelembaban), oksigen (udara dalam tanah) dan energi thermal (panas) yang optimum di dalam tanah ( Hillel, 1980 ). Parameter sifat fisik tanah yang berkaitan dengan ketersediaan air dan udara dalam tanah dapat di duga dari hasil pengamatan lapangan maupun hasil analisis secara laboratorium dari contoh tanah tidak terganggu dengan besaran - besaran : berat jenis tanah, porositas total, ruang pori makro dan mikro, air tersedia (PF) dan permeabilitas tanah yang terukur. Pengusahaan hutan tanaman sejenis secara terus menerus pada lahan yang sama diduga akan menyebabkan pergeseran besaran parameter fisik tanah, baik ke arah positif (lebih baik) maupun ke arah negatif ( kurang baik) dari segi kesuburan fisik tanah. Perubahan tersebut tergantung pada sistem pengelolaan atau teknik sivikulktur yang di terapkan mulai dari saat kegiatan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penebangan dan penanaman kembali. Hasil analisis sifat fisik tanah di bawah tegakan E.urograndis rotasi 1 dan 2 dapat dilihat pada Lampiran 2, dengan rincian sebagai berikut : 1. Berat jenis tanah Berat jenis tanah menggambarkan tingkat kepadatan tanah. Nilai berat jenis tanah pada suatu lahan yang tinggi berarti tanah pada lahan tersebut makin padat dan dapat menghambat pertumbuhan akar, sedangkan berat jenis rendah berarti tanah cenderung porous atau sarang sehingga akar mudah masuk menyerap unsur hara untuk pertumbuhannya ( Lutz dan Chandler, 1951).

16

Analisis Sifat-sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis Nina Mindawati, Andry Indrawan, Irdika Mansur dan Omo Rusdiana

Hasil analisa berat jenis tanah di bawah tegakan jenis E. urograndis pada umumnya berkisar antara 1,70 - 1,27 g/cc pada lapisan top soil (0 - 20 cm) dan 1,07 - 1,2 g/cc pada lapisan dengan kedalaman 20-40 cm. Hasil di atas menunjukan bahwa pada rotasi 2 berat jenis tanah cenderung turun sekitar 0,1 g/cc kecuali pada umur tanaman 2 dan 4 tahun. 2. Ruang pori total Ruang - ruang pori di antara fraksi mineral tanah terdiri dari ruang pori makro dan mikro, yang memungkinkan ditempati air dan udara untuk pertumbuhan pohon. Jumlah ruang pori tanah di bawah tegakan E. urograndis berkisar antara 51,82 - 59,6 % pada lapisan atas 0-20 cm dan 51,32 - 57,23% pada lapisan bawah 20-40 cm. Hal ini berarti bahwa tanah cukup baik dari porositasnya sehingga memungkinkan terjadinya kondisi aerasi maupun ketersediaan air dalam tanah yang menunjang untuk pertumbuhan akarakan pohon. Ruang pori total (RPT) tanah cenderung naik dari rotasi 1 ke rotasi ke 2 kecuali pada umur tanaman 2 dan 4 tahun. Hal ini berarti bahwa pada rotasi ke 2 tanah tidak makin padat dibanding rotasi 1 tetapi sebaliknya; yakni makin baik dari segi porositasnya terutama pada lapisan 0 - 20 cm. Ruang pori tanah akan semakin baik jika dalam penyiapan lahan sebelum penanaman dilakukan penggemburan atau tidak dilakukan pemanenan dengan alat berat yang dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga ruang pori akan mengecil. Jumlah ruang pori tanah yang maksimal dan sangat baik untuk pertumbuhan pohon adalah 72,58% (Lutz dan Chandler, 1951). 3. Pori drainase Persen ruang pori tanah terdiri dari drainase cepat (non kapiler) dan pori drainase lambat (kapiler). Proporsi dari kedua jenis ruang pori bergantung pada tipe tanah, struktur, tekstur dan kadar bahan organik tanah serta jenis vegetasi yang tumbuh pada tanah yang bersangkutan. Hasil analisis fisik tanah menunjukkan bahwa % ruang pori drainase cepat cenderung turun pada rotasi 2 tetapi setelah tanaman berumur 5 tahun % pori drainase cepat naik kembali. Sedangkan pori drainase lambat cenderung tetap pada 0 - 20 cm dan atau naik pada 20 - 40 cm pada rotasi 2. Pada tegakan E .urograndis umur 5 tahun baik % pori drainase cepat maupun lambat cenderung naik. Hal ini menujukkan bahwa pertumbuhan jenis E. urograndis berpengaruh positif, baik terhadap pori drainase cepat maupun pori drainase lambat walaupun setelah rotasi ke 2. 4. Air tersedia Nilai air tersedia dalam fisik tanah menggambarkan kapasitas tanah maksimum dalam merentensi (memegang) air sehingga tersedia bagi tanaman. Tanah pasir akan mempunyai air tersedia lebih rendah daripada tanah liat karena partikel - partikel besar tidak meretensi air secara lebih kuat. Oleh karena itu parameter air tersedia bergantung pada kondisi tanah dan tegakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa air tersedia nyata meningkat pada rotasi ke 2 di seluruh klas umur tanaman E. urograndis. Hal ini merupakan indikator yang sangat baik bahwa jenis tersebut berpengruh positif terhadap kemampuan tanah dalam menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman. 5. Permeabilitas tanah Pergerakan air di dalam tanah secara lateral sangat penting untuk distribusi unsur -unsur hara di dalam tanah yang diserap akar tanaman. Hasil analisis menunjukkan bahwa permeabilitas tanah di bawah tegakan E. urograndis sebesar 5,21 - 22,62 cm/jam pada lapisan atas 0 - 20 cm dan 6,97 - 13,62 cm/jam pada lapisan bawah 20 - 40 cm. Laju permeabilitas tanah tetap pada 0 - 20 cm pada klas umur 1,2 dan naik pada umur 1, 2, 3, dan 4 tahun pada rotasi 2 tetapi pada umur 5 tahun permeabilitas tanah turun. Jadi hingga umur tanaman 4 tahun permeabilitas tanah cenderung naik terutama pada kedalaman 20 -40 cm rotasi 2. C. Sifat Biologi Tanah Sifat biologi tanah terutama jumlah populasi mikroorganisme dalam tanah merupakan parameter penting lainnya guna menduga tingkat produktivitas suatu lahan hutan karena mikroorganisme tanah merupakan pemecah primer bahan organik sehingga siklus karbon dan siklus unsur hara antara sistem tanah tanaman dapat berlangsung secara berkesinambungan (Alexander, 1977). Hasil analisa biologi tanah di bawah tegakan jenis E. urograndis dapat dilihat pada Lampiran 3 dengan rincian : 1. Total mikroorganisme tanah Mikroorganisme tanah di bawah tegakan E. urograndis terjadi peningkatan secara nyata jumlah populasinya baik pada lapisan atas (0 - 20 cm) maupun lapisan bawah (20 - 40 cm) pada rotasi 2. Kenaikan jumlah populasi total mikroorganisme setelah rotasi 2 adalah 28,63 % dan 69,41 % dibandingkan rotasi 1.

