TRADISI MITOS, RITUAL DAN PELESTARIAN SAPI BALI

Download Di samping itu, sapi Bali semakin tahun terlihat bertambah terus karena Tradisi Mapanauran Bulu Geles ini. Menarik dikaji upacara yang berl...

0 downloads 447 Views 792KB Size
Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

TRADISI MITOS, RITUAL DAN PELESTARIAN SAPI BALI Oleh : I Made Suastika 1 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Denpasar Email : [email protected] ABSTRACT Bali’s sacred cow sacrifice yajna (caru) in the village of Tambakan, Supplement Kubu district, Buleleng has lasted for centuries in here and no etic could potentially in crease the productivity of Bali cattle through myth and ritual life. Very interesting to study improves the genetic quality of cattle Bali and its population and given a freelife in the natural world. In addition, Bali cattle more years will be on the increase because of the traditional furm Apanauran Gelescontinues every Tilem (darkmoon) Key Words : Tradition, Myth, Ritual ABSTRAK Pengorbanan suci sapi Bali untuk yajna (caru) di Desa Tambakan, Kecamatan Kubu Tambahan, Kabupaten Buleleng sudah berlangsung berabad-abad lamanya secara sekala dan niskala.Sangat menarik untuk dibahas potensi ritual ini dalam kerangka kebudayaan Bali. Yajna ini berpotensi meningkatkan produktivitas ternak sapi Bali melalui kehidupan mitos dan ritual. Yajna ini juga dapat meningkatkan kualitas genetik sapi Bali dan populasinya yang dimilikinya dan diberi hidup bebas dalam alam terbuka. Di samping itu, sapi Bali semakin tahun terlihat bertambah terus karena Tradisi Mapanauran Bulu Geles ini. Menarik dikaji upacara yang berlangsung secara kontinuitas setiap Tilem (bulan mati) Kata Kunci : Tradisi, Mitos, Ritual

Pendahuluan Bumi ini adalah tempat berpijak dan hidup semua mahluk. Tuhan menciptakan berbagai ciptaan dan menjadikan bagian dari diri-Nya (Puja dan Rai Sudarta, 1995:1:8). Salah satu ciptaanNya adalah sapi Bali. Cikal-bakal sapi Bali adalah banteng liar (Bos sondaikus) dengan berat badan hidup sekitar 800 kg malah ada yang sampai 1.000 kg yang telah mengalami domestifikasi sangat lama. Diperkirakan hal ini terjadi 3500 tahun SM (Suparta, 2015:30) dilakukan oleh para leluhur dalam kurun waktu yang sangat panjang mungkin berabad-abad lamanya, sehingga akhirnya menjadi sapi Bali, seperti

apa yang dapat dilihat secara empiris sekarang ini. Menurut Sayang Yupardhi (2009: 5-6) bahwa sampai saat ini sebagian banteng liar itu masih hidup liar di hutan-hutan, misalnya di Taman Nasional Baluran, Ujung Kulon dan Alas Purwo. Ciri-ciri fisiknya sama dengan sapi Bali antara lain warna bulunya kuning ke merah-merahan atau merah bata (pendek, halus, dan licin) sejak lahir, bergaris hitam memanjang di sepanjang punggung sampai ke pangkal ekor, kecuali di bawah lutut dan pantat berwarna putih (disebut cermin/ mirror), warna bulu telinga putih, bulu ekor hitam, moncong kehitam-hitaman, tidak berpunuk, perkembangan ambing (puting) sapi betina belum baik. Namun, sapi Bali

) Makalah ini pernah dipresentasikan di Seminar ATL di Wakatobi, beberapa hal telah diperbaiki sesuai dengan tujuan makalah ini. **Terima kaish pula atas bantuan Prof. Ir. Sayang Yupardi dan Dr. Luh Putu Puspawati, yang telah mengoreksi makalah ini 1

