VALIDITAS PEMERIKSAAN UJI AGLUTININ O DAN H S.TYPHI

Download Diagnostic of suspected Typhoid Fever is still based on the Widal test, despite of previous studies that had a low sensitivity and specific...

0 downloads 434 Views 31KB Size
F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

VALIDITAS PEMERIKSAAN UJI AGLUTININ O DAN H S.typhi DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS DINI DEMAM TIFOID Sylvia Y. Muliawan*), Lucky Hartati Moehario**), Pratiwi Sudarmono***) *) Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta **) Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

Abstract Diagnostic of suspected Typhoid Fever is still based on the Widal test, despite of previous studies that had a low sensitivity and specificity. The aim of the Widal test to examine the titer of anti O and H agglutinin S. typhi, but it is generally know that anti H agglutinin S. typhi does not have a diagnostic value. This present study was carried out to reevaluate the validity of anti O agglutinin S. typhi compared to anti H agglutinin S. typhi as a diagnostic of suspected Typhoid Fever. Our results showed that the sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of anti O agglutinins S. typhi titer was 37%, 97.8%, 90.9%, and 72.6%, respectively. Moreover anti H Agglutinins S.typhi titer had a sensitivity of 66.7%, a specificity of 82.6%, a positive predictive value of 69.2%, and a negative predictive value of 80.9%. Based on the high result of the positive predictive value of anti agglutinin O S. typhi titer, in the future Fever. To increase the sensitivity value of the Widal test, we have to pay attention to the time for specimen collection, i.e. in the second or the third weeks of fever which is a valuable time for specimen collection to diagnose. Typhoid fever. (J.Kedoktera Trisakti 2000;19(2):82-6) Pendahuluan Penyakit demam rifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi) merupakan penyakit infeksi sistemik, bersifat endermis, dan masih merupakan problem kesehatan masyarakat di Negaranegara sedang berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Data epidermiologis setiap tahun diperoleh dari beberapa Negara yang mencatat hasil laporannya dari data klinik atau laboratorium, karena data yang benar-benar dapat menggambarkan insiden penyakit ini di masyarakat sukar didapatkan. Pada penelitian Thong, dkk. (1) yang dilakukan pada tahun 1994, menunjukkan bahwa pada kasus demam tifoid setiap tahun di dunia mencapai 21 juta dengan angka kematian lebih dari 700.000. Di Indonesia penyakit ini mempunyai klecenderungan meningkat yaitu insiden pada tahun 1990 adalah 92 menjadi 15.4 per 10.000 penduduk pada tahun 1994.(2) Angka kematian penyakit demam tifoid adalah 25% dari seluruh kasus kematian. (3,4)

82

Selanjutnya dari kasus-kasus penyakit demam tifoid, sekitar 3-5% pasien menjadi (5,7) karier asimtomatik , sehingga merupakan sumber infeksi baru lagi bagi masyarakat sekitarnya. Kecenderungan meningkatnya angka kejadian demam tifoid di Indonesia karena beberapa faktor, antara lain urbanisasi, sanitasi buruk, karier yang tidak terdeteksi, dan keterlambatan diagnosis (1). Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid antara lain disebabkan oleh masa tunas penyakit yang dapat berlangsung 1014 hari bahkan dapat lebih panjang sampai 30 hari dan metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan. (3,5,7,8) Dengan melihat data tersebut, baik insiden demam tifoid yang makin relative tinggi, maka dikembangkan beberapa pemeriksaan mikrobiologi yang dapat memberikan hasil dengan cepat, sensitive dan dapat dipercaya. Metode tersebut antara lain adalah penggunaan antibody monoclonal (9,10), polymerase chain reaction (PCR) (11,12) enzyme immunoassay Dot (EIA dot) (13,16), dan enzyme linked