17

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 13 - 22

Dominasi mikroorganisme tersebut diduga dari golongan fungi dan Actinomycetes karena keduanya menyukai kondisi pH tanah yang sedikit bereaksi masam. 2. Total fungi tanah Ditinjau dari mikroorganisme jenis fungi, tampak bahwa populasi fungi meningkat tajam pasca rotasi 2 jadi pengusahaan jenis tanaman E. urograndis adalah tepat ditinjau dari meningkatnya populasi mikroorganisme tanah, terutama dari golongan fungi tanah. Naiknya populasi fungi tanah rata-rata sebesar 84,8% (0 - 20 cm ) dan 108,16 % (20-40 cm). 3. Laju respirasi mikroorganisme tanah Pada rotasi 2 laju respirasi meningkat tajam sekitar 78-130% dibanding dengan rotasi 1. Selanjutnya laju respirasi lebih lambat pada lapisan bawah jika dibanding dengan lapisan atas. Hal ini diduga disebabkan aerasi pada lapisan 0 - 20 cm yang lebih baik disamping konsentrasi populasi mikroorganisme lebih tinggi pada jeluk (lapisan) tanah 0 - 20 cm. 4. C- mikroorganisme Nilai C - organik terlihat naik pada rotasi 2 baik untuk kedalaman 0 - 20 cm maupun 20 - 40 cm. Hal ini berkaitan dengan naiknya jumlah total mikroorganisme. Naiknya C-organik sekitar 12,2% pada kedalaman tanah 0 - 20 cm dan 23% pada kedalaman tanah 20-40 cm rotasi 2 dibandingkan pada rotasi 1. Dengan demikian aktivitas mikroorganisme dalam memecah bahan organik tanaman dalam rangka memperoleh energi meningkat pada rotasi 2. Jadi tanaman E. urograndis berpengaruh sangat positif terhadap mikrobiologi tanah sebagai salah satu indikator kesuburan (produktivitas) tanah dalam kawasan hutan tanaman. IV. KESIMPULAN 1. Secara umum kondisi kesuburan kimia tanah lahan di bawah tegakan E. urograndis termasuk rendah hingga sangat rendah dilihat dari pH tanah, ketersediaan P-tanah, ketersediaan N-tanah, dan ketersediaan mineral-mineral basa tanah (Ca, Mg, K), sehingga memerlukan manajemen lahan yang lebih baik dengan masukan hara berupa pupuk dari luar. 2. Dilihat dari perubahan kondisi kesuburan tanah berdasarkan sifat fisik dan biologi tanah antara rotasi 1 dan 2, maka penanaman jenis E. urograndis pada tanah Inceptisol sampai rotasi 2 masih berpengaruh positif terhadap kondisi fisik tanah, karena pada umumnya berat jenis tanah menurun, porositas total tanah naik, kapasitas tanah untuk menyediakan air bagi tanaman naik; dan naiknya atau konstannya permeabilitas tanah yang relatif tetap. 3. Dilihat dari perubahan kondisi kesuburan tanah berdasarkan sifat biologi tanah antara rotasi 1 dan 2, maka penanaman jenis E. urograndis pada tanah Inceptisol sampai rotasi 2 masih berpengaruh positif terhadap populasi mikroorganisme, total populasi fungi sebagai dekomposer bahan organik naik, naiknya laju respirasi mikroorganisme dan naiknya kadar C-mikroorganisme tanah. DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley & Son. New York. Campinhos, E.N. 1993. ABrazilian example of a large scale forestry plantation in tropical region:Aracruz. In : J. Davinson (ed.). Proc. of the regional symposium on recent advances in mass clonal multiplication of forest trees for plantation programmes . FAO, Los Banos, Philipines,pp.46-59. Campinhos, E.N; I.P.Robinson; F.L. Bertoluci and A.C. Alfenas. 1998. Interspecific hybridization and inbreeding effect in seed from a Eucalyptus grandis x E. urophylla clonal orchard in Brazil. Genetics and Molecular Biology Vol. 21 no.3. Sao Paulo. http://www.scielo.br/scielo.php?script= sci_arttext&pid=S1415-4757199800030 0014. Diakses tgl 9 Oktober 2008. Chaudhari, H. K. 1983. Elementary Principles of Plant Breeding. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan. 2008. Sambutan Menteri Kehutanan pada Rakornis Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta, 6-8Agustus 2008

18

Analisis Sifat-sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis Nina Mindawati, Andry Indrawan, Irdika Mansur dan Omo Rusdiana

Doran, J.W. and T.B. Parkin, 1994. Defining and assessing soil quality. In: Doran, J.W., D.C. Coleman, D.F. Bezdicek and B.A. Stewart (eds). Defining Soil Quality for Sustainable Environment. SSSA. Spec. Publ. Number 35, Madison. W1, USA Fisher, R.F and D. Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. John Willey & Sons, Inc Gonçalves, J.L.M, N.F Barros; E.K.S Nambiar and R.F Novais. 1997. Soil and stand management for short rotation plantations. Dalam Nambiar, EKS and AG Brown (eds); Management of Soil Nutrient and Water in Tropical Plantation Forest.ACIAR.Australia Hillel, D. 1980. Fundamental of Soil Physics.Ac press Printed in the USA Pusat Penelitian Tanah, 1982. Penilaian Angka Hasil Analisis Kimia Tanah. Bagian . Kesuburan Tanah. Pusat Penelitian Tanah Bogor. Lutz, H. J. and R. F. J. Chandler 1951. Forest Soils. John Wiley & Son. Leksono, B. dan A.M. Tridasa. 1999. Analisis Pertumbuhan Klon-klon Unggulan Hibrid Eucalyptus urograndis Hasil Kultur Jaringan di Beberapa Lokasi Uji Klon, dalam Akselerasi Pemuliaan Mewujudkan Pertanian Tangguh di Era Globalisasi. Prosiding Simposium V Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) Komisariat Daerah Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang Setiadi, Y., I. Mansur., S. W. Budi dan Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. USDA. 1996. Soil Quality Resources Concerns. The United States Department of Agriculture. Washington, D.C. USDA. 1998. Soil Quality Resources Concerns. The United States Department of Agriculture. Washington, D.C. USDA. 2001. Guidelines for Soil Quality Assessment in Conservation Planning. Department ofAgriculture. Washington, D.C.

The United States

Wasis, B. 2005. Kajian perbandingan kualitas tempat tumbuh antara rotasi pertama dan rotasi kedua pada hutan tanaman Acacia mangium Willd. Studi kasus di HTI Musi Hutan Persada, Provinsi Sumatera Selatan (disertasi). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

19

20

0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40

(cm)

Jeluk (Depth)

4,3 (rs) 4,2 (rs) 4,7 (r) 4,8 (r) 4,2 (rs) 4,1 (rs) 4,0 (rs) 3,9 (rs) 4,1 (rs) 4,0 (rs) 4,1 (rs) 4,0 (rs) 4,6 (r) 4,5 (r) 4,4 (r) 4,2 (r) 3,9 (rs) 4,0 (rs) 4,4 (rs) 4,3 (rs)

PH

3.5 (r) 3,5 (r) 4,1(s) 4,1 (s) 3,3 (r) 3,3 (r) 3,3 (r) 3,2 ( r) 3,3 (r) 3,3 (r) 3,2 ( r) 3,3 (r) 3,9 (r) 3,7 (r) 3,5 (r) 3,4 (r) 3,2 (r) 3,2 (r) 3,7 (r) 3,6 ( r)

KCL

0,80(rs) 0,58(rs) 1,27 ( r) 1,00 ( r) 1,13 ( r) 0,88(rs) 1,19 (r) 0,79 (rs) 1,10 (r) 0,89(rs) 1,04 (r) 0,86 (rs) 0,99(r) 0,82(r) 0,99(r) 0,82(r) 1,02(r) 0,77(r) 0,83(r) 0,72(r)

(%)

C – org

Keterangan (Notes) : rs = rendah sekali (very low); r = rendah (low)

II / 5 th

I / 5 th

II / 4 th

I / 4 th

II / 3 th

I / 3 th

II / 2 th

I / 2 th

II / 1 th

I / 1 th

Rotasi/Umur (Rotation/Age)

0,096(rs) 0,070(rs) 0,100(r) 0,080 (r) 0,120 (r) 0,090(rs) 0,090(rs) 0,070 (rs) 0,130 (r) 0,100 (r) 0,110 (r) 0,080 (rs) 0,12(r) 0,09(rs) 0,11(r) 0,08(rs) 0,10(r) 0,09(rs) 0,09(rs) 0,07(rs)

(% )

N – Total

8,1 (r) 8,4 (r) 12,8 (s) 12,0 (s) 9,5 (r) 9,9 (r) 12,8(s) 10,3(s) 8,5 (r) 8,9 (r) 9,8 (r) 6,9 (r) 8,4(r) 9,5(r) 9,0(r) 6,5(r) 9,0(r) 7,5(r) 9,4(r) 10,6(s)

C/N

3,5(rs) 1,9(rs) 12,5(rs) 6,3(rs) 9,0(rs) 4,2(rs) 9,8 (rs) 4,9 (rs) 5,0(rs) 2,1(rs) 12,5 (rs) 7,3 (rs) 3,7(rs) 2,1(rs) 4,4(rs) 2,1(rs) 2,9(rs) 1,6(rs) 5,7(rs) 2,9(rs)

P–Tersedia (P– available) (ppm)

0,015(rs) 0,014(rs) 0,016(rs) 0,015(rs) 0,028(rs) 0,017(rs) 0,015(rs) 0,015(rs) 0,011(rs) 0,013(rs) 0,023(rs) 0,022(rs) 0,017(rs) 0,015(rs) 0,017(rs) 0,017(rs) 0,010(rs) 0,012(rs) 0,008(rs) 0,006(rs)

Mg

Basa – basa ( me/100g )

0,066(rs) 0,058(rs) 0,036 (rs) 0,034 (rs) 0,085(rs) 0,071(rs) 0,045 (rs) 0,039 (rs) 0,068(rs) 0,061(rs) 0,051 (rs) 0,037 (rs) 0,064(rs) 0,046(rs) 0,045(rs) 0,039(rs) 0,043(rs) 0,031(rs) 0,042(rs) 0,028(rs)

Ca

Lampiran (Annex) 1. Analisa kimia tanah di bawah tegakan E. urograndis (Analysis of the soil’s chemical properties under E. urograndis stand)

0,015(rs) 0,015(rs) 0,016(rs) 0,015(rs) 0,018(rs) 0,015(rs) 0,013(rs) 0,012(rs) 0,012(rs) 0,012(rs) 0,018(rs) 0,016(rs) 0,013(rs) 0,012(rs) 0,014(rs) 0,013(rs) 0,016(rs) 0,016(rs) 0,014(rs) 0,012(rs)

K

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 13 - 22

II / 5 th

I / 5 th

II / 4 th

I / 4 th

II / 3 th

I / 3 th

II / 2 th

I / 2 th

II / 1 th

I / 1 th

Rotasi/Umur (Rotation/Age)

1.12 1.13 1.17 1.29

1.26 1.26 1.17 1.29

0-20 20-40 0-20 20-40

0-20 20-40 0-20 20-40

0-20 20-40 0-20 20-40

1.22 1.24 1.26 1.26

1.16 1.15 1.27 1.26

1.19 1.21 1.07 1.07

( cm) 0-20 20-40 0-20 20-40

0-20 20-40 0-20 20-40

Berat Jenis

Jeluk (Depth)