44

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

jantan mulai dewasa kelamin warna bulu merah bata berubah menjadi hitam mulai dari bagian depan (kepala) secara perlahanlahan sampai ke ekor kecuali keempat kaki bagian bawah. Anehnya, sapi jantan tersebut kembali ke warna aslinya merah bata, seperti sapi betina mulai dari bagian belakang (ekor) secara perlahan menuju ke depan (kepala) setelah dikastrai (dikebiri) karena tidak diproduksinya lagi hormon jantan yakni testoteron. Di lain pihak, sapi Bali betina warna merah batanya konstan, tidak berubah dari sejak lahir sampai menjadi induk atau sampai mati. Warna ini adalah warna standar sapi Bali (Meijer dalam Oka 2006: 6). Sapi Bali juga mempunyai keistimewaan atau berbagai keunggulan dalam menghadapi alam lingkungannya yang setiap saat berubah demi untuk dapat bertahan hidup. Misalnya tahan hidup dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif (panas, dingin, kuantitas dan kualitas pakan yang tidak memadai) tahan terhadap berbagai penyakit kecuali penyakit Jembrana. Produktivitas karkas (bagian-bagian yang dapat dimakan) tinggi sampai 55,4% (Raka, 2006: 16). Putrapun menambahkan bahwa daging sapi Bali kolesterolnya rendah, kesuburannya tinggi sampai 90%, angka kebuntingan 80-90%, dan angka kelahiran tinggi sampai 85%. Hal ini menyebabkan sapi Bali sangat terkenal di mana-mana dan pada tahun 1960-an banyak permintaan dari luar negeri terutama Singapura dan Negara-negara lain, sehingga sapi Bali juga ada di Australia Utara, Malaysia, dan sebagainya di samping permintaan dalam negeri khususnya Jakarta. Dari uraian di atas, sapi Bali sungguh sangat menarik kalau dilihat dari penampilan maupun dari berbagai keunggulannya. Semakin tinggi tingkat kemampuan penyerapan indera dan pemahaman filosofis sapi tersebut semakin tinggi pula nilai (value)-nya baik dari segi komersial maupun dari segi ritual. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah nyata untuk keajegan sapi Bali ini agar tetap eksis sebagaimana mestinya. Perlu diketahui bahwa

petani di Bali memelihara sapi secara umum bukan untuk tujuan komersial semata-mata, tetapi sebagai tabungan. Hanya bila finansial diperlukan saja barulah sapinya dijual, misalnya untuk bayar uang SPP anak sekolah, ngaben, perkawinan, odalan di merajan/pura. Namun, karena permainan para tengkulak/ pengepul dan petani tidak menguasai pasar (marketing) harga sapi menjadi tidak bernilai lagi bagi peternak, sampai-sampai mereka “gigit jari”, karena keuntungan yang mereka peroleh tidak sesuai dengan harapan. Salah satu bukti terjadinya harga sapi anjelok adalah pada tahun 2011 (Suparta, 2015: 31), karena impor daging banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan “permainan” cukong-cukong dalam impor daging tersebut. Sapi Bali dan Penurunan Produktivitasnya Kini Perubahan zaman, kemajuan teknologi, peningkatan kelahiran/penambahan jumlah penduduk yang tak terkendali membuat kebutuhan hidup semakin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dalam zaman modern ini orang kebanyakan berorientasi pada materi duniawi (uang) sampaisampai menghalalkan semua cara untuk mendapatkannya. Untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya demi keperluan pribadi maupun kepentingan lainnya, masyarakat terutama petani harus menyediakan uang banyak untuk memenuhi berbagai keinginan anak, maka mereka harus menjual ternaknya yang besar-besar (merupakan bibit bermutu baik) untuk dipotong termasuk yang betina produktif, tetapi yang kecil-kecil yang cenderung kurang baik mutunya dipertahankan (tidak dijual). Demikian terus-menerus berlangsung, sehingga ternak yang besarbesar hampir habis malah tidak tersisa lagi. Akibatnya potensi genetik sapi Bali menurun drastis. Hasil penelitian Djiwa Darmaja (1980) menyatakan bahwa telah terjadi penurunan mutu genetik sapi Bali sebagai akibat dari seleksi negatif, ternak yang besar-