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

immunosorbent assay (ELISA) (14,17,20) yang dikenal sebagai metode non konvensional. Metode tersebut masingmasing mempunyai kelemahan dan keuntungan. Dari segi biaya pemeriksaan metode ini memerlukan biaya yang lebih mahal disbanding dengan cara konvesional yaitu kultur dan uji Widal. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan menilai validasi pemeriksaan titer agglutinin O dan H S. Typhi pada psien dewasa demam tifoid untuk membantu menegakkan diagnosis dini demam tifoid yang sebenarnya sudah diketahui mempunyai sensitivitas dan spesifisitas rendah. (21) Metode Spesimen : darah diambil sebanyak 5 cc (untuk kultur, uji Widal dan pemeriksaan lain) pada saat pasien masuk Rumah Sakit (satu kali pengambilan) dengan criteria inklusi sebagai berikut: pasien dewasa rawat inap, panas lebih dari 5 hari terutama sore dan malam hari, suhu diatas 380C, pra-terapi antibiotika di Rumah Sakit. Pengumpulan specimen dilakukan selama 6 bulan (januari sampai dengan Juni 1997) dan terkumpul sebanyak 143 spesimen. Kelompok studi dibagi dalam 3 kelompok, kelompok I dengan demam (bakteriologik S. typhi positif) berjumlah 27 pasien; kelompok II dengan demam (bakteriologik S. typhi negative) berjumlah 46 pasien; dan kelompok III dengan tidak ada demam (bakteriologik tidak dikerjakan) berjumlah 70 pasien sebagai control. Identifikasi S. thyphi dari specimen dilakukan melalui biakan. Metode yang dipakai adalah metode baku (kultur empedu, media agar Salmonella-Shigella, reaksi biokimia). Pemeriksaan uji Widal dilakukan pada serum pasien dengan metode titrasi slide cara cepat menggunakan Kit dari Murex Diagnostica SA, France yang terdiri dari antigen S. Typhi O dan H. Pengenceran serum dilakukan dengan menggunakan cairan NACl fisiologis dalam perbandingan 1:80, 1:160, 1:320, 1 :640, 1:1280, 1:2560, dan 1:5120. Berdasarkan petunjuk Kit tersebut, nilai cut-off (nilai ambang atas) untuk menyatakan hasil uji Widal positif adalah

pada pengeceran doatas 1:80, yang artinya aglutinasi antara serum pasien dengan anti serum standard Kit maka dinyatakan hasil uji Widal positif, tetapi bila tidak terjadi aglutinasi pada uji tersebut maka hasil dinyatakan negative. Hasil Dari kelompok I dengan hasil kultur positif S.typhi, didapat hasil titer antibodi terhadap antigen O S.typhi dengan variasi titer negatif sampai dengan titer tertinggi 1280 (51.9% untuk titer O 160, 25.9% untuk titer O 1280), sedangkan untuk hasil titer antibodi terhadap antigen H S.typhi didapat variasi titer negatif sampai dengan titer tertinggi 5120 (18.5% untuk titer H negatif, 7.4% untuk titer H 160, 18.5% untuk titer H 320, 18.5% untuk titer H 640. 18.5% untuk titer H 1280, 7.4% untuk titer H 2560 dan 3.7% untuk titer H 5120). Dari kelompok II dengan hasil kultur negatif S.typhi mempunyai titer antibodi terhadap antigen S.typhi Obervariasi mulai titer negatif sampai dengan titer 160 (87.0% untuk titer H negatif, 10.9% untuk titer O 80, 22% untuk titer O 160), dan untuk titer antibodi terhadap antigen H S.typhi bervariasi mulai titer negatif sampai dengan titer 320 (96.3% untuk titer H negatif 2.2% untuk titer H 320). Dari kelompok lll sebagai kontrol titer antibodi terhadap antigen O S.typhi antibodi terhadap antigen H S.typhi bervariasi antara titer negatif sampai dengan titer 640 (71.4% untuk titet H negatif, 7.2% untuk titer H 80, 4.3% untuk titer H 160, 4.3% untuk titer H 320, 12.9% titer H 640). Berdasarkan petunjuk Kit Murex yang dipakai, hasil uji Widal dinyatakan positif, bila titer aglutinin O S. Typhi adalah diatas 80, sedangkan untuk titer tersebut diatas 160. Dari hasil uji titer aglutinin O S. Typhi bila dibandingan dengan hasil kultur sebagai baku emas, maka diperoleh sensitivitas 37%, spesifisitas 97%, nilai pediksi positif 90.9%, dan nilai prediksi negatif 72.6% (Tabel ) dan untuk hasil uji prediksi titer aglutinin H S. Typhi diperoleh hasil prediksi positif 69.2%, dan nilai prediksi negatif 80.9% (tabel 2)