53.73 53.33 52.45 52.45

56.56 56.60 51.82 52.20

52.45 52.57 55.60 51.32

57.48 57.23 55.60 51.32

54.84 54.08 59.67 56.63

Ruang Pori Total (Total pore space (%)

50.86 50.50 50.26 49.74

54.11 55.64 49.74 57.93

49.33 49.33 52.59 49.15

54.25 54.07 52.59 49.15

1.00 51.87 50.82 55.90 56.56

47.50 43.11 46.48 45.56

49.33 48.55 46.74 45.40

44.07 45.13 49.61 44.95

45.09 43.23 49.61 44.95

2.00 46.77 46.99 52.27 53.29

PF pada

34.96 3.50 36.28 35.72

37.48 35.08 39.09 38.86

36.56 37.03 31.35 33.52

30.35 30.25 31.35 33.52

2.54 31.97 37.09 40.15 43.37

21.78 21.52 27.34 27.64

25.21 28.11 22.62 18.43

29.45 31.05 20.70 20.70

22.70 23.03 20.70 20.70

4.2 21.78 24.69 22.91 24.40

6.79 10.18 5.97 7.42

6.89 8.05 5.08 6.80

8.37 7.27 5.99 6.36

12.39 13.99 5.99 6.36

Cepat 8.07 7.05 7.35 6.33

14.94 12.61 10.20 9.50

11.85 13.46 7.64 14.54

7.51 8.26 18.25 11.42

14.74 12.98 18.25 14.42

Lambat 14.80 15.01 12.12 10.25

Pori (Pore) (%)

10.18 8.92 8.93 8.07

12.26 6.97 16.48 12.43

7.10 5.98 10.65 12.82

7.64 7.22 10.65 12.82

10.18 7.32 17.32 17.23

Air tersedia (Water available) (%)

9.21 8.14 22.62 23.34

9.16 10.54 16.49 15.33

15.59 12.39 16.51 10.19

12.45 7.93 11.17 10.19

14.72 12.81 4.64 13.62

Permeabilitas (Permeability) (cm/jam)

Lampiran (Annex) 2. Analisa sifat fisika tanah di bawah tegakan E. urograndis (Analysis of the soil’s physical properties under E. urograndis’s stand)

Analisis Sifat-sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis Nina Mindawati, Andry Indrawan, Irdika Mansur dan Omo Rusdiana

21

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 13 - 22

Lampiran (Annex) 3. Analisis biologi tanah di bawah tegakan E. urograndis (Analysis of the soil’s biology under E. urograndis stand) Rotasi (Rotation)

C - Organik

(SPK/gx10 )

(mg C CO2/kg tanah/hari)

(ppm)

12400 8100 19400 3700 17600 8400 9800 5700 11700 6800

14600 7800 9500 7000 10000 4500 9100 5200 9500 6100

10,3 8,4 9,2 8,3 11,3 9,5 10,9 8,2 13,5 10,9

579,6 356,5 352,6 287,7 357,3 264,1 266,7 231,0 323,1 274,6

0 - 20

14100

10540

11,04

375,3

20 -40 0 - 20 20 -40 0-20 20 -40 0 - 20 20 -40 0 - 20 20 -40 0 - 20 20 -40 0 - 20 20 -40

64500 24300 14800 18200 13900 17500 5300 17100 10200 14100 7200 18240 11080

6120 23300 19600 14800 12000 17800 13500 14500 8500 12500 10100 19480 12740

9,06 24,5 20,8 16,4 10,4 12,3 8,3 12,6 9,2 10,9 8,2 15,3 11,3

282,7 524,1 418,2 466,1 429,4 381,5 294,7 391,6 286,4 342,8 313,7 421,2 348,0

Jeluk (cm)

(SPK/gx10 )

1

0 - 20 20 -40 0-20 20 -40 0 - 20 20 -40 0 - 20 20 -40 0 - 20 20 -40

2 3 I

4 5 Rata rata (Average)

1 2 II

3 4 5

Rata - rata (Average)

22

Respirasi (Respiration)

Umur (Age)

Total m.o 3

Total fungi 3

PEMILIHAN BAHAN VEGETATIF UNTUK PENYEDIAAN BIBIT BAMBU HITAM (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) Vegetative Material Selection for Seedling Preparation of Bamboo Hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) 1)

Saefudin dan/and Tati Rostiwati

2

1)

Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor Jl. Raya Jakarta - Bogor KM 46 Cibinong 16911 Telp./Fax. (0251) 87907612 2) Pusat Litbang Hutan Tanaman, Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 7520005 Naskah masuk : 24 Agustus 2009 ; Naskah diterima : 28 Desember 2009

ABSTRACT The research was aimed to determine appropriate vegetative material that showed the highest percentage of growing bud of the Gigantochloa atroviolacea Widjaja. There were three types of vegetative material to be tested, i.e. rhizome, stem cutting, and branch cutting. The result showed that the percentage of the three type of material were 84,7%; 52,5%; and 43,7% respectively for the rhizome, stem cutting, and branch cutting. Even though the percentage of branch cutting material was the lowest, but its technique was the efficient one in processing and in the use of materials as well. To improve the growing bud capability of branch cutting material was done by soaking the materials in the 5000 ppm hormone IBA solution for 2 hours prior to be immersed in the cultivating medium. This treatment increased the percentage of growing buds of branch cutting material from 43.7% to 64.5%. Key words: bamboo seedling, IBAhormone, vegetative material ABSTRAK Tiga bahan vegetatif yang digunakan untuk memperbanyak bibit bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) dalam penelitian ini adalah stek rimpang, stek batang dan stek cabang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bahan vegetatif yang tepat yang dapat menunjukkan persentase tumbuh tunas yang baik untuk penyediaan bibit bambu hitam. Dari ketiga cara tersebut, cara rimpang menghasilkan persentase tunas tumbuh tertinggi yaitu 84,7%, disusul stek batang 52,5% dan terendah stek cabang 43,7%. Meskipun hasil yang diperoleh dari stek cabang terendah, namun teknik budidaya dengan cara tersebut lebih efisien dan hemat dalam penggunaan bahan. Untuk memperbaiki kemampuan tumbuh dari stek cabang dilakukan dengan merendam cabang terlebih dahulu dalam larutan hormon IBA dosis 5000 ppm selama 2 jam sebelum dibenamkan dalam media budidaya. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan perolehan bibit bambu hitam asal cabang dari sebelumnya 43,7% menjadi 64,5%. Kata kunci: bahan vegetatif, bibit bambu, hormon IBA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bambu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki banyak manfaat. Bambu efektif berfungsi sebagai penahan erosi di tebing sungai dan pegunungan dan bahan baku indusutri kerajinan. Selain