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

45

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

besar dijual, sedangkan sisanya yang kecilkecil dan tidak ada catatan (recording)-nya, sehingga susah untuk mengembangkannya. Ciri-ciri degradasi mutu genetik (kualitas keturunan) sapi Bali antara lain : 1). Berat lahir pedet (godel) ukuran tubuh, dan bobot karkas (bagian-bagian yang dapat dimakan) secara relatif semakin kecil dari biasanya, 2). Angka kematian relatif tinggi karena produksi susu induk rendah, 3). Pencapaian dewasa kelamin dan dewasa tumbuh relatif lama, sangat jarang ditemukan induk yang mampu mencapai berat badan di atas 300 kg. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlamalama, karena dapat berakibat Bali kehilangan plasma nuftah yang merupakan sumber hayati untuk menjaga kelestarian Pulau Bali ini. Oleh karena itu, harus dicarikan solusinya dengan konsep pelestarian budaya lokal yang dinamai lokal genius agar jangan ternak sapi maupun peternaknya selalu menjadi korban di antara tumpukan harta, kebanggaan semu, dan realitas kepasrahan wong cilik di akar rumput. Solusi Penanggulangan Menurunnya Produktivitas Sapi Bali Lewat Tradisi Mitos dan Ritual di Desa Tambakan Dalam masyarakat Hindu di Bali konsep Tri Hita Karana (hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya) sangat kental pelaksanaannya baik secara sekala maupun niskala dengan jalan bhakti marga (yadnya). Kedua sisi ini (sekala dan niskala) harus dilihat dalam keseimbangan dan tidak berat sebelah. Misalnya, bagaimana manusia mengasihi satu sama lain termasuk semua ciptaan Tuhan yakni hewan atau ternak. Semua ciptaan-Nya harus dihormati, tidak menyakiti siapapun dan selalu bersyukur kepada-Nya Kaitannya dengan hewan terutama sapi, hewan ini harus mendapat penghargaan sekala maupun niskala demi menghormati lokal genius untuk peningkatan genetik potensialnya (potensi

46

keturunan) kembali yang ditengarai mulai menurun sejak beberapa tahun belakangan ini. Salah satu desa di Buleleng Timur yaitu di Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, secara garis besarnya masyarakat di sana sudah melihat dan melaksanakan hal ini sejak berabad-abad yang lalu dengan melepas sapi Bali yang disebut bulu geles ke hutan di sekitarnya sebagai ucapan terima kasih (naur sesangi) pada Tuhan. Sapi tersebut terlebih dahulu disucikan oleh pemangku agar masyarakat yang ada di desa tersebut tidak kena raja pinulah (kutukan) karena sudah sesuai dengan dresta yang berlaku di sana. Di hutan itu sapi-sapi yang telah dilepas oleh setiap warga yang naur sesangi (kaul) dapat hidup dengan tenang, damai, mencari pakan dengan bebas, jauh dari kekerasan, berkumpul dengan pasangannya dengan baik dan benar yang secara niskala semuanya dikontrol oleh Tuhan. Masyarakat meyakini hal ini, sehingga semua berjalan aman dan damai. Ketika aktivitas ritual yang berlangsung maka sapi suci itu baru akan ditangkap oleh masyarakat di sana secara bersama-sama menjelang hari purnama kasa (bulan Juli) setiap dua tahun sekali. Selanjutnya sapi tersebut dipakai upakara caru agung (kawas) untuk dipersembahkan pada Tuhan. Jadi apa yang diberikan oleh Tuhan, akhirnya dikembali juga pada Tuhan yaitu adanya keseimbangan menerima dan memberi. Tampaknya, inilah bentuk keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos yang terimplementasi berupa persembahan kembali apa yang pernah diterima dari Tuhan. Orangorang suci mengatakan bahwa di mana ada keseimbangan di sana ada kesejahteraan. Di mana ada kesejahteraan di sana ada kedamaian. Di mana ada kedamaian di sana Tuhan hadir. Dengan demikian, manusia dapat berkomunikasi langsung dengan penciptaNya. Dengan demikian, semua ciptaan-Nya terutama di desa tersebut menjadi terayomi dan berfungsi sebagaimana mestinya termasuk sapi Bali yang disucikan yang masih hidup