83

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

Tabel 1 : Perbandingan antara titer aglutinin O S. typhi terhadap biakan Uji Widal Positif

Biakan Negatif

Total

Positif

10

1

11

Negatif

17

45

62

Total

27

46

73

Tabel 2 : Perbandingan antara titer agglutinin H S. Typhi terhadap biakan Uji Widal Positif

Total

Negatif

Positif

10

1

11

Negatif

17

45

62

Total

27

46

73

Pembahasan Dari hasil penelitian uji serologi Widal dengan satu kali pengambilan pada pasien dengan demam, diperoleh hasil titer aglutinin O S.typhi dengan nilai prediksi positif 90.9% yang artinya kemungkinan pasien menderita demam tifoid sebesar 90.9% bila hasil uji terhadap agglutinin O S.typhi dinyatakan positif. Hasil uji titer agglutinin O S. typhi memberikan nilai sensitivitas rendah, yang artinya walaupun secara bakteriologik dinyatakan S.typhi positif, hasil uji Widal dapat memberikan hasil negative (22), sebaiknya hasil uji Widal negative belum dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Hal ini mungkin karena pengambilan specimen dilakukan pada minggu pertama, sehingga titer antibody belum dapat terdeteksi. Hal ini didukung oleh penelitian Senewiratne, dkk. (23) yang menyatakan kenaikan titer antibody ke level diagnostic pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu ke dua atau ke tiga, yaitu 95.7% sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama hanya 85.7%. Untuk

84

Biakan

hasil uji titer agglutinin H S.typhi memberikan nilai prediksi negative 80.9% yang artinya kemungkinan pasien tidak menderita demam tifoid adalah sebesar 80.9% bila hasil uji terhadap agglutinin H S.typhi negative. Meskupun hasil uji titer agglutinin H S.typhi memberikan nilai sensitivitas 66.7% yang ternyata lebih tinggi daripada hasil uji titer agglutinin O S.typhi, tetapi uji ini tidak mempunyai nilai diagnostic untuk demam tifoid. Hal ini disebabkan antara lain karena di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endermis yang secara konstan terpapar dengan organisme tersebut dan mempunyai titer antibody mungkin lebih tinggi daripada daerah non-endermis pada orang yang tidak sakit.(23,24) Kesimpulan Dari hasil penelitian tersebut dapat di simpulkan bahwa pemeriksaan laboratorium uji Widal pada satu kali pengambilan darah pasien untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid sebaiknya cukup dilakukan

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

pemeriksaan terhadap titer agglutinin O S. typhi, karena mempunyai nilai prediksi positif 90.9%. Agar dapat meningkatkan nilai sensitivitas pemeriksaan tersebut, sebaiknya pengambilan darah dilakukan pada minggu ke dua dank e tiga masa sakit.

10.

11. Daftar Pustaka 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Thong KL. Cheong YM, Puthucheary S. Koch CL, Pang T. Epidemiologic analysis of sporadic Salmonella typhi isolates and those from outbreaks by Pulsed-Field Gel Electrophoresis. J Clin Microbiol 1994;32(5):1135-41. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Data Sueveilans tahun 1994, Jakarta: Sub Direktorat Surveilans Direktorat Epidemiologi; 1995. Hoffman SL. Typhoid Fever. In:Strickland GT. ed. Hunter’s tropical medicine. Philadelphia: WB. Sauders, 1991. p.344-59 1991. Simanjuntak CH. Masalah demam tifoid di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 60:31-3. Juwono R. Demam tifoid. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Daldiyono, Nelwan RHH, Ranakusuma ABS, Djoerban Z, et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI;1996.p.435-41 Keusch GT. Salmonellosis. In:Harrison’s Principle of Internal Medicine, 14th ed. New York: 1998’ vol 1,p.950-4. Mills SD, Finaly BB. Virulence Factors of Salmonella typhi. Southeast Asia J Trop Med Public Health 1995;26(Suppl 2):102-6. Salyers AA, Whitt DD. Salmonella Infection. In: Bacterial Pathogenesis. A Moleculsr Approach Washington DC; 1994. p.229-43. Chaicumpa W, Inta WT, Khusmith S, Tapchaisri P, Echeverria P, Kalamhaheti T et al. Detection with Monoclonal Antibody of S.typhi antigen 9 in specimens From