23

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 23 - 28

itu bambu juga dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi perumahan, jembatan maupun bahan baku mebel. Hasil penelitian terhadap bambu berdiameter besar menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pengeringan dan pengawetan yang tepat dapat meningkatkan keawetan bambu dan menjadikan kekuatannya melebihi baja, sehingga sangat cocok untuk dipakai sebagai bahan konstruksi di daerah gempa (Dokinfo-Bapeda DIY, 2007). Bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea) termasuk salah satu dari 12 jenis bambu berdiameter besar yang sudah diprioritaskan untuk dikembangkan di Indonesia (Yayasan Bambu Indonesia, 1994). Pemanfaatan bambu hitam oleh masyarakat Indonesia termasuk tinggi karena dianggap memiliki fungsi serbaguna, mudah diperoleh dan dengan harga yang terjangkau. Komoditi bambu ini juga banyak dilirik oleh eksportir, terutama dalam bentuk barang kerajinan, cenderamata, asesoris dan perangkat rumah dari bambu. Tahapan penting dalam budidaya bambu hitam adalah pembibitan tanaman. Perbanyakan vegetatif menjadi pilihan utama karena biji tanaman bambu hitam sangat sulit diperoleh dan hanya ditemukan pada jenis tertentu. Rangkaian pengujian sangat diperlukan dalam memperbanyak bahan tanam untuk mendapatkan bibit yang siap tanam. Upaya memperbanyak dan membudidayakan tanaman bambu hitam mulai dilakukan oleh petani. Cara perbanyakan yang paling sering dilakukan adalah melalui rimpang (rhizome) atau lebih dikenal dengan memecah rumpun. Perbanyakan vegetatif dengan cara ini dinilai cukup berhasil, terutama dalam hal persentase tumbuh tunas dan kelangsungan tumbuh di lapangan. Dahlan (1994) telah meneliti perbanyakan vegetatif beberapa jenis Gigantochloa di Muara Enim, Sumatera Selatan dengan stek rimpang yang menghasilkan tingkat keberhasilan 70% - 90%. Namun demikian cara ini memiliki banyak kelemahan karena harus membongkar rumpun, sehingga harus menebang dan merusak tanaman bambu. Cara lain untuk mengurangi resiko kerusakan rumpun bambu dapat dilakukan melalui perbanyakan dengan stek batang atau stek cabang karena dapat dilakukan tanpa membongkar rumpun bambu. Keberhasilan perbanyakan dengan stek cabang semakin nyata karena biasanya stek cabang adalah limbah yang tidak dimanfaatkan. Penentu keberhasilan dalam perbanyakan bambu adalah terbentuknya tunas dan perakarannya sampai menjadi bibit yang siap ditanam di lahan budidaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan tumbuh stek bambu dapat berasal dari faktor dalam yaitu bahan stek atau faktor genetik dan faktor luar seperti media tumbuh, keadaan lingkungan tumbuh dan hormon penyeimbang. Kedua faktor tersebut bekerjasama saling mempengaruhi dan membuat keseimbangan yang paling menguntungkan untuk pembentukan tunas dan akar stek sampai menjadi bibit yang berkualitas (Hartman et al., 1997). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahan vegetatif yang tepat yang dapat memberikan persentase tumbuh tunas yang baik untuk penyediaan bibit bambu hitam. Adapun penelitian yang dilakukan berupa perendaman terlebih dahulu stek cabang bambu hitam sebagai calon bibit ke dalam larutan hormon IBA dengan dosis 0 ppm (kontrol), 500 ppm (dosis sedang) dan 5000 ppm (dosis tinggi). Bahan stek yang berhasil tumbuh selanjutnya digunakan untuk bahan percobaan. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan bahan stek (rimpang, batang dan cabang), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali. Penanaman beberapa bahan stek yang terdiri dari 50 contoh uji pada 30 petak pengujian (ukuran 2 x 1m) dilakukan dengan membenamkan bahan tanaman tersebut ke dalam tanah sedalam ± 7 cm. Setiap petak berisi 5 contoh uji (masing-masing bahan tanaman). Analisis data menggunakan sidik ragam dengan parameter yang diamati adalah persentase tumbuh tunas, jumlah dan panjang tunas, serta jumlah dan panjang akar. Pengamatan terhadap perkembangan persentase tumbuh tunas dilakukan setiap 2 minggu sampai minggu ke-14 (pengamatan ke-7), sedangkan pengamatan jumlah dan panjang tunas, jumlah akar dan panjang akar buku (nodul) dari masing-masing bahan tanaman dilakukan pada akhir penelitian (minggu ke-14). B. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah: a. Stek rimpang: berupa bagian bonggol dalam rumpun bambu yang terbenam di dalam tanah, yang kemudian dipecah dan dipotong sepanjang 30 cm. b. Stek batang: berupa potongan dari bagian pangkal batang yang masih segar yang memiliki mata tunas dengan ukuran potongan sepanjang 2 ruas c. Stek cabang: berupa organ tanaman yang tumbuh di bagian pangkal batang yang merupakan sisa/limbah dari bahan perbanyakan stek batang.

24

Pemilihan Bahan Vegetatif untuk Penyediaan Bibit Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) Saefudin dan Tati Rostiwati

II. KEBERHASILAN TUMBUH BEBERAPA BAHAN STEK Data persentase tunas tumbuh masing-masing bahan stek pada 7 periode pengamatan (2 - 14 minggu) tercantum pada Tabel 1, sedangkan data pertumbuhan tunas dan akar pada minggu ke 14 dengan hasil uji statistiknya tertera pada Tabel 2. Tabel (Table) 1. Persentase tunas yang tumbuh pada bahan stek bambu hitam sampai umur 14 minggu

Bahan stek (Cutting material)

Persentase tumbuh tunas (%) pada minggu ke: (Percetage of shoot growth (%) at certain week) 2

4

6

8

10

12

14

Stek rimpang

12,7

60,4

91,2

94,4

94,4

84,7

84,7

Stek batang

8,4

35,7

70,7

87,4

72,4

52,5

52,5

Stek cabang

0

24,8

53,5

75,5

51,5

47,3

43,7

Keterangan (Remarks) : Data di atas merupakan rata-rata dari 50 contoh uji (The data above are average of 50 test samples)

Tabel (Table) 2. Pertumbuhan tunas dan akar bambu hitam pada minggu ke-14 (The shoot and root growth of hitam bamboo at 14 weeks) Bahan stek (Cutting material)

Stek rimpang Stek batang Stek cabang

Tunas tumbuh Jumlah tunas Panjang tunas (Shoot grow) (Number (Length of shoot) (%) of shoot) (cm)

84,7 b 52,5 a 43,7 a

7,3 b 5,5 b 3,2 a

82,5 c 59,7 b 27,8 a

Jumlah akar (Number of root)

10,5 b 5,2 a 4,7 a

Panjang akar (Length of root) (cm)

35,7 c 21,4 b 14,8 a

Kerapatan Akar (Density of root) (gr/cm3)

11,1 b 10,8 b 8,2 a

Keterangan (Remarks) : Nilai rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata dalam uji Duncan pada taraf 5% (Average numbers followed by the same letter are not significantly different at 5% level of Duncan test)

Tunas tumbuh dari asal rimpang dan stek batang mulai muncul pada minggu kedua setelah penanaman (pengamatan ke-1), sedangkan dari stek cabang baru muncul pada pengamatan ke-2. Berdasarkan banyaknya tunas yang muncul dari semua bahan, pertumbuhan tertinggi dicapai pada minggu ke-8 setelah penyemaian. Dari ketiga bahan stek yang digunakan, persentase tertinggi diperoleh pada bahan rimpang, yaitu 94,4% dan terendah pada stek cabang, yaitu 75,5% (Tabel 1). Pada pengamatan minggu ke10 persentase tumbuh tunas mulai menurun, terutama pada stek dari batang dan cabang karena mengalami layu dan akhirnya mati. Penyebab utama kematian adalah kualitas sistem perakaran yang buruk, sementara itu cadangan makanan pada bahan stek cabang dan batang terbatas (Saefudin, 2002). Hal ini terus berlangsung hingga minggu ke-12 dan stabil pada minggu ke-14, dimana kematian tunas tidak dijumpai lagi. Meskipun persentase tumbuh tunas tertinggi dicapai pada minggu ke-8, namun pertumbuhan akarnya baru optimal pada minggu ke-14. Pada Tabel 2 tampak jumlah dan panjang tunas serta jumlah, panjang dan kerapatan akar tertinggi dicapai pada bahan rimpang dan terendah pada bahan stek cabang. Keberhasilan tumbuh tunas dari bahan rimpang mudah dipahami karena pada bagian pangkalnya memiliki akar yang mudah tumbuh. Untuk skala kecil, penggunaan bahan rimpang sangat menguntungkan. Namun demikian, bila dibutuhkan bibit dalam jumlah banyak, maka perbanyakan dengan cara ini menjadi mahal karena harus membongkar rumpun yang dapat menimbulkan kerusakan tanaman. Jumlah tunas tumbuh per rumpun sangat menentukan untuk dipecah menjadi calon bibit ketika akan dipindah ke dalam polibag. Sistem perakaran tunas dari bahan stek yang berhasil tumbuh akarnya dan yang tidak berhasil tumbuh dapat diketahui dengan cara membongkar bahan stek. Sampai dengan minggu ke-14 setelah tanam, tunas yang sistem perakarannya tidak berkembang maupun yang gagal tumbuh lebih banyak dijumpai pada bahan stek cabang dibandingkan bahan stek batang. Pertumbuhan dan ukuran bibit yang diperoleh dari perbanyakan stek cabang bambu hitam menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan perolehan dari perbanyakan stek batang dan stek rimpang. Hasil yang serupa juga dialami pada hampir semua jenis bambu komersial yang diperbanyak melalui stek cabang (Saefudin, 2002). Untuk memacu pertumbuhan agar mencapai ukuran seragam dengan bibit asal stek rimpang dan batang memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Meskipun dengan rimpang dan batang dapat

25

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 23 - 28

menghasilkan bibit bambu hitam lebih banyak dibandingkan stek cabang, namun dalam proses budidaya lebih menguntungkan menggunakan stek cabang karena cabang adalah bahan limbah bambu yang tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu, upaya berikutnya adalah memperbanyak bibit bambu hitam melalui stek cabang dengan menambahkan hormon untuk memacu pertumbuhan akarnya. III. RESPON PEMBERIAN HORMON PADA STEK CABANG Perbanyakan stek cabang pada bambu hitam relatif agak sulit dan belum banyak dilakukan petani. Bila dilakukan tanpa menggunakan zat perangsang tumbuh, stek cabang bambu hitam sangat sedikit keberhasilan tumbuhnya. Bila pertumbuhan stek cabang bambu hitam tersebut dibandingkan dengan hasil percobaan perbanyakan stek cabang bambu kuning (Bambusa vulgaris var. striata), maka pertumbuhan stek cabang bambu hitam sedikit lebih lambat. Keunggulan lain, stek cabang bambu kuning dapat tumbuh baik tanpa diberi perangsang tumbuh, tetapi sangat nyata pertumbuhannya ketika diberi perangsang tumbuh 500 ppm atonik (Charomaini dan Sri Harianti, 2005). Pada perlakuan pemberian hormon untuk stek cabang, terlihat pada Tabel 3 bahwa perlakuan konsentrasi hormon IBA berpengaruh nyata terhadap parameter tumbuh tunas, jumlah dan panjang tunas serta jumlah dan panjang akar bibit bambu hitam dari stek cabang. Tabel (Table) 3. Pertumbuhan tunas dan perakaran asal stek cabang setelah perlakuan dengan hormon IBA (The shoot and root growth of stem cutting of bamboo hitam after threated by IBA hormone)