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

dapat melaksanakan swadharma-nya sesuai kemampuan yang sebenarnya untuk menjadi mahluk yang lebih berpotensi melalui premispremis genetik (DNA dan protein) yang dimiliki masing-masing melalui budaya lokal genius, seperti yang terjadi di Desa Tambakan lewat kehidupan sosial religius berupa tradisi mitos dan ritual. Tradisi Mitos Sapi dan Ritual Pelepasan Sapi di Desa Tambakan Mitos sapi di Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng memiliki lokal genius yang disebut mitos sapi, yang teksnya dapat dibaca ketika zaman dulu yang terus diwariskan secara turun temurun kepada masyarakatnya. Masyarakat kerajaan Buleleng berperang dengan masyarakat Kerajaan Bangli. Akhir peperangan sejumlah masyarakat kerajaan Buleleng kalah dan mengungsi. Apabila dalam pengungsian tidak ditepati dan kepergok musuh dan selamat maka ia berkaul akan menghaturkan sapi yang dinamai bulu geles, yaitu jenis sapi jantan yang berumur sekitar dua tahun, mulus dari mulut sampai kaki dan ekor tidak cacat, maksudnya bulunya sempurna. Bagian ini isi mitos itu berbunyi, “Yening tiang selamat, nenten kekeniang antuk musuh, tiang jagi mapanauran sampi sane mawasta bulu geles” artinya Jika saya/kami selamat tidak diketahui keberadaan dalam persembunyian oleh musuh maka kami akan menghaturkan sapi (bulu geles). Sapi itu dihaturkan di Pura Dalem Desa Tambakan Kabupaten Buleleng pada setiap tilem (bulan mati) oleh masyarakat, sapisapi itu dilepas di pura dalem dan diupacarai dengan sesajen (ritual) dan dibiarkan hidup di dalam hutan lindung di sekeliling desa yang lebat. Sapi-sapi itu jumlahnya mencapai ratusan bahkan tidak terhitung jumlahnya karena (kaul) dilakukan terus menerus dari zaman dulu sebagai tradisi suci. Sapi-sapi jantan yang dilepas tersebut dibiarkan hidup

subur, bebas, lepas bahkan menjadi I Dewa, yaitu sebutan sapi suci karena telah diupacarai lebih dahulu dengan tujuan hidup bebas di hutan tanpa diusik apalagi ditangkap untuk dijual oleh masyarakat di Desa Tambakan atau masyarakat disekitar hutan. Sapi-sapi I Dewa yang telah suci tersebut lalu pada purnama sasih kasa (sekitar Juli) dipanggil dan ditangkap dalam jumlah terbatas, tahun 2013 jumlahnya 24 ekor (Puspawati, 2005). Sebagian dagingnya untuk kawas (persembahan) dan sebagian lagi untuk dibagikan di masyarakat yang jumlahnya dibagi rata sehingga seluruh masyarakat di Desa Tambakan dan luar desa mendapatkan daging yang bergizi tinggi, masyarakat mendapatkan tambahan gizi daging sapi yang secara kualitas baik, secara psikologi membawakan kebahagiaan bagi masyarakat di sana. Tradisi Mitos dan Ritual Dapat Berfungsi Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali dan Lingkungannya Sapi-sapi yang dilepas saat tilem (bulan mati) dalam ritual mapenauran itu jumlahnya satu ekor bagi setiap orang. Informasi yang didapatkan di masyarakat Desa Tambakan jumlah sapi yang dilepas jumlahnya ratusan, bahkan jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Lama kelamaan sapi yang telah dilepas yang disebut I Dewa (sapi suci) dengan prilaku yang distimewakan oleh masyarakat seperti bertemu sapi itu tidak diperkenankan berkata kasar, tidak diperkenankan menyakiti sapi itu, menangkap apalagi menjualnya. Apabila terjadi hal-hal yang dilarang dilakukan, masyarakat Desa Tambakan percaya bahwa di kemudian hari akan terjadi malapetaka. Selanjutnya sapi-sapi yang dilepas itu hidup berkeliaran di dalam hutan lindung dan tanah-tanah kebun yang dilewati sapi I Dewa akan menjadi subur, panen hasil kebun melimpah. Kotoran sapi itu sendiri dapat menjadi pupuk organik bagi tanaman dan

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

47

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

kebun yang dilewatinya. Sapi itu tidak pernah merusak kebun masyarakat bahkan masyarakat senang sekali jika tanah dan kebunnya dilewati I Dewa. Ini pertanda bahwa kebun itu akan panen raya berkat kedatangan I Dewa. Juga, daging I Dewa yang beratnya sampai satu ton mempunyai kualitas daging yang tinggi, sehingga apabila masyarakat mendapatkan daging tersebut yang bergizi tinggi, penuh dengan zat yang diperlukan tubuh dan kualitas daging sangat baik, masyaraat akan tetap sehat. Seperti diuraikan di atas, sapi I Dewa berkeliaran pada siang dan malam hari di hutan, apabila ada sapi penduduk yang memasuki masa subur maka sapi I Dewa datang ke kandang sapi penduduk itu maka terjadilah perkawinan. Di sini, terjadi pembuahan yang menyebabkan sapi betina bunting dan kemudian melahirkan sapi-sapi yang berkualitas. Masyarakat tidak perlu lagi mencari pejantan dan dengan senang hati apabila sapi betina miliknya dikawini oleh sapi I Dewa. Demikian jumlah sapi penduduk akan terus bertambah, secara kualitas dan populasinya sapi Bali. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengorbanan suci sapi Bali untuk yadnya (caru) di Desa Tambakan, Kecamatan Kubu Tambahan, Kabupaten Buleleng yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya secara sekala dan niskala dapat berpotensi meningkatkan produktivitas ternak sapi Bali melalui kehidupan mitos dan ritual, juga dapat meningkatkan kualitas genetik sapi Bali dan populasinya yang dimilikinya dan diberi hidup bebas dalam alam ini. Di samping itu, sapi Bali semakin tahun akan bertambah