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

patients J Clin Microbiol 1998; 26(9): 1824-30. Ekpo P, Sarasombath S, Banchuin N, Sirisinha S. Monoclonal Antibodies to 52 kilodalton Protein Salmonella typhi. J Clin Microbiol 1990;28:1818-21. David LP, Koh CL, Puthucheary SD, Devi S, Pang T. Polymerase Chain Reaction (PCR) In the detection of S.typhi DNA. Dalam: Proceeding Typhoid Strategis for the 90’s, Kuala Lumpur, 1990:78-83. Zhu O,LimCK, Chan YN. Detection of Salmonella typhi by PCR. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1995;26(Suppl 2): 227-9. Ismail A. Development of a Dot EIA for the rapid diagnosis of Typhoid Fever. Dalam Proceeding Typhoid fever Strategies for the 90’s, Kuala Lumpur,1990: 201-6. Ismail A, Tuan Ibrahim TA, Choo KE, Ghazali WNW. Recent Advances in the rapid serodiagnosis of Typhoid. Dalam Third Asia Pacific Symposium on Typhoid fever and Other Salmonellosis, Denpasar, Bali 8 – 10 Desember 1 997; Abstrct book:32. Jakson AA, Ismail A, Ibrahim A, Kader ZSA, Nawi NM. Retropective review of Dot Enzyme Immunoassay test for Typhoid Fever in an endemic area. Southeast Asia J Trop Med Public Health, 1995; 26(4): 625-30. Ong KH, Ismail A, Choo KE, Kader ZK. Clinical field trials on the Dot Enzyme Immunosorbent assay (EIA) for the diagnosis of Typhoid fever. Dalam: Typhoid Fever Strategies for the 90’s Kuala Lumpur, 1990:207-14. Nardiello S,Pizzella T, Russo M, Galanti B. Serodiagnosis of Typhoid fever by Enzyme linked Immunosorbent Assay determination of anti Salmonella typhi Lipopolisaccharide antibodies. J Clin Microbiol 1984: 20(4):71821. Sippel J, Bukhtiari N, Awan B, Krieg R, Duncan JF, Karamat KA et

85

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c

F -X C h a n ge

F -X C h a n ge

c u -tr a c k

N y bu to k lic

19.

20.

21.

86

al. Indirect IgG and IgM ELISAs and IgM capture ELISA for detection. J Clin Microbiol 1989; 27(6): 1298-1302. Rodrigues AV, Vidal YL, Puente JL, Palacios GMR, Calva E. Early diagnosis of Typhoid fever by an Enzyme Immunoassay using Salmonella typhi outer membrane protein preparation. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 993;12(4):24854. Muliawan SY, Sudarmono P, Moehario LH. Enzyme Linked Immunoassay for Early Outer Membrane Protein Med J Indones 1998;7(Suppl.l):211-3. Schroeder SA. Interpretation of serologic tests for Typhoid Fever. Jama 1968; 206(4):839-40.

22.

23.

24.

Boomsma LJ, Guinee PAM, Jansen WH, Maas HEM. Value of the Widal test in the diagnosis of Typhoid Fever in an endermic area and suggestiond for a modification. A preliminary study. Trop Geogr Med 1988;40:103-8. Senewirate B, Chir B, Senewiratne K. Reassessment of Widal test in the diagnosis of Typhoid Fever. Gastroenterology 1997;73:233-6. Rockhill RC, Moechtar A, Soetomo A. Comparison of the Widal test with S.typhi isolation from Typhoid Fever isolate from Typhoid Fever Patients in Jakarta, Indonesia Medikal 1981;6:351-4.

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

k

to

bu

y

N

O W !

PD

O W !

PD

c u -tr a c k

.c