Rata-rata (Average) Hormon IBA ( ppm)

0 500 5000

Tunas tumbuh (Shoot grow) (%)

43,7 a 47,3 a 64,5 b

Jumlah tunas (Number shoot)

3,2 a 3,8 a 5,2 b

Panjang tunas (Length of shoot) (cm)

27,8 a 35,3 a 63,5 b

Jumlah akar (Number of root)

4,7 a 4,9 a 8,6 b

Panjang akar (Length of root) (cm)

14,8 a 16,6 a 19,0 b

Keterangan (Remarks) : Nilai rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata dalam uji Duncan pada taraf 5% (Average numbers followed by the same letter are not significantly different at 5% level of Duncan test)

Meskipun pemberian hormon IBA dalam dosis 500 ppm (konsentrasi 0,05%) dapat meningkatkan perolehan bibit bambu hitam melalui stek cabang dibandingkan tanpa pemberian hormon (kontrol), namun hasilnya masih rendah (di bawah 50%). Untuk dosis 500 ppm, tunas yang tumbuh belum mampu membentuk akar dalam jumlah yang lebih banyak. Bahkan sering menimbulkan kematian tunas selama proses pembibitan. Jumlah bibit terlihat meningkat cukup tinggi setelah diberikan hormon tersebut dengan dosis 5000 ppm (konsentrasi 0,5%). Dibandingkan dengan marga Gigantochloa lain seperti bambu tali (Gigantochloa apus), andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta) (Saefudin, 2002}, pemberian hormon IBA dengan dosis 5000 ppm lebih berhasil diperoleh pada perbanyakan bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea). Perolehan hasil dengan pemberian hormon IBA tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hormon perangsang tumbuh yang lain. Hasil percobaan perbanyakan bambu hitam dari stek cabang dengan pemberian hormon 6-butiric amino purin (BAP) dalam konsentrasi 0,5% hanya menghasilkan bibit sebanyak 45,3% (Sumiasri dan Indarto, 2001), sementara dengan hormon IBA pada konsentrasi yang sama bisa mencapai 64,5% (Tabel 3). Pertumbuhan stek cabang mampu dirangsang dengan menggunakan hormon perangsang tumbuh. Agar diperoleh hasil yang baik perlu digunakan dosis yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pemberian zat pengatur tumbuh yang melebihi kadar optimum akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat, bahkan terhenti bila dilakukan dalam waktu lama. Hormon IBA, termasuk salah satu hormon auxin yang dapat merangsang pertumbuhan akar dan tunas pada tanaman, sehingga diharapkan mampu memperbanyak perolehan bahan bambu hitam dari stek cabang. Auksin terdapat dalam akar, batang dan tunas dengan kadar yang berbeda. Menurut Thiman (1973) dalam Kusumo (1984) dikatakan bahwa hubungan antara pertumbuhan dan kadar auksin adalah sama besar pengaruhnya, baik pada akar, batang maupun tunas. Pada awal tumbuh akar, yaitu minggu kedua setelah stek cabang bambu hitam ditanam perlu dirangsang dengan dengan penyemprotan 0,3% hormon bensil amino purin. Sistem perakaran stek cabang akan tumbuh subur sampai siap dipindah ke polibag setelah umur 3 bulan (Sumuasri dan Setiowati, 2001). Selanjutnya, selama 3 bulan di dalam polibag, media tanam perlu ditambahkan campuran tanah dan kompos dengan perbandingan (1 : 1) selama lebih kurang 4 bulan. Oleh karena itu diperlukan lebih kurang 7 bulan sampai 8 bulan agar kualitas bibit stek cabang hitam setara dengan kualitas bibit asal batang dan rimpang. Pada stek

26

Pemilihan Bahan Vegetatif untuk Penyediaan Bibit Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) Saefudin dan Tati Rostiwati

cabang bambu betung untuk mendapatkan bibit yang berasal dari stek cabang diperlukan waktu yang lebih lama lagi, antara 9 - 14 bulan (Saefudin, 2007). Bibit bambu hitam hasil perbanyakan stek cabang yang siap tanam di lapangan dicirikan oleh pertumbuhan yang subur. Dalam polibag ukuran 20 x 25 cm, tinggi bibit berkisar antara 80 - 90 cm, jumlah daun antara 20 - 30 helai dan sistem perakarannya sudah cukup rapat dan panjang, sehingga bibit siap dipindah ke lahan penanaman. Kualitas bibit tersebut sangat menentukan kelangsungan tumbuh, pembentukan rumpun dan produksi bambu di lapangan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Dari ketiga bahan tanaman yang dicoba diperoleh kesimpulan bahwa: a. Persentase tumbuh tunas tertinggi dari ketiga bahan stek bambu hitam yang dicoba dicapai pada minggu ke-8 setelah penyemaian, namun pertumbuhan akarnya baru mencapai optimal pada minggu ke-14. b. Kemampuan tumbuh, jumlah dan panjang tunas serta jumlah, panjang dan kerapatan akar bambu hitam yang dihasilkan tertinggi diperoleh pada stek rimpang dan terendah pada stek cabang. 2. Kualitas sistem perakaran pada bahan stek cabang sangat menentukan keberhasilan pembentukan, pertumbuhan dan kelangsungan tumbuh tunas dalam perbanyakan vegetatif bambu hitam. 3. Bibit bambu hitam asal stek cabang dapat ditingkatkan kemampuan tumbuhnya dari 43,7% hingga mencapai 64,5% dengan mencelupkan ruas bambu selama 2 jam pada larutan IBA dosis 5000 ppm sebelum disemaikan. B. Saran Bahan tanaman yang berasal stek cabang merupakan limbah dari pemanenan batang-batang bambu, maka bahan tanaman inilah yang berpeluang untuk dapat mengefektifkan penggunaan bahan tanaman bambu sebagai penyediaan bibit. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya perlu difokuskan kepada penelitian efektifitas dan efisiensi penyediaan bibit berkualitas asal stek cabang bambu hitam. DAFTAR PUSTAKA Chairomaini, M. dan S. Hariyanti. 2005. Aplikasi atonik pada stek cabang bambu kuning. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Bogor. Vol. 2 No. 1. Halaman 1-11 Dahlan, Z. 1994. Penelitian Biologi, Budidaya dan Pemanfaatan Bambu di Universitas Sriwijaya. Sarasehan Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor. Dokinfo-Bapeda DIY. 2007. Bambu Lebih Kuat Dibanding Baja. Artikel dari http://www.bapeda.pemdadiy.go.id/detail.php.jenis. Diakses pada tanggal 10 Maret 2008. Hartman, H.T., D. E. Kester, F. T. Davies and R. L, Geneve. 1997. Plant Propagation, Principles and Practices. Sixth edition. Prentice Hall., New Jersey. Kusumo, K. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV. Yasaguna. Bogor. 67 halaman. Saefudin. 2002. Perbanyakan vegetatif lima jenis bambu setelah perlakuan dengan Indole Butiric Acid. Laporan Teknik Pusat Litbang Biologi. Bogor. Halaman. 213-219. Saefudin. 2007. Percobaan Budidaya Bambu dalam Sistem Reklamasi Lahan Marginal DAS Ciapus Hulu. Seminar Nasional Mapeki X. Pontianak Kalimantan Barat. Halaman. 224-230. Sumiasri, N. dan N. S. Indarto. 2001. Pengaruh macam cabang dan berbagai dosis hormon BAP terhadap pertumbuhan stek bambu hitam (Giganthloa atroviolacea). Widya Agrica. Vol. 9. No.2. Halaman. 145-154.

27

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 23 - 28

Widjaja, E.A., N.W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan Membudidayakan Bambu. Pusat Penelitian BiologiLIPI. Bogor. Yayasan Bambu Indonesia, 1994. Simpulan dan Saran. Sarasehan Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari-LIPI. Bogor.