48

terus karena tradisi mapanauran bulu geles berlangsung terus menerus setiap tilem (bulan mati) DAFTAR BACAAN Arimba, I Gusti Ngurah, “Bibliografi Baranotasi Folklor Bali”, Berita Antropologi, Jakarta; Majalah Antropologi Sosial dan Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia, Oktober 1985. Djiwa Darmaja, S.G.N. 1980. “Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional Dalam Ekosistem Pertanian di Bali” Disertasi. Universitas Pajajaran. Bandung. Dwija, I Nengah, 2011, “Tradisi Lisan Maritim Sebagai Kekuatan Kultural Masyarakat Bali” dalam Jurnal ATL, edisi April 2011. Eddy, Wayan Tagel, 2015. “Mitos Ratus Gede Mecaling Sebagai Tokoh Sakti dari Nusa Penida”, dalam Ragam Wacana Bahasa, Sastra, dan Budaya. Made Diane Erfiani (ed), Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Finmegan, Ruth, 1991, Oral Tradition and The Verbalilas, London and New York. Kusuma, Nyoman Weda. 2005. “Mitos Pelesetarian Lingkungan Laut dan Hutan di Bali”, dalam Ragam Wacana Bahasa Sastra, dan Budaya, Ni Made Diane Erfiani (ed), Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Oka, I G.L. 2006. “Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali Sebagai Aset Ternak Nasional”. Makalah pada Kegiatan BABMI ISMAPETI Wilayah IV, 24-62006 Denpasar, Bali.

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

Oka, I G.L. “Pedoman Kajian Tradisi Lisan (KTL) Sebagai Kekuatan Kultural. Program Penelitian dan Pengadaan Ahli Tradisi Lisan”. 2009. Direktorat Keterangan dan DP2M Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Perni, Ni Nyoman, 2014, “Pelestarian Lingkungan dalam Konsep Wana Kertih pada Upacara Tumpek Wariga di Objek Wisata Mandala Suci Menara Wana Desa Pakraman Padang Tegal Ubud”, Denpasar; IHDN Denpasar.

Puspawati Luh Putu, 2015, “Teks Mitos Bulu Geles di Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng”, Disertasi. Denpasar: Pascasarjana, Universitas Udayana. Putra, Sri Heddi Ahimsa, 2006, Strukturalisme Levi Straus Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta; Kepel Press. Raka, I B. 2006. “Kebijakan dan Upaya Pengembangan Sapi Bali”. Dispet Prop. Bali. Disampaikan dalam rangka Dies Natalis ke-44 Unud, 10 Agustus 2006.

Pudentia MPSS (ed), 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta; Asosisi Tradisi Lisan (ATL)

Sayang Yupardhi, W. 2009. “Sapi Bali “Mutiara” dari Bali”. ISBN : 978-9798286-86-5

Puja,

Suparta, I N. 2015. “Beternak Sapi Bali, Di Antara Harta dan Derita” Warta Kanuruhan. Edisi Perdana, April 2015. PT Bali Pers Indonesia. Batubulan, Gianyar.

G. dan Tjokerda. Rai Sudharta. 1995. Manawa Dharmasastra. TextTerjemahan-Komentar. CV Pelita Nursatama Lestari. Jakarta.

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

49

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

LAMPIRAN

Sapi Bulu Geles yang Akan Dilepas (Dokumentasi: Puspawati, 2015)

I Dewa yang Dilepas di Dalam Hutan Memiliki Berat Kira-Kira Satu Ton

50

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

Tradisi Mitos, Ritual dan..........(I Made Suastika, Hal 44 - 51)

(Dokumentasi: Puspawati, 2015)

Ritual/Banten Pelepasan Sapi (Dokumentasi: Puspawati, 2015)

Hutan Lindung Tempat I Dewa Hidup di Sekitar Desa Tambakan (Dokumentasi: Puspawati, 2015)

Vidya Samhita Jurnal Penelitian Agama

51