28

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETASI Forest Fire Impact on the Growth of Vegetation 1)

Wida Darwiati dan/and Faisal Danu Tuheteru

2)

1)

Puslitbang Hutan Tanaman Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 7520005 2) Program Studi Manajemen Hutan Universitas Haluoleo Kendari Kampus Bumi Tridahma Andounonu Jl. H.E.A Mokodampit No. 1 Telp (0401) 3194108, Fax. (0401) 3190066 Naskah masuk : 25 September 2009 ; Naskah diterima : 4 Januari 2010

ABSTRACT Forest fire is viewed as one of various factors having contribution on the rate of land degradation, deforestration and environment quality depletion in Indonesia. Ecologically, forest fire has an effect on the depletion of sites quality. The most important part of the ecosystem altered by forest fire is the vegetation itself. Levels of deterioration of the vegetation happened strongly depends on the characteristic of the forest fire itself. Forest fire capable to kill the vegetation at various stages of growths and developments on the other hand, forest vegetation has some mechanism of respons and adaptation differently respect to the forest fire evident. Barriering of buds, flowering stimulation and retentioning of seeds are examples of some adaptation respons by vegetation or plants against to fire and it depends on the species existing in the areas. Species of trees that have high resistance against to forest fire, among other : Schima wallichii (puspa), Fragraea fragrans (tembesu), Penorema canescens (sungkai), Eucalyptus spp. (ekaliptus), Vitex pubescens (laban), Pseudotsuga menziesii and Pinus ponderosa. Keywords : Forest fire, forest, vegetation ABSTRAK Salah satu faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap laju degradasi hutan dan deforestasi serta menurunnya kualitas lingkungan hidup di Indonesia adalah kebakaran hutan. Secara ekologis, kebakaran hutan berdampak terhadap menurunnya kualitas ekosistem. Salah satu unsur penting ekosistem hutan yang turut menerima dampak kebakaran hutan adalah vegetasi hutan. Tingkat kerusakan vegetasi hutan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kebakaran hutan. Kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Vegetasi mempunyai mekanisme respon dan adaptasi yang berbeda terhadap kejadian kebakaran hutan. Beberapa bentuk adaptasi vegetasi/tanaman terhadap api diantaranya perlindungan tunas, stimulasi pembungaan dan retensi benih. Jenis - jenis yang resisten terhadap kebakaran diantaranya puspa (Schima wallichii), tembesu (Fragraea fragrans), sungkai (Peronema canescens), Eucalyptus sp. dan laban (Vitex pubescens), Larix occidentalis, Pseudotsuga menziesii dan Pinus ponderosa. Kata kunci: kebakaran hutan, hutan, vegetasi

29

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 27 - 32

l. PENDAHULUAN Kebakaran merupakan fenomena yang umum dan sudah terjadi sejak dahulu, membentuk banyak komunitas dan berbagai penutupan lahan di muka bumi (Chandler et al., 1983). Kejadian kebakaran hutan dapat terjadi di berbagai eksosistem hutan baik di boreal, temperate maupun hutan tropik (Nasi et al., 2002). Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan hampir 99 % diakibatkan oleh kegiatan manusia baik disengaja maupun tidak (unsur kelalaian). Diantara angka persentase tersebut, kegiatan konversi lahan menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan sosial 14%, proyek transmigrasi 8%; sedangkan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan dan lahan sehingga menjadi pemicu kebakaran adalah iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit batubara dan gambut. Hasil penelitian Suyanto dan Applegate (2001) di wilayah Sumatera pada 4 (empat) wilayah provinsi yaitu Lampung, Jambi, Sumatera Selatan dan Riau menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan terjadi karena: (1) penggunaan api untuk pembukaan lahan, (2) penggunaan api sebagai senjata dalam penyelesaian konflik tanah, (3) penyebaran api tidak sengaja, dan (4) ekstraksi sumberdaya alam dan degradasi hutan. Umumnya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi mempunyai banyak dampak terhadap biodiversitas biologi (flora dan fauna). Pada rona global, kebakaran hutan secara signifikan merupakan sumber emisi karbon serta berkontribusi terhadap pemanasan global yang berakibat terhadap menurunnya biodiversitas biologi. Selain itu, pada konteks lokal atau regional kebakaran hutan berpengaruh terhadap stok biomassa hutan, siklus hidrologi, aktivitas fisiologis tumbuhan (kematian dan penurunan aktivitas fotosintesis tumbuhan) dan hewan serta kesehatan manusia dan hewan (Nasi et al., 2002) Menurut Komarek (1973) dalam Chandler et al. (1983), fakta menunjukkan bahwa kebakaran telah mempengaruhi vegetasi di seluruh dunia. Hanya saja sejak kapan api mulai mempengaruhi vegetasi tidak diketahui secara pasti. Kebakaran hutan juga merupakan bagian dari suksesi tanaman yang mendorong tumbuhnya permudaan populasi tertentu dan membentuk mosaik komunitas tanaman yang berkembang dari waktu ke waktu pada tempat-tempat yang berbeda. Pengaruh api (kebakaran) terhadap vegetasi tergantung intensitas dan frekuensi kebakaran yang terjadi dan berkorelasi dengan jumlah bahan bakarnya termasuk umur dan sifat khusus dari pohon (Naveh, 1974 dalam Chandler et al., 1983; Oliver & Larson, 1990; Wibowo, 2003 dan Meijaard et al., 2006). ll. KARAKTERISTIK KEBAKARAN HUTAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP VEGETASI Kebakaran yang berlangsung cukup lama dengan intensitas tinggi (maupun sedang) dapat mematikan setiap jenis pohon dan atau jika kebakaran terjadi pada interval-interval pendek dapat berakibat minor terhadap vegetasi (Chandler et al., 1983; Oliver & Larson, 1990; Wibowo, 2003; dan Meijaard et al., 2006). Kimmins (2004) menjelaskan bahwa kebakaran hutan juga mempengaruhi tahapan pertumbuhan atau perkembangan tanaman. Sebagai contoh banyaknya pohon kayu keras di bawah tegakan hutan pinus Amerika Serikat menurun oleh karena tingginya intensitas kebakaran yakni 11 kali kebakaran tahunan menyebabkan kematian 85% tegakan, sementara kebakaran dua kali setahun, tanaman yang mati hanya 59%. Tipe kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar yakni kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire) serta kebakaran tajuk (crown fire) (Kimmins, 2004). Pada konteks pengaruh tipe kebakaran hutan tersebut terhadap vegetasi dapat dijelaskan sebagai berikut : kebakaran bawah (ground fire) dapat membakar serasah dan akar tanaman, walaupun tergantung pada karakteristik serasah dan akar, membakar bahan organik serta mengurangi benih-benih (Oliver & Larson, 1990; Kimmins, 2004). Karakteristik ini akan dijelaskan pada bagian adaptasi tanaman. Vegetasi rawa biasanya beregenerasi dengan stolon atau rhizoma, namun organ ini sangat sensitif terhadap panas yang dihasilkan oleh kebakaran. Garen (1943) dalam Chandler et al., (1983) meneliti bahwa jenis-jenis rawa mati saat musim kering, karena akar yang berada di dekat permukaan tanah mati. Lain halnya pada kejadian kebakaran permukaan (surface fire) dapat mematikan vegetasi pada berbagai intensitas kebakaran yang berbeda dan tergantung pada jenis vegetasi (Oliver & Larson, 1990). Kebakaran tajuk secara umum membakar atau merusak tajuk, daun dan cabang/ranting pohon di atas lantai hutan. Kadangkadang vegetasi di lantai hutan dan serasah tidak dapat terbakar pada saat terjadinya kebakaran tajuk (Oliver & Larson, 1990; Kimmins, 2004).

30

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Pertumbuhan Vegetasi Wida Darwiati dan Faisal Danu Tuheteru

lll. KARAKTERISTIK VEGETASI DALAM MERESPON KEBAKARAN DAN ADAPTASI TANAMAN TERHADAP API Untuk mengurangi dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi, maka vegetasi mempunyai mekanisme tertentu untuk merespon terjadinya kebakaran. Mekanisme resistensi pohon terhadap kejadian kebakaran hutan tergantung pada: (1) kandungan karbohidrat dalam pohon, dan (2) cara adaptasi pohon terhadap kebakaran dalam bentuk ketebalan kulit pohon (kambium), kuncup/tunas yang terlindung, kemampuan bertunas setelah kebakaran serta penyebaran dan perkecambahan biji yang dirangsang kebakaran (Chandler et al., 1983). Kebanyakan pada daun lebar dan daun jarum akan mengalami kematian jika terjadi kebakaran hebat terhadap kambium pada kebakaran permukaan (Cole, 1977 dalam Oliver & Larson, 1990). Hal ini juga dipertegas oleh Nasi et al. (2002) dan Meijaard et al. (2006) bahwa kebakaran akan mematikan anakan, kecambah, liana, serta pohon pohon muda yang tidak dilindungi oleh kulit kayu yang tebal. Beberapa jenis yang resisten terhadap kebakaran diantaranya : Larix occidentalis, Pseudotsuga menziesii, Pinus ponderosa dan Eucalyptus sp. (Kimmins, 2004). Di Indonesia telah dilaporkan jenis tanaman yang resisten terhadap kebakaran diantaranya ketika mencapai umur tertentu seperti puspa (Schima wallichii), sungkai (Peronema canescens), Eucalyptus sp. dan laban (Vitex pubescens) (Wibowo, 2003). Menurut Yafid (2006) ada beberapa jenis pohon yang tahan api seperti Fragraea fragrans (tembesu), kemenyan (Styrax benzoin), geronggang (Cratoxylum spp.) serta blangiran (Shorea balangeran). A. Perlindungan Tunas dan Stimulasi Pembungann Regenerasi setelah kebakaran sering terjadi. Tergantung pada intensitas kebakaran, pohon mungkin tumbuh kembali lewat trubusan dari tunas-tunas yang dilindungi oleh kulit batang, pada saat tajuk habis terbakar, atau pohon dapat bertahan hidup jika daunnya tidak semuanya terbakar (ada yang tersisa). Semak mungkin benar-benar rusak oleh api, namun mampu bertahan hidup dengan pertunasan dari pucuk tunas yang terpendam dalam tanah. Serupa dengan pembentukan rhizoma tanaman herba yang mampu membentuk daun yang baru dari meristem basal yang terlindungi dan menyusun elemen fotosintetisnya. Peran ketebalan pohon dalam melindungi tunas dapat ditemukan pada hutan ecaliptus kering di Australia dan hutan Quercus suber di Eropa. Pohon-pohon dapat bertahan hidup dan membentuk daun yang baru maskipun telah mengalami kebakaran tajuk yang intens (sering). Dalam beberapa kasus pada ekaliptus, penyembuhannya bisa terjadi dengan sangat cepat. Gill (1978) dalam Chandler et al., (1983) menunjukkan bahwa E. dives setinggi 5 - 7 m menghasilkan area daun sebelum kebakaran dalam setahun, meskipun api merusak keseluruhan tajuk pohon tersebut. Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, sistem percabangan normal telah terbentuk. Ketebalan kulit batang menjadi sangat penting untuk perlindungan tunas. Banyak tanaman seperti famili Filicinae, Cycadaceae dan Angiosperma dengan organ regeneratif yang berada di bawah tanah seperti rhizoma yang menghasilkan tunas. Beberapa dikotiledon mempunyai tunas akar dan beberapa dikotiledon semak mempunyai tunas yang berada di pangkal batangnya. Dalam beberapa kasus, tunas bisa tumbuh menjadi sangat banyak yang akan membentuk lignotuber, badan berkayu. Lignotuber ini sangat sering ditemui pada pohon ekaliptus yang stress (tertekan) oleh berbagai gangguan seperti api, ini merupakan mekanisme adaptasi ekaliptus terhadap kondisi yang kurang disukai, seperti kehadiran api. Organ serupa juga muncul pada pohon di Afrika, dalam kasus dimana tanaman membentuk organ seperti xylopoda dan menganggapnya sebagai mekanisme bertahan dari api. Dalam berbagai jenis semak, pertunasan dari dasar sering muncul setelah kebakaran tajuk. Kemampuan tunas untuk bertahan hidup dari kebakaran juga tergantung pada apa yang disebut dengan ”vitalitas”. Tanaman muda umumnya mati karena kebakaran, karena belum membentuk/ mempunyai mekanisme/organ adaptasi khusus terhadap api. Vitalitas tanaman bisa juga menurun pada tegakan yang lebih tua, namun bagaimanapun vitalitas dapat pula berubah seiring dengan tahap fisiologisnya dan musim. Beberapa tanaman bertahan hidup dari kebakaran karena tunasnya terlindungi oleh tumpukan daun di permukaan tanah atau terletak sangat tinggi pada pohon. Di antara jenis ini terdapat Pandanus spp. di Hawai yang tahan api dan Xanthorrhoea di Australia. Setelah kebakaran, monokotil membentuk tunas baru, tumbuh daun baru melalui pertumbuhan intercalary. Dikotil membentuk daun baru setelah kebakaran, sedangkan daun monokotil tetap tumbuh dari dasar yang terlindungi. Semua mekanisme perlindungan ini beragam seiring dengan waktu serta kerentanan tanaman terhadap api yang berbeda-beda sesuai dengan siklus hidupnya. Pohon muda yang mempunyai kulit batang yang sangat tipis, pohon tua mempunyai kulit batang yang lebih tebal, dan pohon yang sangat tua (tidak produktif lagi) mengalami penipisan kulit batang. Apikal pada tanaman dapat muncul dari permukaan tanah pada tahap

31

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 27 - 32

perkecambahannya, namun justru tumbuh mengubur diri dalam tanah dalam masa pertumbuhannya. Salah satu atau mekanisme yang lain akan didapati pada lokasi - lokasi dimana sering terjadi kebakaran, pertumbuhan vegetasi menjadi berubah. Kebakaran juga berperan dalam seleksi bentuk tanaman yang mengadopsi sifat genetik yang memungkinkan mereka untuk bertahan dari kebakaran dan tekanan lingkungan yang lain. B. Stimulasi Pembungaan Fenomena pada tanaman-tanaman yang tahan api yang banyak diteliti juga adalah stimulasi pembungaan. Umumnya fenomena tersebut ditemukan pada tanaman monokotil, meskipun ada beberapa pula yang termasuk dikotil. Yang sering disebut adalah: famili Graminaceae, Orchidaceae, Iridaceae, Amaryllidaceae, Xanthorrhoeaceae dan Liliaceae. Ditemukan peningkatan pembungaan 10 kali lipat setelah kebakaran di padang rumput Illinois di Amerika Utara (Old, 1969 dalam Chandler et al., 1983). Banyak mekanisme yang tampaknya terlibat dalam proses pembungaan karena stimulasi api. Bagaimanapun, hasilnya hampir sama, karena pembungaan prolifik diikuti dengan peningkatan produksi anakan. Hal ini berkaitan dengan produksi benih yang lebih besar, atau rendahnya predasi (pemangsaan/pemakan) benih pada tanaman atau setelah penyebarannya. Produksi benih lebih besar pada bunga dari tanaman yang terbakar dari pada tanaman yang tidak terbakar. Berlimpahnya pembungaan X. australis pada interval yang teratur dapat merupakan faktor penting dalam produksi benih dalam kaitannya dengan siklus predatornya yaitu Hyaletis latro. IV. RETENSI, KETAHANAN KEKURANGAN AIR SERTA STIMULASI PERKECAMBAHAN BENIH OLEH API Retensi benih pada tanaman merupakan aspek penting dalam siklus hidupnya. Hal ini umumnya benar pada saat tanaman yang sensitif terhadap api terkena dampaknya, oleh karenanya, benih yang tersimpan merupakan salah satu alat untuk tetap mempertahankan jenisnya. Eucalypytus regnans di Australia merupakan salah satu contoh untuk model adaptasi ini (Chandler et al., 1983). E. regnans merupakan pohon yang sangat besar yang mana regenerasinya (permudaannya) terjadi setelah kebakaran, hanya jika terdapat pohon dewasa di sekitar tegakan yang terbakar. Kebakaran normalnya terjadi setiap dua atau tiga kali dalan seratus tahun, meskipun akhir-akhir ini lebih sering terjadi dengan interval 15 sampai 20 tahun. Studi produksi bunga dan kapsul pada E. regnans telah menghasilkan 3 (tiga) hipotesis yang berkaitan dengan penyimpanan benih, dengan asumsi bahwa suatu jenis tanaman harus menghasilkan benih dengan stok yang mencukupi sehingga diharapkan dapat beregenerasi setelah kebakaran. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: 1. Persediaan benih penting untuk menyeimbangkan variasi input benih yang disebabkan oleh pembungaan dua tahunan. 2. Simpanan benih penting untuk mempertahankan input benih pada saat tanah tidak dipupuk. 3. Simpanan benih juga penting untuk mempertahankan suplai benih selama kemarau pada saat pembungaan tidak memadai. Benih yang terbentuk pada saat tahun pembungaan yang bagus tampaknya dilepaskan secara perlahanlahan (bertahap) sepanjang 2 (dua) tahun (Cunningham, 1960 dalam Chandler et al., 1983). Dengan variasi ini, penyebaran benih lebih sedikit disebutkan dibanding dengan fluktuasi banyaknya bunga yang dihasilkan. Tanpa peristiwa kebakaran, setengah dari keseluruhan benih yang ada diduga hilang tiap tahunnya. Sekitar 75% dari semua benih akan jatuh; sisanya tetap berada pada kapsul. Burung kakatua setidaknya memakan atau membuang 30% benih viabel (Ashton, 1975 dalam Chandler et al., 1983). Dari kapsul-kapsul yang jatuh ke tanah, 50%nya mungkin akan terbuka dan menghasilkan benih. Benih di permukaan tanah terkadang terbawa oleh semut dan serangga yang lain: diperkirakan 80% benih yang terlepas dari kapsul di permukaan tanah akan hilang. Setelah kebakaran, seluruh benih di tajuk akan terlepas, padahal benih ini merupakan hasil produksi selama setengah tahun. Jika keseluruhan tajuk terbakar, maka biasanya benih akan terlepas dalam beberapa hari, namun tingkat kehilangannya akan sama dengan pohon yang tidak terbakar, yaitu kira-kira 8.2%. dalam kebakaran, benih yang mencukupi disimpan dalam tajuk dan dilepaskan/jatuh ke tanah untuk memuaskan predator sehingga lebih banyak persediaan benih untuk perkecambahan. Pada beberapa jenis pinus, buah yang berbentuk kerucut (cone) tetap tertutup hingga panas yang dihasilkan oleh api membukanya, misalnya pada P. contorta. Pohon yang muda terlihat selalu seperti terbuka,

32

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Pertumbuhan Vegetasi Wida Darwiati dan Faisal Danu Tuheteru

dimana pada tanaman yang lebih tua buah yang berbentuk kerucut bisa terbuka atau tertutup. Serotin pada pinus dapat beragam tergantung pada ketinggian tempat tumbuhnya (altitude), ketebalan kulit batang juga berpengaruh pada kadar serotin. Semakin tebal kulit batang, semakin rendah kadar serotinnya. Semakin rendah intensitas kebakaran dan semakin jarang frekuensinya, semakin rendah pula kadar serotinnya dalam pinus. Intensitas api yang tinggi mungkin dapat menghasilkan genotip serotin karena benih dari pohon buah yang berbentuk kerucut terbuka akan cenderung rusak karena kebakaran. P. halepensois dan P. brutia dari populasi Mediterania mempunyai buah yang berbentuk kerucut yang mengandung serotin (Naveh, 1975 dalam Chandler et al.,1983). Banyak genera yang lain juga menghasilkan benih yang disimpan dalam tanaman, kemudian disebarkan dengan cepat mengikuti pasca kebakaran. Hingga saat ini tidak diketahui informasi mengenai morfologi, fisiologi atau ekologi benih yang disimpan dalam tanah yang muncul setelah kebakaran. Informasi tentang pengaruh kebakaran terhadap perkecambahan benih masih sedikit. Tanaman akasia menyimpan banyak sekali benih dalam tanah (hingga 250 x 106/ha). Floyd (1966) menampilkan data yang menunjukkan hubungan antara durasi (lama waktu) exposure (terpapar) dan suhunya. Periode yang panjang dengan suhu yang rendah membawa tingkat perkecambahan yang hampir sama dengan periode rendah dengan suhu yang tinggi. Perbedaan tingkat perkecambahan yang mendasar pada A. cyclops yang tumbuh di Afrika dan Australia, lebih terpengaruh pada frekuensi kebakaran yang terjadi. V. BENTUK DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP VEGETASI DAN KONDISI PASCA KEBAKARAN HUTAN Beberapa bentuk dampak yang ditimbulkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan terhadap vegetasi (Chandler et al., 1983; Oliver & Larson, 1990; Nasi et al. 2002; Wibowo, 2003; dan Meijaard et al., 2006) : · · · · · ·

Intensitas kebakaran tinggi dapat mematikan semua anakan, liana, pohon muda dan pohon. Menimbulkan luka dan stress pada pohon sehingga rawan terhadap serangan hama dan penyakit. Riap tegakan menurun karena banyak pohon yang mengalami stress atau tegakan menjadi jarang. Luka pada pohon akibat kebakaran dapat menimbulkan cacat permanen sehingga kualitas kayu menurun. Merusak peremajaan atau tanaman muda. Diversitas tumbuhan berkurang, Mempengaruhi pola suksesi vegetasi; setelah kebakaran regenerasi alam diawali dengan tumbuhan pionir (intoleran) kemudian tumbuhan semi toleran dan tumbuhan toleran selanjutnya menjadi hutan klimaks. · Membantu terjadinya permudaan alam setelah kebakaran (hutan pinus). · Meningkatkan produksi dan kualitas pakan ternak di dalam hutan. · Apabila banyak pohon yang mati maka fungsi hutan lainnya seperti fungsi tata air dan perlindungan tanah terganggu. A. Klasifikasi Hutan Bekas Terbakar Setelah kebakaran hutan yang terjadi dengan intensitas yang tinggi, maka kawasan hutan bekas terbakar di Kalimantan Timur dapat diklasifikasi sebagai berikut (Sutisna, 2001): 1. Hutan terbakar berat Penuh dengan pohon pionir (malotus, macaranga, dll.), terdapat padang alang-alang, tidak ada atau sedikit sekali permudaan alam pohon jenis komersial dan banyak pohon mati berdiri. 2. Hutan terbakar sedang Dipenuhi pohon pionir dan juga pohon mati (berkurang), tidak ada padang alang-alang, terdapat beberapa permudaan jenis komersial, 1-3 pohon induk per ha, serta tidak ada lapisan tajuk atas yang nyata. 3. Hutan terbakar ringan Banyak pohon pionir seperti hutan terbakar berat, banyak jenis-jenis pohon komersial dan permudaannya, hanya sedikit pohon mati, terdapat 4-6 pohon induk per ha, masih tidak ada lapisan tajuk atas yang nyata. B. Vegetasi yang Muncul Pasca Kebakaran Hutan yang tak terbakar, akan terdapat invasi oleh tanaman berkayu. Hal ini terjadi baik di daerah temperate maupun tropis, spesies dominan padang rumput adalah hemicryptophytes dengan rhizoma yang memungkinkan berhasil bertahan dari kebakaran. Caryopsis yang relatif kecil, atau yang besar, dan Vitex

33

Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1, April 2010, 27 - 32

pubescens (laban) yang persisten dari benih-benih yang persisten dari spesies tertentu (Andropogon) yang meningkat kemampuannya untuk menginvasi setelah kebakaran. Regenerasi dari tunas dasar setelah kerusakan bagian di atas tanah sangat berkembang pada kebanyakan tanaman tahunan (musiman/semusim). Banyak tanaman herba yang dapat bertahan dari kebakaran dengan organ yang tertanam dalam tanah. Pada kasus ini terdapat keragaman inter dan intraspesifik pada regenerasi, misalnya pada tanaman Liatris. Schall (1978) dalam Chandler et al. (1983) menemukan bahwa setelah kebakaran terdapat kehilangan tanaman muda (juvenil) tapi terjadi peningkatan banyaknya anakan. Pada padang rumput yang sering terbakar, strategi bertahan hidup yang dominan terdapat pada tanaman perennial yang mana mereka dapat beregenerasi dari organ yang berada di dalam tanah, mendapat ruang yang lebih sesuai dan menyimpannya untutk periode waktu yang panjang. Spesies lain yang juga toleran terhadap kebakaran adalah Epilobium angustifolium dan Pteridium aquilinum. Kedua contoh ini merupakan jenis tanaman yang bisa bertahan terhadap kebakaran yang intens dan periodik yang tidak merusak populasi induknya tapi memberikan pembukaan penutupan ruang. Jenis lain yang ditemukan setelah terjadinya kebakaran di TN Kutai adalah Imperata cylindrica, Macarangga gigantea, M. triloba, Mallotus sp., Trema orientalis, Euphatorium sp. dan Piper aduncum. Ngatiman et al. (2006), jenis yang ditemukan Anthocephalus chinensis, Homalanthus populneus, Glochidin capitatum, Macaranga trichocarpa, M. gigantea, dan Tristania whitiana. Selanjutnya Yafid ( 2006) menyebutkan jenis - jenis pohon yang tahan api seperti Fragraea fragrans (tembesu), Styrax benzoin (kemenyan), Cratoxylum spp. (garonggang), Shorea balangeran (blangiran) dan Toona spp. VI. KESIMPULAN Berdasarkan gambaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keparahan kebakaran (intensitas dan frekuensi serta tipe kebakaran) dan faktor vegetasi (jenis dan umur vegetasi serta sifat khusus lainnya) sangat menentukan dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi. Dampak kebakaran hutan dapat berupa dampak negatif maupun positif bagi tahapan regenerasi tumbuhan. Oleh karena itu, salah satu strategi rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi termasuk intervensi silvikultur adalah dengan pemilihan jenis vegetasi yang tahan terhadap kebakaran. Mengingat lebih banyak mudaratnya, maka perlu upaya pengendalian kebakaran hutan. Secara teori pencegahan terjadinya kebakaran hutan dapat dilakukan dengan meniadakan salah satu unsur penyusun kebakaran hutan dan lahan, apakah bahan bakar yang mudah terbakar, atau energi panas yang cukup untuk membuat bahan bakar pada temperatur penyalaan maupun oksigen yang cukup. Hal yang dapat dilakukan yaitu menghilangkan atau mengurangi sumber panas (api) dan menghilangkan atau mengurangi akumulasi bahan bakar serta mengurangi oksigen dengan meningkatkan kerapatan dan meningkatkan kekompakan bahan bakar. DAFTAR PUSTAKA Chandler, C., Cheney, P., Trabaud, L & Williams, D. 1983. Forest Fire Behavior and Effects. Fire in Forestry Vol I.AWilley-Interscience Publication. New York. Kimmins, J.P. 2004. Forest Ecology, a Foundation for Sustainable Forest Management and Environmental Ethics in Forestry. Prentice Hall. New Jersey. Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, M., Rachmatika, I., Wong, A., Soehartono, T, Stanley, S., Gunawan dan Brien, TO. 2005. Life After Logging, Reconciling Wildlife Conservation and Production Forestry in Indonesian Borneo. CIFOR. Bogor. Hal. 29-52. Nasi, R., Dennis, R., Meijaard, E., Applegate, G and Moore, P. 2002. Forest Fire and Biological Diversity. Unasylva 209, Vol. 53. Roma. Ngatiman, Boer, C., Iriansyah, M. dan Rahimahyuni, F.N. 2006. Kebakaran Penyebab Degradasi Hutan di Indonesia. Balitbang Kalimantan. Samarinda. Sutisna, M. 2001. Silvikultur HutanAlami di Indonesia. Dikti Depdiknas. Jakarta. Oliver, CD and Larson, B.C. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill, Inc. New York.

34

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Pertumbuhan Vegetasi Wida Darwiati dan Faisal Danu Tuheteru

Yafid, B. 2006. Beberapa Jenis Pohon Tahan Api dan Penangkal Alang-alang. Info Hutan Vol. lll No.3. Hal 181 -185. Pusat litbang Hutan dan KonservasiAlam. Bogor. Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Review Hasil Litbang. Puslitbang Hutan dan KonservasiAlam. Bogor.

35

UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi Tekno Hutan Tanaman mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada Tekno Hutan Tanaman Edisi Vol. 3 No. 1 Tahun 2010 : 1. Dr. Ir. Irsyal Yasman (PT. Inhutani I) 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. (Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)